Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KASUS

Pneumonia

Pembimbing :

dr. Dian Rahma , Sp.A

Disusun oleh :

Siti Azaniah Putri

2017730113

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SEKARWANGI, KAB.


SUKABUMI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan
kasus yang berjudul “Pneumonia” dengan baik dan tepat waktu. Presentasi
laporan kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan
pendidikan Kepaniteraan Klinis Stase Ilmu Kesehatan Anak di Rumah Sakit
Umum Daerah Sekarwangi, Kab. Sukabumi.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada dr. Deden


Tommy, Sp.A sebagai pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan
pikirannya untuk memberikan bimbingan, arahan, serta motivasi kepada penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada keluarga dan rekan-rekan sejawat
yang telah memberikan dukungan, saran, dan kritik yang membangun.
Keberhasilan penyusunan ini tidak akan tercapai tanpa adanya bantuan, dan
bimbingan dari berbagai pihak tersebut.

Wassalamu’alaikum wr.wb

Sukabumi, 19 September 2021

Siti Aaniah Putri

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................1
DAFTAR ISI..............................................................................................................................2
BAB I STATUS PASIEN..........................................................................................................3
1. Identitas Pasien..............................................................................................................3
2. Anamnesis......................................................................................................................3
3. Pemeriksaan Fisik.........................................................................................................7
4. Pemeriksaan Penunjang.............................................................................................11
6. Tata laksana.................................................................................................................13
7. Follow Up......................................................................................................................13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................................14
Definisi.................................................................................................................................14
Etiologi.................................................................................................................................14
Patogenesis...........................................................................................................................15
Manifestasi klinis.................................................................................................................17
Pemeriksaan Laboratorium..................................................................................................18
Tatalaksana...........................................................................................................................18
Prognosis..............................................................................................................................19
BAB III ANALISA KASUS....................................................................................................20
1. Dasar diagnosis.............................................................................................................20
2. Kesimpulan analisa kasus.............................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................23
BAB I
STATUS PASIEN

1. Identitas Pasien
 Nama : An. Razka
 Jenis Kelamin : Laki-laki
 Tanggal Lahir : 01 Agustus 2021
 No Rekam Medis : 675838
 Usia : 0 tahun 1 bulan 15 hari
 Alamat : Bojong Genteng, RT 03/01, Bojong Genteng,
Sukabumi, Jawa barat
 Agama : Islam
 Tanggal Masuk RS : 14/09/2021
 Tanggal Pemeriksaan : 17/07/2021

IDENTITAS ORANG TUA

Ibu
Nama : Devni
Usia : 46 tahun
Alamat : Bojong Genteng, RT 03/01,
Bojong Genteng, Sukabumi, Jawa barat
Agama : Islam
Suku : Sunda
Hubungan : Ibu kandung

2. Anamnesis
Alloanamnesis dengan ibu pasien pada tanggal 17 September 2021
serta mendapatkan data sekunder melalui data rekam medis RSUD
Sekarwangi.

Keluhan Utama
Batuk berdahak terus menerus sejak 1 minggu SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke klinik dokter anak pada 14 september 2021 dengan


keluhan batuk batuk dan demam sejak 3 hari yang lalu. Kemudian pasien
langsung dirujuk ke Poli Anak RSUD Sekarwangi. 3 hari sebelum berobat pasien
batuk terus menerus dengan dahak berwarna putih kental yang sulit keluar disertai
dengan sesak dan demam. Ibu pasien memberikan sirup paracetamol untuk
menurunkan demam, namun tidak kunjung membaik. Pasien masih mau minum
ASI dan susu formula. BAB dan BAK normal. Di keluarganya kakak pasien juga
pernah mengalami keluhan serupa namun sudah sembuh. Ibu pasien mengaku
bahwa ayah pasien merokok namun jika merokok di luar rumah.

Riwayat Penyakit Dahulu

Sebelumnya pasien belum pernah mengalami hal yang sama seperti saat
ini.

Riwayat Penyakit Keluarga / Orang Sekitar

Ibu pasien mengatakan bahwa di keluarga ada yang memiliki keluhan


batuk batuk yaitu kakak pasien, namun kini sudah sembuh.

Riwayat Pengobatan

Ibu pasien sudah mencoba menurunkan demam dengan paracetamol namun


tidak kunjung membaik. Akhirnya ibu pasien membawa pasien ke klinik dokter
anak dan saat pertama kali periksa, pasien langsung dirujuk ke poli anak RSUD
Sekarwangi

Riwayat Psikososial

Pasien tinggal dirumahnya berlima bersama Ayah, ibu, dan 2 kakak


kandung pasien. Ukuran rumah tidak diketahui. Lingkungan rumah pasien cukup
bersih. Rumah memiliki sirkulasi yang baik dengan jendela di setiap ruangan.
Cahaya matahari dapat masuk dari jendela rumah. Sebelum sakit pasien aktif dan
ceria.

Riwayat Alergi

Tidak ada riwayat alergi obat atau makanan.

Riwayat Kehamilan

Selama hamil, ibu mengaku rutin memeriksakan kandungannya setiap


bulan ke bidan. Dan diberikan vitamin dan tablet penambah darah oleh bidan.
Rutin diminum dan ibu tidak pernah demam, kejang, atau darah tinggi, kaki
bengkak, atau diabetes selama hamil. Ibu tidak merokok, minum alkohol, maupun
mengonsumsi NAPZA ketika mengandung. Namun pada saat hamil Hb ibu
rendah

Riwayat Persalinan

Anak Jenis Tahun Lahir secara Persalinan BBL


ke- Kelamin lahir dibantu oleh
3 Laki-laki 2021 Normal 39 Bidan 2600
mingggu gram
(Cukup
bulan)

Riwayat Kelahiran

Tempat Persalinan : Bidan

Cara persalinan : Normal spontan

Hambatan persalinan : Tidak ada

Masa gestasi : 39 minggu Cukup bulan

 Berat badan saat lahir 2600 gr


Bayi langsung menangis cukup kuat, gerakan aktif, dan tidak ada cacat.
Riwayat Imunisasi
Ibu pasien mengatakan bahwa anaknya baru mendapatkan imunisasi Hepatitis B.

Riwayat Makanan

Hingga saat ini pasien masih mau minum ASI dan susu formula. Anak
mendapatkan ASI sejak lahir sampai saat ini. Saat ini pasien belum pernah
diberikan makanan tambahan namun sering diberikan susu formula.

3. Pemeriksaan Fisik (17 September 2021)


 Keadaan umum : Tampak sakit sedang
 Tanda-tanda vital
o Laju deyut jantung : 140 kali/menit, regular
o Tekanan darah : Tidak dilakukan
o Laju pernapasan : 45 kali/menit
o Suhu : 37,30C
 Antropometri
BB : 3,7 kg

TB : 55 cm

Status Gizi
BB 3,7 3,7
IMT = = 2 =
=12 , 27 kg /m 2
TB2 0 ,55 0 ,3025

PB/U = 0 SD (Normal)

BB/U = Diatas -2 SD (Normal)

BB/PB = -3SD (Sangat Kurus)

IMT/U = -2 SD (Kurus)

KESAN : Gizi Normal berdasarkan PB/U dan BB/U, sangat kurus


berdasarkan BB/PB, dan kurus berdasarkan IMT/U

 Pemeriksaan Generalis
o Kepala : Normocefal, deformitas (-)
o Rambut : Hitam, tidak mudah rontok
o Mata : Sklera ikterik (-/-), konjungtiva anemis (+/+)
o Hidung : Epistaksis (-/-), secret (-), pernapasan cuping
hidung (+)
o Telinga : Deformitas (-/-), cairan (-/-)
o Mulut : Mukosa mulut kering, bibir sianosis (-), refleks
mengunyah (+)
o Leher : Pembesaran KGB (-)
o Paru
 Inspeksi : pengembangan paru berat dan tidak
simetris, ada penggunaan otot bantu napas (retraksi +)
 Perkusi : Tidak dilakukan
 Palpasi : Pemeriksaan vocal fremitus teraba sama
dikedua lapang paru
 Auskultasi : Rhonki (+/+)
o Jantung
– Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
– Palpasi : Iktus kordis teraba berdenyut pada ICS IV linea
midclavicularis sinistra.
– Perkusi : Tidak dilakukan
– Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur (-). Gallop (-)
o Abdomen
– Inspeksi : Datar, abdomen supel, lesi kulit (-)
– Auskultasi : bising usus (+)
– Perkusi : Timpani (+)
– Palpasi : Supel, tidak ada nyeri tekan, hepar tidak ada
pembesaran
o Ekstremitas
– Atas : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-/-)
– Bawah : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-/-)
o Kulit
Jaundice (-), sianosis (-)

Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan Refleks Primitif

1. Sucking :
2. Rooting :+
3. Moro : +
4. Refleks Palmar Grasp : +
5. Refleks Plantar Grasp : +
6. Refleks Snout : +
7. Refleks Tonic Neck : +
8. Refleks Terjun (Parachute) : +
9. Refleks Landau : -
Pemeriksaan Rangsang Meningeal

1. Kaku kuduk :-
2. Brudzinski I :-
3. Brudzinski II :-
4. Brudzinski III :-
5. Brudzinski IV :-
6. Kernig sign :-
Pemeriksaan Otonom : BAK (+) Keringat (+), BAB (+)

10. Pemeriksaan Penunjang


1) Pemeriksaan Laboratorium (14 September 2021)
Jenis Hasil Satuan Nilai Normal
Pemeriksaan
HB 7,5 Gr% 13-16
(Hemoglobin)
Jumlah Leukosit 18,700 /mm3 4.000-11.000
Trombosit 418,000 /mm3 150.000 – 400.000
Hitung Jenis
Leukosit/DIFF
Eosinofil 0
Basofil 0
Batang 0
Segmen 46
Limfosit 40
Monosit 12
Hematokrit/PVC 22 % 41 – 53
Imunologi SARS Negatif Negatif
CoV-2 Antigen

2) Pemeriksaan Laboratorium (16 September 2021)


HB 9,2 Gr% 13-16
(Hemoglobin)
Jumlah Leukosit 9,000 /mm3 4,000 – 11,000
Trombosit 278,000 /mm3 150,000 – 400,000
Hematokrit / 27 5 41 – 53
PVC

3) Pemeriksaan Rontgen Thorax (15 September 2021)


Hasil Expertise Trakea ditengah, kolom udara trakea tampak baik

Daerah mediastinum tidak melebar

Cor tidak membesar, CTR <50%, pinggang jantung normal, apex


pada diafragma

Sinus dan Diafragma mendatar

Pulmo :

Corakan paru bertambah disertai adanya hiperaerasi di kedua


lapang paru

Hili tidak melebar

Tampak perselubungan opak baru dengan air bronkogram (+)


dan infiltrate di paru kanan dan kiri
Kesan Sugestif Pneumonia bilateral

Emfisema pulmonum bilateral

Tidak tampak kardiomegali

Resume:

Pasien datang ke klinik dokter anak pada 14 september 2021 dengan


keluhan batuk batuk dan demam sejak 3 hari yang lalu. Kemudian pasien
langsung dirujuk ke Poli Anak RSUD Sekarwangi. 3 hari sebelum berobat pasien
batuk terus menerus dengan dahak berwarna putih kental yang sulit keluar disertai
dengan sesak dan demam. Ibu pasien memberikan sirup paracetamol untuk
menurunkan demam, namun tidak kunjung membaik. Pasien masih mau minum
ASI dan susu formula. BAB dan BAK normal. Di keluarganya kakak pasien juga
pernah mengalami keluhan serupa namun sudah sembuh. Ibu pasien mengaku
bahwa ayah pasien merokok namun jika merokok di luar rumah.

Pemerikssaan fisik didapatkan konjungtiva anemis, pernapasan cuping


hidung (+), retraksi dada (+), dan ronkhi (+). Gizi Normal berdasarkan PB/U dan
BB/U, sangat kurus berdasarkan BB/PB, dan kurus berdasarkan IMT/U.

11. Diagnosis

12. Tata laksana


• Kaen 3A 15 cc 1 jam
• Cefotaxim 4x300 mg IV
• Ampicillin 4x300 mg IV
• Dexametason 4x1,5 mg IV
• Ranitidin 2 x 8 mg PO
• Diazepam 0.3 mg IV jika kejang
• Piracetam 1 x 100 mg IV
• Paracetamol 4 x 80 mg bila suhu >38℃
13. Follow Up
06 Juli 2021
S O A P
Keluarga mengatakan Keadaan umum Hemiparesis Diazepam
pasien lemah tampak sakit sedang, sinistra ec suspek 0,3mg/KgBB jika
tertidur Kesadaran CM, meningitis kejang
Akral Hangat Nadi
Kuat angkat
07 Juli 2021
SS OO AA PP
Ibu pasien Keadaan umum Hemiparesis Rencana
sinistra ec suspek konfirmasi hasil
mengatakan keluhan sakit sedang,
meningitis CT Scan
masih sama seperti Kesadaran
kemarin dan ada somnolen, Akral
keluar lendir pekat Hangat
berwarna bening
Suhu 36,6 R
Tidak ada kejang 26x/mnt N
116x/mnt
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rectal di atas 38,5 C) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium.
Nilai ambang kejang antara suhu (38,8 - 441,4 C). Bila ada Riwayat kejang tanpa
demam sebelumnya maka tidak disebut sebagai kejang demam.

Biasanya terjadi pada anak berusia 6 bulan sampai dengan 5 tahun. Sedangkan
pada anak usia 1 – 6 bulan dapat mengalami kejang demam, namun jarang sekali.
Pada neonatus tidak termasuk dalam rekomendasi ini melainkan termasuk dalam
kejang demam neonatus.

Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures, kejang demam adalah


suatu kejadian pada bayi atau anak, biasanya terjadi antara umur 3 bulan sampai 5
tahun, berhubungan dengan demam tetapi tidak terbukti adanya infeksi
intracranial atau penyebab tertentu. Definisi ini menyingkirkan kejang yang
disebabkan penyakit saraf seperti meningitis, ensefalitis atau ensefalopati. Kejang
pada keadaan tersebut mempunyai prognosis berbeda dengan kejang demam
karena keadaan yang mendasari mengenai sistem saraf pusat.

Kejang demam diklasifikasikan menjadi 2 golongan, yaitu kejang demam


sederhana, yang berlangsung kurang dari 15 menit dan umum, dan kejang demam
kompleks, yang berlangsung lebih dari 15 menit, fokal atau multiple (lebih dari 1
kali kejang dalam 24 jam). Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam,
kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang
disertai demam pada bayi berusia kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam
kejang demam. Bila anak berusia kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun
mengalami kejang didahului demam, perlu dipikirkan kemungkinan lain misalnya
infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam.
Epidemiologi
Kejang demam terjadi pada 2%-4% dari populasi anak yang berusia 6 bulan
hingga 5 tahun. Kejang pertama terbanyak terjadi antara usia 17-23 bulan, dimana
anak laki-laki lebih sering mengalami kejang demam.
Studi populasi di Eropa dan Amerika melaporkan insiden kejang demam
sebesar 2-5% dari anak. Insiden di bagian lain dunia bervariasi, antara 5-10 %
(India), 8,8% (Jepang). Data dari negara-negara berkembang sangat terbatas,
frekuensinya mungkin didapatkan lebih tinggi di Asia. Sebanyak 2-5% anak-anak
yang berumur kurang dari 5 tahun pernah mengalami kejang disertai demam.
Puncak umur mulainya adalah sekitar 14-6 bulan. Sekitar 9-35% dari seluruh
kejang demam awal merupakan kejang demam kompleks.

Faktor Resiko
Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam. Faktor
yang memegang peranan penting dalam perlangsungan kejang demam adalah
faktor genetik. Pewarisannya autosomal dominan dengan minimal 3 lokus
abnormal yaitu pada kromosam 8q13-q21 (FEB1), 19p (FEB2) dan 5q14-q15
(FEB4). Kejang demam plus adalah kejang demam dengan riwayat epilepsi pada
keluarga. Pada bayi atau anak dengan kejang demam plus ini mempunyai resiko
paling besar untuk terjadinya kejang demam, kemudian diikuti kejang selanjutnya
tanpa demam. Kejadian kejang demam pada anak laki-laki lebih tinggi daripada
anak perempuan dengan rasio 1,5 : 1. Jumlah episode serangan pada anak dengan
riwayat epilepsi pada keluarga 6 kali lebih tingi daripada tanpa riwayat epilepsi.

Dari penjelasan diatas, faktor resiko untuk terjadi kejang demam yaitu:

Umur (terjadi antara umur 3 bulan dan 5 tahun)

 Keterlambatan perkembangan (contohnya cerebral palsy, retardasi mental)


 Riwayat kelainan kejang dalam keluarga
 Sering demam(disebabkan infeksi virus atau bakteri)
 Demam tinggi (diatas 38,8°C)
 Saat kehamilan, ibu pasien merokok dan pengguna alcohol
 Meningitis

Etiologi
Hingga kini belum diketahui dengan pasti. Demam sering disebabkan infeksi
saluran pernapasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan infeksi
saluran kemih. Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan
bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan
oleh infeksi di luar susunan saraf pusat, misalnya infeksi virus, tonsillitis, otitis
media akut, ISK, Gastrointeritis, ISPA, furunkulosis, meningitis, post imunisasi
dan lain-lain.

Patofisiologi
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak
diperlukan suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk
metabolisme otak yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi
dimana oksigen disediakan melalui fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak
melalui sistem kardiovaskuler. Melalui proses oksidasi glukosa dipecah menjadi
CO2 dan air.

Sel neuron dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan
dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal,
membran sel dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit
dilalui oleh ion (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion (Cl-). Akibatnya
konsentrasi ion K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi ion Na+ rendah,
sedangkan di luar sel neuron terjadi sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan
konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang
disebut sebagai potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan
potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K ATP-ase yang
terdapat di permukaan sel. Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah
oleh adanya perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselular, rangsangan yang
datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi, atau aliran listrik dari
sekitarnya, dan perubahan pathofisiologi dari membran sendiri karena penyakit
atau keturunan.

Demam adalah meningkatnya suhu tubuh diatas nilai normal (35,8-


37,2)0C dalam rentang waktu tertentu. Demam merupakan salah satu keluhan dan
gejala yang paling sering terjadi pada anak dengan penyebab berupa infeksi dan
non infeksi. Paling sering penyebabnya adalah infeksi.

Pada keadaan demam, kenaikan suhu 10 C akan mengakibatkan kenaikan


metabolism basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada
anak usia 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan
pada orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat
terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang
singkat terjadi difusi dari ion K+ maupun ion Na+ melalui membran tersebut,
dengan akibat akan terjadi lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian
besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke sel-sel tetangganya
melalui bantuan neurotransmitter dan terjadilah kejang.

Tiap anak memiliki ambang kejang yang berbeda tergantung dari ambang
kejang yang dimilikinya, seorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu
tertentu. Pada anak yang memiliki ambang kejang rendah, kejang dapat terjadi
pada suhu 38 C dan pada anak yang memiliki batas ambang kejang yang tinggi,
kejang baru terjadi pada suhu 40 C atau lebih.

Sedangkan terjadinya demam berasal dari adanya bahan-bahan pirogen.


Eksogenous pirogen berasal dari luar tubuh, contohnya bakteri, virus, jamur dan
toksin. Eksogenous pirogen ini bila masuk ke dalam tubuh akan merangsang
pembentukkan leukosit maupun sel phagosit (monosit, neutrofil, limfosit, sel glial
endothelium, sel mesangium mesenchymal) untuk memproduksi bahan-bahan
endogenous pirogen seperti IL-1, TNF. Endogenous pirogen diproduksi diluar
CNS (sirkulasi sistemik) akan membentuk prostaglandin E2, dimana
prostaglandin E2 ini akan menganggu fungsi thermoregulasi di hipothalamus.
Akibatnya akan terjadi peningkatan titik pusat suhu di hipothalamus dan bagian
perifer tubuh ikut merespon terjadinya peningkatan suhu tubuh.
Klasifikasi
Kejang demam menurut Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam IDAI
2006 memiliki 2 bentuk yakni kejang demam kejang demam sederhana dan
kejang demam komplek. 80% dari kasus kejang demam merupakan kejang
demam sederhana sedangkan 20% kasus adalah kejang demam komplek.
 Kejang Demam Sederhana
Kejang demam sederhana (Simple Febrile Seizure) memiliki
beberapa kriteria, yakni:
1. Kejang berlangsung singkat < 15 menit.
2. Kejang berhenti sendiri tanpa pengobatan.
3. Kejang bersifat umum tonik atau klonik tanpa gerakan umum.
4. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam.

 Kejang Demam Komplek


Kejang Demam Komplek (Complex Febrile Seizure) memiliki
salah satu ciri gejala klinis sebagai berikut:
1. Kejang berlangsung lama lebih dari 15 menit
2. Sifat kejang fokal atau parsial satu sisi atau kejang umum yang
didahului oleh suatu kejang parsial
3. Kejang berulang atau terjadi lebih dari 1 kali dalam 24 jam
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak
berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang
berlangsung lama, lebih dari 15 menit, biasanya disertai terjadinya apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet
yang pada akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnea, asidosis laktat
disebabkan oleh metabolism anaerobik, hipotensi arterial, disertai denyut
jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh yang makin meningkat
disebabkan oleh meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan
metabolisme otak meningkat. Rangkaian peristiwa diatas adalah penyebab
rusaknya neuron otak selama berlangsung kejang yang lama. Faktor
terpentiang adalah terjadinya gangguan peredaran darah yang
menyebabkan hipoksia sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler dan
timbulnya edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak.
Kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan
antomis di otak.

Manifestasi Klinis
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan
dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh proses
infeksi di luar susunan saraf pusat. Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam
pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dan dengan sifat bangkitan dapat
berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau akinetik. Umumnya kejang
berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk
sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak akan terbangun dan sadar
kembali tanpa adanya kelainan saraf.

Diagnosis
 Anamnesis
o Identitas.
Identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin, nama orang tua, alamat,
umur penndidikan dan pekerjaan orang tua, agama dan suku bangsa.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, epidemiologi kejang demam lebih
banyak terjadi pada anak laki-laki pada usia 6 bulan sampai dengan 5
tahun.
o Riwayat Penyakit.
Pada riwayat penyakit perlu ditanyakan keluhan utama dan riwayat
perjalanan penyakit. Pada kasus kejang demam, perlu digali informasi
mengenai demam dan kejang itu sendiri.
Pada setiap keluhan demam perlu ditanyakan berapa lama demam
berlangsung; karakteristik demam apakah timbul mendadak, remitten,
intermitten, kontinou, apakah terutama saat malam hari, dsb. Hal lain yang
menyertai demam juga perlu ditanyakan misalnya menggigil, kejang,
kesadaran menurun, merancau, mengigau, mencret, muntah, sesak nafas,
adanya manifestasi perdarahan, dll.
Pada anamnesis kejang perlu digali informasi mengenai kapan
kejang terjadi, apakah didahului adanya demam, berapa jarak antara
demam dengan onset kejang, apakah kejang ini baru pertama kalinya atau
sudah pernah sebelumnya (bila sudah pernah berapa kali (frekuensi per
tahun), saat anak umur berapa mulai muncul kejang pertama), apakah
terjadi kejang ulangan dalam 24 jam, berapa lama waktu sekali kejang.
Tipe kejang harus ditanyakan secara teliti apakah kejang bersifat klonik,
tonik, umum, atau fokal. Ditanyakan pula lamanya serangan kejang,
interval antara dua serangan, kesadaran pada saat kejang dan setelah
kejang. Gejala lain yang menyertai juga penting termasuk panas, muntah,
adanya kelumpuhan, penurunan kesadaran, dan apakah ada kemunduran
kepandaian anak. Pada kejang demam juga perlu dibedakan apakah
termasuk kejang demam sederhana atau kejang suatu epilepsi yang
dibangkitkan serangannya oleh demam
o Riwayat Kehamilan Ibu.
Perlu ditanyakan kesehatan ibu selama hamil, ada atau tidaknya
penyakit, serta upaya apa yang dilakukan untuk mengatasi penyakit.
Riwayat mengkonsumsi obat-obatan tertentu, merokok, minuman keras,
konsumsi makanan ibu selama hamil
o Riwayat Persalinan.
Dengan mengetahui informasi yang lengkap tentang keadaan ibu
saat hamil dan riwayat persalinan anak dapat disimpulkan beberapa hal
penting termasuk terdapatnya asfiksia, trauma lahir, infeksi intrapartum,
dll yang mungkin berhubungan dengan riwayat penyakit sekarang,
misalnya kejang demam.
o Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan.
Perlu digali bagaimana status pertumbuhan anak yang dapat
ditelaah dari kurva berat badan terhadap umur dan panjang badan terhadap
umur. Status perkembangan pasien perlu ditelaah secara rinci untuk
mengetahui ada tidaknya penyimpangan.
o Riwayat Imunisasi.
Apakah penderita mendapat imunisasi secara lengkap, rutin, sesuai
jadwal yang diberikan. Perlu juga ditanyakan adanya kejadian ikutan pasca
imunisasi.
o Riwayat Makanan.
Makanan dinilai dari segi kualitas dan kuantitasnya.
o Riwayat Penyakit Yang Pernah Diderita
Pada kejang demam perlu ditanyakan apakah sebelumnya pernah
mengalami kejang dengan atau tanpa demam, apakah pernah mengalami
penyakit saraf sebelumnya.
o Riwayat Keluarga
Biasanya didapatkan riwayat kejang demam pada keluarga lainnya
(ayah, ibu, atau saudara kandung), oleh sebab itu perlu ditanyakan riwayat
familial penderita.

 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dibagi menjadi 2 yakni pemeriksaan umum dan
pemeriksaan sistematis.
Penilaian keadaan umum pasien antara lain meliputi kesan
keadaan sakit pasien (tampak sakit ringan, sedang, atau berat), tanda tanda
vital pasien (kesadaran pasien, nadi, tekanan darah, pernafasan, dan
suhu tubuh), status gizi pasien, serta data antropometrik (panjang badan,
berat badan, lingkar kepala, lingkar dada).
Selanjutnya dilanjutkan dengan pemeriksaan sistematik organ dari
ujung rambut sampai ujung kuku untuk mengarahkan ke suatu diagnosis.
Pada pemerikasaan kasus kejang demam perlu diperiksa faktor faktor yang
berkaitan dengan terjadinya kejang dan demam itu sendiri. Pada
pemeriksaan fisik, pasien diukur suhunya baik aksila maupun rektal. Perlu
dicari adanya sumber terjadinya demam, apakah ada kecurigaan yang
mengarah pada infeksi baik virus, bakteri maupun jamur, ada tidaknya
fokus infeksi, atau adanya proses non infeksi seperti misalnya kelainan
darah yang biasanya ditandai dengan dengan pucat, panas, atau
perdarahan.
Pemeriksaaan kejang sendiri lebih diarahkan untuk membedakan
apakah kejang disebabkan oleh proses ekstra atau intrakranial, perlu
diamati teliti apakah kejang bersifat klonik, tonik, umum, atau fokal.
Amati pula kesadaran pasien pada saat dan setelah kejang. Perlu diperiksa
keadaan pupil, adanya tanda-tanda lateralisasi, rangsangan meningeal
(kaku kuduk, Kernig sign, Brudzinski I, II), adanya paresis, paralisis,
spastisitas, serta pemeriksaan reflek patologis dan fisiologis.

 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang tidak rutin dilakukan kecuali bila terdapat
indikasi. Pemeriksaan penunjang terdiri dari:
o Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan rutin tidak dianjurkan, kecuali untuk mengevaluasi
sumber infeksi/ mencari penyebab (darah tepi, elektrolit, dan gula darah).
o Pemeriksaan radiologi
Foto X-ray kepala dan neuropencitraan CT scan atau MRI tidak
rutin dan hanya dikerjakan atas indikasi seperti:
- Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
- Paresis nervus VI
- Papiledema

o Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS)


Tindakan pungsi lumbal untuk pemeriksaan CSS dilakukan
untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Pada
bayi kecil, klinis meningitis tidak jelas, maka tindakan pungsi lumbal
dikerjakan dengan ketentuan sebagai berikut:
- Bayi < 6 bulan : diharuskan
- Bayi antara 12-6 bulan : dianjurkan
- Bayi > 12 bulan : tidak rutin, kecuali bila ada tanda-tanda meningitis
Pemeriksaan lumbal pungsi dilakukan pada anak dengan
kejang demam pertama kali dengan umur dibawah 6 bulan karena
tidak tampaknya tanda meningeal pada umur dibawah 6 bulan,
sehingga sulit mendeteksi adanya meningitis maupun infeksi
intrakranial lain tanpa dilakukannya lumbal pungsi. Namun, jika yakin
bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan lumbal pungsi.
Indikasi pungsi lumbal :
- Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal
- Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan klinis
- Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam
yang sebelumnya telah mendapat antibiotik dan pemberian
antibiotic tersebut dapat mengaburkan tanda dan gejala
meningitis
o Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG tidak dapat memprediksi berulangnya kejang
atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien
kejang demam, oleh sebab itu tidak direkomendasikan, kecuali pada
kejang demam yang tidak khas (misalnya pada kejang demam
komplikata pada anak usia > 6 tahun atau kejang demam fokal).
Pemeriksaan EEG yang dibuat 8-10 hari setelah panas tidak
menunjukkan kelainan. Dan hanya sebanyak 5% dari anak normal
memiliki gambaran EEG yang abnormal. EEG abnormal juga tidak
dapat digunakan untuk menduga kemungkinan terjadinya epilepsi di
kemudian hari.

Diagnosis Banding
 Infeksi susunan saraf pusat dapat disingkirkan dengan pemeriksaan klinis
dan cairan cerebrospinal.
 Kejang demam yang berlangsung lama kadang diikuti hemiperesis
sehingga sukar dibedakan dengan kejang karena proses intrakranial.
 Sinkop juga dapat diprovokasi oleh demam, dan sukar dibedakan dengan
kejang demam.
 Meningitis, ensefalitis, anak dengan demam tinggi dapat mengalami
delirium, menggigil, pucat dan sianosis sehingga menyerupai kejang
demam.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan kejang demam meliputi 3 hal yang perlu dikerjakan yaitu


pengobatan fase akut, mencari dan mengobati penyebab, pengobatan profilaksis.

 Fase Akut
o Penanganan Kejang
Sering kali kejang berhenti sendiri. Pada waktu pasien sedang
kejang semua pakaian yang ketat dibuka, dan pasien dimiringkan
apabila muntah untuk mencegah aspirasi. Jalan nafas harus bebas agar
oksigenasi terjamin. Penghisapan lendir dilakukan secara teratur,
diberikan oksigen, intubasi jika diperlukan. Awasi TTV

Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat


untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara
intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/kali secara perlahan dengan
kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 2 menit dengan dosis
maksimal 20 mg. Obat yang praktis dan dapat diberikan kepada orang
tua atau di rumah adalah diazepam rektal dengan dosis 0,5 - 0,75
mg/kgBB/kali atau diazepam rektal 5 mg untuk anak berat badan di
bawah 10 kg dan 10 mg untuk anak dengan berat badan diatas 10 kg.
Atau diazepam rectal dengan dosis 5 mg untuk anak di bawah 3 tahun
atau dosis 7,5 mg untuk anak usia di atas 3 tahun.

Kejang yang tetap belum berhenti dengan diazepam rektal


dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval
waktu 5 menit. Bila 2 kali dengan diazepam rektal masih kejang,
dianjurkan orang tua untuk segera ke rumah sakit. Dan disini dapat
dimulai pemberian diazepam intravena dengan dosis 0,3 – 0,5
mg/kgBB/kali. Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenithoin
secara iv dengan loading dose 10-20 mg/kgbb/kali dengan kecepatan 1
mg/kgbb/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti,
selanjutnya diberikan dosis rumatan 4-8 mg/kgbb/hari (12 jam setelah
pemberian loading dose).

Pemakaian antikonvulsan diazepam oral dosis 0,3 mg/kgbb


setiap 8 jam pada saat demam menurunkan resiko berulangnya kejang.
Begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/kgbb setiap 8 jam
pada suhu > 38,5 C. Dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkan
ataksia, iritabel, dan sedasi yang cukup berat pada 25-39% kasus.
Fenobarbital, karbamazepin, dan fenitoin pada saat demam tidak
berguna untuk mencegah kejang demam.
o Menurunkan Demam
Antipiretik pada saat kejang dianjurkan walaupun tidak
ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko
terjadinya kejang demam. Obat-obat penurun panas yang dapat
digunakan adalah :

 Asetaminophen / parasetamol
Asetaminofen diindikasikan untuk anak yang berumur
diatas 2 bulan, jika suhu tubuh diatas 39 C atau jika anak terlihat
tidak nyaman. Namun beberapa referensi menyatakan bahwa
seringkali suhu saat panas tidak diketahui secara pasti, sehingga
penggunaan obat antipiretik bisa digunakan dengan melihat kondisi
anak (merasakan suhu anak dengan perabaan).
Dosis yang digunakan adalah 10-15 mg/kgbb/kali.10,12
Dapat diberikan tiap 4-6 jam dan akan menurunkan suhu 1-2 C
dalam waktu 2 jam. Pemberian asetaminofen sebaiknya dilakukan
30 menit sebelum dikompres, karena apabila kompres dilakukan
sebelum munculnya efek dari asetaminofen, akan berdampak
terhadap peningkatan suhu tubuh yang lebih tinggi lagi dan anak
akan menggigil.
 Ibuprofen Sirup
Ibuprofen sama halnya dengan asetaminofen, memiliki
kesamaan dalam keaamanan dan kemampuannya mengatasi
demam. Ibuprofen dapat diberikan dengan dosis 10 mg/kgbb/kali,
diberikan tiap 6-8 jam sekali.

 Mencari dan mengobati penyebab


Pemeriksaan rutin seperti elektrolit serum, glukosa, kalsium, dapat
dilakukan untuk menyingkirkan adanya gangguan elektrolit dan
metabolisme.Angka leukosit diatas 20.000/ul atau Shift to the left yang
extreme menandakan adanya bakteremia. Sodium serum terkadang
menunjukkan angka di bawah normal, tetapi tidak cukup rendah hingga
membutuhkan terapi ataupun dapat menyebabkan kejang. Pemeriksaan
cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama dan
berlangsung lama.

 Pengobatan Profilaksis
Pencegahan berulangnya kejang demam perlu dilakukan karena
jika sering berulang menyebabkan kerusakan otak yang menetap. Ada 2
cara profilaksis yaitu :
1. Profilaksis intermittent pada waktu demam

Pengobatan profilaksis sangat bermanfaat untuk mencegah kejang


demam berulang. Anti konvulsan hanya diberikan pada waktu pasien
demam, obat yang diberikan harus cepat diabsorbsi dan harus cepat masuk
ke otak. Diazepam intermittent memberikan hasil lebih baik karena
penyerapannya lebih cepat. Dapat digunakan diazepam intrarektal tiap 8
jam sebanyak 5 mg untuk pasien dengan berat badan kurang dari 10 kg
dan 10 mg untuk pasien dengan berat badan lebih dari 10 Kg, setiap pasien
menunjukkan suhu 38,5 C atau lebih. Diazepam dapat juga diberikan
secara oral dengan dosis 0,5 mg/KgBB/hari dibagi dalam 3 dosis pada
waktu pasien demam.

2. Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari

Pengobatan jangka panjang tidak dianjurkan pada kejang demam


sederhana, tetapi dapat diberikan pada kejang demam yang dengan
pengobatan profilaksis intermittent namun masih sering terjadi kejang
berulang. Obat-obat yang dapat digunakan untuk profilaksis jangka
panjang adalah :
a. Fenobarbital.

Fenobarbital merupakan senyawa organik pertama yang digunakan dalam


pengobatan antikonvulsi. Kerjanya membatasi penjalaran aktivitas
bangkitan dan menaikkan ambang rangsang. Fenobarbital masih
merupakan obat antikonvulsi pilihan karena cukup efektif dan murah.
Dosis efektifnya relatif rendah dan kadar stabil tercapai dalam 14-21 hari.
Pemberian fenobarbital : 4-8 mg/KgBB/hari dengan kadar darah sebesar
16 ug/ml dalam darah menunjukkan hasil yang bermakna untuk mencegah
berulangnya kejang demam. Namun beberapa sumber mengatakan bahwa
fenobarbital tidak lagi dianjurkan sebagai pengobatan jangka panjang
karena efek sampingnya yang tidak menyenangkan (perubahan watak
berupa iritabel, hiperaktif, pemarah dan agresif). Namun, efek samping
tersebut dapat diturunkan dengan menurunkan dosis fenobarbital.

b. Asam Valproat

Obat lain yang dapat digunakan untuk profilaksis kejang demam


adalah asam valproat. Kadar stabil tercapai dalam 4-7 hari. Dosis yang
digunakan adalah 15-40 mg/kgbb/hari diberikan selama 1 tahun. Valproat
telah terbukti keefektifannya terhadap epilepsi umum, tetapi bukan
merupakan obat terpilih karena efek toksisitasnya terhadap hati. Gangguan
pada hati berupa peninggian aktivitas enzim-enzim hati, dan sesekali
terjadi nekrosis hati yang sering berakibat fatal. Kira-kira 60 kasus
kematian telah dilaporkan akibat penggunaan obat ini. Kerugiannya yang
lain adalah obat ini lebih mahal dan lebih sulit didapat bila dibandingkan
dengan fenobarbital.

Consensus Statement di Amerika Serikat mengemukakan kriteria


yang dapat dipakai untuk pemberian pengobatan profilaksis terus-menerus
pada saat ini adalah :

o Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan


neurologis atau kelainan perkembangan neurologi (Cerebral Palsy,
retardasi mental, mikrosefali).
o Ada riwayat tanpa demam pada orang tua saudara kandung.
o Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti oleh
kelainan neurologis sementara atau menetap.
o Dapat dipertimbangkan pemberian profilaksis.
o Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam
o Kejang demam terjadi pada bayi kurang 12 bulan
o Kejang demam ≥ 4 kali per tahun
Antikonvulsan profilaksis terus menerus diberikan selama 1-2 tahun
setelah kejang terakhir, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2
bulan.

Komplikasi

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui seberapa besar


pengaruh kejang demam terhadap terjadinya kerusakan otak. Ada penelitian yang
membuktikan bahwa kejang demam tidak dapat berakibat buruk maupun
sebaliknya. Pada penelitian yang dilakukan oleh The National Collaborative
Perinatal Project di Amerika Serikat, dimana penelitian dilakukan terhadap 1706
anak paska kejang demam, dan diikuti perkembangannya sampai usia 7 tahun,
hasilnya tidak didapatkan kematian sebagai akibat dari kejang demam. Sementara
The National Child Development Study di Inggris, menyatakan bahwa anak yang
pernah mengalami kejang demam, kinerjanya tidak berbeda dengan populasi
umum waktu di tes pada usia 7 dan 11 tahun. Menurut Verity dkk, yang mengikuti
303 anak dengan kejang demam sampai usia 5 tahun, dengan hasil tidak ada
perbedaan dalam dalam bidang intelegensia, ukuran kepala maupun tingkah laku
pada anak dengan kejang demam maupun pada anak tanpa kejang demam.

Ada pula penelitian yang mendapatkan hasil akhir yakni kejang demam
dapat berakibat buruk, misalnya penelitian yang dilakukan oleh Aicardi dan
Chevrie. Mereka meneliti 402 anak dengan kejang demam, sebanyak 131 anak
mendapatkan 1/lebih sekuele, yaitu 141 menderita epilepsi, 54 retardasi mental,
37 anak menderita kelainan neurologis lain (misal hemiplegia).
Prognosis

Sampai saat ini belum tuntas masalah apakah kejang demam sendiri
dapat merusak otak atau tidak. Didapat kesan bahwa kejang demam yang
singkat umumnya benigna dan kejang demam yang lama mungkin dapat
mengakibatkan kerusakan pada otak. Mortalitas pada kejang demam sangat
rendah yakni sebesar 0,64-0,74%. Namun, apabila tidak diterapi dengan
baik, kejang demam dapat berkembang menjadi:

a. Kejang demam berulang

Kejang demam akan terjadi kembali pada sebagian kasus. Faktor


resiko terjadinya kejang demam berulang antara lain:

 Riwayat kejang demam dalam keluarga


 Usia kurang dari 15 bulan
 Temperatur yang rendah saat kejang
 Cepatnya kejang saat demam
Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulang 80% sedangkan bila
tidak terdapat faktor tersebut hanya 10% - 15% kemungkinan berulang.
Kemungkinan berulang adalah pada tahun pertama.

b. Epilepsi

Faktor resiko lain adalah terjadinya epilepsi di kemudian hari. Faktor

resiko menjadi epilepsi antara lain:

 Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang


 demam pertama
 Kejang demam kompleks
 Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung
 Kejang demam sederhana yang berulang 4 episode atau lebih dalam satu
tahun
Masing-masing faktor resiko meningkatkan kemungkinan kejadian
epilepsi sampai 4-6%. Kombinasi dari faktor resiko tersebut meningkatkan
kemungkinan epilepsi 10-49%.

BAB III
ANALISA KASUS

1. Dasar diagnosis
Anamnesis
Teori Temuan pada pasien
 Infark vena dan arteri yang luas Pasien mengalami
akan menyebabkan kelemahan sisi kiri ± 2 minggu
hemiparesis, dekortikasi atau yang lalu. Sejak tadi malam pasien
deserebrasi, buta kortikal, mengalami kejang lebih dari 5 kali,
kejang dan koma. Trombosis pada jam 17.55 pasien kembali
vena kecil di korteks akan kejang dengan durasi ± 5 menit
menimbulkan nekrosis iskemik setiap serangan. Ketika serangan ,
korteks serebri. Kerusakan ekstremitas pasien fleksi dan
korteks serebri akibat oklusi seluruh tubuh menjadi kaku.
pembuluh darah atau karena Pada saat kejang pasien mengalami
hipoksia, invasi kuman akan penurunan kesadaran.
mengakibatkan penurunan
kesadaran, kejang fokal dan
dan gangguan fungsi motoric
berupa paresis yang sering
timbul pada hari ke 3-4 dan
jarang timbul setelah minggu I-
II
Pemeriksaan fisik
Teori Temuan pada pasien
 Peradangan selaput otak akan KU : Tampak sakit sedang
menimbulkan rangsangan pada Kesadaran : Compos mentis
saraf sensoris akibatnya Tanda-tanda vital :
terjadinya refleks kontraksi  Laju deyut jantung: 134
otot-otot tertentu untuk kali/menit
mengurangi rasa sakit, sehngga  Tekanan darah: Tidak
timbul tanda Kernig dan dilakukan
Brudzinski serta kaku kuduk.  Laju pernapasan: 30
 Kelainan saraf otak disebabkan kali/menit
oleh inflamasi local pada  Suhu: 36,80C
perineurium, juga karena Mata : SI -/-, Cekung -/-, Nistagmus
terganggunya suplai vaskluer +
ke saraf. Saraf-saraf yang Telinga : normotia (-/-), serumen
paling sering terkena yaitu (-/-)
saraf kranial VI,VII dan IV. Hidung : napas cuping hidung (-),
Trombosis vaskuler dapat darah (-), sekret (-)
menyebabkan kejang dan Mulut : mukosa bibir kering, Leher :
hemiparesis pembengkakkan KGB (-)
Paru : retraksi otot pernapasan (-),
nyeri tekan (-), suara napas
bronkvesikuler kuat reguler (+/+),
Pada pemeriksaan kekuatan otot
mengalami kelemahan sisi kiri
Pemeriksaan penunjang
Teori Temuan pada pasien
 Pemeriksaan hematologi Pemeriksaan hematologi
biasanya menunjukan  Hb : 11,2 Gr%
leukositosis.  Jumlah leukosit : 17.210/mm3
 PMN akan digantikan dengan  Trombosit : 485,000/mm3
sel limfosit, monositdan  Hitung jumlah leukosit :
histosit yang jumlahnya akan ditemukan leukosit segmen (46)
bertambah banyak. dan limfosit (41)
 Hematokrit : 33%
 Natrium: 138 mmol/L
 Kalium: 3.9 mmol/L

Terapi
Teori Pemberian pada pasien
Bila anak masuk dalam status • Kaen 3A 15 cc 1 jam
konvulsivus berikan diazepam 0,2-0,5 • Cefotaxim 4x300 mg IV
mg/KgBB IV. Kortikosteroid terbukti • Ampicillin 4x300 mg IV
dapat mengurangi kecacatan • Dexametason 4x1,5 mg IV
neurologis seperti paresis dan tuli, • Ranitidin 2 x 8 mg PO
diberikan 15-20 menit sebelum • Diazepam 1.2 mg IV jika
pemberian antibiotic. Dexametason kejang
0,6 mg/kgBB/hari selama 4 hari. • Piracetam 1 x 100 mg IV
Antibiotic digunakan ampisilin 200- • Paracetamol 4 x 80 mg bila
300 mg/KgBB/hari dibagi dalam 6 suhu >38℃
dosis, Kloramfenikol • Cek elektrolit
100mg/KgBB/hari dibagi menjadi 4
dosis
2. Kesimpulan analisa kasus
Berdasarkan keluhan pasien yaitu hemiparesis sinistra sejak ± 2 minggu
yang lalu Sejak 1 hari yang lalu pasien mengalami kejang, kejang berlangsung
selama 5 menit dan kejang terjadi lebih dari 5 kali. Sifat kejang fokal disertai
dengan penurunan kesadaran. Kejang terjadi setelah pasien di rawat di rumah
sakit. Gambaran kejang pasien berupa fleksi seluruh ekstremitas dan kaku
seluruh badan. . Hal ini sesuai dengan patomekanisme meningitis bacterial
yaitu hemiparesis pasien disebabkan oleh kerusakan korteks serebri yang
diakibatkan karena adanya oklusi pembuluh darah akibat thrombosis yang
berasal dari infiltrasi sel neutrophil. Selain itu gangguan vaskuler di pembuluh
darah otak mengakibatkan infark serebri sehingga menimbulkan kejang yang
disertai dengan penurunan kesadaran yang dialami oleh pasien. Ibu pasien
menyebutkan bahwa pasien sudah 4 kali diimunisasi sehingga kemungkinan
pasien belum di mendapatkan imunisasi HiB yang meningkatkan faktor resiko
pasien terkena meningitis bacterial yang disebabkan oleh Haemophilus
influenza . Ibu pasien mengatakan saat ini leher pasien kaku yang menandakan
adanya peradangan selaput otak sehingga ketika ada rangsangan pada saraf
sensoris akibatnya terjadinya refleks kontraksi otot-otot tertentu untuk
mengurangi rasa sakit. Pemeriksaan penunjang menunjukan peningkatan
kadar leukositosis, terdapat leukosit segmen dan limfosit, dan penurunan
kadar hematokrit.
DAFTAR PUSTAKA

1. Marcdante, Karen J dkk, (2011) Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial.


Saunders Elsevier

2. Soetomenggolo (2000). Buku Ajar Neurologi Anak . BP IDAI.

Anda mungkin juga menyukai