Anda di halaman 1dari 17

Nama : Sunardi

NIM : 2019.C.11a.1029

Prodi : S1 Keperawatan Tkt 2A

MK : Maternitas II

Dosen : Angga Arsesiana, SST.,M.Keb

Resume : Radioterapi, Kemoterapi, dan Pemeriksaan Reflek

1. Radioterapi

A. Pengertian Radioterapi

Terapi Radiasi atau iebih dikenal istilah Radioterapi adatah pengobatan yang
terutama ditujukan untuk keganasan dengan menggunakan sinar pengion. Meskipun
demikian, ada beberapa bentuk penyakit yang bukan keganasan yang kadang diterapi dengan
radioterapi ini, contohnya pengobatan ketoid, Grave's disease, Radikastrasi, dll, demikian
pula kadang-kadang digunakan bukan sinar pengion, contohnya adalah gefombang panas
(hyperthermia} yang digunakan secara bersama-sama untuk mendapatkan respon radiasi
yang lebih baik untuk tumor-tumor tertentu.

B. Sejarah Perkembangan Radioterapi

Terapi radiasi ini lelah dilakukan tidak lama setelah Rontgen menemukan sinar X
pada Nopember 1895 iebih dari 1 abad yang lalu. Tidak lama kemudian Curie menemukan
suatu zat radioaktif vaitu Radium pada tahun 1898 yang kemudian dipergunakan sebagai
bentuk terapi radiasi dan menjadi petopor brachytherapy. Sejalan dengan penemuan-
penemuan tersebut, berkembang pula pengetahuan di bidang Radiofisika dan Radiobtologi,
yang menjadi dasar pengetahuan dan penerapan dalam bidang ilmu Radioterapi.
Perkembangan selanjutnya adalah berkembang pula cabang i!mu yang mempelajan
keganasan yang disebut Onkologi pada berbagai cabang ilmu yang lain antara lain, Onkologi
Dasar, Histopatologi Onkologi, Onkoiogi Medfk, Onkologi Bedah, Onkologi Ginekologi,
Onkologi Radiasi, dtl; yang mempelajan secara mendalam mengenai keganasan.
Perkembangan radioterapi juga ditentukan dengan diciptakannya aiat-alat canggih
berupa pesawat radiasi eksternaf, brakiterapi. Treatment Planning System, Simulator, CT
Scan Simulator, yang keseluruhannya telah terkomputerisasi. Sejalan dengan itu juga
dikembangkan teknik-teknik radiasi, sehingga radiasi dapat diberikan dengan akurat dan
aman, Oleh karena itu pendekatan penanganan keganasan saat ini, baik untuk Diagnostik
maupun untuk Terapi adalah pendekatan Multi Disiplin, sehingga pasien tidak ditangani
secara sendiri-sendiri di tiap disiplinilmu. Onkologi Radiasi sendtri adalah cabang ilmu klinik
yang mengobati kanker dan penyakit lain dengan sinar pengion, baik radioterapi saja maupun
kombinasi dengan bentuk pengobatan lain, mengadakan penelitian di bidang fisika radiasi
dan radiobiologidan pendidikan di bidang profesi. Radiation therapy adalah cabang ifmu
yang hanya mengobati pasien dengan keganasan dan bukan keganasan dengan sinar pengion.

C.Tujuan Terapi Radiasi/Radioterapi

Tujuan radiasi secara umum terbagi dua yaitu:

1. Radioterapi Definitif
2. Radioterapi Paliatif

Radioterapi Definitif adatah bentuk pengobatan yang ditujukan untuk kemungkinan


survive setelah pengobatan yang adekuat, bahkan juga bila kemungkinan survive itu rendah,
contoh pada tumor-tumor dengan T4 pada tumor kepala dan leher, pada pasien kanker paru
dan kanker serviks stadium F!GO Ml b atau bahkan IVa,
Radioterapi Paliatif adalah bentuk pengobatan dimana tidak ada lagi harapan untuk hidup
pasien untuk jangka panjang. Keluhan dan gejala yang dirasakan oleh pasien yang harus
dihitangkan merupakan bentuk pengobatanyangdiberikan. Tujuan pengobatan paliatif dengan
demikian untuk menjaga kualitas hidup pasien di sisa hidupnya dengan menghilangkan
keiuhan dan gejala, sehingga pasien hidup dengan lebih nyaman.

Kombinasi pemberian radioterapi juga dapat berbentuk:

1. Radioterapi saja
2. Radiasi preoperasi
3. Radiasi postoperasi
4. Kombinasi Kemoradiasi
5. Radiasi intra/perioperative

Radioterapi saja adalah bentuk pengobatan dengan radiasi saja sejak dari awal sampai
akhir.

Pada pelaksanaannya teknik   radiasi   menggabuhgkan   berfaagai  teknik  radiasi


dengan tujuan untuk menjaga jaringan sehat dari efek buruk radiasi. Radiasi preoperasi
adalah bentuk pengobatan radiasi yang mendahului tindakan operasi, tujuan utama adalah
untuk meningkatkan resektabilitas dari tumor, oleh karena dengan radiasi tumor akan
mengecil, batas-batas menjadi jelas dan tegas sehingga operasi lebih mudah dilakukan, tujuan
kedua adalah untuk mengurangi kemungkinan metastase jauh akibat tindakan operasi, oleh
karena set-sel yang terkena radiasi sudah tidak mempunyai kemampuan untuk htdup di
tempat lain, bila sel ini terlepas dan masuk pembuluh darah pada saat tindakan operasi.
Radiasi postoperasi adalah pengobatan adjuvant yang dilakukan setelah tindakan operasi.
Radiasi ditakukan dengan tujuan untuk mencegah timbulnya kekambuhan lokal yang
disebabkan oleh adanya resiko terjadinya kambuh iokal berupa:

1. Adanya residu tumor setelah operasi, baik gross residu. mikroskopik residu, tepi
sayatan tidak bebas tumor, kelenjar getah benlng regional yang positif mengandung anak
sebar tumor, secarta histologi berdiferensiasi buruk, atau bentuk histologi yang angka
kekambuhannya tinggi, contoh adenokarsinoma atau adenoskuamosa.
2. Tumor-tumor yang kemungkinankambuh sangat tinggi. Kemoradiasi adalah bentuk
pengobatan kombinasi antara radiasi dengan kemoterapi dengan tujuan untuk meninggikan
respon radiasi. Kemoterapi disini bersifat sebagai radiosensitiser. Kemoradiasi dapat
berbentuk neoadjuvant sebelum tindakan operasi, ataupun dapat berdiri sendiri tanpa
operasi.

Radiasi intra/peri operatif dilakukan pada saat operasi sebelum luka operasi
ditutup.Tekniknya dapat berupa:

1. Kontak radioterapi dengan menggunakan sinar elektron.


2. Brachyterapi.
Kegagalan radioterapi untuk mengeliminasi tumor dapat disebabkan beberapa hal:

1. Bila ukuran tumor terlalu besar


2. Bila volume radiasi tidakadekwat
3. Bila tumorada daiam keadaan hypoxic
4. Bila tumor dalam siklus sel yang tidak berespon terhadap radiasi 5. Dosis total yang
harus diberikan tidak sesuai oleh karena dibatasiolehjaringansehatsekitar tumor

D. Penatalaksanaan Radioterapi

Untuk menguraikan penatalaksanaan radioterapi harus dilihat kasus per kasus.


Apakah penatalaksanaan radioterapi dengan kasus kanker cerviks, payudara, nasofaring dll.
Tetapi untuk lebih singkatnya saya jelaskan penatalaksaan secara global.
Mungkin diantara kita ada yang pernah berinteraksi dengan radioterapi, apakah sekedar
mengantar pasien, keluarga atau hanya sekedar mendengar saja mengapa proses radioterapi
memerlukan waktu yang panjang. Bisa dua.tiga bahkan empat faulan baru selesai menjalani
radioterapi.

Pasien yang akan menjalani radioterapi harus melengkapi data-data pendukung. Data
pendukung tersebut berupa hasil pemeriksaan Patologi Anatomi(PA) untuk memastikan
bahwa si pasien benar-benar terkena penyakit kanker. Di samping itu hasil PA juga berfungsi
untuk menentukan stadium penyakit. Dengan mengetahui stadium, dokter akan mudah
menentukan dosis maupun treatment yang akan dijalani pasien. Data pendukung latnnya
adalah kadar Haemoglobin (HB) pasien. Kadar HB menunjukkan respon tidaknya sel kanker
terhadap radiasi. Pasien dengan kadar Hb dibawah 10, se! kankernya kurang respon terhadap
radiasi, sehingga apafaila radiasi diberikan kurang efektif. Agar se! kanker respon terhadap
radiasi kadar HB harus diatas 10.

Foto Rontgen Thorax dan CT Scann juga dibutuhkan untuk mengetahui ada tidaknya
metastase. Kadang juga dibutuhkan Foto Rontgen Bone survey dan USG.
Untuk melengkapi data-data pendukung tersebut biasanya pasien memerlukan tidak cukup
dijalani satu hart jadi, tetapi butuh beberapa hari. Setelah data-data pendukung lengkap
pasien diinstruksikan untuk menjali simulasi di ruang simulator, karena daya tampung
peralatan kita sangat terbatas, maka untuk menjalani simulasi pasien harus mengantri,
sehingga diperlukan penjadwalan. Biasanya selang antara instruksi simulasi dari dokter
dengan pelaksaanaan simulasi sekitar satu minggu. Hasil simulasi diverifikasi didalam
Treatment Planning System (TPS) kurang lebih memakan waktu dua sampai tiga hart.
Apabila hasil olahan TPS sudah cukup, maka pasien baru bisa menjalani penyinaran Cobalt-
60, tetapi apabila belum cukup karena adanya modivikasi-modivikasi, maka perlu dilakukan
verifikasi dengan simulator lag). Setelah diverifikasi baru pasien siap di sinar dengan cobalt-
60. Waktu yang dibutuhkan dalam penyinaran cobalt-60 bisanya antara 5-6 minggu ini
terkandung dosis yang diberikan dan teknik yang dipergunakan.

2. Kemoterapi

Kemoterapi adalah salah satu prosedur pengobatan dengan menggunakan bahan


kimia yang sangat kuat untuk menghentikan atau menghambat pertumbuhan sel kanker dalam
tubuh. Selain penyakit kanker, kemoterapi juga digunakan untuk pengobatan penyakit
sumsum tulang dan gangguan sistem imunitas tubuh,  seperti lupus atau rheumatoid arthritis.

Kemoterapi dapat dipadukan dengan metode pengobatan, seperti terapi hormon, operasi, serta
radioterapi. Pelaksanaan prosedur ini bisa dilakukan di rumah dengan mengonsumsi obat
kemoterapi oral atau melalui infus yang dilakukan di rumah sakit dengan pengawasan dokter.
Pilihan ini ditentukan berdasarkan jenis kanker, stadiumnya, serta kondisi kesehatan pasien.

Waktu pelaksanaan kemoterapi biasanya dapat berlangsung selama beberapa bulan yang
terbagi dalam beberapa sesi. Prosedur ini adalah pengobatan sistemik yang berpengaruh pada
seluruh tubuh, sehingga dapat menimbulkan berbagai efek samping yang dirasakan pasien
pasca terapi.

A. Indikasi Kemoterapi

Pelaksanaan kemoterapi menjadi metode pengobatan utama kanker yang dianjurkan oleh


dokter karena bertujuan untuk:

 Menghambat penyebaran kanker.


 Menyembuhkan kanker secara keseluruhan. Kemoterapi ini juga digunakan pasca
prosedur operasi guna membunuh sel kanker yang masih tersisa dalam tubuh.
 Meningkatkan keberhasilan metode pengobatan lain, praoperasi atau kemoterapi
yang dikombinasikan dengan radioterapi.
 Meringankan gejala yang diderita.

B. Peringatan Kemoterapi

Prosedur kemoterapi merupakan pengobatan yang dilakukan untuk kondisi yang


serius. Oleh karena itu, perencanaan secara matang dibutuhkan dari pasien dan tim dokter
pelaksana. Perencanaan tersebut menyangkut pertimbangan jenis kemoterapi yang akan
dijalankan, efek samping yang akan muncul, serta tingkat keberhasilan kemoterapi.

Perencanaan kemoterapi dapat dilakukan setelah pasien menjalani serangkaian tes


(misalnya pemeriksaan darah, pemindaian, atau foto Rontgen) guna mengetahui kondisi
kesehatan pasien, apakah cukup kuat untuk menjalani kemoterapi atau tidak. Pemeriksaan
infeksi pada gigi juga dibutuhkan karena infeksi gigi berisiko menyebar akibat efek
kemoterapi pada tubuh.

Setelah mengetahui kondisi pasien, tim dokter dapat menetapkan jenis dan jangka
waktu pelaksanaan kemoterapi. Kemoterapi biasanya diberikan dalam hitungan siklus, yang
terdiri dari masa kemoterapi ditambah dengan masa istirahat. Contohnya, kemoterapi selama
1 minggu lalu diikuti periode istirahat selama 3 minggu. Pelaksanaan kemoterapi umumnya
memakan waktu beberapa bulan yang terdiri dari beberapa siklus.

Salah satu yang perlu diingat adalah kemoterapi tidak dianjurkan untuk wanita hamil
karena dapat menyebabkab bayi atau janin menjadi cacat. Bagi yang akan menjalani
kemoterapi, diharapkan menggunakan kontrasepsi selama kemoterapi agar tidak
terjadi kehamilan. Peringatan yang sama juga diberikan bagi pasien yang mengonsumsi obat-
obatan lain, termasuk obat herbal. Reaksi obat-obatan tersebut terhadap obat kemoterapi tidak
dapat diperkirakan. Obat-obatan yang biasanya diberikan dalam  kemoterapi meliputi obat
yang dapat menghalangi pembelahan sel (alkylating agent), obat yang dapat menghambat
pembentukan RNA dan DNA (antimetabolit), serta antibiotik antitumor yang mengubah
DNA dalam sel kanker.   

C. Sebelum Kemoterapi
Persiapan sebelum kemoterapi dilakukan untuk mengantisipasi efek yang
ditimbulkan pasca terapi. Sebagian orang merasa lemas dan lelah setelah kemoterapi, oleh
karena itu, sebaiknya minta bantuan orang lain untuk mengantar dan menemani
saat pelaksaaan kemoterapi. Selain itu, pasien membutuhkan membutuhkan waktu istirahat
yang cukup pasca kemoterapi. Oleh karena itu, diperlukan bantuan dalam melakukan
pekerjaan di rumah atau mengurus anak, setidaknya selama satu hari setelah kemoterapi.

Meski banyak pasien kemoterapi dapat tetap bekerja selama menjalani prosedur ini,
sebaiknya jam kerja disesuaikan dengan kondisi fisik. Pengaturan jam kerja yang sesuai
dengan beban kerja yang lebih ringan perlu dilakukan dalam rangka mengantisipasi efek
pasca kemoterapi. Bicarakan dan rencanakanlah segala sesuatunya dengan dokter,
keluarga. atau sahabat yang dapat memberi dukungan selama proses terapi.

D. Prosedur Kemoterapi

Umumnya kemoterapi di rumah sakit diberikan intravena yaitu melalui infus, kendati
terkadang kemoterapi juga bisa dilakukan melalui oral dalam bentuk tablet.

Pada prosedur kemoterapi intravena, obat disalurkan dari sekantong cairan obat yang
disambungkan dengan selang menuju salah satu pembuluh vena. Penyaluran cairan obat
tersebut dapat dilakukan melalui selang PICC (peripherally inserted central catheter) yang
terpasang di dalam vena lengan pasien selama beberapa minggu atau bulan. Selang tersebut
disambungkan pada sebuah pompa untuk mengatur jumlah obat dan kecepatan penyaluran
obat.

Serupa dengan kinerja selang PICC, penyaluran obat kemoterapi juga bisa dilakukan
dengan sebuah selang yang dimasukkan ke dalam dada dan disambungkan ke salah satu vena
dekat jantung (central line). Selain itu, penyaluran obat juga dapat dilakukan melalui
selang cannula yang dipasang sementara untuk jangka pendek di dalam vena pada punggung
tangan atau lengan bawah. Bisa juga melalui implanted port, yaitu sebuah alat kecil yang
ditanam di bawah kulit selama periode terapi. Untuk menyalurkan cairan obat, digunakan
jarum yang ditusukkan ke alat tersebut dengan menembus kulit.
Di samping intravena, kemoterapi bisa dilakukan melalui arteri di sekitar lokasi
kanker (intra-arterial). Sedangkan untuk kanker pada organ seperti usus, lambung, hati,
indung telur, dilakukan kemoterapi pada rongga perut (intraperitoneal chemotherapy).

Kemoterapi juga dapat dilaksanakan melalui penyuntikan obat, meskipun ini jarang
dilakukan. Beberapa di antaranya adalah melalui penyuntikan ke bawah permukaan
kulit (subcutaneous chemotherapy), penyuntikan  ke dalamotot 
(intramuscular chemotherapy),  atau penyuntikan langsung ke tulang belakang  (intrathecal
chemotherapy). Sedangkan untuk kasus kanker kulit, kemoterapi yang diberikan umumnya
adalah dalam bentuk krim.

E. Sesudah Kemoterapi

Usai pelaksanaan kemoterapi, kondisi fisik pasien akan senantiasa dipantau oleh tim
dokter untuk mengetahui tingkat keberhasilannya. Pemantauan atau monitoring tersebut bisa
berupa pemeriksaan darah dan pemindaian tubuh secara teratur. Selain itu, dokter juga akan
memantau bagaimana efek samping yang ditimbulkan pasca prosedur kemoterapi. Dengan
demikian, tim dokter dapat melakukan penyesuaian terhadap pelaksanaan kemoterapi.

F. Efek Samping Kemoterapi

Kemoterapi dapat menimbulkan efek yang tidak menyenangkan bagi tubuh. Selain
membunuh sel kanker, kemoterapi juga dapat merusak sel lain dalam tubuh, seperti sel
rambut, kulit, serta lapisan dalam saluran pencernaan. Namun tidak semua pasien
akan mengalami efek samping kemoterapi. Beberapa efek samping yang biasanya dialami
pasca prosedur adalah:

 Mual.
 Muntah.
 Badan terasa lelah atau lemah.
 Rambut rontok.
 Infeksi.
 Anemia.
 Selera makan berkurang.
 Perubahan pada kulit dan kuku.
 Demam.
 Sariawan atau luka dalam mulut.
 Sembelit.
 Diare.
 Gangguan konsentrasi dan ingatan.

Terdapat juga sejumlah efek samping yang biasanya baru dirasakan setelah beberapa
bulan atau tahun pasca kemoterapi dijalani. Efek samping tersebut antara lain adalah  risiko
kanker sekunder, masalah pada jantung, kerusakan jaringan paru-paru, gangguan pada ginjal,
dan gangguan saraf tepi (neuropati perifer).

Banyak efek samping pasca kemoterapi yang dapat dicegah dan diobati. Sebagian besar efek
samping tersebut akan hilang begitu kemoterapi dihentikan. Kendati demikian, perawatan
medis diperlukan segera jika pasien kemoterapi mengalami kondisi:

 Nyeri dada.
 Nyeri otot.
 Gusi dan hidung berdarah.
 Sariawan yang mengakibatkan pasien tidak bisa makan atau minum.
 Diare hingga lebih dari empat kali dalam sehari.
 Muntah terus-menerus.
 Perdarahan dari bagian tubuh yang tidak berhenti setelah berusaha dihentikan selama
10 menit.
 Menggigil.
 Sulit bernapas.

3. Pemeriksaan Reflek

Pemeriksaan refleks patologis dapat dilakukan dengan berbagai teknik, sesuai dengan
jenis refleks patologis yang akan diperiksa. Teknik pemeriksaan ini biasanya dilakukan pada
ekstremitas atas dan bawah.
A. Persiapan Pasien
Sebelum melakukan pemeriksaan refleks patologis, pemeriksa perlu mengedukasi pasien
mengenai tindakan yang akan dilakukan dan meminta informed consent terlebih dahulu.
Minta pasien untuk berbaring dengan rileks dan meregangkan otot-ototnya. Informasikan
juga bahwa dapat terjadi sensasi yang kurang nyaman atau sensasi geli ketika pemeriksaan
dilakukan. Pemeriksa juga harus memastikan permukaan daerah tubuh pasien yang akan
diperiksa bebas dari lesi apapun sebelum melakukan pemeriksaan.[1,2,4]

B. Peralatan
Beberapa pemeriksaan refleks patologis memerlukan instrumen tumpul yang tidak
menyebabkan rasa sakit atau cedera. Titik tumpul pada bagian bawah palu refleks dan tongue
spatel merupakan alat yang dapat digunakan. Penggunaan benda tajam harus dihindari.
Sebagian refleks lainnya dapat diperiksa menggunakan tangan pemeriksa melalui prosedur
gerakan tertentu.[1,2,4]
C. Posisi Pasien
Sebelum pemeriksaan dilakukan, pemeriksa harus memastikan pasien dalam kondisi nyaman
dan santai. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan pada posisi pasien berbaring atau duduk
santai.[1,2,4]

D. Prosedural
Pemeriksaan refleks patologis dilakukan dengan teknik berbeda sesuai dengan jenis refleks
patologi yang ingin dimunculkan. Posisi ketukan, jalur pijatan, serta jalur goresan dan
sentuhan yang dilakukan untuk membangkitkan refleks patologis harus benar. Bila pemeriksa
mengetukkan palu refleks atau melakukan pijatan pada lokasi yang salah, maka hasil
pemeriksaan yang diinginkan tidak dapat tercapai.[10,14]

Refleks Babinski

Refleks Babinski, atau disebut juga sebagai refleks plantar, ditemukan oleh seorang ahli
saraf, yaitu Joseph Babinski, pada tahun 1899. Sejak saat itu, pemeriksaan refleks ini telah
dimasukkan ke dalam langkah-langkah pemeriksaan neurologis standar.[10]

Langkah-langkah pemeriksaan refleks Babinski adalah sebagai berikut:


 Pasien dalam posisi berbaring rileks dan santai dengan tungkai bawah diluruskan

 Pemeriksa memegang pergelangan kaki pasien agar posisi kaki tidak berubah

 Pemeriksa menggores telapak kaki pasien menggunakan ujung tumpul palu refleks
secara perlahan dan usahakan tidak menimbulkan nyeri. Goresan dilakukan sepanjang sisi
lateral plantar kaki dari tumit ke ujung jari melintasi metatarsal hingga ke pangkal ibu jari

 Interpretasi: Refleks Babinski dinyatakan positif (+) bila terdapat gerakan dorsofleksi
ibu jari yang mungkin disertai dengan mekarnya jari-jari lainnya. Refleks Babinski
dinyatakan negatif (-) bila terjadi plantar fleksi jari-jari kaki. Jika tidak ada gerakan maka
dianggap sebagai respons netral dan tidak memiliki signifikansi klinis

 Kesulitan dan kesalahan interpretasi: Tanda Babinski merupakan tanda klinis yang
sangat baik tapi tidak sempurna. Respons terhadap stimulasi yang diberikan pada
pemeriksaan refleks Babinski terkadang sulit untuk dinilai. Kesulitan dan kesalahan yang
paling umum adalah membedakan dorsofleksi ibu jari terjadi karena respons involunter atau
volunter dari pasien

Respons volunter penarikan tungkai bawah oleh pasien dapat dinilai dengan adanya fleksi
pinggul dan lutut. Selain itu, penarikan volunteer oleh pasien jarang menyebabkan
dorsofleksi pergelangan kaki. Penarikan tungkai bawah volunter tungkai bawah juga sering
diamati pada pasien yang mendapatkan stimulus terlalu kuat (pemeriksa menggoreskan ujung
tumpul terlalu kuat).

Kesulitan juga muncul pada pasien dengan sensitivitas terhadap geli yang tinggi. Untuk itu,
memegang pergelangan kaki dengan sedikit kuat dapat membantu pemeriksa untuk menilai
respons refleks Babinski lebih baik.
 Sumber Gambar:
Roxbury-de, Wikimedia Commons, 2008.
Refleks Babinski positif menandakan kelainan pada traktus kortikospinalis. Dalam praktik
klinis, refleks Babinski positif digunakan sebagai penanda awal cedera tulang belakang
setelah trauma akut. Pada pasien koma, terdapat tambahan respons selain dorsofleksi jempol
dan mekarnya jari-jari kaki yaitu dorsofleksi kaki dan fleksi lutut. Kondisi dorsofleksi kaki
serta fleksi lutut menandakan disfungsi mendalam traktus kortikospinalis dengan penyebaran
refleks miotom L2 dan L3.[10–12]

Refleks lain yang akan dijelaskan selanjutnya merupakan variasi dari pemeriksaan refleks
Babinski. Refleks-refleks ini dirancang untuk memperoleh gerakan dorsofleksi jempol kaki.
Beberapa refleks yang merupakan variasi dari refleks Babinski antara lain: Chaddock,
Gordon, dan Schaefer.[10–12]

Refleks Chaddock

 Pasien dalam posisi berbaring rileks dan santai dengan tungkai bawah diluruskan

 Pemeriksa memegang daerah tulang kering pasien agar posisi kaki tidak berubah
 Pemeriksa menggoreskan ujung palu refleks pada kulit di bawah maleolus eksternus.
Goresan dilakukan dari atas ke bawah (dari proksimal ke distal)

 Interpretasi: Refleks Chaddock positif (+) jika ada respons dorsofleksi ibu jari kaki
yang disertai pemekaran jari-jari yang lain

Baik refleks Babinski maupun Chaddock menilai integritas traktus kortikospinalis. Ketika
terjadi lesi sepanjang traktus kortikospinalis, maka akan muncul respons positif. Jika
dibandingkan dengan refleks Babinski, refleks Chaddock memiliki keunggulan, yaitu dapat
meminimalkan respons penarikan volunter oleh pasien karena stimulasi plantar. Traktus
kortikospinalis adalah traktus yang panjang sehingga ada tidaknya refleks Chaddock berguna
dalam menentukan kelainan pada sistem saraf pusat.[6,13]

Refleks Oppenheim

 Pasien dalam posisi berbaring terlentang dan rileks

 Pemeriksa menggunakan jari telunjuk dan jari jempol untuk mengurut tulang tibia
pasien dari atas ke bawah

 Interpretasi: Refleks Oppenheim positif (+) jika ada respons dorsofleksi ibu jari kaki
yang disertai mekarnya jari-jari yang lain[6,13]

Refleks Gordon

 Pasien dalam posisi berbaring terlentang dan rileks

 Pemeriksa menggunakan kedua telapak tangan untuk melakukan pijatan pada otot
betis pasien

 Interpretasi: Refleks Gordon positif (+) jika ada respons dorsofleksi ibu jari kaki
yang disertai mekarnya jari-jari yang lain[6,13]

Refleks Gordon memiliki signifikansi klinis dalam penilaian berbagai penyakit dan defisit
neurologis. Respons positif atau abnormal berkorelasi dengan lesi pada traktus piramidalis
yang merupakan UMN, sehingga dapat membantu dalam menetapkan diagnosis banding.
Pemeriksaan refleks ini ditemukan oleh dr. Alfred Gordon pada tahun 1904.
Gordon pertama menemukan refleks ini pada pasien dengan pachymeningitis hemoragik dan
kemudian pada pasien dengan epilepsi segera setelah kejang umum. Gordon percaya bahwa
refleks yang ia deskripsikan adalah tanda iritasi otak atau lesi awal dari jalur motorik. Gordon
juga menyimpulkan bahwa refleks Babinski adalah tanda lesi pasti (well-established) pada
jalur motorik.
Refleks Gordon merupakan pemeriksaan pendamping yang baik untuk refleks Babinski dan
harus dilakukan, terutama ketika refleks Babinski tidak dapat dilakukan atau memberikan
hasil yang samar-samar.[14]

Refleks Schaefer

 Pasien dalam posisi berbaring terlentang dan rileks

 Pemeriksa melakukan pijatan pada tendon Achilles pasien

 Interpretasi: Refleks Schaefer positif (+) jika ada respons dorsofleksi ibu jari kaki
yang disertai mekarnya jari-jari yang lain[14]

Refleks Rossolimo

 Pemeriksa melakukan ketukan menggunakan palu refleks pada telapak kaki di daerah
basis jari-jari kaki pasien

 Interpretasi: Refleks Rossolimo positif (+) jika timbul fleksi plantar jari-jari kaki
nomor 2 sampai nomor 5[14]

Refleks Mendel Bechterew

 Pemeriksa melakukan ketukan menggunakan palu refleks pada dorsum pedis basis
jari-jari pasien

 Interpretasi: Refleks Mendel Bechterew positif (+) jika timbul fleksi plantar jari-jari
kaki nomor 2 sampai nomor 5[14]

Refleks Hoffman

 Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada pasien dengan posisi terlentang atau duduk
santai
 Pemeriksa memegang pergelangan tangan pasien dan meminta pasien untuk
melemaskan jari-jari tangan

 Jari tengah pasien dijepit menggunakan jari telunjuk dan jari tengah pemeriksa

 Pemeriksa melakukan goresan kuat pada jari tengah pasien menggunakan ibu jari

 Interpretasi: Refleks Hoffman dinyatakan positif (+) bila prosedur pemeriksaan di


atas menimbulkan respons fleksi jari telunjuk, serta fleksi dan adduksi ibu jari dan terkadang
disertai fleksi jari lainnya[14]

Refleks Tromner

 Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada pasien dengan posisi terlentang atau duduk
santai

 Pemeriksa memegang pergelangan tangan pasien dan meminta pasien untuk


memfleksikan atau melemaskan jari-jari tangan

 Pemeriksa menggunakan jari tengah tangan lainnya mencolek-colek ujung jari tengah
pasien

 Interpretasi: Refleks Tromner dinyatakan positif (+) bila goresan pada ujung jari
tengah pasien menimbulkan gerakan fleksi ibu jari, jari telunjuk, dan jari-jari lainnya[14]

Refleks Wartenberg

 Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada pasien dengan posisi terlentang atau duduk
santai

 Tangan pemeriksa mengangkat 2 jari tangan pasien (jari telunjuk dan jari tengah) dan
meminta pasien untuk melemaskan jari jari tangan lainnya

 Pemeriksa mengetuk phalanx medial dan distal jari-jari pasien dengan menggunakan
palu refleks

 Interpretasi: Refleks Wartenberg dinyatakan positif (+) bila ketukan phalanx


menghasilkan fleksi jari-jari pasien yang dapat dilihat dan dirasakan pemeriksa[14]

Refleks Mayer
 Pemeriksa memegang lengan pasien kemudian menekuk jari tengah pasien secara
maksimal ke arah telapak tangan

 Interpretasi: Refleks Mayer dinyatakan positif (+) bila tidak ditemukan oposisi ibu
jari. Ibu jari pada umumnya akan beroposisi pada orang sehat. Pada lesi di susunan piramidal
maka ibu jari tidak akan beroposisi[14]

Refleks Leri

 Lengan pasien diluruskan dan bagian ventralnya menghadap ke atas

 Pemeriksa menekuk tangan pasien secara maksimal pada pergelangan tangan

 Interpretasi: Refleks Leri dinyatakan positif (+) bila tidak ditemukan gerakan fleksi
siku. Pada orang normal lengan bawah akan menekuk pada sendi siku. Lesi pada susunan
piramidalis akan mengakibatkan hilangnya respons fleksi sendi siku[14]

Refleks Grawl Pronasi-Abduksi

 Pemeriksa memposisikan lengan pasien setengah fleksi pada siku dengan lengan
bawahnya dalam posisi antara pronasi dan supinasi

 Pemeriksa kemudian mempronasikan tangan pasien secara maksimal dan mendadak

 Interpretasi: Refleks Grawl Pronasi-abduksi dinyatakan positif (+) bila tidak timbul
gerakan reflektorik. Pada orang normal akan muncul gerakan reflektorik yang terdiri dari
abduksi lengan atas[14]

Refleks Patologis Pertanda Regresi

Refleks patologis pertanda regresi adalah refleks yang secara fisiologis dapat ditemukan pada
bayi dan menghilang pada anak-anak, tetapi dapat ditemukan pada orang dewasa pertanda
patologis. Refleks ini dapat kembali ditemukan terutama pada kondisi kemunduran fungsi
sistem saraf pusat, seperti penyakit Alzheimer, multiple sclerosis, atau schizophrenia.[15,16]
Refleks patologis ini juga merupakan refleks primitif yang muncul karena kerusakan pada
jaras lobus frontalis serebral. Adapun refleks-refleks yang menandakan proses regresi adalah:
 Refleks menetek: stimulus dilakukan dengan sentuhan pada bibir. Respons refleks ini
adalah gerakan bibir, lidah, dan rahang bawah seolah-olah menetek

 Snout Reflex: pemeriksa melakukan perkusi pada bibir atas. Respons refleks ini
adalah bibir atas dan bawa menjungur atau kontraksi otot-otot sekitar bibir atau di bawah
hidung

 Refleks memegang: pemeriksa melakukan penekanan atau penempatan jari pada


telapak tangan pasien. Respons refleks ini adalah tangan pasien mengepal

 Refleks palmomental: pemeriksa melakukan goresan dengan menggunakan ujung


gagang palu refleks terhadap kulit telapak tangan bagian tenar. Respons refleks ini adalah
kontraksi m. mentalis dan orbikularis oris ipsilateral

 Refleks leher tonik: pemeriksa memutar kepala pasien ke samping. Respons refleks
ini adalah lengan dan tungkai searah kepala berpaling akan hipertonik dan ekstensi
sedangkan arah berlawanan akan hipertonik dan fleksi[15,16]

Pemeriksa harus mampu menginterpretasikan hasil pemeriksaan dengan baik. Hasil


positif pada pemeriksaan refleks Babinski dan variasinya (Chaddock, Gordon, Oppenheim,
dan Schaefer) mengarahkan diagnosis kepada dugaan kondisi patologis pada jaras traktus
piramidalis atau masalah pada UMN, misalnya pada cedera otak traumatik atau stroke.
[10,14]
Refleks primitif yang muncul pada orang dewasa cenderung akan menggambarkan
kerusakan pada jaras lobus frontalis. Refleks primitif terutama muncul pada patologi lobus
frontal termasuk Alzheimer, multiple sclerosis, dan schizophrenia. Respons positif dari
pemeriksaan refleks memegang atau menggenggam juga sering muncul pada pasien
dengan dementia.[15]
Di samping itu, respons positif pada refleks palmomental dapat ditemukan pada pasien
dengan kondisi Parkinson. Kondisi atrofi serebral difus dapat menunjukkan hasil
pemeriksaan refleks menetek sementara snout reflex.yang positif menunjukkan lesi pada
lobus frontalis.[15]

Anda mungkin juga menyukai