Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH

KOMUNIKASI KEPERAWATAN

“Komunikasi Terapeutik pada Lanjut Usia”

Dosen Pembimbing :

Almumtahanah, M. Kep

Disusun Oleh :

Kelompok 4

Angeli Unzur Kaifa (S20129006)

Febty Eliza (S20129019)

Muhammad Riduan (S20129017)

Veby Dea Astuti (S20129015)

PROGRAM STUDI DIPLOMA TIGA KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN

MUHAMMADIYAH PONTIANAK

2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan


rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah
komunikasi keperawatan yang berjudul “Komunikasi Terapeutik pada Lanjut
Usia” .
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari
bapak/ibu dosen pada bidang studi D-3 keperawatan, mata kuliah Komunikasi
Keperawatan. Dalam penyusunan makalah ini tidak terlepas bantuan dan
dorongan serta bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini
kelompok mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Almumtahanah, M. Kep selaku dosen pembimbing mata kuliah
Komunikasi Keperawatan.
2. Orang tua kami yang senantiasa mendukung kami dalam pembuatan makalah
ini.
3. Semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan
demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat menambah wawasan
bagi para pembaca dan juga kelompok. Akhir kata, semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi kita semua.

Pontianak, 21 November 2021

Kelompok 4

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................2
C. Tujuan....................................................................................................2
1. Tujuan Umum.................................................................................2
2. Tujuan Khusus...............................................................................2
D. Manfaat..................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................4
A. Pengertian Pasien Lansia dan Komunikasi Terapeutk.....................4
B. Faktor Yang Mempengaruhi Komunikasi pada Pasien Lanjut Usia
.................................................................................................................7
C. Keterampilan dan Prinsip Komunikasi Terapeutik pada Lansia....8
D. Pendekatan Keperawatan Lanjut Usia pada Konteks Komunikasi
dan Reaksi Penolakan.........................................................................10
E. Teknik Umum untuk Berkomunikasi dengan Pasien Lanjut Usia.14
F. Hambatan Komunikasi pada Pasien Lansia.....................................17
BAB III PENUTUP..............................................................................................27
A. Kesimpulan..........................................................................................27
B. Saran.....................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................29

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Komunikasi adalah elemen dasar dari interaksi manusia yang
memungkinkan seseorang untuk menetapkan, mempertahankan dan
meningkatkan kontrak dengan orang lain karena komunikasi dilakukan oleh
seseorang, dengan proses yang kompleks yang melibatkan tingkah laku dan
hubungan serta memungkinkan individu berasosiasi dengan orang lain dan
dengan lingkungan sekitarnya.
Komunikasi yang baik dalam konteks hubungan perawat dan pasien
haruslah efektif, karena akan sangat berpengaruh terhadap kesehatan pasien
lanjut usia. Komunikasi yang efektif ini dapat mengikutsertakan partisipasi
aktif pasien dalam pengambilan keputusan, hal ini membantu proses
mengingat, berpengaruh terhadap ketaatan dan kepuasan pada pasien lanjut
usia, yang selanjutnya juga berpengaruh terhadap emosional bahkan fisik
pasien lanjut usia tersebut. Bentuk-bentuk komunikasi seperti itu seakan
membangun hubungan yang berkelanjutan antara perawat dan pasien dan
terlihat penting dalam penurunan hospitalisasi pada pasien lanjut usia
(Stewart et al., 2000).
Komunikasi yang baik dengan pasien adalah kunci keberhasilan untuk
masalah klinis, hubungan perawat-pasien yang lebih baik, dan keluaran
perawatan kesehatan. Keberhasilan komunikasi memerlukan pendekatan
efektif kepada pasien, kemampuan untuk mendengarkandan mempersilahkan
pasien untuk bercerita, serta cakap dalam melakukan investigasi untuk
mengklarifikasi dan mendapatkan informasi yang penting. Disamping
kompleksitas masalahnya, pasien lanjut usia menerima lebih sedikit edukasi
dan konseling kesehatan daripada pasien yang lebih muda (Haug& Ory.,
1987).
Terdapat banyak bukti bahwa kesehatan yang optimal pada pasien lanjut
usia tidak hanya bergantung pada kebutuhan biomedis akan tetapi juga

1
tergantung dari perhatian terhadap keadaan sosial, ekonomi, kultural dan
psikologis pasien tersebut. Walaupun pelayanan kesehatan secara medis pada

2
3

pasien lanjut usia telah cukup baik tetapi mereka tetap memerlukan
komunikasi yang baik serta empati sebagai bagian penting dalam penanganan
persoalan kesehatan mereka. Komunikasi yang baik ini akan sangat
membantu dalam keterbatasan kapasitas fungsional, sosial, ekonomi, perilaku
emosi yang labil pada pasien lanjut usia (William et al ., 2007). Berdasarkan
hal-hal tersebut, maka dalam makalah ini kami akan membahas mengenai
komunikasi terapeutik pada lanjut usia.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana komunikasi terapeutik pada lanjut usia?

C. Tujuan
D. Tujuan Umum
Untuk mengetahui komunikasi terapeutik pada lanjut usia.

E. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengertian pasien lansia dan komunikasi terapeutik.
b. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi komunikasi pada pasien
lansia.
c. Untuk mengetahui keterampilan dan prinsip komunikasi terapeutik
pada lansia.
d. Untuk mengetahui pendekatan keperawatan lanjut usia pada konteks
komunikasi dan reaksi penolakan.
e. Untuk mengetahui teknik umum untuk berkomunikasi dengan pasien
lansia.
f. Untuk mengetahui hambatan komunikasi pada pasien lansia.

F. Manfaat
1. Bagi pelayanan kesehatan
Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi yang berguna
bagi pelayanan serta konseling kesehatan khususnya pelayanan kepada
lansia dalam melakukan komunikasi terapeutik.
4

2. Bagi pendidikan
Menambah wacana dan informasi ilmiah pembaca, khususnya
mahasiswa mengenai pengetahuan tentang komunikasi terapeutik kepada
lansia.
3. Bagi peneliti selanjutnya
Sebagai masukan dan perbandingan bagi mahasiswa yang akan
mengadakan penelitian selanjutnya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Pasien Lansia dan Komunikasi Terapeutk


1. Pengertian Pasien Lansia
Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah
kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan,
baik secara langsung maupun tidak langsung di rumah sakit (Undang-
undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit). Orang lanjut usia
(lansia) pada umumnya menderita lebih dari satu penyakit. Hal ini pun
membuat mereka harus mendatangi sejumlah dokter spesialis untuk
berobat (Maharani, 2014). Pada kenyataannya, pasien lansia berbeda
dengan pasien kebanyakan. Pasien lansia mempunyai cara khusus dalam
perawatannya mengingat usianya sudah tidak muda lagi dan kebanyakan
dari pasien lansia mempunyai penyakit yang kompleks dan atau beberapa
penyakit sekaligus.
Kegiatan ini, menurut Depkes (1993:1b), untuk memberikan bantuan,
bimbingan, pengawasan, perlindungan, dan pertolongan kepada lanjut usia
secara individu maupun kelompok, seperti di rumah atau lingkungan
keluarga, puskesmas, yang diberikan perawat. Untuk asuhan keperawatan
yang masih dapat dilakukan anggota keluarga atau petugas sosial yang
bukan tenaga keperawatan, diperlukan latihan sebelumnya atau bimbingan
langsung pada waktu tenaga keperawatan melakukan asuhan keperawatan
di rumah atau panti. Adapun asuhan keperawatan dasar yang diberikan,
disesuaikan pada kelompok lanjut usia, apakah lanjut usia aktif atau pasif,
antara lain, untuk lanjut usia yang masih aktif, asuhan keperawatan dapat
berupa dukungan tentang personal hygiene, kebersihan lingkungan serta
makanan yang sesuai dan kesegaran jasmani; untuk lanjut usia yang telah
mengalami pasif, yang tergantung pada orang lain.
Hal yang perlu diperhatikan dalam memberikan asuhan keperawatan
pada lanjut usia pasif pada dasarnya sama sama seperti pada lanjut usia

5
aktif, dengan bantuan penuh oleh anggota keluarga atau petugas.
Khususnya bagi

6
7

yang lumpuh, perlu dicegah agar tidak terjadi dekubitus. Lanjut usia
mempunyai potensi besar untuk terjadi dekubitus karena perubahan kulit
berkaitan dengan bertambahnya usia dalam Perwari (2015).

2. Pengertian Komunikasi Terapeutik

Dalam Prasanti (2017) komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang


direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk
kesembuhan pasien. Dalam dunia kesehatan, banyak kegiatan komunikasi
terapeutik yang terjadi. Menurut Heri Purwanto, komunikasi terapeutik
adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar dan bertujuan,
kegiatannya difokuskan untuk kesembuhan pasien, dan merupakan
komunikasi profesional yang mengarah pada tujuan untuk penyembuhan
pasien (dalam Mundakir, 2006). Komunikasi terapeutik meningkatkan
pemahaman dan membantu terbentuknya hubungan yang konstruktif di
antara perawat dengan klien. Tidak seperti komunikasi sosial, komunikasi
terapeutik mempunyai tujuan untuk membantu klien mencapai suatu
tujuan dalam asuhan keperawatan. Stuart dan Sundeen dalam Taufik
(2010:45) menjelaskan bahwa dalam prosesnya komunikasi terapeutik
terbagi menjadi empat tahapan, yaitu tahap persiapan atau tahap pra-
interaksi, tahap perkenalan atau orientasi, tahap kerja, dan tahap terminasi.

Adapun penjelasan dari masing-masing tahapan tersebut sebagai


berikut:

a. Tahap pra-interaksi, pada tahap pra-interaksi, perawat/dokter sebagai


komunikator yang melaksanakan komunikasi terapeutik
mempersiapkan dirinya untuk bertemu dengan klien atau pasien.
Sebelum bertemu pasien, perawat/ dokter haruslah mengetahui
beberapa informasi mengenai pasien, baik berupa nama, umur, jenis
kelamin, keluhan penyakit, dan sebagainya. Apabila perawat/ dokter
telah dapat mempersiapkan diri dengan baik sebelum bertemu dengan
pasien, maka ia akan bisa menyesuaikan cara yang paling tepat dalam
8

menyampaikan komunikasi terapeutik kepada pasien, sehingga pasien


dapat dengan nyaman berkonsultasi dengan petugas/dokter.

b. Tahap perkenalan atau tahap orientasi pada tahap ini antara


petugas/dokter dan pasien terjadi kontak dan pada tahap ini penampilan
fisik begitu penting karena dimensi fisik paling terbuka untuk diamati.
Kualitas-kualitas lain seperti sifat bersahabat kehangatan, keterbukaan
dan dinamisme juga terungkap.

c. Tahap kerja atau sering disebut sebagai tahap lanjutan adalah tahap
pengenalan lebih jauh, dilakukan untuk meningkatkan sikap penerimaan
satu sama lain untuk mengatasi kecemasan, melanjutkan pengkajian dan
evaluasi masalah yang ada, pada tahap ini termasuk pada tahap
persahabatan yang menghendaki agar kedua pihak harus merasa
mempunyai kedudukan yang sama, dalam artian ada keseimbangan dan
kesejajaran kedudukan. Secara psikologis komunikasi yang bersifat
terapeutik akan membuat pasien lebih tenang, dan tidak gelisah.

d. Tahapan terminasi, pada tahap ini terjadi pengikatan antar pribadi yang
lebih jauh, merupakan fase persiapan mental untuk membuat
perencanaan tentang kesimpulan perawatan yang didapat dan
mempertahankan batas hubungan yang ditentukan, yang diukur, antara
lain, mengantisipasi masalah yang akan timbul karena pada tahap ini
merupakan tahap persiapan mental atas rencana pengobatan, melakukan
peningkatan komunikasi untuk mengurangi ketergantungan pasien pada
petugas/dokter. Terminasi merupakan akhir dari setiap pertemuan
antara petugas dengan klien. Bahwa tahap terminasi dibagi dua, yaitu
terminasi sementara dan terminasi akhir. Terminasi sementara adalah
akhir dari setiap pertemuan, pada terminasi ini klien akan bertemu
kembali pada waktu yang telah ditentukan, sedangkan terminasi akhir
terjadi jika klien selesai menjalani pengobatannya.
9

B. Faktor Yang Mempengaruhi Komunikasi pada Pasien Lanjut Usia


Komunikasi dengan pasien lanjut usia dapat menjadi lebih sulit
dibandingkan dengan komunikasi pada populasi biasa sebagai akibat dari
gangguan sensori yang terkait usia dan penurunan memori. Orang ketiga juga
dapat menjadi bagian dari interaksi, karena pasien lanjut usia seringkali
ditemani oleh anggota keluarga yang dicintai yang aktif terlibat pada
perawatan pasien dan berpartisipasi dalam kunjungan. Ada banyak faktor lain
yang mempengaruhi efektivitas komunikasi dengan pasien lanjut usia. Pasien
lanjut usia sering hadir dengan masalah yang kompleks dan beberapa keluhan
utama, yang memerlukan waktu untuk menyelesaikannya. Untuk setiap
dekade kehidupan setelah usia 40 tahun, pasien kemungkinan mengalami satu
penyakit kronik baru. Sehingga pada usia 80 tahun, orang kemungkinan
memiliki paling tidak 4 penyakit kronis (Vieder et al., 2002).

Faktor lain adalah bahwa pasien lanjut usia umumnya lebih sedikit
bertanya dan menunggu untuk ditanya sesuai kewenangan dokter (Haug &
Ory, 1987;Greene et al.,1989). Masalah usia atau dikenal dengan istilah
ageism juga merupakan hal yang lazim dijumpai pada perawatan kesehatan
dan secara tidak sengaja berperan terhadap buruknya komunikasi dengan
pasien lanjut usia (Ory et al., 2003).

Adapun faktor lainnya yang mempengaruhi komunikasi pada lansia,


yaitu :

1. Faktor klien meliputi : kecemasan, penurunan sensori (penurunan


pendengaran dan penglihatan, kurang hati-hati, tema yang menetap
misalnya kepedulian terhadap kebugaran tubuh, kehilangan reaksi,
mengulangi kehidupan, takut kehilangan kontrol dan kematian).
2. Faktor perawat meliputi : perilaku perawat terhadap lansia dan
ketidakpahaman perawat.
3. Faktor lingkungan yang bising dapat menastimulasi kebingungan lansia
dan terganggunya penerimaan pesan yang disampaikan.
10

C. Keterampilan dan Prinsip Komunikasi Terapeutik pada Lansia


1. Keterampilan komunikasi terapeutik, dapat meliputi:
a. Perawat membuka wawancara dengan memperkenalkan diri dan
menjelaskan tujuan dan lama wawancara.
b. Berikan waktu yang cukup kepada pasien untuk menjawab, berkaitan
dengan pemundurankemampuan untuk merespon verbal
c. Gunakan kata-kata yang tidak asing bagi klien sesuai dengan latar
belakang sosiokulturalnya.
d. Gunakan pertanyaan yang pendek dan jelas karena pasien lansia
kesulitan dalam berfikir abstrak.
e. Perawat dapat memperlihatkan dukungan dan perhatian dengan
memberikan responnonverbal seperti kontak mata secara langsung,
duduk dan menyentuh pasien.
f. Perawat harus cermat dalam mengidentifikasi tanda-tanda kepribadian
pasien dan distress yang ada.
g. Perawat tidak boleh berasumsi bahwa pasien memahami tujuan dari
wawancara pengkajian.
h. Perawat harus memperhatikan respon pasien dengan mendengarkan
dengan cermat dan tetap mengobservasi.
i. Tempat mewawancarai diharuskan tidak pada tempat yang baru dan
asing bagi pasien.
j. Lingkungan harus dibuat nyaman dan kursi harus dibuat senyaman
mungkin.
k. Lingkungan harus dimodifikasi sesuai dengan kondisi lansia yang
sensitif terhadap, suara berfrekuensi tinggi atau perubahan kemampuan
penglihatan.
l. Perawat harus mengkonsultasikan hasil wawancara kepada keluarga
pasien atau oranglain yang sangat mengenal pasien.
m. Memperhatikan kondisi fisik pasien pada waktu wawancara.

2. Prinsip Gerontologis untuk Komunikasi


a. Menjaga agar tingkat kebisingan minimum.
11

b. Menjadi pendengar yang setia, sediakan waktu untuk mengobrol.


c. Menjamin alat bantu dengar yang berfungsi dengan baik.• Yakinkan
bahwa kacamata bersih dan pas.
d. Jangan berbicara dengan keras/berteriak, bicara langsung dengan
telinga yang dapat mendengar dengan lebih baik.
e. Berdiri di depan klien.
f. Pertahankan penggunaan kalimat yang pendek dan sederhana
g. Beri kesempatan bagi klien untuk berfikir.
h. Mendorong keikutsertaan dalam aktivitas sosial seperti perkumpulan
orang tua, kegiatan rohani.
i. Berbicara pada tingkat pemahaman klien.
j. Selalu menanyakan respons, terutama ketika mengajarkan suatu tugas
atau keahlian.

3. Prinsip-Prinsip Etik Pelayanan Kesehatan Pada Lansia

Beberapa prinsip etika yang harus dijalankan dalam pelayanan pada


derita usia lanjut adalah:

a. Empati

Istilah empati menyangkut pengertian: “simpati atas dasar


pengertian yang mendalam”. Dalam istilah ini diharapkan upaya
pelayanan geriatric harus memandang seorang lansia yang sakit dengan
pengertian, kasih sayang dan memahami rasa penderitaan yang dialami
oleh penderita tersebut. Tindakan empati harus dilaksanakan dengan
wajar, tidak berlebihan, sehingga tidak memberi kesan over-protective
dan belas kasihan. Oleh karena itusemua petugas geriatric harus
memahami proses fisiologi dan patologik dari penderita lansia.

b. Yang harus dan “jangan”

Prinsip ini sering dikemukakan sebagai non-malefecience dan


beneficence, pelayanan geriatric selalu didasarkan pada keharusan
untuk mengerjakan yang baik untuk penderita dan harus menghindari
tindakan yang menambah penderitaan (harm) bagi penderita. Terdapat
12

adagium primum non nocere (“yang terpenting jangan membuat


seseorang menderita“). Dalam pengertian ini, upaya pemberian posisi
baring yang tepat untuk menghindari ras nyeri, pemberian analgesic
(kalau perlu dengan devirat morfin) yang cukup, pengucapan kata-kata
hiburan merupakan contoh berbagai hal yang mungfkin mudah dan
praktis untuk dikerjakan.

c. Otonomi
Yaitu suatu prinsip bahwa seorang individu mempunyai hak untuk
menentukan nasibnya, dan mengemukakan keinginanya sendiri. Tentu
sekali saja hak tersebut mempunyai batasan, akan tetapi dibidang
geriatric hal tersebut berdasar pada keadaan, apakah penderita dapat
membuat putusan secara mendiri/bebas.
d. Keadilan

Yaitu prinsip pelayanan geriatric harus memberikan perlakuan


yang sama bagisemua penderita. Kewajiban untuk memperlakukan
seorang penderita secara wajar dan tidakmengadakan perbedaan atas
dasar karakteristik yang tidak relevan.

D. Pendekatan Keperawatan Lanjut Usia pada Konteks Komunikasi dan


Reaksi Penolakan

1. Pendekatan Keperawatan Lanjut Usia pada Konteks Komunikasi

Berdasarkan kondisi di lapangan, nyatanya perawatan bagi lanjut usia


mempunyai pendekatan-pendekatan sebagai berikut:

a. Pendekatan Fisik

Perawatan yang memperhatikan kesehatan obyektif, kebutuhan,


kejadian-kejadian yang dialami pasien lanjut usia semasa hidupnya,
perubahan fisik pada organ tubuh, tingkat kesehatan yang masih bisa
dicapai dan dikembangkan, dan penyakit yang dapat dicegah atau
ditekan progresivitasnya. Perawatan fisik secara umum bagi pasien
lanjut usia dapat dibagi atas dua bagian, yakni pasien lanjut usia yang
13

masih aktif, yang keadaan fisiknya masih mampu bergerak tanpa


bantuan orang lain sehingga untuk kebutuhan sehari-hari masih mampu
melakukan sendiri; pasien lanjut usia yang pasif atau tidak dapat
bangun, yang keadaan fisiknya mengalami kelumpuhan atau sakit.
Perawat harus mengetahui dasar perawatan pasien lanjut usia ini
terutama tentang hal-hal yang berhubungan dengan keberhasilan
perorangan untuk mempertahankan kesehatannya. Kebersihan
perorangan (personal hygiene) sangat penting dalam usaha mencegah
timbulnya peradangan, mengingat sumber infeksi dapat timbul bila
keberihan kurang mendapat perhatian.

b. Pendekatan Psikis
Perawat harus mempunyai peranan penting untuk mengadakan
pendekatan edukatif pada lanjut usia, perawat dapat berperan sebagai
supporter, interpreter terhadap segala sesuatu yang asing, dan sebagai
sahabat yang akrab. Perawat hendaknya memiliki kesabaran dan
ketelitian dalam memberikan kesempatan dan waktu yang cukup
banyak untuk menerima berbagai bentuk keluhan agar para lanjut usia
merasa puas. Perawat harus selalu memegang prinsip “Triple S”, yaitu
sabar, simpatik, dan service.

Bila perawat ingin mengubah tingkah laku dan pandangan mereka


terhadap kesehatan, perawat bisa melakukannya secara perlahan dan
bertahap, perawat harus dapat mendukung mental mereka kearah
pemuasan pribadi sehingga seluruh pengalaman yang dilaluinya tidak
menambah beban, bila perlu diusahakan agar dimasa lanjut usia ini
mereka dapat merasa puas dan bahagia.

c. Pendekatan Sosial
Mengadakan diskusi, tukar pikiran, dan bercerita merupakan salah
satu upaya perawat dalam pendekatan sosial. Memberi kesempatan
untuk berkumpul bersama dengan sesama klien lanjut usia berarti
menciptakan sosialisasi mereka. Pendekatan sosial ini merupakan suatu
pegangan bagi perawat bahwa orang yang dihadapinya adalah makhluk
14

sosial yang membutuhkan orang lain. Dalam pelaksanaannya, perawat


dapat menciptakan hubungan sosial antara lanjut usia dan lanjut usia
maupun lanjut usia dan perawat sendiri.

Perawat memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada para


lajut usia untuk mengadakan komunikasi dan melakukan rekreasi,
misalnya jalan pagi, menonton film, atau hiburan-hiburan lain misalnya
bermain dengan anak-anak yang memiliki keceriaan luar biasa. Para
lanjut usia perlu dirangsang untuk mengetahui dunia luar, seperti
menonton tv, mendengar radio, atau membaca majalah dan surat kabar.
Dapat disadari bahwa pendekatan komunikasi dalam perawatan tidak
kalah pentingnya dengan upaya pengobatan medis dalam proses
penyembuhan atau ketenangan para pasien lanjut usia.

d. Pendekatan Spiritual

Perawat harus bisa memberikan ketenangan dan kepuasan batin


dalam hubungannya dengan Tuhan atau agama yang dianutnya,
terutama bila pasien lanjut usia dalam keadaan sakit atau mendekati
kematian. Sehubungan dengan pendekatan spiritual bagi pasien lanjut
usia yang menghadapi kematian, Dr. Tony Setyabudhi mengemukakan
bahwa maut seringkali menggugah rasa takut. Rasa takut semacam ini
didasari oleh berbagai macam faktor, seperti tidakpastian akan
pengalaman selanjutnya, adanya rasa sakit atau penderitaan yang sering
menyertainya, kegelisahan untuk tidak kumpul lagi dengan keluarga
atau lingkungan sekitarnya.

2. Pendekatan Keperawatan Lanjut Usia pada Reaksi Penolakan


Penolakan adalah ungkapan ketidakmampuan sesorang untuk
mengakui secara sadar terhadap pikiran, keinginan, perasaan atau
kebutuhan pada kejadian-kejadian nyata sesuatu yang merupakan reaksi
ketidaksiapan lansia menerima perubahan yang terjadi pada dirinya. Ada
beberapa langkah yang bisa di laksanakan untuk menghadapi klien lansia
dengan penolakan antara lain:
15

a. Penolakan segera reaksi penolakan klien, yaitu membiarkan lansia


bertingkah laku dalam tenggang waktu tertentu. Langkah-langkah yang
dapat di lakukan sebagai berikut:
1) Identifikasi pikiran yang paling membahayakan dengan cara
observasi klien bila sedang mengalami puncak reaksinya.
2) Ungkapakan kenyataan yang di alami klien secara perlahan di mulai
dari kenyataan yang merisaukan.
3) Jangan menyongkong penolakan klien, akan tetapi berikan
perawatan yang cocok bagi kliendan bicarakan sesering mungkin
jangan sampai menolak
b. Orientasikan klien lansia pada pelaksanaan perawatan sendiri. Langkah
ini bertujuan mempermudah proses penerimaan klien terhadap
perawatan yang akan dilakukan serta upaya untuk memandikan klien,
antara lain:
1) Libatkan klien dalam perawatan dirinya, misalnya dalam
perencanaan waktu, tempat danmacam, perawatan.
2) Puji klien lansia karena usahanya untuk merawat dirinya atau mulai
mengenal kenyataan.
3) Membantu klien lansia untuk mengungkapkan keresahaan atau
perasaan sedihnya denganmempergunakan pertanyaan terbuka,
mendengarkan dan menluangkan waktu bersamanya.
c. Libatkan keluarga atau pihak terdekat dengan tepat. Langkah ini
bertujuan untuk membantu perawat atau petugas kesehatan memperolah
sumber informasi atau data klien dan mengefektifkan rencana atau
tindakan dapat terealisasi dengan baik dan cepat. Upaya ini dapat di
laksanakan dengan cara-cara sebagai berikut:
1) Melibatkan keluarga atau pihak terkait dalam membantu klien lansia
menentukan perasaannya.
2) Meliangkan waktu untuk menerangkan kepada mereka yang
bersangkutan tentang apa yangsedang terjadi pada klien lansia serta
hal-hal yang dapat di lakukan dalam rangka membantu.
16

3) Hendaknya pihak-pihak lain memuji usaha klien lansia untuk


menerima kenyataan.
4) Menyadarkan pihak lain akan pentingnya hukuman (bukan hukuman
fisik) apabila klienlansia mempergunakan penolakan atau denial.

E. Teknik Umum untuk Berkomunikasi dengan Pasien Lanjut Usia


1. Menunjukkan Hormat dan Keprihatinan

Komunikasi pasien yang baik didasarkan pada respect atau hormat


kepada pasien danmemahami serta mengapresiasi setiap pasien sebagai
sosok manusia yang unik. Untuk menunjukkan rasa hormat, anda harus
menghadapi pasien secara formal dan menyapa dengan “Bapak” atau
“Ibu”, kecuali pasien sebelumnya telah meminta anda untuk memanggil
dengan nama pertamanya, dan hindarkan menggunakan istilah yang
merendahkan seperti “manisku”, “sayangku”, ‘cintaku”. Berkomunikasi
yang saling bertatap mata dengan duduk di kursi dan langsung menatap
pasien. Dengan melakukan hal ini, anda menunjukkan perhatian sejati
danaktif mendengarkan, serta membantu pasien untuk mendengar dan
memahami anda secara lebih baik. Sentuhan lembut di tangan, lengan, atau
pundak pasien akan menyampaikan rasa turut prihatin dan perhatian
(Adelman et al., 2000).

2. Memastikan bahwa Pasien Didengar dan Dipahami

Mempertahankan langkah yang tidak tergesa-gesa dan mendengarkan


adalah kunci komunikasi efektif antara pasien lanjut usia dan dokter
(Adelman et al., 2000 ; Ory et al., 2003). Membiarkan pasien lanjut usia
untuk berbicara beberapa menit tentang masalahnya tanpa interupsi akan
memberikan lebih banyak informasi daripada riwayat pendukung yang
terstruktur cepat. Merasa sedang diburu-buru akan menyebabkan mereka
merasa bahwa mereka sedang tidak didengarkan atau dipahami (Adelman
et al., 2000). Penelitian menunjukkan bahwa pasien lanjut usia dan dokter
sering tidak sepaham tentang tujuan dan masalah medis yang dihadapi.
17

Komunikasi yang buruk dapat mengganggu pertukaran informasi serta


menurunkan kepuasan pasien (Greene et al., 1989).

Pada umumnya, anda harus berbicara pelan, jelas, dan keras tanpa
berteriak,menggunakan bahasa dan kalimat yang singkat dan sederhana.
Karena pasien lanjut usiaumumnya lebih sedikit bertanya dan menunggu
untuk ditanya sesuai kewenangan dokter,khususnya penting untuk sering
merangkum dan memancing pertanyaan (Adelman et al.,2000; Robinson et
al., 2006).

Strategi umum tambahan untuk memperbaiki komunikasi dengan


pasien lanjut usia:

a. Menggabungkan data pendahuluan sebelum perjanjian untuk bertemu,


karena pasien lanjut usia khas memiliki berbagai masalah kesehatan
yang kompleks.
b. Meminta pasien menceritakan keluhannya hanya sekali (yaitu tidak
bercerita dulu kepada perawat atau asisten kemudian baru kepada anda)
untuk meminimalkan frustasi dan kelelahan pasien.
c. Menghindarkan jargon medis.
d. Menyederhanakan dan menuliskan instruksi.
e. Menggunakan diagram, model, dan gambar.
f. Menjadwalkan pasien lanjut usia terlebih dahulu, karena mereka
umumnya lebih siap darisegi waktu dan secara klinis cenderung kurang
sibuk (Adelman et al., 2000;Robinson et al., 2006).
3. Menghindari Ageism

Salah satu hal terpenting yang harus diingat ketika berkomunikasi


dengan pasien lanjut usia adalah menghindarkan ageism. Ageism, suatu
istilah yang pertama disampaikan oleh Robert Butler, direktur pertama the
National Institute on Aging, adalah systematic stereotyping dan
diskriminasi terhadap seseorang karena mereka berusia lanjut (Butler,
1969). Ageism adalah hal yang lazim pada perawatan kesehatan dan dapat
direfleksikan dalam tindakan seperti meremehkan masalah medis,
menggunakan bahasa yang bersifat merendahkan, hanya memberikan
18

sedikit edukasi tentang regimen preventif, menawarkan sedikit pengobatan


untuk masalah kesehatan mental, menggunakan panggilan yang bernada
menghina, menghabiskan lebih sedikit masalah psikososial, dan membuat
stereotype orang tua (Ory et al., 2003).

Untuk menghindarkan ageism, mulailah mengenal pasien lanjut usia


sebagai satu pribadi dengan riwayat dan penyelesaian yang jelas.
Pendekatan ini memungkinkan anda untuk menemui setiap pasien lanjut
usia sebagai individu yang unik dengan pengalaman seumur hidup yang
berharga bukan orang tua yang tidak produktif dan lemah (Roter, 2000).
Juga penting untuk tidak mengasumsikan bahwa semua pasien lanjut usia
adalah sama. Bisa saja dijumpai “orang berjiwa muda” dengan usia 85
tahun serta “orang berjiwa tua” dengan usia 60 tahun. Setiap pasien dan
setiap masalah harus diperlakukan dengan unik.

4. Mengenal Kultur dan Budaya

Mengenal latar belakang kultur dan budaya pasien untuk kemudian


mengaplikasikannya dalam komunikasi dokter-pasien lanjut usia juga
merupakan hal penting dalam mempengaruhi persepsi pasien terhadap baik
dan berkualitasnya pelayanan kesehatan yang diberikan dokter (Ong et al.,
1995). Tips untuk komunikasi yang efektif dengan pasien lanjut usia:

a. Strategi Umum
1) Persiapkan lingkungan ruang pemeriksaan, memperbanyak
penerangan dan menurunkan kebisingan (mempertimbangkan
kemungkinan berkurangnya penglihatan dan pendengaran).
2) Memanggil pasien dan anggota keluarga dengan sebutan “Bapak”
atau “Ibu” dan menghindarkan sebutan “manis”, “sayang”, atau
“cintaku”.
3) Bicaralah dengan pelan, jelas, tanpa berteriak, menggunakan nada
yang kalem dan ekspresi yang menyenangkan.
4) Gunakan sentuhan lembut dengan sentuhan ringan di tangan, lengan,
atau bahu.
19

5) Pertahankan langkah yang tidak tergesa-gesa, membiarkan pasien


selama beberapa menit untuk mengekspresikan masalahnya jika
mampu.
6) Memastikan bahwa agenda pasienlah yang anda hadapi.
7) Meminta pasien lanjut usia untuk mengulang kembali setiap
instruksi yang penting.
8) Memberikan instruksi tertulis paling tidak dengan huruf berukuran
14.
9) Ingatlah pentingnya masalah psikososial ketika merawat pasien
lanjut usia.
b. Gangguan kognitif pasien
1) Jangan mengabaikan pasien.
2) Bertanyalah dengan pertanyaan sederhana yang hanya memerlukan
jawaban “ya” atau“tidak” dan bahasa tubuh sederhana.
3) Ketika melakukan pemeriksaan, berikan instruksi satu persatu.
c. Pertemuan dengan keterlibatan pihak ketiga.
1) Persiapkan lingkungan ruang pemeriksaan dengan 3 kursi dalam
bentuk segitiga.
2) Pada mulanya berikan pertanyaan kepada pasien, kemudian mintalah
masukan dari pendamping pasien.
3) Mintalah pasien dan pendamping pasien untuk mengulang kembali
setiap instruksi yang penting.

F. Hambatan Komunikasi pada Pasien Lansia


1. Pasien dengan Defisit Sensorik

Beberapa pasien menunjukkan defisit pendengaran dan penglihatan


yang terkait dengan usia, keduanya memerlukan adaptasi dalam
berkomunikasi. Penelitian mengindikasikan bahwa 16% - 24% individu
berusia lebih dari 65 tahun mengalami penurunan pendengaran yang
mempengaruhi komunikasi (Crews & Campbell, 2004 ; Mitchell, 2006).
Bagi mereka yang berusia diatas 80 tahun, jumlah gangguan sensorik
meningkat menjadi lebih dari 60% (Chia et al., 2006).
20

Aging/penuaan mengakibatkan penurunan fungsi pendengaran yang


dikenal sebagai presbyacussis, yang terutama berkenaan dengan suara
berfrekuensi tinggi. Suara berfrekuensi tinggi adalah suara konsonan yang
berdampak pada pemahaman pasien diawal dan akhir kata. Sebagai
contoh, jika anda berkata “Minumlah pil dipagi hari”, pasien akan
mendengar vokal dalam kata tetapi pasien dapat berpikir anda berkata
“Dakilah bukit dipagi hari” (Fook & Morgan, 2000 ; Ross et al., 2007).

Gangguan visual yang berhubungan dengan usia meliputi reduksi


diameter pupil; lensa mata menguning, yang mempersulit untuk
membedakan warna dengan panjang gelombang pendek seperti lavender,
biru, dan hijau; dan menurunkan elastisitas ciliary muscles, yang
mengakibatkan penurunan akomodasi ketika bahan cetakan dipegang
diberbagai jarak. Kebanyakan pasien lanjut usia mengalami penyakit mata
yang menurunkan ketajaman penglihatan (mis. katarak, degenerasi
macular, glaucoma, komplikasi ocular pada diabetes). Lebih dari 15%
orang tua berusia lebih dari 70 tahun melaporkan penglihatannya yang
buruk, dan 22% lagi melaporkan penglihatannya hanya cukup untuk jarak
tertentu (Crews & Campbell,2004). Bagi mereka yang berusia diatas 80
tahun, 30% melaporkan penglihatannya yangterganggu (Chia et al., 2006).

a. Pendekatan untuk Berkomunikasi pada Pasien dengan Defisit Sensori

Ketika berkomunikasi dengan pasien lanjut usia dengan


pendengaran yang berkurang,tataplah pasien sehingga pasien dapat
membaca bibir dan menggunakan isyarat mata. Meminimalkan
kebisingan, dan berbicara pelan, jelas, dan dalam nada yang normal.
Berteriak akan menghambat komunikasi, mengubah nada berfrekuensi
tinggi, dan mempersulit pasienuntuk memahami kata-kata anda. Jika
suara anda melengking, meredam lengkingan ketika anda berbicara
dapat membantu pasien untuk mendengar anda dengan lebih baik.
Ketika memberikaninstruksi untuk medikasi, tes, atau pengobatan,
hindarkan untuk bertanya kepada pasien apakahdia mengerti. Orang
dengan gangguan pendengaran mungkin akan menjawab “ya” tanpa
21

menyadari bahwa mereka belum mendengar apapun atau salah


memahami beberapa informasi. Pendekatan yang lebih baik untuk
mengecek pemahaman pasien adalah dengan meminta pasienuntuk
mengulang instruksi (Adelman et al., 2000).

Akhirnya, karena pendengaran memburuk dikemudian hari,


appointment yang lebih awal umumnya lebih baik (Veras & Mattos,
2007). Jika tersedia, pengeras suara (alat portable yang memperkuat
suara dokter dan memancarkannya ke headphones yang dipakai oleh
pasien) diketahui sangat memudahkan komunikasi dengan pasien yang
mengalami gangguan pendengaran (Fook & Morgan, 2000). Ketika
berkomunikasi dengan pasien dengan gangguan penglihatan,
lingkungan klinik dapat diperbaiki dengan memperbanyak
pencahayaan, menggunakan warna-warna kontras untuk membuat objek
lebih jelas (mis. kerangka pintu, kursi yang berada dilantai klinik), dan
menggunakan huruf yang besar serta berwarna kontras untuk setiap
tanda. Setiap bahan dengan tulisan harus dicetak paling tidak dengan
huruf berukuran 14 diatas kertas berwarna. Direkomendasikan untuk
menggunakan dua sumber cahaya, pencahayaan untuk latar belakang
dan lampu tertutup (Roter, 2000).

Ketika membahas rencana pengobatan, ingatlah masalah keamanan


potensial yaitu gangguan penglihatan. Sebagai contoh, pasien lanjut
usia kadang-kadang akan meletakkan obatnya dalam satu wadah dan
tergantung pada satu warna untuk mengenalinya. Ini dapat menjadi
masalah keamanan, karena banyak obat yang berwarna putih, biru
muda, hijau muda, yang akan terlihat berwarna abu-abu oleh mata yang
telah menua. Warna merah, oranye, dan kuning paling baik dilihat dan
dapat digabungkan kedalam perawatan. Pada contoh lain, pasien yang
mengalami kesulitan memastikan dosis insulin dapat diinstruksikan
untuk ditempatkan pada warna merah diatas meja, yang akan
mempermudahnya untuk melihat jarum dan vial. Kertas kontak
berwarna merah dapat dibalutkan pada pegangan untuk berjalan,
22

tongkat atau tabung oksigen untuk membantu pasien lanjut usia untuk
mengambilnya (Adelman et al., 2000).

2. Pasien dengan Demensia

Penilaian dan pengobatan pasien lanjut usia dengan demensia juga


akan sangat membantu bila melibatkan caregiver (istilah caregiver
digunakan dari point ini untuk merujuk pada setiap orang yang menemani
kunjungan yang merupakan informal caregiver) (Roter, 2000). Ada banyak
tingkatan demensia, yang memiliki berbagai kesulitan komunikasi. Pasien
pada stadium awal sering mengalami masalah untuk menemukan kata
yang ingin disampaikan, pasien banyak menggunakan kata-kata yang tidak
memiliki makna, seperti “hal ini”, “sesuatu”, dan “anda tahu”. Pada
demensia parah, pasien dapat menggunakan jargon yang tidak dapat
dipahami atau bisa hanya berdiam diri (Orange & Ryan, 2000).

Demensia memiliki efek yang merugikan pada penerimaan dan


ekspresi komunikasi pasien. Sebagian besar pasien mengalami kehilangan
memori dan mengalami kesulitan mengingat kejadian yang baru terjadi.
Sebagian pasien demensia memiliki rentang konsentrasi yang sangat
singkat dan sulit untuk tetap berada dalam satu topik tertentu (Miller,
2008).

a. Pendekatan untuk Berkomunikasi dengan Pasien Demensia

Faktor yang paling kritis dalam berkomunikasi dengan pasien


demensia adalah memantapkan hubungan perawatan sesegera mungkin.
Diatas segalanya yang paling penting adalah merawat pasien dengan
penuh martabat dan hormat. Ada kecenderungan untuk memperlakukan
pasien demensia seperti anak-anak atau berbicara dengan mereka
sepertinya mereka adalah anak-anak. Harus diingat bahwa pasien
demensia kehilangan kemampuannya untuk berkomunikasi, bukan
kehilangan kepandaiannya. Mereka adalah orang dewasa yang hidup
produktif dan layak mendapatkan penghormatan. Pasien demensia juga
sangat sensitif terhadap emosi orang lain. Pada umumnya pasien
23

tersebut, lebih merespon kepada bagaimana cara seseorang berbicara


kepada mereka daripada apa yang sebetulnya dikatakan (Smith et
al.,2006 ; Miller, 2008).

Sebagai akibatnya, sangat penting untuk mendekati pasien dengan


cara yang tenang danmenyenangkan. Pasien demensia sangat
bergantung pada komunikasi nonverbal, maka pentinguntuk tidak
membiarkan bahasa tubuh anda memberikan kesan bahwa anda sedang
tergesa-gesa (Orange, 2000 ; Smith et al., 2006). Saat memasuki
ruangan pemeriksaan, anda sebaiknya langsung mengarah ke pasien
dengan tenang, menjaga kontak mata dan menampilkan ekspresi yang
bersahabat. Pergunakan nada suara yang tenang dan lembut sembari
menyentuh bahu pasien dengan lembut akan menunjukkan anda peduli
dan ingin berbagi. Anda harus memperkenalkan diri, walaupun anda
telah mengenal pasien ini cukup lama. Akan cukup efektif bila anda
menghabiskan beberapa menit untuk mengobrol dan mengingatkan
pasien pada keadaan sosialnya.

Proses mengingatkan ini merupakan tehnik komunikasi yang cukup


efektif pada pasien demensia, karena hal ini akan membangkitkan
memori jangka panjang mereka, membuat kilas balik masa lalu, saat ini
dan masa akan datang dalam pikiran mereka serta mengurangi
ketegangan (Puentes, 1998). Pertanyaan harus disampaikan dengan
sederhana dan pelan-pelan. Jargon dan penggunaan istilah
penggambaran harus dihindarkan, karena pasien akan
menginterpertasikan pernyataan tersebut secara apa adanya, sebagai
contoh, ketika meminta pasien untuk menjelaskan nyeri epigastrium,
anda harus menghindari untuk menanyakan apakah ini adalah nyeri
“terbakar”. Bahasa fisik tubuh yang sederhana dapat membantu. Anda
dapat meletakkan tangan anda di atas dada dan menggerakkannya
keatas dan kebawah. Kadang-kadang pertanyaan yang hanya dijawab
“ya” atau “tidak” dapat berhasil baik (Miller, 2008). Tunggu 15 – 20
detik sebelum mengulang pertanyaan dengan menggunakan kata-kata
yang sama. Secara rutin menguji dengan orientasi bertanya akan
24

menyebabkan frustasi, pasien demensia tidak dapat menjawab


pertanyaan bernada seperti itu karena memori mereka yang berkurang
(Smith et al., 2006).

Mendengarkan pasien demensia dengan seksama adalah sangat


penting. Meskipun mungkin anda tidak memahami segalanya, beberapa
kata dalam percakapan dapat memberikan ide tentang apa yang ingin
disampaikan pasien. Caregiver sering dapat menguraikan keganjilan
atau kata-kata yang bukan pada tempatnya yang didasarkan pada
pengalaman masa lalu pasien (Smith et al., 2006). Ketika melakukan
pemeriksaan fisik, lebih disukai untuk memberikan instruksi satu
persatu. Sebagai contoh, jika anda ingin memeriksa gaya berjalan
pasien, paling baik untuk tidak berkata, “Tolong berdiri, berjalan
melintasi ruangan dan kembali lagi”. Lebih baik untuk mulai dengan
mengatakan “Tolong berdiri”. Kemudian setelah pasien menyelesaikan
tugasnya, lanjutkan dengan “Tolong berjalan dalam ruangan ini”.
Penting untuk memberikan hormat dan meminta ijin setiap kali akan
melakukan pemeriksaan. Sebagai contoh “Bolehkah saya
mendengarkan dada anda?”, dan menununjukkan stetoskop, “Bolehkah
saya mengecek perut anda?”, dan kemudian memeriksa perut, dan
seterusnya (Miller, 2008).

3. Pasien yang Ditemani oleh Caregiver

Karakteristik utama kunjungan poliklinik geriatri adalah adanya


orang ketiga, dengan seorang anggota keluarga atau caregiver informal
lainnya yang hadir sedikitnya pada sepertiga kunjungan geriatrik
(Roter, 2000). Meskipun caregiver dapat mengasumsikan berbagai
peran, termasuk pendukung, peserta pasif, atau antagonis, pada
sebagian besar kasus, caregiver menempatkan kesehatan orang yang
mereka cintai sebagai prioritasnya. Caregiver sangat penting untuk
sistem perawatan kesehatan lanjut usia. Mereka tidak hanya membantu
dengan nutrisi, aktivitas kehidupan sehari-hari, tugas rumah tangga,
25

pemberian obat, transportasi, dan perawatan lain untuk pasien lanjut


usia, caregiver membantu memudahkan komunikasi antara dokter dan
pasien serta mempertinggi keterlibatan pasien dalam perawatan mereka
sendiri (Clayman et al., 2005 ; Wolff & Roter, 2008). Juga merupakan
hal penting untuk memperlakukan pasien lanjut usia dalam konteks
atausudut pandang caregiver-nya agar didapatkan hasil terbaik bagi
keduanya (Griffith et al., 2004).

a. Pendekatan untuk Berkomunikasi

Pada kunjungan pertama, untuk melindungi privasi pasien,


paling baik untuk menemui pasien sendirian dan kemudian meminta
ijin kepada pasien untuk berbicara dengan caregiver sendirian. Pada
kunjungan berikutnya, jika disetujui pasien, caregiver dapat
bergabung dengan pasien selama perjanjian (Silliman, 2000). Ketika
caregiver hadir selama kunjungan klinik, komunikasi menjadi
interaksi 3 arah. Untuk memudahkan komunikasi, anda harus
menyusun kursi sehingga anda bertiga duduk dalam satu posisi
berbentuk segitiga. Kemudian, anda dapat memberikan pertanyaan
kepada pasien dan kemudian meminta masukan dari caregiver.
Caregiver dapat mengklarifikasi masalah pasien lanjut usia dan
memperkuat instruksi yang diberikan kepada pasien. Anda perlu
untuk melibatkan pasien dalam pertemuan, bahkan ketika caregiver
menyela dengan menjawab pertanyaan. Dalam hal ini pasien sering
disisihkan atau diminimalkan selama kunjungan karena hadirnya
orang ketiga, maka penting bagi anda untuk selalu mencoba
melibatkan pasien sepenuhnya dalam semua keputusan (Majerovitz
et al., 1994).

Hubungan dokter-pasien-caregiver bersifat dinamis, selalu


berubah setiap saat ketika pasien dan caregiver memerlukan
perubahan. Caregiver dapat memberikan definisi gejala, perubahan
dalam fungsi, dan penilaian efek medikasi. Karena caregiver adalah
bagian dari perawatan pasien, maka penting untuk mewaspadai tanda
26

fisik verbal dan nonverbal atau stress emosional caregiver. Persepsi


caregiver terhadap kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas
kehidupan sehari-hari sangat berhubungan dengan tingkat stress
caregiver. Maka anda harus memberi pertanyaan yang menjelaskan
deskripsi level fungsi pasien dan mengamati tanda stress atau depresi
pada caregiver. Pujian untuk caregiver memberikan dorongan
kepada pasien dan caregiver untuk hasil yang lebih baik bagi
keduanya (Razani et al., 2007).

4. Mendominasi pembicaraan

Karakter lansia yang terkadang merasa lebih tua dan mengerti


banyak hal menimbulkan perasaan bahwa ia mengetahui segalanya.
Kondisi seperti ini akan menyebabkan seorang lansia jadi lebih
mendominasi pembicaraan atau komunikasi. Selanjutnya adalah ia tidak
akan merasa senang jika lawan bicaranya memotong pembicaraan yang
sedang ia lakukan. Hal ini akan sangat menyulitkan pembicaraan yang
terjadi.

5. Mempertahankan hak dengan menyerang

Kebanyakan lansia memang bersifat agresif. Beberapa dari mereka


berusaha untuk mempertahankan haknya dengan menyerang lawan
bicaranya. Komunikasi yang efektif tentunya tidak akan tercapai jika
lansia berada dalam kondisi yang seperti ini. Bahkan meskipun lawan
bicara sudah berusaha keras untuk memberikan pemahaman bahwa ia
mendapatkan haknya, namun lansia terkadang tetap merasa tidak aman
sehingga terus melakukan penyerangan pada lawan bicaranya.

6. Cuek

Cuek oleh lansia ditandai dengan sikap menarik diri saat akan
diajak berbicara atau berkomunikasi. Sikap seperti ini biasanya diikuti
dengan perasaan menyepelekan orang lain. Banyak para lansia yang
merasa bahwa komunikasi dengan orang yang lebih muda dibandingkan
dengan dirinya adalah satu kegiatan yang sia-sia dan tidak bermanfaat
sehingga ia akan dengan mudah menarik diri dari pembicaraan.
27

7. Stress

Lansia sangat mudah diserang oleh stres, baik akibat kondisi fisik
yang ia alami, maupun faktor lainnya. Jika seorang lansia sudah
menderita stres, maka ia akan selalu mudah marah dan tidak mau
mendengar apapun yang dikatakan oleh orang lain. Kondisi ini hanya
bisa diperbaiki jika sumber dari beban pikirannya telah diatasi.

8. Tertidur

Beberapa lansia mengalami masalah dengan sistem saraf mereka


sehingga banyak dari mereka yang mungkin akan tertidur ketika diajak
berbicara. Kelelahan yang amat sangat akan membuat mereka yang
tadinya begitu bersemangat dalam berbicara, tiba-tiba tertidur dan tidak
mengetahui apapun ketika bangun. Hal ini lebih banyak terjadi pada
lansia yang memiliki riwayat penyakit demensia atau Alzheimer. Lansia
dengan riwayat penyakit tersebut biasanya lebih mudah tertidur, bahkan
ketika sedang makan sekalipun.

9. Lupa

Lupa adalah salah satu ciri dari seorang lansia. Kebanyakan lansia
akan berkali-kali menanyakan hal yang sama meskipun sudah dijawab
berulang kali. Jika lawan bicaranya tidak sabar, maka komunikasi yang
terjadi pun menjadi tidak lancar. Menjadi sebuah kewajaran dimana
lansia menjadi sangat pelupa, sehingga sangat dibutuhkan pengertian
dan kesabaran dari lawan bicara dalam menghadapi lansia.

10. Lebih banyak diam

Lansia yang diajak melakukan komunikasi namun lebih banyak


diam biasanya merupakan jenis lansia yang pasif. Lansia dengan
kondisi seperti ini akan menyerahkan setiap topik dan keputusan dalam
sebuah komunikasi pada lawan bicaranya. Mereka juga akan sulit untuk
dimintai pendapat karena lebih banyak mengiyakan dan mengikuti apa
yang dipikirkan oleh lawan bicara.

11. Cerewet
28

Bagi kebanyakan orang, lansia adalah pribadi yang cerewet yang


dihindari untuk diajak bicara. Beberapa lansia memang terkesan sangat
cerewet. Hal ini tidak terlepas dari pemikiran mereka untuk selalu
menasehati orang yang lebih muda. Keinginan untuk selalu berbicara
juga tidak terlepas dari rasa kesepian dan kebosanan yang mereka
rasakan. Salah satu cara mengatasi sifat cerewet yang banyak dihindari
lawan bicara ini adalah dengan berusaha menjadi pendengar yang baik.
Dengan melihat sikap lawan bicaranya yang menghargai apa yang ia
katakan, maka ia pun akan ikut memberikan kesempatan pada lawan
bicaranya untuk berbicara.

12. Mudah marah

Lansia identik dengan berbagai macam penyakit dan komplikasi.


Rasa sakit yang dirasakan tentu saja akan membuatnya tidak nyaman
dan menjadi mudah marah, bahkan meskipun tidak ada penyebabnya.
Rasa mudah marah ini membuat banyak orang menjadi malas untuk
melakukan cara berkomunikasi dengan baik dengan lansia karena akan
selalu disalahkan atas segala sesuatu yang ada.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Komunikasi pada lansia membutuhkan perhatian khusus. Perawat harus
waspada terhadap perubahan fisik, psikologi, emosi dan sosial yang
mempengaruhi pola komunikasi. Perubahan pada telinga bagian dalam dan
telinga menghalangi proses pendengaran pada lansia sehingga tidak
toleranterhadap suara. Komunikasi yang biasa dilakukan lansia bukan hanya
sebatas tukar menukar perilaku, perasaan, pikiran, dan pengalaman, tetapi
juga hubungan intim yang terapeutik. Manfaat komunikasi terapeutik adalah
untuk mendorong dan menganjurkan kerja sama antara perawat dan pasien
melalui hubungan perawat dan pasien serta mengidentifikasi, mengungkap
perasaan dan mengkaji masalah, dan evaluasi tindakan yang dilakukan oleh
perawat. Teknik komuikasi yang baik akan memperbaiki outcome pasien
lanjut usia dan caregiver-nya. Bukti mengidentifikasikan bahwa outcome
perawatan kesehatan untuk orang tua tidak hanya tergantung pada perawatan
kebutuhan biomedis tetapi juga tergantung pada hubungan perawatan yang
diciptakan melalui komunikasi yang efektif. Dengan komunikasi yang efektif
antara perawat-pasien lanjut usia: Pasien dan keluarganya dapat
menceritakan gejala dan masalahnya, yang akan memungkinkan perawat
memberikan pelayanan sesuai dengan masalah dan kebutuhan pasien lansia
serta instruksi dan saran perawat akan lebih mungkin untuk diikuti.

B. Saran
Bagi perawat harus memahami tentang aplikasi komunikasi terapeutik
pada lanjut usia agar pemeriksaan pasien lansia di Rumah Sakit berjalan
dengan lancar dan kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini
tidak luput dari kesalahan. Besar harapan kami kepada pembaca untuk bisa

29
memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun agar makalah ini
menjadi lebih sempurna.

30
DAFTAR PUSTAKA

Adelman, R.D., Greene, M.G., Ory, M.G. 2000. Communication between older
patients andtheir physicians. Clin Geriatr Med ;16:1–24

Butler, R.N. 1969. Age-ism: another form of bigotry. Gerontologist ;9:243–6

Chia, E.M., Mitchell, P., Rochtchina, E., et al. 2006. Association between vision
and hearing impairments and their combined effects on quality of life.
Arch Ophthalmol ;124:1465–70

Clayman, M.L., Roter, D., Wissow, L.S., Bandeen, R.K. 2005. Autonomy related
behaviors of patient companions and their effects on decision making in
geriatric primary care visits. Soc Sci Med ;60:1583–91

Crews, J.E., Campbell, V.A. 2004. Vision impairment and hearing loss among
community-dwelling older Americans: implications for health and
functioning. Am J Public Health ;94:823–9

Departemen Kesehatan Indonesia. (2017). Undang-Undang Republik Indonesia


Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. http://www.depkes.
go.id/resources/download/peraturan/UU%20No.%2044%20Th
%202009%20ttg%20Rumah%20Sakit. PDF diakses pada tanggal 7
September 2017.
Fook, L., Morgan, R. 2000. Hearing impairment in older people: a review.
Postgrad Med J ;76:357–41

Greene, M.G., Adelman, R.D., Charon, R., Friedmann, E. 1989. Concordance


between physicians and their older and younger patients in the primary
care medicalencounter. Gerontologist ; 29 : 808–13

Griffith, J.C., Brosnan, M., Lacey, K. 2004. Family meetings - a qualitative


exploration of improving care planning with older people and their
families. Age Ageing ;33:577–81

Haug, M.R., Ory, M.G. 1987. Issues in elderly patient-provider interactions. Res
Aging ;9 : 3–44

31
32

Maharani, Dian. 2014. Pasien Lansia Perlu Fasilitas Khusus di Rumah Sakit.
http://lifestyle.kompas.com/read/2014/12/05/130000423/Pasien.Lansia.P
erlu.Fa silitas.Khusus. di.Rumah.Sakit diakses pada tanggal 7 September
2017.

Majerovitz, S.D., Greene, M.G., Adelman, R.D., Rizzo, C. 1994. The effects of
the presence of a third person on the physician-older patient medical
interview. J Am Geriatr Soc;42:413–9

Miller, C.A. 2008. Communication difficulties in hospitalized older adults with


dementia. Am J Nurs ;108:58–66

Mitchell, R.E. 2006. How many deaf people are there in the United States?.
Estimates fromthe Survey of Income and Program Participation. J Deaf
Stud Deaf Educ ;11:112–9

Ong, L.M., de Haes, J.C., Hoos, A.M., Lammes, F.B. 1995. Doctor-patient
communication : a review of the literature. Soc Sci Med ;40:903-918

Orange, J.B., Ryan, E.B. 2000. Alzheimer’s disease and other dementias.
Implications for physician communication. Clin Geriatr Med ;16:15–73

Ory, M., Kinney, H.M., Hawkins, M. 2003. Challenging aging stereotypes:


strategies for creating a more active society. Am J Prev Med ; 25 : 164–
71

Perwari, Cendikia. 2015. Cara Perawatan Pada Lansia. http://www.


perawatilmiah.com/2015/11/cara-perawatan-pada-lansia.html diakses
pada tanggal 7 September 2017.
Prasanti, Ditha. 2017. Komunikasi Terapeutik Tenaga Medis dalam Pemberian
Informasi tentang Obat Tradisional bagi Masyarakat. Jurnal Mediator
Vol. 10, no.1 tahun 2017.
Puentes, W.J. 1998. Incorporating simple reminiscence techniques into acute care
nursing practice. J Gerontol Nurs 1998;24:14–20

Razani, J., Kakos, B., Orieta, C. 2007. Predicting caregiver burden from daily
functionalabilities of patients with mild dementia. J Am Geriatr
Soc ;55:1415–20
33

Robinson, T.E., White, G.L. Jr., Houchins, J.C. 2006. Improving communication
with older patients: tips from the literature. Fam Pract Manag ;13:73–8

Ross, B., Fujioka, T., Tremblay, K.L., Picton, T.W. 2007. Aging in binaural
hearing beginsin mid-life: evidence from cortical auditory-evoked
responses to changes in interaural phase. J Neurosci ;27:11172–8

Roter, D.L. 2000. The outpatient medical encounter and elderly patients. Clin
Geriatr Med ;16:95–107

Silliman, R.A. 2000. Caregiving issues in the geriatric medical encounter. Clin
Geriatr Med ;16:51–60

Smith, M., Hall, G.R., Gerdner, L., Buckwalter, K.C. 2006. Application of the
Progressively Lowered Stress Threshold Model across the continuum of
care. Nurs Clin North Am ;41:57–81

Vieder, J.N., Krafchick, M.A., Kovach, A.C., Galluzzi, K.E. 2002. Physician
patientinteraction: what do elders want?. J Am Osteopath
Assoc;102 :73–8

Veras, R.P., Mattos, L.C. 2007. Audiology and aging: literature review and
currenthorizons. Braz J Otorhinolaryngol ;73:122–8

Wolff, J.L., Roter, D.L. 2008. Hidden in plain sight: medical visit companions as
aresource for vulnerable adults.

Anda mungkin juga menyukai