Anda di halaman 1dari 37

PRINSIP KOMUNIKASI KONSELING PADA KLIEN DENGAN

HIV/AIDS VCT, PMTCT

Dosen Pengampu : Ns. Ni Made Wedri, A.Per.Pen.,S.Kep.,M.Kes.

OLEH:

2A/S.Tr. KEPERAWATAN

NAMA KELOMPOK :

1. LUH GEDE WINA PRADNYA SUARI (P07120219001)


2. NI NYOMAN BUDI ASTITI (P07120219003)
3. SI AYU RAI SETIAWATI (P07120219004)
4. NI KADE MAS AYU PUTRI LAKSMI DEWI (P07120219015)
5. I GUSTI AYU MIRAH PRADNYAWATI (P07120219024)
6. LUH GEDE OPIN SHINTIA DEWI (P07120219032)

KEMENTERIAN KESEHATAN RI

POLTEKKES KEMENKES DENPASAR

JURUSAN KEPERAWATAN

2021
KATA PENGANTAR

Om Swastyastu

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kami
kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan
makalah ini dengan baik.

Penulis mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga
penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata
kuliah Keperawatan HIV/AIDS dengan judul “Prinsip Komunikasi Konseling
Pada Klien Dengan HIV/AIDS VCT, PMTCT”.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian
apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya. Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Om Shanti Shanti Shanti Om

Denpasar, 09 Januari 2021

Penulis

KEPERAWATAN HIV/AIDS|1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ........................................................................................................1

Daftar Isi ...................................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang .....................................................................................................3


1.2.Rumusan Masalah ................................................................................................4
1.3.Tujuan ..................................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN

2.1.Definisi HIV/AIDS ..............................................................................................5


2.2.Prinsip komunikasi konseling pada klien dengan HIV/AIDS .............................5
2.3.Prinsip komunikasi konseling pada klien dengan VCT .......................................21
2.4.Prinsip komunikasi konseling pada klien dengan PMTCT ..................................27

BAB III PENUTUP

3.1.Kesimpulan ..........................................................................................................34
3.2.Saran .....................................................................................................................34

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................36

KEPERAWATAN HIV/AIDS|2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.LATAR BELAKANG

Komunikasi merupakan hal yang fundamental bagi kehidupan manusia.


Dengan berkomunikasi, manusia dapat menyampaikan gagasan dan
mentransferkan pesannya kepada khalayak luas dengan tujuan mempengaruhi
perilaku orang lain untuk mengambil keputusan tertentu. Upaya penyebarluasan
informasi tidak hanya diperlukan di kehidupan sehari-hari saja, namun juga
memiliki peranan penting dalam bidang kesehatan. Komunikasi dalam bidang ini
berfungsi untuk mendorong individu maupun kelompok masyarakat agar dapat
mengambil keputusan tepat demi mendapatkan kondisi yang sehat secara fisik,
mental, dan sosial. Proses penyampaian informasi mengenai isu-isu kesehatan
oleh komunikator kepada komunikan inilah biasa dikenal dengan komunikasi
kesehatan. Tujuan utama dari dilakukannya komunikasi kesehatan ini yaitu
adanya perubahan perilaku kesehatan dalam masyarakat, dimana perilaku
masyarakat yang sehat akan berpengaruh pada meningkatnya derajat kesehatan
masyarakat.

Di Indonesia, banyak penyakit yang sudah menjadi masalah kesehatan bagi


masyarakat, salah satunya HIV/AIDS. Kasus HIV/AIDS yang terjadi diibaratkan
seperti fenomena gunung es, sebab apa yang terlihat di atas itu hanya nampak
kecil, sementara kondisi dibawah yang lebih besar justru tidak terdeteksi.
Karenanya, setiap tahun jumlah penderita mengalami peningkatan dan tidak
sedikit yang meninggal.

Program penanggulangan HIV/AIDS yang ada yaitu melalui pengamanan


darah, komunikasi-informasi dan edukasi (KIE) telah berjalan cukup baik, namun
program pelayanan dan dukungan tersebut masih sangat terbatas, khususnya
program konseling dan tes sukarela atau biasa dikenal dengan Voluntary
Counselling and Testing (VCT). Di negara maju, VCT sudah menjadi komponen
utama dalam program penanggulangan HIV/AIDS, namun di negara berkembang
seperti di Indonesia, VCT belum merupakan strategi yang besar. Departemen

KEPERAWATAN HIV/AIDS|3
Kesehatan Republik Indonesia (2006) menyatakan kegiatan pengendalian
terhadap HIV/AIDS lebih diprioritaskan pada pencegahan, namun seiring
meningkatnya infeksi HIV dan kasus AIDS yang memerlukan pengobatan Anti
Retro Viral (ARV), maka strategi pengendalian HIV saat ini dilaksanakan dengan
memadukan pencegahan, perawatan, dukungan serta pengobatan. Untuk mencapai
target akses ARV, di tahun 2005, Indonesia mengembangkan pelayanan untuk
Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) secara komprehensif. Salah satu unsurnya
yaitu menyiapkan petugas konselor yang profesional dan mahir di rumah sakit
guna menunjang program penanggulangan dan penyebaran HIV/AIDS. Dalam
membantu ODHA, konselor diharapkan memiliki keterampilan komunikasi
antarpribadi yang baik untuk membangun kepercayaan dari klien sehingga tujuan
komunikasi kesehatan akan tercapai secara efektif

1.2.RUMUSAN MASALAH

1.2.1. Apakah yang dimaksud dengan HIV/AIDS?


1.2.2. Bagaimanakah prinsip komunikasi konseling pada klien dengan
HIV/AIDS?
1.2.3. Bagaimanakah prinsip komunikasi konseling pada klien dengan VCT?
1.2.4. Bagaimanakah prinsip komunikasi konseling pada klien dengan PMTCT?

1.3.TUJUAN

1.3.1. Mengetahui tentang HIV/AIDS.


1.3.2. Memahami prinsip komunikasi konseling pada klien dengan HIV/AIDS.
1.3.3. Mampu memahami prinsip komunikasi konseling pada klien dengan VCT.
1.3.4. Memahami prinsip komunikasi konseling pada klien dengan PMTCT.

KEPERAWATAN HIV/AIDS|4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1.DEFINISI HIV/AIDS

Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan sejenis virus. Virus adalah


jasad renik yang terkecil yang dapat mengakibatkan penyakit. Virus dapat
berkembang biak hanya di dalam sel-sel tumbuh-tumbuhan atau hewan/manusia.

AIDS merupakan suatu sindrom atau kumpulan gejala penyakit dengan


karakteristik defisiensi kekebalan tubuh yang berat dan merupakan manifestasi
stadium akhir infeksi virus HIV.

Seorang yang terinfeksi HIV dapat kelihatan sehat dan mungkin tidak
mengetahui bahwa dia telah terinfeksi selama beberapa tahun, meskipun terlihat
sehat dia dapat menularkan virusnya ke orang lain. HIV secara perlahan merusak
sistem kekebalan tubuh kemudian orang yang terinfeksi HIV tersebut jatuh sakit
karena tubuh tidak dapat memerangi penyakit. Gejala infeksi HIV mirip dengan
gejala penyakit umum lainnya, seperti pembengkakan kelenjar, mudah lelah,
kehilangan berat badan, demam atau diare. Pada saat ini belum ada vaksin untuk
mencegah infeksi HIV dan belum ada obat untuk menyembuhkan AIDS.

2.2.PRINSIP KOMUNIKASI KONSELING PADA KLIEN DENGAN


HIV/AIDS

A. Konseling HIV/AIDS

Konseling merupakan kegiatan yang di dalamnya melibatkan konselor,


dan klien tanpa ada keduanya proses konseling tidak akan terjadi.

Agus Priyatno mendefinisikan konseling sebagai suatu proses bantuan


pemecahan masalah klien agar dapat menyesuaikan dirinya secara efektif
dengan dirinya sendiri dan dengan lingkungannya, yang dilakukan oleh
seorang konselor kepada klien secara Bersama-sama, dimana klien mengambil
keputusan atas masalahnya sendiri baik dikehidupan di masa sekarang ataupun
yang akan datang.

KEPERAWATAN HIV/AIDS|5
Menjalin hubungan yang baik dan efektif dalam praktik konseling menjadi
bagian yang mutlak dan tidak bisa dihindari sebab sifat dari konseling itu
sendiri yaitu helping relation. Hal tersebut dibutuhkan sebagai upaya
memperlancar pelaksanaan konseling dan dalam rangka memberikan kepuasan
atau kesenangan pada klien sehingga merasa dirinya diterima. Dengan begitu
klien akan menjadi terbuka.

Enjang (2009 : 122) menjelaskan proses interaksi yang baik antara


konselor dengan klien bertujuan untuk :

1) Memenuhi kebutuhan klien


2) Mencari tahu latar belakang klien terutama mengenai persoalan yang
dihadapi
3) Membantu klien dalam menentukan persoalan yang
sesungguhnya terjadi
4) Bersama klien mencari solusi yang terbaik atas persoalan yang
dihadapi klien.

Baiknya sebuah hubungan sangat tergantung pada konselor, karenanya


konselor harus dapat mengamati dan menilai respon klien mengenai
hubungan baik yang sedang terbangun. Kemampuan konselor dalam menjalin
hubungan dengan klien tersebut dipengaruhi oleh pengetahuan, pengertian,
serta keterampilan.

Konselor dalam memberikan proses bantuan kepada klien harus


memahami tentang keterampilan dasar konseling. Priyatno (2009)
menjelaskan keterampilan-keterampilan dasar konseling yang dimaksudkan
yaitu :

a. Keterampilan Mendengarkan

Adapun keterampilan mendengarkan terdiri atas 3 komponen, yaitu


sebagai berikut :

1) Attending, adalah suatu sikap berupa pemberian perhatian kepada


klien. Tingkah laku attending sebagai salah satu metode yang
efektif atau disebut juga dengan fail safe untuk membuka suatu

KEPERAWATAN HIV/AIDS|6
wawancara. Konselor dapat mengembangkan tujuan klien dalam
melakukan penjajakan diri dan mengurangi intervensi yang bersifat
merusak.
2) Parafrase, merupakan suatu metode untuk menyatakan kembali
pesan klien dengan kata-kata yang lebih pendek dan benar.
Tujuannya untuk menguji pengertian konselor tentang apa yang
dikatakan klien dan juga menyatakan bahwa konselor mencoba
mengerti pesan klien. Adapun pengaruh akhir parafrase, klien
merasa terdorong untuk meneruskan ceritanya.
3) Menjelaskan, mempunyai tujuan mempertahankan pertanyaan-
pertanyaan yang masih kurang jelas. Dengan bersikap
menjelaskan, konselor telah membuat suatu terkaan tentang pesan
pokok yang disampaikan klien.

b. Keterampilan Memimpin

Keterampilan ini bertujuan agar klien terdorong untuk merespon


keterampilan memimpin yang dipakai konselor dalam seluruh proses
konseling dan bermanfaat dalam membuka hubungan agar klien bersedia
membuka diri dan berbicara.

Tujuan yang lebih spesifik yaitu memberikan kesempatan klien untuk


menjajaki perasaan yang sedang dialaminya secara bebas, memberikan
motivasi pada klien untuk menjajaki dan mengamati perasaaanya, serta
memberikan motivasi pada klien untuk lebih aktif dan tetap bertanggung
jawab terhadap proses konseling.

c. Keterampilan Memantulkan

Adalah suatu teknik untuk menyatakan kepada klien bahwa konselor


ada dalam kerangka acuan serta memahami, dan menghayati permasalahan
klien. Pemantulan ada 3 macam yakni perasaan, pengalaman, dan isi.
Tujuan teknik pemantulan adalah memahami pengalaman klien serta
mengatakan kepada klien bahwa konselor mencoba untuk mengamati
dunia seperti klien mengamatinya.

KEPERAWATAN HIV/AIDS|7
d. Keterampilan Merangkum

Merangkum ialah menyatukan beberapa ide dan perasaan ke dalam


suatu pernyataan, biasanya dilakukan di akhir pembicaraan. Tujuannya
agar klien merasakan adanya kemajuan dalam melakukan eksplorasi
mengenai ide, perasaan, dan menyadari adanya perkembangan
pembelajaran untuk menyelesaikan masalah. Merangkum juga dapat
dipakai untuk mengakhiri dan memperjelas ide yang baru serta dapat
memberikan keyakinan bahwa konselor merespon pesan klien.

e. Keterampilan Konfrontasi

Adalah suatu usaha untuk mengenal secara jujur dan langsung tentang
diri klien sebenarnya, apa yang sedang terjadi dengannya, atau
memperkirakan apa yang akan terjadi. Keterampilan ini memiliki resiko
yaitu kemungkinan terjadinya keengganan membuka diri dari pihak klien
atau sebaliknya yakni keterbukaan dalam komunikasi. Konfrontasi
merupakan metode menceritakan sesuatu apa adanya yang memungkinkan
timbulnya kecemasan pada diri klien.

f. Keterampilan Memberikan Informasi

Keterampilan ini dilakukan dengan memberikan sharing realita- realita


sederhana yang dimiliki konselor, sehingga dapat membantu klien.
Memberi nasihat kepada klien merupakan bentuk kegiatan pemberian
informasi yang sudah biasa dilakukan oleh konselor.

Memberi nasihat secara tradisional merupakan hal yang kontroversial


di dalam referensi-referensi konseling karena menimbulkan kesan bagi
pembimbing sebagai orang sombong yang menganggap dirinya
mengetahui semua yang klien perlukan.

g. Keterampilan Menginterpretasi

Merupakan suatu proses atau kegiatan menjelaskan arti mengenai


peristiwa-peristiwa kepada klien, sehingga klien mempunyai kemampuan
melihat permasalahannya dengan metode yang baru. Tujuannya

KEPERAWATAN HIV/AIDS|8
mengajarkan klien untuk menginterpretasikan sendiri peristiwa-peristiwa
dalam kehidupannya. Konselor merumuskan asumsinya mengenai semua
yang sedang terjadi dan bagaimana penafsirannya secara realitis tentang
perilaku klien, namun konselor tidak harus selalu sharing dengan klien
mengenai asumsinya ini.

Selain memiliki keterampilan dasar konseling, konselor harus paham terkait


prinsip konseling yaitu adanya jaminan kerahasiaan mengenai data-data klien.
Dengan kerahasiaan dirinya yang terjamin, tentu hal tersebut membuat klien
mau terbuka mengenai masalahnya kepada konselor. Sementara, konseling
HIV/AIDS sendiri yaitu strategi komunikasi perubahan perilaku yang bersifat
rahasia dan saling percaya antara klien dan konselor. Tujuan konseling yaitu
untuk meningkatkan kemampuan klien menghadapi tekanan dan pengambilan
keputusan terkait HIV/AIDS. Konseling ini menggunakan teknik keterampilan
komunikasi berfokus pada kebutuhan klien (fisik, psikososial dan spiritual
seseorang) (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

Kegiatan konseling dilakukan oleh konselor yang memiliki keterampilan


konseling dan pemahaman luas mengenai informasi HIV/AIDS. Kegiatan
konseling HIV/AIDS dilakukan di Klinik Voluntary Counseling and Testing
atau biasa dikenal dengan Klinik VCT.

VCT atau Konseling dan Tes Sukarela (KTS) merupakan kegiatan konseling
yang sifatnya sukarela dan rahasia, terdiri atas tahapan konseling pra dan pasca
tes HIV. VCT sangat penting karena sebagai pintu utama dalam perawatan dan
pelayanan HIV/AIDS dalam memberikan informasi, dukungan, dan motivasi
bagi positif ODHA menghadapi pelabelan negatif dan diskriminasi dari
lingkungan. Selain itu keberadaan VCT untuk pencegahan penularan HIV
melalui perubahan perilaku.

Hubungan antara konseling dan tes HIV dapat digambarkan seperti dibawah
ini :

KEPERAWATAN HIV/AIDS|9
VCT digunakan untuk melakukan setiap intervensi. Konseling ini
minimum terdiri atas konseling pre tes dan pasca tes HIV, juga menyediakan
konseling berkelanjutan jangka panjang, konseling dukungan, konseling
keluarga dan pasangan hingga konseling kematian.

1) Konseling Pra Test HIV

Tes HIV senantiasa didahului oleh konseling pra tes. Konseling pra tes
individual dilaksanakan untuk membantu seseorang dalam membuat keputusan
yang baik tentang apakah akan menjalani tes HIV atau tidak. Konseling pra tes
HIV membantu klien menyiapkan diri untuk pemeriksaan darah HIV,
memberikan pengetahuan akan implikasi terinfeksi atau tidak terinfeksi HIV
dan memfasilitasi diskusi tentang cara menyesuaikan diri dengan status HIV.
Konseling juga dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan yang benar dan
meluruskan pemahaman yang keliru tentang HIV/AIDS dan berbagai
mitosnya.

Konseling pra tes menantang konselor untuk dapat membuat keseimbangan


antara pemberian informasi, penilaian risiko dan merespon kebutuhan emosi
klien. Banyak orang takut melakukan tes HIV karena berbagai alasan termasuk
perlakuan diskriminasi dan stigmatisasi masyarakat dan keluarga. Karena itu
layanan VCT senantiasa melindungi klien dengan menjaga kerahasiaan.
Peletakan kepercayaan klien pada konselor merupakan dasar utama bagi
terjaganya rahasia dan terbinanya hubungan yang baik. Penggunaan

K E P E R A W A T A N H I V / A I D S | 10
keterampilan konseling mikro sangat penting untuk membina rapport dan
menunjukkan adanya layanan yang berfokus pada klien.

2) Konseling Pasca Test HIV

Konseling pasca tes HIV membantu klien memahami dan menyesuaikan


diri dengan hasil tes, baik itu hasilnya positif atau negatif. Konselor
mempersiapkan klien untuk menerima hasil tes, memberitahukan hasil tesnya,
dan menyediakan informasi selanjutnya, atau bila perlu merujuk klien ke
fasilitas layanan lainnya. Selanjutnya konselor mengajak klien mendiskusikan
strategi untuk menurunkan transmisi HIV dan pengurangan risiko.

Bentuk dari konseling pasca tes tergantung dari hasil tes. Jika hasil tes
positif, konselor menyampaikan hasil tes dengan cara yang dapat diterima
klien, secara halus dan manusiawi, serta memperhatikan kondisi individu klien
dan budaya setempat. Ketika hasil tes positif, konselor harus:

1) Memberitahu klien sejelas dan sehati-hati mungkin, dan dapat


mengatasi reaksi awal yang timbul.
2) Memberi mereka cukup waktu untuk memahami dan mendiskusikan
hasil tes tersebut.
3) Memberikan informasi dengan cara yang mudah dimengerti,
memberikan dukungan emosional, dan membantu mereka untuk
mendiskusikan bagaimana mereka akan menghadapi hal itu, termasuk
mengidentifikasi dukungan apa yang tersedia di rumah.
4) Merujuk klien ke layanan yang diperlukan, misalnya kelompok
dukungan masyarakat atau fasillitas kesehatan.
5) Menjelaskan bahwa hasil tes akan tetap dirahasiakan, sehingga tidak
akan ada orang lain yang tahu kecuali atas persetujuan klien.
6) Mendiskusikan siapa orang yang mungkin ingin diberitahu tentang hasil
tes itu dan bagaimana cara untuk melakukannya.
7) Menjelaskan bagaimana klien dapat menjaga kesehatannya termasuk
informasi tentang pola hidup, makanan, olah raga, istirahat, dan
menghindari infeksi.

K E P E R A W A T A N H I V / A I D S | 11
8) Memberi tahu klien tentang layanan kesehatan dan terapi jika
dibutuhkan.
9) Bila klien adalah wanita hamil, mendiskusikan cara menghindari
penularan terhadap bayinya, membantu mereka untuk membuat
keputusan yang mereka rasa paling baik dan merujuk untuk knseling
lebih lanjut.
10) Mendiskusikan pencegahan cara penularan HIV kepada pasangan-
pasangan yang munngkin tidak terinfeksi dan memberikan informasi
tentang hubungan seks yang lebih aman.

Konseling tetap diperlukan walaupun hasil tes negatif. Di sini konselor dan
klien mendiskusikan perasaan yang timbul dari hasil tersebut dan
mendiskusikan pencegahan dari infeksi HIV. Meskipun orang akan merasa
lega mendapatkan hasil negatif, konselor harus menjelaskan bahwa karena
adanya masa jendela (window period), hasil negatif ini tidaklah sepenuhnya
menjamin bahwa orang ini tidak terinfeksi HIV. Konselor harus
menganjurkan untuk mempertimbangkan datang kembali dan tes ulang
setelah 3-6 bulan. Selain itu, konselor dapat membantu klien dalam
memformulasikan strategi lain agar tetap dalam hasil tes yang negatif. Dasar
keberhasilan konseling pasca tes ditentukan oleh baiknya konseling pra tes.
Bila konseling pra tes berjalan baik, maka dapat terbina rapport antara
konselor dan klien. Dengan dasar ini, maka akan memudahkan terjadinya
perubahan perilaku di masa datang dan memungkinkan pendalaman akan
masalah klien. Mereka yang menunggu hasil tes HIV berada dalam
kecemasan, dan mereka yang menerima hasil tes HIV positif kemungkinan
akan mengalami distress. Karena itu disarankan agar konselor yang
melakukan konseling pasca tes adalah konselor yang sama dengan konselor
yang menjalankan konseling pra tes.

B. Alasan dan Tujuan Konseling HIV/AIDS

Masalah HIV/AIDS merupakan masalah sosial yang berdampak besar


pada masyarakat. Untuk itu diselenggarakan suatu layanan VCT yang

K E P E R A W A T A N H I V / A I D S | 12
dimaksudkan sebagai usaha pencegahan dan perawatan HIV. Adapun alasan
diadakannya VCT adalah:

a. Pencegahan HIV

Konseling dan tes sukarela HIV berkualitas tinggi merupakan


komponen efektif (juga efektif dari sudut biaya) pendekatan prevensi,
yang mempromosikan perubahan perilaku seksual dan perilaku berisiko
lainnya dalam menurunkan penularan HIV. Dalam laporan mengenai
efektivitas VCT di Kenya, Tanzania, dan Trinidad pada tahun 2000,
mereka yang menggunakan jasa layanan VCT, di dalam dirinya ada
perasaan yang kuat tentang tata nilai, akivitas seksual, dan diagnosis
(apakah positif atau negatif) dan seringkali mereka betul-betul
menurunkan perilaku berisikonya. VCT menawarkan kepada para
pasangan untuk mencari tahu status HIV mereka dan perencanaan hidup
mereka yang berkenaan dengan hal tersebut.

b. Pintu masuk menuju terapi dan perawatan

VCT telah terbukti sangatlah berperan sebagai pintu gerbang menuju


pelayanan medik dan dukungan sesuai yang dibutuhkan. VCT sudah
mendesak untuk dipandang sebagai penghormatan atas hak asasi mereka
dari sisi kesehatan masyarakat, karena infeksi HIV merupakan hal serius
yang mempunyai dampak begitu besar bagi kesehatan dan kesejahteraan
masyarakat, termasuk kesehatan reproduktif, kehidupan seksual dan
keluarga, kehidupan sosial dan produktivitas masyarakat dalam jangka
panjang.

Konseling HIV/AIDS bersifat komunikasi rahasia antara klien dan


petugas kesehatan bertujuan memungkinkan klien menghadapi stres dan
menentukan pilihan pribadi berkaitan dengan HIV/AIDS. Proses
konseling termasuk melakukan evaluasi risiko penularan HIV pribadi,
memberikan fasilitasi perubahan perilaku, dan melakukan evaluasi
mekanisme coping ketika klien dihadapkan pada hasil tes (+).

K E P E R A W A T A N H I V / A I D S | 13
Adapun konseling HIV/AIDS dilakukan yang bertujuan untuk sebagai
berikut :

1) Menyediakan dukungan psikologis, sosial dan spiritual seseorang


yang mengidap virus HIV.
2) Pencegahan penularan HIV/AIDS dengan menyediakan informasi
tentang perilaku berisiko dan membantu orang dalam
mengembangkan keterampilan pribadi yang diperlukan untuk
perubahan perilaku dan negosiasi praktek yang lebih aman.
3) Memastikan efektivitas rujukan kesehatan, terapi, dan perawatan
melalui pemecahan masalah kepatuhan berobat.

Adapun konselor HIV/AIDS dapat mencapai tujuan di atas melalui


cara sebagai berikut :

1) Memungkinkan orang untuk mengenali dan mengekspresikan


perasaannya.
2) Menggali opsi dan membantu klien membangun rencana tindakan
tentang isu atau permasalahan yang dihadapi.
3) Membangkitkan perubahan perilaku yang sesuai
4) Menyediakan informasi terkini tentang prevensi, terapi dan
perawatan HIV/AIDS
5) Memberikan informasi tentang sumber dan institusi (baik
pemerintah maupun non pemerintah) yang dapat membantu
kesulitan sosial, ekonomi, dan budaya yang timbul berkaitan
dengan HIV.
6) Membantu klien memperoleh dukungan dari jejaring sosial,
keluarga dan lingkungan mereka.
7) Membantu klien menyesuaikan diri dengan keadaan yang terjadi
saat ia mengalami sakit, berduka dan kehilangan suami, isteri,
pasangan, kawan, atau penghasilan, rumah dan pekerjaan.
8) Mengambil peran advokasi, misalnya membantu klien mengatasi
diskriminasi dan mengingatkannya atas hak-haknya.

K E P E R A W A T A N H I V / A I D S | 14
9) Membantu klien mengendalikan hidupnya dan menemukan arti
kehidupannya.

Konseling HIV/AIDS lebih terarah kepada kebutuhan fisik, sosial,


psikologis dan spiritual seseorang. Oleh karena itu seorang konselor
HIV/AIDS harus mempertimbangkan masalah infeksi dan penyakit,
kematian dan kesedihan, stigma dan diskriminasi sosial, seksualitas, gaya
hidup, serta pencegahan penularan. VCT merupakan komponen kunci
dalam program HIV di negara maju, tetapi sampai kini belum menjadi
strategi besar di negara berkembang, termasuk Indonesia. Oleh karena itu,
dari sisi kesehatan masyarakat VCT sduah mendesak untuk dipandang
sebagai penghormatan atas hak asasi manusia, karena tingginya prevalensi
infeksi HIV merupakan hal serius yang mempunyai dampak terhadap
kesehatan dan kesejahteraan masyarakat demikian luasnya, termasuk
kesehatan reproduktif, kehidupan seksual dan keluarga, kehidupan sosial
dan produktivitas di masyarakat.

Zulfan Saam (2013 : 137) menjelaskan tujuan dari konseling terhadap


ODHA, yaitu :

a. Dukungan psikologis (emosi, sosial, spiritual).


b. Pencegahan penularan HIV (informasi perilaku berisiko : seks
aman, penggunaan jarum suntik), keterampilan pribadi untuk
perubahan perilaku dan negosiasi praktik lebih aman.
c. Untuk memastikan efektivitas rujukan kesehatan, terapi dan
perawatan melalui pemecahan masalah kepatuhan berobat.

C. Prinsip Konseling HIV/AIDS

Dalam pelayanan konseling prinsip-prinsip yang digunakan bersumber


dari kajian filosofis, hasil-hasil penelitian dan pengalaman praktis tentang
hakikat manusia, perkembangan dan kehidupan manusia dalam konteks social
budayanya, pengertian, tujuan, fungsi, dan proses penyelenggaraan konseling.

K E P E R A W A T A N H I V / A I D S | 15
Rumusan prinsip-prinsip bimbingan dan konseling pada umumnya
berkenaan dengan sasaran pelayanan, masalah klien, tujuan dan proses
penanganan masalah, program pelayanan, dan penyelenggaraan layanan.

a. Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan sasaran pelayanan

Sasaran pelayanan konseling adalah individu-individu, baik


perorangan maupun kelompok. Individu-individu itu sangat bervariasi,
baik dalam hal umur, jenis kelamin, status social ekonomi, kedudukan,
pangkat dan jabatan, keterikatan terhadap lembaga, dan variasi-variasi
lainnya. Konseling melayani semua individu tanpa memandang umur,
jenis kelamin, suku, agama, dan status social ekonomi. Bimbingan dan
konseling berurusan dengan pribadi dan tingkah laku individu yang unik
dan dinamis. Bimbingan dan konseling memperhatikan sepenuhnya
tahap dan berbagai aspek perkembangan individu dan memberikan
perhatian utama kepada perbedaan individual yang menjadi orientasi
pokok pelayanannya.

b. Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan masalah individu

Secara ideal pelayanan konseling ingin membantu semua individu


dengan berbagai permasalahan. Namun, karena keterbatasan yang ada,
pelayanan konseling hanya mampu menangani masalah klien secara
terbatas. Bidang konseling pada umumnya dibatasi hanya pada hal-
hal yang menyangkut pengaruh kondisi mental/fisik individu terhadap
penyesuaian dirinya, dan sebaliknya pengaruh lingkungan terhadap
kondisi mental dan fisik individu.

c. Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan program pelayanan

Layanan konseling dapat dilaksanakan secara “insidental” mau


pun terprogram. Pelayanan insidental diberikan kepada klien-klien yang
secara langsung datang kepada konselor untuk meminta bantuan.
Sedangkan untuk lembaga tempat konselor bertugas, perlu disusun suatu
program pelayanan. Program bimbingan dan konseling harus fleksibel
disesuaikan dengan kebutuhan individu, masyarakat dan kondisi lembaga.

K E P E R A W A T A N H I V / A I D S | 16
Terhadap isi dan pelaksanaan program bimbingan dan konseling perlu
adanya penilaian yang teratur dan terarah. Pengembangan program
pelayanan bimbingan dan konseling ditempuh melalui pemanfaatan yang
maksimal dari hasil pengukuran dan penilaian terhadap individu yang
terlihat dalam proses pelayanan dan program bimbingan konseling itu
sendiri.

d. Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan pelaksanaan layanan

Berkaitan dengan pelaksanaan layanan, bimbingan dan konseling


harus diarahkan untuk pengembangan individu yang akhirnya mampu
membimbing diri sendiri dalam menghadapi permasalahan. Dalam proses
bimbingan dan konseling keputusan yang diambil dan hendak dilakukan
oleh individu hendaknya atas kemauan individu itu sendiri, bukan karena
kemauan atas desakan dari pembimbing atau pihak lain. Permasalahan
individu harus ditangani oleh tenaga ahli dalam bidang yang relevan
dengan permasalahan yang dihadapi.

D. Proses Konseling

1. Tahap pertama : Dimulai dari membina hubungan baik dan membina


kepercayaan, dengan menjaga rahasia dan mendiskusikan keterbatasan
rahasia, melakukan ventilasi permasalahan, mendorong ekspresi
perasaan, diutamakan dapat menggali masalah, terusmendorong klien
menceritakannya. Upayakan dapat memperjelas harapan klien dengan
mendeskripsikan apa yang konselor dapat lakukan dan cara kerja
mereka serta memberi pernyataan jelas bahwasanya komitmen
konselor akan bekerja bersama denganklien.
2. Tahap kedua : Mendefinisikan dan pengertian peran, memberikan
batasan dan kebutuhan untuk mengungkapkan peran dan batasan
hubungan konseling, mulai dengan memaparkan dan memperjelas
tujuan dan kebutuhan klien, menyusun prioritas tujuan dan kebutuhan
klien, mengambil riwayat rinci – menceritakan hal spesifik secara
rinci, menggali keyakinan, pengetahuan dan keprihatinan klien.

K E P E R A W A T A N H I V / A I D S | 17
3. Tahap ketiga : Proses dukungan konseling lanjutan yakni dengan
meneruskan ekspresi perasaan / pikiran , mengidentifikasi opsi,
mengidentifikasi ketrampilan, penyesuaian diri yang telah ada,
mengembangkan keterampilan penyesuaian diri lebih lanjut,
mengevaluasi opsi dan implikasinya, memungkinkan perubahan
perilaku, mendukung dan menjaga kerjasama dalam masalah klien,
monitoring perbaikan tujuan yang terindentifikasi, rujukan yang sesuai.
4. Tahap empat : Untuk menutup atau mengakhiri hubungan konseling.
Disarankan kepada klien dapat bertindak sesuai rencana klien menata
dan menyesuaiakan diri dengan fungsi sehari-hari, bangun eksistensi
sistem dukungan dan dukungan yang diakses, lalu mengidentifikasi
strategi untuk memelihara hal yang sudah berubah baik. Untuk
pengungkapan diri harus didiskusikan dan direncanakan, atur interval
parjanjian diperpanjang, disertai pengenalan dan pengaksesan sumber
daya dan rujukan yang tersedia, lalu pastikan bahwa ketika ia
membutuhkan para konselor senantiasa bersedia membantu. Menutup
atau mengakhiri konseling dengan mengatur penutupan dengan diskusi
dan rencana selanjutnya, bisa saja dengan membuat perjanjian
pertemuan yang makin lama makin panjang intervalnya. Senantiasa
menyediakan sumber dan rujukan yang telah dikenali dan dapat
diakses, memastikan klien dapat mengakses konselor jika ia memilih
untuk kembali ketika membutuhkan.

Penuntunan Belajar Teknik Konseling Penderita HIV

LANGKAH KLINIK

1. PERSIAPAN PERTEMUAN

 Penampilan pemeriksa
 Waktu yang cukup
 Tempat yang nyaman
 Privasi terjaga
 Form VCT

K E P E R A W A T A N H I V / A I D S | 18
2. SAAT KONSELING

 Memperlihatkan sikap yang ramah, mengucapkan salam


 Menciptakan suasana yang bersahabat dalam rangka membina
sambung rasa
 Menggunakan bahasa yang mudah dipahami
 Menjadi pendengar yang baik
 Memberi kesempatan kepada klien untuk memberikan respons
 Konseling dimulai dengan konselor memperkenalkan diri kemudian
menanyakan data diri klien yaitu :

Nama

Umur

Alamat

Status perkawinan

Pekerjaan

Tingkat pendidikan

 Anamnesis untuk mengumpulkan informasi dan identifikasi masalah


pada konseling pra testing.

Pada tahap ini, konselor dapat mengetahui dari klien tentang keluhan
utama dan resiko infeksi HIV.

1. Konselor harus mengidentifikasi tanda-tanda infeksi HIV setiap


stadium dan infeksi opportunistik pada pasien (demam lama,
diare lama, berat badan turun, batuk lama, penyakit menular
seksual, kandidiasis oral, penyakit kulit kronik, dll).
2. Faktor resiko yng perlu diidentifikasi adalah pengguna narkoba
suntik (penasun), pekerja seks komersial (PSK), homoseksual
atau MSM (male having sex with male), riwayat transfuse
darah, berganti-ganti pasangan seks, ataupun memiliki pasangan
dengan factor resiko.

K E P E R A W A T A N H I V / A I D S | 19
3. Menjelaskan mengenai window period, yaitu periode sebelum
virus HIV bisa diidentifikasi dalam darah, yaitu selama 3 bulan
setelah perilaku beresiko.
4. Menjelaskan prosedur pemeriksaan HIV dan menanyakan
kesediaan klien untuk diperiksa. Tes dilakukan dengan
pengambilan darah dari ujung jari, dan hasilnya dapat ditunggu
selama 15 menit.
5. Menanyakan kesiapan pasien menerima hasil pemeriksaaan dan
menjelaskan bahwa terapi ARV akan diberikan seumur hidup
bila hasilnya positif.

 Melakukan konseling pasca testing dengan menanyakan kembali


terlebih dahulu kesiapan pasien untuk menerima hasil tes. Hasil tes
diberikan dalam amplop tertutup.

1. Konselor menjelaskan hasil tes dengan empati.


2. Bila hasil negative, konselor menjelaskan perubahan perilaku
beresiko yang perlu dilakukan oleh klien (tidak berganti
pasangan, menggunakan jarum suntik steril, memakai kondom,
dll) atau pengulangan tes setelah 3 bulan bila memiliki resiko.
3. Bila hasil positif, konselor menjelaskan mengenai pencegahan
penularan dengan pemakaian kondom, penggunaan jarum suntik
steril, tidak menjadi donor darah. Selain itu menjelaskan kontak
support group HIV dan tempat penyedia layanan terapi ARV
bila diperlukan. Konselor juga menjelaskan agar pasien dapat
mengenali tanda-tanda infeksi opportunistic.

 Sebelum menutup diskusi sangat penting untuk konselor bertanya


kepada klien apakah ada hal-hal yang masih ingin ditanyakan atau
yang tidak dimengerti oleh klien. Mengulang pertanyaan dan
mempertegasnya merupakan hal yang sangat penting sebelum menutup
sesi diskusi. Penekanan pesan yang diulang beberapa kali biasanya
akan diingat oleh klien.

K E P E R A W A T A N H I V / A I D S | 20
 Dokumentasi proses konseling HIV dengan mengisi form
VCT/PITC/PMTCT.

2.3.BAGAIMANAKAH PRINSIP KOMUNIKASI KONSELING PADA


KLIEN DENGAN VCT

A. Definisi Konseling Dalam VCT

Definisi Voluntary Counseling Test (VCT) proses konseling pra testing,


konseling post testing, dan testing HIV secara sukarela yang bersifat
convidential dan secara lebih dini membantu orang mengenai status HIV.
Konseling pra testing memberikan pengetahuan tentang HIV dan manfaat
testing, pengembalian keputusan untuk testing, dan perencanaan atas issue
HIV yang akan dihadapi. Konseling post testing membantu seseorang untuk
mengerti dan menerima status (HIV + ) dan merujuk pada layanan dukungan.
Konseling dalam VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan
dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah
penularan HIV, mempromosikan perubahan prilaku yang bertanggung jawab,
pengobatan ARV dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait
dengan HIV/AIDS.

B. Peran Konseling dan Testing Sukarela (VCT)

Menurut Kemenkes RI Tahun 2013 menjelaskan bahwa peran konseling


dan testing sukarela adalah sebagai berikut :

a. Layanan VCT dapat dilakukan berdasarkan kebutuhkan klien pada saat


klien mencari pertolongan medic dan testing yaitu dengan memberikan
layanan dini dan memadai baik kepada mereka dengan HIV positif
maupun negatif. Layanan ini termasuk konseling, dukungan,akses atau
terapi suportif, terapi infeksi oportunistik, dan ART.
b. VCT harus dikerjakan secara professional dan konsisten untuk
memperoleh intervensi efektif memungkinkan klien, dengan bantuan
konselor terlatih, menggali dan memahami diri akan risiko infeksi HIV,
mendapatkan informasi HIV dan AIDS, mempelajari status dirinya, dan

K E P E R A W A T A N H I V / A I D S | 21
mengerti tanggung jawab untuk menurunkan prilaku berisiko dan
mencegah penyebaran infeksi terhadap orang lain guna
mempertahnakan dan meningkatkan prilaku sehata.
c. Testing HIV dilakukan secara sukarela tanpa paksaan dan tekanan,
segera setelah klien memahami berbagia keuntungan, konsekuensi, dan
risiko.

Konsling dan test HIV sukarela yang dikenal sebagai Voluntary


Counseling and Testing (VCT) merupakan salah satu strategi kesehatan
masyarakat sebagai pintu masuk ke seluruh layanan kesehatan HIV dan AIDS
berkelanjutan. Program VCT dapat dilakukan berdasarkan kebutuhan klien
dengan memberikan layana dini dan memadai baik kepada mereka dengan
HIV positif maupun negatif. Layanan ini termasuk pencegahan primer melalu
konseling dan KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) seperti pemahaman
HIV, pencegahan penularan dari ibu ke anak ( Prevention of Mother To Child
Transmission – PMTCT) dan akses terapi infeksi oportunistik, seperti
tuberculosis (TBC) dan infeksi menular seksual.

VCT harus dikerjakan secara professional dan konsisten untuk


memperoleh intervensi efektif memungkinkan klien, dengan bantuan konseler
teralatih, menggali dan memahami diri akan risiko infeksi HIV, mendapatkan
informasi HIV dan AIDS, mempelajari status dirinya, dan mengerti tanggung
jawab untuk menurunkan prilaku berisiko dan mencegah penyebaran infeksi
kepada orang lain guna mempertahankan dan meningkatkan prilaku sehat.
VCT merupakan kegiatan konseling bersifat sukarela dan rahasia, yang
dilakukan sebelum dan sesudah test darah untuk HIV di laboratorium.

Test HIV dilakukan setelah klien terlebih dahulu memahami dan


menandatangani informed consent yaitu surat persetujuan setelah
mendapatkan penjelasan yang lengkap dan benar. VCT merupakan hal
penting karena :

1. Merupakan pintu masuk ke seluruh layanan HIV dan AIDS


2. Menawarkan keuntungan, baik bagi yang hasil testnya positif maupun
negatif, dengan focus pada pemberian dukungan atas kebutuhan klien

K E P E R A W A T A N H I V / A I D S | 22
seperti perubahan prilaku, dukungan mental, dukungan terapi ARV,
pemahaman faktual dan terkini atas HIV dan AIDS.
3. Mengurangi stigma masyarakat
4. Merupakan pendekatan menyeluruh : kesehatan fisik dan mental
5. Memudahkan akses keberbagai pelayanan yang dibutuhkan klien baik
kesehatan maupun psikososial. Meskipun VCT adalah sukarela
namun utamnya diperuntukkan bagi orang-orang yang sudah
terinfeksi HIV atau AIDS, dan keluarganya, atau semua orang yang
mencari pertolongan karena merasa telah melakukan tindakan
berisiko dimasa lalu dan merencanakan perubahan dimasa depannya,
dan mereka yang tidak mencari pertolongan namun berisiko tinggi.

VCT sebaiknya dilakukan 2 sampai 3 bulan setelah kita merasa melakukan


kegiatan yang berisiko. Dilakukan 2 sampai 3 bulan kerana masa inkubasi
HIV umumnya 3 minggu sampai dengan 2 bulan. Biasnaya dianjurkan untuk
melakukan test ulang 6 bulan berikutnya untuk medapatkan hasil yang lebih
akurat.

Ada beberapa prinsip yang harus dipatuhi dalam pelayanan VCT, yakni
VCT harus dilakukan dengan :

1. Sukarela, tanpa paksaan.


2. Kerahasiaan terjamin : proses dan hasil tes rahasia dalam arti hanya
diketahui dokter/konselor dan klien.
3. Harus dengan konseling.
4. VCT tidak boleh dilakukan tanpa adanya konseling atau dilakukan
secara diamdiam.
5. Harus ada persetujuan dari pasien dalam bentuk penandatanganan
Lembar Persetujuan (informed consent) (Depkes RI, 2006).

C. Tujuan Umum VCT

Tujuan umum VCT adalah untuk mempromosikan perubahan perilaku


yang mengurangi risiko mendapat infeksi dan penyebaran HIV. Tujuan
Khusus VCT Bagi ODHA :

K E P E R A W A T A N H I V / A I D S | 23
1. Meningkatkan jumlah ODHA yang mengetahui bahwa dirinya
terinfeksi HIV. Saat ini sangat sedikit orang di Indonesia yang
diketahui terinfeksi HIV. Kurang dari 2.5% orang diperkirakan telah
terinfeksi HIV mengetahui bahwa dirinya terinfeksi.
2. Mempercepat diagnose HIV, Sebagian besar ODHA di Indonesia baru
mebgetahui bahwa dirinya terinfeksi setelah mencapai tahap
simtomatik (bergejala) dan masuk ke stadium AIDS, bahkan dalam
keadaan hampir meninggal. Dengan diagnosa lebih dini, ODHA
mendapat kesempatan untuk melindungi diri dan pasangannya, serta
melibatkan dirinya dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS di
Indonesia, sesuai dengan asas keterlibatan lebih besar oleh ODHA
(GIPA-Greater involvement of people with AIDS ) yang
dideklarasikan pada KTT AIDS Paris 1994, yang ditanda tangani 42
negara termasuk Indonesia.
3. Meningkatan penggunaan layanan kesehatan dan pencegahan
terjadinya infeksi lain pada ODHA. ODHA yang belum mengetahui
dirinya terinfeksi HIV tidak dapat mengambil manfaat profilaksis
terhadap infeksi oportunistik, yang sebetulnya sangatlah mudah dan
efektif. selain itu,mereka juga tidak dapat memperoleh terapi
antiretroviral secara lebih awal, sebelum system kekebalan tubuhnya
rusk total dan tidak dipulihkan kembali.
4. Meningkatkan kepatuhan terhadap terapi antiretroviral. Agar virus
tidak menjadi resisten dan efektivitas obat dapat dipertahankan
diperlukan kepatuhan yang tinggi terhadap pengobatan. kepatuhan
tersebut didorong oleh pemberian informasi yang lengakap, dan
pemahaman terhadap informasi tersebut, serta oleh dukungan
pendamping.

Meningkatkan jumlah ODHA yang berperilaku hidup sehat dan


melanjutkan perilaku yang kurang berisiko terhadap penularan HIV dan IMS.
Jika sebagian ODHA tahu status HIV dirinya, dan berperilaku sehat agar
tidak menulari orang lain maka mata rantai epidemi HIV akan terputus.
Konseling merupakan proses interaksi antara konselor dank lien yang

K E P E R A W A T A N H I V / A I D S | 24
membuahkan kematangan kepribadian pada konselor dan memberikan
dukungan mental- emosional pada klien. Proses konseling mencakup upaya-
upaya yang realistik dan terjangkau serta dapat dilaksanakan

D. Tahapan Layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT)

a. Pre-test counseling

Pre-test counseling adalah diskusi antara klien dan konselor yang


bertujuan untuk menyiapkan klien untuk testing, memberikan pengetahuan
pada klien tentang HIV/AIDS. Isi diskusi yang disampaikan adalah klarifikasi
pengetahuan klien tentang HIV/AIDS, menyampaikan prosedur tes dan
pengelolaan diri setelah menerima hasil tes, menyiapkan klien menghadapi
hari depan, membantu klien memutuskan akan tes atau tidak, mempersiapkan
informed consent dan konseling seks yang aman.

b. HIV testing

Pada umumnya, tes HIV dilakukan dengan cara mendeteksi antibodi


dalam darah seseorang. Jika HIV telah memasuki tubuh seseorang, maka di
dalam darah akan terbentuk protein khusus yang disebut antibodi. Antibodi
adalah suatu zat yang dihasilkan sistem kekebalan tubuh manusia sebagai
reaksi untuk membendung serangan bibit penyakit yang masuk. Pada
umumnya antibodi terbentuk di dalam darah seseorang memerlukan waktu 6
minggu sampai 3 bulan tetapi ada juga sampai 6 bulan bahkan lebih. Jika
seseorang memiliki antibodi terhadap HIV di dalam darahnya, hal ini berarti
orang itu telah terinfeksi HIV. Tes HIV yang umumnya digunakan adalah
Enzyme Linked Imunosorbent Assay (ELISA), Rapid Test dan Western
Immunblot Test. Setiap tes HIV ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang
berbeda. Sensitivitas adalah kemampuan tes untuk mendeteksi adanya
antibodi HIV dalam darah sedangkan spesifisitas adalah kemampuan tes untuk
mendeteksi antibodi protein HIV yang sangat spesifik.

1. Enzyme Linked Imunosorbent Assay (ELISA)

Tes ini digunakan untuk mendeteksi antibodi yang dibuat tubuh


terhadap virus HIV. Tes ELISA ini dapat dilakukan dengan sampel darah

K E P E R A W A T A N H I V / A I D S | 25
vena, air liur, atau air kencing. Hasil positif pada ELISA belum dapat
dipastikan bahwa orang yang diperiksa telah terinfeksi HIV karena tes ini
mempunyai sensitivitas tinggi tetapi spesifisitas rendah. Oleh karena itu
masih diperlukan tes pemeriksaan lain untuk mengkonfirmasi hasil
pemeriksaan ELISA ini. Jadi walaupun ELISA menunjukkan hasil positif,
masih ada dua kemungkinan, orang tersebut sebenarnya tidak terinfeksi
HIV atau betul-betul telah terinfeksi HIV.

2. Rapid Test

Penggunaan dengan metode rapid test memungkinkan klien


mendapatkan hasil tes pada hari yang sama dimana pemeriksaan tes hanya
membutuhkan waktu 10 menit. Metode pemeriksaan dengan menggunakan
sampel darah jari dan air liur. Tes ini mempunyai sensitivitas tinggi
(mendekati 100) dan spesifisitas (>99%). Hasil positif pada tes ini belum
dapat dipastikan apakah dia terinfeksi HIV. Oleh karena itu diperlukan
pemeriksaan tes lain untuk mengkonfirmasi hasil tes ini.

3. Western Immunoblot Test

Sama halnya dengan ELISA, Western Blot juga mendeteksi antibodi


terhadap HIV. Western blot digunakan sebagai tes konfirmasi untuk tes
HIV lainnya karena mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi untuk
memastikan apakah terinfeksi HIV atau tidak.

c. Post-test counseling

Post-test counseling adalah diskusi antara konselor dengan klien yang


bertujuan menyampaikan hasil tes HIV klien, membantu klien beradaptasi
dengan hasil tes, menyampaikan hasil secara jelas, menilai pemahaman mental
emosional klien, membuat rencana dengan menyertakan orang lain yang
bermakna dalam kehidupan klien, menjawab, menyusun rencana tentang
kehidupan yang mesti dijalani dengan menurunkan perilaku berisiko dan
perawatan, dan membuat perencanaan dukungan (Pedoman Pelayanan VCT,
2016:11).

K E P E R A W A T A N H I V / A I D S | 26
2.4.BAGAIMANAKAH PRINSIP KOMUNIKASI KONSELING PADA
KLIEN DENGAN PMTCT

A. Prinsip Komunikasi Konseling pada Klien PMTCT

Prevention of Mother to Child Trasmission (PMTCT). Penularan HIV dari


ibu hamil dengan HIV positif kepada anaknya berkisar antara 15%-45%.
Kemungkinan ini dapat berkurang sekitar 5% dengan pencegahan yang benar
sehingga diperlukan program PMTCT.

 Pelaksanaan PMTCT meliputi:


1) Pemeriksaan dan konseling pada wanita hamil
2) Pemeriksaan ARV untuk PMTCT
3) Pemberian ARV profilaksis untuk bayi yang lahir dari ibu yang positif
HIV

1. Besaran Masalah HIV pada Perempuan

Walaupun prevalensi HIV pada perempuan di Indonesia hanya 16%,


tetapi karena mayoritas (92,54%) ODHA berusia aktif (15-49 tahun),
maka diperkirakan jumlah kehamilan dengan HIV positif akan meningkat.
Infeksi HIV dapat berdampak kepada ibu dan bayi. Dampak infeksi HIV
terhadap ibu antara lain: timbulnya stigma sosial, diskriminasi, morbiditas
dan mortalitas maternal. Besarnya stigma sosial menyebabkan ODHA
semakin menutup diri tentang keberadaannya, yang pada akhirnya akan
mempersulit proses pencegahan dan pengendalian infeksi. Diskriminasi
dalam kehidupan sosial menyebabkan ODHA kehilangan kesempatan
untuk berkarya dan memberikan penghidupan yang layak pada
keluarganya. Karena terjadi penurunan daya tahan tubuh secara bermakna,
maka morbiditas dan mortalitas maternal akan meningkat pula. Sedangkan
dampak infeksi HIV terhadap bayi antara lain: gangguan tubuh kembang
karena rentan terhadap penyakit, peningkatan mortalitas, stigma sosial,
yatim piatu lebih dini akibat orang tua meninggal karena AIDS, dan
permasalahan ketaatan minum obat pada penyakit menahun seumur hidup.

K E P E R A W A T A N H I V / A I D S | 27
Dampak buruk dari penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah
apabila:

(1) Terdeteksi dini.


(2) Terkendali (Ibu melakukan perilaku hidup sehat, Ibu mendapatkan
ARV profilaksis secara teratur, Ibu melakukan ANC secara teratur,
Petugas kesehatan menerapkan pencegahan infeksi sesuai
Kewaspadaan Standar).
(3) Pemilihan rute persalinan yang aman (seksio sesarea).
(4) Pemberian PASI (susu formula) yang memenuhi persyaratan,
(5) Pemantauan ketat tumbuh kembang bayi dan balita dari ibu dengan
HIV positif.
(6) Adanya dukungan yang tulus, dan perhatian yang berkesinambungan
kepada ibu, bayi dan keluarga.

2. Bagan Penularan HIV kepada Perempuan dan Anak

Suami/Pasangan

1. Seks tanpa kondom


dengan perempuan lain
(PSK)
Tertular Hubungan seks tanpa
2. Pengguna narkoba HIV kondom dengan istri
suntikan
(jarum tak steril, pakai
bergantian)

3. Istri yang terinfeksi

Bayi berisiko Istri hamil dengan Istri Tertular


tertular HIV HIV dan AIDS HIV

K E P E R A W A T A N H I V / A I D S | 28
3. Tujuan Program PMTCT

Adapun Program Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi bertujuan


untuk:

a. Mencegah penularan HIV dari Ibu ke Bayi

Sebagian besar infeksi HIV pada bayi disebabkan penularan dari ibu.
Infeksi yang ditularkan dari ibu ini kelak akan mengganggu kesehatan
anak. Diperlukan upaya intervensi dini yang baik, mudah dan mampu
laksana guna menekan proses penularan tersebut.

b. Mengurangi dampak epidemi HIV terhadap Ibu dan Bayi

Dampak akhir dari epidemi HIV berupa berkurangnya kemampuan


produksi dan peningkatan beban biaya hidup yang harus ditanggung
oleh ODHA dan masyarakat Indonesia di masa mendatang karena
morbiditas dan mortalitas terhadap Ibu dan Bayi. Epidemi HIV terutama
terhadap Ibu dan Bayi tesebut perlu diperhatikan, dipikirkan dan
diantisipasi sejak dini untuk menghindari terjadinya dampak akhir
tersebut.

4. Bentuk-Bentuk Intervensi PMTCT

Dengan intervensi yang baik maka risiko penularan HIV dari ibu ke
bayi sebesar 24-45% bisa ditekan menjadi kurang dari 2%. Menurut
estimasi Depkes, setiap tahun terdapat 9.000 ibu hamil HIV positif yang
melahirkan di Indonesia. Berarti, jika tidak ada intervensi diperkirakan
akan lahir sekitar 3.000 bayi dengan HIV positif setiap tahunnya di
Indonesia.

 Intervensi tersebut meliputi 4 konsep dasar:

(1) Mengurangi jumlah ibu hamil dengan HIV positif

Secara bermakna penularan infeksi virus ke neonatus dan bayi


terjadi trans plasenta dan Intra partum. Terdapat perbedaan variasi
risiko penularan dari ibu ke bayi selama kehamilan dan laktasi,

K E P E R A W A T A N H I V / A I D S | 29
tergantung sifat infeksi terhadap ibu : Infeksi primer ( HSV/ Herpes
Simpleks Virus, HIV1), Infeksi Sekunder/ Reaktivasi (HSV, CMV/
Cyto Megalo Virus), atau Infeksi Kronis (Hepatitis B, HIV1, HTLV-
I).Mengingat adanya kemungkinan transmisi vertikal dan adanya
kerentanan tubuh selama proses kehamilan, maka pada dasarnya
perempuan dengan HIV positif tidak dianjurkan untuk hamil.

Dengan alasan hak asasi manusia, perempuan ODHA dapat


memberikan keputusan untuk hamil setelah melalui proses konseling,
pengobatan dan pemantauan. Pertimbangan untuk mengijinkan Odha
hamil antara lain: apabila daya tahan tubuh cukup baik (CD4 di atas
500), kadar virus (viral load) minimal/ tidak terdeteksi (kurang dari
1.000 kopi/ml), dan menggunakan ARV secara teratur 5.

(2) Menurunkan viral load serendah-rendahnya

Obat Antiretroviral (ARV) yang ada sampai saat ini baru berfungsi
untuk menghambat multiplikasi virus, belum menghilangkan secara
total keberadaan virus dalam tubuh ODHA. Walaupun demikian, ARV
merupakan pilihan utama dalam upaya pengendalian penyakit guna
menurunkan kadar virus.

(3) Meminimalkan paparan janin/ bayi terhadap darah dan cairan


tubuh ibu HIV positif

Persalinan dengan seksio sesarea berencana sebelum saat


persalinan tiba merupakan pilihan pada ODHA. Pada saat persalinan
pervaginam, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Bayi
mungkin juga terinfeksi karena menelan darah atau lendir jalan lahir
tersebut (secara tidak sengaja pada saat resusitasi). Beberapa hasil
penelitian menyimpulkan bahwa seksio sesarea akan mengurangi
risiko penularan HIV dari ibu ke bayi sebesar 50-66% .Apabila seksio
sesarea tidak bisa dilaksanakan, maka dianjurkan untuk tidak
melakukan tindakan invasif yang memungkinkan perlukaan pada bayi

K E P E R A W A T A N H I V / A I D S | 30
(pemakaian elektrode pada kepala janin, ekstraksi forseps, ekstraksi
vakum) dan perlukaan pada ibu (episiotomi).

Telah dicatat adanya penularan melalui ASI pada infeksi CMV,


HIV1 dan HTLV-I. Sedangkan untuk virus lain, jarang dijumpai
transmisi melalui ASI. HIV teridentifikasi ada dalam kolustrum dan
ASI, menyebabkan infeksi kronis yang serius pada bayi dan anak. Oleh
karenanya ibu hamil HIV positif perlu mendapat konseling
sehubungan dengan keputusannya untuk menggunakan susu formula
ataupun ASI eksklusif. Untuk mengurangi risiko penularan, ibu HIV
positif bisa memberikan susu formula kepada bayinya. Pemberian susu
formula harus memenuhi 5 persyaratan AFASS dari WHO
(Acceptable = mudah diterima, Feasible = mudah dilakukan,
Affordable = harga terjangkau, Sustainable = berkelanjutan, Safe =
aman penggunaannya). Pada daerah tertentu dimana pemberian susu
formula tidak memenuhi persyaratan AFASS maka ibu HIV positif
dianjurkan untuk memberikan ASI eksklusif hingga maksimal 3 bulan,
atau lebih pendek jika susu formula memenuhi persyaratan AFASS
sebelum 3 bulan tersebut. Setelah usai pemberian ASI eksklusif, bayi
hanya diberikan susu formula dan menghentikan pemberian ASI.
Sangat tidak dianjurkan pemberian makanan campuran (mixed
feeding), yaitu ASI bersamaan dengan susu formula/ PASI lainnya.
Mukosa usus bayi pasca pemberian susu formula/ PASI akan
mengalami proses inflamasi. Apabila pada mukosa yang inflamasi
tersebut diberikan ASI yang mengandung HIV maka akan memberikan
kesempatan untuk transmisi melalui mukosa usus.

Risiko penularan HIV melalui pemberian ASI akan bertambah jika


terdapat permasalahan pada payudara (mastitis, abses, lecet/luka
putting susu). Oleh karenanya diperlukan konseling kepada ibu tentang
cara menyusui yang baik.

K E P E R A W A T A N H I V / A I D S | 31
(4) Mengoptimalkan kesehatan dari ibu dengan HIV positif

Melalui pemeriksaan ANC secara teratur dilakukan pemantauan


kehamilan dan keadaan janin. Roboransia diberikan untuk suplemen
peningkatan kebutuhan mikronutrien. Pola hidup sehat antara lain:
cukup nutrisi, cukup istirahat, cukup olah raga, tidak merokok, tidak
minum alkohol juga perlu diterapkan. Penggunaan kondom tetap
diwajibkan untuk menghindari kemungkinan superinfeksi bila
pasangan juga ODHA, atau mencegah penularan bila pasangan bukan
ODHA.

5. Strategi Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi

Menurut WHO terdapat 4 (empat) program yang perlu diupayakan


untuk mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu ke bayi, meliputi:

a. Mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia


reproduksi
b. Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV positif
c. Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil positif ke bayi
yang dikandungnya
d. Memberikan dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu
HIV positif beserta bayi dan keluarganya.

K E P E R A W A T A N H I V / A I D S | 32
Alur Upaya PMTCT Komprehensif

Perempuan Usia Reproduktif Cegah Penularan HIV

HIV Positif HIV Negatif

Perempuan HIV Positif Cegah Kehamilan tak Direncanakan

Hamil Tidak Hamil

Perempuan Hamil HIV Positif Cegah Penularan HIV ke Bayi

Bayi HIV Positif Bayi HIV


negatif

Dukungan Psikologis & Sosial

K E P E R A W A T A N H I V / A I D S | 33
BAB III

PENUTUP

3.1.KESIMPULAN
Konseling merupakan kegiatan yang di dalamnya melibatkan konselor, dan
klien tanpa ada keduanya proses konseling tidak akan terjadi. Kegiatan konseling
dilakukan oleh konselor yang memiliki keterampilan konseling dan pemahaman
luas mengenai informasi HIV/AIDS. Kegiatan konseling HIV/AIDS dilakukan di
Klinik Voluntary Counseling and Testing atau biasa dikenal dengan Klinik VCT.
VCT atau Konseling dan Tes Sukarela (KTS) merupakan kegiatan konseling yang
sifatnya sukarela dan rahasia, terdiri atas tahapan konseling pra dan pasca tes
HIV.

VCT digunakan untuk melakukan setiap intervensi. Konseling ini minimum


terdiri atas konseling pre tes dan pasca tes HIV, juga menyediakan konseling
berkelanjutan jangka panjang, konseling dukungan, konseling keluarga dan
pasangan hingga konseling kematian. Tujuan umum VCT adalah untuk
mempromosikan perubahan perilaku yang mengurangi risiko mendapat infeksi
dan penyebaran HIV.

Selain itu terdapat juga terdapat prinsip konseling menggunakan prinsip


Prevention of Mother to Child Trasmission (PMTCT). Penularan HIV dari ibu
hamil dengan HIV positif kepada anaknya berkisar antara 15%-45%.
Kemungkinan ini dapat berkurang sekitar 5% dengan pencegahan yang benar
sehingga diperlukan program PMTCT. Pelaksanaan PMTCT meliputi :
Pemeriksaan dan konseling pada wanita hamil, pemeriksaan ARV untuk PMTCT,
pemberian ARV profilaksis untuk bayi yang lahir dari ibu yang positif HIV.
Adapun tujuan dari program PMTCT adalah mencegah penularan HIV dari ibu ke
bayi, dan mengurangi dampak epidemi HIV terhadap ibu dan bayi.

3.2.SARAN
Setelah kita membaca uraian di atas, kita bisa dapat menambah ilmu
pengetahuan dan wawasan kita tentang prinsip komunikasi konseling pada klien
dengan HIV/AIDS VCT,PMTCT. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan

K E P E R A W A T A N H I V / A I D S | 34
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun demi
kesempurnaan makalah.

K E P E R A W A T A N H I V / A I D S | 35
DAFTAR PUSTAKA

Agus Priyanto. 2009. Komunikasi dan Konserling. Bandung: Salemba Medika.

AS, Enjang. 2009. Komunikasi Konseling. Bandung: Nuansa

Amel, Wira. 2019. Prinsip Komunikasi Konseling Klien HIV, VCT, PMTCT.
https://id.scribd.com/document/420947074/PRINSIP-KOMUNIKASI-
KONSELING-KLIEN-HIV-VCT-PMTCT-doc. Diakses pada tanggal 9
Januari 2021.

Hosnia, Lailatul.2017. "Gambaran Input Konseling HIV/AIDS Di Puskesmas


Labruk Kidul Kecamatan Subersuko Kabupaten Lumajang". Skripsi,
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Jember.

Kemenkes RI. 2013. Pedoman Nasional Tes dan Konseling HIV/AIDS. Jakarta:
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

Komite Penanggulangan Aids Indonesia (KPAI), 2013. Modul VCT. Dalam


TOT Pengajar HIV/AIDS. Surabaya.

K E P E R A W A T A N H I V / A I D S | 36

Anda mungkin juga menyukai