Anda di halaman 1dari 24

TERAPI KOMPLEMENTER PADA HIV/AIDS

OLEH:

I MADE ADITYA DWI ARTAWAN (P07120219055)

NI KADEK SINTA PRADNYA DEVI ANJANI (P07120219057)

I MADE TANTRI PATRAYANA (P07120219069)

PANDE GEDE ANGGA GUSTINA ARYANTO (P07120219097)

NI KOMANG AYU SANTI WULANDARI (P07120219098)

M. FADIL AKBAR (P07120219101)

KELAS 2B/SEMESTER IV

KEMENTERIAN KESEHATAN RI

POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR

JURUSAN KEPERAWATAN

2020/2021
KATA PENGANTAR

OM SWASTYASTU

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami mengucapkan
terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan
baik pikiran maupun materinya. Kami berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman untuk para pembaca.

Makalah ini berisikan tentang informasi atau yang lebih khususnya membahas tentang
“TERAPI KOMPLEMENTER PADA HIV/AIDS”. Diharapkan makalah ini dapat memberikan
informasi kepada kita semua tentang materi yang dipaparkan

Kami yakin masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.

OM SANTHI, SANTHI, SANTHI OM

Denpasar, 14 Januari 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................i

DAFTAR ISI .......................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................1

1.1 Latar Belakang...........................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................1

1.3 Tujuan .......................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN......................................................................................2

2.1 Terapi Komplementer ................................................................................2

2.2 Terapi Komplementer Pada HIV/AIDS ......................................................3

BAB III PENUTUP .............................................................................................20

3.1 Kesimpulan................................................................................................20

3.2 Saran .........................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................21

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


HIV dan AIDS sering dianggap penyakit yang tidak ada obatnya dan dikaitkan
dengan kematian secara cepat. Padahal, kita bisa hidup sehat dengan HIV di dalam tubuh
untuk waktu yang sangat lama, bahkan melebihi pikiran yang umum yaitu lima sampai
sepuluh tahun. Banyak cara yang bisa ditempuh agar kekebalan tubuh tidak berkurang dan
kita tidak rentan terhadap serangan penyakit.
Ketika kita baru memulai terapi alternative, barang kali kita sedikit kebingungan.
Ada akupuntur, yoga, jamu-jamuan, pijat, refleksi, meditasi, vitamin,olahraga pernapasan
dan lain-lain. Sebelum memilih tarapi tertentu, ada baiknya kita perjelas lagi apa yang kita
harapkan dari terapi tersebut. Proses belajar ini bemanfaat untuk dijalani, karena akan
memperluas wawasan kita mengenai HIV dan kesehatan secara keseluruhan.
Penting bagi kita untuk mengerti manfaat terapi alternatif bagi seseoang yang HIV-
positif. Walaupun kita tidak boleh menutup kemungkinan adanya keajaiban dan terjadi
kesembuhan, sampai saat ini belum terjadi status orang HIV-positif berubah menjadi HIV-
negatif. Leh karena itu, pelajari terapi alternative yang ditawarkan pada kita.

1.2 RUMUSAN MASALAH


a) Apa yang dimaksud dengan terapi komplementer?

b) Apa terapi komplementer bagi pasien HIVdan AIDS?

1.3 TUJUAN
a) Mahasiswa mampu mengetahui pengertian dari terapi komplementer.
b) Mahasiswa mampu mengetahui terapi komplementer pada pasien HIV dan AIDS.

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 TERAPI KOMPLEMENTER


1. Pengertian terapi komplementer
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Terapi merupakan usaha untuk
memulihkan kesehatan orang yang sedang sakit. Pengobatan penyakit, perawatan
penyakit. Komplementer adalah bersifat melengkapi, bersifat menyempurnakan.
Menurut WHO (World Health Organization). Pengobatan komplementer adalah
pengobatan non-konvensional yang bukan berasal dari Negara yang bersangkutan.
Misalnya jamu yang merupakan produk Indonesia dikategorikan sebagai pengobatan
komplementer di Negara Singapura. Di Indonesi sendiri, jamu dikategorikan sebagai
pengobatan tradisional. Pengobatan tradisional yang dimaksud adalah pengobatan
yang sudah dari zaman dahulu digunakan dan diturunkan secara turun-temurun pada
suatu Negara.
Terapi komplementer adalah cara penanggulangan penyakit yang dilakuka sebagai
pendukung atau pendamping kepada pengobatan makro nutrient dan mikro nutrient.
2. Tujuan Terapi Komplementer
Terapi komplementer bertujuan untuk memperbaiki fungsi dari sistem-sistem
tubuh. Terutama sistem kekebalan dan pertahanan tubuh agar tubuh dapat
menyembuhkan dirinya sendiri yang sedang sakit. Karena tubuh kita sebenarya
mempunyai kemampuan untuk menyembuhkan dirinya sendiri, asalkan kita mau
mendengarkanya dan memberikan respon dengan asupan nutrisi yang baik lengkap
serta perawatan yang tepat.
3. Jenis-Jenis Terapi Komplementer
Jenis pelayanan pengobatan komplementer-alternatif berdasarkan permenkes
RI Nomor: 1109/Menkes/2007 adalah:
a) Intervensi tubuh dan pikiran: hipnoterapi, mediasi, penyembuhan
spiritual, dao dan yoga.
b) Sistem pelayanan pengobatan alternative: akupuntur, akupresur,
natropati, aromaterapi.

2
c) Pengobatan farmaklogi dan biologi : jamu, herbal
d) Diet dan nutrisi untuk pencegahan dan pengobatan : diet makro nutrient
dan diet mikro nutrient.
a. Akuputur: suatu metode tradisional china yang menghasilkan analgesia atau
perubahan fungsi sistem tubuh dengan cara memasukan jarm tipis di sepanjang
rangkaian garis atau jalur yang disebut meridian. Manipulasi jarum langsung pada
meridian energy akan mempengaruhi organ interna dalam dengan pengalihan qi
(shi).
b. Akupresur: sebuah ilmu penyembuhan dengan menekan, memijat, mengurut
bagian dari tubuh untuk mengurangi rasa nyeri, menghasikan analgesia, atau
mengatur fungsi tubuh.
c. Meditasi: praktik yang ditujukan pada diri untuk merelaksas tubuh dan menekankan
pikiran menggunakan ritme pernapasan yang berfokus.
d. Psikoterapi: pengobatan kelainan mental dan emosional dengan teknik psikologi.
e. Yoga: teknik yang berfokus pada susunan otot, postur, mekanisme pernapasan, dan
kesadaran tubuh. Tujuan yoga adalah memperoleh kesejahteraan mental dan fisik
melalui pencapaian kesempurnaan tubuh dengan olahraga, mempertahankan postur
tubuh, pernapasan yang benar, dan meditasi.
f. Terapi relaksasi: tehnik terapi relaksasi meliputi meditasi, hipnotis dan relaksasi
otot. Walaupun tehinik-tehnik ini bisa mengurangi stress dan membuat tubuh lebih
bugar, tetapi masih belum jelas efektifitas tekhnik terapi relakasasi terhadap
penyakit asma.

2.2 TERAPI KOMPLEMENTER PADA HIV/AIDS

1. TERAPI SPIRITUAL EMOTIONAL FREEDOM TECHNIQUE (SEFT)


TERHADAP KUALITAS HIDUP PASIEN HIV/AIDS
Penyakit HIV AIDS yang dialami oleh individu dalam kehidupannya akan
membawa akibat baik secara fisik, mental, maupun kehidupan sosialnya.
Dampak buruk pada aspek kesehatan fisik, psikologis, hubungan sosial, dan
lingkungan akan menurunkan kualitas hidupnya. Secara fisik jika seorang
penderita HIV yang tidak mendapat pengobatan, maka pada umumnya setelah

3
5 tahun penderita akan meninggal . Penyakit HIV AIDS juga memberikan
dampak buruk lainnya secara sosial, diantaranya stigma bahkan dikucilkan oleh
masyarakat. Menurunnya aktivitas sosial akan berdampak buruk pada
kebermaknaan hidup dan menurunnya harga diri penderita HIV, hal tersebut akan
berdampak negatif pada kualitas hidup.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa rata rata kualitas hidup pasien HIV
sesudah pemberian SEFT adalah 102, 6 mengalami kenaikan sedikit bila
dibandingkan sebelumnya. Hal ini sejalan dengan penelitian Ardan (2020) hasil
penelitiannya menunjukkan therapy SEFT dapat menurunkan tingkat depresi
pasien HIV AIDS. Penelitian lain juga menjelaskan SEFT sudah digunakan sebagai
terapi menurunkan depresi pada narapidana laki laki, sehingga dapat disimpulkan
bahwa SEFT ini sudah banyak digunakan untuk mengatasi gangguan psikologis
(Narendri, 2019).
Terapi SEFT dikembangkan dari Emotional Freedom Technique (EFT), oleh Gary
Craig (USA), yang saat ini sangat populer di Amerika, Eropa, dan Australia sebagai
solusi tercepat dan termudah untuk mengatasi berbagai masalah fisik, dan emosi,
serta untuk meningkatkan performa kerja. Menurut Nurjanah (2019) SEFT sangat
berpengaruh untuk mengurangi kecanduan merokok. SEFT juga terbukti
berpengaruh terhadap penurunan tekanan darah systole dan diastole. Terapi SEFT
terdiri dari dua aspek, yaitu spiritual dan biologis. Menurut Farmawati (2019)
Spiritualitas adalah bagaimana kita mendefinisikan diri sebagai individu dan
mencari makna serta tujuan dalam kehidupan kita. Aspek spiritual terdiri dari dua
langkah, yaitu Set-Up yang bertujuan untuk memastikan agar aliran energi tubuh
kita terarahkan dengan tepat. Langkah ini dilakukan untuk menetralisir
“psychological reversal” atau “perlawanan psikologis”, dan berisi doa kepasrahan.
Langkah kedua adalah Tune-In dengan cara merasakan rasa sakit yang kita alami,
lalu mengarahkan pikiran kita ke tempat rasa sakit (Self-Hypnosis). Aspek kedua
adalah aspek biologi, yang terdiri dari tapping atau ketukan ringan pada 18 titik
energi tubuh (The Major Energy Meridians) yang akan menimbulkan potensial
aksi. Ketukan yang dilakukan akan merangsang “electrically active cells” sebagai
pusat aktif yang terdiri dari kumpulan sel aktif yang ada di permukaan tubuh.

4
Tapping dalam SEFT akan menimbulkan hantaran rangsang berupa sinyal
transduksi yang terjadi dalam proses biologik akibat rangsangan pada titik utama
SEFT. Jalur meridian spesifik yang berkaitan dengan HIV adalah bagian yang
sedang sakit.
Berdasarkan wawancara dengan responden setelah penelitian, didapatkan informasi
bahwa tindakan SEFT ini sangat bermanfaat bagi pasien HIV diantaranya
membantu untuk menghilangkan stress yang dialami . SEFT juga membantu
menghilangkan keluhan fisik yang dirasakan pasien, dimana salah seorang pasien
mengatakan setelah melakukan SEFT matanya yang sakit bisa sembuh dengan
cepat. Selain itu hampir semua pasien mengatakan setelah melakukan tindakan
SEFT ini badan menjadi lebih segar, stress hilang, tidur menjadi nyenyak. Hal ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan Arnata & Lestari (2018) dimana terdapat
peningkatan kualitas tidur lansia setelah dilakukan SEFT. Penelitian Desmaniarti
& Avianti (2017) hasil independent t-test menunjukkan bahwa SEFT bermakna
menurunkan stres pasien kanker serviks dengan perbedaan rerata selisih pre-
posttest sebesar 18,02, p-value 0,000 (95 % CI 14,117- 21,882). Walaupun
demikian, hasil penelitian ini juga menemukan ada 7,1 % responden yang skort
kualitas hidupnya menjadi turun setelah dilakukan SEFT, tetapi responden
mengungkapkan tindakan SEFT sangat bermanfaat baginya. Hal ini mungkin
disebabkan karena pasien melaksanakan SEFT dalam keadaan tidak bisa
berkonsentrasi penuh, dan kurangnya kepasrahan kepada Allah SWT, sehingga
masih enggan mengungkapkan kesalahan yang selama ini diperbuatnya.

2. EFEKTIVITAS PEMBERIAN JUS NANAS DAN JUS PEPAYA SEBAGAI


PENDAMPING ARV DALAM MENINGKATKAN KADAR CD4
Hasil penelitian ini sesuai dengan riset yang dikerjakan oleh Maruli dkk (2011),
sari buah nanas dengan kandungan enzim bromelin-nya ternyata memiliki potensi
yang besar sebagai jalan alternatif pengobatan herbal, untuk mengurangi kesakitan
penderita penyakit HIV/AIDS. Hasil penelitian menunjukkan para pasien HIV
AIDS ini telah mengalami kemajuan yang pesat terhadap peningkatan CD4 hanya
dalam waktu 2-3 bulan (Maruli, dkk, 2014). Hasil penelitian Maruli, dkk (2011)

5
juga menjelaskan bahwa tanduk virus HIV terbuat dari protein, maka ada
kemungkinan tanduk ini dapat dirusak oleh sejenis enzim yang memiliki sifat
proteolitik, yaitu enzim yang berfungsi untuk menghancurkan protein.
Diantara dua kandidat dari enzim ini adalah enzim papain yang berasal dari getah
pepaya, serta enzim bromelin yang berasal dari buah nanas. Berdasarkan percobaan
awal di laboratorium, enzim bromelin memiliki aktifitas yang lebih kuat terhadap
virus HIV. Enzim Bromelin adalah enzim protease ditemukan dalam nanas (Ananas
comosus) yang termasuk dalam keluarga tanaman Bromeliaceae. Enzim ini adalah
salah satu dari dua enzim protease yang dikenal dengan kemampuan mencerna
protein. Nanas memiliki kemampuan proteolitik 80% lebih banyak yang disebut
protease dan efek lain dari bromelin adalah sebagai anti inflamatory (Farid, 2015).
Penderita yang terinfeksi HIV menyebabkan hancurnya limfosit T penolong,
sehingga terjadi kelemahan sistem tubuh dalam melindungi dirinya terhadap infeksi
dan kanker (Corwin, 2011). Demikian juga dengan enzym papain dimana enzym
papain merupakan hidrolitik kuat yang dapat merusak dinding protein virus HIV
(Daniel, et all, 2011). Hal ini juga diperkuat dengan adanya enzyme chimopapain
dan papain yang secara unik sebagai proteolitik (Aravind, 2013).
Virus HIV tidak dapat hidup disembarang tempat. Virus terbuat dari komponen
protein yaitu DNA dan RNA. Sebagai tambahan berbagai penelitian sukses
menjelaskan bagaimana penanganan dan kondisi sebenarnya virus HIV. The
Medical Enzyme Research Institute mempublikasikan kesimpulan dari hasil
penelitian mereka dari tahun 1985 sampai dengan tahun 1994, pertama mereka
menemukan terapi enzim yang signifikan membatasi secara progresif pada fase
awal gejala penyakit HIV dan muncul gejala tersebut secara nyata. Kemudian
banyak orang terdiagnosa positiv HIV, pengobatan enzim dapat memperlambat
onset gejala penyakit tersebut dan beberapa kasus memperlambat perjalan virus
tersebut. Lopez (1994) memberikan deskripsi yang komplit bagaimana enzym
membantu kondisi HIV/AIDS, bagaimana mereka berinteraksi dengan imunne
kompleks dan faktor-faktor penyakit lain dan referensi penyakit ini secara spesifik
(Farid, 2015).

6
Beberapa studi yang lain menunjukkan bahwa terapi enzim mengakibatkan
berkurangnya gejala dan memperlambat progresifitas infeksi virus HIV dan
memperbesar kondisi pasien dari kondisi lain yangmendapat terapi standar seperti
AZT (Zidovudine) yang memiliki waktu terbatas. Enzim Papain dan bromelain
diketahui mempunyai sifat yang berbeda sebagai enzim proteolitik yang memiliki
campuran spesifik yang dapat membunuh mikroba. Enzim buah ini memiliki
sensitifitas tertentu dalam tubuh beberapa orang untuk mendapatkan hasil yang
lebih baik (IJN, 2015). Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa virus juga
menghasilkan enzim protease yang berbahaya bagi tubuh manusia sehingga tubuh
manusia langsung bereaksi dengan membentuk beberapa enzim inhibitor pula.
Tubuh mengaktifkan enzim inhibitor ini sebagai salah satu cara menangani patogen
dalam tubuh manusia. Hasil penelitian tentang virus HIV menunjukkan bahwa
salah satu pengobatan umum penderita HIV adalah memberikan protease inhibitor.
PI (Protease Inhibitor) dirancang untuk menghambat atau men-nonaktifkan
protease dari virus HIV. PI yang menghambat protease berbahaya ini tidak
memiliki efek pada setiap protease lain dalam tubuh. Seseorang tidak harus mulai
ART tanpa konsultasi dokter yang berkualitas . Setiap individu membutuhkan
rencana pengobatan mereka sendiri.
Pengobatan sendiri harus menghindari pengeluaran biaya yang banyak. Sebaiknya
penderita HIV harus berkonsultasi dengan dokter yang memenuhi syarat untuk tahu
yang terbaik waktu untuk memulai ART . Seorang dokter akan mempertimbangkan
berikut yaitu gejala ( infeksi persisten ), jumlah CD4 dan Viral load ( ini mungkin
tidak selalu tersedia) (Zindagi, 2015).

3. POTENSI THE KULIT BUAH NAGA MERAH ( HYLOCEREUS POLYRHIZUS)


SEBAGAI TERAPI KOMPLEMENTER UNTUK MENURUNKAN INFEKSI
OPURTUNISTIK PADA PENDERITA HIV-AIDS
Penderita HIV sangat rentan mengalami infeksi oportunistik. Ada beberapa infeksi
oportunistik yang paling umum, yaitu kandidiasis (thrush), virus sitomegalia
(CMV), virus herpes simpleks, malaria, Mycobacterium avium complex (MAC
atau MAI), Pneumonia Pneumocystis (PCP), Toksoplasmosis (tokso), dan

7
Tuberkulosis (TB). Resiko infeksi oportunistik pada penderita HIV dapat dikurangi
dengan menggunakan obat untuk mencegah pengembangan penyakit aktif yang
disebut terapi profilaksis. Terapi ini menggunakan ARV (Antiretroviral) yang
berfungsi untuk memulihkan sistem imunitas tubuh sehingga dapat melawan
pathogen dari infeksi oportunistik. Selain itu, pencegahan juga dapat dilakukan
dengan tetap menjaga kebersihan dan menghindari sumber patogen yang diketahui
menyebabkan IO.
Kulit buah naga yang biasanya hanya dibuang dan menjadi limbah yang tidak
digunakan. Padahal, kulit buah naga mengandung fraksi polyphenolic yang
menunjukkan spectrum antimicrobial yang luas melalui penghambatan
pertumbuhan beberapa pathogen. Berdasarkan penelitian Nurmahani, International
Food Research Journal 19(1): 77-84 (2012), aktivitas antibacterial dari ethanol,
chloroform dan hexane extracts dari kulit Hylocereus polyrhizus (red flesh pitaya)
dan Hylocereus undatus (white flesh pitaya) dapat melawan sembilan pathogens
yang dievaluasi melalui disc diffusion method dan broth microdilution method.
Hasil dari disc diffusion method menunjukkan bahwa chloroform extracts dari kulit
H. polyrhizus and H. undatus memiliki aktivitas antibacterial yang baik dimana
hampir semua pathogen yang diuji berhasil dihambat. Patogen tersebut antara lain,
Bacillus cereus, Staphylococcus aureus, Listeria monocytogenes, Enterococcus
faecalis, Salmonella typhimurium, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae,
Yersiniaent erocolitica dan Campylobacter jejuni.
Aktivitas antibacterial dari kulit buah naga yang mempunyai spectrum luas yang
dapat menghambat pathogenesis bakteri gram positif dan gram negatif diharapkan
dapat menjadi terapi komplementer pendamping ARV dalam mencegah terjadinya
infeksi oportunistik pada penderita HIV AIDS.

Mekanisme Teh Kulit Buah Naga Merah (Hylocereus Polyrhizus) Sebagai Agen
Terapi Oportunistik Pada Penderita HIV
Teh kulit buah naga merah yang masukke dalam tubuh tidak akan mengalami fase
mekanik dan langsung mengarah ke lambung melalui kerongkongan. Lambung
merupakan organ berukuran sekepal tangan dan terletak di dalam rongga perut
sebelah kiri, di bawah sekat rongga badan. Dinding lambung sifatnya lentur, dapat

8
mengembang apabila berisi makanan dan mengempis apabila kosong. Muatan di
dalam lambung dapat menampung hingga 1,5 liter makanan. Waktu mencerna
berbeda-beda untuk setiap makanan atau minuman. Makanan yang padat akan
membutuhkan waktu yang lebih lama daripada zat cair (minuman) sehingga
menurut ilmu kesehatan dianjurkan mengunyah makanan 32 kali agar makanan
menjadi lebih lembut, sehingga akan meringankan beban lambung untuk
melumatkan makanan tersebut. Di sinilah kelebihan pengolahan kulit buah naga
merah menjadi teh dibandingkan dengan sediaan yang lain, karena semakin lumat
makanan yang masuk lambung, maka makin cepat melintasi lambung. Lambung
merupakan tempat berkumpulnya semua makanan yang selanjutnya akan
mengalami serangkaian proses kimiawi oleh getah lambung, sekitar 1 – 2 liter yang
dihasilkan oleh 35 juta kelenjar, antara lain HCl, enzim pepsin, enzim renin, lipase,
mukus (lendir), dan faktor intrinsik.
Demikian pula yang terjadi pada minuman di dalam lambung, tetapi jenis minuman
akan lebih mudah diserap mineralnya tanpa harus diproses secara kimiawi terlebih
dahulu, salah satunya adalah flavonoid yang ada di dalam teh kulit buah naga
merah. Flavonoid adalah senyawa yang memiliki aktifitas antioksidan yang dapat
mempengaruhi beberapa reaksi yang tidak diinginkan dalam tubuh, misalnya dapat
menghambat reaksi oksidasi, sebagai pereduksi radikal hidroksil dan superoksid
serta radikal peroksil. Di samping lain, salah satu penyebab infeksi oprtunistik yang
paling banyak adalah karena infeksi jamur. Pada sel jamur, dinding sel memiliki
peranan penting dalam kelangsungan hidup dan patogenisitas jamur. Selain
menjadi pelindung dan pemberi bentuk atau morfologi sel, dinding sel jamur
merupakan tempat penting untuk pertukaran dan filtrasi ion serta protein,
sebagaimana metabolisme dan katabolisme nutrisi kompleks. Komposisi primer
dinding sel Candida albicans adalah 30% mannoprotein permukaan yang
merupakan penentu utama spesifik serologik dan berperan dalam perlekatan sel
jamur pada permukaan sel hospes. Selain itu menurut struktur protein di dinding
sel jamur mengandung enzim-enzim seperti manan sintase, kitin sintase yang
berperan dalam transpor energi untuk pertumbuhan dan kolonisasi jamur.

9
Mekanisme kerja flavonoid dalam menghambat pertumbuhan jamur yakni dengan
menyebabkan gangguan permeabilitas membran sel jamur. Gugus hidroksil yang
terdapat pada senyawa flavonoid menyebabkan perubahan komponen organik dan
transport nutrisi yang akhirnya akan mengakibatkan timbulnya efek toksik terhadap
jamur. Selain itu, sebagai antibakteri, senyawa flavonoid yang terkandung di dalam
teh kulit buah naga merah merupakan bagian yang bersifat polar dan akan sangat
mudah menembus lapisan peptidoglikan yang bersifat polar daripada lapisan lipid
yang non polar, sehingga menyebabkan aktivitas penghambatan pada bakteri gram
positif lebih besar daripada bakteri gram negatif. Aktivitas penghambatan dari
kandungan buah kaktus pir berduri pada bakteri gram positif menyebabkan
terganggunya fungsi dinding sel sebagai pemberi bentuk sel dan melindungi sel dari
lisis osmotik dengan terganggunya sel akan menyebabkan lisis pada sel.

4. AROMA TERAPI UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS TIDUR PADA


PASIEN HIV/AIDS
Pasien dengan penyakit HIV/AIDS mempunyai kualitas tidur yang kurang baik
dengan nilai PSQI >5. Faktor-faktor yang secara significant berhubungan dengan
gangguan tidur pada pasien HIV/AIDS adalah depresi, laki-laki, pekerja aktif,
hidup sendiri, perokok, kurang pengetahuan, peningkatan ukuran pinggang, faktor
sosiodemografik (waktu tidur yang buruk), mempunyai riwayat trauma durasi dari
infeksi virus HIV, dan pemakaian Nevirapin atau Evafirens. Hal ini disebabkan
karena insomnia atau gangguan tidur pada pasien HIV/AIDS merupakan salah satu
jenis ADR (Adverse Drug Reaction)yaitu munculnya reaksi obat yang tidak
dikehendaki pada saat terapi ARV. ADR ini merupakan kejadian yang cukup sering
terjadi pada pasien HIV dan umumnya terjadi pada tiga bulan pertama setelah
inisiasi ARV. Hal tersebut dikarenakan Efavirens memiliki sifat agonis parsial
serotonin 2A yang membuat pasien terjaga. Maka dari itu hal ini dihubungkan
dengan out put pengurangan onset waktu tidur, penurunan kemampuan
mempertahankan waktu bangun, peningkatan pada fase NREM sehingga tidak
segera mendapatkan tidur yang nyenyak. Adanya Sitokin polimorphispada obat anti
inflamasi yang terdapat ada terapi anti retroviral juga berhubungan dengan kualitas

10
tidur yang rendah.(Dabagzadeh, et al.,2013; Allavena, et Al.,2015; Hidayati, et
al.,2016; Oishinaike, et al.,2014; Simen, et Al., 2015; Lee et, Al., 2015; Cianflone,
et Al., 2012; Lee, et al., 2012) Penyebab kualitas tidur yang kurang baik lain
diantara pasien HIV/AIDS adalah masalah fisik dan psikis. Masalah psikis yang
sering dialami oleh penderita HIV/AIDS adalah cemas dan depresi, hal tersebut
karena penderita menganggap bahwa dirinya sudah tidak baik lagi, keluarga
bukanlah seseorang yang bisa untuk tempat bersandar, dan mereka merasa bahwa
sudah tidak ada masa depan bagi mereka lagi.
Selain itu,Depresi dan energi rendah/ kelelahan diidentifikasi sebagai mediator
yang berhubungan antara kualitas tidur dan kepatuhan pengobatan. Sedangkan
untuk masalah fisik gejala-gejala fisik yang sering terjadi akibat CD4 yang
menurun antara lain diare, kram perut, fatigue (kelelahan), gatal, rasa terbakar,
neuropati periferal, demam,dan infeksi-infeksi lain yang terjadi (Robbin, 2004;
Dalmida, et Al., 2015; Parhani, 2016) Dampak dari kualitas tidur yang kurang baik
bagi kesehatan menurut Hanun (2011) adalah tidak produktif, tidak fokus, tidak
bisa membuat keputusan, pelupa, pemarah, depresi, bisa meningkatkanresiko
kematian, sistem kekebalan tubuh menurun, dan menyebabkan kecelakaan.
Berdasarkan analisis univariat hasil sesudah diberikan aromatherapy nilai mean
untuk penilaian kualitas tidur adalah 6.32.
Penelitian yang dilakukan oleh Fuerwanto, et al (2016) menunjukkan bahwa setelah
diberikan aromatherapy lavender kualitas tidur pada lansia setelah meningkat
dengan nilai PSQI >5.Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh
Rahmawati,et al.(2014) dengan hasil bahwa nilai meansebelum
diberikanAromatherapy Lavender adalah 16,17 dan sesudah diberikan
Aromatherapy Lavender adalah 11,17. Penelitian lain yang mendukung adalah
penelitian yang dilakukan oleh Ekawati (2015) dengan hasil nilai mean sebelum
diberikan Aromatherapy Lavender 23,25 dan nilai mean sesudah 14,63. Hal ini
disebabkan oleh Aromatheapy Lavender yang bisa meningkatkan kualitas tidur.
Penelitian Palaniapan dan Thenappan (2016) menunjukkan bahwa ada beberapa
terapi non medis yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas tidur dan
mengatasi ganggan tidur antara lain adalah: Terapi Gizi, Pengobatan Herbal dan

11
Minyak Essensial, Akupuntur/ Akupressur, Terapi cahaya terang, Massase dan
terapi sentuh, Terapi Musik, Tai Chi dan Yoga.
Terapi-terapi tersebut sudah terbukti dapat meningkatkan kualitas tidur, salah satu
contohnya adalah pemakaian aromatherapy. Aromatherapy Lavender yang
digunakan dapat meningkatkan kualitas tidur. Lansia dengan gangguan tidur yang
diberikan Aromatherapy Lavender, kualitas tidurnya dapat meningkat, dengan hasil
p value yakni 0,007.Hal tersebut dikarenakan dalam Aromatherapy Lavender
mengandung zat linalool dan linaliil asetat yang mengandung efek sedatif dan
hipnotik. Hal ini dapat meningkatkan tahap tidur non REMatau tidur yang tenang
(Kurnia, 2013; Lestari dan Rodhiyah, 2014) Tahapan tidur dibagi menjadi 2 yaitu
tidur aktif atau REM dan tidur tenang atau non REM.
Seseorang yang telah dewasa mempunyai siklus tidur 4-5 siklus selama 7-8 jam.
Dengan sistem tidur non REM bergantian dengan tidur REM. Secara singkat siklus
tidur dapat dijelaskan sebagai berikut: selama 30 menit pertama terjadi pergeseran
tidur non REM yaitu terjadi tahap awal ketika seseorang mulai mengantuk, masih
sadar dengan lingkungannya, bola mata bergerak ke samping serta masih mudah
dibangunkan, kemudian otot mulai relaksasi, mata mulai menetap, penurunan
denyut nadi dan pernapasan, lalu dilanjutkan dengan deep sleep ditandai dengan
relaksasi otot secara menyeluruh. Lalu pada 20 menit selanjutnya dilanjutkan
dengan dengan keadaan dimana seseorang semakin dalam dalam tidur, denga ciri-
ciri EEG gelombang otak mulai melemah, penurunan denyut jantung, tekanan
darah dan suhu tubuh. Lalu 10 menit selanjutnya terjadi pergeseran dari tidur non
REM ke tahap REM pada tahap inilah mimpi seperti sangat nyata. Kini berakhirlah
siklus tidur tahap 1, kemudian dilanjutkan siklus tidur tahap 2 dan selanjutnya.
Aromatherapy yang dihirup dapat mempercepat luciddreamdimanalucid dreamini
adalah fase dimana seseorang mengalami mimpi, itulah sebabnya aromatherapy
bisa meningkatkan tidur seseorang, sehingga dapat meningkatkan tidur,
menstabilkan tekanan darah serta bisa juga untuk mengurangi kecemasan (Cho, et
al., 2013; Lytle, et al., 2014; Snatkaran, et Al.,2017)
Dalam Primadiati (2002) pemakaian aroma therapy lavender melalui jalur
penciuman merupakan jalur yang paling cepat dan efektif untuk menanggulangi

12
masalah gangguan emosional, stress dan depresi juga beberapa macam sakit kepala.
Hal ini disebabkan karena adanya hubungan langsung dengan susunan sistem saraf
pusat yang bertanggung jawab terhadap kerja minyak essensial. Bila minyak
essensial dihirup, molekul yang mudah menguap akan membawa unsur aromatik
yang terdapat pada kandungan aroma therapy ke puncak hidung. Rambut getar yang
ada didalamnya yang berfungsi sebagai reseptor akan membawa pesan
elektrokimia ke susunan saraf pusat. Pesan ini yang akan mengaktifkan pusat emosi
dan daya ingat seseorang yang selanjutnya akan mengantarkan pesan balik ke
seluruh tubuh melalui sirkulasi. Pesan yang diantar ke seluruh tubuh akan
dikonversi menjadi suatu aksi pelepasan substansi neurokimia berupa perasaan
senang, rileks dan terangsang, maka jika diartikan dengan nilai, perasaan ini
membuat nilai kualitas tidur meningkat.Nilai kualitas tidur yang meningkat karena
menghirup aromatherapy dapat terjadi karena aromatherapy lavender mempunyai
khasiat menenangkan dan sebagai relaksasi.
Aroma therapy adalah salah satu terapi keperawatan komplementer yang digunakan
dengan menggunakan minyak essensial yang didapat dari minyak tanaman yang
mudah menguap atau sering disebut dengan essensial oil. Dalam Ali, et Al (2015)
beberapa contoh aromatherapy antara lain, Eucacalyptus, Geranium, Clary Sage,
Lavender, Lemon, Peppermint, Rosemary, Chamomile, tea tree, ylang ilang dsb.
Beberapa diantara dipercaya dapat digunakan sebagai obat insomnia, tetapi
lavender adalah salah satu aromatherapy yang sering digunakan untuk mengatasi
gangguan tidur, dikarenakan lavender ini terkandung didalamnya Kamper,
Terpinen-4-Ol, Linalool, Linalyl Acetate, Betaocimene 1,8-Cineole selain itu
Lavender mempunyai kandungan Linalyl Asetatdan Linalool yang mempunyai
efek sedatif dan hipnotik karena Linalool menghambat pengikatan glutamat pada
kortek otak. Penelitian Lestari dan Rodiyah (2014) juga medukung pendapat diatas
yakni dengan Aroma therapyLavenderdapat digunakan sebagai salah satu alternatif
untuk mengatasi gangguan tidur. Beberapa pasien mengatakan bahwa setelah
menghirup aroma therapy dengan air hangat, tidur menjadi lebih nyenyak dan
badan terasa segar pada pagi hari, pendapat ini sesuai dengan teori dari Primidiati
(2002) bahwa bau yang mudah menguap ke udara akan masuk ke rongga hidung

13
melalui penghirupan sehingga akan direkam oleh otak sebagai proses penciuman.
Proses penciuman dimulai dengan peneriman molel bau, kemudian dilanjutkan
dengan transmisi sebagai pesan ke pusat saraf penciuman yang terletak di bagian
belakang hidung. Pusat penciuman ini hanya sebesar biji delima pada pangkal otak,
tempat inilah yang akan menginterpretasikan bau dan mengantarkannya ke sistem
limbik yang selanjutnya akan dikirim ke hipotalamus untuk kemudian diolah.
Melalui pengantaran respon oleh hipotalamus, seluruh unsur ada minyak esensial
tersebut akan diantarke sistem sirkulasi dan agen kimia kepada organ tubuh yang
membutuhkan.
Secara fisiologis kandungan dari unsur-unsur terapeutik dari bahan aromatik akan
memperbaiki ketidakseimbangan yang terjadi dalam tubuh. Respon bau yang
dihasilkan akan merangsang kerja sel neurotik otak, sebagai contoh bau yang
menyenangkan akan mestimulasi talamus untuk mengeluarkan ekefalin yang
berfungsi sebagai penghilang rasa sakit alami dalam tubuh. Penelitian yang
dlakukan oleh Sirinponpanich, et Al (2012) juga mengemukakan bahwa efek
menggunakan aroma therapy via inhalasi dapat mempengaruhi emosi, sistem saraf
otonom dan aktifitas kelistrikan di otak, hal ini karena dalam lavender terdapat
linalool dan lynaliil asetatat yang mempunyai efek sedatif dan narkotik, selain itu
hasil dari penelitian ini adalah secara signifikan tekanan darah dapat turun, denyut
nadi dan temperatur kulit menjadi lebih hangat.

5. PENERAPAN ART THERAPY UNTUK MENINGKATKAN SELF


COMPASSION PADA ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA)
Berdasarkan hasil uji didapatkan hasil bahwa art therapy dapat meningkatkan self-
compassion. Penelitian ini menunjukkan hasil serupa dengan penelitian Lim (2018)
yang juga mendukung efektivitas art therapy dalam meningkatkan self-compassion.
Peningkatan self-compassion dari kelima partisipan mulai terlihat pada sesi kelima
yang membahas mengenai penerimaan dan kasih sayang terhadap diri sendiri, yaitu
pada tahap integrating art therapy into focusing di mana partisipan mengungkapkan
seluruh pengalaman dan perasaannya ke dalam seni. Pengalaman yang dituangkan
membantu partisipan merefleksikan tindakan yang telah dilakukan terhadap dirinya

14
sendiri, sehingga partisipan mampu mengevaluasi dan merancang tujuan yang lebih
efektif.
Partisipan A sudah mulai memperlihatkan tumbuhnya self-compassion terhadap
kondisi dirinya, yaitu membuat dirinya bahagia, namun tidak melewati batas.
Partisipan B menunjukkan adanya kenyamanan dan kedamaian terhadap diri
sendiri, menjadi lebih percaya diri, dan frekuensi terlambat minum obat mulai
berkurang. Pada partisipan C, ia sudah mengembangkan common humanity di
mana merasa tidak sendiri berstatus ODHA dan melihat bahwa ODHA lainnya
dapat bekerja dan sukses. Selain itu, C juga menunjukkan sikap dan perilaku yang
compassionate, yaitu dengan merawat diri, tidak memberikan penilaian negatif, dan
menerima kenyataan. Begitu juga dengan partisipan D menunjukkan kesadaran
akan sikapnya yang bermusuhan dengan diri sendiri dan menunjukkan perilaku
yang compassionate, yaitu mengonsumsi makanan sehat, tidak menyalahkan diri
sendiri ketika melakukan kesalahan dan melihat bahwa seluruh manusia juga
melakukan kesalahan. Partisipan E menunjukkan sikap dan perilaku yang
compassionate, yaitu tidak lagi menyalahkan dirinya sendiri, tidak lagi merasa
terbelenggu oleh HIV, mampu untuk melawan pemikiran negatif, dan sudah
memiliki tujuan terkait dengan masa depannya, dan adanya optimisme terhadap
kondisi dirinya.
Namun, partisipan F menunjukkan hasil yang berbeda dari kelima partisipan
lainnya. Berdasarkan gambar, F menunjukkan adanya kecemasan di dalam dirinya
ataupun hubungan interpersonal. Selain itu, faktor keseriusan selama sesi menjadi
salah satu faktor yang memengaruhi hasil sesi intervensi. Sikap ketidaksungguhan
di dalam sesi mengakibatkan rapport tidak terbangun dengan baik. Cavazos (2012)
menyatakan bahwa rapport merupakan hal fundamental di dalam hubungan antara
terapis dan klien. Art therapy dapat bekerja dengan baik apabila adanya hubungan
baik yang terbangun antara terapis dan klien. Dengan rapport yang tidak terjalin
antara peneliti dan partisipan F telah menyebabkan tidak meningkatnya self-
compassion F. Namun, rapport antara peneliti dan kelima partisipan lainnya sudah
terbangun dengan baik, sehingga kelima partisipan menunjukkan peningkatan self-
compassion. Oleh sebab itu, rapport yang baik menjadi salah satu faktor

15
keberhasilan di dalam penelitian ini. Selain itu, penelitian ini juga didukung dengan
adanya keyakinan partisipan atas proses dari sesi art therapy yang dilakukan bahwa
proses tersebut akan memberikan manfaat kepada partisipan yang bersangkutan.
Sejalan dengan Sprenkle dan Blow (dalam Thomas, 2006) yang menyatakan bahwa
salah satu faktor yang berkontribusi terhadap perubahan yang terjadi pada proses
terapeutik adalah harapan atau ekspektasi (hope or expectancy).
Harapan/ekspektasi merujuk pada harapan dan keyakinan/kepercayaan individu
terhadap kredibilitas treatment yang diberikan. Penelitian Thomas (2006) telah
menunjukkan bahwa keberhasilan proses terapeutik terjadi dikarenakan adanya
faktor hubungan terapeutik dan harapan/ekspektasi klien. Dalam penelitiannya,
klien berkontribusi sebesar 58% pada keberhasilan proses terapeutik yang terjadi
di dalam sesi terapi secara individual.
Keyakinan pada partisipan terhadap proses terapi yang dilakukan telah ditunjukkan
dengan kesungguhan kelima partisipan dalam mengikuti sesi dan mengerjakan
tugas yang diberikan oleh peneliti. Keberhasilan sesi dapat dipengaruhi oleh
komitmen klien, seperti kehadiran individu di dalam setiap sesi, keterlibatan dan
kesungguhan klien dalam melakukan tugas-tugas di dalam sesi (within session) dan
di luar sesi (homework compliance) (Holdsworth, Bowen, & Howat, 2014;
Magrabi, Li, Dunn, Coeira, 2011). Di samping itu, keberhasilan dalam penelitian
ini juga didukung dengan jumlah sesi intervensi art therapy yang diberikan. Dalam
penelitian Weiland (2012) mengatakan bahwa sesi intervensi dilakukan dalam
waktu yang lebih lama dapat meningkatkan self-compassion. Selaras dengan
penelitian Lim (2018) yang terdiri dari 7 sesi art therapy dan dinyatakan efektif
meningkatkan self-compassion. Jumlah sesi intervensi pada penelitian ini terdiri
dari 8 sesi dan menunjukkan hasil serupa dengan penelitian Lim. Meskipun
demikian, penelitian ini memiliki keterbatasan, yakni seluruh partisipan dalam
penelitian ini berjenis kelamin laki-laki dan dengan faktor resiko dari hubungan
seksual. Hal ini tentu saja perlu dipertimbangkan lebih lanjut untuk penelitian
selanjutnya.
Pada data demografis, seperti pekerjaan dan status menikah belum dapat
menunjukkan hasil yang meyakinkan terhadap kaitannya dengan self-compassion.

16
Penelitian Karine de Souza dan Hutz (2016) memaparkan bahwa individu yang
berusia 31-66 tahun, tidak bekerja, memiliki anak, dan tidak menggunakan obat
psikiatri memiliki self-compassion yang lebih tinggi. Namun, faktorfaktor seperti
memiliki anak, terlibat dalam sebuah pekerjaan, dan penggunaan obat psikiatri;
belum cukup mendukung untuk dikaitkan dengan meningkatnya self-compassion
seseorang. Selain itu, belum ada penelitian sebelumnya yang meneliti self-
compassion yang dikaitkan dengan faktor-faktor tersebut. Hal ini menunjukkan
belum adanya hasil penelitian yang konklusif untuk melihat ataupun membahas
faktor demografis terhadap self-compassion, sehingga diperlukan penelitian yang
menilik lebih lanjut untuk mendapatkan hasil yang lebih jelas.

6. TERAPI KOGNITIF-PERILAKU WANITA PENDERITA HIV/AIDS


Pentingnya pemberian terapi kognitif perilaku terhadap depresi pada wanita yang
terinfeksi HIV adalah untuk membantu para wanita tersebut dalam
mempertahankan kondisinya, di mana kesehatan baik fisik maupun psikologis pada
mereka sangat berpotensi untuk mengalami gangguan. Terapi kognitif-perilaku
akan membantu mereka mengurangi gejala-gejala yang mengarah pada depresi,
sehingga mereka dapat tetap menjalani tugasnya sebagai ibu rumah tangga serta
membantu perekonomian keluarganya atau bahkan menjadi tulang punggung dari
keluarganya. Kondisi tersebut didukung dengan kenyataan di lapangan, di mana
jumlah wanita yang terinfeksi HIV dari suaminya terus meningkat, tetapi belum
diimbangi dengan penanganan yang optimal yang dapat membantu wanita tersebut
dalam menjalani tugas-tugasnya setelah terjadi “perubahan” pada mereka.
Penanganan depresi pada wanita tidak cukup hanya dengan menggunakan terapi
obat. Mereka dapat menemukan kembali beberapa faktor fisik yang dapat
mengakibatkan depresi serta keluhan-keluhan fisik yang dapat bertahan di dalam
tubuh wanita tersebut dalam waktu yang lama sehingga dibutuhkan proses healing
yang juga panjang. Oleh karena itu, diperlukan adanya dukungan dari lingkungan
yang dapat membantu mereka dalam menghadapi masalah yang mereka hadapi
seperti konseling atau peer group5. Selain itu, dengan memberikan psikoterapi juga
akan dapat membantu mereka dalam proses healing tersebut. Terapi Kognitif-

17
Perilaku atau CBT berusaha untuk mengintegrasikan teknik-teknik terapeutik yang
berfokus untuk membantu individu melakukan perubahan-perubahan, tidak hanya
perilaku nyata tetapi juga dalam pemikiran, keyakinan, dan sikap yang
mendasarinya. CBT memiliki asumsi bahwa pola berpikir dan keyakinan
mempengaruhi perilaku, dan perubahan pada kognisi ini dapat menghasilkan
perubahan perilaku yang diharapkan. Beck (1979) menyebutkan bahwa terdapat
berbagai macam strategi yang digunakan dalam melakukan CBT.
Terapi kognitif ditujukan untuk menguji dan memberikan gambaran yang
berhubungan dengan pemikiranpemikiran yang salah dan asumsi yang maladaptif
yang spesifik pada diri pasien. Melalui pendekatan ini diharapkan pasien dapat
belajar untuk; (1) memonitor pemikian-pemikiran negatif yang otomatis muncul;
(2) mengenali hubungan antara kognisi, afeksi, dan perilaku; (3) memahami fakta-
fakta yang dapat melawan pikiran-pikiran negatifnya; (4) merubah untuk lebih
berorientasi pada kenyataan dalam menginterpretasikan pemikiran yang bias atau
salah; (4) mengidentifikasikan dan merubah keyakinan negatif yang dapat
mempengaruhi pasien melakukan perilaku yang menyimpang. Pada awal proses
terapi ini, terapis menjelaskan tentang dasar rasionalisasi dari terapi kognitif.
Kemudian pasien diajarkan untuk mengenali, memonitor, dan mencatat pemikiran-
pemikiran negatifnya ke dalam catatan harian pemikiran negatif yang telah
disediakan terapis. Terapi perilaku digunakan tidak hanya bertujuan untuk merubah
perilaku mal-adaptif pasien, tetapi juga untuk menunjukkan pengaruh atau
hubungan kognisi terhadap perilaku6. Pelatihan keterampilan coping dan terapi
kognitif-behavioral terbukti membantu meningkatkan fungsi psikologis dan
kemampuan menangani stress pada pengidap HIV/AIDS, serta mengurangi depresi
dan kecemasan. Ownby, dkk (2010), menyebutkan bahwa dari beberapa cara
penanganan depresi pada pasien HIV mulai dari terapi medis, supportive
psychotherapy, CBT, atau kombinasi dari beberapa terapi tersebut menunjukkan
bahwa CBT merupakan treatmen yang paling efektif.
Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah apakah terapi kognitif
perilaku atau CBT efektif untuk menurunkan depresi pada wanita yang terinfeksi
HIV dari suaminya. Tulisan ini diharapkan dapat membantu mengatasi depresi

18
pada wanita yang terinfeksi HIV dari suaminya, sehingga mereka dapat menerima
kondisinya dan menjalankan kehidupannya dengan lebih baik meskipun dalam
tubuh mereka terdapat HIV. Di samping manfaat untuk pasien, penelitian ini juga
diharapkan dapat memberikan gambaran kepada keluarga tentang HIV dan kondisi
wanita yang terifeksi HIV dari suaminya, sehingga keluarga dapat memotivasi dan
membantu mereka mengurangi masalah yang dialaminya, khususnya depresi.
Sedangkan manfaat untuk masyarakat atau lembaga yang berfokus pada
penanganan pasien HIV/AIDS, tulisan ini diharapkan dapat menjadi referensi
dalam membantu pasien khususnya wanita yang terinfeksi HIV dari suaminya serta
pasien yang terinfeksi HIV lainnya dalam mengatasi masalah mereka yang
berhubungan dengan depresi.

19
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang memperlemah kekebalan tubuh
manusia. HIV menyerang tubuh manusia dengan cara membunuh atau merusak sel-sel
yang berperan dalam kekebalan tubuh sehingga kemampuan tubuh untuk melawan infeksi
dan kanker menurun drasts.

AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah sekumpulan gejala dan infeksi
sindrom yang timbul karena rusaknya system kekebalan tubuh. HIV dan AIDS kini bukan
dari akhir segalanya, dengan kemajuan diagnosis dan terapi, orang yang terinfeksi HIV
memiliki harapan hidup lebih panjang dan bisa menjalani hidup yang produktif . Meski
tidak bisa menyembuhkan, terapi komplementer seperti: terapi informasi, terapi spritul,
terapi nutrisi, dan terapi spiritual, setidaknya bisa memberikan harapan hidup yang lebih
bagi pengidap HIV/AIDS positif dan membuat mereka hidup lebih produktif.

3.2 SARAN

Kepada pembaca, diharapkan memahami isi makalah ini dengan baik dan jika
menggunakan makalah ini sebagai acuan dalam pembuatan makalah atau karya tulis yang
berkaitan dengan judul makalah ini, diharapkan kekurangan yang ada pada makalah ini
dapat diperbaharui dengan lebih baik.

20
DAFTAR PUSTAKA

Suratih, et al., Aromaterapi untuk Meningkatkan Kualitas Tidur SJKP, Vol. 7,


No. 1, Juni 2020, 22-29
http://stikesyahoedsmg.ac.id/ojs/index.php/sjkp/article/download/310/pdf
Sylvia Angelika, et al PENERAPAN ART THERAPY UNTUK
MENINGKATKAN SELF-COMPASSION PADA ORANG DENGAN
HIV/AIDS (ODHA), Vol. 3, No. 1, April 2019: hlm 219-229
https://journal.untar.ac.id/index.php/jmishumsen/article/download/3462/3989
Annisa Fitriani, Terapi Komplementer Untuk Menurunkan Infeksi Opurtunistik
Pada Penderita HIV-AIDS
https://www.researchgate.net/publication/334591668_Potensi_Teh_Kulit_Buah
_Naga_Merah_Hylocereus_Polyrhizus_Sebagai_Terapi_Komplementer_Untuk_
Menurunkan_Infeksi_Opurtunistik_Pada_Penderita_HIV-AIDS

Luthfi Atmasari, Terapi Kognitif-Perilaku Wanita Penderita HIV/AIDS


https://jurnal.iainkediri.ac.id/index.php/universum/article/download/264/228
Puspa Wardhani dan Nurbani, EFEKTIVITAS PEMBERIAN JUS NANAS DAN
JUS PEPAYA SEBAGAI PENDAMPING ARV DALAM
MENINGKATKAN KADAR CD4
http://ejournal.poltekkes-pontianak.ac.id/index.php/JVK/article/download/59/51
World Helath Organization. 2014. Human Immunodeficiency Virus. [Internet]
Available from: http://who.int/gho/hiv/en/ [accessed at 8 February 2014].

Ditjen PP & PL Kemenkes RI. 2014. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia


Dilapor s/d September 2014. Jakarta: Spiritia

21

Anda mungkin juga menyukai