Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A Perilaku Seks Bebas

1. Pengertian Perilaku Seks Bebas

Perilaku seks bebas atau perilaku seksual pranikah menurut

Soetjiningsih (2004: 135-136) adalah segala tingkah laku remaja yang

didorong oleh hasrat baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis yang

dilakukan sebelum adanya hubungan resmi sebagai suami istri. Objek

seksualnya bisa berupa orang lain, orang dalam khayalan, atau diri sendiri.

Sarwono (2005: 142) menyatakan bahwa perilaku seksual adalah segala

tingkah laku yang didorong hasrat seksual baik dengan lawan jenisnya

maupun sesama jenisnya, sedangkan bentuk-bentuk dari tingkah laku ini

bisa bermacam-macam mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku

berkencan, bercumbu, dan bersenggama atau melakukan hubungan

seksual. Perilaku seksual merupakan akibat langsung dari perubahan

hormon dan kelenjar seks yang menimbulkan dorongan seksual pada

seseorang yang mencapai kematangan pada masa remaja awal yang

ditandai dengan adanya perubahan fisik.

PKBI (2000: 32), perilaku seksual adalah tingkah laku yang

ditampilkan seseorang untuk menarik perhatian lawan jenisnya. Bentuk

13
perilaku seksual bermacam-macam, mulai dari bergandengan tangan,

berpelukan, bercumbu, sampai dengan berhubungan seks. Seks pranikah

sendiri dapat didefinisikan sebagai hubungan seksual sebelum adanya

ikatan perkawinan yang sah, baik berhubungan seks yang penetratif (penis

dimasukkan ke dalam vagina, anus atau mulut) maupun yang non-

penetratif (penis tidak dimasukkan ke dalam vagina).

Seks bebas sangatlah berbahaya karena akan membuat berbagai

persoalan negatif terjadi pada individu. Persoalan negatif tersebut meliputi

masalah keperawanan, kehamilan, cibiran masyarakat, keterkucilan diri,

sampai pada perasaan dosa dan kutukan Tuhan. Perilaku seksual adalah

perilaku yang melibatkan sentuhan secara fisik anggota badan antara laki-

laki dan perempuan. Perilaku seks bebas itu sendiri merupakan perilaku

seks pranikah yang merupakan perilaku seks yang dilakukan tanpa melalui

proses pernikahan resmi menurut hukum maupun menurut agama dan

kepercayaan masing-masing individu. Perilaku seksual merupakan

perilaku yang didasari oleh dorongan seksual atau kegiatan mendapatkan

kesenangan organ seksual melalui berbagai perilaku, contohnya berfantasi,

masturbasi atau onani, berpegangan tangan, cium pipi, berpelukan, dan

sebagainya (Bachtiar, 2005: 101-110).

Sarwono (2005: 137) menyatakan bahwa seks bebas adalah

hubungan yang didorong oleh hasrat seksual baik dengan lawan jenis

maupun sesama jenis. Lebih lanjut dikatakan bahwa seks bebas adalah

cara bersenggama yang dilakukan pada pasangannya tanpa ikatan

14
perkawinan. Seks bebas juga diartikan bagaimana cara berpacaran,

pengetahuan tentang alat kelamin dan cara memikat hati pria.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku

seks bebas adalah segala tingkah laku yang didorong hasrat seksual baik

dengan lawan jenisnya maupun sesama jenis, yang dilakukan oleh remaja

laki-laki dan perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah.

Menurut Monks, dkk (2002: 262) masa remaja berlangsung antara

umur 12 tahun sampai 21 tahun. Rentang usia remaja ini dapat dibagi

menjadi tiga bagian yaitu 12 tahun sampai 15 tahun adalah remaja awal

dan usia 15 tahun sampai usia 18 tahun adalah remaja tengah dan usia 18

tahun sampai 21 tahun adalah remaja akhir. Lebih lanjut remaja atau

adolescence dijelaskan memiliki arti yang lebih luas yaitu mencakup

kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik (Hurlock, dalam Ali,

2006: 9).

Berdasarkan pendapat para tokoh, maka dapat disimpulkan bahwa

remaja adalah individu yang mengalami masa transisi dari anak-anak

menuju dewasa, dimana individu tersebut mengalami perkembangan

psikologis, biologis, dan sosial dengan batasan usia 12 sampai 21 tahun.

Remaja sebagai generasi penerus diharapkan mampu

melaksanakan tugas-tugas perkembangannya dengan baik, serta mampu

bertanggung jawab terhadap perilakunya. Pada kenyataannya sekarang ini

banyak remaja yang melakukan penyimpangan seksual terutama perilaku

seks bebas.

15
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa

perilaku seks bebas pada remaja adalah segala tingkah laku yang didorong

hasrat seksual baik dengan lawan jenisnya maupun sesama jenis,

dilakukan oleh remaja dengan batasan usia 12-21 tahun.

2. Dimensi-dimensi Perilaku Seks Bebas

Poling, dkk (1995: 57-58) menyatakan bahwa dimensi-dimensi

perilaku seks bebas yaitu :

a. Intensitas (intensity)

Intensitas (atau kekuatan) merupakan indeks semangat dimana

suatu perilaku tertentu dilakukan.

b. Frekuensi (frequency)

Frekuensi mengacu pada jumlah waktu respon yang terjadi

selama perilaku.

c. Durasi (duration)

Durasi merupakan batas waktu untuk dari awal sampai akhir

perilaku.

Miltenberger (2004: 23-24) membagi dimensi perilaku menjadi

empat, antara lain :

a. Frekuensi (frequency)

Frekuensi adalah jumlah dari suatu perilaku yang terjadi.

16
b. Durasi (duration)

Durasi perilaku adalah jumlah waktu total perilaku dari awal

sampai akhir.

c. Intensitas (intensity)

Intensitas perilaku adalah jumlah kekuatan, energi, atau tenaga

yang terlibat dalam perilaku. Intensitas juga disebut kekuatan.

d. Laten (latency)

Latency merupakan waktu yang berasal dari stimulus untuk

berperilaku. Latency merupakan bentuk perilaku yang tidak

nampak.

Berdasarkan uraian tersebut diketahui bahwa dimensi-dimensi

perilaku dalam peneltian ini adalah frekuensi (frequency), durasi

(duration), dan intensitas (intensity).

Hurlock (2004) mengemukakan bentuk perilaku seks bebas adalah

berciuman, kemudian bercumbu ringan, bercumbu berat lalu berakhir pada

hubungan seksual atau bersenggama.

Soetjiningsih (2004: 134-135) menyatakan bahwa terdapat

beberapa bentuk perilaku seks bebas, antara lain :

a. Masturbasi atau onani

Masturbasi atau onani merupakan salah satu aktivitas yang

sering dilakukan oleh para remaja, masturbasi ini dilakukan

sendiri-sendiri dan juga dilakukan secara mutual dengan teman

17
sebaya sejenis kelamin, tetapi sebagian dari individu juga

melakukan masturbasi secara mutual dengan pacarnya.

b. Percumbuan, seks oral dan seks anal

Individu yang memasuki masa remaja seringkali mengalami

seks oral dan seks anal.

c. Hubungan seksual

Pada dasarnya tidak sedikit remaja yang melakukan hubungan

seksual.

Taufik (dalam PKBI, 2004: 45) menyatakan bahwa bentuk-bentuk

perilaku seks bebas adalah sebagai berikut :

a. Berfantasi, masturbasi atau onani, nonton atau baca pornografi

b. Cium pipi, cium bibir (kissing), meraba bagian tubuh sensitive

(petting), berhubungan intim (sexual intercourse).

Ditambahkan oleh Rahardjo (2012: 2-3) kissing (perilaku

berciuman), mulai dari ciuman ringan sampai deep kissing, necking

(perilaku mencium daerah sekitar leher pasangan), petting (segala bentuk

kontak fisik seksual berat tapi tidak termasuk intercourse, baik itu light

petting (meraba payudara dan alat kelamin pasangan, baik dengan

berbusana atau tanpa busana), hingga sex intercourse atau penetrasi alat

kelamin.

Dalam penelitian ini dimensi-dimensi perilaku seks bebas yang

digunakan adalah frekuensi (frequency), durasi (duration), dan intensitas

(intensity) terhadap bentuk-bentuk perilaku seks bebas, yaitu berciuman

18
(kissing), perilaku mencium daerah sekitar leher pasangan (necking),

bercumbu dan meraba daerah sensitif (petting), dan berhubungan kelamin

(seksual intercourse).

3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Seks Bebas

Bachtiar (2005: 111) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor

yang mempengaruhi perilaku seksual, antara lain :

a. Biologis

Faktor biologis merupakan perubahan keadaan fisik yang terjadi pada

masa pubertas dan pengaktifan hormonal yang dapat menimbulkan

perilaku seksual.

b. Pengaruh orang tua

Kurangnya komunikasi secara terbuka antara orangtua dengan individu

dalam masalah seksual dapat memperkuat munculnya penyimpangan

perilaku seksual

c. Pengaruh teman

Pengaruh teman memang sangat kuat. Hal ini membuat individu

memiliki kecenderungan memakai patokan norma teman dibanding

norma yang normal.

d. Akademik

Secara teoritis, individu yang prestasi dan aspirasi rendah cenderung

lebih sering memunculkan aktivitas seksual dibandingkan individu

dengan prestasi yang baik di sekolah.

19
e. Pemahaman kehidupan sosial

Pemahaman kehidupan sosial diasosiasikan dengan pengambilan

keputusan yang memberikan pemahaman perilaku seksual pada

individu. Individu yang mampu mengambil keputusan secara tepat

berdasarkan nilai-nilai yang dianutnya, dapat lebih menampilkan

perilaku seksual yang lebih sehat.

f. Pengalaman seksual

Makin banyak pengalaman mendengar, melihat, dan mengalami

hubungan seksual, maka makin kuat stimulasi yang dapat mendorong

munculnya perilaku seksual. Misalnya media massa (film, internet,

gambar atau majalah), obrolan dari teman atau pacar tentang

pengalaman seks, melihat orang-orang yang tengah berpacaran atau

melakukan hubungan seksual.

g. Faktor kepribadian

Faktor kepribadian meliputi harga diri, kontrol diri, tanggung jawab,

kemampuan membuat keputusan, dan nilai-nilai yang dimiliki. Individu

yang punya harga diri positif mampu mengelola dorongan dan

kebutuhannya secara memadai, memiliki penghargaan yang kuat

terhadap diri dan orang lain, mampu mempertimbangkan resiko

perilaku sebelum mengambil keputusan, mampu mengikatkan diri pada

teman sebaya secara sehat dan proposional, cenderung dapat mencari

penyaluran seksual secara sehat dan bertanggung jawab, lebih lanjut

20
Hurlock (1999: 237) menyatakan bahwa kepribadian manusia memiliki

dua komponen utama, yaitu sifat dan konsep diri.

h. Pemahaman dan penghayatan nilai-nilai keagamaan

Individu yang punya penghayatan yang kuat tentang nilai-nilai

keagamaan, intergritas yang baik juga cenderung mampu menampilkan

perilaku seksual yang selaras dengan nilai yang diyakininya serta

mencara kepuasan dari perilaku yang produktif.

i. Berfungsinya keluarga dalam menjalankan fungsi kontrol, penanaman

nilai moral, dan keterbukaan komunikasi.

Keluarga yang mampu berfungsi secara optimal membantu remaja

untuk menyalurkan dorongan seksual dengan cara yang selaras dengan

norma dan nilai yang berlaku serta menyalurkan energi psikis secara

produktif.

j. Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi

Individu yang memiliki pemahaman secara benar dan proposional

tentang kesehatan reproduksi cenderung memahami resiko perilaku

serta alternatif cara yang dapat digunakan untuk menyalurkan dorongan

seksual secara sheat dan bertanggung jawab.

Dianawati (2003: 10-12) mengatakan bahwa faktor-faktor yang

menyebabkan seks pranikah pada remaja adalah :

a. Tekanan yang datang dari teman pergaulannya, lingkungan pergaulan

yang telah dimasuki oleh remaja dapat juga berpengaruh untuk

menekan temannya yang belum melakukan seks. Keinginan untuk dapat

21
diterima oleh lingkungan pergaulannya begitu besar, sehingga remaja

melakukan apa saja untuk membuktikan bahwa dirinya sama dengan

teman-temannya, agar dapat diterima menjadi bagian dari anggota

kelompoknya seperti yang diinginkan.

b. Adanya tekanan dari pacarnya, karena kebutuhan seseorang remaja

untuk mencintai dan dicintai, maka seorang remaja harus rela

melakukan apa saja terhadap pasangannya, tanpa memikirkan resiko

yang nanti dihadapinya.

c. Adanya kebutuhan badaniah atau jasmani, seks menurut beberapa ahli

merupakan kebutuhan dasar yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan

seseorang. Jadi wajar saja jika semua orang, tidak terkecuali remaja

menginginkan hubungan seks ini, sekalipun akibat dari perbuatannya

tersebut tidak sepadan dibandingkan dengan resiko yang akan remaja

hadapi.

d. Rasa penasaran. Pada usia remaja, rasa keingintahuannya begitu besar

terhadap seks. Apalagi jika teman-temannya mengatakan bahwa seks

terasa nikmat, ditambah lagi adanya segala informasi yang tidak

terbatas masuknya. Maka, rasa penasaran tersebut semakin mendorong

individu untuk lebih jauh lagi melakukan berbagai macam percobaan

sesuai dengan yang diharapkannya.

e. Pelampiasan diri. Faktor ini tidak hanya datang dari diri sendiri.

Misalnya, karena terlanjur berbuat, seorang remaja putri biasanya

berpendapat bahwa sudah tidak ada lagi yang dapat dibanggakan dalam

22
dirinya. Maka, dengan pikirannya tersebut, remaja akan merasa putus

asa lalu mencari pelampiasan yang akan semakin menjerumuskannya

ke dalam pergaulan bebas.

Soetjiningsih (2004: 136-137) menyatakan bahwa faktor-faktor

yang mempengaruhi perilaku seks bebas, yaitu :

a. Waktu atau saat mengalami pubertas

Pada saat mengalami pubertas, individu tidak pernah memahami

tentang apa yang akan dialaminya.

b. Kontrol sosial yang kurang tepat

Kontrol sosial yang kurang tepat, yaitu terlalu ketat atau terlalu longgar.

c. Frekuensi pertemuan dengan pacar

d. Hubungan dengan pacar semakin romantis

e. Kondisi keluarga yang tidak memungkinkan untuk mendidik individu

untuk memasuki masa remaja dengan baik.

f. Kurangnya kontrol dari orang tua

g. Status ekonomi

h. Korban pelecehan seksual yang berhubungan dengan fasilitas, antara

lain sering mempergunakan kesempatan yang rawan, misalnya pergi ke

tempat-tempat sepi.

i. Tekanan dari teman sebaya.

Kelompok teman sebaya kadang-kadang ingin saling menunjukkan

penampilan diri yang salah untuk menunjukkan kematangannya,

23
misalnya individu ingin menunjukkan bahwa dirinya sudah mampu

membujuk seorang perempuan untuk melayani kepuasan seksualnya.

j. Penggunaan obat-obatan terlarang atau alkohol

k. Individu kehilangan kontrol sebab tidak tahu akan batas-batasnya mana

yang boleh dan mana yang tidak boleh.

l. Individu merasa sudah saatnya untuk melakukan aktivitas seksual,

sebab individu sudah merasa matang secara fisik.

m. Adanya keinginan untuk menunjukkan cinta pada pacar

n. Penerimaan aktivitas seksual pacarnya

o. Sekedar menunjukkan kegagahan dan kemampuan fisiknya

p. Terjadi peningkatan rangsangan seksual akibat peningkatan kadar

hormon reproduksi atau seksual.

Sarwono (2011: 188) menyebutkan faktor-faktor yang

mempengaruhi perilaku seks bebas adalah sebagai berikut :

a. Meningkatnya libido seksualitas

Individu khususnya remaja dalam mengisi peran sosialnya yang

baru, mendapatkan motivasi dari meningkatnya energi seksual atau

libido.

b. Penundaan usia perkawinan

Pelaksanaan pernikahan di Indonesia yang cukup ketat menjadikan

terbatasnya kesempatan untuk menikah di bawah umur, adanya

beban dan hambatan dalam perkawinan menjadikan individu

melakukan seks bebas.

24
c. Tabu-larangan

Hubungan seks diluar perkawinan bukan hanya dianggap tidak baik,

tetapi juga tidak boleh ada, bahkan sering dianggap tidak pernah

ada. Seks kemudian menjadi tabu untuk dibicarakan, walaupun

antara orangtua dan anaknya sendiri.

d. Kurangnya informasi tentang seks

Pengetahuan tentang seks dapat diperoleh melalui surat kabar,

majalah, atau ceramah-ceramah tentang seks

e. Pergaulan yang makin bebas

Kebebasan pergaulan antar jenis kelamin dengan mudah dapat

disaksikan dalam kehidupan sehari-hari. Semakin tinggi

pemantauan orangtua terhadap anak, semakin rendah kemungkinan

perilaku menyimpang menimpa anak remajanya.

Berdasarkan uraian tersebut diketahui bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi perilaku seks bebas adalah pelampiasan diri, tekanan dari

pacar, rasa penasaran, meningkatnya libido seks, kontrol sosial yang

kurang tepat, frekuensi pertemuan dengan pacar, status ekonomi,

penggunaan obat-obatan terlarang dan alkohol, kehilangan kontrol,

keinginan untuk menunjukkan cinta pada pacar, penerimaan aktivitas

seksual pacarnya, sekedar menunjukkan kegagahan dan kemampuan

fisiknya, biologis, pengaruh orangtua, pengaruh teman, akademik,

pemahaman kehidupan sosial, pengalaman seksual, kepribadian,

pemahaman dan penghayatan nilai-nilai keagamaan, penundaan usia

25
perkawinan, tabu-larangan, serta pengetahuan tentang kesehatan

reproduksi. Faktor yang ingin digali lebih dalam kaitannya dengan

perilaku seks bebas pada remaja adalah aspek psikologis, yang salah

satunya adalah persepsi keperawanan.

B. Persepsi Keperawanan Pada Kalangan Remaja

1. Pengertian Persepsi Keperawanan

Menurut Atkinson dkk (1983: 201), Persepsi adalah proses dimana

seseorang mengorganisasikan dan menafsirkan pola stimulus ini dalam

lingkungan. Kartini kartono (2003: 343) menyebutkan persepsi adalah

proses di mana seseorang menjadi sadar akan segala sesuatu dalam

lingkungan melalui indera-indera yang dimiliki; pengetahuan lingkungan

yang diperoleh melalui interpretasi data indera. Sarwono (2013: 85-86)

menyatakan persepsi adalah kemampuan untuk membeda-bedakan,

mengelompokkan, memfokuskan dan sebagainya itu, yang selanjutnya

diinterpretasikan. Suharnan (2005: 23) Persepsi (perception) adalah suatu

proses menginterpretasi atau menafsirkan informasi yang diperoleh

melalui sistem alat indera manusia. Lebih lanjut, Laura (2010: 225)

mengartikan persepsi (perception) sebagai proses mengatur dan

mengartikan informasi sensoris untuk memberikan makna. Sel-sel reseptor

pada mata menemukan pola-pola bermakna dari informasi sensoris, dan

inilah yang disebut persepsi.

26
Menurut Chaplin (2008: 530), virgin atau perawan diartikan

sebagai seorang perempuan yang tidak pernah atau belum pernah

melakukan hubungan seksual. Virginitas itu lebih menampilkan masalah

purity, yaitu sejauh mana seseorang dapat menjaga kemurnian dirinya dan

memandang aktivitas seksual sebagai aktivitas sakral yang hanya boleh

dilakukan dalam ikatan pernikahan, seorang yang pernah melakukannya,

walaupun tidak merobek selaput dara dapat dikatakan telah kehilangan

purity (Wijaya, 2004: 85).

Menurut Carpenter (2005: 19-22) virginity dibagi menjadi dua.

Yaitu virginity spiritual dan virginity fisic. Virginity spiritual dicontohkan

sebagai individu yang memiliki tingkat kerohanian yang cenderung taat

beragama, berusaha untuk mengendalikan pemikiran tentang seks

berkaitan dengan idealnya menjaga keperawanan yang hanya diberikan

untuk suami dan berusaha menyibukkan diri dengan kegiatan positif

lainnya. Sedangkan virginity fisic dicontohkan sebagai seorang individu

yang tidak melakukan hubungan seks dengan lawan jenis maupun dengan

sesama jenis kecuali dengan suami setelah adanya tahap pernikahan.

Budaya Indonesia beranggapan bahwa seks bebas dan aktivitas

seksual dianggap tabu dan keperawanan dianggap sangat penting sebagai

lambang kesucian bagi seorang perempuan. Begitu pentingnya

keperawanan hingga harus dijaga sebaik mungkin. Banyak kalangan di

masyarakat menyakini hilangnya keperawanan sebelum pernikahan

merupakan hal yang memalukan. Kehilangan keperawanan yang melanda

27
kaum wanita merupakan penyesalan dan perasaan bersalah yang terus

menghimpit individu, sehingga tidak jarang dari beberapa bentuk perilaku

penyesalan tersebut timbul rasa kekhawatiran tidak akan mendapatkan

jodoh karena sudah tidak suci lagi. Bahkan untuk memulai hubungan

dengan laki-laki, perempuan seperti ini akan berfikir seribu kali karena

ketakutannya akan penolakan Fitriawati (2004) (dalam Fatimah, 2014:

197). Kondisi wanita yang sudah tidak perawan tidak dapat dipungkiri

menjadi suatu momok tersendiri dalam diri wanita tersebut, dikarenakan

masih tingginya kultur timur yang dianut oleh masyarakat Indonesia.

Keperawanan dalam sebuah perkawinan menjadi hal yang sangat penting.

Hal ini menyebabkan wanita yang sudah tidak perawan berada dalam

ketidak beruntungan, dan ini mempengaruhi kondisi psikologis remaja

(Fatimah, 2014: 197).

Berdasarkan uraian tersebut diketahui bahwa persepsi keperawanan

pada remaja adalah proses dimana seseorang menjadi sadar akan segala

sesuatu tentang mengartikan keperawanan dalam pengetahuan lingkungan.

Hal ini diperoleh melalui interpretasi data indera manusia. Kehilangan

keperawanan sebelum menikah yang melanda kaum wanita sebagian besar

menganggap bahwa hal ini merupakan penyesalan dan perasaan bersalah

yang terus menghimpit individu. Misalnya rasa kekawatiran tidak akan

mendapatkan jodoh karena sudah tidak suci lagi. Hal ini menyebabkan

perempuan yang sudah tidak perawan berada dalam ketidakberuntungan

dan ini mempengaruhi kondisi psikologis remaja.

28
2. Aspek-aspek Persepsi Keperawanan

Aspek-aspek persepsi keperawanan menurut Walgito (2004: 86)

adalah sebagai berikut :

a. Aspek kognisi,

Aspek kognisi berhubungan dengan pengenalan objek. Aspek ini

menyangkut pengharapan cara mendapatkan pengetahuan atau cara

berpikir dan pengalaman masa lalu. Individu dalam mempersepsikan

sesuatu dapat dilatar belakangi oleh adanya aspek kognisi yaitu

pandangan individu terhadap keperawanan berdasarkan pengalaman

yang pernah didengar atau dilihat dalam kehidupan sehari-hari.

b. Aspek emosi,

Aspek emosi berhubungan dengan perasaan. Aspek ini menyangkut

pengorganisasian suatu rangsang dimana rangsang yang diterima akan

dibedakan dan dikelompokkan ke dalam emosi seseorang, kemudian

rangsang itu akan masuk ke dalam emosi seseorang. Individu dalam

mempersepsikan keperawanan bisa berdasarkan pada emosi individu

tersebut. Hal ini karena adanya pendidikan moral dan etika yang

akhirnya melandasi individu dalam memandang makna keperawanan.

c. Aspek konasi,

Aspek konasi berhubungan dengan motif. Aspek ini menyangkut

pengorganisasian dan penafsiran suatu rangsang yang menyebabkan

individu dalam bersikap dan berperilaku sesuai dengan rangsang yang

ditafsirkan.

29
Suharnan (2005: 24) menerangkan tiga aspek dalam persepsi

keperawanan yang dianggap sangat relevan dalam kognisi manusia, yaitu :

a. Pencatatan indera, merupakan sistem ingatan yang dirancang untuk

menyimpan sebuah rekaman (record) mengenai informasi yang

diterima oleh sel-sel reseptor.

b. Pengenalan pola, merupakan proses transformasi dan

mengorganisasikan informasi yang masih kasar sehingga memiliki

makna atau arti tertentu.

c. Perhatian adalah proses konsentrasi pikiran atau pemusatan aktivitas

mental.

Sobur (2009: 473) menyatakan bahwa dalam proses persepsi

keperawanan terdapat beberapa aspek, antara lain :

a. Aspek Kognitif

Aspek kognitif yaitu pengetahuan atau informasi tentang objek

keperawanan yang dipersepsi dengan mengamati, melihat,

memperhatikan, menyangka, berpikir, mempertimbangkan dan menilai,

dan kemudian akan terbentuk suatu keyakinan tertentu tentang objek

keperawanan yang dipersepsi.

b. Aspek Afektif

Aspek afektif ini mencakup cara individu dalam merasakan,

mengekspresikan emosi terhadap stimulus berdasarkan nilai-nilai dalam

dirinya yang kemudian mempengaruhi persepsinya akan keperawanan.

30
c. Aspek Konasi

Aspek konasi merupakan kesiapan seseorang untuk berperilaku yang

berhubungan dengan cara memandang terhadap objek keperawanan

yang dipersepsi.

Berdasarkan uraian tersebut diketahui bahwa aspek-aspek persepsi

keperawanan adalah aspek kognitif, afektif dan konasi. Aspek kognitif

yaitu yang melibatkan cara berpikir, mengenali, memaknai suatu stimulus

tentang keperawanan yang diterima oleh panca indera, pengalaman atau

yang pernah dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Aspek kognitif

didasarkan atas konsep suatu informasi tentang keperawanan, aspek

kognitif ini juga didasarkan pada pengalaman pribadi dan apa yang

dipelajari. Aspek afektif yaitu perasaan senang dan tidak senang yang

merupakan reaksi terhadap stimulus yang mengenai subjek keperawanan

atau individu. Gambaran keadaan stimulus itu dapat menimbulkan

perasaan masing-masing individu. Aspek konasi yaitu perilaku atau

perbuatan yang tampak sebagai akibat persepsi individu terhadap objek

keperawanan yang dipersepsi.

C. Hubungan Antara Persepsi Keperawanan Terhadap

Perilaku Seks Bebas Pada Remaja

Secara teoritis masyarakat Indonesia masih menganggap

keperawanan sebagai suatu hal yang teramat penting, bahkan kerap

menghubungkannya dengan kerangka normatif dan moralitas. Kehilangan

keperawanan bagi perempuan yang belum bersuami sangat sulit diterima,

31
apapun alasannya. Terlebih, jika terjadi karena hubungan seks pranikah

(Damanik, 2006: 31).

Menurut Chaplin (2008: 530), virgin atau perawan diartikan

sebagai seorang perempuan yang tidak pernah atau belum pernah

melakukan hubungan seksual. Sedangkan perilaku seks bebas sendiri

memiliki arti segala tingkah laku remaja yang didorong oleh hasrat baik

dengan lawan jenis maupun sesama jenis yang dilakukan sebelum adanya

hubungan resmi sebagai suami istri (Soetjiningsih, 2004: 135-136).

Perilaku seksual merupakan perilaku yang didasari oleh dorongan

seksual atau kegiatan mendapatkan kesenangan organ seksual melalui

berbagai perilaku. Permasalahan seksual yang umum dihadapi remaja

adalah dorongan seksual yang sudah meningkat sementara secara normatif

remaja belum menikah, belum diijinkan untuk melakukan hubungan

seksual. Sementara itu, usia kematangan seksual remaja sudah makin

cepat (akibat perkembangan gizi), di lain pihak usia pernikahan malah

makin mundur (karena perubahan tuntutan sosial, kesadaran orang akan

pendidikan dan karir perkerjaan yang main tinggi) (dalam PKBI, 2005: 31)

Perilaku seks bebas yang dialami para perempuan pada masa

pacaran sebagian besar merugikan perempuan. Walaupun kadang diakhiri

dengan pernikahan, tetap saja pihak yang dirugikan adalah perempuan.

Jika seorang perempuan melakukan seks pranikah dengan pasangannya

semasa pacaran, resiko kehilangan keperawanan sudah pasti jadi taruhan.

Namun perempuan dihadapkan pada pilihan mengorbankan diri atau

32
kehilangan orang yang disayang. Kebanyakan memilih mengorbankan diri

Dari kondisi fisik, jelas perempuan yang dirugikan karena telah kehilangan

keperawanan. Padahal budaya patriarki mengkonstruksikan bahwa

perempuan haruslah perawan sebelum menikah (Shinta, 2009 : 79)

Fenomena perilaku seksual yang tidak sehat yang terjadi pada

remaja saat ini sangat mengkhawatirkan. Laporan Survei Demografi

Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 dan tahun 2012 menunjukkan

adanya penuruanan sikap remaja terhadap pentingnya menjaga

keperawanan sebesar 32% pada remaja laki-laki dan 22% pada remaja

perempuan. Selain itu, terjadi peningkatan perilaku beresiko, yaitu

perilaku berpegangan tangan pada remaja laki-laki dan perempuan

mengalami peningkatan sebesar 21,9% pada remaja laki-laki dan 4,8%

pada remaja perempuan. Kemudian, berciuman bibir meningkat pada

remaja laki-laki dan remaja perempuan masing-masing sebesar 24,9% dan

10,3%. Demikian juga dengan perilaku petting meningkat sebesar 15,5%

pada remaja laki-laki dan 12,6% pada remaja perempuan (Rusmiarti,

2015: 30).

Sebuah survei yang dilakukan atas kerja sama lembaga donor

internasional dan PKBI membuktikan bahwa 75% hubungan seks pranikah

terjadi secara tidak direncanakan dan sebagian besar di kalangan remaja.

Selama melakukan konseling terhadap remaja, Kisara (Kita Sayang

Remaja, kelompok relawan pemberi dampingan informasi dan konseling

remaja Denpasar) mencatat bahwa sebagian besar remaja yang

33
berkonsultasi mampu mengatasi dengan berkali-kali memberikan

pengertian kepada pacarnya. Akan tetapi, banyak yang tidak mampu

menolak karena takut ikatan percintaannya diputus. Jadilah remaja ini

sebagai pelaku seksual aktif karena telah berhubungan seks pranikah.

Ironisnya, ada juga yang patah hati dan ditinggalkan pacar setelah hamil.

Dari data kasus konseling telepon Kisara pada periode Januari

sampai April 2004 tercatat bahwa dari 39 kasus pacaran, sebanyak 51,3%

adalah kasus seksual aktif. Kasus kehamilan pranikah tercatat sebanyak

12,8%. Sisanya adalah kasus berpacaran yang diajak dan dipaksa

pasangannya berhubungan seksual, petting, dan fantasi seksual atau

masturbasi (Nyoman, 2005: 6).

Berdasarkan penelitian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa

perilaku seks bebas yang terjadi pada remaja dalam tahap yang

mengkhawatirkan. Sebanyak 51,3% dari remaja yang tercatat pada data

penelitian Kisara adalah para pelaku seksual aktif, periode Januari sampai

April 2004. Dengan adanya angka perilaku seks bebas yang tinggi, maka

menunjukkan bahwa remaja cenderung menanggapi bahwa perilaku seks

bebas adalah hal yang wajar terjadi. Meskipun secara normatif, remaja

yang belum menikah belum diijinkan untuk melakukan hubungan seksual.

Berhubungan seks bebas atau hubungan seks pranikah dikaitkan dengan

hilangnya keperawanan sebelum menikah. Kehilangan keperawanan pada

seorang perempuan yang belum menikah merupakan persoalan moral yang

dianggap tabu oleh masyarakat Indonesia. Adapun hasil penelitian

34
Rusmiati (2015: 31) menunjukkan adanya hubungan yang signifikan

antara perilaku seksual pranikah dengan sikap terhadap keperawanan pada

remaja. Dengan bahasan topik di atas, kumpulan data penelitian

menunjukkan bahwa perilaku seks pranikah yang tinggi terhadap persepsi

keperawanan pada remaja cenderung rendah. Dengan adanya persepsi

keperawanan yang positif, maka remaja akan cenderung dapat mengontrol

perilaku seks bebas atau perilaku seksual pranikahnya.

D. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini terdapat hubungan

negatif antara persepsi terhadap keperawanan dengan perilaku seks bebas

pada kalangan remaja. Semakin positif persepsi keperawanan, maka

semakin rendah perilaku seks bebas di kalangan remaja, dan sebaliknya.

35

Anda mungkin juga menyukai