Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

Teknik menyampaikan Berita Buruk


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata kuliah Keperawatan Paliatif dan Menjelang
Ajal yang diampu oleh:
Dosen : Kristin Rosela, SST. M.Kes

Disusun Oleh:

Adyendy NIM : 2019.C.11a.0995

Arintina Herawatie NIM : 2019.C.11a.1000

Niko Wibowo NIM : 2019.C.11a.1021

Sunardi NIM : 2019.C.11a.1029

Tri Berger NIM : 2019.C.11a.1031

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PRODI S-1 KEPERAWATAN
TAHUN 2021/2022
2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas Keperawatan menjelang
ajal dan Paliatif dengan judul “Teknik menyampaikan berita buruk”..
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan
usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak
ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Palangkaraya, 10 Oktober 2021

Penyusun

i
Daftar Isi
Kata Pengantar.........................................................................................................i
Daftar isi....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1
1.1 Latar Belakang..............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.........................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan...........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................2
2.1 Definisi Berita Buruk....................................................................................2
2.2 Tujuan Penyampaian Berita Buruk...............................................................2
2.3 Kesulitan Penyampaian Berita Buruk...........................................................4
2.4 Jenis-jenis Berita Buruk................................................................................5
BAB III TEKNIK PENYAMPAIAN BERITA BURUK......................................6
3.1 Penyampaian Berita Buruk Secara Tidak Langsung.....................................6
3.2 Penyampaian Berita Buruk Secara Langsung...............................................11
3.3 Penyampaian Berita Buruk Dengan Metode SPIKES..................................13
BAB VI PENUTUP..................................................................................................16
4.1 Kesimpulan...................................................................................................16
DaftarPustaka...........................................................................................................17

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Komunikasi merupakan suatu percakapan yang dilakukan dengan maksud dan tujuan
tertentu. Maksud dan tujuan komunikasi yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien adalah
untuk membantu pasien agar dapat mengurangi penderitaan pasien serta membantunya untuk
sembuh dari penyakitnya. Kesembuhan biasanya didapatkan dari khasiat obat-obatan dan fungsi
komunikasi atau wawancara hanya sebagai pendukung untuk menegakkan diagnosis dan
menentukan terapi yang tepat. Tetapi tidak jarang komunikasi itu sendiri juga merupakan terapi.
Karena komunikasi penting sekali artinya dalam hubungan dokter-pasien, maka
seyogyanya para dokter menguasai teknik dan seni berkomunikasi yang baik. Untuk itu dokter
perlu mengetahui jenis-jenis komunikasi atau wawancara yang biasa terdapat antara dokter atau
dokter gigi dan pasien, antara lain wawancara biasa yang terdiri dari wawancara bebas dan
terarah, percakapan bimbingan dan konseling, dan penyampaian berita buruk.
Berita buruk dapat didefinisikan sebagai segala informasi yang secara serius dapat
memperburuk pandangan seseorang tentang masa depannya. Penyampaian berita buruk adalah
suatu hal yang sering harus dilakukan dokter maupun dokter gigi, misalnya pada waktu dokter
harus menyampaikan berita kematian, menyampaikan diagnosis suatu penyakit dengan prognosis
yang tidak baik, atau menyampaikan rencana terapi yang mengandung resiko yang tinggi. Dalam
hubungan ini setiap dokter akan mengetahui bahwa penyampaian berita buruk selalu akan
menimbulkan frustasi pada pihak pasien.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah definisi berita buruk?
2. Bagaimana menyampaikan berita buruk?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui apa yang di maksud dengan berita buruk
2. Mengetahui bagaimana teknik menyampaikan berita buruk

1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Berita Buruk

Berita buruk secara medis didefinisikan sebagai informasi yang menciptakan pandangan
buruk bagi kesehatan seseorang. Berita buruk tersebut dapat menimbulkan perasaan tanpa
harapan pada pasien, ancaman terhadap kesehatan mental dan fisik pasien, atau resiko
mengganggu atau mengacaukan gaya hidup atau keseharian pasien (Wright dkk, 2013).
Menurut Baile dkk (2000), berita buruk dapat didefinisikan sebagai segala informasi yang
secara serius dapat memperburuk pandangan seseorang tentang masa depannya. Sedangkan
menurut Aitini & Aleotti (2006) Kabar buruk adalah pengalaman tidak nyaman untuk
pemberi dan penerima berita.
2.2 Tujuan Penyampaian Berita Buruk

2.2.1 Merupakan pekerjaan yang akan sering dilakukan namun membuat stress

Selama karirnya, seorang dokter akan mengalami keadaan dimana ia harus


menyampaikan informasi buruk kepada pasien atau keluarganya. Penyampaian berita buruk
akan menjadi sangat menegangkan ketika seorang dokter kurang berpengalaman, sedang
menghadapi pasien yang masih muda, dan ketika prospek keberhasilan pengobatan minim
(Baile dkk, 2000).

2.2.2 Pasien menginginkan kebenaran

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa 96% orang berharap diberi tahu ketika ia
menderita kanker dan 85% berharap mendapat informasi mengenai perkiraan umur mereka
(Baile dkk, 2000).

2.2.3 Prinsip hukum dan etik

Di Amerika Utara, prinsip informed consent, otonomi pasien, dan hukum telah menciptakan
kewajiban etika dan hukum yang jelas untuk memberikan informasi sebanyak yang pasien
inginkan tentang penyakit mereka dan pengobatannya. Dokter tidak mungkin menahan
informasi medis bahkan jika mereka tahu itu akan memiliki efek negatif pada pasien (Baile
dkk, 2000).

2
2.2.4 Hasil pemeriksaan klinis

Bagaimana cara penyampaian kabar buruk dapat mengubah pemahaman pasien akan
informasi, kepuasan perawatan, tingkat harapan, dan psikologi pasien. Banyak pasien
mengharapkan informasi yang akurat untuk membantu mereka menentukan pilihan (Baile dkk,
2000).

Masalah muncul bila dokter harus berhadapan dengan keadaan khusus atau kepribadian pasien
yang berbeda-beda. Contohnya, penyakit yang dipengaruhi oleh faktor psikososial. Keadaan
lainnya adalah pasien yang berpenyakit kronis, menderita cacat, dan pada pasien kanker.
Permasalahan yang sebenarnya muncul ketika kita harus menyampaikan prognosis penyakit
dan berapa lama pasien itu dapat bertahan hidup (Sukardi dkk, 2007).

2.2.5 Penyampaian pada pasien mengenai kecacatan/penyakit kronis

Pada penyakit kronis atau penyakit yang disertai dengan kecacatan yang berat, sebaiknya
dokter memberitahukan kenyataan atau fakta yang ada. Terutama cara adaptasi yang cepat dan
tepat terhadap perubahan hidupnya. Pasien penyakit kronis seharusnya menerima kenyataan
agar mereka lebih cepat untuk menyesuaikan diri dengan keadaannya. Kecemasan dan rasa
takut yang berlebihan tidak saja ditimbulkan dari penyakit yang diderita, tetapi juga dari
tekanan masyarakat yang sering memberikan simbol tertentu pada penyakitnya (Sukardi dkk,
2007).

Jika semua stress menumpuk, pasien akan banyak menghadapi masalah. Hal ini dapat
melampaui kemampuan dirinya dalam menangani stress. Dokter seharusnya sadar akan segala
kemungkinan dan siap membantu serta menolong pasiennya. Khususnya bila informasi yang
disampaikan dapat meningkatkan kecemasan, menghilangkan harapan, menimbulkan keinginan
untuk bunuh diri, atau timbulya gejala psikopatologik lain. Dalam menentukan suatu penyakit
yang kronis dan kecacatan, informasi harus diberikan secara perlahan. Pemberian informasi
dapat dimulai dari awal dugaan penyakit sampai diagnosis akhir ditegakkan. Adanya keinginan
pasien untuk mengetahui penyakitnya merupakan kesempatan baik bagi dokter untuk
menyampaikan keadaan yang mungkin terjadi dan risikonya di kemudian hari (Sukardi dkk,
2007).

3
2.2.6 Penyampaian pada pasien mengenai penyakit kanker/tumor ganas

Penyakit kanker merupakan penyakit yang sering ditanggapi dengan cara yang tidak
realistis. Pasien sering dijauhi oleh masyarakat dan seolah-olah kematiannya sudah dekat.
Kanker sebagai suatu penyakit yang fatal membuat dan mendorong keadaan kurangnya
perhatian untuk mendapatkan pengobatan. Ketakutan masyarakat terhadap penyakit kanker
memberikan beban tersendiri pada penderitaan pasien, disamping dari akibat proses kanker itu
sendiri. Oleh karena itu, sebelum diagnosis kanker disampaikan, tim dokter harus benar-benar
sudah yakin (Sukardi dkk, 2007).

Pengobatan kanker biasanya memerlukan waktu yang lama dan hasilnya sering
diragukan. Tercipta kesan bahwa penyakit ini lebih buruk dari penyakit infark jantung yang
prognosis kematiannya lebih jelek. Namun, karena pengobatan infark jantung lebih jelas,
seolah-olah penyakit itu lebih baik. Pada penyakit kanker pemberian informasi kepada pasien
semestinya meliputi dua hal, yaitu dokter bersikap jujur dan hormat terhadap pasiennya. Dokter
harus dapat menumbuhkan rasa percaya kepada pasien/keluarganya dengan baik sehingga
memudahkan dalam memberikan terapi, baik itu radioterapi maupun sitostatika (Sukardi dkk,
2007).

2.3 Kesuliatn Penyampaian Berita Buruk

Ada banyak faktor penyebab seorang dokter mengalami kesulitan dalam menyampaikan berita
buruk. Berdasarkan American Medical Association's first code of medical ethics pada
tahun 1847 dikatakan bahwa kehidupan orang sakit dapat dipersingkat tidak hanya oleh
tindakan, tetapi juga oleh kata-kata dan perilaku seorang dokter.

Berikut adalah beberapa faktor penyebab sulitnya penyampaian berita buruk:

1. Khawatir bahwa berita itu akan menyebabkan efek buruk


2. Merasa bertanggung jawab dan takut jika disalahkan
3. Tidak tahu bagaimana cara terbaik untuk melakukannya
4. Tidak memiliki pengalaman pribadi
5. Khawatir bahwa akan sulit untuk menangani reaksi pasien atau keluarga
6. Keengganan untuk mengubah hubungan dokter-pasien yang ada
7. Tidak tahu kemampuan dan keterbatasan pasien
4
8. Tantangan tiap individu
9. Ketidak pastian tentang apa yang mungkin terjadi selanjutnya dan tidak memiliki
jawaban atas beberapa pertanyaan
10. Kurangnya kejelasan peran seorang pelayan kesehatan.

2.4 Jenis-Jenis Berita Buruk

Di dunia kedokteran, terdapat berbagai jenis berita buruk yang hendak disampaikan kepada
pasien. Berikut contoh-contohnya:

1. Kegagalan operasi
2. Vonis kanker.
3. Penyakit kronik seperti gagal ginjal kronik
4. Terminal Ilness
5. Tidak bisa mempunyai anak.
6. Kematian, dan lain-lain.

5
BAB III
TEKNIK MENYAMPAIKAN BERITA BURUK
3.1 Penyampaian Berita Buruk Secara Tidak Langsung

Penyampaian berita buruk adalah suatu hal yang sering harus dilakukan dokter maupun
dokter gigi, misalnya pada waktu dokter harus menyampaikan berita kematian, menyampaikan
diagnosis suatu penyakit dengan prognosis yang tidak baik, atau menyampaikan rencana terapi
yang mengandung resiko yang tinggi. Dalam hubungan ini setiap dokter akan mengetahui
bahwa penyampaian berita buruk selalu akan menimbulkan frustasi pada pihak pasien
(Sarwono, 1982).

Hampir setiap dokter akan berusaha mengurangi reaksi frustasi pasien. Usaha ini wajar
sepanjang dokter tidak memalsukan informasi (berbohong kepada pasien) tetapi sesungguhnya
kurang baik, karena dokter justru memberi peluang bagi bertambah besarnya frustasi pasien
(Sarwono, 1982).

Usaha mengurangi frustasi pasien dalam penyampaian barita buruk ini biasa dilakukan dengan
beberapa cara yang kurang benar. Untuk jelasnya, berikut diberikan contoh seorang dokter gigi
yang harus menyampaikan berita bahwa pasiennya menderita penyakit kanker mulut. Pada
pasien didapatkan bisul yang menyakitkan di mulut, dimana sudah tak sembuh-sembuh dalam
waktu 14 hari, suara jadi serak berkepanjangan, dan mengalami kesulitan untuk mengunyah,
menelan, dan bahkan berbicara, serta terdapat bercak putih pada mulut (Nawawi, 2013).

3.1.1 Penyampaian berita buruk yang kurang tepat itu antara lain sebagai berikut:

1. Menunda penyampaian berita buruk sampai saat yang dianggap tepat

Dokter bercerita tentang hal-hal lain terlebih dahulu sebelum ia menyampaikan berita
tentang kanker mulut, tentang keluhan-keluhan dan gejala-gejala yang diderita pasien dan
seterusnya sampai kira-kira pasien dianggap “siap mental” untuk mendengarkan berita buruk
itu, barulah berita tentang kanker mulut itu disampaikan. Tanda-tanda bahwa pasien sudah

6
“siap mental” diterka oleh dokter dari kata-kata (verbal) atau mimik (ekspresi wajah) atau gerak
(gesture) pasien. Dalam bentuk kata-kata kesiapan mental untuk mendengar berita buruk
misalnya dapat dilihat dalam percakapan berikut :

Dokter : (Setelah menceritakan berbagai penyakit yang memiliki gejala seperti yang diderita
pasien) … Jadi, pak Jusuf begitulah kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi pada orang-
orang yang memiliki gejala seperti bapak.

Pasien : Kalau begitu, apakah yang akan terjadi pada saya, dok? (pasien siap mental)

Dokter : Begini, pak. Penyakit pada mulut bapak saat ini sedang mengalami proses
kemunduran … (dokter melanjutkan dengan menyampaikan berita buruk tersebut).

Dalam bentuk mimik atau gerak kesiapan mental lebih sulit diterka, yaitu misalnya dalam
bentuk :
a. Wajah pasien yang tegang berubah jadi tenang.
b. Pasien menarik nafas panjang.
c. Pasien mengubah posisi duduknya dari posisi tegak ke posisi menyandar dan sebagainya.
(Sarwono, 1982)
Kerugian dari cara ini adalah bahwa seringkali pasien dapat menerka maksud dokter dan reaksi-
reaksi emosionalnya muncul justru waktu dokter belum siap mental. Akibatnya dokter
bertambah sulit mengendalikan emosi pasien (Sarwono, 1982).

2. Membiarkan pasien menyimpulkan sendiri

Dalam cara ini dokter tidak secara terbuka menyampaikan berita buruk itu, akan tetapi
pasien diharapkan menyimpulkan nasibnya sendiri. Dokter dalam cara ini hanya memberikan
pertanyaan sambil “mengiringi” pasien ke arah kesimpulan yang akan dibuatnya (Sarwono,
1982).

Berikut diberikan contoh :

D: sejak kapan awal sariawan ini muncul pak?

P: sejak dua minggu lalu, dok.

7
D: apakah sudah bapak beri pengobatan?

P: sudah, dok.

D: bagaimana efek dari obat tersebut pak?

P: tidak ada, dok. Sampai saat ini sariawan itu tidak hilang dok. Justru saat ini pada waktu
mengunyah dan menelah sedikit sulit dok.

D: pak, setelah kami lakukan pemeriksaan kembali, ternyata terjadi perbesaran ulkus dan
bercak putih di dalam rongga mulut bapak. Dan warna mukosa rongga mulut bapak juga pucat.

P: jadi apakah saya ini kena kanker mulut dok ?

Teknik ini hanya dapat dilakukan pada pasien-pasien yang mempunyai pendidikan atau
kecerdasan yang cukup untuk membuat kesimpulan sendiri. Akan tetapi biasanya pasien tidak
sabar dan malahan bertambah jengkel karena ditanya-tanya terus padahal ia sudah dalam
keadaan sangat khawatir terhadap kesehatannya. Pasien bisa sampai kepada kesimpulan bahwa
dokter mau melepaskan diri dari tangung jawabnya memberi tahu pasien tentang berita buruk
itu (Sarwono, 1982).

3. Membungkus berita buruk

Dalam cara ini dokter “membungkus” berita buruk itu dengan kata-kata, sedemikian rupa
sehingga kedengarannya berita buruk itu lebih baik dari keadaan yang sebenarnya (Sarwono,
1982).

Berikut diberikan contoh :

Dokter : Saya khawatir bahwa bapak akan kehilangan sebagian dari lidah bapak saat operasi
nanti. Akan tetapi, bapak jangan khawatir, kita akan bekerjasama dengan pihak bedah plastik
rumah sakit untuk membuat lidah buatan untuk bapak.

Paisen : Lalu apakah saya tetap dapat berbicara dok?

Dosen : Kemungkinan akan ada kesulitan dalam berbicara, tapi dengan bantuan speech terapy,
bapak masih ada harapan untuk dapat berbicara lagi.

Pasien : Kira-kira berapa lama sampai saya bisa bicara lagi dok?

8
Dokter : Waktunya bervariasi untuk setiap orang. Tapi ada pasien yang dapat berbicara
kembali dengan jelas dalam waktu 8 minggu saja.

Kelemahan dari cara ini adalah bahwa tidak semua pasien bisa menerima kenyataan-kenyataan
yang dibungkus seperti itu.Beberapa pasien malah akan bertambah frustasi karena ia tahu
bahwa keadaan yang sebenarnya tidaklah sebaik yang disampaikan dokter. Pasien bisa
beranggapan bahwa dokter membohonginya (Sarwono, 1982).

4. Banyak memberi alasan

Dengan cara ini, dokter memberikan berbagai alasan ke pasien untuk membenarkan
‘berita buruk’ tersebut.Sebagai contoh, dokter akan mengemukakan alasannya setelah
penyampaian berita buruk ke pasien ; “.... Walaupun demikian, bapak tidak perlu menyesal.
Segala yang bapak lakukan telah dilakukan, demikian pula dengan kami sudah mengerjakan
yang bisa kami lakukan. Memang, ilmu kedokteran sampai sekarang pun masih memiliki
keterbatasan-keterbatasan. Ilmu kedokteranbelum bisa berbuat banyak untuk menyembuhkan
penyakit bapak. Sekalipun bapak berobat ke luar negeri pun, hasilnya tidak akan jauh
berbeda...”

Pada penggunaan teknik ini justru membuat pasien putus asa. Dalam keadaan sudah sangat
khawatir, biasanya pasien masih mengharapkan petunjuk tentang cara lain yang masih dapat
diupayakan untuk mengatasi penyakitnya. Dengan adanya alasan-alasan pembenaran yang
dilakukan dokter terhadap pasien justru akan menyebabkan putusnya harapan pasien dan
membuat pasien sangat frustrasi (Sarwono, 1982).

Keempat cara yang telah dikemukakan diatas untuk mengurangi frustrasi pasien, dapat
dilakukan secara terpisah atau dikombinasikan menurut selera dokternya sendiri. Cara-cara
tersebut tidak mungkin meniadakan seluruh frustrasi. Frustrasi yang masih ada dapat dirasakan
berat atau ringan, tergantung dari kondisi kejiwaan pasien itu sendiri (Sarwono, 1982).

3.1.2 Jenis-jenis Reaksi Pasien Terhadap Frustasi :

Berikut penggolongan jenis-jenis reaksi pasien terhadap frustasi.

1. Menerima kenyataan itu dengan sabar

Misalnya:

9
Pasien : Baiklah, dok. Barangkali memang sudah demikian nasib saya. Sekarang, apa yang
perlu saya lakukan selanjutnya untuk mencegah keparahan penyakit saya?

(Sarwono, 1982)

2. Bereaksi agresif

Misalnya:

Pasien : Rahang saya akan diangkat dok? Oh ini adalah kesalahan dokter. Dulu saya sudah
minya agar pengobatan saya dilakukan di luar negeri saja. Tapi dokter mengatakan bahwa di
sini pun dokter dapat melakukannya. Sekarang kalau sudah begini, apa yang dapat dokter
lakukan? (Sarwono, 1982)

3. Penolakan terhadap kenyataan

Misalnya:

Pasien : Tidak mungkin. Tidak mungkin saya akan kehilangan rahang saya. Setelah diterapi
yang terakhir itu mulut saya rasanya sudah lebih enak tidak sakit lagi untuk menelan,
bagaimana bisa jadi seperti ini? Paman saya ada yang lebih parah tumornya daripada saya,
tetapi dia tidak sampai diangkat rahangnya. Para dokter bisa menolongnya. (Sarwono, 1982)

4. Regresi

Regresi yaitu memberi reaksi dengan mundur kepada tingkat yang kekanak-kanakan. Misalnya,
menangis keras-keras, menjerit-jerit sambil menarik-narik rambutnya atau memukul-mukul
meja, pingsan, atau mengeluarkan kata-kata sebagai berikut:

Pasien : …(diam untuk waktu yang lama)… kalau begitu lebih baik saya berhenti bekerja
saja. Tinggal di rumah dan biarlah ibu saya tinggal di rumah saya untuk merawat saya. Isteri
saya dengan begitu bisa tetap bekerja mencari nafkah. (Sarwono, 1982)

5. Stereotipi

Stereotipi merupakan reaksi berulang-ulang terus.

Misalnya:

10
Pasien : Sungguh saya tidak kira . . . rahang saya akan diangkat? . . . sungguh-sungguh di
luar dugaan saya . . . Kehilangan rahang! . . . Bagaimana mungkin? Sungguh tidak saya kira . . .
dan seterusnya. (Sarwono, 1982)

Bagaimanapun juga reaksi pasien terhadap frustasi, dokter tidak boleh menanggapinya dengan
kontra reaksi yang sama emosionalnya. Dokter harus tetap tenang, tetap menggunakan akal
sehat, waaupun tetap harus dapat menunjukkan simpati pada pasien. Untuk itu dokter sebaiknya
menggunakan cara yang lebih langsung dalam menyampaikan berita buruk (Sarwono, 1982).

3.2 Penyampaian Berita Buruk Secara Langsung

Penyampaian berita buruk secara langsung merupakan cara yang lebih efektif dalam
penyampaian berita buruk kepada pasien. Dengan penyampaian langsung ini, maka jelas dokter
berada dalam keadaan ‘siap mental’ untuk menghadapi frustasi pasien dan selanjutnya dapat
menampung dan meredakan frustasi itu (Sarwono, 1982).
Dalam penyampaian berita buruk secara langsung, ada 3 tahap yang harus dilalui dokter, yaitu:
1) Tahap 1: penyampaian berita buruk itu sendiri
2) Tahap 2: memperendah tingkat frustasi
3) Tahap 3: mencari pemecahan persoalan (Sarwono, 1982)
Setiap berita buruk tentu akan menimbulkan frustasi, tetapi yang terpenting adalah mencari
jalan keluar dari keadaan yang buruk itu. Untuk bisa mencari jalan keluar, tingkat frustasi harus
direndahkan dulu agar pasien tidak terlalu emosional.Tugas mencari pemecahan persoalan dan
merendahkan tingkat frustasitermasuk dalam kewajiban dokter juga (Sarwono, 1982).

1) Tahap 1. Penyampaian berita buruk

11
Seringkali pasien sudah mempunyai dugaan tentang keadaan yang buruk itu, hanya saja ia
belum merasa pasti. Pasien mempunyai hak untuk segera bebas dari ketidakpastian ini. Dalam
menyampaikan berita buruk dokter harus memperhatikan hal-hal berikut:
a) Berita buruk langsung disampaikan pada awal percakapan. Dokter jangan melakukan
berbagai aksi menghindar.
b) Dokter harus meyampaikan berita dalam kalimat yang sesingkat mungkin, tetapi dalam
kalimatnya itu dokter juga harus menunjukkan bahwa ia memperhatikan perasaan pasien.
c) Nada suara dokter harus menunjukkan bahwa dokter ikut menghayati apa yang diarasakan
pasien. (Sarwono, 1982)
Contoh :
Dokter : hasil pemeriksaan kami menunjukkan bahwa terdapat tumor pada mulut bapak.
Tumor ini sudah menggerogoti hampir seluruh rahang bawah bapak, sehingga terpaksa kami
harus mengambil rahang bawah bapak. Saya mengerti bahwa bapak tentunya sangat sedih.

2) Tahap 2. Penurunan Tingkat Frustasi

Setelah berita buruk disampaikan, dokter harus berusaha menurunkan frustasi pasien. Untuk itu
ada 2 macam cara :

a) Mengucapkan kata-kata simpati.


b) Memberikan informasi kepada pasien bahwa ada hal-hal yang membuatnya tidak usah
terlalu kecewa, misalnya bahwa dokter dapat menghilangkan tumornya dengan segera dengan
cara yang baik dan tidak sakit, bahwa tumornya belum sampai tingkatan yang parah, dan
sebagainya. Bedanya dari cara penyampaian berita buruk yang menghindari frustasi adalah
bahwa informasi ini disampaikan sesudah berita buruk, tidak sebelumnya. (Sarwono, 1982)
Mengurangi frustasi sampai tingkat yang paling rendah adalah sangat penting karena bila
tingkat frustasi masih tinggi dokter tidak akan sampai pada pemecahan persoalan. Kalau
frustasi tidak dapat diturunkan sekaligus, usaha ini sebaiknya ditunda dan dilanjutkan lain kali
(Sarwono, 1982).

3) Tahap 3. Pemecahan Persoalan

12
Di sini dokter memberikan nasihat-nasihat berupa pilihan-pilihan yang dapat ditempuh
oleh pasien untuk mengatasi persoalan yang akan dihadapinya sebagai akibat dari keadaannya
yang tidak diharapkan tersebut (Sarwono, 1982).

Contoh :

Pasien : Jadi bagaimana pekerjaan saya kalau saya sampai harus rawat inap ya
Dokter?

Dokter : Saya bisa membuatkan surat untuk atasan Bapak agar

Bapak beroleh izin sekaligus tunjangan sesuai dengan kesehatan Bapak.

Pasien : Bagaimana dengan penampilan saya nanti apabila tumornya diangkat?

Dokter : Tidak apa-apa. Seiring waktu nanti akan tampak normal lagi. Saya bisa
menutupi tampilan yang bengkak dengan perban.

Pasien : Bagaimana dengan rasa sakitnya nanti?

Dokter : Tidak apa-apa, saya bisa mengusahakan dengan pemberian obat anti rasa
sakit yang tidak mahal.

Dan seterusnya.

3.3 Penyampaian Berita Buruk Dengan Metode SPIKES

Metode SPIKES mengacu pada enam tahap dalam penyampaian berita buruk.

1. SETTING UP the interview


a. Aturlah privasi.
Idealnya, disiapkan ruangan khusus. Penyampaian berita buruk harus dilakukan pada
tempat yang nyaman yangmenyediakan privasi bagi pasien dan relatif tenang. Ruangan harus
cukup luas untuk menampung para staf atau perawat serta seluruh anggota keluarga pasien
yang mendampingi pasien saat penyampaian berita buruk (Buckman, 1996; Maynard, 1991).
Siapkan tissue untuk berjaga-jaga apabila pasien menangis (Baile dkk, 2000).
b. Libatkan orang lain.

13
Kebanyakan pasien biasanya ingin ditemani oleh orang lain. Namun, orang tersebut
haruslah pilihan pasien. Ketika ada anggota keluarga pasien, mintalah pasien memilih satu atau
dua perwakilan keluarga (Baile dkk, 2000).
c. Duduk.
Posisi duduk akan membuat pasien lebih relaks dan menandakan bahwa dokter tidak
terburu buru. Pemilihan waktu dalam penyampaian berita buruk sangat penting. Penjadwalan
ulang atau pemilihan waktu lain perlu dilakukan agar dapat menyampaikan berita buruk kepada
pasien pada saat yang tepat. Jika terburu-buru, dokter dapat dianggap tidak peduli dengan
pasien dan proses. Bukti menunjukkan bahwa dokter mungkin menunda pencairan berita buruk
meskipun pada kenyataannya sebagian besar pasien ingin mendengarnya (Blanchard dkk, 1988;
Hopper dan Fischbach, 1989) dan beberapa dokter menghindari situasi untuk membicarakan
prognosis (Seale, 1991). Ketika duduk, usahakan tidak ada batas antara dokter dan pasien.
Mengatur koneksi dengan pasien. Melakukan kontak mata mungkin saja terasa kurang nyaman,
namun ini merupakan cara penting untuk membangun sebuah hubungan. Memegang lengan
atau tangan pasien apabila pasien bersedia juga merupakan cara mencapainya. Mengelola
waktu dan interupsi. Ketika menyampaikan kabar buruk pada pasien usahakan jangan ada
interupsi. Sebaiknya seorang dokter mengatur telepon genggamnya dalam keadaan diam (Baile
dkk, 2000).

2. Assesing the Patient’s PERCEPTION

Langkah kedua dan ketiga dari SPIKES merupakan interview yang menerapkan
“sebelum berkata, tanyalah”. Sebelum mendiskusikan hasil medis, dokter menggunakan
pertanyaan terbuka untuk menilai persepsi pasien akan keadaannya. Contohnya, “Sejauh mana
anda tahu mengenai penyakit anda” atau “Apakah anda tahu kenapa kami melakukan MRI?”.
Berdasarkan informasi yang diperoleh, dokter dapat mengoreksi informasi yang salah dan
menyesuaikan kabar buruk dengan pemahaman pasien. Dari sini juga dapat dilihat apakah
pasien menyangkal suatu penyakit: angan angan ataupun harapan pengobatan yang tidak
realistis (Baile dkk, 2000).

3. Obtaining the patient’s INVITATION

14
Kebanyakan pasien menginginkan informasi penuh akan diagnosis, prognosis,
hingga detail penyakit yang pasien derita. Namun beberapa pasien tidak. Penting untuk
menanyakan kepada pasien sedetail apa informasi yang mereka inginkan. Pertanyaan yang bisa
dokter tanyakan misalnya, “Bagaimana anda ingin saya menyampaikan hasil tes anda? Apakah
anda ingin saya menyampaikan semuanya atau hanya gambaran besar dan kita akan berdiskusi
mengenai perawatannya?” (Baile dkk, 2000).

4. Giving KNOWLEDGE and information to the patient

Memulai percakapan dengan kalimat seperti, “Saya khawatir bahwa kabar yang saya
sampaikan adalah kabar yang kurang baik” atau “Dengan berat hati saya sampaikan bahwa...”
dapat mengurangi syok pada pasien saat mendengarkan berita buruk.
Dalam menyampaikan hasil medis, terjemahkan istilah medis kedalam Bahasa Indonesia,
misalnya gunakan kata “menyebar” untuk menggantikan kata “metastasis”. Dokter juga harus
menghindari pernyataan yang berlebihan seperti “Kanker yang anda derita sangat buruk.
Meskipun anda diobati secepatnya, anda akan tetap tidak dapat bertahan”. Berikan informasi
dalam potongan kecil, dan pastikan untuk berhenti menjelaskan untuk memastikan bahwa
pasien paham dengan apa yang dijelaskan (Baile dkk, 2000).

5. Adressing the patient’s EMOTIONS with emphatic responses

Merespons emosi pasien merupakan salah satu hal sulit dalam menyampaikan berita
buruk. Pasien dapat bereaksi dengan diam, menangis, menyangkal, hingga marah, Pada situasi
seperti ini, seorang dokter dapat memberi dukungan dan solidaritas dengan memberi respons
empati. Diskusi tidak akan dapat berlanjut selama emosi pasien masih ada (Baile dkk, 2000).

6. STRATEGY and SUMMARY

Sebelum menentukan rencana perawatan, prnting untuk menanyakan apakah pasien


sudah siap untuk berdiskusi. Buatlah rencana langkah demi langkah dan berikan penjelasan
yang lengkap kepada pasien mengenai rencana perawatannya. Libatkan pasien dalam
pengambilan keputusan sebagai antisipasi jika terjadi suatu hal yang tidak diinginkan selama
perawatan (Baile dkk, 2000).

15
BAB IV

PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

Berita buruk merupakan segala informasi yang secara serius dapat memperburuk
pandangan seseorang tentang masa depannya. Komunikasi dokter gigi-pasien dalam
penyampaian berita buruk sangat penting untuk dipelajari. Berita buruk dapat disampaikan
melalui dua metode yaitu metode tidak langsung dan metode langsung. Beberapa contoh
metode tidak langsung antara lain menunda penyampaian berita buruk sampai saat yang
dianggap tepat, membiarkan pasien menyimpulkan sendiri, membungkus berita buruk, dan
banyak memberi alasan. Metode langsung memiliki keunggulan dibandingkan metode tidak
langsung yaitu lebih efektif dan dokter siap mental. Penyampaian berita buruk juga dapat
dilakukan dengan metode SPIKES. Komunikasi atau penyampaian berita buruk yang tepat akan
menghasilkan pemahaman yang baik pada pasien sehingga akan menentukan keberlanjutan
terapi dan kesembuhan pasien.

16
DAFTAR PUSTAKA

Pradana. (2012). Hubungan Perawatan Paliatif Dengan Kualitas Hidup Pasien. denpasar.

T. M, Marrelli. (2008). Buku Saku Dokumentasi Keperawatan. Jakarta: EGC

ASCO. (2017). Palliative Care Improving Quality of Life for People with Cancer and Their Families.

Cancer.Net Ferrel. B. R & Coyle, N. (2010) Perawatan Palliative Pasien HIV/AIDS.

Campbel. L. Margaret. (2013). Nurse To Nurse : Perawatan Palliative Care. Salemba Medika

Setiawati. (2008). Proses pembelajaran dalam pendidikan kesehatan, Jakarta: TIM. Repository UGM :
Komunikasi Efektif Dokter-Pasien 2017

17

Anda mungkin juga menyukai