Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH KEPERAWATAN MENJELANG AJAL DAN PALIATIF

PENYAMPAIAN BERITA BURUK

OLEH : KELOMPOK 2

SANDY CLAUDIO LABULU 201901072


KHOFIFA SRY WAHYUNI 201901055
MOHAMMAD FAUZAN BASO 201901059
EKA PUTRI WARDINI 201901050
NUR AZIZA 201901067
NUR WARDANI 201901068
ANTIKA RAHMAN 201901044
TRISINTA 2019010

PROGRAM STUDI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIDYA NUSANTARA PALU
2021
KATA PENGANTAR

Pertama-tama, marilah senantiasa kita memanjatkan puji dan syukur kehadirat


Tuhan yang maha Esa, karena atas berkat dan kasih karunia-Nya, sehingga kita masih
diberikan kekuatan, kesehatan, dan kesempatan untuk masih dapat menyelesaikan
makalah ini yang berjudul “ Makalah Keperawatan Menjelang ajal dan Paliatif,
Menyampaikan Berita Buruk “
Dalam makalah ini, kami membahas mengenai “Teknik Penyampaian Berita
Buruk”. Makalah ini bersumber dari berbagai referensi berupa buku dan artikel ilmiah.
Semoga makalah ini dapat memberikan pemahaman da bermanfaat bagi pembaca
semua. Terima kasih.
DAFTAR ISI
Cover……………………………………………………………………………………..
Kata Pengantar…………………………………………………………………………..
BAB I PENDAHULUN
A. Latar Belakang.....................................................................................................
B. Rumusan Masalah................................................................................................
C. Tujuan...................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN

A. Defenisi Berita Buruk………………………………………………………......


B. Tujuan Penyampaian Berita Buruk…………………………………………......
C. Kesulitan Menyampaikan Berita Buruk………………………………………..
D. Jenis – Jenis Berita Buruk……………………………………………………...
E. Teknik Menyampaikan berita Buruk…………………………………………...
F. Hal–Hal yang Dianggap Penting oleh Pasien dalam Penyampaian Berita

Buruk......................................................................................................................
G. Penyampaian berita buruk yang kurang tepat…………………………………..
H. Jenis-jenis Reaksi Pasien Terhadap Frustasi……………………………….......
I. Penyampaian Berita Buruk Dengan Metode SPIKES………………………….
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan..........................................................................................................
B. Saran....................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Dalam melakukan pekerjaan sehari hari, seorang petugas medis tidak jarang
menghadapi situasi yang dilematis terkait dengan kondisi pasien dan keluarganya.
Salah satu kondisi yang sering kali berpengaruh secara fisik dan mental bagi
penderita, keluarganya maupun masyarakat lingkungannya adalah suatu berita buruk
dalam medis yang harus disampaikan. Berita buruk dalam medis yang dimaksud
adalah suatu berita yang secara drastis dan negatif mengubah pandangan pasien
terhadap dirinya dan atau masa depannya.
Berita buruk yang dimaksud adalah setiap informasi yang merugikan dan
berpotensi serius untuk mempengaruhi individu terhadap pandangan pada dirinya
dan atau masa depannya dan atau menempatkan mereka pada situasi akan perasaan
tidak adanya harapan, putus asa, ancaman terhadap kesejahteraan mental atau fisik
seseorang, berisiko mengganggu kemapanan, atau di mana suatu pesan yang
diberikan menimbulkan suatu pilihan yang sempit bagi individu dalam hidupnya.
Ada banyak alasan mengapa seorang petugas medis merasa mengalami kesulitan
dalam menyampaikan berita buruk. Sutau rasa empati dan keprihatinan bersama
terhadap suatu berita yang akan mempengaruhi pasien sering kali digunakan untuk
membenarkan pemotongan berita buruk sehingga tidak tersampaikan. Ketrampilan
berkomunikasi dalam penyampaian kepada pasien dengan baik bukan merupakan
keterampilan opsional. Hal itu adalah suatu bagian penting dari praktek profesional.
Kesalahan dalam komunikasi dapat menimbulkan dampak yang serius baik secara
fisik maupun psikis bahkan dapat menimbulkan permasalahan yang harus
diselesaikan di pengadilan. Itu sebabnya penguasaan ketrampilan dalam komunikasi
khususnya dalam menyampaikan sutau berita buruk merupakan hal penting dalam
praktek medis.
B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian berita buruk ?

2. Bagaimana teknik menyampaikan berita buruk ?


C. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa itu berita buruk ?

2. Untuk mengethaui teknik menyampaikan berita buruk ?


BAB II TINJAUAN
PUSTAKA
A. Defenisi Berita Buruk

Berita buruk secara medis didefinisikan sebagai informasi yang menciptakan


pandangan buruk bagi kesehatan seseorang. Berita buruk tersebut dapat
menimbulkan perasaan tanpa harapan pada pasien, ancaman terhadap kesehatan
mental dan fisik pasien, atau resiko mengganggu atau mengacaukan gaya hidup atau
keseharian pasien (Wright dkk, 2013).
Menurut Baile, berita buruk dapat didefinisikan sebagai segala informasi yang
secara serius dapat memperburuk pandangan seseorang tentang masa depannya.
Sedangkan menurut Aitini & Aleotti Kabar buruk adalah pengalaman tidak
nyaman untuk pemberi dan penerima berita
Menyampaikan berita buruk pada pasien adalah salah satu tanggung jawab
seorang petugas medis yang harus dikerjakan dalam praktek pelayanan kesehatan.
Menyampaikan berita buruk merupakan keterampilan komunikasi yang penting dan
menantang. Terdapat kewajiban secara sosial dan moral bagi petugas medis untuk
bersikap sensitif dan tepat dalam menyampaikan berita buruk. Secara medikolegal
petugas medis berkewajiban menyampaikan atau menginformasikan diganosis yang
secara potensial berakibat fatal. Jika petugas medis tidak menyampaikan dengan
tepat, komunikasi tentang berita buruk akan berakibat pada munculnya perasaan
ketidak percayaan, kemarahan, ketakutan, kesedihan atau pun rasa bersalah pada diri
pasien. Hal-hal tersebut dapat berefek konsekuensi emosional jangka panjang pada
keluarga pasien. Terdapat hubungan yang kuat antara persepsi pasien yang menerima
informasi adekuat tentang penyakit dan pengobatannya dengan penyesuaian
psikologis pasien dalam jangka waktu yang lebih lama. Pasien yang menyadari
mereka menerima terlalu banyak atau terlalu sedikit informasi mempunyai risiko
lebih besar untuk mengalami stress atau berkembang menjadi cemas dan atau
depresi.
Petugas medis sering merasa kesulitan dalam menyampaikan berita buruk
terutama untuk penyakit yang mengancam jiwa. Alasannya antara lain merasa tidak
siap dan tidak mempunyai pengalaman dalam menyampaikan berita buruk, khawatir
berita tersebut akan membuat stress dan memberi efek negatif pada pasien dan
keluarganya, serta akan mengganggu hubungan terapetik. Petugas medis merasakan
bahwa tugas tersebut tidak menyenangkan dan tidak nyaman; Petugas medis tidak
ingin menghilangkan harapan pasien, khawatir dengan reaksi emosional pasien dan
atau keluarganya, atau merasa tidak yakin bagaimana menghadapi respon emosi yang
sangat dalam. Hal-hal tersebut sering dijadikan alasan dokter untuk menunda
menyampaikannya. Padahal hasil penelitian menunjukkan 50-90% pasien di Amerika
menginginkan mendapatkan informasi yang lengkap mengenai diagnosis terminal
yang mungkin terjadi pada mereka.
Mengingat bahwa menyampaikan berita buruk merupakan salah satu bagian dari
komunikasi, maka dengan mempelajari dan melatih keterampilan berkomunikasi
petugas medis akan mampu menyampaikan berita buruk dengan cara yang dapat
mengurangi ketidak nyamanan dan lebih memuaskan pasien dan keluarganya.
Penyampaian berita buruk dengan sikap dan cara yang tepat dapat meningkatkan
penerimaan pasien dan keluarga tentang penyakitnya dan rencana terapi lebih lanjut,
pendorong pencapaian tujuan terapi yang realistis, memberi dukungan mental serta
menguatkan hubungan pada pasien.

B. Tujuan Penyampaian Berita Buruk

1. Merupakan pekerjaan yang akan sering dilakukan namun membuat stress

Selama karirnya, seorang dokter dan tenaga kesehatan lainnya akan mengalami
keadaan dimana ia harus menyampaikan informasi buruk kepada pasien atau
keluarganya. Penyampaian berita buruk akan menjadi sangat menegangkan ketika
seorang perawat kurang berpengalaman, sedang menghadapi pasien yang masih
muda, dan ketika prospek keberhasilan pengobatan minim (Campble,2013).
2. Pasien menginginkan kebenaran

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa 96% orang berharap diberi tahu ketika
ia menderita kanker dan 85% berharap mendapat informasi mengenai perkiraan
umur mereka (Campble,2013)..
3. Prinsip hukum dan etik
Di Amerika Utara, prinsip informed consent, otonomi pasien, dan hukum telah
menciptakan kewajiban etika dan hukum yang jelas untuk memberikan informasi
sebanyak yang pasien inginkan tentang penyakit mereka dan pengobatannya.
Dokter tidak mungkin menahan informasi medis bahkan jika mereka tahu itu akan
memiliki efek negatif pada pasien (Campble,2013).
4. Hasil pemeriksaan klinis

Bagaimana cara penyampaian kabar buruk dapat mengubah pemahaman pasien


akan informasi, kepuasan perawatan, tingkat harapan, dan psikologi pasien.
Banyak pasien mengharapkan informasi yang akurat untuk membantu mereka
menentukan pilihan (Campble,2013).
Masalah muncul bila dokter harus berhadapan dengan keadaan khusus atau
kepribadian pasien yang berbeda-beda. Contohnya, penyakit yang dipengaruhi
oleh faktor psikososial. Keadaan lainnya adalah pasien yang berpenyakit kronis,
menderita cacat, dan pada pasien kanker. Permasalahan yang sebenarnya muncul
ketika kita harus menyampaikan prognosis penyakit dan berapa lama pasien itu
dapat bertahan hidup.

5. Penyampaian pada pasien mengenai kecacatan/penyakit kronis

Pada penyakit kronis atau penyakit yang disertai dengan kecacatan yang berat,
sebaiknya dokter memberitahukan kenyataan atau fakta yang ada. Terutama cara
adaptasi yang cepat dan tepat terhadap perubahan hidupnya. Pasien penyakit
kronis seharusnya menerima kenyataan agar mereka lebih cepat untuk
menyesuaikan diri dengan keadaannya. Kecemasan dan rasa takut yang berlebihan
tidak saja ditimbulkan dari penyakit yang diderita, tetapi juga dari tekanan
masyarakat yang sering memberikan simbol tertentu pada penyakitnya
(Campble,2013).
Jika semua stress menumpuk, pasien akan banyak menghadapi masalah. Hal ini
dapat melampaui kemampuan dirinya dalam menangani stress. Dokter seharusnya
sadar akan segala kemungkinan dan siap membantu serta menolong pasiennya.
Khususnya bila informasi yang disampaikan dapat meningkatkan kecemasan,
menghilangkan harapan, menimbulkan keinginan untuk bunuh diri, atau timbulya
gejala psikopatologik lain. Dalam menentukan suatu penyakit yang kronis dan
kecacatan, informasi harus diberikan secara perlahan. Pemberian informasi dapat
dimulai dari awal dugaan penyakit sampai diagnosis akhir ditegakkan. Adanya
keinginan pasien untuk mengetahui penyakitnya merupakan kesempatan baik bagi
dokter untuk menyampaikan keadaan yang mungkin terjadi dan risikonya di
kemudian hari (Campble,2013).

6. Penyampaian pada pasien mengenai penyakit kanker/tumor ganas

Penyakit kanker merupakan penyakit yang sering ditanggapi dengan cara yang
tidak realistis. Pasien sering dijauhi oleh masyarakat dan seolah-olah kematiannya
sudah dekat. Kanker sebagai suatu penyakit yang fatal membuat dan mendorong
keadaan kurangnya perhatian untuk mendapatkan pengobatan. Ketakutan
masyarakat terhadap penyakit kanker memberikan beban tersendiri pada
penderitaan pasien, disamping dari akibat proses kanker itu sendiri. Oleh karena
itu, sebelum diagnosis kanker disampaikan, tim dokter harus benar-benar sudah
yakin. (Campble,2013).
Pengobatan kanker biasanya memerlukan waktu yang lama dan hasilnya sering
diragukan. Tercipta kesan bahwa penyakit ini lebih buruk dari penyakit infark
jantung yang prognosis kematiannya lebih jelek. Namun, karena pengobatan
infark jantung lebih jelas, seolah-olah penyakit itu lebih baik. Pada penyakit
kanker pemberian informasi kepada pasien semestinya meliputi dua hal, yaitu
dokter bersikap jujur dan hormat terhadap pasiennya. Dokter harus dapat
menumbuhkan rasa percaya kepada pasien/keluarganya dengan baik sehingga
memudahkan dalam memberikan terapi, baik itu radioterapi maupun sitostatika
(Campble,2013).

C. Kesulitan Menyampaikan Berita Buruk

Ada banyak faktor penyebab seorang dokter mengalami kesulitan dalam


menyampaikan berita buruk. Berdasarkan American Medical Association's first
code of medical ethics pada tahun 1847 dikatakan bahwa kehidupan orang
sakit dapat dipersingkat tidak hanya oleh tindakan, tetapi juga oleh kata-kata dan
perilaku seorang dokter.
Berikut adalah beberapa faktor penyebab sulitnya penyampaian berita buruk:
1. Khawatir bahwa berita itu akan menyebabkan efek buruk
2. Merasa bertanggung jawab dan takut jika disalahkan

3. Tidak tahu bagaimana cara terbaik untuk melakukannya

4. Tidak memiliki pengalaman pribadi

5. Khawatir bahwa akan sulit untuk menangani reaksi pasien atau keluarga

6. Keengganan untuk mengubah hubungan dokter-pasien yang ada

7. Tidak tahu kemampuan dan keterbatasan pasien

8. Tantangan tiap individu

9. Ketidak pastian tentang apa yang mungkin terjadi selanjutnya dan


tidak memiliki jawaban atas beberapa pertanyaan
10. Kurangnya kejelasan peran seorang pelayan kesehatan.

D. Jenis – Jenis Beita Buruk

Di dunia kedokteran, terdapat berbagai jenis berita buruk yang hendak


disampaikan kepada pasien. Berikut contoh-contohnya:
1. Kegagalan operasi

2. Vonis kanker.

3. Penyakit kronik seperti gagal ginjal kronik

4. Terminal Ilness

5. Tidak bisa mempunyai anak.

6. Kematian, dan lain-lain.


E. Teknik Menyampaikan berita Buruk

Penelitian pada anggota keluarga pasien yang selamat dari kematian yang
traumatik menunjukkan, bahwa hal terpenting dari penyampaian berita buruk adalah
attitude (sikap dan perilaku) penyampai berita, informasi yang jelas, privasi dan
kemampuan penyampai berita menjawab pertanyaan.
Terdapat enam langkah dalam menyampaikan berita
buruk:

1. Melakukan persiapan

a. Persiapkan diri dengan informasi klinis yang relevan dengan berita yang akan
disampaikan. Idealnya data rekam medis pasien, hasil laboratorium atau pun
pemeriksaan penunjang ada saat percakapan. Persiapkan juga pengetahuan
dasar tentang prognosis atau pun terapi pilihan terkait penyakit pasien.
b. Aturlah waktu yang memadai dengan lokasi yang privat dan nyaman. Pastikan
bahwa selama percakapan tidak ada gangguan dari staf medis lain atau pun
dering telepon.
c. Jika memungkinkan, sebaiknya ada anggota keluarga yang hadir. Perkenalkan
diri pada setiap yang hadir dan tanyakan nama dan hubungan mereka dengan
pasien.
d. Latihlah mental dan emosi untuk menyampaikan berita buruk. Tulislah kata2
spesifik jika perlu, yang akan disampaikan atau yang harus dihindari dalam
penyampaian.

2. Menanyakan apa yang pasien tahu tentang penyakitnya

Mulailah diskusi dengan menanyakan apakah pasien tahu bahwa dirinya sakit
parah, atau apakah pasien mempunyai pengetahuan tentang penyakitnya tersebut.
Hal ini bertujuan untuk menjajagi apakah pasien atau keluarganya dapat
memahami berita buruk yang akan disampaikan. Contoh pertanyaan yang dapat
diajukan:
a. Apa yang Anda ketahui tentang sakit Anda?

b. Bagaimana Anda menggambarkan kondisi kesehatan Anda saat ini?

c. Apakah Anda khawatir mengenai sakit atau kondisi Anda?

d. Apakah petugas medis Anda sebelumnya mengatakan apa penyakit Anda?


Atau menyarankan Anda melakukan suatu pemeriksaan?

e. Dengan gejala2 yang ada, menurut Anda penyakit apa yang mungkin terjadi?

f. Apakah menurut Anda ada hal serius ketika berat badan Anda turun drastis?

3. Menanyakan seberapa besar keinginan tahu pasien tentang penyakitnya

Tahap selanjutnya adalah mencari tahu seberapa besar keinginan tahu pasien,
orang tua (jika pasien anak) atau keluarga. Penerimaan informasi setiap orang
dapat berbeda tergantung suku, agama, ras, sosial dan budaya masing-masing.
Setiap orang mempunyai hak untuk menolak atau menerima informasi lebih
lanjut. Jika pasien menunjukkan tanda tidak menginginkan informasi yang lebih
detail, maka petugas medis harus menghormati keinginannya dan menanyakan
pada siapa informasi sebaiknya diberikan. Pertanyaan yang dapat diajukan untuk
mengetahui berapa besar keinginan tahu pasien dapat berupa :

a. Jika kondisi ini mengarah pada suatu hal yang serius, apakah Anda ingin
mengetahui lebih lanjut?
b. Apakah Anda ingin saya menerangkan dengan lebih rinci mengenai kondisi

Anda? Jika tidak, apakah Anda ingin saya menyampaikannya pada seseorang?

c. Beberapa orang mungkin tidak mau tahu sama sekali apa yang terjadi pada diri
mereka, sementara keluarga justru sebaliknya. Mana yang Anda pilih?
d. Apakah anda ingin saya menyampaikan hasil pemeriksaan dan menjelaskan
dengan tepat apa yang saya pikir jadi masalah kesehatan?
e. Siapa sebaiknya yang saya ajak bicara mengenai masalah ini?
Sering keluarga pasien meminta petugas medis untuk tidak menyampaikan
pada pasien diagnosis atau informasi penting lainnya. Sementara petugas medis
mempunyai kewajiban secara hukum untuk memberikan inform consent pada
pasien dan disisi lain hubungan terapetik yang efektif juga membutuhkan
kerjasama dengan keluarga. Maka jika keluarga meminta demikian, tanyakan
mengapa mereka tidak menginginkan petugas medis memberikan informasi pada
pasien, apa yang mereka takutkan akan apa yang petugas medis sampaikan, dan
apa pengalaman mereka tentang berita buruk. Sarankan bahwa petugas medis
bersama keluarga menemui pasien dan menanyakan apakah pasien ingin informasi
mengenai kesehatannya dan apa pertanyaan yang mungkin diajukan.

4. Menyampaikan berita

Sampaikan berita buruk dengan kalimat yang jelas, jujur, sensitif dan penuh
empati. Hindari penyampaikan seluruh informasi dalam satu kesempatan.
Sampaikan informasi, kemudian berikan jeda. Gunakan kata-kata sederhana yang
mudah dipahami. Hindari kata-kata manis (eufemisme) ataupun istilah-istilah
kedokteran. Lebih baik gunakan kata yang jelas seperti meninggal atau kanke‖.
Jangan meminimalkan keparahan penyakit. Sering-sering memberikan jeda
setelah penyampaian suatu kalimat. Cek apakah pasien dapat memahami apa yang
disampaikan. Gunakan sikap dan bahasa tubuh yang sesuai saat diskusi. Hindari
kalimat Saya minta maaf‖ atau Maafkan saya‖ karena kalimat tersebut dapat
diniterpretasikan bahwa petugas medis bertanggung jawab atas apa yang terjadi,
atau bahwa semua ini karena kesalahan petugas medis. Lebih baik gunakan
kalimat Maafkan saya harus menyampaikan pada Anda mengenai hal ini.

Beberapa kalimat lain yang dapat dipilih untuk menyampaikan berita buruk:

a. Saya khawatir berita ini tidak baik, hasil biopsi menunjukkan Anda terkena
kanker leher Rahim
b. Saya merasa tidak enak menyampaikannya, bahwa berdasarkan hasil
pemeriksaan dan USG bayi yang Anda kandung sudah meninggal‖
c. Hasil pemeriksaan laboratorium yag ada tidak sesuai dengan apa yang kita
harapkan. Hasil ini menunjukkan Anda pada stadium awal penyakit kanker
d. Saya khawatir saya mempunyai berita buruk, hasil biopsi sumsum tulang
belakang menunjukkan putri Anda menderita leukemia.
5. Memberikan respon terhadap perasaan pasien

Setelah berita buruk disampaikan sebaiknya petugas medis diam untuk


memberi jeda. Beri waktu pasien atau keluarga untuk bereaksi. Respon pasien dan
keluarga dalam menghadapi berita buruk beragam. Ada pasien yang menangis,
marah, sedih, cemas, menolak, menyalahkan, merasa bersalah, tidak percaya,
takut, merasa tidak berharga, malu, mencari alasan mengapa hal ini terjadi,
bahkan bisa jadi pasien pergi meninggalkan ruangan. Siapkan diri dalam
menghadapi berbagai reaksi. Dengarkan dengan tenang dan perhatian penuh.
Pahami emosi pasien dan ajak pasien untuk menceritakan perasaannya. Contoh
kalimat yang dapat digunakan untuk merespon perasaan pasien:
a. Saya dapat merasakan bahwa ini merupakan situasi yang sulit

b. Anda terlihat sangat marah. Dapatkan Anda ceritakan apa yang Anda rasakan?

c. Apakah berita ini membuat Anda takut?

d. Sampaikan saja perasaan Anda tentang apa yang baru saya sampaikan
e. Saya berharap hasil ini berbeda
f. Apakah ada seseorang yang Anda ingin saya hubungi?

g. Saya akan coba membantu Anda

h. Saya akan bantu Anda untuk menyampaikannya pada anak-anak Anda

Selalu diingat bahwa reaksi mereka normal. Sebaiknya sediakan kertas tisu.
Komunikasi non verbal yang akan sangat membantu adalah : Petugas medis
menyodorkan tisu, menawarkan minuman. Gunakan sentuhan jika memang
pantas, karena ada juga pasien atau anggota keluarga tidak suka disentuh, bersikap
sensitif terhadap perbedaan budaya dan pilihan personal. Hindari humor atau
komentar yang tidak pada tempatnya. Beri waktu pasien dan keluarga
mengekspresikan perasaan mereka. Jangan mendesak dengan terburu-buru
menyampaikan informasi lebih lanjut. Jika emosi sudah dikeluarkan, biasanya
pasien atau keluarga lebih mudah diajak pada langkah berikutnya.
6. Merencanakan tindak lanjut

Buatlah rencana untuk langkah selanjutnya, ini bisa berupa:

a. Pemeriksaan lanjut untuk mengumpulkan tambahan informasi


b. Pengobatan gejala-gejala yang ada
c. Membantu orang tua mengatakan pada anak tentang penyakit dan
pengobatannya
d. Tawarkan harapan yang realistis. Walaupun tidak ada kemungkinan untuk
sembuh, bangun harapan pasien dan sampaikan tentang pilihan terapi apa saja
yang tersedia.
e. Mengatur rujukan yang sesuai

f. Menjelaskan rencana untuk terapi lebih lanjut

g. Diskusikan tentang sumber-sumber yang dapat memberikan dukungan secara


emosi dan praktis, misal keluarga, teman, tokoh yang disegani, pekerja sosial,
konselor spiritual, peer group, atau pun terapis profesional
Rencana tindak lanjut ini akan meyakinkan pasien dan keluarga, bahwa
petugas medis tidak meninggalkan atau mengabaikan mereka, dan petugas medis
akan terlibat aktif dalam rencana yang akan dijalankan. Katakan mereka dapat
menghubungi petugas medis jika ada pertanyaan lebih lanjut. Tentukan waktu
untuk pertemuan berikutnya.
Petugas medis juga harus memastikan bahwa pasien akan aman dan selamat
saat pulang. Cari tahu: apakah pasien dapat mengemudikan sendiri kendaraan saat
pulang? Apakah pasien sangat cemas atau khawatir, merasa putus asa atau ingin
bunuh diri? Apakah ada seseorang di rumah yang dapat memberikan dukungan
pada pasien.
7. Mengkomunikasikan Prognosis

Pasien sering menanyakan mengenai prognosis, tentang bagaimana perjalanan


penyakit mereka ke depannya. Motivasinya antara lain mereka ingin mempunyai
kepastian tentang masa depan sehingga dapat merencanakan hidup mereka, atau
pasien merasa ketakutan dan berharap bahwa Petugas medis akan mengatakan
penyakitnya tidak serius.
Sebelum langsung menjawab pertanyaan pasien tentang prognosis, sebaiknya
Petugas medis mengumpulkan informasi tentang alasan mereka menanyakan hal
tersebut. Pertanyaan yang bisa diajukan antara lain:
a. Apa yang Anda harapkan akan terjadi?

b. Apa pengalaman yang Anda punyai tentang seseorang dengan penyakit seperti
ini?
c. Apa yang Anda harapkan terjadi?

d. Apa yang Anda harapkan untuk saya lakukan?

e. Apa yang membuat Anda takut untuk yang akan terjadi?

Petugas medis harus mempertimbangkan dampak pemberian informasi


prognosis. Pasien yang ingin merencanakan hidup mereka biasanya
mengharapkan informasi yang lebih rinci. Sedangkan pasien yang sangat khawatir
atau cemas, mungkin akan lebih baik mendapat informasi secara umum saja.
Jawaban Petugas medis yang definitif seperti : Anda hanya mempunyai usia
harapan hidup sampai 1 tahun akan berisiko menyebabkan kekecewaan jika
ternyata terbukti usia harapan hidupnya lebih singkat. Jawaban seperti ini juga
dapat menimbulkan kemarahan dan rasa frustasi jika dokter merendahkan usia
harapan hidup pasien. Kalimat berikut lebih disarankan dalam menjawab
pertanyaan tentang prognosis: Sekitar sepertiga pasien dengan kasus seperti ini
dapat bertahan hidup sampai satu tahun, separuhnya bertahan hidup dalam 6
bulan, apa yang akan terjadi sesungguhnya pada diri Anda, saya sungguh tidak
tahu.
Setelah jawaban tersebut Petugas medis sebaiknya melanjutkan dengan
menyampaikan bahwa kita harus berharap untuk yang terbaik, sambil tetap
berencana untuk kemungkinan terburuk. Sampaikan juga ke pasien dan keluarg.
bahwa kejutan yang tidak diharapkan dapat terjadi hal ini dan pasien lebih
mempersiapkan mental untuk menghadapi sehingga dapat mengurangi
penderitaan. Petugas medis harus meyakinkan pasien dan keluarga bahwa
Petugas medis akan siap mendukung dan membantu mereka.

F. Hal–hal yang dianggap penting oleh pasien dalam penyampaian berita


buruk
1. Isi

Yang dimaksud di sini adalah apa saja yang dibicarakan, dan seberapa banyak
informasi atau keterangan yang diberikan oleh perawat. Item ini sangat
berhubungan dengan angapan/ kepercayaan pasien terhadap kompetensi
perawat di bidangnya, juga tentang pengetahuan perawat mengenai
perkembangan terbaru mengenai penyakit/ kasus mereka.
Pasien dengan pendidikan yang lebih tinggi diketahui lebih banyak
mementingkan isi. Pasien muda, wanita, serta pendidikan tinggi dilaporkan
juga menginginkan informasi yang lebih detail mengenai kondisi penyakit,
terapi, serta prognosisnya. Pasien dengan tingkat kecemasan yang tinggi
dan motivasi tinggi untuk menjalankan terapi, juga menginginkan informasi yang
lebih detail.

2. Support

Yang dimaksud di sini adalah aspek supportif dalam komunikasi perawat. Jadi
apakah dalam penyampaian berita buruk ini perawat bersikap baik, memberi
support/ dukungan yang cukup, dll. Termasuk pula di sini apakah perawat
bersedia mengkomunikasikan hal – hal yang menyangkut diagnosis,prognosis,
treatment, dll kepada keluarga atau orang lain, dan juga menyediakan
berbagai informasi yang ingin diketahui pasien.
Diketahui pasien wanita lebih banyak mementingkan hal tersebut di atas.
Aspek penting dalam memberikan support adalah mendengarkan pasien,
serta memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh pasien.

3. Fasilitas

Yang dimaksud di sini adalah kapan dan di mana informasi diberikan. Apakah dalam
ruangan dengan privacy yang cukup, perawat memperhatikan pasien dengan
sungguh – sungguh (tidak sambil lalu saja). Juga apakah perawat
menunggu sampai seluruh hasil diperoleh, sehingga sudah cukup data untuk
menyimpulkan situasi pasien sebelumakhirnya perawat menyampaikan berita
buruk pada pasien.
Diketahui pasien dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan
pasien muda sangat mementingkan hal ini.

4. Cara penyampaian

Dalam berkomunikasi dengan pasien, perawat harus memberikan


informasi dengan singkat, jelas, dan jujur sehingga dapat dimengerti oleh pasien.
Perlu memperhatikan intonasi yang lembut, mendengarkan pasien,
memberikan support dan meyakinkan pasien dalam menjalani terapi, tanpa
melakukan kontak fisik.

5. Penyampaian berita buruk yang kurang tepat itu antara lain sebagai berikut:

1. Menunda penyampaian berita buruk sampai saat yang dianggap tepat

Kerugian dari cara ini adalah bahwa seringkali pasien dapat menerka maksud
dokter dan reaksi-reaksi emosionalnya muncul justru waktu dokter belum siap
mental. Akibatnya dokter bertambah sulit mengendalikan emosi pasien.
(Pradana,
2012
)

2. Membiarkan pasien menyimpulkan sendiri

Dalam cara ini dokter tidak secara terbuka menyampaikan berita buruk
itu, akan tetapi pasien diharapkan menyimpulkan nasibnya sendiri. Dokter dalam
cara ini hanya memberikan pertanyaan sambil “mengiringi” pasien ke arah
kesimpulan yang akan dibuatnya. (Pradana, 2012)
Teknik ini hanya dapat dilakukan pada pasien-pasien yang mempunyai
pendidikan atau kecerdasan yang cukup untuk membuat kesimpulan sendiri.
Akan tetapi biasanya pasien tidak sabar dan malahan bertambah jengkel karena
ditanya- tanya terus padahal ia sudah dalam keadaan sangat khawatir terhadap
kesehatannya. Pasien bisa sampai kepada kesimpulan bahwa dokter mau
melepaskan diri dari tangung jawabnya memberi tahu pasien tentang berita buruk
itu. (Pradana, 2012)
3. Membungkus berita buruk

Dalam cara ini dokter “membungkus” berita buruk itu dengan kata-kata,
sedemikian rupa sehingga kedengarannya berita buruk itu lebih baik dari keadaan
yang sebenarnya. (Pradana, 2012)
Kelemahan dari cara ini adalah bahwa tidak semua pasien bisa menerima
kenyataan-kenyataan yang dibungkus seperti itu.Beberapa pasien malah akan
bertambah frustasi karena ia tahu bahwa keadaan yang sebenarnya tidaklah
sebaik yang disampaikan dokter. Pasien bisa beranggapan bahwa dokter
membohonginya. (Pradana, 2012)

4. Banyak memberi alasan

Dengan cara ini, dokter memberikan berbagai alasan ke pasien untuk


membenarkan ‘berita buruk’ tersebut.Sebagai contoh, dokter akan
mengemukakan alasannya setelah penyampaian berita buruk ke pasien
Pada penggunaan teknik ini justru membuat pasien putus asa. Dalam keadaan
sudah sangat khawatir, biasanya pasien masih mengharapkan petunjuk
tentang cara lain yang masih dapat diupayakan untuk mengatasi penyakitnya.
Dengan adanya alasan-alasan pembenaran yang dilakukan dokter terhadap pasien
justru akan menyebabkan putusnya harapan pasien dan membuat pasien sangat
frustrasi. (Pradana, 2012)
Keempat cara yang telah dikemukakan diatas untuk mengurangi frustrasi
pasien, dapat dilakukan secara terpisah atau dikombinasikan menurut selera
dokternya sendiri. Cara-cara tersebut tidak mungkin meniadakan seluruh
frustrasi. Frustrasi yang masih ada dapat dirasakan berat atau ringan,
tergantung dari kondisi kejiwaan pasien itu sendiri. (Pradana, 2012)

6. Jenis-jenis Reaksi Pasien Terhadap Frustasi :

Berikut penggolongan jenis-jenis reaksi pasien terhadap


frustasi.

1. Menerima kenyataan itu dengan sabar


Misalnya: Pasien : Baiklah, dok. Barangkali memang sudah demikian nasib saya.
Sekarang, apa yang perlu saya lakukan selanjutnya untuk mencegah
keparahan penyakit saya?

2. Bereaksi agresif
Misalnya
:

Pasien : Rahang saya akan diangkat dok? Oh ini adalah kesalahan dokter. Dulu
saya sudah minya agar pengobatan saya dilakukan di luar negeri saja. Tapi dokter
mengatakan bahwa di sini pun dokter dapat melakukannya. Sekarang kalau sudah
begini, apa yang dapat dokter lakukan?

3. Penolakan terhadap kenyataan


Misalny:

Pasien : Tidak mungkin. Tidak mungkin saya akan kehilangan rahang


saya. Setelah diterapi yang terakhir itu mulut saya rasanya sudah lebih enak tidak
sakit lagi untuk menelan, bagaimana bisa jadi seperti ini? Paman saya ada yang
lebih parah tumornya daripada saya, tetapi dia tidak sampai diangkat rahangnya.
Para dokter bisa menolongnya.

4. Regresi
Regresi yaitu memberi reaksi dengan mundur kepada tingkat yang kekanak-
kanakan. Misalnya, menangis keras-keras, menjerit-jerit sambil menarik-narik
rambutnya atau memukul-mukul meja, pingsan, atau mengeluarkan kata-kata
sebagai berikut:

5. Stereotipi

Stereotipi merupakan reaksi berulang-ulang


terus. Misalnya:
Pasien : Sungguh saya tidak kira . . . rahang saya akan diangkat? . . .
sungguh- sungguh di luar dugaan saya . . . Kehilangan rahang! . . . Bagaimana
mungkin? Sungguh tidak saya kira . . . dan seterusnya.
Bagaimanapun juga reaksi pasien terhadap frustasi, dokter tidak boleh
menanggapinya dengan kontra reaksi yang sama emosionalnya. Dokter harus tetap
tenang, tetap menggunakan akal sehat, waaupun tetap harus dapat
menunjukkan simpati pada pasien. Untuk itu dokter sebaiknya menggunakan cara
yang lebih langsung dalam menyampaikan berita buruk.

7. Penyampaian Berita Buruk Dengan Metode SPIKES

Metode SPIKES mengacu pada enam tahap dalam penyampaian berita


buruk.

1. SETTING UP the interview


a. Aturlah privasi.
Idealnya, disiapkan ruangan khusus. Penyampaian berita buruk harus dilakukan
pada tempat yang nyaman yangmenyediakan privasi bagi pasien dan relatif tenang.
Ruangan harus cukup luas untuk menampung para staf atau perawat serta seluruh
anggota keluarga pasien yang mendampingi pasien saat penyampaian berita buruk
(Buckman, 1996; Maynard, 1991). Siapkan tissue untuk berjaga-jaga apabila pasien
menangis (Marrelli, 2008)

b. Libatkan orang lain.


Kebanyakan pasien biasanya ingin ditemani oleh orang lain. Namun, orang
tersebut haruslah pilihan pasien. Ketika ada anggota keluarga pasien, mintalah pasien
memilih satu atau dua perwakilan keluarga (Marrelli, 2008)

c. Duduk.
Posisi duduk akan membuat pasien lebih relaks dan menandakan bahwa dokter tidak
terburu buru. Pemilihan waktu dalam penyampaian berita buruk sangat penting.
Penjadwalan ulang atau pemilihan waktu lain perlu dilakukan agar dapat menyampaikan
berita buruk kepada pasien pada saat yang tepat. Jika terburu-buru, dokter dapat
dianggap tidak peduli dengan pasien dan proses. Bukti menunjukkan bahwa dokter
mungkin menunda pencairan berita buruk meskipun pada kenyataannya sebagian besar
pasien ingin mendengarnya (Blanchard dkk, 1988; Hopper dan Fischbach, 1989) dan
beberapa dokter menghindari situasi untuk membicarakan prognosis.
Ketika duduk, usahakan tidak ada batas antara dokter dan pasien. Mengatur koneksi
dengan pasien. Melakukan kontak mata mungkin saja terasa kurang nyaman, namun ini
merupakan cara penting untuk membangun sebuah hubungan. Memegang lengan atau
tangan pasien apabila pasien bersedia juga merupakan cara mencapainya. Mengelola
waktu dan interupsi. Ketika menyampaikan kabar buruk pada pasien usahakan jangan
ada interupsi. Sebaiknya seorang dokter mengatur telepon genggamnya dalam keadaan
diam (Marrelli, 2008)

2. Assesing the Patient’s PERCEPTION


Langkah kedua dan ketiga dari SPIKES merupakan interview
yang menerapkan “sebelum berkata, tanyalah”. Sebelum mendiskusikan hasil
medis, dokter menggunakan pertanyaan terbuka untuk menilai persepsi pasien akan
keadaannya. Contohnya, “Sejauh mana anda tahu mengenai penyakit anda” atau
“Apakah anda tahu kenapa kami melakukan MRI?”. Berdasarkan informasi yang
diperoleh, dokter dapat mengoreksi informasi yang salah dan menyesuaikan kabar
buruk dengan pemahaman pasien. Dari sini juga dapat dilihat apakah pasien
menyangkal suatu penyakit: angan angan ataupun harapan pengobatan yang tidak
realistis (Marrelli, 2008).

3. Obtaining the patient’s INVITATION


Kebanyakan pasien menginginkan informasi penuh akan diagnosis, prognosis,
hingga detail penyakit yang pasien derita. Namun beberapa pasien tidak. Penting
untuk menanyakan kepada pasien sedetail apa informasi yang mereka inginkan.
Pertanyaan yang bisa dokter tanyakan misalnya, “Bagaimana anda ingin saya
menyampaikan hasil tes anda? Apakah anda ingin saya menyampaikan semuanya atau
hanya gambaran besar dan kita akan berdiskusi mengenai perawatannya?” (Marrelli,
2008).

4. Giving KNOWLEDGE and information to the patient


Memulai percakapan dengan kalimat seperti, “Saya khawatir bahwa kabar
yang saya sampaikan adalah kabar yang kurang baik” atau “Dengan berat hati saya
sampaikan bahwa...” dapat mengurangi syok pada pasien saat mendengarkan
berita buruk. Dalam menyampaikan hasil medis, terjemahkan istilah medis kedalam
Bahasa Indonesia, misalnya gunakan kata “menyebar” untuk menggantikan kata
“metastasis”. Dokter juga harus menghindari pernyataan yang berlebihan seperti
“Kanker yang anda derita sangat buruk. Meskipun anda diobati secepatnya, anda akan
tetap tidak dapat bertahan”. Berikan informasi dalam potongan kecil, dan pastikan
untuk berhenti menjelaskan untuk memastikan bahwa pasien paham dengan apa yang
dijelaskan (Marrelli, 2008)
5. Adressing the patient’s EMOTIONS with emphatic responses
Merespons emosi pasien merupakan salah satu hal sulit dalam menyampaikan
berita buruk. Pasien dapat bereaksi dengan diam, menangis, menyangkal, hingga
marah, Pada situasi seperti ini, seorang dokter dapat memberi dukungan
dan solidaritas dengan memberi respons empati. Diskusi tidak akan dapat
berlanjut selama emosi pasien masih ada (Marrelli, 2008)

6. Strategy and summary


Sebelum menentukan rencana perawatan, penting untuk menanyakan apakah
pasien sudah siap untuk berdiskusi. Buatlah rencana langkah demi langkah dan
berikan penjelasan yang lengkap kepada pasien mengenai rencana perawatannya.
Libatkan pasien dalam pengambilan keputusan sebagai antisipasi jika terjadi
suatu hal yang tidak diinginkan selama perawatan (Marrelli, 2008)
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Menyampaikan berita buruk pada pasien adalah salah satu tanggung jawab
seorang petugas medis yang harus dikerjakan dalam praktek pelayanan kesehatan.
Menyampaikan berita buruk merupakan keterampilan komunikasi yang penting dan
menantang. Terdapat kewajiban secara sosial dan moral bagi petugas medis untuk
bersikap sensitif dan tepat dalam menyampaikan berita buruk. Secara medikolegal
petugas medis berkewajiban menyampaikan atau menginformasikan diganosis yang
secara potensial berakibat fatal. Jika petugas medis tidak menyampaikan dengan
tepat, komunikasi tentang berita buruk akan berakibat pada munculnya perasaan
ketidak percayaan, kemarahan, ketakutan, kesedihan atau pun rasa bersalah pada diri
pasien.

B. Saran

Makalah ini membahas tentang teknik menyampaikan berita buruk yang sangat
penting,diharapkan setelah membaca makalah ini dapat di terapkan dalam lingkup
rumh sakit jika ingin menyampaikan berita buruk.
DAFTAR PUSTAKA

Pradana. (2012). Hubungan Perawatan Paliatif Dengan Kualitas Hidup


Pasien. denpasar.
T. M, Marrelli. (2008). Buku Saku Dokumentasi Keperawatan. Jakarta: EGC

ASCO. (2017). Palliative Care Improving Quality of Life for People with Cancer and

Their Families. Cancer.Net

Ferrel. B. R & Coyle, N. (2010) Perawatan Palliative Pasien HIV/AIDS.

Campbel. L. Margaret. (2013). Nurse To Nurse : Perawatan Palliative Care. Salemba

Medika

Setiawati. (2008). Proses pembelajaran dalam pendidikan kesehatan, Jakarta:


TIM. Repository UGM : Komunikasi Efektif Dokter-Pasien 2017

Anda mungkin juga menyukai