Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH TEKNIK PENYAMPAIN BERITA BURUK

Disusun oleh kelompok 1:

Dendi Purwanto 122020030298

Hayu Ninggih P. 122020030303

Ita Ridarwati 122020030280

Adi johan hidayat 122020030297

Afif zulianto 122020030284

Lukman Mustaqfirin 122020030299

Rian Kukuh Hangga P. 122020030304

Uswatul Ichsana 122020030285

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUDUS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

S1 KEPERAWATAN

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
limpahan rahmat serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas Mata
Kuliah Keperawatan Menjelang Ajal dan Paliatif yang berjudul “ Makala Teknik
Penyampaian Berita Buruk”.

Dengan demikian, kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi


pembacanya. Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu kritik dan saran
dari pembaca sangat kami butuhkan guna perbaikan dan penyempurnaan makalah
berikutnya. Atas kontribusi tersebut, kami ucapkan terimakasih.

Jepara, 11 November 2021

Penyusun,

Kelompok 1

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Komunikasi merupakan suatu percakapan yang dilakukan dengan maksud dan tujuan
tertentu. Maksud dan tujuan komunikasi yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien
adalah untuk membantu pasien agar dapat mengurangi penderitaan pasien serta
membantunya untuk sembuh dari penyakitnya. Kesembuhan biasanya didapatkan dari
khasiat obat- obatan dan fungsi komunikasi atau wawancara hanya sebagai pendukung untuk
menegakkan diagnosis dan menentukan terapi yang tepat. Tetapi tidak jarang komunikasi
itu sendiri juga merupakan terapi.
Karena komunikasi penting sekali artinya dalam hubungan dokter- pasien, maka
seyogyanya para dokter menguasai teknik dan seni berkomunikasi yang baik. Untuk itu
dokter perlu mengetahui jenis-jenis komunikasi atau wawancara yang biasa terdapat antara
dokter atau dokter gigi dan pasien, antara lain wawancara biasa yang terdiri dari wawancara
bebas dan terarah, percakapan bimbingan dan konseling, dan penyampaian berita buruk.
Berita buruk dapat didefinisikan sebagai segala informasi yang secara serius dapat
memperburuk pandangan seseorang tentang masa depannya. Penyampaian berita buruk
adalah suatu hal yang sering harus dilakukan dokter maupun dokter gigi, misalnya pada
waktu dokter harus menyampaikan berita kematian, menyampaikan diagnosis suatu penyakit
dengan prognosis yang tidak baik, atau menyampaikan rencana terapi yang mengandung
resiko yang tinggi. Dalam hubungan ini setiap dokter akan mengetahui bahwa
penyampaian berita buruk selalu akan menimbulkan frustasi pada pihak pasien.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah definisi berita buruk?
2. Bagaimana menyampaikan berita buruk?

C. TUJUAN
1. Mengetahui apa yang di maksud dengan berita buruk
2. Mengetahui bagaimana teknik menyampaikan berita buruk
ii
i
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI BERITA BURUK


Berita buruk secara medis didefinisikan sebagai informasi yang menciptakan
pandangan buruk bagi kesehatan seseorang. Berita buruk tersebut dapat menimbulkan
perasaan tanpa harapan pada pasien, ancaman terhadap kesehatan mental dan fisik pasien,
atau resiko mengganggu atau mengacaukan gaya hidup atau keseharian pasien (Wright
dkk, 2013).
Menurut Baile dkk (2000), berita buruk dapat didefinisikan sebagai segala informasi
yang secara serius dapat memperburuk pandangan seseorang tentang masa depannya.
Sedangkan menurut Aitini & Aleotti (2006) Kabar buruk adalah pengalaman tidak nyaman
untuk pemberi dan penerima berita.

B. TUJUAN PENYAMPAIAN BERITA BURUK


1. Merupakan pekerjaan yang akan sering dilakukan namun membuat stress
Selama karirnya, seorang dokter akan mengalami keadaan dimana ia harus
menyampaikan informasi buruk kepada pasien atau keluarganya. Penyampaian berita
buruk akan menjadi sangat menegangkan ketika seorang dokter kurang berpengalaman,
sedang menghadapi pasien yang masih muda, dan ketika prospek keberhasilan
pengobatan minim (Baile dkk, 2000).
2. Pasien menginginkan kebenaran
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa 96% orang berharap diberi tahu ketika ia
menderita kanker dan 85% berharap mendapat informasi mengenai perkiraan umur
mereka (Baile dkk, 2000).
3. Prinsip hukum dan etik
Di Amerika Utara, prinsip informed consent, otonomi pasien, dan hukum telah
menciptakan kewajiban etika dan hukum yang jelas untuk memberikan informasi sebanyak
yang pasien inginkan tentang penyakit mereka dan pengobatannya. Dokter tidak mungkin
menahan informasi medis bahkan jika mereka tahu itu akan memiliki efek negatif pada
pasien (Baile dkk, 2000).

iv
4. Hasil pemeriksaan klinis

Bagaimana cara penyampaian kabar buruk dapat mengubah pemahaman pasien akan
informasi, kepuasan perawatan, tingkat harapan, dan psikologi pasien. Banyak pasien
mengharapkan informasi yang akurat untuk membantu mereka menentukan pilihan
(Baile dkk, 2000).

Masalah muncul bila dokter harus berhadapan dengan keadaan khusus atau
kepribadian pasien yang berbeda-beda. Contohnya, penyakit yang dipengaruhi oleh
faktor psikososial. Keadaan lainnya adalah pasien yang berpenyakit kronis, menderita
cacat, dan pada pasien kanker. Permasalahan yang sebenarnya muncul ketika kita harus
menyampaikan prognosis penyakit dan berapa lama pasien itu dapat bertahan hidup (Sukardi
dkk, 2007).

5. Penyampaian pada pasien mengenai kecacatan/penyakit kronis


Pada penyakit kronis atau penyakit yang disertai dengan kecacatan yang berat,
sebaiknya dokter memberitahukan kenyataan atau fakta yang ada. Terutama cara adaptasi
yang cepat dan tepat terhadap perubahan hidupnya. Pasien penyakit kronis seharusnya
menerima kenyataan agar mereka lebih cepat untuk menyesuaikan diri dengan keadaannya.
Kecemasan dan rasa takut yang berlebihan tidak saja ditimbulkan dari penyakit yang diderita,
tetapi juga dari tekanan masyarakat yang sering memberikan simbol tertentu pada
penyakitnya (Sukardi dkk, 2007).
Jika semua stress menumpuk, pasien akan banyak menghadapi masalah. Hal ini
dapat melampaui kemampuan dirinya dalam menangani stress. Dokter seharusnya sadar
akan segala kemungkinan dan siap membantu serta menolong pasiennya. Khususnya bila
informasi yang disampaikan dapat meningkatkan kecemasan, menghilangkan harapan,
menimbulkan keinginan untuk bunuh diri, atau timbulya gejala psikopatologik lain.
Dalam menentukan suatu penyakit yang kronis dan kecacatan, informasi harus diberikan
secara perlahan. Pemberian informasi dapat dimulai dari awal dugaan penyakit sampai
diagnosis akhir ditegakkan. Adanya keinginan pasien untuk mengetahui penyakitnya
merupakan kesempatan baik bagi dokter untuk menyampaikan keadaan yang mungkin
terjadi dan risikonya di kemudian hari (Sukardi dkk, 2007).

v
6. Penyampaian pada pasien mengenai penyakit kanker/tumor ganas
Penyakit kanker merupakan penyakit yang sering ditanggapi dengan cara yang
tidak realistis. Pasien sering dijauhi oleh masyarakat dan seolah-olah kematiannya
sudah dekat. Kanker sebagai suatu penyakit yang fatal membuat dan mendorong keadaan
kurangnya perhatian untuk mendapatkan pengobatan. Ketakutan masyarakat terhadap
penyakit kanker memberikan beban tersendiri pada penderitaan pasien, disamping dari
akibat proses kanker itu sendiri. Oleh karena itu, sebelum diagnosis kanker disampaikan, tim
dokter harus benar-benar sudah yakin (Sukardi dkk, 2007).
Pengobatan kanker biasanya memerlukan waktu yang lama dan hasilnya sering diragukan.
Tercipta kesan bahwa penyakit ini lebih buruk dari penyakit infark jantung yang
prognosis kematiannya lebih jelek. Namun, karena pengobatan infark jantung lebih jelas,
seolah-olah penyakit itu lebih baik. Pada penyakit kanker pemberian informasi kepada
pasien semestinya meliputi dua hal, yaitu dokter bersikap jujur dan hormat terhadap
pasiennya. Dokter harus dapat menumbuhkan rasa percaya kepada pasien/keluarganya
dengan baik sehingga memudahkan dalam memberikan terapi, baik itu radioterapi maupun
sitostatika ( Sukardi dkk, 2007).

C. KESULIATAN PENYAMPAIAN BERITA BURUK


Ada banyak faktor penyebab seorang dokter mengalami kesulitan dalam
menyampaikan berita buruk. Berdasarkan American Medical Association's first code of
medical ethics pada tahun 1847 dikatakan bahwa kehidupan orang sakit dapat
dipersingkat tidak hanya oleh tindakan, tetapi juga oleh kata-kata dan perilaku seorang
dokter. Berikut adalah beberapa faktor penyebab sulitnya penyampaian berita buruk:
1. Khawatir bahwa berita itu akan menyebabkan efek buruk
2. Merasa bertanggung jawab dan takut jika disalahkan
3. Tidak tahu bagaimana cara terbaik untuk melakukannya
4. Tidak memiliki pengalaman pribadi
5. Khawatir bahwa akan sulit untuk menangani reaksi pasien atau keluarga
6. Keengganan untuk mengubah hubungan dokter-pasien yang ada
7. Tidak tahu kemampuan dan keterbatasan pasien
8. Tantangan tiap individu
9. Ketidak pastian tentang apa yang mungkin terjadi selanjutnya dan tidak memiliki jawaban
vi
atas beberapa pertanyaan
10. Kurangnya kejelasan peran seorang pelayan kesehatan.
D. JENIS-JENIS BERITA BURUK
Di dunia kedokteran, terdapat berbagai jenis berita buruk yang hendak
disampaikan kepada pasien. Berikut contoh-contohnya:
1. Kegagalan operasi
2. Vonis kanker.
3. Penyakit kronik seperti gagal ginjal kronik
4. Terminal Ilness
5. Tidak bisa mempunyai anak.
6. Kematian, dan lain-lain.

vi
i
BAB III
TEKNIK MENYAMPAIKAN BERITA BURUK

A. Penyampaian Berita Buruk Secara Tidak Langsung


Penyampaian berita buruk adalah suatu hal yang sering harus dilakukan dokter
maupun dokter gigi, misalnya pada waktu dokter harus menyampaikan berita kematian,
menyampaikan diagnosis suatu penyakit dengan prognosis yang tidak baik, atau
menyampaikan rencana terapi yang mengandung resiko yang tinggi. Dalam hubungan ini
setiap dokter akan mengetahui bahwa penyampaian berita buruk selalu akan
menimbulkan frustasi pada pihak pasien (Sarwono, 1982).
Hampir setiap dokter akan berusaha mengurangi reaksi frustasi pasien. Usaha ini
wajar sepanjang dokter tidak memalsukan informasi (berbohong kepada pasien) tetapi
sesungguhnya kurang baik, karena dokter justru memberi peluang bagi bertambah
besarnya frustasi pasien (Sarwono, 1982).
Usaha mengurangi frustasi pasien dalam penyampaian barita buruk ini biasa
dilakukan dengan beberapa cara yang kurang benar. Untuk jelasnya, berikut diberikan
contoh seorang dokter gigi yang harus menyampaikan berita bahwa pasiennya menderita
penyakit kanker mulut. Pada pasien didapatkan bisul yang menyakitkan di mulut, dimana
sudah tak sembuh-sembuh dalam waktu 14 hari, suara jadi serak berkepanjangan, dan
mengalami kesulitan untuk mengunyah, menelan, dan bahkan berbicara, serta terdapat
bercak putih pada mulut (Nawawi, 2013).

Penyampaian berita buruk yang kurang tepat itu antara lain sebagai berikut:

1. Menunda penyampaian berita buruk sampai saat yang dianggap tepat


Dokter bercerita tentang hal-hal lain terlebih dahulu sebelum ia menyampaikan
berita tentang kanker mulut, tentang keluhan-keluhan dan gejala-gejala yang diderita
pasien dan seterusnya sampai kira-kira pasien dianggap “siap mental” untuk
mendengarkan berita buruk itu, barulah berita tentang kanker mulut itu disampaikan. Tanda-
tanda bahwa pasien sudah “siap mental” diterka oleh dokter dari kata-kata (verbal) atau
mimik (ekspresi wajah) atau gerak (gesture) pasien. Dalam bentuk kata-kata kesiapan
mental untuk mendengar berita buruk misalnya dapat dilihat dalam percakapan berikut :

vi
ii
Dokter : (Setelah menceritakan berbagai penyakit yang memiliki gejala seperti yang
diderita pasien) … Jadi, pak Jusuf begitulah kemungkinan-kemungkinan yang dapat
terjadi pada orang-orang yang memiliki gejala seperti bapak.
Pasien : Kalau begitu, apakah yang akan terjadi pada saya, dok? (pasien siap mental)
Dokter : Begini, pak. Penyakit pada mulut bapak saat ini sedang mengalami proses
kemunduran … (dokter melanjutkan dengan menyampaikan berita buruk tersebut).

Dalam bentuk mimik atau gerak kesiapan mental lebih sulit


diterka, yaitu misalnya dalam bentuk :
a. Wajah pasien yang tegang berubah jadi tenang.
b. Pasien menarik nafas panjang.
c. Pasien mengubah posisi duduknya dari posisi tegak ke posisi menyandar dan sebagainya.
(Sarwono, 1982).
Kerugian dari cara ini adalah bahwa seringkali pasien dapat menerka maksud dokter
dan reaksi-reaksi emosionalnya muncul justru waktu dokter belum siap mental.
Akibatnya dokter bertambah sulit mengendalikan emosi pasien (Sarwono, 1982).

2. Membiarkan pasien menyimpulkan sendiri


Dalam cara ini dokter tidak secara terbuka menyampaikan berita buruk itu, akan
tetapi pasien diharapkan menyimpulkan nasibnya sendiri. Dokter dalam cara ini hanya
memberikan pertanyaan sambil “mengiringi” pasien ke arah kesimpulan yang akan
dibuatnya (Sarwono, 1982).
Berikut diberikan contoh :
D: sejak kapan awal sariawan ini muncul pak?
P: sejak dua minggu lalu, dok.
D: apakah sudah bapak beri pengobatan?
P: sudah, dok.
D: bagaimana efek dari obat tersebut pak?
P: tidak ada, dok. Sampai saat ini sariawan itu tidak hilang dok. Justru saat ini pada
waktu mengunyah dan menelah sedikit sulit dok.
D: pak, setelah kami lakukan pemeriksaan kembali, ternyata terjadi perbesaran ulkus dan
bercak putih di dalam rongga mulut bapak. Dan warna mukosa rongga mulut bapak juga
pucat. ix

P: jadi apakah saya ini kena kanker mulut dok ?


Teknik ini hanya dapat dilakukan pada pasien-pasien yang mempunyai pendidikan
atau kecerdasan yang cukup untuk membuat kesimpulan sendiri. Akan tetapi biasanya
pasien tidak sabar dan malahan bertambah jengkel karena ditanya-tanya terus padahal ia
sudah dalam keadaan sangat khawatir terhadap kesehatannya. Pasien bisa sampai kepada
kesimpulan bahwa dokter mau melepaskan diri dari tangung jawabnya memberi tahu pasien
tentang berita buruk itu (Sarwono, 1982).

3. Membungkus berita buruk


Dalam cara ini dokter “membungkus” berita buruk itu dengan kata-kata,
sedemikian rupa sehingga kedengarannya berita buruk itu lebih baik dari keadaan yang
sebenarnya (Sarwono, 1982).
Berikut diberikan contoh :
Dokter : Saya khawatir bahwa bapak akan kehilangan sebagian dari lidah bapak saat
operasi nanti. Akan tetapi, bapak jangan khawatir, kita akan bekerjasama dengan pihak
bedah plastik rumah sakit untuk membuat lidah buatan untuk bapak.
Paisen : Lalu apakah saya tetap dapat berbicara dok?
Dosen : Kemungkinan akan ada kesulitan dalam berbicara, tapi dengan bantuan speech
terapy, bapak masih ada harapan untuk dapat berbicara lagi.
Pasien : Kira-kira berapa lama sampai saya bisa bicara lagi dok?
Dokter : Waktunya bervariasi untuk setiap orang. Tapi ada pasien yang dapat berbicara
kembali dengan jelas dalam waktu 8 minggu saja.

Kelemahan dari cara ini adalah bahwa tidak semua pasien bisa menerima kenyataan-
kenyataan yang dibungkus seperti itu.Beberapa pasien malah akan bertambah frustasi
karena ia tahu bahwa keadaan yang sebenarnya tidaklah sebaik yang disampaikan dokter.
Pasien bisa beranggapan bahwa dokter membohonginya ( Sarwono, 1982 ).

4. Banyak memberi alasan


Dengan cara ini, dokter memberikan berbagai alasan ke pasien untuk
membenarkan ‘berita buruk’ tersebut.Sebagai contoh, dokter akan mengemukakan
alasannya setelah penyampaian berita buruk ke pasien:
“.... Walaupun demikian, bapak tidak perlu menyesal. Segala yang bapak lakukan telah
dilakukan, demikian pula dengan kami sudah mengerjakan yang bisa kami lakukan.x
Memang, ilmu kedokteran sampai sekarang pun masih memiliki keterbatasan-
keterbatasan. Ilmu kedokteranbelum bisa berbuat banyak untuk menyembuhkan penyakit
bapak. Sekalipun bapak berobat ke luar negeri pun, hasilnya tidak akan jauh berbeda...”
Pada penggunaan teknik ini justru membuat pasien putus asa. Dalam keadaan sudah sangat
khawatir, biasanya pasien masih mengharapkan petunjuk tentang cara lain yang masih
dapat diupayakan untuk mengatasi penyakitnya. Dengan adanya alasan-alasan pembenaran
yang dilakukan dokter terhadap pasien justru akan menyebabkan putusnya harapan pasien
dan membuat pasien sangat frustrasi (Sarwono, 1982).
Keempat cara yang telah dikemukakan diatas untuk mengurangi frustrasi pasien,
dapat dilakukan secara terpisah atau dikombinasikan menurut selera dokternya sendiri.
Cara-cara tersebut tidak mungkin meniadakan seluruh frustrasi. Frustrasi yang masih ada
dapat dirasakan berat atau ringan, tergantung dari kondisi kejiwaan pasien itu sendiri
(Sarwono, 1982).

Jenis-jenis Reaksi Pasien Terhadap Frustasi :


Berikut penggolongan jenis-jenis reaksi pasien terhadap frustasi.
1. Menerima kenyataan itu dengan sabar, Misalnya:
Pasien : Baiklah, dok. Barangkali memang sudah demikian nasib saya. Sekarang, apa yang
perlu saya lakukan selanjutnya untuk mencegah keparahan penyakit saya?
(Sarwono, 1982)
2. Bereaksi agresif, Misalnya:
Pasien : Rahang saya akan diangkat dok? Oh ini adalah kesalahan dokter. Dulu saya sudah
minya agar pengobatan saya dilakukan di luar negeri saja. Tapi dokter mengatakan
bahwa di sini pun dokter dapat melakukannya. Sekarang kalau sudah begini, apa yang
dapat dokter lakukan? (Sarwono, 1982)
3. Penolakan terhadap kenyataan, Misalnya:
Pasien : Tidak mungkin. Tidak mungkin saya akan kehilangan rahang saya. Setelah
diterapi yang terakhir itu mulut saya rasanya sudah lebih enak tidak sakit lagi untuk menelan,
bagaimana bisa jadi seperti ini? Paman saya ada yang lebih parah tumornya daripada
saya, tetapi dia tidak sampai diangkat rahangnya. Para dokter bisa menolongnya.
(Sarwono, 1982)
4. Regresi
Regresi yaitu memberi reaksi dengan mundur kepada tingkat yang kekanak-kanakan.
Misalnya, menangis keras-keras, menjerit-jerit sambil menarik-narik rambutnya atauxi
memukul-mukul meja, pingsan, atau mengeluarkan kata-kata sebagai berikut:
Pasien : …(diam untuk waktu yang lama)… kalau begitu lebih baik saya berhenti bekerja
saja. Tinggal di rumah dan biarlah ibu saya tinggal di rumah saya untuk merawat saya. Isteri
saya dengan begitu bisa tetap bekerja mencari nafkah. (Sarwono, 1982)
5. Stereotipi
Stereotipi merupakan reaksi berulang-ulang terus. Misalnya:
Pasien : Sungguh saya tidak kira . . . rahang saya akan diangkat? . . . sungguh-sungguh di
luar dugaan saya . . . Kehilangan rahang! . . . Bagaimana mungkin? Sungguh tidak saya
kira . . . dan seterusnya. (Sarwono, 1982)
Bagaimanapun juga reaksi pasien terhadap frustasi, dokter tidak boleh
menanggapinya dengan kontra reaksi yang sama emosionalnya. Dokter harus tetap tenang,
tetap menggunakan akal sehat, walaupun tetap harus dapat menunjukkan simpati pada
pasien. Untuk itu dokter sebaiknya menggunakan cara yang lebih langsung dalam
menyampaikan berita buruk (Sarwono, 1982).

B. Penyampaian Berita Buruk Secara Langsung


Penyampaian berita buruk secara langsung merupakan cara yang lebih efektif
dalam penyampaian berita buruk kepada pasien. Dengan penyampaian langsung ini, maka
jelas dokter berada dalam keadaan ‘siap mental’ untuk menghadapi frustasi pasien dan
selanjutnya dapat menampung dan meredakan frustasi itu (Sarwono, 1982).
Dalam penyampaian berita buruk secara langsung, ada 3 tahap yang harus dilalui
dokter, yaitu:
1) Tahap 1: penyampaian berita buruk itu sendiri
2) Tahap 2: memperendah tingkat frustasi
3) Tahap 3: mencari pemecahan persoalan (Sarwono, 1982)
Setiap berita buruk tentu akan menimbulkan frustasi, tetapi yang terpenting
adalah mencari jalan keluar dari keadaan yang buruk itu. Untuk bisa mencari jalan keluar,
tingkat frustasi harus direndahkan dulu agar pasien tidak terlalu emosional. Tugas
mencari pemecahan persoalan dan merendahkan tingkat frustasitermasuk dalam
kewajiban dokter juga (Sarwono, 1982).
1) Tahap 1. Penyampaian berita buruk
Seringkali pasien sudah mempunyai dugaan tentang keadaan yang buruk itu, hanya
saja ia belum merasa pasti. Pasien mempunyai hak untuk segera bebas dari ketidakpastian
xi
ini. Dalam menyampaikan berita buruk dokter harus memperhatikan hal-hal berikut:
i
a) Berita buruk langsung disampaikan pada awal percakapan. Dokter jangan melakukan
berbagai aksi menghindar.
b) Dokter harus meyampaikan berita dalam kalimat yang sesingkat mungkin, tetapi
dalam kalimatnya itu dokter juga harus menunjukkan bahwa ia memperhatikan perasaan
pasien.
c) Nada suara dokter harus menunjukkan bahwa dokter ikut menghayati apa yang
diarasakan pasien. (Sarwono, 1982)
Contoh :
Dokter : hasil pemeriksaan kami menunjukkan bahwa terdapat
tumor pada mulut bapak. Tumor ini sudah menggerogoti hampir
seluruh rahang bawah bapak, sehingga terpaksa kami harus
mengambil rahang bawah bapak. Saya mengerti bahwa bapak
tentunya sangat sedih.

2) Tahap 2. Penurunan Tingkat Frustasi


Setelah berita buruk disampaikan, dokter harus berusaha menurunkan frustasi pasien.
Untuk itu ada 2 macam cara :
a) Mengucapkan kata-kata simpati.
b) Memberikan informasi kepada pasien bahwa ada hal-hal yang membuatnya tidak
usah terlalu kecewa, misalnya bahwa dokter dapat menghilangkan tumornya dengan
segera dengan cara yang baik dan tidak sakit, bahwa tumornya belum sampai tingkatan
yang parah, dan sebagainya. Bedanya dari cara penyampaian beritaburuk yang
menghindari frustasi adalah bahwa informasi ini disampaikan sesudah berita buruk,
tidak sebelumnya. (Sarwono, 1982)
Mengurangi frustasi sampai tingkat yang paling rendah adalah sangat penting
karena bila tingkat frustasi masih tinggi dokter tidak akan sampai pada pemecahan
persoalan. Kalau frustasi tidak dapat diturunkan sekaligus, usaha ini sebaiknya ditunda dan
dilanjutkan lain kali (Sarwono, 1982).

3) Tahap 3. Pemecahan Persoalan


Di sini dokter memberikan nasihat-nasihat berupa pilihan-pilihan yang dapat
ditempuh oleh pasien untuk mengatasi persoalan yang akan dihadapinya sebagai akibat
dari keadaannya yang tidak diharapkan tersebut (Sarwono, 1982). xi
ii
Contoh :
Pasien : Jadi bagaimana pekerjaan saya kalau saya sampai harus rawat inap ya Dokter?
Dokter : Saya bisa membuatkan surat untuk atasan Bapak agar Bapak beroleh izin sekaligus
tunjangan sesuai dengan kesehatan Bapak.
Pasien : Bagaimana dengan penampilan saya nanti apabila tumornya diangkat?
Dokter : Tidak apa-apa. Seiring waktu nanti akan tampak normal lagi. Saya bisa menutupi
tampilan yang bengkak dengan perban.
Pasien : Bagaimana dengan rasa sakitnya nanti?
Dokter : Tidak apa-apa, saya bisa mengusahakan dengan pemberian obat anti rasa sakit
yang tidak mahal.
Dan seterusnya.

C. Penyampaian Berita Buruk Dengan Metode SPIKES


Metode SPIKES mengacu pada enam tahap dalam penyampaian berita buruk.
1. SETTING UP the interview
a. Aturlah privasi.
Idealnya, disiapkan ruangan khusus. Penyampaian berita buruk harus dilakukan pada
tempat yang nyaman yangmenyediakan privasi bagi pasien dan relatif tenang. Ruangan harus
cukup luas untuk menampung para staf atau perawat serta seluruh anggota keluarga pasien
yang mendampingi pasien saat penyampaian berita buruk (Buckman, 1996; Maynard,
1991). Siapkan tissue untuk berjaga-jaga apabila pasien menangis (Baile dkk, 2000).
b. Libatkan orang lain.
Kebanyakan pasien biasanya ingin ditemani oleh orang lain. Namun, orang
tersebut haruslah pilihan pasien. Ketika ada anggota keluarga pasien, mintalah pasien
memilih satu atau dua perwakilan keluarga (Baile dkk, 2000).
c. Duduk.
Posisi duduk akan membuat pasien lebih relaks dan menandakan bahwa dokter tidak
terburu buru. Pemilihan waktu dalam penyampaian berita buruk sangat penting.
Penjadwalan ulang atau pemilihan waktu lain perlu dilakukan agar dapat menyampaikan
berita buruk kepada pasien pada saat yang tepat. Jika terburu-buru, dokter dapat dianggap
tidak peduli dengan pasien dan proses. Bukti menunjukkan bahwa dokter mungkin
menunda pencairan berita buruk meskipun pada kenyataannya sebagian besar pasien
ingin mendengarnya (Blanchard dkk, 1988; Hopper dan Fischbach, 1989) dan beberapaxi
v
dokter menghindari situasi untuk membicarakan prognosis (Seale, 1991).
Ketika duduk, usahakan tidak ada batas antara dokter dan pasien. Mengatur
koneksi dengan pasien. Melakukan kontak mata mungkin saja terasa kurang nyaman,
namun ini merupakan cara penting untuk membangun sebuah hubungan. Memegang
lengan atau tangan pasien apabila pasien bersedia juga merupakan cara mencapainya.
Mengelola waktu dan interupsi. Ketika menyampaikan kabar buruk pada pasien
usahakan jangan ada interupsi. Sebaiknya seorang dokter mengatur telepon genggamnya
dalam keadaan diam (Baile dkk, 2000).

2. Assesing the Patient’s PERCEPTION


Langkah kedua dan ketiga dari SPIKES merupakan interview yang menerapkan
“sebelum berkata, tanyalah”. Sebelum mendiskusikan hasil medis, dokter menggunakan
pertanyaan terbuka untuk menilai persepsi pasien akan keadaannya. Contohnya, “Sejauh
mana anda tahu mengenai penyakit anda” atau “Apakah anda tahu kenapa kami
melakukan MRI?”. Berdasarkan informasi yang diperoleh, dokter dapat mengoreksi
informasi yang salah dan menyesuaikan kabar buruk dengan pemahaman pasien. Dari
sini juga dapat dilihat apakah pasien menyangkal suatu penyakit: angan angan ataupun
harapan pengobatan yang tidak realistis (Baile dkk, 2000).

3. Obtaining the patient’s INVITATION


Kebanyakan pasien menginginkan informasi penuh akan diagnosis, prognosis,
hingga detail penyakit yang pasien derita. Namun beberapa pasien tidak. Penting untuk
menanyakan kepada pasien sedetail apa informasi yang mereka inginkan. Pertanyaan
yang bisa dokter tanyakan misalnya, “Bagaimana anda ingin saya menyampaikan hasil
tes anda? Apakah anda ingin saya menyampaikan semuanya atau hanya gambaran besar
dan kita akan berdiskusi mengenai perawatannya?” (Baile dkk, 2000).
4. Giving KNOWLEDGE and information to the patient
Memulai percakapan dengan kalimat seperti, “Saya khawatir bahwa kabar yang
saya sampaikan adalah kabar yang kurang baik” atau “Dengan berat hati saya sampaikan
bahwa...” dapat mengurangi syok pada pasien saat mendengarkan berita buruk. Dalam
menyampaikan hasil medis, terjemahkan istilah medis kedalam Bahasa Indonesia,
misalnya gunakan kata “menyebar” untuk menggantikan kata “metastasis”. Dokter juga
harus menghindari pernyataan yang berlebihan seperti “Kanker yang anda derita sangat
buruk. Meskipun anda diobati secepatnya, anda akan tetap tidak dapat bertahan”. Berikanx
v
informasi dalam potongan kecil dan pastikan untuk berhenti menjelaskan untuk memastikan
bahwa pasien paham dengan apa yang dijelaskan (Baile dkk, 2000).

5. Adressing the patient’s EMOTIONS with emphatic responses


Merespons emosi pasien merupakan salah satu hal sulit dalam menyampaikan berita
buruk. Pasien dapat bereaksi dengan diam, menangis, menyangkal, hingga marah, Pada
situasi seperti ini, seorang dokter dapat memberi dukungan dan solidaritas dengan
memberi respons empati. Diskusi tidak akan dapat berlanjut selama emosi pasien masih ada
(Baile dkk, 2000).

6. STRATEGY and SUMMARY


Sebelum menentukan rencana perawatan, prnting untuk menanyakan apakah
pasien sudah siap untuk berdiskusi. Buatlah rencana langkah demi langkah dan berikan
penjelasan yang lengkap kepada pasien mengenai rencana perawatannya. Libatkan pasien
dalam pengambilan keputusan sebagai antisipasi jika terjadi suatu hal yang tidak
diinginkan selama perawatan (Baile dkk, 2000).

x
vi
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berita buruk merupakan segala informasi yang secara serius dapat memperburuk
pandangan seseorang tentang masa depannya. Komunikasi dokter gigi-pasien dalam
penyampaian berita buruk sangat penting untuk dipelajari. Berita buruk dapat disampaikan
melalui dua metode yaitu metode tidak langsung dan metode langsung. Beberapa contoh
metode tidak langsung antara lain menunda penyampaian berita buruk sampai saat yang
dianggap tepat, membiarkan pasien menyimpulkan sendiri, membungkus berita buruk, dan
banyak memberi alasan. Metode langsung memiliki keunggulan dibandingkan metode
tidak langsung yaitu lebih efektif dan dokter siap mental. Penyampaian berita buruk
juga dapat dilakukan dengan metode SPIKES. Komunikasi atau penyampaian berita
buruk yang tepat akan menghasilkan pemahaman yang baik pada pasien sehingga akan
menentukan keberlanjutan terapi dan kesembuhan pasien.

x
vi

Anda mungkin juga menyukai