Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

“ TEKNIK MENYAMPAIKAN BERITA BURUK DAN PRINSIP KOMUNIKASI PADA


PASIEN DAN KELUARGA DALAM PERAWATAN PALIATIF ”

Disusun Oleh
Kelompok 8

Yusril D. Latinapa 841422181


Ilyas M. Ali 841422187
Alvindra H. Sigali 841422172
Zihan Madjham 841422182
Saskia Fazysmawanti Alulu 841422184

Mata Kuliah : Keperawatan Kesehatan Jiwa


Dosen Pengampuh : Ns. Yuniar M. Soeli, M.Kep, Sp. Kep. J

PROGRAM STUDI ILMU S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2023
Kata Pengantar

Puji syukur kehadiran Allah SWT. karena atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik,
dan Hidayah-Nya makalah ini dapat tersusun. Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan
kepada sang uswatun hasanah Nabi Muhammad SAW. Penyusunan makalah ini dibuat guna
memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Kesehatan Jiwa yang diampuh oleh Ns. Yuniar M.
Soeli, M.Kep, Sp. Kep. J. Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah wawasan,
pengetahuan, dan pengalaman bagi para pembaca, khususnya dapat dijadikan sebagai acuan dan
petunjuk bagi kami para mahasiswa Universitas Gorontalo.

Akhir kata kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
terlibat dalam penyusunan makalah ini baik secara materi maupun non-materi.
Makalah ini masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki sangat
kurang. Oleh karena itu kami memerlukan masukan yang bersifat membangun dari
para dosen, teman mahasiswa yang lain, dan seluruh pembaca makalah ini guna
penyempurnaan.

Gorontalo, Maret 2023

Kelompok 8
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Komunikasi merupakan suatu percakapan yang dilakukan dengan maksud dan tujuan
tertentu. Maksud dan tujuan komunikasi yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien adalah
untuk membantu pasien agar dapat mengurangi penderitaan pasien serta membantunya
untuk sembuh dari penyakitnya. Kesembuhan biasanya didapatkan dari khasiat obat-obatan
dan fungsi komunikasi atau wawancara hanya sebagai pendukung untuk menegakkan
diagnosis dan menentukan terapi yang tepat. Tetapi tidak jarang komunikasi itu sendiri juga
merupakan terapi.
Karena komunikasi penting sekali artinya dalam hubungan dokter-pasien, maka
seyogyanya para dokter menguasai teknik dan seni berkomunikasi yang baik. Untuk itu
dokter perlu mengetahui jenis-jenis komunikasi atau wawancara yang biasa terdapat antara
dokter atau dokter gigi dan pasien, antara lain wawancara biasa yang terdiri dari
wawancara bebas dan terarah, percakapan bimbingan dan konseling, dan penyampaian
berita buruk.
Berita buruk dapat didefinisikan sebagai segala informasi yang secara serius dapat
memperburuk pandangan seseorang tentang masa depannya. Penyampaian berita buruk
adalah suatu hal yang sering harus dilakukan dokter maupun dokter gigi, misalnya pada
waktu dokter harus menyampaikan berita kematian, menyampaikan diagnosis suatu
penyakit dengan prognosis yang tidak baik, atau menyampaikan rencana terapi yang
mengandung resiko yang tinggi. Dalam hubungan ini setiap dokter akan mengetahui bahwa
penyampaian berita buruk selalu akan menimbulkan frustasi pada pihak pasien.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah definisi berita buruk?
2. Bagaimana teknik menyampaikan berita buruk pada pasien?
3. Bagaimana prinsip komunikasi pada pasien
C. TUJUAN
1. Mengetahui apa yang di maksud dengan berita buruk
2. Mengetahui bagaimana teknik menyampaikan berita buruk
3. Mengetahui bagaimana prinsip komunikasi pada pasien
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI BERITA BURUK
Berita buruk secara medis didefinisikan sebagai informasi yang menciptakan
pandangan buruk bagi kesehatan seseorang. Berita buruk tersebut dapat menimbulkan
perasaan tanpa harapan pada pasien, ancaman terhadap kesehatan mental dan fisik pasien,
atau resiko mengganggu atau mengacaukan gaya hidup atau keseharian pasien (Wright
dkk, 2013). Menurut Baile dkk (2000), berita buruk dapat didefinisikan sebagai segala
informasi yang secara serius dapat memperburuk pandangan seseorang tentang masa
depannya. Sedangkan menurut Aitini & Aleotti (2006) Kabar buruk adalah
pengalaman tidak nyaman untuk pemberi dan penerima berita.
B. MODEL KOMUNIKASI "COMFORT"
Model komunikasi menggunakan "COMFORT" yang merupakan akronim ini
dikembangkan dari evidence based penelitian yang berbasis pada rumah perawatan
paliatif. Berfokus pada pasien, keluarga, dan anggota tim kesehatan metode ini digunakan
untuk menciptakan lingkungan kolaboratif perawatan terpadu bagi pasien mulai dari awal
diagnosis sampai menjelang ajal. Dalam narasi praktek klinis, komunikasi ditujukan
untuk mendorong komunikasi yang bertujuan untuk bertukar informasi antara perawat
dengan pasien. Perawat didorong untuk berkomunikasi dengan tetap menghormati
pengalaman hidup pasien dan keluarga dan mempertimbangkan perbedaan yang muncul
dari kehidupan pasien dan kondisi dimana informasi diberikan (Rosser, M & Walsh,
2014). Tujuan "COMFORT" adalah untuk membantu perawat memulai percakapan
tentang kualitas hidup dan kekhawatiran pasien menjelang ajal. Ini memastikan bahwa
perawatan paliatif diimplementasikan selama proses perawatan pasien dan konsep inti
perawatan paliatif diintegrasikan ke dalam pengobatan. Setiap dari tujuh modul dirancang
untuk menyoroti teori komunikasi dan pengembangan kterampilan, seperti yang
dijelaskan di bawah ini:
1) C (communicate): berkomunikasi
Komunikasi dalam hal ini mendorong perawat untuk hadir dan mendengar cerita
pasien daripada berfokus pada daftar tugas yang harus diselesaikan. Pendekatan yang
perlu dilakukan adalah memperluas cakupan perawatan dari aspek biologis dan
menambahkan masalah psikososial dan kehilangan pasien/keluarga. Perawat diajarkan
untuk memperoleh cerita dari pasien dan keluarga dan mengenali komunikasi harapan
pasien dan keluarga.
2) (orientation and opportunity): orientasi dan kesempatan
Kerangka COMFORT didasarkan pada model transaksional komunikasi,
menganjurkan bahwa perawat harus menyesuaikan gaya komunikasi untuk memenuhi
kebutuhan pasien dan keluarga. Komunikasi ini harus fokus pada orientasi pasien
tantang penyakit dan pilihan untuk perawatan dengan cara yang dapat dimengerti dan
memberikan pemahaman terhadap upaya pengobatan dan perawatan untuk pasien dan
keluarga. Mengakomodasi pasien dan keluarga adalah pilihan sadar. Sebuah ide yang
disebut konvergensi ditekankan.
3) M (Mindfull presence): kehadiran perhatian yang penuh
Perhatian dan kehadiran adalah dua perilaku nonverbal yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang dapat ditunjukkan pada pasien/keluarga ketika perilaku verbal
diperlukan terbatas (mungkin karena penyakit atau perbedaan budaya). Ini melibatkan
keterampilan mendengarkan aktif dan menyimak. Mendengarkan sama pentingnya
dengan berbicara. Sementara mendengar (hearing) adalah murni fisiologis dan tidak
memerlukan usaha apa pun, mendengarkan (listening) membutuhkan usaha dan
keterampilan untuk menghadiri, menerima, memahami, mengatur dan menafsirkan,
dan menanggapi pesan. Hal ini dapat dicapai dengan empati, terlibat dalam
mendengarkan secara aktif, mengakui budaya keragaman, dan menggunakan
komunikasi nonverbal yang mendukung.
4) Family (keluarga)
Memahami kondisi keluarga akan membantu perawat dalam menentukan beban
dan penargetan intervensi yang tepat untuk caregiver. Kerangka COMFORT
mempertimbangkan komunikasi pola pasien dan keluarga, terdiri dari percakapan
keluarga dan kesesuaian keluarga.
Pola percakapan keluarga melibatkan aturan yang mengatur topik yang sesuai
untuk percakapan keluarga, menentukan apakah anggota keluarga berbicara secara
terbuka tentang kematian, sekarat, penyakit dan seberapa sering mereka berbicara satu
sama lain. Pola konformitas keluarga diarahkan oleh hierarki yang mapan dalam
struktur keluarga dan sering didefinisikan oleh seorang patriarki atau matriarki.
Peran hierarkis dalam keluarga seringkali ditekankan pada percakapan dan
pengungkapan. Memperhatikan peran percakapan dan kesesuaian dapat
memungkinkan tim untuk merawat keluarga dengan sebaik-baiknya melintasi bagian
jalan yang paling kasar dalam keadaan sakit. Melihat keluarga sebagai suatu sistem
membantu dalam mengenali komunikasi keluarga yang dapat diprediksi pola dan
memungkinkan perawat untuk merespon dan menyesuaikan komunikasi dengan
berbagai kebutuhan pengasuh keluarga.
5) O (openings)
Saat-saat tersulit dalam latihan terkadang dapat memberikan alasan untuk tidak
melibatkan pasien dan keluarga tentang transisi dalam perawatan atau bahkan
berbicara tentang hal yang paling sensitif seperti kematian, seksualitas, dan
spiritualitas. Dibutuhkan waktu yang tepat dan sesuai untuk mendiskusikan hal-hal
penting diatas.
6) R (relating)
Ketika menanggapi kebutuhan pasien dan keluarga, perawat mungkin mengenali
bahwa pernyataan memiliki banyak arti dan tujuan. Latihan komunikasi untuk
memahami multi tafsir dari kalimat pasien bertujuan untuk lebih mendukung
perawatan pasien. Perawat bisa menafsirkan beberapa makna antara pasien dan
keluarga, mengeksplorasi dan menggali pernyataan yang lebih jujur dan kompleks.
7) T (team)
Model kolaborasi interdisipliner membantu kebutuhan perawat untuk
menggunakan keterampilan hubungan interpersonal sehingga dapat memfasilitasi
anggota tim membangun rasa saling menghormati dan kepercayaan guna mengatasi
masalah psikososial yang ditemukan.

C. TUJUAN PENYAMPAIAN BERITA BURUK


1. Merupakan pekerjaan yang akan sering dilakukan namun membuat stress

Selama karirnya, seorang dokter akan mengalami keadaan dimana ia harus


menyampaikan informasi buruk kepada pasien atau keluarganya. Penyampaian
berita buruk akan menjadi sangat menegangkan ketika seorang dokter kurang
berpengalaman, sedang menghadapi pasien yang masih muda, dan ketika prospek
keberhasilan pengobatan minim (Baile dkk, 2000).
2. Pasien menginginkan kebenaran

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa 96% orang berharap diberi tahu


ketika ia menderita kanker dan 85% berharap mendapat informasi mengenai
perkiraan umur mereka (Baile dkk, 2000).
3. Prinsip hukum dan etik

Di Amerika Utara, prinsip informed consent, otonomi pasien, dan hukum


telah menciptakan kewajiban etika dan hukum yang jelas untuk memberikan
informasi sebanyak yang pasien inginkan tentang penyakit mereka dan
pengobatannya. Dokter tidak mungkin menahan informasi medis bahkan jika
mereka tahu itu akan memiliki efek negatif pada pasien (Baile dkk, 2000).
4. Hasil pemeriksaan klinis

Bagaimana cara penyampaian kabar buruk dapat mengubah pemahaman


pasien akan informasi, kepuasan perawatan, tingkat harapan, dan psikologi pasien.
Banyak pasien mengharapkan informasi yang akurat untuk membantu mereka
menentukan pilihan (Baile dkk, 2000).
Masalah muncul bila dokter harus berhadapan dengan keadaan khusus atau
kepribadian pasien yang berbeda-beda. Contohnya, penyakit yang dipengaruhi oleh
faktor psikososial. Keadaan lainnya adalah pasien yang berpenyakit kronis,
menderita cacat, dan pada pasien kanker. Permasalahan yang sebenarnya muncul
ketika kita harus menyampaikan prognosis penyakit dan berapa lama pasien itu
dapat bertahan hidup (Sukardi dkk, 2007).
5. Penyampaian pada pasien mengenai kecacatan/penyakit kronis
Pada penyakit kronis atau penyakit yang disertai dengan kecacatan yang berat,
sebaiknya dokter memberitahukan kenyataan atau fakta yang ada. Terutama cara
adaptasi yang cepat dan tepat terhadap perubahan hidupnya. Pasien penyakit kronis
seharusnya menerima kenyataan agar mereka lebih cepat untuk menyesuaikan diri
dengan keadaannya. Kecemasan dan rasa takut yang berlebihan tidak saja
ditimbulkan dari penyakit yang diderita, tetapi juga dari tekanan masyarakat yang
sering memberikan simbol tertentu pada penyakitnya (Sukardi dkk, 2007).

Jika semua stress menumpuk, pasien akan banyak menghadapi masalah. Hal
ini dapat melampaui kemampuan dirinya dalam menangani stress. Dokter
seharusnya sadar akan segala kemungkinan dan siap membantu serta menolong
pasiennya. Khususnya bila informasi yang disampaikan dapat meningkatkan
kecemasan, menghilangkan harapan, menimbulkan keinginan untuk bunuh diri,
atau timbulya gejala psikopatologik lain. Dalam menentukan suatu penyakit yang
kronis dan kecacatan, informasi harus diberikan secara perlahan. Pemberian
informasi dapat dimulai dari awal dugaan penyakit sampai diagnosis akhir
ditegakkan. Adanya keinginan pasien untuk mengetahui penyakitnya merupakan
kesempatan baik bagi dokter untuk menyampaikan keadaan yang mungkin terjadi
dan risikonya di kemudian hari (Sukardi dkk, 2007).
6. Penyampaian pada pasien mengenai penyakit kanker/tumor ganas
Penyakit kanker merupakan penyakit yang sering ditanggapi dengan cara
yang tidak realistis. Pasien sering dijauhi oleh masyarakat dan seolah-olah
kematiannya sudah dekat. Kanker sebagai suatu penyakit yang fatal membuat dan
mendorong keadaan kurangnya perhatian untuk mendapatkan pengobatan.
Ketakutan masyarakat terhadap penyakit kanker memberikan beban tersendiri
pada penderitaan pasien, disamping dari akibat proses kanker itu sendiri. Oleh
karena itu, sebelum diagnosis kanker disampaikan, tim dokter harus benar-benar
sudah yakin (Sukardi dkk, 2007).

Pengobatan kanker biasanya memerlukan waktu yang lama dan hasilnya


sering diragukan. Tercipta kesan bahwa penyakit ini lebih buruk dari penyakit
infark jantung yang prognosis kematiannya lebih jelek. Namun, karena
pengobatan infark jantung lebih jelas, seolah-olah penyakit itu lebih baik. Pada
penyakit kanker pemberian informasi kepada pasien semestinya meliputi dua hal,
yaitu dokter bersikap jujur dan hormat terhadap pasiennya. Dokter harus dapat
menumbuhkan rasa percaya kepada pasien/keluarganya dengan baik sehingga
memudahkan dalam memberikan terapi, baik itu radioterapi maupun sitostatika
(Sukardi dkk, 2007).

D. KESULIATN PENYAMPAIAN BERITA BURUK

Ada banyak faktor penyebab seorang dokter mengalami kesulitan dalam


menyampaikan berita buruk. Berdasarkan American Medical Association's first code
of medical ethics pada tahun 1847 dikatakan bahwa kehidupan orang sakit
dapat dipersingkat tidak hanya oleh tindakan, tetapi juga oleh kata-kata dan perilaku
seorang dokter.
Berikut adalah beberapa faktor penyebab sulitnya penyampaian berita buruk:
1. Khawatir bahwa berita itu akan menyebabkan efek buruk
2. Merasa bertanggung jawab dan takut jika disalahkan
3. Tidak tahu bagaimana cara terbaik untuk melakukannya
4. Tidak memiliki pengalaman pribadi
5. Khawatir bahwa akan sulit untuk menangani reaksi pasien atau keluarga
6. Keengganan untuk mengubah hubungan dokter-pasien yang ada
7. Tidak tahu kemampuan dan keterbatasan pasien
8. Tantangan tiap individu
9. Ketidak pastian tentang apa yang mungkin terjadi selanjutnya dan tidak
memiliki jawaban atas beberapa pertanyaan
10. Kurangnya kejelasan peran seorang pelayan kesehatan.
E. JENIS-JENIS BERITA BURUK
Di dunia kedokteran, terdapat berbagai jenis berita buruk yang hendak disampaikan kepada
pasien. Berikut contoh-contohnya:
1. Kegagalan operasi
2. Vonis kanker.
3. Penyakit kronik seperti gagal ginjal kronik
4. Terminal Ilness
5. Tidak bisa mempunyai anak.
6. Kematian, dan lain-lain.
F. TEKNIK MENYAMPAIKAN BERITA BURUK
1. Penyampaian Berita Buruk Secara Tidak Langsung

Penyampaian berita buruk adalah suatu hal yang sering harus dilakukan dokter
maupun dokter gigi, misalnya pada waktu dokter harus menyampaikan berita kematian,
menyampaikan diagnosis suatu penyakit dengan prognosis yang tidak baik, atau
menyampaikan rencana terapi yang mengandung resiko yang tinggi. Dalam hubungan
ini setiap dokter akan mengetahui bahwa penyampaian berita buruk selalu akan
menimbulkan frustasi pada pihak pasien (Sarwono, 1982).
Hampir setiap dokter akan berusaha mengurangi reaksi frustasi pasien. Usaha ini
wajar sepanjang dokter tidak memalsukan informasi (berbohong kepada pasien) tetapi
sesungguhnya kurang baik, karena dokter justru memberi peluang bagi bertambah
besarnya frustasi pasien (Sarwono, 1982).
Usaha mengurangi frustasi pasien dalam penyampaian barita buruk ini biasa
dilakukan dengan beberapa cara yang kurang benar. Untuk jelasnya, berikut diberikan
contoh seorang dokter gigi yang harus menyampaikan berita bahwa pasiennya menderita
penyakit kanker mulut. Pada pasien didapatkan bisul yang menyakitkan di mulut,
dimana sudah tak sembuh-sembuh dalam waktu 14 hari, suara jadi serak
berkepanjangan, dan mengalami kesulitan untuk mengunyah, menelan, dan bahkan
berbicara, serta terdapat bercak putih pada mulut (Nawawi, 2013).

a) Penyampaian berita buruk yang kurang tepat itu antara lain sebagai berikut:
 Menunda penyampaian berita buruk sampai saat yang dianggap tepat

Dokter bercerita tentang hal-hal lain terlebih dahulu sebelum ia


menyampaikan berita tentang kanker mulut, tentang keluhan-keluhan dan gejala-
gejala yang diderita pasien dan seterusnya sampai kira-kira pasien dianggap “siap
mental” untuk mendengarkan berita buruk itu, barulah berita tentang kanker
mulut itu disampaikan. Tanda-tanda bahwa pasien sudah “siap mental” diterka
oleh dokter dari kata-kata (verbal) atau mimik (ekspresi wajah) atau gerak
(gesture) pasien. Dalam bentuk kata-kata kesiapan mental untuk mendengar berita
buruk misalnya dapat dilihat dalam percakapan berikut :
Dokter : (Setelah menceritakan berbagai penyakit yang memiliki gejala seperti
yang diderita pasien) … Jadi, pak Jusuf begitulah kemungkinan-kemungkinan
yang dapat terjadi pada orang-orang yang memiliki gejala seperti bapak.
Pasien : Kalau begitu, apakah yang akan terjadi pada saya, dok? (pasien siap
mental)
Dokter : Begini, pak. Penyakit pada mulut bapak saat ini sedang mengalami
proses kemunduran … (dokter melanjutkan dengan menyampaikan berita buruk
tersebut).
Dalam bentuk mimik atau gerak kesiapan mental lebih sulit diterka, yaitu
misalnya dalam bentuk :
a. Wajah pasien yang tegang berubah jadi tenang.
b. Pasien menarik nafas panjang.
c. Pasien mengubah posisi duduknya dari posisi tegak ke posisi menyandar dan
sebagainya. (Sarwono, 1982)
Kerugian dari cara ini adalah bahwa seringkali pasien dapat menerka
maksud dokter dan reaksi-reaksi emosionalnya muncul justru waktu dokter
belum siap mental. Akibatnya dokter bertambah sulit mengendalikan emosi
pasien (Sarwono, 1982).
 Membiarkan pasien menyimpulkan sendiri

Dalam cara ini dokter tidak secara terbuka menyampaikan berita buruk itu,
akan tetapi pasien diharapkan menyimpulkan nasibnya sendiri. Dokter dalam cara
ini hanya memberikan pertanyaan sambil “mengiringi” pasien ke arah kesimpulan
yang akan dibuatnya (Sarwono, 1982).
Berikut diberikan contoh :
D: sejak kapan awal sariawan ini muncul pak?
P: sejak dua minggu lalu, dok.
D: apakah sudah bapak beri pengobatan?
P: sudah, dok.
D: bagaimana efek dari obat tersebut pak?
P: tidak ada, dok. Sampai saat ini sariawan itu tidak hilang dok. Justru saat ini
pada waktu mengunyah dan menelah sedikit sulit dok.
D: pak, setelah kami lakukan pemeriksaan kembali, ternyata terjadi perbesaran
ulkus dan bercak putih di dalam rongga mulut bapak. Dan warna mukosa rongga
mulut bapak juga pucat.
P: jadi apakah saya ini kena kanker mulut dok ?
Teknik ini hanya dapat dilakukan pada pasien-pasien yang mempunyai
pendidikan atau kecerdasan yang cukup untuk membuat kesimpulan sendiri.
Akan tetapi biasanya pasien tidak sabar dan malahan bertambah jengkel karena
ditanya-tanya terus padahal ia sudah dalam keadaan sangat khawatir terhadap
kesehatannya. Pasien bisa sampai kepada kesimpulan bahwa dokter mau
melepaskan diri dari tangung jawabnya memberi tahu pasien tentang berita
buruk itu (Sarwono, 1982).
 Membungkus berita buruk

Dalam cara ini dokter “membungkus” berita buruk itu dengan kata-kata,
sedemikian rupa sehingga kedengarannya berita buruk itu lebih baik dari keadaan
yang sebenarnya (Sarwono, 1982).
Berikut diberikan contoh :
Dokter : Saya khawatir bahwa bapak akan kehilangan sebagian dari lidah bapak
saat operasi nanti. Akan tetapi, bapak jangan khawatir, kita akan bekerjasama
dengan pihak bedah plastik rumah sakit untuk membuat lidah buatan untuk
bapak.
Paisen : Lalu apakah saya tetap dapat berbicara dok?
Dosen : Kemungkinan akan ada kesulitan dalam berbicara, tapi dengan bantuan
speech terapy, bapak masih ada harapan untuk dapat berbicara lagi.
Pasien : Kira-kira berapa lama sampai saya bisa bicara lagi dok?
Dokter : Waktunya bervariasi untuk setiap orang. Tapi ada pasien yang dapat
berbicara kembali dengan jelas dalam waktu 8 minggu saja.

Kelemahan dari cara ini adalah bahwa tidak semua pasien bisa menerima
kenyataan-kenyataan yang dibungkus seperti itu.Beberapa pasien malah akan
bertambah frustasi karena ia tahu bahwa keadaan yang sebenarnya tidaklah
sebaik yang disampaikan dokter. Pasien bisa beranggapan bahwa dokter
membohonginya (Sarwono, 1982).
 Banyak memberi alasan

Dengan cara ini, dokter memberikan berbagai alasan ke pasien untuk


membenarkan ‘berita buruk’ tersebut.Sebagai contoh, dokter akan
mengemukakan alasannya setelah penyampaian berita buruk ke pasien:
“.... Walaupun demikian, bapak tidak perlu menyesal. Segala yang bapak lakukan
telah dilakukan, demikian pula dengan kami sudah mengerjakan yang bisa kami
lakukan. Memang, ilmu kedokteran sampai sekarang pun masih memiliki
keterbatasan-keterbatasan. Ilmu kedokteranbelum bisa berbuat banyak untuk
menyembuhkan penyakit bapak. Sekalipun bapak berobat ke luar negeri pun,
hasilnya tidak akan jauh berbeda...”
Pada penggunaan teknik ini justru membuat pasien putus asa. Dalam
keadaan sudah sangat khawatir, biasanya pasien masih mengharapkan petunjuk
tentang cara lain yang masih dapat diupayakan untuk mengatasi penyakitnya.
Dengan adanya alasan-alasan pembenaran yang dilakukan dokter terhadap pasien
justru akan menyebabkan putusnya harapan pasien dan membuat pasien sangat
frustrasi (Sarwono, 1982).
Keempat cara yang telah dikemukakan diatas untuk mengurangi frustrasi
pasien, dapat dilakukan secara terpisah atau dikombinasikan menurut selera
dokternya sendiri. Cara-cara tersebut tidak mungkin meniadakan seluruh frustrasi.
Frustrasi yang masih ada dapat dirasakan berat atau ringan, tergantung dari
kondisi kejiwaan pasien itu sendiri (Sarwono, 1982).
b) Jenis-jenis Reaksi Pasien Terhadap Frustasi :
Berikut penggolongan jenis-jenis reaksi pasien terhadap frustasi.
1. Menerima kenyataan itu dengan sabar
Misalnya :
Pasien :Baiklah, dok. Barangkali memang sudah demikian nasib saya. Sekarang,
apa yang perlu saya lakukan selanjutnya untuk mencegah keparahan penyakit
saya? (Sarwono, 1982)

2. Bereaksi agresif
Misalnya :
Pasien :Rahang saya akan diangkat dok? Oh ini adalah kesalahan dokter. Dulu
saya sudah minya agar pengobatan saya dilakukan di luar negeri saja. Tapi dokter
mengatakan bahwa di sini pun dokter dapat melakukannya. Sekarang kalau sudah
begini, apa yang dapat dokter lakukan? (Sarwono, 1982)
3. Penolakan terhadap kenyataan
Misalnya :
Pasien : Tidak mungkin. Tidak mungkin saya akan kehilangan rahang saya.
Setelah diterapi yang terakhir itu mulut saya rasanya sudah lebih enak tidak sakit
lagi untuk menelan, bagaimana bisa jadi seperti ini? Paman saya ada yang lebih
parah tumornya daripada saya, tetapi dia tidak sampai diangkat rahangnya. Para
dokter bisa menolongnya. (Sarwono, 1982)
4. Regresi
Regresi yaitu memberi reaksi dengan mundur kepada tingkat yang kekanak-
kanakan. Misalnya, menangis keras-keras, menjerit-jerit sambil menarik-narik
rambutnya atau memukul-mukul meja, pingsan, atau mengeluarkan kata-kata
sebagai berikut :
Pasien : …(diam untuk waktu yang lama)… kalau begitu lebih baik saya
berhenti bekerja saja. Tinggal di rumah dan biarlah ibu saya tinggal di rumah
saya untuk merawat saya. Isteri saya dengan begitu bisa tetap bekerja mencari
nafkah. (Sarwono, 1982)
5. Stereotipi
Stereotipi merupakan reaksi berulang-ulang terus.
Misalnya:
Pasien :Sungguh saya tidak kira . . . rahang saya akan diangkat? . . . sungguh-
sungguh di luar dugaan saya . . . Kehilangan rahang! . . . Bagaimana mungkin?
Sungguh tidak saya kira . . . dan seterusnya. (Sarwono, 1982)

Bagaimanapun juga reaksi pasien terhadap frustasi, dokter tidak boleh


menanggapinya dengan kontra reaksi yang sama emosionalnya. Dokter harus
tetap tenang, tetap menggunakan akal sehat, waaupun tetap harus dapat
menunjukkan simpati pada pasien. Untuk itu dokter sebaiknya menggunakan cara
yang lebih langsung dalam menyampaikan berita buruk (Sarwono, 1982).

2. Penyampaian Berita Buruk Secara Langsung

Penyampaian berita buruk secara langsung merupakan cara yang lebih efektif
dalam penyampaian berita buruk kepada pasien. Dengan penyampaian langsung ini,
maka jelas dokter berada dalam keadaan ‘siap mental’ untuk menghadapi frustasi pasien
dan selanjutnya dapat menampung dan meredakan frustasi itu (Sarwono, 1982).
Dalam penyampaian berita buruk secara langsung, ada 3 tahap yang harus dilalui
dokter, yaitu:
1) Tahap 1: penyampaian berita buruk itu sendiri
2) Tahap 2: memperendah tingkat frustasi
3) Tahap 3: mencari pemecahan persoalan (Sarwono, 1982)
Setiap berita buruk tentu akan menimbulkan frustasi, tetapi yang terpenting
adalah mencari jalan keluar dari keadaan yang buruk itu. Untuk bisa mencari jalan
keluar, tingkat frustasi harus direndahkan dulu agar pasien tidak terlalu emosional.Tugas
mencari pemecahan persoalan dan merendahkan tingkat frustasitermasuk dalam
kewajiban dokter juga (Sarwono, 1982).
1) Tahap 1. Penyampaian berita buruk
Seringkali pasien sudah mempunyai dugaan tentang keadaan yang buruk itu,
hanya saja ia belum merasa pasti. Pasien mempunyai hak untuk segera bebas dari
ketidakpastian ini. Dalam menyampaikan berita buruk dokter harus memperhatikan
hal-hal berikut:
a) Berita buruk langsung disampaikan pada awal percakapan. Dokter jangan
melakukan berbagai aksi menghindar.
b) Dokter harus meyampaikan berita dalam kalimat yang sesingkat mungkin,
tetapi dalam kalimatnya itu dokter juga harus menunjukkan bahwa ia
memperhatikan perasaan pasien.
c) Nada suara dokter harus menunjukkan bahwa dokter ikut menghayati apa yang
diarasakan pasien. (Sarwono, 1982)
Contoh :
Dokter : hasil pemeriksaan kami menunjukkan bahwa terdapat tumor pada
mulut bapak. Tumor ini sudah menggerogoti hampir seluruh rahang bawah
bapak, sehingga terpaksa kami harus mengambil rahang bawah bapak. Saya
mengerti bahwa bapak tentunya sangat sedih.
2) Tahap 2. Penurunan Tingkat Frustasi

Setelah berita buruk disampaikan, dokter harus berusaha menurunkan frustasi


pasien. Untuk itu ada 2 macam cara :
a) Mengucapkan kata-kata simpati.
b) Memberikan informasi kepada pasien bahwa ada hal-hal yang membuatnya
tidak usah terlalu kecewa, misalnya bahwa dokter dapat menghilangkan
tumornya dengan segera dengan cara yang baik dan tidak sakit, bahwa
tumornya belum sampai tingkatan yang parah, dan sebagainya. Bedanya dari
cara penyampaian berita buruk yang menghindari frustasi adalah bahwa
informasi ini disampaikan sesudah berita buruk, tidak sebelumnya. (Sarwono,
1982)

Mengurangi frustasi sampai tingkat yang paling rendah adalah sangat


penting karena bila tingkat frustasi masih tinggi dokter tidak akan sampai pada
pemecahan persoalan. Kalau frustasi tidak dapat diturunkan sekaligus, usaha ini
sebaiknya ditunda dan dilanjutkan lain kali (Sarwono, 1982).

3) Tahap 3. Pemecahan Persoalan

Di sini dokter memberikan nasihat-nasihat berupa pilihan-pilihan yang dapat


ditempuh oleh pasien untuk mengatasi persoalan yang akan dihadapinya sebagai
akibat dari keadaannya yang tidak diharapkan tersebut (Sarwono, 1982).
Contoh :
Pasien : Jadi bagaimana pekerjaan saya kalau saya sampai harus rawat inap ya
Dokter?
Dokter : Saya bisa membuatkan surat untuk atasan Bapak agar
Bapak beroleh izin sekaligus tunjangan sesuai dengan kesehatan Bapak.
Pasien : Bagaimana dengan penampilan saya nanti apabila tumornya diangkat?
Dokter : Tidak apa-apa. Seiring waktu nanti akan tampak normal lagi. Saya bisa
menutupi tampilan yang bengkak dengan perban.
Pasien : Bagaimana dengan rasa sakitnya nanti?
Dokter : Tidak apa-apa, saya bisa mengusahakan dengan pemberian obat anti rasa
sakit yang tidak mahal.
3. Penyampaian Berita Buruk Dengan Metode SPIKES
Metode SPIKES mengacu pada enam tahap dalam penyampaian berita buruk.
1. SETTING UP the interview
a. Aturlah privasi.
Idealnya, disiapkan ruangan khusus. Penyampaian berita buruk harus
dilakukan pada tempat yang nyaman yangmenyediakan privasi bagi pasien
dan relatif tenang. Ruangan harus cukup luas untuk menampung para staf atau
perawat serta seluruh anggota keluarga pasien yang mendampingi pasien saat
penyampaian berita buruk (Buckman, 1996; Maynard, 1991). Siapkan tissue
untuk berjaga-jaga apabila pasien menangis (Baile dkk, 2000).
b. Libatkan orang lain.
Kebanyakan pasien biasanya ingin ditemani oleh orang lain. Namun,
orang tersebut haruslah pilihan pasien. Ketika ada anggota keluarga pasien,
mintalah pasien memilih satu atau dua perwakilan keluarga (Baile dkk, 2000).
c. Duduk.
Posisi duduk akan membuat pasien lebih relaks dan menandakan bahwa
dokter tidak terburu buru. Pemilihan waktu dalam penyampaian berita buruk
sangat penting. Penjadwalan ulang atau pemilihan waktu lain perlu dilakukan
agar dapat menyampaikan berita buruk kepada pasien pada saat yang tepat.
Jika terburu-buru, dokter dapat dianggap tidak peduli dengan pasien dan
proses.
Bukti menunjukkan bahwa dokter mungkin menunda pencairan berita
buruk meskipun pada kenyataannya sebagian besar pasien ingin
mendengarnya (Blanchard dkk, 1988; Hopper dan Fischbach, 1989) dan
beberapa dokter menghindari situasi untuk membicarakan prognosis (Seale,
1991). Ketika duduk, usahakan tidak ada batas antara dokter dan pasien.
Mengatur koneksi dengan pasien. Melakukan kontak mata mungkin saja
terasa kurang nyaman, namun ini merupakan cara penting untuk membangun
sebuah hubungan. Memegang lengan atau tangan pasien apabila pasien
bersedia juga merupakan cara mencapainya. Mengelola waktu dan interupsi.
Ketika menyampaikan kabar buruk pada pasien usahakan jangan ada
interupsi. Sebaiknya seorang dokter mengatur telepon genggamnya dalam
keadaan diam (Baile dkk, 2000).
2. Assesing the Patient’s PERCEPTION

Langkah kedua dan ketiga dari SPIKES merupakan interview yang


menerapkan “sebelum berkata, tanyalah”. Sebelum mendiskusikan hasil medis,
dokter menggunakan pertanyaan terbuka untuk menilai persepsi pasien akan
keadaannya. Contohnya, “Sejauh mana anda tahu mengenai penyakit anda” atau
“Apakah anda tahu kenapa kami melakukan MRI?”. Berdasarkan informasi yang
diperoleh, dokter dapat mengoreksi informasi yang salah dan menyesuaikan
kabar buruk dengan pemahaman pasien. Dari sini juga dapat dilihat apakah
pasien menyangkal suatu penyakit: angan angan ataupun harapan pengobatan
yang tidak realistis (Baile dkk, 2000).
3. Obtaining the patient’s INVITATION

Kebanyakan pasien menginginkan informasi penuh akan diagnosis,


prognosis, hingga detail penyakit yang pasien derita. Namun beberapa pasien
tidak. Penting untuk menanyakan kepada pasien sedetail apa informasi yang
mereka inginkan. Pertanyaan yang bisa dokter tanyakan misalnya, “Bagaimana
anda ingin saya menyampaikan hasil tes anda? Apakah anda ingin saya
menyampaikan semuanya atau hanya gambaran besar dan kita akan berdiskusi
mengenai perawatannya?” (Baile dkk, 2000).
4. Giving KNOWLEDGE and information to the patient
Memulai percakapan dengan kalimat seperti, “Saya khawatir bahwa
kabar yang saya sampaikan adalah kabar yang kurang baik” atau “Dengan berat
hati saya sampaikan bahwa...” dapat mengurangi syok pada pasien saat
mendengarkan berita buruk.
Dalam menyampaikan hasil medis, terjemahkan istilah medis kedalam
Bahasa Indonesia, misalnya gunakan kata “menyebar” untuk menggantikan kata
“metastasis”. Dokter juga harus menghindari pernyataan yang berlebihan seperti
“Kanker yang anda derita sangat buruk. Meskipun anda diobati secepatnya, anda
akan tetap tidak dapat bertahan”. Berikan informasi dalam potongan kecil, dan
pastikan untuk berhenti menjelaskan untuk memastikan bahwa pasien paham
dengan apa yang dijelaskan (Baile dkk, 2000).
5. Adressing the patient’s EMOTIONS with emphatic responses

Merespons emosi pasien merupakan salah satu hal sulit dalam


menyampaikan berita buruk. Pasien dapat bereaksi dengan diam, menangis,
menyangkal, hingga marah, Pada situasi seperti ini, seorang dokter dapat memberi
dukungan dan solidaritas dengan memberi respons empati. Diskusi tidak akan
dapat berlanjut selama emosi pasien masih ada (Baile dkk, 2000).
6. STRATEGY and SUMMARY

Sebelum menentukan rencana perawatan, prnting untuk menanyakan apakah


pasien sudah siap untuk berdiskusi. Buatlah rencana langkah demi langkah dan
berikan penjelasan yang lengkap kepada pasien mengenai rencana perawatannya.
Libatkan pasien dalam pengambilan keputusan sebagai antisipasi jika terjadi suatu
hal yang tidak diinginkan selama perawatan (Baile dkk, 2000).
G. PRINSIP KOMUNIKASI DALAM PERAWATAN PALIATIF
Pada perawatan paliatif perawat dihadapkan berbagai kasus antara lain pasien
dengan penyakit terminal, penyakit kronis, pasien dalam kondisi tidak sadarkan diri
sehingga perlu diperhatikan berbagai prinsip dalam proses komunikasi dengan
pasien dan keluarga. Pasien yang menjalani perawatan dengan kasus penyakit kronik
memiliki permasalahan yang kompleks dan memerlukan perhatian, dalam hal ini
penyakit kronik adalah penyakit yang dialami oleh seorang pasien dengan jangka
waktu yang lama dapat menyebabkan seorang klien mengalami ketidakmampuan
contohnya saja kurang dapat mengendalikan kondisi tertentu atau kegiatan yang
baru dirasakan. Contoh: penyakit diabetes melitus (DM), penyakit gagal ginjal
(chronic kidney disease).
Tiap fase yang dialami oleh pasien kritis mempunyai karakteristik yang berbeda.
Sehingga perawat juga memberikan respon yang berbeda. Dalam berkomunikasi
perawat juga harus memperhatikan pasien tersebut berada di fase mana, sehingga
mudah bagi perawat dalam menyesuaikan fase kehilangan yang dialami pasien
antara lain: (Westphal, 2003)
1. Tahap Denial (Pengingkaran): merupakan tahapan pertama individu ketika
mengalami kehilangan, seorang individu akan mengalami rasa Tidak percaya
atau menolak kenyataan bahwa kehilangan itu terjadi dengan mengatakan
"Tidak, saya tidak percaya bahwa itu terjadi. Bagi individu atau keluarga yang
mengalami penyakit kronis, akan terus menerus mencari informasi tambahan.
Adapun reaksi fisik yang terjadi pada fase pengikraran adalah letih, lemah,
pucat, mual, diare, gangguan pernafasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah
dan tidak tau harus berbuat apa. Reaksi tersebut di atas cepat berakhir dalam
waktu beberapa menit sampai beberapa tahun, Adapun teknik komunikasi yang
digunakan: Memberikan kesempatan untuk menggunakan koping yang
konstruktif dalam menghadapi kehilangan dan kematian, perawat diharapkan
dapat selalu berada di dekat klien serta pertahankan kontak mata
2. Tahap Anger (Marah): Pada tahapan ini dimulai dari timbulnya kesadaran akan
kenyataan yang terjadinya kehilangan. Pasien biasanya menunjukkan perasaan
yang meningkat yang sering di proyeksikan kepada orang di sekitarnya, orang-
orang tertentu atau ditunjukkan pada dirinya sendiri. Tidak jarang dia
menunjukkan perilaku agresif, bicara kasar, menolak pengobatan, dan menuduh
perawat tidak baik dan tidak bisa profesional menjalankan tugasnya. Respon
fisik yang sering terjadi pada fase ini antara lain, wajah memerah, peningkatan
nadi, susah tidur, tangan mengepal. Adapun teknik komunikasi yang digunakan
adalah: Memberikan kesempatan pada pasien untuk mengekspresikan
perasaannya, mendengarkan (hearing) dan menggunakan teknik respect
(menghargai).
3. Tahap Bargaining (Tawar menawar): Tahap ini terjadi apabila individu sudah
mampu mengungkapkan rasa marahnya secara intensif, maka ia akan maju pada
fase tawar menawar dengan memohon kemurahan tuhan. Respon ini sering
dinyatakan dengan kata-kata "kalau saja kejadian ini bisa ditunda, maka saya
akan selalu berdoa". Apabila proses berduka ini dialami keluarga, maka
pernyataan seperti ini sering dijumpai "kalau saja yang sakit bukan orang tua
saya". Adapun teknik komunikasi yang digunakan adalah: Memberi kesempatan
kepada pasien untuk menawar dan menanyakan kepada pasien apa yang di
inginkan.
4. Tahap Depression: Individu pada fase ini sering menunjukkan sikap antara lain
menarik diri, tidak mau berbicara, kadang bersikap sebagai pasien yang sangat
baik dan menurut atau dengan ungkapan yang menyatakan keputus asaan,
perasaan tidak berharga. Gejala fisik yang sering diperlihatkan adalah menolak
makan, susah tidur, letih, dorongan libido menurun, Adapun Teknik komunikasi
yang digunakan yaitu seorang perawat jangan mencoba menenangkan klien dan
biarkan klien dan keluarga mengekspresikan kesedihannya.
5. Tahap Acceptance (Penerimaan): Fase ini berkaitan. dengan reorganisasi
perasaan kehilangan. Fase menerima ini biasanya dinyatakan dengan kata kata
ini "apa yang dapat saya lakukan agar saya cepat sembuh?" Apabila individu
dapat memulai fase fase tersebut dan masuk pada fase damai atau penerimaan,
maka dia akan dapat mengakhiri proses berduka dan mengatasi perasaan
kehilangannya secara tuntas. Tapi apabila individu tetap berada pada salah satu
fase dan tidak sampai pada fase penerimaan. Jika mengalami kehilangan lagi
sulit baginya masuk pada fase penerimaan. Adapun teknik komunikasi yang
digunakan perawat yaitu meluangkan dan menyediakan waktu untuk klien dalam
mendiskusikan perasaan keluarga terhadap kematian pasien.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Berita buruk merupakan segala informasi yang secara serius dapat memperburuk
pandangan seseorang tentang masa depannya. Komunikasi dokter gigi-pasien dalam
penyampaian berita buruk sangat penting untuk dipelajari. Berita buruk dapat disampaikan
melalui dua metode yaitu metode tidak langsung dan metode langsung. Beberapa contoh
metode tidak langsung antara lain menunda penyampaian berita buruk sampai saat yang
dianggap tepat, membiarkan pasien menyimpulkan sendiri, membungkus berita buruk, dan
banyak memberi alasan. Metode langsung memiliki keunggulan dibandingkan metode
tidak langsung yaitu lebih efektif dan dokter siap mental. Penyampaian berita buruk juga
dapat dilakukan dengan metode SPIKES. Komunikasi atau penyampaian berita buruk yang
tepat akan menghasilkan pemahaman yang baik pada pasien sehingga akan menentukan
keberlanjutan terapi dan kesembuhan pasien.
Saran
1. Diharapkan mahasiswa benar-benar mampu memahami tentang teknik penyampaian
berita buruk dan prinsip komunikasi pada pasien paliatif
2. Untuk institusi pendidikan hendaknya lebih melengkapi literatur yang berkaitan dengan
teknik penyampaian berita buruk dan prinsip komunikasi pada pasien paliatif
DAFTAR PUSTAKA

Novita Verayanti Manaliu, dkk. (2022). Keperawatan Paliatif (Konsep dan Penerapan).
Bandung : Media Sains Indonesia

Yossi Fitrinia, dkk. (2022). Paliatif Care dan Home Care.


Bandung : Media Sains Indonesia

“Teknik Penyampaian Berita Buruk” di akses pada 25 Maret 2023 dari


http://menyampaikanberitaburuk.blogspot.co.id/2012/12/menyampaikan-berita-
buruk.html.

“Penyampaian Berita Buruk Yang Efektif” di akses pada 25 Maret 2023 dari
http://amirmukhlis06.blogspot.co.id/2014/11/penyampaian-berita-buruk-yang-
efektif.html.

Anda mungkin juga menyukai