Anda di halaman 1dari 17

KEPERAWATAN MENJELANG AJAL DAN PALIATIF

”Rangkuman Materi Tentang Konsep Strategi dan Seknik Menyampaikan


Berita yang Tidak Diharapkan Keluarga”

Dosen Pengampu Mata Kuliah :

Ns. Claudia Wuri Prihandini, S.Kep., M.Kep

DI SUSUN OLEH :

Andre (C2114201049)

PROGRAM STUDI SARJANA ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BINA USADA BALI

TAHUN AJARAN 2023/2024


A. DEFINISI BERITA BURUK
Berita buruk secara medis didefinisikan sebagai informasi yang
menciptakan pandangan buruk bagi kesehatan seseorang. Berita buruk
tersebut dapat menimbulkan perasaan tanpa harapan pada pasien, ancaman
terhadap kesehatan mental dan fisik pasien, atau resiko mengganggu atau
mengacaukan gaya hidup atau keseharian pasien (Wright dkk, 2013).
Menurut Baile dkk (2000), berita buruk dapat didefinisikan sebagai segala
informasi yang secara serius dapat memperburuk pandangan seseorang
tentang masa depannya. Sedangkan menurut Aitini & Aleotti (2006) Kabar
buruk adalah pengalaman tidak nyaman untuk pemberi dan penerima berita.
➢ TUJUAN PENYAMPAIAN BERITA BURUK
1. Merupakan pekerjaan yang akan sering dilakukan namun
membuat stress

Selama karirnya, seorang dokter akan mengalami keadaan


dimana ia harus menyampaikan informasi buruk kepada pasien atau
keluarganya. Penyampaian berita buruk akan menjadi sangat
menegangkan ketika seorang dokter kurang berpengalaman, sedang
menghadapi pasien yang masih muda, dan ketika prospek
keberhasilan pengobatan minim (Baile dkk, 2000).

2. Pasien menginginkan kebenaran

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa 96% orang berharap


diberi tahu ketika ia menderita kanker dan 85% berharap mendapat
informasi mengenai perkiraan umur mereka (Baile dkk, 2000).

3. Prinsip hukum dan etik

Di Amerika Utara, prinsip informed consent, otonomi pasien,


dan hukum telah menciptakan kewajiban etika dan hukum yang jelas
untuk memberikan informasi sebanyak yang pasien inginkan tentang
penyakit mereka dan pengobatannya. Dokter tidak mungkin menahan
informasi medis bahkan jika mereka tahu itu akan memiliki efek
negatif pada pasien (Baile dkk, 2000).
4. Hasil pemeriksaan klinis

Bagaimana cara penyampaian kabar buruk dapat mengubah


pemahaman pasien akan informasi, kepuasan perawatan, tingkat
harapan, dan psikologi pasien. Banyak pasien mengharapkan
informasi yang akurat untuk membantu mereka menentukan pilihan
(Baile dkk, 2000).

Masalah muncul bila dokter harus berhadapan dengan keadaan


khusus atau kepribadian pasien yang berbeda-beda. Contohnya,
penyakit yang dipengaruhi oleh faktor psikososial. Keadaan lainnya
adalah pasien yang berpenyakit kronis, menderita cacat, dan pada
pasien kanker. Permasalahan yang sebenarnya muncul ketika kita
harus menyampaikan prognosis penyakit dan berapa lama pasien itu
dapat bertahan hidup (Sukardi dkk, 2007).

5. Penyampaian pada pasien mengenai kecacatan/penyakit kronis


Pada penyakit kronis atau penyakit yang disertai dengan
kecacatan yang berat, sebaiknya dokter memberitahukan kenyataan
atau fakta yang ada. Terutama cara adaptasi yang cepat dan tepat
terhadap perubahan hidupnya. Pasien penyakit kronis seharusnya
menerima kenyataan agar mereka lebih cepat untuk menyesuaikan diri
dengan keadaannya. Kecemasan dan rasa takut yang berlebihan tidak
saja ditimbulkan dari penyakit yang diderita, tetapi juga dari tekanan
masyarakat yang sering memberikan simbol tertentu pada penyakitnya
(Sukardi dkk, 2007).

Jika semua stress menumpuk, pasien akan banyak menghadapi


masalah. Hal ini dapat melampaui kemampuan dirinya dalam
menangani stress. Dokter seharusnya sadar akan segala
kemungkinan dan siap membantu serta menolong pasiennya.
Khususnya bila informasi yang disampaikan dapat meningkatkan
kecemasan, menghilangkan harapan, menimbulkan keinginan untuk
bunuh diri, atau timbulya gejala psikopatologik lain. Dalam
menentukan suatu penyakit yang kronis dan kecacatan, informasi
harus diberikan secara perlahan. Pemberian informasi dapat dimulai
dari awal dugaan penyakit sampai diagnosis akhir ditegakkan.
Adanya keinginan pasien untuk mengetahui penyakitnya merupakan
kesempatan baik bagi dokter untuk menyampaikan keadaan yang
mungkin terjadi dan risikonya di kemudian hari (Sukardi dkk, 2007).

6. Penyampaian pada pasien mengenai penyakit kanker/tumor


ganas
Penyakit kanker merupakan penyakit yang sering ditanggapi
dengan cara yang tidak realistis. Pasien sering dijauhi oleh
masyarakat dan seolah-olah kematiannya sudah dekat. Kanker
sebagai suatu penyakit yang fatal membuat dan mendorong keadaan
kurangnya perhatian untuk mendapatkan pengobatan. Ketakutan
masyarakat terhadap penyakit kanker memberikan beban tersendiri
pada penderitaan pasien, disamping dari akibat proses kanker itu
sendiri. Oleh karena itu, sebelum diagnosis kanker disampaikan, tim
dokter harus benar-benar sudah yakin (Sukardi dkk, 2007).

Pengobatan kanker biasanya memerlukan waktu yang lama


dan hasilnya sering diragukan. Tercipta kesan bahwa penyakit ini
lebih buruk dari penyakit infark jantung yang prognosis
kematiannya lebih jelek. Namun, karena pengobatan infark jantung
lebih jelas, seolah-olah penyakit itu lebih baik. Pada penyakit
kanker pemberian informasi kepada pasien semestinya meliputi dua
hal, yaitu dokter bersikap jujur dan hormat terhadap pasiennya.
Dokter harus dapat menumbuhkan rasa percaya kepada
pasien/keluarganya dengan baik sehingga memudahkan dalam
memberikan terapi, baik itu radioterapi maupun sitostatika (Sukardi
dkk, 2007).

A. KESULIATN PENYAMPAIAN BERITA BURUK

Ada banyak faktor penyebab seorang dokter mengalami kesulitan


dalam menyampaikan berita buruk. Berdasarkan American Medical
Association's first code of medical ethics pada tahun 1847 dikatakan
bahwa kehidupan orang sakit dapat dipersingkat tidak hanya oleh
tindakan, tetapi juga oleh kata-kata dan perilaku seorang dokter.

Berikut adalah beberapa faktor penyebab sulitnya penyampaian berita


buruk:

1. Khawatir bahwa berita itu akan menyebabkan efek buruk


2. Merasa bertanggung jawab dan takut jika disalahkan
3. Tidak tahu bagaimana cara terbaik untuk melakukannya
4. Tidak memiliki pengalaman pribadi
5. Khawatir bahwa akan sulit untuk menangani reaksi pasien atau
keluarga
6. Keengganan untuk mengubah hubungan dokter-pasien yang ada
7. Tidak tahu kemampuan dan keterbatasan pasien
8. Tantangan tiap individu
9. Ketidak pastian tentang apa yang mungkin terjadi selanjutnya dan
tidak memiliki jawaban atas beberapa pertanyaan
10. Kurangnya kejelasan peran seorang pelayan kesehatan.

B. JENIS-JENIS BERITA BURUK


Di dunia kedokteran, terdapat berbagai jenis berita buruk yang hendak
disampaikan kepada pasien. Berikut contoh-contohnya:

1. Kegagalan operasi
2. Vonis kanker.
3. Penyakit kronik seperti gagal ginjal kronik
4. Terminal Ilness
5. Tidak bisa mempunyai anak.
6. Kematian, dan lain-lain.

➢ TEKNIK MENYAMPAIKAN BERITA BURUK


A. Penyampaian Berita Buruk Secara Tidak Langsung
Penyampaian berita buruk adalah suatu hal yang sering harus
dilakukan dokter maupun dokter gigi, misalnya pada waktu dokter harus
menyampaikan berita kematian, menyampaikan diagnosis suatu penyakit
dengan prognosis yang tidak baik, atau menyampaikan rencana terapi yang
mengandung resiko yang tinggi. Dalam hubungan ini setiap dokter akan
mengetahui bahwa penyampaian berita buruk selalu akan menimbulkan
frustasi pada pihak pasien (Sarwono, 1982).

Hampir setiap dokter akan berusaha mengurangi reaksi frustasi


pasien. Usaha ini wajar sepanjang dokter tidak memalsukan informasi
(berbohong kepada pasien) tetapi sesungguhnya kurang baik, karena
dokter justru memberi peluang bagi bertambah besarnya frustasi pasien
(Sarwono, 1982).

Usaha mengurangi frustasi pasien dalam penyampaian barita buruk


ini biasa dilakukan dengan beberapa cara yang kurang benar. Untuk
jelasnya, berikut diberikan contoh seorang dokter gigi yang harus
menyampaikan berita bahwa pasiennya menderita penyakit kanker mulut.
Pada pasien didapatkan bisul yang menyakitkan di mulut, dimana sudah
tak sembuh-sembuh dalam waktu 14 hari, suara jadi serak berkepanjangan,
dan mengalami kesulitan untuk mengunyah, menelan, dan bahkan
berbicara, serta terdapat bercak putih pada mulut (Nawawi, 2013).

➢ Penyampaian berita buruk yang kurang tepat itu antara lain


sebagai berikut:
1. Menunda penyampaian berita buruk sampai saat yang
dianggap tepat

Dokter bercerita tentang hal-hal lain terlebih dahulu sebelum


ia menyampaikan berita tentang kanker mulut, tentang keluhan-
keluhan dan gejala-gejala yang diderita pasien dan seterusnya
sampai kira-kira pasien dianggap “siap mental” untuk
mendengarkan berita buruk itu, barulah berita tentang kanker mulut
itu disampaikan. Tanda-tanda bahwa pasien sudah “siap mental”
diterka oleh dokter dari kata-kata (verbal) atau mimik (ekspresi
wajah) atau gerak (gesture) pasien. Dalam bentuk kata-kata
kesiapan mental untuk mendengar berita buruk misalnya dapat
dilihat dalam percakapan berikut :

Dokter : (Setelah menceritakan berbagai penyakit yang memiliki


gejala seperti yang diderita pasien) … Jadi, pak Jusuf begitulah
kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi pada orang-orang
yang memiliki gejala seperti bapak.

Pasien : Kalau begitu, apakah yang akan terjadi pada saya, dok?
(pasien siap mental)

Dokter : Begini, pak. Penyakit pada mulut bapak saat ini sedang
mengalami proses kemunduran … (dokter melanjutkan dengan
menyampaikan berita buruk tersebut).

Dalam bentuk mimik atau gerak kesiapan mental lebih sulit


diterka, yaitu misalnya dalam bentuk :
a. Wajah pasien yang tegang berubah jadi tenang.
b. Pasien menarik nafas panjang.
c. Pasien mengubah posisi duduknya dari posisi tegak ke posisi
menyandar dan sebagainya. (Sarwono, 1982)
Kerugian dari cara ini adalah bahwa seringkali pasien dapat
menerka maksud dokter dan reaksi-reaksi emosionalnya muncul
justru waktu dokter belum siap mental. Akibatnya dokter
bertambah sulit mengendalikan emosi pasien (Sarwono, 1982).

2. Membiarkan pasien menyimpulkan sendiri

Dalam cara ini dokter tidak secara terbuka menyampaikan


berita buruk itu, akan tetapi pasien diharapkan menyimpulkan
nasibnya sendiri. Dokter dalam cara ini hanya memberikan
pertanyaan sambil “mengiringi” pasien ke arah kesimpulan yang
akan dibuatnya (Sarwono, 1982).
Berikut diberikan contoh :

D: sejak kapan awal sariawan ini muncul pak?

P: sejak dua minggu lalu, dok.

D: apakah sudah bapak beri pengobatan?

P: sudah, dok.

D: bagaimana efek dari obat tersebut pak?

P: tidak ada, dok. Sampai saat ini sariawan itu tidak hilang dok.
Justru saat ini pada waktu mengunyah dan menelah sedikit sulit
dok.

D: pak, setelah kami lakukan pemeriksaan kembali, ternyata terjadi


perbesaran ulkus dan bercak putih di dalam rongga mulut bapak.
Dan warna mukosa rongga mulut bapak juga pucat.

P: jadi apakah saya ini kena kanker mulut dok ?

Teknik ini hanya dapat dilakukan pada pasien-pasien yang


mempunyai pendidikan atau kecerdasan yang cukup untuk
membuat kesimpulan sendiri. Akan tetapi biasanya pasien tidak
sabar dan malahan bertambah jengkel karena ditanya-tanya terus
padahal ia sudah dalam keadaan sangat khawatir terhadap
kesehatannya. Pasien bisa sampai kepada kesimpulan bahwa dokter
mau melepaskan diri dari tangung jawabnya memberi tahu pasien
tentang berita buruk itu (Sarwono, 1982).

3. Membungkus berita buruk

Dalam cara ini dokter “membungkus” berita buruk itu


dengan kata-kata, sedemikian rupa sehingga kedengarannya berita
buruk itu lebih baik dari keadaan yang sebenarnya (Sarwono, 1982).

Berikut diberikan contoh :


Dokter : Saya khawatir bahwa bapak akan kehilangan sebagian
dari lidah bapak saat operasi nanti. Akan tetapi, bapak jangan
khawatir, kita akan bekerjasama dengan pihak bedah plastik rumah
sakit untuk membuat lidah buatan untuk bapak.

Paisen : Lalu apakah saya tetap dapat berbicara dok?

Dosen : Kemungkinan akan ada kesulitan dalam berbicara, tapi


dengan bantuan speech terapy, bapak masih ada harapan untuk
dapat berbicara lagi.

Pasien : Kira-kira berapa lama sampai saya bisa bicara lagi dok?

Dokter : Waktunya bervariasi untuk setiap orang. Tapi ada pasien


yang dapat berbicara kembali dengan jelas dalam waktu 8 minggu
saja.

Kelemahan dari cara ini adalah bahwa tidak semua pasien


bisa menerima kenyataan-kenyataan yang dibungkus seperti
itu.Beberapa pasien malah akan bertambah frustasi karena ia tahu
bahwa keadaan yang sebenarnya tidaklah sebaik yang disampaikan
dokter. Pasien bisa beranggapan bahwa dokter membohonginya
(Sarwono, 1982).

4. Banyak memberi alasan

Dengan cara ini, dokter memberikan berbagai alasan ke


pasien untuk membenarkan ‘berita buruk’ tersebut.Sebagai contoh,
dokter akan mengemukakan alasannya setelah penyampaian berita
buruk ke pasien:

“.... Walaupun demikian, bapak tidak perlu menyesal. Segala yang


bapak lakukan telah dilakukan, demikian pula dengan kami sudah
mengerjakan yang bisa kami lakukan. Memang, ilmu kedokteran
sampai sekarang pun masih memiliki keterbatasan-keterbatasan.
Ilmu kedokteranbelum bisa berbuat banyak untuk menyembuhkan
penyakit bapak. Sekalipun bapak berobat ke luar negeri pun,
hasilnya tidak akan jauh berbeda...”

Pada penggunaan teknik ini justru membuat pasien putus asa.


Dalam keadaan sudah sangat khawatir, biasanya pasien masih
mengharapkan petunjuk tentang cara lain yang masih dapat
diupayakan untuk mengatasi penyakitnya. Dengan adanya alasan-
alasan pembenaran yang dilakukan dokter terhadap pasien justru
akan menyebabkan putusnya harapan pasien dan membuat pasien
sangat frustrasi (Sarwono, 1982).

Keempat cara yang telah dikemukakan diatas untuk mengurangi


frustrasi pasien, dapat dilakukan secara terpisah atau dikombinasikan
menurut selera dokternya sendiri. Cara-cara tersebut tidak mungkin
meniadakan seluruh frustrasi. Frustrasi yang masih ada dapat dirasakan
berat atau ringan, tergantung dari kondisi kejiwaan pasien itu sendiri
(Sarwono, 1982).

➢ Jenis-jenis Reaksi Pasien Terhadap Frustasi :

Berikut penggolongan jenis-jenis reaksi pasien terhadap frustasi.

1. Menerima kenyataan itu dengan sabar

Misalnya:

Pasien : Baiklah, dok. Barangkali memang sudah demikian nasib


saya. Sekarang, apa yang perlu saya lakukan selanjutnya
untuk mencegah keparahan penyakit saya?

(Sarwono, 1982)

2. Bereaksi agresif

Misalnya:
Pasien : Rahang saya akan diangkat dok? Oh ini adalah kesalahan
dokter. Dulu saya sudah minya agar pengobatan saya
dilakukan di luar negeri saja. Tapi dokter mengatakan
bahwa di sini pun dokter dapat melakukannya. Sekarang
kalau sudah begini, apa yang dapat dokter lakukan?
(Sarwono, 1982)

3. Penolakan terhadap kenyataan

Misalnya:

Pasien : Tidak mungkin. Tidak mungkin saya akan kehilangan


rahang saya. Setelah diterapi yang terakhir itu mulut saya
rasanya sudah lebih enak tidak sakit lagi untuk menelan,
bagaimana bisa jadi seperti ini? Paman saya ada yang
lebih parah tumornya daripada saya, tetapi dia tidak
sampai diangkat rahangnya. Para dokter bisa
menolongnya. (Sarwono, 1982)

4. Regresi

Regresi yaitu memberi reaksi dengan mundur kepada tingkat


yang kekanak-kanakan. Misalnya, menangis keras-keras, menjerit-
jerit sambil menarik-narik rambutnya atau memukul-mukul meja,
pingsan, atau mengeluarkan kata-kata sebagai berikut:

Pasien : …(diam untuk waktu yang lama)… kalau begitu lebih baik
saya berhenti bekerja saja. Tinggal di rumah dan biarlah ibu
saya tinggal di rumah saya untuk merawat saya. Isteri saya
dengan begitu bisa tetap bekerja mencari nafkah. (Sarwono,
1982)

5. Stereotipi
Stereotipi merupakan reaksi berulang-ulang terus.

Misalnya:

Pasien : Sungguh saya tidak kira . . . rahang saya akan diangkat? .


. . sungguh-sungguh di luar dugaan saya . . . Kehilangan
rahang! . . . Bagaimana mungkin? Sungguh tidak saya
kira . . . dan seterusnya. (Sarwono, 1982)

Bagaimanapun juga reaksi pasien terhadap frustasi, dokter tidak


boleh menanggapinya dengan kontra reaksi yang sama emosionalnya.
Dokter harus tetap tenang, tetap menggunakan akal sehat, waaupun
tetap harus dapat menunjukkan simpati pada pasien. Untuk itu dokter
sebaiknya menggunakan cara yang lebih langsung dalam
menyampaikan berita buruk (Sarwono, 1982).

B. Penyampaian Berita Buruk Secara Langsung

Penyampaian berita buruk secara langsung merupakan cara yang


lebih efektif dalam penyampaian berita buruk kepada pasien. Dengan
penyampaian langsung ini, maka jelas dokter berada dalam keadaan ‘siap
mental’ untuk menghadapi frustasi pasien dan selanjutnya dapat
menampung dan meredakan frustasi itu (Sarwono, 1982).
Dalam penyampaian berita buruk secara langsung, ada 3 tahap
yang harus dilalui dokter, yaitu:
1) Tahap 1: penyampaian berita buruk itu sendiri
2) Tahap 2: memperendah tingkat frustasi
3) Tahap 3: mencari pemecahan persoalan (Sarwono, 1982)
Setiap berita buruk tentu akan menimbulkan frustasi, tetapi yang
terpenting adalah mencari jalan keluar dari keadaan yang buruk itu. Untuk
bisa mencari jalan keluar, tingkat frustasi harus direndahkan dulu agar
pasien tidak terlalu emosional.Tugas mencari pemecahan persoalan dan
merendahkan tingkat frustasitermasuk dalam kewajiban dokter juga
(Sarwono, 1982).
1) Tahap 1. Penyampaian berita buruk
Seringkali pasien sudah mempunyai dugaan tentang keadaan
yang buruk itu, hanya saja ia belum merasa pasti. Pasien mempunyai
hak untuk segera bebas dari ketidakpastian ini. Dalam menyampaikan
berita buruk dokter harus memperhatikan hal-hal berikut:
a) Berita buruk langsung disampaikan pada awal percakapan. Dokter
jangan melakukan berbagai aksi menghindar.
b) Dokter harus meyampaikan berita dalam kalimat yang sesingkat
mungkin, tetapi dalam kalimatnya itu dokter juga harus
menunjukkan bahwa ia memperhatikan perasaan pasien.
c) Nada suara dokter harus menunjukkan bahwa dokter ikut
menghayati apa yang diarasakan pasien. (Sarwono, 1982)

Contoh :
Dokter : hasil pemeriksaan kami menunjukkan bahwa terdapat
tumor pada mulut bapak. Tumor ini sudah menggerogoti hampir
seluruh rahang bawah bapak, sehingga terpaksa kami harus
mengambil rahang bawah bapak. Saya mengerti bahwa bapak
tentunya sangat sedih.
2) Tahap 2. Penurunan Tingkat Frustasi

Setelah berita buruk disampaikan, dokter harus berusaha menurunkan


frustasi pasien. Untuk itu ada 2 macam cara :

a) Mengucapkan kata-kata simpati.


b) Memberikan informasi kepada pasien bahwa ada hal-hal yang
membuatnya tidak usah terlalu kecewa, misalnya bahwa dokter
dapat menghilangkan tumornya dengan segera dengan cara yang
baik dan tidak sakit, bahwa tumornya belum sampai tingkatan yang
parah, dan sebagainya. Bedanya dari cara penyampaian berita
buruk yang menghindari frustasi adalah bahwa informasi ini
disampaikan sesudah berita buruk, tidak sebelumnya. (Sarwono,
1982)
Mengurangi frustasi sampai tingkat yang paling rendah adalah
sangat penting karena bila tingkat frustasi masih tinggi dokter tidak
akan sampai pada pemecahan persoalan. Kalau frustasi tidak dapat
diturunkan sekaligus, usaha ini sebaiknya ditunda dan dilanjutkan lain
kali (Sarwono, 1982).

3) Tahap 3. Pemecahan Persoalan

Di sini dokter memberikan nasihat-nasihat berupa pilihan-


pilihan yang dapat ditempuh oleh pasien untuk mengatasi persoalan
yang akan dihadapinya sebagai akibat dari keadaannya yang tidak
diharapkan tersebut (Sarwono, 1982).

Contoh :

Pasien : Jadi bagaimana pekerjaan saya kalau saya sampai harus


rawat inap ya Dokter?

Dokter : Saya bisa membuatkan surat untuk atasan Bapak agar

Bapak beroleh izin sekaligus tunjangan sesuai dengan kesehatan


Bapak.

Pasien : Bagaimana dengan penampilan saya nanti apabila tumornya


diangkat?

Dokter : Tidak apa-apa. Seiring waktu nanti akan tampak normal lagi.
Saya bisa menutupi tampilan yang bengkak dengan perban.

Pasien : Bagaimana dengan rasa sakitnya nanti?

Dokter : Tidak apa-apa, saya bisa mengusahakan dengan pemberian


obat anti rasa sakit yang tidak mahal.

Dan seterusnya.

C. Penyampaian Berita Buruk Dengan Metode SPIKES


Metode SPIKES mengacu pada enam tahap dalam penyampaian berita
buruk.

1. SETTING UP the interview


a. Aturlah privasi.
Idealnya, disiapkan ruangan khusus. Penyampaian berita buruk
harus dilakukan pada tempat yang nyaman yangmenyediakan
privasi bagi pasien dan relatif tenang. Ruangan harus cukup luas
untuk menampung para staf atau perawat serta seluruh anggota
keluarga pasien yang mendampingi pasien saat penyampaian
berita buruk (Buckman, 1996; Maynard, 1991). Siapkan tissue
untuk berjaga-jaga apabila pasien menangis (Baile dkk, 2000).

b. Libatkan orang lain.


Kebanyakan pasien biasanya ingin ditemani oleh orang lain.
Namun, orang tersebut haruslah pilihan pasien. Ketika ada
anggota keluarga pasien, mintalah pasien memilih satu atau dua
perwakilan keluarga (Baile dkk, 2000).
c. Duduk.
Posisi duduk akan membuat pasien lebih relaks dan menandakan
bahwa dokter tidak terburu buru. Pemilihan waktu dalam
penyampaian berita buruk sangat penting. Penjadwalan ulang
atau pemilihan waktu lain perlu dilakukan agar dapat
menyampaikan berita buruk kepada pasien pada saat yang tepat.
Jika terburu-buru, dokter dapat dianggap tidak peduli dengan
pasien dan proses. Bukti menunjukkan bahwa dokter mungkin
menunda pencairan berita buruk meskipun pada kenyataannya
sebagian besar pasien ingin mendengarnya (Blanchard dkk,
1988; Hopper dan Fischbach, 1989) dan beberapa dokter
menghindari situasi untuk membicarakan prognosis (Seale,
1991). Ketika duduk, usahakan tidak ada batas antara dokter
dan pasien. Mengatur koneksi dengan pasien. Melakukan
kontak mata mungkin saja terasa kurang nyaman, namun ini
merupakan cara penting untuk membangun sebuah hubungan.
Memegang lengan atau tangan pasien apabila pasien bersedia
juga merupakan cara mencapainya. Mengelola waktu dan
interupsi. Ketika menyampaikan kabar buruk pada pasien
usahakan jangan ada interupsi. Sebaiknya seorang dokter
mengatur telepon genggamnya dalam keadaan diam (Baile dkk,
2000).

2. Assesing the Patient’s PERCEPTION

Langkah kedua dan ketiga dari SPIKES merupakan


interview yang menerapkan “sebelum berkata, tanyalah”. Sebelum
mendiskusikan hasil medis, dokter menggunakan pertanyaan
terbuka untuk menilai persepsi pasien akan keadaannya.
Contohnya, “Sejauh mana anda tahu mengenai penyakit anda” atau
“Apakah anda tahu kenapa kami melakukan MRI?”. Berdasarkan
informasi yang diperoleh, dokter dapat mengoreksi informasi yang
salah dan menyesuaikan kabar buruk dengan pemahaman pasien.
Dari sini juga dapat dilihat apakah pasien menyangkal suatu
penyakit: angan angan ataupun harapan pengobatan yang tidak
realistis (Baile dkk, 2000).

3. Obtaining the patient’s INVITATION

Kebanyakan pasien menginginkan informasi penuh akan


diagnosis, prognosis, hingga detail penyakit yang pasien derita.
Namun beberapa pasien tidak. Penting untuk menanyakan kepada
pasien sedetail apa informasi yang mereka inginkan. Pertanyaan
yang bisa dokter tanyakan misalnya, “Bagaimana anda ingin saya
menyampaikan hasil tes anda? Apakah anda ingin saya
menyampaikan semuanya atau hanya gambaran besar dan kita akan
berdiskusi mengenai perawatannya?” (Baile dkk, 2000).
4. Giving KNOWLEDGE and information to the patient

Memulai percakapan dengan kalimat seperti, “Saya khawatir


bahwa kabar yang saya sampaikan adalah kabar yang kurang baik”
atau “Dengan berat hati saya sampaikan bahwa...” dapat mengurangi
syok pada pasien saat mendengarkan berita buruk.
Dalam menyampaikan hasil medis, terjemahkan istilah medis
kedalam Bahasa Indonesia, misalnya gunakan kata “menyebar”
untuk menggantikan kata “metastasis”. Dokter juga harus
menghindari pernyataan yang berlebihan seperti “Kanker yang anda
derita sangat buruk. Meskipun anda diobati secepatnya, anda akan
tetap tidak dapat bertahan”. Berikan informasi dalam potongan kecil,
dan pastikan untuk berhenti menjelaskan untuk memastikan bahwa
pasien paham dengan apa yang dijelaskan (Baile dkk, 2000).

5. Adressing the patient’s EMOTIONS with emphatic responses

Merespons emosi pasien merupakan salah satu hal sulit dalam


menyampaikan berita buruk. Pasien dapat bereaksi dengan diam,
menangis, menyangkal, hingga marah, Pada situasi seperti ini,
seorang dokter dapat memberi dukungan dan solidaritas dengan
memberi respons empati. Diskusi tidak akan dapat berlanjut selama
emosi pasien masih ada (Baile dkk, 2000).

6. STRATEGY and SUMMARY

Sebelum menentukan rencana perawatan, prnting untuk


menanyakan apakah pasien sudah siap untuk berdiskusi. Buatlah
rencana langkah demi langkah dan berikan penjelasan yang lengkap
kepada pasien mengenai rencana perawatannya. Libatkan pasien
dalam pengambilan keputusan sebagai antisipasi jika terjadi suatu
hal yang tidak diinginkan selama perawatan (Baile dkk, 2000).

Anda mungkin juga menyukai