Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH TEKNIK MENYAMPAIKAN BERITA BURUK

DI SUSUN OLEH

Muhammad Wiya Rapsanjani


Lalu Thiar Nipoar

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


MATARAM JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM B
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa


karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat
menyelesaikan tugas Keperawatan Paliatif dengan judul “Teknik
menyampaikan berita buruk”.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka
menambah wawasan serta pengetahuan. Kami juga menyadari sepenuhnya
bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan
demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna
bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami
mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan
dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di
masa depan.

Mataram, Oktober 2023

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Komunikasi merupakan suatu percakapan yang dilakukan dengan
maksud dan tujuan tertentu. Maksud dan tujuan komunikasi yang dilakukan
oleh dokter terhadap pasien adalah untuk membantu pasien agar dapat
mengurangi penderitaan pasien serta membantunya untuk sembuh dari
penyakitnya. Kesembuhan biasanya didapatkan dari khasiat obat- obatan dan
fungsi komunikasi atau wawancara hanya sebagai pendukung untuk
menegakkan diagnosis dan menentukan terapi yang tepat. Tetapi tidak
jarang komunikasi itu sendiri juga merupakan terapi.
Karena komunikasi penting sekali artinya dalam hubungan dokter-
pasien, maka seyogyanya para dokter menguasai teknik dan seni
berkomunikasi yang baik. Untuk itu dokter perlu mengetahui jenis-jenis
komunikasi atau wawancara yang biasa terdapat antara dokter atau dokter
gigi dan pasien, antara lain wawancara biasa yang terdiri dari wawancara
bebas dan terarah, percakapan bimbingan dan konseling, dan penyampaian
berita buruk.
Berita buruk dapat didefinisikan sebagai segala informasi yang
secara serius dapat memperburuk pandangan seseorang tentang masa
depannya. Penyampaian berita buruk adalah suatu hal yang sering harus
dilakukan dokter maupun dokter gigi, misalnya pada waktu dokter harus
menyampaikan berita kematian, menyampaikan diagnosis suatu penyakit
dengan prognosis yang tidak baik, atau menyampaikan rencana terapi yang
mengandung resiko yang tinggi. Dalam hubungan ini setiap dokter akan
mengetahui bahwa penyampaian berita buruk selalu akan menimbulkan
frustasi pada pihak pasien.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah definisi berita buruk?
2. Bagaimana menyampaikan berita buruk?

C. TUJUAN
1. Mengetahui apa yang di maksud dengan berita buruk
2. Mengetahui bagaimana teknik menyampaikan berita buruk
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI BERITA BURUK


Berita buruk secara medis didefinisikan sebagai informasi yang
menciptakan pandangan buruk bagi kesehatan seseorang. Berita buruk
tersebut dapat menimbulkan perasaan tanpa harapan pada pasien, ancaman
terhadap kesehatan mental dan fisik pasien, atau resiko mengganggu atau
mengacaukan gaya hidup atau keseharian pasien (Wright dkk, 2013).
Menurut Baile dkk (2000), berita buruk dapat didefinisikan sebagai segala
informasi yang secara serius dapat memperburuk pandangan seseorang
tentang masa depannya. Sedangkan menurut Aitini & Aleotti (2006) Kabar
buruk adalah pengalaman tidak nyaman untuk pemberi dan penerima berita.

B. TUJUAN PENYAMPAIAN BERITA BURUK


1. Merupakan pekerjaan yang akan sering dilakukan namun
membuat stress

Selama karirnya, seorang dokter akan mengalami keadaan


dimana ia harus menyampaikan informasi buruk kepada pasien atau
keluarganya. Penyampaian berita buruk akan menjadi sangat
menegangkan ketika seorang dokter kurang berpengalaman, sedang
menghadapi pasien yang masih muda, dan ketika prospek keberhasilan
pengobatan minim (Baile dkk, 2000).

2. Pasien menginginkan kebenaran

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa 96% orang berharap


diberi tahu ketika ia menderita kanker dan 85% berharap mendapat
informasi mengenai perkiraan umur mereka (Baile dkk, 2000).

3. Prinsip hukum dan etik

Di Amerika Utara, prinsip informed consent, otonomi pasien, dan


hukum telah menciptakan kewajiban etika dan hukum yang jelas untuk
memberikan informasi sebanyak yang pasien inginkan tentang penyakit
mereka dan pengobatannya. Dokter tidak mungkin menahan informasi
medis bahkan jika mereka tahu itu akan memiliki efek negatif pada
pasien (Baile dkk, 2000).

4. Hasil pemeriksaan klinis


Bagaimana cara penyampaian kabar buruk dapat mengubah
pemahaman pasien akan informasi, kepuasan perawatan, tingkat
harapan, dan psikologi pasien. Banyak pasien mengharapkan informasi
yang akurat untuk membantu mereka menentukan pilihan (Baile dkk,
2000).
Masalah muncul bila dokter harus berhadapan dengan keadaan
khusus atau kepribadian pasien yang berbeda-beda. Contohnya,
penyakit yang dipengaruhi oleh faktor psikososial. Keadaan lainnya
adalah pasien yang berpenyakit kronis, menderita cacat, dan pada pasien
kanker. Permasalahan yang sebenarnya muncul ketika kita harus
menyampaikan prognosis penyakit dan berapa lama pasien itu dapat
bertahan hidup (Sukardi dkk, 2007).

5. Penyampaian pada pasien mengenai kecacatan/penyakit kronis


Pada penyakit kronis atau penyakit yang disertai dengan
kecacatan yang berat, sebaiknya dokter memberitahukan kenyataan
atau fakta yang ada. Terutama cara adaptasi yang cepat dan tepat
terhadap perubahan hidupnya. Pasien penyakit kronis seharusnya
menerima kenyataan agar mereka lebih cepat untuk menyesuaikan diri
dengan keadaannya. Kecemasan dan rasa takut yang berlebihan tidak
saja ditimbulkan dari penyakit yang diderita, tetapi juga dari tekanan
masyarakat yang sering memberikan simbol tertentu pada penyakitnya
(Sukardi dkk, 2007).

Jika semua stress menumpuk, pasien akan banyak menghadapi


masalah. Hal ini dapat melampaui kemampuan dirinya dalam
menangani stress. Dokter seharusnya sadar akan segala kemungkinan
dan siap membantu serta menolong pasiennya. Khususnya bila
informasi yang disampaikan dapat meningkatkan kecemasan,
menghilangkan harapan, menimbulkan keinginan untuk bunuh diri, atau
timbulya gejala psikopatologik lain. Dalam menentukan suatu penyakit
yang kronis dan kecacatan, informasi harus diberikan secara perlahan.
Pemberian informasi dapat dimulai dari awal dugaan penyakit sampai
diagnosis akhir ditegakkan. Adanya keinginan pasien untuk mengetahui
penyakitnya merupakan kesempatan baik bagi dokter untuk
menyampaikan keadaan yang mungkin terjadi dan risikonya di
kemudian hari (Sukardi dkk, 2007).

6. Penyampaian pada pasien mengenai penyakit kanker/tumor ganas


Penyakit kanker merupakan penyakit yang sering ditanggapi
dengan cara yang tidak realistis. Pasien sering dijauhi oleh masyarakat
dan seolah-olah kematiannya sudah dekat. Kanker sebagai suatu
penyakit yang fatal membuat dan mendorong keadaan kurangnya
perhatian untuk mendapatkan pengobatan. Ketakutan masyarakat
terhadap penyakit kanker memberikan beban tersendiri pada
penderitaan pasien, disamping dari akibat proses kanker itu sendiri.
Oleh karena itu, sebelum diagnosis kanker disampaikan, tim dokter
harus benar-benar sudah yakin (Sukardi dkk, 2007).

Pengobatan kanker biasanya memerlukan waktu yang lama dan


hasilnya sering diragukan. Tercipta kesan bahwa penyakit ini lebih
buruk dari penyakit infark jantung yang prognosis kematiannya lebih
jelek. Namun, karena pengobatan infark jantung lebih jelas, seolah-olah
penyakit itu lebih baik. Pada penyakit kanker pemberian informasi
kepada pasien semestinya meliputi dua hal, yaitu dokter bersikap jujur
dan hormat terhadap pasiennya. Dokter harus dapat menumbuhkan rasa
percaya kepada pasien/keluarganya dengan baik sehingga memudahkan
dalam memberikan terapi, baik itu radioterapi maupun sitost atika
(Sukardi dkk, 2007).
C. KESULIATN PENYAMPAIAN BERITA BURUK

Ada banyak faktor penyebab seorang dokter mengalami kesulitan


dalam menyampaikan berita buruk. Berdasarkan American Medical
Association's first code of medical ethics pada tahun 1847 dikatakan
bahwa kehidupan orang sakit dapat dipersingkat tidak hanya oleh
tindakan, tetapi juga oleh kata-kata dan perilaku seorang dokter.
Berikut adalah beberapa faktor penyebab sulitnya penyampaian berita
buruk:
1. Khawatir bahwa berita itu akan menyebabkan efek buruk
2. Merasa bertanggung jawab dan takut jika disalahkan
3. Tidak tahu bagaimana cara terbaik untuk melakukannya
4. Tidak memiliki pengalaman pribadi
5. Khawatir bahwa akan sulit untuk menangani reaksi pasien atau
keluarga
6. Keengganan untuk mengubah hubungan dokter-pasien yang ada
7. Tidak tahu kemampuan dan keterbatasan pasien
8. Tantangan tiap individu
9. Ketidak pastian tentang apa yang mungkin terjadi selanjutnya dan
tidak memiliki jawaban atas beberapa pertanyaan
10. Kurangnya kejelasan peran seorang pelayan kesehatan.

D. JENIS-JENIS BERITA BURUK


Di dunia kedokteran, terdapat berbagai jenis berita buruk yang hendak
disampaikan kepada pasien. Berikut contoh-contohnya:
1. Kegagalan operasi
2. Vonis kanker.
3. Penyakit kronik seperti gagal ginjal kronik
4. Terminal Ilness
5. Tidak bisa mempunyai anak.
6. Kematian, dan lain-lain.
BAB III
TEKNIK MENYAMPAIKAN BERITA BURUK

A. Penyampaian Berita Buruk Secara Tidak Langsung

Penyampaian berita buruk adalah suatu hal yang sering harus


dilakukan dokter maupun dokter gigi, misalnya pada waktu dokter harus
menyampaikan berita kematian, menyampaikan diagnosis suatu penyakit
dengan prognosis yang tidak baik, atau menyampaikan rencana terapi yang
mengandung resiko yang tinggi. Dalam hubungan ini setiap dokter akan
mengetahui bahwa penyampaian berita buruk selalu akan menimbulkan
frustasi pada pihak pasien (Sarwono, 1982).
Hampir setiap dokter akan berusaha mengurangi reaksi frustasi
pasien. Usaha ini wajar sepanjang dokter tidak memalsukan informasi
(berbohong kepada pasien) tetapi sesungguhnya kurang baik, karena dokter
justru memberi peluang bagi bertambah besarnya frustasi pasien (Sarwono,
1982).
Usaha mengurangi frustasi pasien dalam penyampaian barita buruk
ini biasa dilakukan dengan beberapa cara yang kurang benar. Untuk
jelasnya, berikut diberikan contoh seorang dokter gigi yang harus
menyampaikan berita bahwa pasiennya menderita penyakit kanker mulut.
Pada pasien didapatkan bisul yang menyakitkan di mulut, dimana sudah tak
sembuh-sembuh dalam waktu 14 hari, suara jadi serak berkepanjangan, dan
mengalami kesulitan untuk mengunyah, menelan, dan bahkan berbicara,
serta terdapat bercak putih pada mulut (Nawawi, 2013).
Penyampaian berita buruk yang kurang tepat itu antara lain sebagai berikut:
1. Menunda penyampaian berita buruk sampai saat yang dianggap tepat
Dokter bercerita tentang hal-hal lain terlebih dahulu sebelum ia
menyampaikan berita tentang kanker mulut, tentang keluhan- keluhan
dan gejala-gejala yang diderita pasien dan seterusnya sampai kira-kira
pasien dianggap “siap mental” untuk mendengarkan berita buruk itu,
barulah berita tentang kanker mulut itu disampaikan. Tanda-tanda
bahwa pasien sudah “siap mental” diterka oleh dokter dari kata-kata
(verbal) atau mimik (ekspresi wajah) atau gerak (gesture) pasien. Dalam
bentuk kata-kata kesiapan mental untuk mendengar berita buruk
misalnya dapat dilihat dalam percakapan berikut :
Dokter : (Setelah menceritakan berbagai penyakit yang memiliki gejala
seperti yang diderita pasien) … Jadi, pak Jusuf begitulah kemungkinan-
kemungkinan yang dapat terjadi pada orang-orang yang memiliki gejala
seperti bapak.
Pasien : Kalau begitu, apakah yang akan terjadi pada saya, dok? (pasien
siap mental)
Dokter : Begini, pak. Penyakit pada mulut bapak saat ini sedang
mengalami proses kemunduran … (dokter melanjutkan dengan
menyampaikan berita buruk tersebut).

Dalam bentuk mimik atau gerak kesiapan mental lebih sulit diterka, yaitu
misalnya dalam bentuk :
a. Wajah pasien yang tegang berubah jadi tenang.
b. Pasien menarik nafas panjang.
c. Pasien mengubah posisi duduknya dari posisi tegak ke posisi
menyandar dan sebagainya. (Sarwono, 1982)
Kerugian dari cara ini adalah bahwa seringkali pasien dapat
menerka maksud dokter dan reaksi-reaksi emosionalnya muncul justru
waktu dokter belum siap mental. Akibatnya dokter bertambah sulit
mengendalikan emosi pasien (Sarwono, 1982).

2. Membiarkan pasien menyimpulkan sendiri

Dalam cara ini dokter tidak secara terbuka menyampaikan berita


buruk itu, akan tetapi pasien diharapkan menyimpulkan nasibnya
sendiri. Dokter dalam cara ini hanya memberikan pertanyaan sambil
“mengiringi” pasien ke arah kesimpulan yang akan dibuatnya (Sarwono,
1982).
Berikut diberikan contoh :
D: sejak kapan awal sariawan ini muncul pak? P:
sejak dua minggu lalu, dok.
D: apakah sudah bapak beri pengobatan? P:
sudah, dok.
D: bagaimana efek dari obat tersebut pak?

P: tidak ada, dok. Sampai saat ini sariawan itu tidak hilang dok. Justru
saat ini pada waktu mengunyah dan menelah sedikit sulit dok.
D: pak, setelah kami lakukan pemeriksaan kembali, ternyata terjadi
perbesaran ulkus dan bercak putih di dalam rongga mulut bapak. Dan
warna mukosa rongga mulut bapak juga pucat.

P: jadi apakah saya ini kena kanker mulut dok ?


Teknik ini hanya dapat dilakukan pada pasien-pasien yang
mempunyai pendidikan atau kecerdasan yang cukup untuk membuat
kesimpulan sendiri. Akan tetapi biasanya pasien tidak sabar dan
malahan bertambah jengkel karena ditanya-tanya terus padahal ia
sudah dalam keadaan sangat khawatir terhadap kesehatannya. Pasien
bisa sampai kepada kesimpulan bahwa dokter mau melepaskan diri dari
tangung jawabnya memberi tahu pasien tentang berita buruk itu
(Sarwono, 1982).

3. Membungkus berita buruk

Dalam cara ini dokter “membungkus” berita buruk itu dengan


kata-kata, sedemikian rupa sehingga kedengarannya berita buruk itu
lebih baik dari keadaan yang sebenarnya (Sarwono, 1982).
Berikut diberikan contoh :

Dokter : Saya khawatir bahwa bapak akan kehilangan sebagian dari


lidah bapak saat operasi nanti. Akan tetapi, bapak jangan khawatir, kita
akan bekerjasama dengan pihak bedah plastik rumah sakit untuk
membuat lidah buatan untuk bapak.
Paisen : Lalu apakah saya tetap dapat berbicara dok?

Dosen : Kemungkinan akan ada kesulitan dalam berbicara, tapi dengan


bantuan speech terapy, bapak masih ada harapan untuk dapat berbicara
lagi.
Pasien : Kira-kira berapa lama sampai saya bisa bicara lagi dok?

Dokter : Waktunya bervariasi untuk setiap orang. Tapi ada pasien yang
dapat berbicara kembali dengan jelas dalam waktu 8 minggu saja.
Kelemahan dari cara ini adalah bahwa tidak semua pasien bisa
menerima kenyataan-kenyataan yang dibungkus seperti itu.Beberapa
pasien malah akan bertambah frustasi karena ia tahu bahwa keadaan
yang sebenarnya tidaklah sebaik yang disampaikan dokter. Pasien bisa
beranggapan bahwa dokter membohonginya (Sarwono, 1982).

4. Banyak memberi alasan

Dengan cara ini, dokter memberikan berbagai alasan ke pasien


untuk membenarkan ‘berita buruk’ tersebut.Sebagai contoh, dokter akan
mengemukakan alasannya setelah penyampaian berita buruk ke pasien:
“.... Walaupun demikian, bapak tidak perlu menyesal. Segala yang
bapak lakukan telah dilakukan, demikian pula dengan kami sudah
mengerjakan yang bisa kami lakukan. Memang, ilmu kedokteran
sampai sekarang pun masih memiliki keterbatasan-keterbatasan. Ilmu
kedokteranbelum bisa berbuat banyak untuk menyembuhkan penyakit
bapak. Sekalipun bapak berobat ke luar negeri pun, hasilnya tidak akan
jauh berbeda...”
Pada penggunaan teknik ini justru membuat pasien putus asa.
Dalam keadaan sudah sangat khawatir, biasanya pasien masih
mengharapkan petunjuk tentang cara lain yang masih dapat diupayakan
untuk mengatasi penyakitnya. Dengan adanya alasan- alasan
pembenaran yang dilakukan dokter terhadap pasien justru akan
menyebabkan putusnya harapan pasien dan membuat pasien sangat
frustrasi (Sarwono, 1982).
Keempat cara yang telah dikemukakan diatas untuk mengurangi
frustrasi pasien, dapat dilakukan secara terpisah atau dikombinasikan
menurut selera dokternya sendiri. Cara-cara tersebut tidak mungkin
meniadakan seluruh frustrasi. Frustrasi yang masih ada dapat dirasakan
berat atau ringan, tergantung dari kondisi kejiwaan pasien itu sendiri
(Sarwono, 1982).

B. Jenis-jenis Reaksi Pasien Terhadap Frustasi :

Berikut penggolongan jenis-jenis reaksi pasien terhadap frustasi.

1. Menerima kenyataan itu dengan sabar

Misalnya:

Pasien : Baiklah, dok. Barangkali memang sudah demikian nasib saya.


Sekarang, apa yang perlu saya lakukan selanjutnya untuk
mencegah keparahan penyakit saya? (Sarwono, 1982)

2. Bereaksi agresif

Misalnya:

Pasien : Rahang saya akan diangkat dok? Oh ini adalah kesalahan


dokter. Dulu saya sudah minya agar pengobatan saya
dilakukan di luar negeri saja. Tapi dokter mengatakan bahwa
di sini pun dokter dapat melakukannya. Sekarang kalau sudah
begini, apa yang dapat dokter lakukan? (Sarwono, 1982)

3. Penolakan terhadap kenyataan

Misalnya:

Pasien : Tidak mungkin. Tidak mungkin saya akan kehilangan rahang


saya. Setelah diterapi yang terakhir itu mulut saya rasanya
sudah lebih enak tidak sakit lagi untuk menelan, bagaimana
bisa jadi seperti ini? Paman saya ada yang lebih parah
tumornya daripada saya, tetapi dia tidak sampai diangkat
rahangnya. Para dokter bisa menolongnya. (Sarwono, 1982)
4. Regresi

Regresi yaitu memberi reaksi dengan mundur kepada tingkat yang


kekanak-kanakan. Misalnya, menangis keras-keras, menjerit- jerit sambil
menarik-narik rambutnya atau memukul-mukul meja, pingsan, atau
mengeluarkan kata-kata sebagai berikut:
Pasien : …(diam untuk waktu yang lama)… kalau begitu lebih baik saya
berhenti bekerja saja. Tinggal di rumah dan biarlah ibu saya tinggal di
rumah saya untuk merawat saya. Isteri saya dengan begitu bisa tetap
bekerja mencari nafkah. (Sarwono, 1982)

5. Stereotipi

Stereotipi merupakan reaksi berulang-ulang terus.


Misalnya:
Pasien : Sungguh saya tidak kira . . . rahang saya akan diangkat? .
. . sungguh-sungguh di luar dugaan saya . . . Kehilangan rahang! . . .
Bagaimana mungkin? Sungguh tidak saya kira . . . dan seterusnya.
(Sarwono, 1982)
Bagaimanapun juga reaksi pasien terhadap frustasi, dokter tidak boleh
menanggapinya dengan kontra reaksi yang sama emosionalnya. Dokter
harus tetap tenang, tetap menggunakan akal sehat, waaupun tetap harus
dapat menunjukkan simpati pada pasien. Untuk itu dokter sebaiknya
menggunakan cara yang lebih langsung dalam menyampaikan berita
buruk (Sarwono, 1982).

C. Penyampaian Berita Buruk Secara Langsung

Penyampaian berita buruk secara langsung merupakan cara yang


lebih efektif dalam penyampaian berita buruk kepada pasien. Dengan
penyampaian langsung ini, maka jelas dokter berada dalam keadaan ‘siap
mental’ untuk menghadapi frustasi pasien dan selanjutnya dapat
menampung dan meredakan frustasi itu (Sarwono, 1982).
Dalam penyampaian berita buruk secara langsung, ada 3 tahap yang
harus dilalui dokter, yaitu:
1)Tahap 1: penyampaian berita buruk itu sendiri
2)Tahap 2: memperendah tingkat frustasi
3)Tahap 3: mencari pemecahan persoalan (Sarwono, 1982)
Setiap berita buruk tentu akan menimbulkan frustasi, tetapi yang
terpenting adalah mencari jalan keluar dari keadaan yang buruk itu. Untuk
bisa mencari jalan keluar, tingkat frustasi harus direndahkan dulu agar
pasien tidak terlalu emosional.Tugas mencari pemecahan persoalan dan
merendahkan tingkat frustasitermasuk dalam kewajiban dokter juga
(Sarwono, 1982).

1) Tahap 1. Penyampaian berita buruk


Seringkali pasien sudah mempunyai dugaan tentang keadaan yang
buruk itu, hanya saja ia belum merasa pasti. Pasien mempunyai hak untuk
segera bebas dari ketidakpastian ini. Dalam menyampaikan berita buruk
dokter harus memperhatikan hal-hal berikut:
a) Berita buruk langsung disampaikan pada awal percakapan. Dokter
jangan melakukan berbagai aksi menghindar.
b) Dokter harus meyampaikan berita dalam kalimat yang sesingkat
mungkin, tetapi dalam kalimatnya itu dokter juga harus menunjukkan
bahwa ia memperhatikan perasaan pasien.
c) Nada suara dokter harus menunjukkan bahwa dokter ikut menghayati
apa yang diarasakan pasien. (Sarwono, 1982)
Contoh :
Dokter : hasil pemeriksaan kami menunjukkan bahwa terdapat tumor
pada mulut bapak. Tumor ini sudah menggerogoti hampir seluruh
rahang bawah bapak, sehingga terpaksa kami harus mengambil rahang
bawah bapak. Saya mengerti bahwa bapak tentunya sangat sedih.

2) Tahap 2. Penurunan Tingkat Frustasi

Setelah berita buruk disampaikan, dokter harus berusaha menurunkan


frustasi pasien. Untuk itu ada 2 macam cara :
a) Mengucapkan kata-kata simpati.
b) Memberikan informasi kepada pasien bahwa ada hal-hal yang
membuatnya tidak usah terlalu kecewa, misalnya bahwa dokter dapat
menghilangkan tumornya dengan segera dengan cara yang baik dan
tidak sakit, bahwa tumornya belum sampai tingkatan yang parah, dan
sebagainya. Bedanya dari cara penyampaian berita buruk yang
menghindari frustasi adalah bahwa informasi ini disampaikan sesudah
berita buruk, tidak sebelumnya. (Sarwono, 1982)
Mengurangi frustasi sampai tingkat yang paling rendah adalah
sangat penting karena bila tingkat frustasi masih tinggi dokter tidak
akan sampai pada pemecahan persoalan. Kalau frustasi tidak dapat
diturunkan sekaligus, usaha ini sebaiknya ditunda dan dilanjutkan lain
kali (Sarwono, 1982).

3) Tahap 3. Pemecahan Persoalan


Di sini dokter memberikan nasihat-nasihat berupa pilihan-
pilihan yang dapat ditempuh oleh pasien untuk mengatasi persoalan
yang akan dihadapinya sebagai akibat dari keadaannya yang tidak
diharapkan tersebut (Sarwono, 1982).
Contoh :

Pasien : Jadi bagaimana pekerjaan saya kalau saya sampai harus


rawat inap ya Dokter?
Dokter : Saya bisa membuatkan surat untuk atasan Bapak agar Bapak
beroleh izin sekaligus tunjangan sesuai dengan kesehatan
Bapak.
Pasien : Bagaimana dengan penampilan saya nanti apabila tumornya
diangkat?
Dokter : Tidak apa-apa. Seiring waktu nanti akan tampak normal lagi.
Saya bisa menutupi tampilan yang bengkak dengan perban.
Pasien : Bagaimana dengan rasa sakitnya nanti?

Dokter : Tidak apa-apa, saya bisa mengusahakan dengan pemberian


obat anti rasa sakit yang tidak mahal.
Dan seterusnya.

D. Penyampaian Berita Buruk Dengan Metode SPIKES

Metode SPIKES mengacu pada enam tahap dalam penyampaian berita


buruk.
1. SETTING UP the interview
a. Aturlah privasi.
Idealnya, disiapkan ruangan khusus. Penyampaian berita buruk harus
dilakukan pada tempat yang nyaman yangmenyediakan privasi bagi
pasien dan relatif tenang. Ruangan harus cukup luas untuk
menampung para staf atau perawat serta seluruh anggota keluarga
pasien yang mendampingi pasien saat penyampaian berita buruk
(Buckman, 1996; Maynard, 1991). Siapkan tissue untuk berjaga-jaga
apabila pasien menangis (Baile dkk, 2000).
b. Libatkan orang lain.
Kebanyakan pasien biasanya ingin ditemani oleh orang lain. Namun,
orang tersebut haruslah pilihan pasien. Ketika ada anggota keluarga
pasien, mintalah pasien memilih satu atau dua perwakilan keluarga
(Baile dkk, 2000).
c. Duduk.
Posisi duduk akan membuat pasien lebih relaks dan menandakan
bahwa dokter tidak terburu buru. Pemilihan waktu dalam
penyampaian berita buruk sangat penting. Penjadwalan ulang atau
pemilihan waktu lain perlu dilakukan agar dapat menyampaikan
berita buruk kepada pasien pada saat yang tepat. Jika terburu-buru,
dokter dapat dianggap tidak peduli dengan pasien dan proses. Bukti
menunjukkan bahwa dokter mungkin menunda pencairan berita
buruk meskipun pada kenyataannya sebagian besar pasien ingin
mendengarnya (Blanchard dkk, 1988; Hopper dan Fischbach, 1989)
dan beberapa dokter menghindari situasi untuk membicarakan
prognosis (Seale, 1991). Ketika duduk, usahakan tidak ada batas
antara dokter dan pasien. Mengatur koneksi dengan pasien.
Melakukan kontak mata mungkin saja terasa kurang nyaman, namun
ini merupakan cara penting untuk membangun sebuah hubungan.
Memegang lengan atau tangan pasien apabila pasien bersedia juga
merupakan cara mencapainya. Mengelola waktu dan interupsi.
Ketika menyampaikan kabar buruk pada pasien usahakan jangan ada
interupsi. Sebaiknya seorang dokter mengatur telepon genggamnya
dalam keadaan diam (Baile dkk, 2000).

2. Assesing the Patient’s PERCEPTION

Langkah kedua dan ketiga dari SPIKES merupakan interview


yang menerapkan “sebelum berkata, tanyalah”. Sebelum mendiskusikan
hasil medis, dokter menggunakan pertanyaan terbuka untuk
menilai persepsi pasien akan keadaannya. Contohnya, “Sejauh mana
anda tahu mengenai penyakit anda” atau “Apakah anda tahu kenapa
kami melakukan MRI?”. Berdasarkan informasi yang diperoleh, dokter
dapat mengoreksi informasi yang salah dan menyesuaikan kabar buruk
dengan pemahaman pasien. Dari sini juga dapat dilihat apakah pasien
menyangkal suatu penyakit: angan angan ataupun harapan pengobatan
yang tidak realistis (Baile dkk, 2000).

3. Obtaining the patient’s INVITATION

Kebanyakan pasien menginginkan informasi penuh akan


diagnosis, prognosis, hingga detail penyakit yang pasien derita. Namun
beberapa pasien tidak. Penting untuk menanyakan kepada pasien
sedetail apa informasi yang mereka inginkan. Pertanyaan yang bisa
dokter tanyakan misalnya, “Bagaimana anda ingin saya menyampaikan
hasil tes anda? Apakah anda ingin saya menyampaikan semuanya atau
hanya gambaran besar dan kita akan berdiskusi mengenai
perawatannya?” (Baile dkk, 2000).

4. Giving KNOWLEDGE and information to the patient

Memulai percakapan dengan kalimat seperti, “Saya khawatir


bahwa kabar yang saya sampaikan adalah kabar yang kurang baik” atau
“Dengan berat hati saya sampaikan bahwa...” dapat mengurangi syok
pada pasien saat mendengarkan berita buruk. Dalam
menyampaikan hasil medis, terjemahkan istilah medis kedalam Bahasa
Indonesia, misalnya gunakan kata “menyebar” untuk menggantikan
kata “metastasis”. Dokter juga harus menghindari pernyataan yang
berlebihan seperti “Kanker yang anda derita sangat buruk. Meskipun
anda diobati secepatnya, anda akan tetap tidak dapat bertahan”. Berikan
informasi dalam potongan kecil, dan pastikan untuk berhenti
menjelaskan untuk memastikan bahwa pasien paham dengan apa yang
dijelaskan (Baile dkk, 2000).

5. Adressing the patient’s EMOTIONS with emphatic responses


Merespons emosi pasien merupakan salah satu hal sulit dalam
menyampaikan berita buruk. Pasien dapat bereaksi dengan diam,
menangis, menyangkal, hingga marah, Pada situasi seperti ini, seorang
dokter dapat memberi dukungan dan solidaritas dengan memberi
respons empati. Diskusi tidak akan dapat berlanjut selama emosi pasien
masih ada (Baile dkk, 2000).

6. STRATEGY and SUMMARY

Sebelum menentukan rencana perawatan, prnting untuk


menanyakan apakah pasien sudah siap untuk berdiskusi. Buatlah
rencana langkah demi langkah dan berikan penjelasan yang lengkap
kepada pasien mengenai rencana perawatannya. Libatkan pasien dalam
pengambilan keputusan sebagai antisipasi jika terjadi suatu hal yang
tidak diinginkan selama perawatan (Baile dkk, 2000).
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berita buruk merupakan segala informasi yang secara serius dapat


memperburuk pandangan seseorang tentang masa depannya. Komunikasi
dokter gigi-pasien dalam penyampaian berita buruk sangat penting untuk
dipelajari. Berita buruk dapat disampaikan melalui dua metode yaitu
metode tidak langsung dan metode langsung. Beberapa contoh metode
tidak langsung antara lain menunda penyampaian berita buruk sampai saat
yang dianggap tepat, membiarkan pasien menyimpulkan sendiri,
membungkus berita buruk, dan banyak memberi alasan. Metode langsung
memiliki keunggulan dibandingkan metode tidak langsung yaitu lebih
efektif dan dokter siap mental. Penyampaian berita buruk juga dapat
dilakukan dengan metode SPIKES. Komunikasi atau penyampaian berita
buruk yang tepat akan menghasilkan pemahaman yang baik pada pasien
sehingga akan menentukan keberlanjutan terapi dan kesembuhan pasien.
DAFTAR PUSTAKA

“teknik penyampaian berita buruk” di akses pada 27 Maret 2018 dari


http://menyampaikanberitaburuk.blogspot.co.id/2012/12/menyampaikan-
berita-buruk.html.

“penyampaian berita buruk yang efektif” di akses pada 27 Maret 2018 dari
http://amirmukhlis06.blogspot.co.id/2014/11/penyampaian-berita-buruk-
yang-efektif.html.

“tahap-tahap menyampaiakn berita buruk” di akses pada 28 Maret 2018 dari


http://leksbook.blogspot.co.id/2014/03/tahap-tahap-saat-meyampaikan-
berita_12.html.

“menyampaikan berita buruk” di akses pada 28 Maret 2018 dari


https://www.scribd.com/document/111664613/Menyampaikan-berita-buruk.

Anda mungkin juga menyukai