Disusun Oleh
Kelompok 8
Puji syukur kehadiran Allah SWT. karena atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik,
dan Hidayah-Nya makalah ini dapat tersusun. Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan
kepada sang uswatun hasanah Nabi Muhammad SAW. Penyusunan makalah ini dibuat guna
memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Kesehatan Jiwa yang diampuh oleh Ns. Yuniar M.
Soeli, M.Kep, Sp. Kep. J. Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah wawasan,
pengetahuan, dan pengalaman bagi para pembaca, khususnya dapat dijadikan sebagai acuan dan
petunjuk bagi kami para mahasiswa Universitas Gorontalo.
Akhir kata kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
terlibat dalam penyusunan makalah ini baik secara materi maupun non-materi.
Makalah ini masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki sangat
kurang. Oleh karena itu kami memerlukan masukan yang bersifat membangun dari
para dosen, teman mahasiswa yang lain, dan seluruh pembaca makalah ini guna
penyempurnaan.
Kelompok 8
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Komunikasi merupakan suatu percakapan yang dilakukan dengan maksud dan tujuan
tertentu. Maksud dan tujuan komunikasi yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien adalah
untuk membantu pasien agar dapat mengurangi penderitaan pasien serta membantunya
untuk sembuh dari penyakitnya. Kesembuhan biasanya didapatkan dari khasiat obat-obatan
dan fungsi komunikasi atau wawancara hanya sebagai pendukung untuk menegakkan
diagnosis dan menentukan terapi yang tepat. Tetapi tidak jarang komunikasi itu sendiri juga
merupakan terapi.
Karena komunikasi penting sekali artinya dalam hubungan dokter-pasien, maka
seyogyanya para dokter menguasai teknik dan seni berkomunikasi yang baik. Untuk itu
dokter perlu mengetahui jenis-jenis komunikasi atau wawancara yang biasa terdapat antara
dokter atau dokter gigi dan pasien, antara lain wawancara biasa yang terdiri dari
wawancara bebas dan terarah, percakapan bimbingan dan konseling, dan penyampaian
berita buruk.
Berita buruk dapat didefinisikan sebagai segala informasi yang secara serius dapat
memperburuk pandangan seseorang tentang masa depannya. Penyampaian berita buruk
adalah suatu hal yang sering harus dilakukan dokter maupun dokter gigi, misalnya pada
waktu dokter harus menyampaikan berita kematian, menyampaikan diagnosis suatu
penyakit dengan prognosis yang tidak baik, atau menyampaikan rencana terapi yang
mengandung resiko yang tinggi. Dalam hubungan ini setiap dokter akan mengetahui bahwa
penyampaian berita buruk selalu akan menimbulkan frustasi pada pihak pasien.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah definisi berita buruk?
2. Bagaimana teknik menyampaikan berita buruk pada pasien?
3. Bagaimana prinsip komunikasi pada pasien
C. TUJUAN
1. Mengetahui apa yang di maksud dengan berita buruk
2. Mengetahui bagaimana teknik menyampaikan berita buruk
3. Mengetahui bagaimana prinsip komunikasi pada pasien
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI BERITA BURUK
Berita buruk secara medis didefinisikan sebagai informasi yang menciptakan
pandangan buruk bagi kesehatan seseorang. Berita buruk tersebut dapat menimbulkan
perasaan tanpa harapan pada pasien, ancaman terhadap kesehatan mental dan fisik pasien,
atau resiko mengganggu atau mengacaukan gaya hidup atau keseharian pasien (Wright
dkk, 2013). Menurut Baile dkk (2000), berita buruk dapat didefinisikan sebagai segala
informasi yang secara serius dapat memperburuk pandangan seseorang tentang masa
depannya. Sedangkan menurut Aitini & Aleotti (2006) Kabar buruk adalah
pengalaman tidak nyaman untuk pemberi dan penerima berita.
B. MODEL KOMUNIKASI "COMFORT"
Model komunikasi menggunakan "COMFORT" yang merupakan akronim ini
dikembangkan dari evidence based penelitian yang berbasis pada rumah perawatan
paliatif. Berfokus pada pasien, keluarga, dan anggota tim kesehatan metode ini digunakan
untuk menciptakan lingkungan kolaboratif perawatan terpadu bagi pasien mulai dari awal
diagnosis sampai menjelang ajal. Dalam narasi praktek klinis, komunikasi ditujukan
untuk mendorong komunikasi yang bertujuan untuk bertukar informasi antara perawat
dengan pasien. Perawat didorong untuk berkomunikasi dengan tetap menghormati
pengalaman hidup pasien dan keluarga dan mempertimbangkan perbedaan yang muncul
dari kehidupan pasien dan kondisi dimana informasi diberikan (Rosser, M & Walsh,
2014). Tujuan "COMFORT" adalah untuk membantu perawat memulai percakapan
tentang kualitas hidup dan kekhawatiran pasien menjelang ajal. Ini memastikan bahwa
perawatan paliatif diimplementasikan selama proses perawatan pasien dan konsep inti
perawatan paliatif diintegrasikan ke dalam pengobatan. Setiap dari tujuh modul dirancang
untuk menyoroti teori komunikasi dan pengembangan kterampilan, seperti yang
dijelaskan di bawah ini:
1) C (communicate): berkomunikasi
Komunikasi dalam hal ini mendorong perawat untuk hadir dan mendengar cerita
pasien daripada berfokus pada daftar tugas yang harus diselesaikan. Pendekatan yang
perlu dilakukan adalah memperluas cakupan perawatan dari aspek biologis dan
menambahkan masalah psikososial dan kehilangan pasien/keluarga. Perawat diajarkan
untuk memperoleh cerita dari pasien dan keluarga dan mengenali komunikasi harapan
pasien dan keluarga.
2) (orientation and opportunity): orientasi dan kesempatan
Kerangka COMFORT didasarkan pada model transaksional komunikasi,
menganjurkan bahwa perawat harus menyesuaikan gaya komunikasi untuk memenuhi
kebutuhan pasien dan keluarga. Komunikasi ini harus fokus pada orientasi pasien
tantang penyakit dan pilihan untuk perawatan dengan cara yang dapat dimengerti dan
memberikan pemahaman terhadap upaya pengobatan dan perawatan untuk pasien dan
keluarga. Mengakomodasi pasien dan keluarga adalah pilihan sadar. Sebuah ide yang
disebut konvergensi ditekankan.
3) M (Mindfull presence): kehadiran perhatian yang penuh
Perhatian dan kehadiran adalah dua perilaku nonverbal yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang dapat ditunjukkan pada pasien/keluarga ketika perilaku verbal
diperlukan terbatas (mungkin karena penyakit atau perbedaan budaya). Ini melibatkan
keterampilan mendengarkan aktif dan menyimak. Mendengarkan sama pentingnya
dengan berbicara. Sementara mendengar (hearing) adalah murni fisiologis dan tidak
memerlukan usaha apa pun, mendengarkan (listening) membutuhkan usaha dan
keterampilan untuk menghadiri, menerima, memahami, mengatur dan menafsirkan,
dan menanggapi pesan. Hal ini dapat dicapai dengan empati, terlibat dalam
mendengarkan secara aktif, mengakui budaya keragaman, dan menggunakan
komunikasi nonverbal yang mendukung.
4) Family (keluarga)
Memahami kondisi keluarga akan membantu perawat dalam menentukan beban
dan penargetan intervensi yang tepat untuk caregiver. Kerangka COMFORT
mempertimbangkan komunikasi pola pasien dan keluarga, terdiri dari percakapan
keluarga dan kesesuaian keluarga.
Pola percakapan keluarga melibatkan aturan yang mengatur topik yang sesuai
untuk percakapan keluarga, menentukan apakah anggota keluarga berbicara secara
terbuka tentang kematian, sekarat, penyakit dan seberapa sering mereka berbicara satu
sama lain. Pola konformitas keluarga diarahkan oleh hierarki yang mapan dalam
struktur keluarga dan sering didefinisikan oleh seorang patriarki atau matriarki.
Peran hierarkis dalam keluarga seringkali ditekankan pada percakapan dan
pengungkapan. Memperhatikan peran percakapan dan kesesuaian dapat
memungkinkan tim untuk merawat keluarga dengan sebaik-baiknya melintasi bagian
jalan yang paling kasar dalam keadaan sakit. Melihat keluarga sebagai suatu sistem
membantu dalam mengenali komunikasi keluarga yang dapat diprediksi pola dan
memungkinkan perawat untuk merespon dan menyesuaikan komunikasi dengan
berbagai kebutuhan pengasuh keluarga.
5) O (openings)
Saat-saat tersulit dalam latihan terkadang dapat memberikan alasan untuk tidak
melibatkan pasien dan keluarga tentang transisi dalam perawatan atau bahkan
berbicara tentang hal yang paling sensitif seperti kematian, seksualitas, dan
spiritualitas. Dibutuhkan waktu yang tepat dan sesuai untuk mendiskusikan hal-hal
penting diatas.
6) R (relating)
Ketika menanggapi kebutuhan pasien dan keluarga, perawat mungkin mengenali
bahwa pernyataan memiliki banyak arti dan tujuan. Latihan komunikasi untuk
memahami multi tafsir dari kalimat pasien bertujuan untuk lebih mendukung
perawatan pasien. Perawat bisa menafsirkan beberapa makna antara pasien dan
keluarga, mengeksplorasi dan menggali pernyataan yang lebih jujur dan kompleks.
7) T (team)
Model kolaborasi interdisipliner membantu kebutuhan perawat untuk
menggunakan keterampilan hubungan interpersonal sehingga dapat memfasilitasi
anggota tim membangun rasa saling menghormati dan kepercayaan guna mengatasi
masalah psikososial yang ditemukan.
Jika semua stress menumpuk, pasien akan banyak menghadapi masalah. Hal
ini dapat melampaui kemampuan dirinya dalam menangani stress. Dokter
seharusnya sadar akan segala kemungkinan dan siap membantu serta menolong
pasiennya. Khususnya bila informasi yang disampaikan dapat meningkatkan
kecemasan, menghilangkan harapan, menimbulkan keinginan untuk bunuh diri,
atau timbulya gejala psikopatologik lain. Dalam menentukan suatu penyakit yang
kronis dan kecacatan, informasi harus diberikan secara perlahan. Pemberian
informasi dapat dimulai dari awal dugaan penyakit sampai diagnosis akhir
ditegakkan. Adanya keinginan pasien untuk mengetahui penyakitnya merupakan
kesempatan baik bagi dokter untuk menyampaikan keadaan yang mungkin terjadi
dan risikonya di kemudian hari (Sukardi dkk, 2007).
6. Penyampaian pada pasien mengenai penyakit kanker/tumor ganas
Penyakit kanker merupakan penyakit yang sering ditanggapi dengan cara
yang tidak realistis. Pasien sering dijauhi oleh masyarakat dan seolah-olah
kematiannya sudah dekat. Kanker sebagai suatu penyakit yang fatal membuat dan
mendorong keadaan kurangnya perhatian untuk mendapatkan pengobatan.
Ketakutan masyarakat terhadap penyakit kanker memberikan beban tersendiri
pada penderitaan pasien, disamping dari akibat proses kanker itu sendiri. Oleh
karena itu, sebelum diagnosis kanker disampaikan, tim dokter harus benar-benar
sudah yakin (Sukardi dkk, 2007).
Penyampaian berita buruk adalah suatu hal yang sering harus dilakukan dokter
maupun dokter gigi, misalnya pada waktu dokter harus menyampaikan berita kematian,
menyampaikan diagnosis suatu penyakit dengan prognosis yang tidak baik, atau
menyampaikan rencana terapi yang mengandung resiko yang tinggi. Dalam hubungan
ini setiap dokter akan mengetahui bahwa penyampaian berita buruk selalu akan
menimbulkan frustasi pada pihak pasien (Sarwono, 1982).
Hampir setiap dokter akan berusaha mengurangi reaksi frustasi pasien. Usaha ini
wajar sepanjang dokter tidak memalsukan informasi (berbohong kepada pasien) tetapi
sesungguhnya kurang baik, karena dokter justru memberi peluang bagi bertambah
besarnya frustasi pasien (Sarwono, 1982).
Usaha mengurangi frustasi pasien dalam penyampaian barita buruk ini biasa
dilakukan dengan beberapa cara yang kurang benar. Untuk jelasnya, berikut diberikan
contoh seorang dokter gigi yang harus menyampaikan berita bahwa pasiennya menderita
penyakit kanker mulut. Pada pasien didapatkan bisul yang menyakitkan di mulut,
dimana sudah tak sembuh-sembuh dalam waktu 14 hari, suara jadi serak
berkepanjangan, dan mengalami kesulitan untuk mengunyah, menelan, dan bahkan
berbicara, serta terdapat bercak putih pada mulut (Nawawi, 2013).
a) Penyampaian berita buruk yang kurang tepat itu antara lain sebagai berikut:
Menunda penyampaian berita buruk sampai saat yang dianggap tepat
Dalam cara ini dokter tidak secara terbuka menyampaikan berita buruk itu,
akan tetapi pasien diharapkan menyimpulkan nasibnya sendiri. Dokter dalam cara
ini hanya memberikan pertanyaan sambil “mengiringi” pasien ke arah kesimpulan
yang akan dibuatnya (Sarwono, 1982).
Berikut diberikan contoh :
D: sejak kapan awal sariawan ini muncul pak?
P: sejak dua minggu lalu, dok.
D: apakah sudah bapak beri pengobatan?
P: sudah, dok.
D: bagaimana efek dari obat tersebut pak?
P: tidak ada, dok. Sampai saat ini sariawan itu tidak hilang dok. Justru saat ini
pada waktu mengunyah dan menelah sedikit sulit dok.
D: pak, setelah kami lakukan pemeriksaan kembali, ternyata terjadi perbesaran
ulkus dan bercak putih di dalam rongga mulut bapak. Dan warna mukosa rongga
mulut bapak juga pucat.
P: jadi apakah saya ini kena kanker mulut dok ?
Teknik ini hanya dapat dilakukan pada pasien-pasien yang mempunyai
pendidikan atau kecerdasan yang cukup untuk membuat kesimpulan sendiri.
Akan tetapi biasanya pasien tidak sabar dan malahan bertambah jengkel karena
ditanya-tanya terus padahal ia sudah dalam keadaan sangat khawatir terhadap
kesehatannya. Pasien bisa sampai kepada kesimpulan bahwa dokter mau
melepaskan diri dari tangung jawabnya memberi tahu pasien tentang berita
buruk itu (Sarwono, 1982).
Membungkus berita buruk
Dalam cara ini dokter “membungkus” berita buruk itu dengan kata-kata,
sedemikian rupa sehingga kedengarannya berita buruk itu lebih baik dari keadaan
yang sebenarnya (Sarwono, 1982).
Berikut diberikan contoh :
Dokter : Saya khawatir bahwa bapak akan kehilangan sebagian dari lidah bapak
saat operasi nanti. Akan tetapi, bapak jangan khawatir, kita akan bekerjasama
dengan pihak bedah plastik rumah sakit untuk membuat lidah buatan untuk
bapak.
Paisen : Lalu apakah saya tetap dapat berbicara dok?
Dosen : Kemungkinan akan ada kesulitan dalam berbicara, tapi dengan bantuan
speech terapy, bapak masih ada harapan untuk dapat berbicara lagi.
Pasien : Kira-kira berapa lama sampai saya bisa bicara lagi dok?
Dokter : Waktunya bervariasi untuk setiap orang. Tapi ada pasien yang dapat
berbicara kembali dengan jelas dalam waktu 8 minggu saja.
Kelemahan dari cara ini adalah bahwa tidak semua pasien bisa menerima
kenyataan-kenyataan yang dibungkus seperti itu.Beberapa pasien malah akan
bertambah frustasi karena ia tahu bahwa keadaan yang sebenarnya tidaklah
sebaik yang disampaikan dokter. Pasien bisa beranggapan bahwa dokter
membohonginya (Sarwono, 1982).
Banyak memberi alasan
2. Bereaksi agresif
Misalnya :
Pasien :Rahang saya akan diangkat dok? Oh ini adalah kesalahan dokter. Dulu
saya sudah minya agar pengobatan saya dilakukan di luar negeri saja. Tapi dokter
mengatakan bahwa di sini pun dokter dapat melakukannya. Sekarang kalau sudah
begini, apa yang dapat dokter lakukan? (Sarwono, 1982)
3. Penolakan terhadap kenyataan
Misalnya :
Pasien : Tidak mungkin. Tidak mungkin saya akan kehilangan rahang saya.
Setelah diterapi yang terakhir itu mulut saya rasanya sudah lebih enak tidak sakit
lagi untuk menelan, bagaimana bisa jadi seperti ini? Paman saya ada yang lebih
parah tumornya daripada saya, tetapi dia tidak sampai diangkat rahangnya. Para
dokter bisa menolongnya. (Sarwono, 1982)
4. Regresi
Regresi yaitu memberi reaksi dengan mundur kepada tingkat yang kekanak-
kanakan. Misalnya, menangis keras-keras, menjerit-jerit sambil menarik-narik
rambutnya atau memukul-mukul meja, pingsan, atau mengeluarkan kata-kata
sebagai berikut :
Pasien : …(diam untuk waktu yang lama)… kalau begitu lebih baik saya
berhenti bekerja saja. Tinggal di rumah dan biarlah ibu saya tinggal di rumah
saya untuk merawat saya. Isteri saya dengan begitu bisa tetap bekerja mencari
nafkah. (Sarwono, 1982)
5. Stereotipi
Stereotipi merupakan reaksi berulang-ulang terus.
Misalnya:
Pasien :Sungguh saya tidak kira . . . rahang saya akan diangkat? . . . sungguh-
sungguh di luar dugaan saya . . . Kehilangan rahang! . . . Bagaimana mungkin?
Sungguh tidak saya kira . . . dan seterusnya. (Sarwono, 1982)
Penyampaian berita buruk secara langsung merupakan cara yang lebih efektif
dalam penyampaian berita buruk kepada pasien. Dengan penyampaian langsung ini,
maka jelas dokter berada dalam keadaan ‘siap mental’ untuk menghadapi frustasi pasien
dan selanjutnya dapat menampung dan meredakan frustasi itu (Sarwono, 1982).
Dalam penyampaian berita buruk secara langsung, ada 3 tahap yang harus dilalui
dokter, yaitu:
1) Tahap 1: penyampaian berita buruk itu sendiri
2) Tahap 2: memperendah tingkat frustasi
3) Tahap 3: mencari pemecahan persoalan (Sarwono, 1982)
Setiap berita buruk tentu akan menimbulkan frustasi, tetapi yang terpenting
adalah mencari jalan keluar dari keadaan yang buruk itu. Untuk bisa mencari jalan
keluar, tingkat frustasi harus direndahkan dulu agar pasien tidak terlalu emosional.Tugas
mencari pemecahan persoalan dan merendahkan tingkat frustasitermasuk dalam
kewajiban dokter juga (Sarwono, 1982).
1) Tahap 1. Penyampaian berita buruk
Seringkali pasien sudah mempunyai dugaan tentang keadaan yang buruk itu,
hanya saja ia belum merasa pasti. Pasien mempunyai hak untuk segera bebas dari
ketidakpastian ini. Dalam menyampaikan berita buruk dokter harus memperhatikan
hal-hal berikut:
a) Berita buruk langsung disampaikan pada awal percakapan. Dokter jangan
melakukan berbagai aksi menghindar.
b) Dokter harus meyampaikan berita dalam kalimat yang sesingkat mungkin,
tetapi dalam kalimatnya itu dokter juga harus menunjukkan bahwa ia
memperhatikan perasaan pasien.
c) Nada suara dokter harus menunjukkan bahwa dokter ikut menghayati apa yang
diarasakan pasien. (Sarwono, 1982)
Contoh :
Dokter : hasil pemeriksaan kami menunjukkan bahwa terdapat tumor pada
mulut bapak. Tumor ini sudah menggerogoti hampir seluruh rahang bawah
bapak, sehingga terpaksa kami harus mengambil rahang bawah bapak. Saya
mengerti bahwa bapak tentunya sangat sedih.
2) Tahap 2. Penurunan Tingkat Frustasi
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berita buruk merupakan segala informasi yang secara serius dapat memperburuk
pandangan seseorang tentang masa depannya. Komunikasi dokter gigi-pasien dalam
penyampaian berita buruk sangat penting untuk dipelajari. Berita buruk dapat disampaikan
melalui dua metode yaitu metode tidak langsung dan metode langsung. Beberapa contoh
metode tidak langsung antara lain menunda penyampaian berita buruk sampai saat yang
dianggap tepat, membiarkan pasien menyimpulkan sendiri, membungkus berita buruk, dan
banyak memberi alasan. Metode langsung memiliki keunggulan dibandingkan metode
tidak langsung yaitu lebih efektif dan dokter siap mental. Penyampaian berita buruk juga
dapat dilakukan dengan metode SPIKES. Komunikasi atau penyampaian berita buruk yang
tepat akan menghasilkan pemahaman yang baik pada pasien sehingga akan menentukan
keberlanjutan terapi dan kesembuhan pasien.
Saran
1. Diharapkan mahasiswa benar-benar mampu memahami tentang teknik penyampaian
berita buruk dan prinsip komunikasi pada pasien paliatif
2. Untuk institusi pendidikan hendaknya lebih melengkapi literatur yang berkaitan dengan
teknik penyampaian berita buruk dan prinsip komunikasi pada pasien paliatif
DAFTAR PUSTAKA
Novita Verayanti Manaliu, dkk. (2022). Keperawatan Paliatif (Konsep dan Penerapan).
Bandung : Media Sains Indonesia
“Penyampaian Berita Buruk Yang Efektif” di akses pada 25 Maret 2023 dari
http://amirmukhlis06.blogspot.co.id/2014/11/penyampaian-berita-buruk-yang-
efektif.html.