Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH KEPERAWATAN KOMUNITAS

ASUHAN KEPERAWATAN KOMUNITAS


SCABIES PADA PESANTREN

Fasilitator : Arifal Aris, S.Kep.,Ns.,M.Kes

Disusun Oleh :

Kelompok 20

1. Melida Avsah (1702012463)


2. Siti Inayatul Hidayah (1702012480)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH LAMONGAN
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terselesaikannya
penyusunan makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Komunitas Scabie Pada
Pesantren”.Penulisan makalah ini sebagai syarat untuk menyelesaikan tugas mata kuliah
Keperawatan Komunitas II pada Program Studi S1 Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Lamongan.

Makalah ini dapat penulis selesaikan berkat dukungan dari berbagai pihak. Pada
kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih atas segala bantuan materi maupun
non materi, dorongan dan doa dalam menyelesaikannya. Penulis mengucapkan terimakasih
kepada:

1. Drs.H. Budi Utomo, selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Lamongan beserta para
Wakil Rektor Drs H. Masram yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada
penulis untuk menempuh pendidikan di Program Studi S1 Keperawatan Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Lamongan.
2. Suratmi S.Kep,Ns. M.Kep, selaku Ketua Program Studi Program Studi S1 Keperawatan
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Lamongan yang telah bersedia
memberi arahan, perhatian, memberikan fasilitas dan motivasi dalam menyelesaikan
makalah ini.
3. Suhariyati S. Kep,Ns. M. Kep, selaku Dosen Penanggung Jawab Mata Kuliah yang
senantiasa memberi inspirasi, motivasi, bimbingan, dan penguatan dalam mengerjakan
makalah ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas segala semua kebaikan yang telah memberikan
dukungan dalam menyelesaikan makalah ini. Besar harapan penulis semoga tesis ini dapat
membawa manfaat.

Lamongan, 10 April 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB 1.........................................................................................................................................1
LAPORAN PENDAHULUAN..................................................................................................1
1.1 KONSEP KOMUNITAS.............................................................................................1
1.1.1 Teori Community as partner (CAP).....................................................................1
1.1.2 Peran Perawat Komunitas....................................................................................3
1.2 KONSEP PENYAKIT.................................................................................................7
1.2.1 Definisi.................................................................................................................7
1.2.2 Etiologi.................................................................................................................8
1.2.3 Tanda dan Gejala..................................................................................................9
1.2.4 Patofisiologi.........................................................................................................9
1.2.5 Penatalaksanaan Medis......................................................................................11
1.2.6 Penatalaksanaan keperawatan............................................................................12
1.3 ANALISIS JURNAL.................................................................................................12
BAB 2.......................................................................................................................................14
ASUHAN KEPERAWATAN SKABIES DI PESANTREN...................................................14
2.1. KASUS......................................................................................................................14
2.2. PENGKAJIAN KEPERAWATAN KOMUNITAS..................................................14
2.3. DIAGNOSA KEPERAWATAN...............................................................................15
2.4. PRIORITAS MASALAH KOMUNITAS.................................................................17
2.5. INTERVENSI KEPERAWATAN............................................................................17
2.6. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN......................................................................19
2.7. EVALUASI KEPERAWATAN................................................................................21
BAB 3.......................................................................................................................................22
PENUTUP................................................................................................................................22
3.1. Kesimpulan................................................................................................................22
3.2. Saran..........................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................23

ii
iii
BAB 1

LAPORAN PENDAHULUAN

1.1 KONSEP KOMUNITAS


1.1.1 Teori Community as partner (CAP)
Menurut Anderson & McFarlane (2013) Model Community as partner
melihat setiap variable merupakan sesuatu yang holistic sehingga variable akan
tergali perasalahannya. Model community as partner masyarakat dikelilingi oleh
tiga garis pertahanan yaitu : garis pertahanan flesibel, normal dan resisten. Garis
pertahanan fleksibel adalah kesehatan yang dinamis hasil dari respon terhadap
stressor yang tidak menetap seperti mobilisasi tetangga dan stressor lingkungan.
Garis pertahanan normal adalah angka kematian, tingkat ekonomi masyarakat.
Sedangkan garis pertahanan resisten adalah mekanisme internal terhadap
stressor (Nurhidayati, 2014).
Garis utuh yang melingkupi masyarakat merupakan garis pertahanan
normal untuk mencapai tingkat kesehatan masyarakat dari waktu ke waktu.
Garis pertahanan normal meliputi karakteristik tingkat imunitas yang tinggi,
angka kematian bayi yang rendah, atau tingkat pendapatan rata-rata. Garis
pertahanan normal juga meliputi pola teladan koping, kemampuan memecahkan
masalah yang merupakan indikator kesehatan masyarakat(Nurhidayati, 2014).
Garis pertahanan fleksibel digambarkan sebagai garis putus-putus di
sekitar masyarakat dan garis pertahanan normal. Garis pertahanan fleksibel
adalah suatu daerah penyangga yang memiliki tingkat kesehatan yang dinamis
sebagai hasil yang mewakili suatu tingkat kesehatan yang dinamis sebagai hasil
tanggapan temporer terhadap stressor. Tanggapan temporer merupakan
pengerahan lingkungan melawan terhadap stressor lingkungan, misalnya
beredarnya majalah dewasa yang tak dikehendaki. Delapan sub sistem dibagi
melalui garis putus- putus untuk menggambarkan bahwa delapan sub sistem tidak
terpisah tetapi saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh satu sama lain
(Nurhidayati, 2014)

Anderson dan McFarlane (2013), menjelaskan garis pertahanan resisten


di dalam masyarakat merupakan mekanisme internal yang berlaku untuk

iv
melindungi masyarakat terhadap stressor. Bentuk pertahanan resisten dalam
masyarakat seperti contoh dari ibu bekerja yang tetap memberikan ASI, membuat
ibu-ibu yang di rumah terpacu untuk tetap memberikan ASI. Garis pertahanan
resisten ada sepanjang seluruh sub sistem dan menghadirkan kekuatan
masyarakat. Pada model ini, stressor mengakibatkan ketidak seimbangan
dalam sistem. Stressor yang berasal dari dalam dan luar komunitas jika
menembus garis flexible maupun normal akan mengakibatkan gangguan dalam
komunitas. Jumlah gangguan atau ketidak seimbangan disebut sebagai derajat
reaksi (Nurhidayati, 2014)

Model Community as partner terdapat dua faktor utama yaitu fokus pada
komunitas sebagai mitra dan proses keperawatan (Nurhidayati, 2014) Intinya
ada dua komponen penting dalam model ini, yaitu roda pengkajian komunitas
dan proses keperawatan. Roda pengkajian komunitas terdiri atas dua bagian
utama, yaitu inti (core) sebagai intrasistem yang terdiri atas, demografi, riwayat,
nilai dan keyakinan komunitas. Ekstrasistemnya terdiri atas delapan subsistem

v
yang mengelilingi inti, yaitu lingkungan fisik, pendidikan, keamanan dan
transportasi, politik dan pemerintahan, pelayanan kesehatan dan sosial,
komunikasi, ekonomi, dan rekreasi. Proses keperawatan yang dimaksud mulai
dari pengkajian, diagnosa, perencanaan, implementasi, dan evaluasi(Kholifah &
Widagdo, 2016)

1.1.2 Peran Perawat Komunitas

Stanhope dan Lancaster (2004) menjelaskan, perawat komunitas harus


memperhatikan prinsip praktik keperawatan komunitas dalam memberikan
layanan keperawatan. Prinsip praktik keperawatan komunitas seperti otonomi,
yaitu memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk melakukan atau memilih
alternatif yang terbaik dan sesuai dengan kondisinya. Selain itu, perawat
komunitas harus menerapkan prinsip kemanfaatan. Prinsip kemanfaatan yaitu
intervensi yang diberikan harus memberikan manfaat yang sebesar-
besarnya(Nurhidayati, 2014)

Perawat sebagai salah satu tenaga kesehatan mempunyai peran dan fungsi dalam
meningkatkan kesehatan komunitas. Perawat dituntut mempunyai sekumpulan
kemampuan/kompetensi yang telah ditetapkan oleh kebijakan organisasi dengan
merujuk pada persepsi dan harapan komunitas terhadap pelayanan keperawatan
komunitas yang diberikan. Peran dan fungsi perawat komunitas ialah (Kholifah
& Widagdo, 2016) :
a) Manager kasus
Berperan sebagai manager, perawat harus mampu mengelola pelayanan
yang berkoordinasi dengan komunitas atau keluarga, penyedia pelayanan
kesehatan atau pelayanan sosial yang ada. Hal ini bertujuan untuk
mempermudah pencapaian tujuan asuhan keperawatan komunitas.
Seyogyanya kualifikasi pendidikan seorang manager kasus minimal
Sarjana Keperawatan. Sebagai manager kasus perawat komunitas harus
dapat berfungsi untuk melakukan tindakan sebagai berikut:
1) Mengidentifikasi kebutuhan komunitas terhadap pelayanan
kesehatan. Hal ini penting dilakukan agar pelayanan kesehatan
yang diberikan sesuai dengan kebutuhan komunitas.

vi
2) Menyusun rencana asuhan keperawatan komunitas. Rencana ini
dibuat berdasarkan hasil pengkajian kebutuhan komunitas
terhadap pelayanan kesehatan.
3) Mengoordinasikan aktivitas tim kesehatan multidisiplin sehingga
pelayanan yang diberikan dapat optimal dan tepat sasaran.
4) Menilai kualitas pelayanan keperawatan dan pelayanan kesehatan
yang telah diberikan. Sebagai manager, hal ini penting untuk
meningkatkan pengelolaan berikutnya.

b) Pelaksana Asuhan keperawatan


Salah satu peran penting perawat adalah memberikan pelayanan
langsung kepada komunitas sesuai dengan kebutuhan komunitas atau
keluarga. Peran ini sesuai dengan tahapan mulai dari pengkajian sampai
dengan evaluasi keperawatan. Sebagai pelaksana asuhan keperawatan,
perawat dapat berfungsi untuk:
1) melakukan pengkajian secara komprehensif.
2) menetapkan masalah keperawatan komunitas
3) menyusun rencana keperawatan dengan mempertimbangkan
kebutuhan dan potensi komunitas
4) melakukan tindakan keperawatan langsung mencakup tindakan
mandiri (seperti melakukan perawatan luka, melatih napas dalam
dan batuk efektif, melatih latihan rentang gerak/rom, dan
sebagainya), serta tindakan kolaboratif (seperti pemberian obat
TBC dan sebagainya)
5) mengevaluasi tindakan keperawatan yang sudah diberikan
6) mendokumentasikan semua tindakan keperawatan.

c) Pendidik
Berperan sebagai pendidik, maka perawat harus mampu menjadi
penyedia informasi kesehatan dan mengajarkan komunitas atau keluarga
tentang upaya kesehatan yang dapat dilakukan komunitas. Peran tersebut
dapat dilihat saat perawat melakukan pendidikan kesehatan. Berikut
fungsi yang dapat dijalankan oleh perawat komunitas dalam
menjalankan perannya sebagai pendidik.

vii
1) Mengidentifikasi kebutuhan belajar, yaitu apa yang ingin
diketahui oleh komunitas, ini bisa diketahui saat perawat
melakukan pengkajian komunitas.
2) Memilih metode pembelajaran (ceramah, diskusi, atau
demonstrasi), dan materi yang sesuai dengan kebutuhan.
3) Menyusun rencana pendidikan kesehatan.
4) Melaksanakan pendidikan kesehatan.
5) Melatih komunitas/kelompok/keluarga tentang keterampilan
yang harus dimiliki sesuai kebutuhannya.
6) Mendorong keluarga untuk melatih keterampilan yang sudah
diajarkan perawat.
7) Mendokumentasikan kegiatan pendidikan kesehatan.

d) Pembela (Advocate)
Peran sebagai pembela (advocate) dapat dilakukan perawat dengan
mendukung pelayanan keperawatan yang berkualitas dan kompeten.
Sikap perawat yang selalu berupaya meningkatkan kompetensinya agar
asuhan keperawatan komunitas yang diberikan terjaga kualitasnya,
merupakan contoh pelaksanaan peran sebagai pembela (advocate).
Bagaimana dengan Anda, apakah juga berkomitmen untuk selalu
menjaga kualitas asuhan keperawatan yang diberikan? Cobalah Anda
sejak saat ini terus menjaga komitmen tersebut. Selain sikap di atas,
tindakan lain yang dapat dilakukan perawat sebagai pembela (advocate)
adalah:
1) menyediakan informasi yang dibutuhkan komunitas atau
keluarga untuk membuat keputusan;
2) memfasilitasi komunitas atau keluarga dalam mengambil
keputusan;
3) membuka akses ke provider agar komunitas atau keluarga
mendapatkan pelayanan yang terbaik (membangun jejaring kerja)
4) menghormati hak klien
5) meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan
6) melaksanakan fungsi pendampingan komunitas atau keluarga
7) memberikan informasi terkait sumber-sumber pelayanan yang

viii
dapat digunakan
8) memfasilitasi masyarakat dalam memanfaatkan sumber-sumber
tersebut.

e) Konselor Perawat
Konselor membutuhkan keterampilan khusus, yaitu perawat tersebut
adalah orang yang memahami (expert) di bidang keahliannya, dapat
dipercaya untuk membantu komunitas atau keluarga dan
mengembangkan koping yang konstruktif dalam penyelesaian masalah.
Perawat juga dapat memberikan berbagai solusi dalam rangka
menetapkan cara yang lebih baik untuk penyelesaian masalah. Memang
tidak semua perawat dapat berperan sebagai konselor, karena
membutuhkan keterampilan khusus.

f) Role Model
pelayanan keperawatan komunitas bersifat berkelanjutan dan
berkesinambungan, tentu saja ini menuntut perawat untuk mampu
berinteraksi baik dengan komunitas. Dalam interaksi, ada proses
transformasi perilaku perawat yang dapat dipelajari oleh komunitas atau
keluarga. Proses inilah yang sebenarnya, bahwa perawat sedang
menjalankan perannya sebagai role model (contoh).

g) Penemu Kasus
Peran selanjutnya yang dapat dilakukan oleh perawat komunitas adalah
melibatkan diri dalam penelusuran kasus di komunitas atau keluarga,
untuk selanjutnya dilakukan kajian apa saja yang dibutuhkan komunitas.
Tentu saja kasus tersebut mungkin membutuhkan intervensi dari profesi
lain atau pelayanan kesehatan yang lebih kompleks, maka yang
dilakukan perawat komunitas adalah segera merujuk klien. Merujuk juga
membutuhkan ketelitian perawat untuk mengidentifikasi, kasus mana
yang seharusnya di rujuk dan ke mana harus merujuk?. Kemampuan
perawat mengkaji atau menilai kebutuhan komunitas harus terus dilatih.

h) Pembaharu
Anda tentu pernah mendengar istilah pembaharu (change agent). Peran

ix
ini membantu komunitas untuk melakukan perubahan ke arah kehidupan
yang lebih sehat. Hal yang dilakukan perawat sebagai pembaharu adalah
sebagai berikut.
1) Mengidentifikasi kekuatan dan penghambat perubahan. Hal ini
penting dilakukan karena suatu perubahan merupakan suatu hal
yang baru yang membutuhkan dukungan.
2) Membantu pencairan dan memotivasi untuk berubah.
3) Membantu komunitas menginternalisasi perubahan.

i) Peneliti
Berkembangnya ilmu keperawatan, salah satunya banyak dipengaruhi
oleh hasil-hasil penelitian. Melalui penelitian, perawat komunitas dapat
mengidentifikasi masalah praktik dan mencari jawaban melalui
pendekatan ilmiah. Meskipun perawat lulusan DIII tidak mempunyai
kompetensi melakukan penelitian mandiri, namun perawat lulusan DIII
dapat menjadi anggota penelitian dan menggunakan hasil penelitian
dalam praktik keperawatan komunitas.
1.2 KONSEP PENYAKIT
1.2.1 Definisi
Skabies pertama kali dilukiskan di Old Testament oleh Aristoteles. Nama
Sarcoptes scabiei berasal dari bahasa Yunani “sarx” yang berarti daging dan
“koptein” yang berarti irisan/potongan, serta dari bahasa Latin “scabere” yang berarti
garukan (Hicks dan Elston, 2009).
Skabies merupakan penyakit infestasi ektoparasit pada manusia yang
disebabkan Sarcoptes scabiei varietas hominis (Harahap M., 2000).
Penyakit ini dikenal juga dengan nama the itch, gudik, atau gatal agogo. Skabies
ditemukan di semua negara dengan prevalensi yang bervariasi (Handoko, 2009).
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi
terhadap Sarcoptes scabiei var, hominis dan produknya (Harahap M., 2000).
1.2.2 Etiologi
Sarcoptes scabiei termasuk filum Arthopoda , kelas Arachnida, ordo Ackarina,
superfamili Sarcoptes. Pada manusia disebut Sarcoptes scabiei var. hominis.
Kecuali itu terdapat S. scabiei yang lainnya pada kambing dan babi.

x
Secara morfologik merupakan tungau kecil, berbentuk oval, punggungnya
cembung dan bagian perutnya rata. Tungau ini transient, berwarna putih kotor, dan
tidak bermata. Ukurannya yang betina berkisar antara 330 – 450 mikron x 250 – 350
mikron, sedangkan yang jantan lebih kecil, yakni 200 – 240 mikron x 150 – 200
mikron. Bentuk dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang kaki di depan sebagai
alat alat untuk melekat dan 2 pasang kaki kedua pada betina berakhir dengan
rambut, sedangkan pada yang jantan pasangan kaki ketiga berakhir dengan rambut
dan keempat berakhir dengan alat perekat.
Siklus hidup tungau ini sebagai berikut. Setelah kopulasi (perkawinan) yang
terjadi di atas kulit, yang jantan akan mati, kadang-kadang masih dapat hidup dalam
terowongan yang digali oleh yang betina. Tungau betina yang telah dibuahi
menggali terowongan dalam stratum korneum, dengan kecepatan 2 -3 milimeter
sehari dan sambil meletakkan telurnya 2 atau 4 butir sehari sampai mencapai jumlah
40 atau 50 . Bentuk betina yang telah dibuahi ini dapat hidup sebulan lamanya.
Telurnya akan menetas, biasanya dalam waktu 3-5 hari, dan menjadi larva yang
mempunyai 3 pasang kaki. Larva ini dapat tinggal dalam terowongan, tetapi dapat
juga keluar. Setelah 2 -3 hari larva akan menjadi nimfa yang mempunyai 2 bentuk,
jantan dan betina, dengan 4 pasang kaki. Seluruh siklus hidupnya mulai dari telur
sampai bentuk dewasa memerlukan waktu antara 8 – 12 hari.
Telur menetas menjadi larva dalam waktu 3 – 4 hari, kemudian larva
meninggalkan terowongan dan masuk ke dalam folikel rambut. Selanjutnya larva
berubah menjadi nimfa yang akan menjadi parasit dewasa. Tungau betina akan mati
setelah meninggalkan telur, sedangkan tungau jantan mati setelah kopulasi.
Sarcoptes scabiei betina dapat hidup diluar pada suhu kamar selama lebih
kurang 7 – 14 hari. Yang diserang adalah bagian kulit yang tipis dan lembab,
contohnya lipatan kulit pada orang dewasa. Pada bayi, karena seluruh kulitnya
masih tipis, maka seluruh badan dapat terserang.

1.2.3 Tanda dan Gejala


Ada 4 tanda cardinal

1. Pruritus nokturna, artinya gatal pada malam hari yang disebabkan karena aktivitas
tungau ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas.

2. Penyakit ini menyerang manusia secara berkelompok, misalnya dalam sebuah


keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi. Begitu pula dalam

xi
sebuah perkampungan yang padat penduduknya, sebagian besar tetangga yang
berdekatan akan diserang oleh tungau tersebut. Dikenal keadaan hiposensitisasi,
yang seluruh anggota keluarganya terkena, walaupun mengalami infestasi tungau,
tetapi tidak memberikan gejala. Penderita ini bersifat sebagai pembawa (carrier).
3. Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang berwarna putih
atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata panjang 1 cm, pada
ujung terowongan ini ditemukan papul atau vesikel. Jika timbul infeksi sekunder
ruam kulitnya menjadi polimarf (pustule, ekskoriasi dan lain-lain). Tempat
predileksinya biasanya merupakan tempat dengan stratum korneum yang tipis, yaitu
sela-sela jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak
bagian depan, areola mammae (wanita), umbilicus, bokong, genitalia eksterna (pria)
dan perut bagian bawah. Pada bayi dapat menyerang telapak tangan dan telapak
kaki.
4. Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostic. Dapat ditemukan satu
atau lebih stadium hidup tungau ini.

Diagnosis dapat dibuat dengan menemukan 2 dari 4 tanda cardinal tersebut

1.2.4 Patofisiologi
Kelainan kulit yang disebabkan tidak hanya dari tungau scabies, akan tetapi juga
oleh penderita sendiri akibat garukan. Saat terjadi kontak kulit yang kuat yang
menyebabkan lesi timbul di pergelangan tangan. Gatal yang terjadi disebabkan oleh
sensitisasi terhadap secret dan eksret tungau yang memerlukan waktu kira-kira
sebulan setela infestasi. Pada saat itu kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan
ditemukannya papul, vesikel, dan urtika. Dengan garukan dapat timbul erosi,
ekskoriasi, krusta, dan infeksi sekunder. Kelainan kulit dan gatal yang terjadi dapat
lebih luas dari lokasi tungau. Infestasi dimulai saat tungau betina telah dibuahi tiba-
tiba di permukaan kulit. Tungau dan produk-produknya menyebabkan iritan yang
akan merangsang system imun tubuh untuk mengerahkan komponen-komponennya
(Habif, 2003).

Dalam beberapa hari pertama, antibodi dan sel sistem imun spesifik lainnya
belum memberikan respon. Namun, terjadi perlawanan dari tubuh oleh sistem imun
non spesifik yang disebut inflamasi. Tanda terjadinya inflamasi ini antara lain
timbulnya kemerahan pada kulit, panas, nyeri, dan bengkak. Hal ini disebabkan

xii
karena peningkatan persediaan darah ke tempat inflamasi yang terjadi atas pengaruh
amin vasoaktif seperti histamine, triptamin dan mediator lainnya yang berasal dri sel
mastosit. Mediator-mediator inflamasi itu juga menyebabkan rasa gatal di kulit.
Molekul-molekul seperti prostaglandin dan kinin juga ikut meningkatkan
permeabilitas dan mengalirkan plasma dan protein plasma melintasi endotel yang
menimbulkan kemerahan dan panas. Faktor kemotaktik yang diproduksi seperti C5a,
histamine, leukotrien akan menarik fagosit. Peningkatan permeabilitas vaskuler
memudahkan neutrofil dan monosit memasuki jaringan tersebut. Neutrofil datang
terlebih dahulu untuk menghancurkan/ menyingkirkan antigen. Meskipun biasanya
berhasil, tetapi beberapa sel akan mati dan mengeluarkan isinya yang juga akan
merusak jaringan sehingga menimbulkan proses inflamasi. Sel mononuklear datang
untuk menyingkirkan debris dan merangsang penyembuhan (Baratawidjaja, 2007).

Bila proses inflamasi yang diperankan oleh pertahanan non spesifik belum dapat
mengatasi infestasi tungau dan produknya tersebut, maka imunitas spesifik akan
terangsang. Mekanisme pertahanan spesifik adalah mekanisme pertahanan yang
diperankan oleh sel limfosit, dengan atau tanpa bantuan komponen sistem imun
lainnya seperti sel makrofag dan komplemen. Selanjutnya akan terjadi antibody-
dependent cellular mediated cytotoxicity (ADCC). Lisis antigen dapat terjadi karena
aktivasi komplemen yang berikatan dengan bagian Fc antibodi (Kresno, 2007).

1.2.5 Penatalaksanaan Medis


Merupakan hal yang penting untuk menerangkan kepada pasien dengan
sejelas-jelasnya tentang bagaimana cara memakai obat -obatan yang digunakan,
dan lebih baik lagi bila disertai penjelasan tertulis. Semua anggota keluarga dan
orang-orang yang secara fisik berhubungan erat dengan pasien, hendaknya secara
simultan diobati juga. Obat -obat topikal harus dioleskan mulai daerah leher
sampai jari kaki, dan pasien diingatkan untuk tidak membasuh tangannya sesudah
melakukan pengobatan (Graham-Brown dan Burns, 2005).
Pada bayi, orang-orang lanjut usia, dan orang-orang dengan
immunokompromasi , terowongan tungau dapat terjadi pada kepala dan leher,
sehingga pemakaian obat perlu diperluas pada daerah itu. Sesudah pengobatan,
rasa gatal tidak dapat segera hilang, tetapi pelan -pelan akan terjadi perbaikan
dalam waktu 2-3 minggu, saat epidermis superfisial yan g mengandung tungau
alergenik terkelupas (Graham-Brown dan Burns, 2005).

xiii
Syarat obat yang ideal adalah harus efektif terhadap semua stadium tungau,
harus tidak menimbulkan iritasi dan tidak toksik, tidak berbau atau kotor serta
tidak merusak atau mewarnai pakaian, mudah diperoleh dan harganya murah
(Handoko, 2009).
Beberapa macam obat yang dapat dipakai pada pengobatan skabies yaitu:
1. Permetrin.
Dalam bentuk krim 5% sebagai dosis tunggal. Penggunaannya
selama 8-12 jam dan kemudian dicuci bersih -bersih. Obat ini dilaporkan
efektif untuk skabies. Pengobatan pada skabies krustosa sama dengan
skabies klasik, hanya perlu ditambahkan salep keratolitik. Bila
didapatkan infeksi sekunder perlu diberikan antibiotik sistemik (Harahap
M., 2000). Tidak dianjurkan pa da bayi di bawah umur 2 bulan (Handoko,
2009).
2. Malathion.Malathion 0,5% dengan dasar air digunakan selama 24 jam.Pemberian
berikutnya diberikan beberapa hari kemudian (Harahap M.,2000).
3. Emulsi Benzil-benzoas (20-25%).Efektif terhadap semua stadium, diberikan setiap malam
selamatiga hari. Obat ini sulit diperoleh, sering memberi iritasi, dan kadang kadang makin
gatal setelah dipakai (Handoko,2009).
4. Sulfur Dalam bentuk parafin lunak, sulfur 10% secara umum aman dan efektif
digunakan. Dalam konsentrasi 2,5% dapat digunakan pada bayi. Obat ini digunakan
pada malam hari selama 3 malam (Harahap M.,2000). Kekurangannya yang lain ialah
berbau dan mengotori pakaian dan kadang-kadang menimbulkan iritasi (Handoko,
2009).
5. Monosulfiran.Tersedia dalam bentuk lotion 25%, yang sebelum digunakan harus
ditambah 2-3 bagian dari air dan di gunakan selama 2-3 hari. Selama pengobatan,
penderita tidak boleh minum alkohol karena dapat menyebabkan keringat yang
berlebihan dan takikardi (Harahap M.,2000).
6. Gama Benzena Heksa Klorida (gameksan). Kadarnya 1% dalam krim atau losio,
termasuk obat pilihan karena efektif terhadap semua stadium, mudah digunakan, dan
jarang memberi iritasi. Obat ini tidak dianjurkan pada anak di bawah 6 tahun dan
wanita hamil karena toksik terhadap susunan saraf pusat. Pemberian cukup sekali,
kecuali jika masih ada gejala diulangi seminggu kemudian
(Handoko, 2009).

xiv
7. Krotamiton. Krotamiton 10 % dalam krim atau losio juga merupakan obatpilihan,
mempunyai dua efek sebagai antiskabies dan antigatal; harus
dijauhkan dari mata, mulut, dan uretra (Handoko, 2009).

1.2.6 Penatalaksanaan keperawatan

Penatalaksanaan keperawatan meliputi edukasi kepada pasien, yaitu:


a) Mandi dengan air hangat dan keringkan badan
b) Pengobatan skabisid topikal yang dioleskan di seluruh kulit,kecuali wajah, sebaiknya
dilakukan pada malam hari sebelum tidur
c) Hindari menyentuh mulut dan mata dengan tangan
d) Ganti pakaian, handuk, sprei yang digunakan,dan selalu cuci dengan teratur, bila perlu
direndam dengan air panas, karena tungau akan mati pada suhu 130
e) Hindari penggunaan pakaian, handuk, sprei bersama anggota keluarga seruma
f) Setelah periode waktu yang dianjurkan, segera bersihkan skabisid dan tidak boleh
mengulangi penggunaan skabisid yang berlebihan setelah seminggu sampai dengan 4
minggu yang akan dating
g) Setiap anggota keluarga serumah sebaiknya mendapatkan pengobatan yang sama dan
ikut menjaga kebersihan.

xv
1.3 ANALISIS JURNAL

Pencarian literatur menggunakan database google scholar, kata kunci yang yang
digunakan “pencegahan skabies di pesantren”. Pencarian literatur didapatkan jurnal sebagai
berikut. Lihat tabel 1.1

Tabel 1.1 Analilis Jurnal


Sampel
Analisa
Desain
No. Judul Variabel Instrumen Hasil
Penelitian dan Teknik
Data
Sampling

1. Kebiasaan deskriptif pengumpul Kebiasaan kuesioner, setelah data Berdasarkan hasil penelitian
hygiene analitik an data hygiene, remaja, diperoleh yang telah dilaksanakan
remaja melalui pencegahan diolah oleh peneliti terhadap 30
melakukan kuesioner, peneliti responden diperoleh hasil
skabies
pencegahan wawancara menggunaka sebagai berikut : sebagian
penyakit dengan ibu n SPSS besar responden memiliki
skabies di asrama dan untuk kebiasaan hygiene
pesantren al observasi mengetahui melakukan pencegahan
fajar kondisi sejauh mana skabies kurang baik
kecamatan kesehatan kebiasaan sebanyak 17 responden (56,7
rumbai tubuh hygiene persen) dan yang memiliki
pekanbaru santri dan responden, kebiasaan hygiene baik
observasi data sebanyak 13 responden
lingkungan dimasukkan (43,3persen). Kebiasaan
ke dalam hygiene responden yang
hitungan kurang baik tersebut
mean/median kemungkinan dapat
dengan disebabkan oleh faktor
standar keterbatasan informasi
objektif karena tidak ada penjadwalan
khusus kegiatan pemberian
pendidikan kesehatan di
Panti asuhan dan pengalaman
responden pernah mengalami
penyakit skabies
sebelumnya.

BAB 2

ASUHAN KEPERAWATAN KOMUNITAS PADA PESANTREN


“Perilaku Hidup Bersih dan Sehat”

xvi
1. KASUS

Terdapat sebuah pondok pesantren yang bernama “al-amin” yang di dirikan oleh KH
agus salim sejak 21 juli 1985 dengan jumlah santri 20 orang. Saat ini pondok pesantren al
amin yang terletak di jawa timur terdapat 100 santri dengan pimpinan saat ini KH.Munir.

Pondok pesantren ini bersifat independen dan mandiri, sudah terdapat UKS tetapi
PHBS di pesantren ini kurang seperti ruang asrama tampak gelap, tampak pakaian dan dan
peralatan sholat yang digantung yang menghambat masuknya cahaya matahari. Ventilasi
pada asrama kurang. Dibelakang asrama putri tampak sampah berserakan. Ada toilet yang
tidak terawat, selokan yang tidak terawat dan kotor,serta menimbulkan bau. Kamar mandi
sebagian ada yang tampak berantakan.

2. PENGKAJIAN

Dari pengkajian diwilayah pondok pesantren al-amin kota surabaya dan hasil
wawancara dan pengamatan melalui komponen Windshield Survey sebagai
berikut :

1) Perumahan dan lingkungan

a. Bangunan : mayoritas bangunan adalah bangunan permanen terbuat dari tembok

b. Arsitektur : bangunan rumah ukuran kecil tetapi ada juga yang besar dan
berdekat-dekatan satu dengan yang lainya, dan sebagian lainya memiliki corak
yang sama. Sebagian besar rumah lantainya terbuat dari tekel, hanya sebagian
kecil yang terlantaikan semen dan tanah. Rata-rata disetiap bangunan memiliki
pencahyaan yang kurang baik sedikitnya bangunan yang mempunyai jendela
yang dibuka setiap hari

c. Area : pondok pesantren al-amin surabaya terdiri dari banyak bangunan yang
digunakan sebagai sarana sekolah mulai kelas 1-3

d. Kualitas : terdapat beberapa lahan kosong lainya tidak dimanfaatkan untuk


kegiatan pndok pesantren

2) Batas
Batas wilayah
 Barat : kelurahan mina
 Timur : kelurahan madina
 Utara : kelurahan mona
 Selatan : kelurahan muni
3) Tinglat sosial ekonomi

a. Tingkat sosial : sebagian besar masyarakat pesantren bersosialisasi dengan


baik. Koordinasi antar masyarakat cukup baik.

xvii
b. Tingkat ekonomi : sebagian besar masyarakat pondok pesantren masih
berstatus siswa dan belum bekerja

4) Kebiasaan

Kebiasaan para santri banyak yang tidak melakukan perilaku hidup bersih dan
sehat seperti masih terdapat banyak para santri yang membuang sampah
sembarangan,kamar ang tidak di bersihkan dengan gantungan baju yang bertumpuk
sehingga pencahyaan tidak baik, selain itu terdapat kamar mandi yang tidak rutin
di bersihkan.

5) Transportasi

Para santri di antar oleh keluarganya menggunakan mobil dan sebagian besar
menggunakan motor

6) Fasilitas umum

a. Kesehatan : terdapat puskesmas di Kecamatan Wonokromo. Tetapi untuk


pondok pesantren sendiri belum memiliki poskestren

b. Agama : masjid 2 buah

c. Pelayanan umum : terdapat ruang kelas bagi masing-masing santri sesuai


dengan tingkat pendidikanya. Terdapat ruang perpustakaan dan asrama untuk
para santri

7) Suku dan bangsa

Mayoritas santri dari suku jawa dan beragama islam

8) Kesehatan dan morbiditas

Masalah kesehatan banyak yang terjadi selama 5 bulan terakhir yaitu akibat
kurangnya perilaku PHBS (perilaku hidup bersih dan sehat)

Dari pengakjian data yang berasal dari angket, wawancara dan observasi akan disajikan
sebagai berikut :

a. Data inti

1. Sejarah

Pondok pesantren al ain didirkan oleh KH agus salimpada tanggal 20 juli 1985.pondok
pesantren al amin ini bersifat independen dan mandiri. Saat ini jumlah santri 20 orang

2. Demografi

xviii
Pondok pesantren al amin terletak pada lokasi yang strategis yaitu 10 km dari bandara
juanda surabaya. 2 km dari balai kota surabaya. Pondok pesantren ini beralamat di jalan A.
Yani km 25 dengan luas wilayah 100 m2. Pondok pesantren al amin gterdiri dari pondok
pesantren putra dan putri. Pada pengkajian ini dilakukan pada pondok pesantren daerah
putra dan putri :

a) jumlah siswa : jumlah keseluruhan siswa pada pondok pesantren al amin adalah 100
orang
b) distribusi siswa berdasarkan usia : dari data yang di dapat siswa pesantren al amin putri
paling banyak berusia 8-12 tahun dengan presentase 60% dan yang terendah usia 16-18
tahun dengan presentase 5% sedangkan putra paling banyak berusia 9-12 tahun dengan
presentase 58% dan yang terendah 15-18 tahun dengan presentase 5%
c) distribusi siswa berdasarkan suku : dari data yang di dapat sebagian besar siswa berasal
dari suku jawa 90 jumlah dengan presentase 93%
d) data status kesehatan

maslah kesehatan di pesantren :

• skabies : 20 orang dengan presentase 23,3 %

• PHBS : 60 orang dengan presentase 78,8 %

• Kutu : 4 orang dengan presentase 5 %

• Kudis : 10 orang dengan presentase 10 %

• Gastritis : 15 orang dengan presentase 15 %

• Influenza : 12 orang dengan presentase 12 %

• Herpes : 3 orang dengan presentase 3 %

• Diare : 11 orang dengan presentase 11 %

b. Data Sub Sistem

1. Fisik dan lingkungan


Ruang asrama tampak gelap, tampak pakaian dan peralatan sholat yang digantung
yang menghambat masuknya cahaya matahari. Ventilasi pada asrama kurang. Di
belakang asrama siswa siswi tampak sampak berserakan. Ada toilet yang tidak
terawat, selokan yang tidak terawat dan kotor, serta menimbulakn bau dan berlumut.
Kamar mandi sebagian ada yang berantakan.
2. Pendidikan
Lama pendidikan di pondok pesantren Al-Amin putri ada tingkat tajhizi (persiapan) 1
tahun, wusha (3 tahun), dan kuliah 3 tahun. Dari kelas 1 sampai kelas 2 MA masing-
masing sebesar 50 orang dengan presentasi 60%.

xix
a) Distribusi jumlah siswa berdasarkan informasi kesehatan yang dilakukan oleh
petugas kesehatan sebesar 57 orang dengan presentase 71,3%
b) Tema informasi kesehatan didapatkan distribusi jumlah siswa yang dilakukan
oleh petugas kesehatan sebesar 35 orang dengan presentase 59%
c) Pelatihan dan keterampilan
Didapatkan jumlah siswa berdasarkan pernah tidaknya mengikuti kegiatan
pelatihan dan keterampilan
2.3 DIAGNOSA
1. Resiko tinggi peningkatan angka kejadian scabies pada santri di pesantren al-amin
b.d kurangnya pengetahuan
2. Defisit kesehatan komunitas pada pesantren al-amin b.d kurangya dukungan dalam
pemeliharaan kesehatan lingkungan
2.4 PRIOROTAS

No. DX A B C D E F G H I J K TOTAL
1. Resiko tinggi 5 4 3 3 3 2 4 4 5 4 4 41
peningkatan angka
kejadian scabies
pada santri di
pesantren al-amin
b.d kurangnya
pengetahuan

2. Defisit 3 2 3 3 4 2 3 3 5 4 4 36
kesehatan
komunitas
pada
pesantren al-
amin b.d
kurangya
dukungan
dalam
pemeliharaan
kesehatan
lingkungan

2.5 INTERVENSI

NO. DX SLKI SIKI

xx
1. Resiko tinggi Setelah dilakukan tindakan selama Edukasi Kesehatan (I.12383)
peningkatan angka 1x24 jam diharapkan tingkat 1. Identifikasi pengetahuan
kejadian scabies pengetahuan warga pesantren santri tentang scabies
pada santri di tentang scabies meningkat dengan 2. Berikan pendidikan
pesantren al-amin KH: kesehatan tentang:
b.d kurangnya - Kemampuan menjelaskan - Pengertian scabies
pengetahuan tentangsuatu topik meningkat - Penyebab scabies
- Perilaku sesuai demgam - Tanda dan gejala scabies
pengetahuan meningkat - Pencegahan scabies
(L.12111) 3. Ajarkan perilaku hidup
bersih dan sehat
2. Defisit kesehatan Setelah dilakukan tindakan selama 1. identifikasi perilaku upaya
komunitas pada 1x24 jam diharapkan status kesehatan yang dapat
pesantren al-amin kesehatan komunitas meningkat ditingkatkan
b.d kurangya dengan KH: 2. orientasi pelayanan
dukungan dalam - Ketersediaan program kessehatan yang dapat
pemeliharaan promosi kesehatan meningkat dimanfaatkan
kesehatan - Partisipasi dlam program 3. Jelaskan manfaat kebersihan
lingkungan kesehatan komunitas bagi kesehatan
menigkat motivasi partisipasi keluarga dan
- Kepatuhan terhadap standar masyarakat dalam upaya
kesehatan lingkungan promosi kebersihan
meningkat (L.12109) 4. Menganjurkan masyarakat
untuk memiliki pencahayaan
dalam rumah yang terang
fasilitasi dalam melakukan
upaya kebersihan diri sesuai
kebutuhan
5. ajarkan upaya-upaya
peningkatan kebersihan

2.6 IMPLEMENTASI

No. Tanggal Implementasi Paraf


1. 1 mei 2020 1. Mengidentifikasi pengetahuan santri tentang
scabies
2. Memberikan pendidikan kesehatan tentang:
- Pengertian scabies
- Penyebab scabies
- Tanda dan gejala scabies
- Pencegahan scabies
3. Mengajarkan perilaku hidup bersih dan sehat
2. 4 mei 2020 1. Mengidentifikasi perilaku upaya kesehatan yang
dapat ditingkatkan
2. Mengorientasi pelayanan kessehatan yang dapat
dimanfaatkan
3. Menjelaskan manfaat kebersihan bagi kesehatan
motivasi partisipasi keluarga dan masyarakat dalam
upaya promosi kebersihan

xxi
4. Menganjurkan masyarakat untuk memiliki
pencahayaan dalam rumah yang terang
5. Memfasilitasi dalam melakukan upaya kebersihan
diri sesuai kebutuhan
6. Mengajarkan upaya-upaya peningkatan kebersihan

2.7 EVALUASI

No Tanggal Evaluasi
.
1. 1 mei 2020 S : Warga pesantren mengatakan sudah paham tentang pengertian,
penyebab, tanda dan gejala, serta pencegahan scabies
O:
 Warga pesantren terlihat antusias mengikuti penyuluhan tentang
hipertensi
 Warga pesantren dapat mengetahui tentang pengertian,
penyebab, penularan, tanda dan gejala, serta pencegahan
scabies
 Warga pesantren bisa menerapkan perilaku hidup bersih dan
sehat
A: Angka kejadian scabies teratasi
P :Lakukan pemantauan angka kejadian scabies di pesantren al-amin

2. 4 mei 2020 S : warga pesantren mengatakan sudah dapat meningkatkan upaya


kesehatan pada lingkungannya
O:
 Warga pesantren sudah mengetahui manfaat hidup sehat dan
kebersihan lingkungan
 Warga pesantren sudah dapat berorientasi dalam pemanfaatan
pelayanan kesehatan
 Warga masyarakat sudah dapat melakukan upaya kebersihan
dalam peningkatan kesehatan yang dibutuhkan
A : defisit kesehatan komunitas
P : Lakukan pemantauan kebersihan lingkungan warga pesantren al-
amin

xxii
BAB 3

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Skabies merupakan penyakit infestasi ektoparasit pada manusia yang
disebabkan Sarcoptes scabiei varietas hominis (Harahap M., 2000).
Penyakit ini dikenal juga dengan nama the itch, gudik, atau gatal agogo. Skabies
ditemukan di semua negara dengan prevalensi yang bervariasi (Handoko, 2009).

3.2. Saran
Semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi pembaca khusunya bagi
warga pesantren, serta penulis dapat menambah pengetahuannya agar lebih baik lagi
dalam penulisan makalah selanjutnya.

xxiii
DAFTAR PUSTAKA
Bukhori, E. (2010). Hubungan Faktor Risiko Pekerjaan Dengan Terjadinya Keluhan
Musculoskeletal Disorder (MSDs) Pada Tukang Angkat Beban Pnambang Emas Di
Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak Tahun 2010. Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1–93.
Guragain, A. M., Paudel, B. K., & Lim, A. (2016). Adolescent Marriage in Nepal : A Sub-
Regional Level Analysis. Marriage & Family Review.
https://doi.org/10.1080/01494929.2016.1157560
Habib Qalby Al Zhahir. (2012). Gambaran Faktor Risiko Terjadinya Musculoskeletal
Disorders (MSDs) Pada Karyawan Di Kantor Pusat PT X Jakarta Tahun 2012. 130.
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20318470-S-PDF-Habib Qalby AL Zhahir.pdf
Kholifah, S. N., & Widagdo, W. (2016). Keperawatan Keluarga Dan Komunitas. In Pusdik
SDM Kesehatan. Pusdik SDM Kesehatan.
Nurhidayati, I. (2014). Pengaruh Kelompok SWABANTU ASI EKSKLUSIF DALAM
MENINGKATKAN PERILAKU PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF PADA
AGGREGATE IBU HAMIL DAN MENYUSUI DI WILAYAH KELURAHAN
CURUG CIMANGGIS KOTA DEPOK. FIK Universitas Indonesia.
Sholihah, Q., Hanafi, A. S., Bachri, A. A., & Fauzia, R. (2016). Ergonomics Awareness as
Efforts to Increase Knowledge and Prevention of Musculoskeletal Disorders on
Fishermen. Aquatic Procedia, 7, 187–194. https://doi.org/10.1016/j.aqpro.2016.07.026
Tjahayuningtyas, A. (2019). FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KELUHAN
MUSCULOSKELETAL DISORDERS (MSDs) PADA PEKERJA INFORMAL. The
Indonesian Journal of Occupational Safety and Health, 8(1), 1.
https://doi.org/10.20473/ijosh.v8i1.2019.1-10

xxiv
xxv

Anda mungkin juga menyukai