Anda di halaman 1dari 39

PRINSIP KOMUNIKASI DALAM

KEPERAWATAN PALIATIF

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 2

AIP HAKIKI (214201446164)

KURNAESIH (214201446164)

NENG HERNI (214201446164)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS NASIONAL

JAKARTA TAHUN 2022


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan nikmat sehat
wal’afiat kepada kita semua baik sehat jasmani maupun rohani, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang bertemakan PRINSIP KOMUNIKASI DALAM
KEPERAWATAN PALIATIF.
Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat ini masih banyak kekurangan dan
masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, kami memohon maaf yang sebesar-besarnya
atas segala kekurangan dan kesalahan-kesalahan dalam pembuatan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan berjalan sesuai dengan apa yang
diharapkan. Demikian makalah ini kami buat, atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan
terimakasih.

Jakarta, 05 September 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i

DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG........................................................................................................1


1.2 RUMUSAN MASALAH....................................................................................................3
1.3 TUJUAN..............................................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK..................................................................4


2.2 PERSPEKTIF SEJARAH....................................................................................................5
2.3 PRINSIP KOMUNIKASI DALAM PERAWATAN PALIATIF........................................6
2.4 TEKNIK KOMUNIKASI..................................................................................................21
2.5 PENTINGNYA KOMUNIKASI.......................................................................................29

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan........................................................................................................................33
3.2 Saran..................................................................................................................................35

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................36

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Komunikasi adalah dasar dari ditegakkannya assessment, tujuan perawatan
dikembangkan, dan hubungan ditetapkan. Pasien dengan masa depan tidak pasti
membutuhkan pendekatan yang jujur, untuk mengejar harapan yang nyata, dan informasi
yang terbaru, untuk mengorganisai prioritas dan untuk koping adaptasi dengan penyakit
yang dideritanya. Komunikasi efektif sangat penting untuk memperoleh kebutuhan
pasien dan keluarganya, untuk bernegosiasi tentang tujuan dari perawatan, dan untuk
menolong pasien dan keluarganya menambah perhatian. Komunikasi yang baik mengatur
nada untuk semua aspek perawatan pada waktu hidup, memungkinkan pasien untuk
menggambarkan dirinya dan prioritasnya, nilai, dan kebutuhan di akhir hidupnya.
Diskusi yang berkelanjutan memfasilitasi ekspresi perasaan pasien dengan anggota
keluarga, termasuk masalah mereka dan masalah seputar penyakit yang mengancam jiwa
dan kekhawatiran mereka tentang perawatan. Ini pada gilirannya menciptakan kerangka
kerja yang berfungsi sebagai panduan bagi penyedia layanan kesehatan untuk
menetapkan perbedaan dalam perawatan di akhir kehidupan, dari mana rencana
perawatan itu dikembangkan. Tanpa komunikasi yang efektif, pasien pengalaman
penderitaan tidak diketahui, dan gejala yang efektif kontrol tidak mungkin.
Menurut American Nurses Association, perawat memiliki tugas untuk
mengedukasi pasien dan keluarga tentang kematian untuk mendorong diskusi tentang
preferensi hidup, memberikan informasi yang relevan untuk mengambil keputusasaan,
dan untuk anjuran perawatan bagi pasien. Bagaimana pun, banyak perawat tidak nyaman
berkomunikasi dengan pasien sekarat. Banyak penelitian yang mengidentifikasi
kurangnya komunikasi pada pemberian perawatan dan indikasi pengetahuan dan
kemampuan komunikasi pada menjelang ajal. Hambatan untuk komunikasi bersifat
multidimensional. Pasien sering menghindari berbicara tentang rasa sakit, kemarahan,
rasa kehilangan rasa bersalah, dan ketakutan karena malu, bingung, dan larangan budaya.
Keluarga mungkin tidak dapat berbicara tentang sifat alami dari anggota keluarga yang
memiliki penyakit. Mereka mungkin tidak memiliki pengetahuan tentang pilihan pasien
untuk jenis perawatan. Tidak mengherankan, keluarga cenderung melebih-lebihkan

1
kemungkinan menyembuhkan dan takut mengalami penyesalan di masa depan jika
mereka tidak menuntut perawatan kuratif lebih lanjut.
Masalah keperawatan dalam komunikasi termasuk rasa takut, medis dan masalah
hukum. Salah satu kekhawatiran adalah anggapan yang membawa masalah-masalah yang
berkaitan dengan perencanaan perawatan yang sekarat atau perawatan lanjut akan
menyebabkan tekanan emosional. Perawat dapat mengantisipasi konflik antara pasien
dan keluarga. Mereka mungkin memiliki kekhawatiran tentang medis dan masalah
hukum terkait dengan ruang lingkup praktik mereka. Namun, perawat sering kali
menyediakan layanan kesehatan pertama yang mengidentifikasi masalah. Berkenaan
dengan perencanaan perawatan lanjutan, tujuan perawatan, konflik antara keinginan
pasien dan keluarga, dan penggunaan langkah-langkah mempertahankan hidup. Selain
itu, Fallowfield menyarankan bahwa beberapa dokter percaya perawat lebih mampu
berbicara dengan pasien dan keluarga daripada mereka. Namun, banyak perawat yang
merasa tidak nyaman dengan keterampilan komunikasi mereka, merasakan tekanan
waktu yang terlalu sedikit, atau merasa terancam oleh percakapan seperti itu. Namun,
dalam pengalaman kami, sebagian besar konsultasi perawatan paliatif dihabiskan untuk
diskusi tentang tujuan perawatan.
Di seberang spektrum perawatan paliatif, komunikasi terjadi pada saat-saat kritis.
Tergantung pada prognosis pasien, komunikasi ini dapat terjadi dalam waktu yang lama
atau waktu singkat. Komunikasi awal terdiri dari pengenalan perawat dan pasien,
mungkin pada saat diagnosis awal dari penyakit yang berpotensi mengancam nyawa.
Selama waktu ini, pasien dan perawat saling mengenal lain. Tugas perawat pada tahap ini
adalah untuk memperoleh kepribadian dan mengatasi gaya dan untuk menggali
pemahaman pasien tentang penyakitnya. Selain itu, perawat mengidentifikasi apa saja
perencanaan perawatan lanjut yang sudah ada dan menentukan prioritas dan tujuan
pasien. Tugas pasien semakin dikenal perawat sebagai anggota tim perawatan kesehatan.
Komunikasi ini dapat berjalan dengan lancar sampai kondisi pasien perubahan, pada saat
mana fokus perawatan dapat berubah. Saat ini titik, pasien mencari kepercayaan dan
jaminan dari perawat, termasuk keterlibatan berkelanjutan. Belakangan, mungkin ada
diskusi berita buruk, di mana realitas situasinya ditujukan dan tujuan bersama ditetapkan.
Selama waktu ini, konflik dapat dinegosiasikan atau perawatan yang mempertahankan
hidup dibahas. Perawat mungkin menjadi bagian dari diskusi ini; jika tidak, perawat
nantinya dapat berfungsi untuk memperkuat informasi. Akhirnya, seperti pasien sedang
sekarat, komunikasi dengan pasien dan keluarga sering berfokus pada isu-isu seperti

2
dukungan keputusan, lanjut jaminan bahwa kenyamanan akan dipertahankan, dan
antisipatif berduka. Komunikasi dengan anggota keluarga terus selama kesedihan
antisipatif dan, setelah kematian para sabar, selama berkabung.
Dalam spektrum perawatan kesehatan, perawat dipercaya anggota tim perawatan
kesehatan pada saat diagnosis, selama pengobatan, dan di tahap akhir kehidupan. Melalui
efektif komunikasi, perawat memiliki peran penting dalam mendukung sabar. Memang,
perawat mungkin memiliki kesempatan terbaik untuk melakukannya pelajari harapan,
ketakutan, mimpi, dan penyesalan pasien dan ciptakan sebuah lingkungan penyembuhan.
Banyak perawat yang tidak memilikinya pelatihan dalam komunikasi sebagai bagian dari
pendidikan mereka juga kemewahan untuk bekerja sama dengan disiplin ilmu kesehatan
lainnya untuk mempelajari keterampilan ini. Bab ini mengulas fundamentalnya unsur
komunikasi dan peran perawat dalam berkomunikasi dengan pasien, memfasilitasi
komunikasi proses dalam perencanaan perawatan lanjutan, membantu menetapkan
tujuan, dan menyampaikan kabar buruk. Diskusi tentang peran keperawatan di perawatan
kolaboratif dan resolusi konflik juga disertakan.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1) Pengertian Komunikasi
2) Perspektif Sejarah
3) Prinsip Komunikasi Dalam Perawatan Paliatif
4) Teknik Komunikasi
5) Pentingnya Komunikasi

1.3 TUJUAN
1) Untuk mengetahui pengertian komunikasi.
2) Untuk mengetahui perspektif sejarah paliatif.
3) Untuk mengetahui dan memahami prinsip komunikasi dalam perawatan paliatif.
4) Untuk mengetahui dan memahami teknik komunikasi dengan benar.
5) Untuk mengetahui dan memahami pentingnya dalam komunikasi.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN KOMUNIKASI


Komunikasi merupakan pertukaran informasi yang dilakukan oleh dua orang atau
lebih dengan maksud dan tujuan tertentu. Sedangkan, menurut KBBI komunikasi
merupakan pengiriman dan penerimaan informasi, berita, atau pesan yang dilakukan oleh
dua orang atau lebih sehingga maksud atau pesan tersebut dapat dipahami.
Seseorang dengan penyakit kronis atau dengan penyakit terminal akan mengalami
rasa berduka dan kehilangan. Sebagai seorang perawat kita harus mampu memahami hal
tersebut. Komunikasi dengan klien penyakit terminal dan kronis merupakan komunikasi
yang tidak mudah. Perawat harus memiliki pengetahuan tentang penyakit yang mereka
alami serta pengetahuan tentang proses berduka dan kehilangan. Dalam berkomunikasi
perawat menggunakan konsep komunikasi terapeutik.
Saat berkomunikasi dengan klien dengan kondisi seperti itu bisa jadi akan timbul
penolakan dari klien. Dalam menghadapi kondisi tersebut, perawat menggunakan
komunikasi terapetik. Membangun hubungan saling percaya dan caring dengan klien dan
keluarga melaui penggunaan komunikasi terapeutik membentuk dasar bagi intervensi
pelayanan paliatif ( Mok dan Chiu, 2004 dikutip dari Potter dan Perry 2010).
Komunikasi terapeutik merupakan hubungan interpersonal antara perawat dan klien,
dalam hal ini perawat dan klien memperoleh pengalaman belajar bersama dalam rangka
memperbaiki pengalaman emosional klien (Stuart, 1998) atau proses dimana perawat
menggunakan pendekatan terencana dalam mempelajari klien (Potter – Perry, 2000).
Fungsi komunikasi terapeutik menganjurkan kerjasama antara perawat dan klien.
Perawat berusaha mengidentifikasi dan mengkaji masalah serta mengevaluasi tindakan
yang dilakukan dalam perawatan (Purwanto, 1994). Proses komunikasi yang baik dapat
memberikan pengertian tingkah laku klien dan membantu klien dalam rangka mengatasi
persoalan yang dihadapi pada tahap perawatan. Sedangkan pada tahap preventif, fungsi
komunikasi terapeutik adalah mencegah adanya tindakan yang negatif terhadap
pertahanan diri klien.
Berdasarkan pendapat Purwanto, pengertian komunikasi terapeutik merupakan bentuk
keterampilan dasar untuk melakukan wawancara dan penyuluhan dalam artian wawancara

4
digunakan pada saat perawat melakukan pengkajian, dan penyuluhan kesehatan dan
perencanaan perawatan (Setianti, 2007).
Komunikasi terapeutik didefinisikan pula sebagai komunikasi yang bertujuan untuk
menumbuhkan rasa percaya diri seseorang terhadap penyampaian pesan, sehingga terbina
hubungan yang saling percaya (Arwani, 2002).
Sedangkan menurut Indrawati, komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang
direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan
pasien (Fatmawati, 2010).

2.2 PERSPEKTIF SEJARAH


Komunikasi tentang akhir kehidupan telah berubah secara dramatis sejak 1960-an,
ketika kematian dan kematian ditutup, topik yang tidak diakui. Field dan Copp
menggambarkan gerakan yang menarik dalam komunikasi dengan pasien yang sekarat.
Awalnya, topik kematian dihindari dengan pasien dan hanya dibicarakan di antara
penyedia layanan kesehatan. Selain itu, keterampilan komunikasi dianggap sifat intuitif
atau diwariskan. Praktisi memiliki kemampuan komunikasi yang empatik dan efektif,
atau mereka tidak. Untuk pasien yang dirawat oleh seorang dokter yang tidak komunikatif
atau tidak efektif, kematian bisa menjadi pengalaman yang mengisolasi, cemas,
menakutkan, dan tidak percaya yang diterjemahkan ke dalam rasa ditinggalkan. Dalam
situasi seperti itu, keluarga mengalami kesedihan yang kompleks dan berkabung dan
peningkatan stres. Bagi perawat, komunikasi tidak langsung dan kurangnya
pengungkapan kebenaran dalam proses yang sekarat ini menghasilkan stres yang lebih
besar, kecemasan, dan komunikasi tidak autentik, yang diterjemahkan menjadi rasa
bersalah, konflik internal, dan rasa gagal.
Dari tahun 1960-an hingga 1980-an, prinsip-prinsip informed consent dan otonomi
menjadi dihargai dalam perawatan kesehatan. Pada 1990-an, ketika pengungkapan
kebenaran menjadi fokus sentral perawatan terminal, kematian menjadi topik diskusi
yang lebih terbuka bagi pasien. Untuk lebih baik atau lebih buruk, tanpa
mempertimbangkan keunikan sistem pasien / keluarga, pasien dan keluarga diberitahu
tentang kematian dan kematian terlepas dari keinginan mereka untuk mengetahui
informasi tersebut. Partisipasi aktif pasien dalam perawatan mereka menjadi nilai yang
mendasari yang mengarah ke rasa kontrol yang lebih besar dan berkurangnya kecemasan.
Namun, pergeseran ini tidak selalu memungkinkan masalah individu pasien untuk
didiskusikan, seperti apakah mereka ingin terlibat dalam membuat keputusan. Saat ini,

5
tren adalah proses bersyarat yang mendukung gaya koping individu pasien. Ini
memungkinkan perawatan untuk mengikuti kepribadian individu pasien, terutama dalam
hal tingkat penerimaan pasien atau penolakan proses kematian.
Mengingat kebutuhan ini untuk mengidentifikasi dan memperlakukan setiap pasien
secara individual, keterampilan komunikasi sangat penting untuk memberikan perawatan
yang optimal. Menariknya, perubahan dalam teori komunikasi telah terjadi secara
bersamaan. Penelitian telah menunjukkan bahwa keterampilan komunikasi, seperti
keterampilan lainnya, dapat diperoleh oleh penyedia layanan kesehatan. Oleh karena itu,
pendidikan komunikasi harus dimulai pada setiap tingkat pendidikan untuk keperawatan,
terlepas dari tingkat di mana perawat memasuki praktik — pendidikan tingkat asosiasi,
bujangan, master, atau postmaster. Namun, ada juga kebutuhan untuk menyediakan
pendidikan berkelanjutan dalam komunikasi untuk perawat saat ini dalam prakteknya.

2.3 PRINSIP KOMUNIKASI DALAM PERAWATAN PALIATIF


Komunikasi telah menjadi prioritas dalam pelayanan maupun pendidikan terutama
pada area perawatan kanker dan paliatif (Duke,2010). Jadi komunikasi merupakan cara
menyampaikan informasi mengenai kemungkinan-kemungkinan apa saja yang dapat
dilakukam secara medic pada pasien berkenaan dengan penyakitnta, menelusuri hal yang
menjadi perhatian bagi para pasien dan keluarganya. Komunikasi yang baik sering
dipresepsikan sebagai proses bagaimana suatu informasi disampaikan pada orang lain
baik secara individu, kelompok maupun massa. Akan tetapi, komunikasi yantg baik
adalah sebuah hubungan yang mana informasi, perasaan dan pemahaman dibagikan ke
orang lain. Sedangkan Owen & Jeffry (2008) mengemukakan bahwa komunikasi yang
baik merupakan jantung dari sistem pelayanan perawatan yang efektif.
Ketrampilan dalam berkomunikasi merupakan hal yang sangat dasar untuk
keberhasilan proses perawatan. Sehingga sangat penting adanya untuk mengembangkan
ketrampilan komunikasi sepertihalnya ketrampilan yang lain dalam keperawatan (Lawton
& Carroll,2005). Hal serupa yang dikemukakan oleh Bradley & Brasel (2008) bahwa
penggunaan ketrampilan komunikasi secara efektif merupakan landasan dalam pelayanan
medis. Lebih lanjut, untuk merespon terjadinya pergeseran dari penerima layanan
kesehatan yang pasif menjadi partisipan yang aktif mendorong tenaga medis dan tenaga
kesehatan lainnya untuk dapat memberikan informasi secara terbuka pasien yang telah
menjadi prinsip dasar dalam praktik klinis.

6
Jadi, komunikasi merupakan alat sentral dalam pelayanan kesehatan yang mana
komunikasi digunakan untuk mencapai berbagai tujuan untuk membantu pasien dalam hal
menerima berita buruk, mengendalikan emosi akibat dari penyakit yang sifatnya
mengancam jiwa, memahami dan mengingat informasi yang kompleks, memahami
mengenai prognosis penyakit, mengatasi dan membangun kepercayaan untuk
keberlangsungan hubungan jangka panjang secara klinis, membuat keputusan mengenai
pengobatan, dan menerima perilaku mengenai promosi kesehatan (Owen & Jeffrey,
2008). Secara khusus dalam pelayanan paliatif, komunikasi yang baik dan ketrampilan
interpersonal menjadi hal yang sangat penting, hal ini untuk membangun rasa percaya dan
keterbukaan ( Bradley & Brasel, 2008).

A. KOMUNIKASI DALAM PERAWATAN PALIATIF


Komunikasi dalam perawatan paliatif merupakan hal yang kompleks
(O’Connor, Lee & Aranda, 2012). Secara sederhana komunikasi dimaknai sebagai
proses dimana seseorang membawa berita atau pesan dalam bentuk lisan maupun
tulisan dengan berbagai macam cara penyampaian, dan penerima informasi tersebut
memilki kewajiban untuk menginterpretasikan pesan tersebut. Akan tetapi Higgs,
Ajjawi, McAllister, Trede, and Loftus (2008) menekankan bahwa beberapa hal
penting dapat mempengaruhi proses penyampaian berita tersebut yaitu lingkungan
yang bising, kondisi fisik dan emosi seseorang seperti gangguan pendengaran dan
depresi atau kecemasan, serta kemampuan seseorang untuk menginterpretasikan atau
memahami bahasa yang digunakanb dalam pesan tersebut.
Percaya dan harapan merupan aspek yang sangat penting dalam situasi
menjelang akhir hayat sehingga sebagai petugas kesehatan membutuhkan
ketramnpilan komunikasi di saat bekerja dengan pasien dan keluarga pada situasi
tersebut ( Reith & Payne, 2009 ). Idealnya, terkhusus untuk anak-anak dan juga
dewasa, maka melibatkan mereka dalam diskusi mengenai kematia dan kondisi
menjelang ajal atau akhir hayat dan juga isu mengenai hal praktis dalam pelayanan
dapat membantu mengatasi situsai kritis terutama disaat mereka berupaya untuk
memberikan pelayannan dan pendampingan pada orang terdekat yang dalam kondisi
menjelang ajal.
Candrian (2015) mengemukakan bahwa isu komunikasi merupakan inti dari
diskusi tentang bagaimana meningkat perawatan pada pasien yang menjelang akhir

7
hayat. Kondisi menjelang ajal dapat terjadi dalam kesendirian, mekanikal atau
impersonal.
B. MODEL KOMUNIKASI DALAM PERAWATAN PALIATIF
Memahami keinginan pasien disaat menjelang akhir hayat akan mencegah
petugas kesehatan melakukan intervensi yang tidak diinginkan dan sekaligus
merupakan upaya menghargai harkat dan martabat serta otonomi pasien. Akibat
proses interaksi antara petugas kesehatan-pasien merupakan hal dinamis sehingga hal
ini mendorong para ilmuan untuk melakukan riset mengenai upaya pengembangan
model komunikasi yang tepat seperti bagaimana model pesan yang disampaikan dapat
mempengaruhi keyakinan pasien mengenai kesehatan serta perilakunya. Berikut
beberapa model komunikasi yang dapat diterapkan dalam perawatan paliatif terutama
pada kondisi menjelang akhir hayat ( Candrian,2015 )

1. An Interpersonal Approach
Komunikasi model interpersonal menitik beratkan pada pentingnya perspektif
mengenai dimensi perawatan yang terkoordinasi pada kondisi menjelang akhir hayat.
Namun, model ini mendapat kritikan sebagaimana dipahami bahwa komunikasi
merupakan proses transmisi ide dari pasien sebagai sender ke petugas kesehatan
sebagai receiver, atau secara sederhan dipahami sebagi proses pertukaran pesan atau
informasi, atau dimana seseorang menyampaikan sedangkan yang lainnya
mendengarkan. Sayangnya, pemahaman yang spesifik mengenai model ini kadang
menyebabkan ketidakmampuan para petugas kesehatan melakukan mediasi, pada
kondisi plural atau majemuk san interdependensi.
Sangat penting adanya untuk meningkatkan awasan melalui interaksi yang
produktif dan sensitive antara petugas kesehatan dan pasien. Memberikan
kesempaatan untuk memilih merupakan hal yang sangat produktif dalam interaksi
secara interpersonal, yang mana hal tersebut memberikan perhatian khusus terhadap
celah atau kesenjangan dalam pola komunikasi saat ini. Ruang kesenjangan tersebut
akan menarik perhatian kita dalam memahami bagaimana pengalaman tentang hidup
dan kematian itu terbentuk menjadi sangat penting, bagaimana pergeseran perhatian
kita terhadap kesenjangan yang ada menjadi jalan untuk memehami bagaimana
pemahaman itu terbentuk dan dikomunikasikan selama berinteraksi. Sehingga
wawasan kita akan meningkat melalui interaksi kita ditatanan klinis, serta ide tentang

8
kehidupan dan kematian akan menjadi suatu pemahaman hingga akhirnya kita
memahami mengapa hal tersebut harus dipahami.

2. A social construction approach


Komunikasi dengan pendekatan social construction tentang isu akhir hayat
akan memberikan kesadaran betapa pentingnya dan menariknya proses komunikasi
saat ini, bagaimana pemahaman social dapat memproduksi dan mereproduksi pola
interaksi. Dari perspektif social construction menyatakan bahwa tidak ada kata, aksi,
perilaku atau kejadian yang memiliki makna tanpa memahami makna sistem secara
luas yang mana hal tersebut ditempatkan
Mempercayai bahwa tidak ada kata, aksi, perilaku, atau kejadian memiliki
makna tanpa memahami dalam konteks lebih luas mengenai kematiandan kondisi
menjelang ajal dalam perspektif sejarah dan budaya membuat hal tersebut sering
diabaikan. Kondisi nilai-nilai tersebut mempengaruhi cara kita bereaksi secara
spesifik sangat dipengaruhi oleh keyakinan kita akan kebenaran mengenai kehidupan
dan kematian. Keyakinan kemudian akan diproduksi dan direproduksi selama proses
interaksi. Pola interaksi tersebut menjasi pola kebiasaan dalam berbicara tanpa pernah
mempertanyakan bagaimana dan mengapa kita menerimanya.
Nilai tentang kehidupan yang baik, kematian yang baik dan perawatan yang
baik dapat berbeda pada setiap orang, hal tersebut sangat dipengaruhi oleh
pengalaman masa lalu. Sekalipun beberapa pengalaman hidup dapat berdifat universal
seperti tentang kesehatan, nyeri dan kematian. Akan tetapi para penggiat social
construction menyatakan bahwa pengalaman-pengalaman tersebut merupakan hal
yang sifatnya subjektif, dan pemahaman yang didapatkan sangat tergantung pada
konteks sejarah dan budaya dan bagaimana menempatkannya. Lalu beberapa konteks
khusus, memahami bagaimana makna dihasilkan tidak dapat dimengerti dengan baik
tanpa mempertimbangkan bagaimana cara makna itu dibentuk dalam konteks budaya
yang berbeda.

3. A Critical Cultural Approach


Pendekatan lain untuk memahami pembicaraan dalam dialog adalah Critical
Cultural Approach. Pendekatan ini berupaya untuk mempertanyakan bagaimana
factor ekonomi , materi dan sejarah membentuk budaya untuk merespon, dan konsep
tentang kesehatan, sakit dan keputusan untuk melakukan pengobatan. Jadi disini

9
budaya tidak terbatas pada definisi secara antropology. Akan tetapi budaya dipahami
sebagai cara hidup termasuk ide mengenai pengobatan, kepercayaan tentang sehat dan
sakit, dan bahasa yang digunakan untuk menjelaskan tentang proses kematian, serta
institusi dan system pelayanan kesehatan yang membentuk bagaimana kita berpikir
dan merasakan. Jadi budaya merupakan berbagai hal yang mencakup praktik budaya,
arsitektur seperti ruangan pada rumah sakit atau hospis secara fisik dan materi.
Pendekatan ini mencoba untuk mendefinisikan dan menamai segala hal
termasuk status fisik dan emosional. Hal yang menarik dimana bahasa membentuk
hubungan serta membedakan hal tentang hidup, mati, dan perawatan. Contoh dimana
kondisi sulit untuk menamai akan kesehatan, sakit, dan kematian. Apakah dapat
diterima bila mengatakan bahwa “dia telah pergi” atau ”dia telah mati” pada keluarga.
Hal ini menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan untuk mengatakan “mati” dalam
konteks social menjadi hal yang sulit untuk menggambarkannya apa yang akan
dinilai. Olehnya, Pendekatan Social Cultural mengalami kesulitan untuk
mengembangkan bahasa alternative dalam bidang perawatan secara medis maupun
tentang kematian. Sehingga pendekatan tersebut memberikan perspektif bahwa inti
dari berbagai krisis komunikasi adalah makna dan permaknaan. Dalam memaknai
sesuatu maka pemaknaan yang beragam terhadap sesuatu kemungkinan masih sering
ditemukan dan bertahan dalam suatu budaya. Akan tetapi, definisi mengenai kematian
dan kondisi menjelang akhir hayat juga dapat berubah, di negosiasikan, dan kadang
bersifat sementara. Olehnya, memahami secara kompleks bagaimana definisi tentang
kematian dan kondisi menjelang akhir hayat menjadi suatu masalah tersendiri.
Sehingga masalah bukanlah pada orangnya tapi pada bagaimana cara orang tersebut
berbahasa dan menyampaikan pesan yang menjadi masalah. Perbedaan ini menjadi
penting untuk memahami budaya dan dinamika budaya itu sendiri dan hubungan
sentimental antara bidang kesehatan dan bahasa.
Memahami budaya terkait dengan komunikasi pada kondisi akhir hayat
termasuk bagaimana penggunaan bahasa dalam pelayanan kesehatan mencerminkan
hubungan dan sekaligus perbedaan tentang apa dan siapa kita dalam nilai sosial.
Olehnya, pemahaman bahasa dalam bentuk tulisan dan lisan merupakan tantangan
awal untuk menghasilkan sebuah pemaknaan, bagaimana makna tersebut dihasilkan.
Pemahaman peran budaya dalam pelayanan paliatif merupakan hal yang sangat
mendasar.

10
4. A Multi-Method Approach
Critical dan dialogic perspective merupakan bagian dari model komunikasi
dengan pendekatan multi-method. Pendekatan ini berfokus pada bagaimana seseorang
melakukan konstruksi ide dan mengemukakan apa yang mereka maknai tentang
sesuatu seperti arti sebuah kesehatan dan penyakit terminal. Critical approaches
bermula dari ontology dasar mengenai persepsi kita yang menggambarkan realitas
kita sebagaimana pemaknaan kita berdasarkan pada pengalaman dan kejadian, dan
pemaknaan tersebut didapatkan dari proses interaksi antara pengalaman dan kejadian
nyata. Akan tetapi, critical approaches juga dapat bermula dari asumsi secara
epistemology. Asumsi secara epistemology menitik beratkan pada pertanyaan
mengenai “Bagaimana kita mengetahuinya, dan bagaimana kita dapat
mengetahuinya”. Sebagai contoh, setiap oran memiliki cara pandang yang berbeda
mengenai kondisi akhir hayat dan membuat keputusan untuk dapat meninggal dengan
baik. Beberapa di antara mereka mungkin ingin tahu lebih detail mengenai kondisinya
serta lama perkiraan untuk dapat bertahan hidup. Namun mungkin sebagian orang lagi
lebih cenderung mengikuti pengalaman seseorang yang diceritakan padanya termasuk
bagaimana mempersiapkan kematian. Sehingga cerita yang disampaikan akan
menjadikan seseorang tahu dengan cara yang berbeda dan juga bagaimana ia akan
mempersiapkan kematiannya. Sehingga kita dapat mengatakan bahwa kita menjadi
sepakat dengan apa yang menjadi ide majemuk secara ril adalah hal yang serupa
dengan bagaimana meyakini tentang pemahaman yang lainnya dan tahu apa yang kita
akan lakukan selanjutnya, segitupun sebaliknya.
Sedangkan Dialog Approach berupaya mencari sesuatu yang dapat
menginspirasi proses diskusi yang mana terlihat sebagai sesuatu yang tidak eksis,
sehingga pendekatan ini berbeda dengan critical approach. Secara khusus, untuk dapat
menstimulasi proses diskusi dengan pandangan yang berbeda termasuk bagaimana
mendefinisikan pengalaman mengenai masa akhir hayat, pendekatan ini melihat
proses interaksi sebagai sesuatu yang tiada henti. Komunikasi dengan pendekatan
dialogis ini dapat membantu untuk mengeksplorasi berbagai cara orang membentuk
argument atau alasan yang rasional dan memahami kematian dan kondisi menjelang
akhir hayat merupakan sesuatu pengalaman yang tidak ada akhirnya selama proses
interaksi.
Interaksi dalam pendekatan dialogis menjadi hal yang penting dalam
komunikasi mengenai isu akhir hayat sebab kondisi sulit, terutama saat

11
mengumukakan pendapat dan untuk menyampaikan vde terkadang harus dikontrol
dan daikendalikan untuk menstabilkan suasana sekaligus untuk berbagi makna
tentang sesuatu pada partisipan. Sebagai contoh, disaat seseorang mengatakan bahwa
ia tidak takut akan kematian, terkadang kita berasumsi bahwa ia hanya mencoba
untuk menyangkal akan kematian. Untuk memahami komunikasi di akhir hayat,
evaluasi secara kritis mengenai masa-masa sulit menjadi hal yang penting sebab
masa-masa tersebut dimana seseorang berupaya untuk menemukan kata yang tepat
untuk dapat menjelaskan mengenai apa yang dipikirkannya dan menjadikannya
masuk akal.
Kombinasi pandangan secara kritis dan dialogis memberikan pemahaman
yang berbeda dalam memahami pengalaman masa-masa akhir hayat. Melalui
pendekatan ini pemahaman dikarakteristikan sebagai bentuk pendekatan yang lebih
mengedepankan interpretasi . secara singkat bahwa pendekatan multi-method
berfokus pada bagaimana makna dinegosiasikan dan diproduksi dalam konteks
budaya selama proses interaksi berlangsung.

C. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROSES KOMUNIKASI


DALAM PERAWATAN PALIATIF
Kesulitan dalam berkomunikasi kemungkinan dapat diakibatkan oleh berbagai
factor seperti masalah dalam system keluarga, finansial, pendidikan, masalah fisik dan
keterbatasan, serta tingkatan koping dan kondisi berduka yang dialami (Matzo,
Sherman, Sheehan, Ferrell & Penn, 2003)
Menyadari dan mengetahui kurangnya dukungan yang dirasakan oleh anggota
keluarga mungkin hal tersebut akan menyebabkan timbulnya perasaan distress, dan
mungkin juga perasaan yang berlebihan terhadap suatu masalah. Ketidakmampuan
untuk merawat anggota keluarga baik secara fisik maupun emosional dapat
mengakibatkan distress yang semakin meningkat, terutama bagi pihak anggota
keluarga yang berperan sebagai penjaga pasien dengan tanpa adanya dukungan yang
adekuat maka hal ini akan menjadikan mereka merasa terisolasi. Kondisi kritis disaat
menjelang akhir hayat dapat mempengaruhi kemampuan anggot keluarga untuk
mendengar dan memahami informasi yang diberikan.
Finansial, pendidikan dan berbagai masalah fisik juga dapat mempengaruhi
kemampuan anggota keluarga dalam berkomunikasi. Pembiayaan medis dan
perawatan, kehilangan waktu untuk bekerja karena ijin, dan beberapa pembiayaan

12
selama masa mendampingi pasien akan menyebabkan timbulnya masalah finansial,
dimana kemungkinan akan kehilangan asset atau property untuk pembiayaan tersebut.
Situasi tersebut dapat memicu timbulnya kecemasan, stress dan kedukaan pada
anggota keluarga disaat pasien dalam tahap penyakit terminal.
Tingkatan mekanisme koping dan kondisi kedukaan termasuk berduka
antisipatif akibat kehilangan sesuatu secara pribadi maupun kehilangan pada orang
terdekat dapat mempengaruhi komunikasi. Komunikasi terbuka sangat penting untuk
membantu mengatasi masalah tersebut dengan melibatkan keluarga serta membantu
keluarga untuk mengatasi hal tersebut.
O’Connor, Lee & Aranda (2012) menambahkan beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi komunikasi di pelayanan perawatan paliatif yaitu perubahan kondisi
dan lingkungan kerja. Sekalipun progress suatu penyakit dapat diperkirakan dan
mempersiapkan serta menyusun rencana perawatannya, akan tetapi kebanyakan
pasien dan keluarganya sangat tidak siap bila mendadak terjadi perubahan kondisi
pasien yang semakin memburuk sehingga mereka tidak bisa berpartisipasi dalam
membuat keputusan mengenai rencana penanganan selanjutnya.
Faktor yang berkenaan dengan lingkungan kerja mungkn dapat menjadi
sebagai barrier dalam melakukan komunikasi yang baik terutama saat perawatan
menjelang akhir hayat. Kurangnya kerjasama dan kekompakan dalam tim kerja maka
anggota tim kemungkinan tidak dapat melakukan komunikasi dengan baik dan
menyampaikan informasi yang mungkin sangat penting untuk anggota tim lainnya,
yang mana informasi tersebut dapat membantu dalam pengambilan keputusan.
Sebagai perawat, komunikasi dalam pelayanan perawatan paliatif dapat
menjadi hal yang sangat sulit sekaligus menantang seperti sistem pelayanan kesehatan
menciptakan lingkungan komunikasi yang kompleks untuk akses pasien serta
pelayanan paliatif. Kurangnya pemahaman mengenai perawat paliatif masih eksis di
beberapa penyedia layanan kesehatan, hal ini menjadikan para praktisi perawatan
paliatif harus menyediakan sistem Pendidikan berejenjang (Wittenberg-Lyles,
Goldsmith & Platt, 2014).
Ada dua framework yang telah dikembangkan untuk membantu tenaga
kesehatan professional untuk mengenali mengapa pasien dan bahkan tenaga kesehatan
memasang barrier selama komunikasi (Nicol & Nyalanga, 2014). Framework tersebut
dapat diingat dengan singkatan FEARS (fears, environment, attitudes, responses,
skills) dan FIBS (fears, inadequate skills, beliefs, support). FEARS digunakan untuk

13
mengenali potensi barrier dan pihak pasien sedangkan FIBS digunakan untuk
mengenali kemungkinan barriers pada tenaga kesehatan professional.
D. KETERAMPILAN KOMUNIKASI DALAM SETTING PERAWTAN
PALIATIF
1. Keterampilan Dasar Dalam Berkomunikasi
Komunikasi pada pasien mencakup dua hal yang sangat sering dan penting
untuk dilakukan yaitu komunikasi mengenai informasi kesehatan pasien dan dialog
yang berpusat pada perasaan dan emosi pasien, yang mana dialog tersebut juga
merupakan bagian dari tindakan terapi. Diawal percakapan lebih sering membahas
mengenai ststus dan kondisi kesehatan pasien yang mencakup perkembangan
penyakitnya, dan pertemuan selanjutnya biasanya sudah lebih focus pada terapi.
Beberapa hal yang mengenai elemen dasar dalam komunikasi efektif, yang hal
tersebut menjadi penting dalam proses dialog atau komunikasi terapeutik. CLASS
protocol mencakup lima komponen dasar dan krusial dalam wawancara terhadap
pasien, dimana CLASS merupakan singkatan dari kelima komponen dasar tersebut
yaitu: Context (konteks secara fisik maupun setting), Listening Skill,
Acknowledgement of the patient’s emotions, Strategy for clinical anagement, dan
Summary.
a) C (Context atau setting)
adalah konteks atau setting secara fisik dan termasuk lima komponen utama
yaitu menyediakan ruang yang memadai, bahasa tubuh, kontak mata, sentuhan,
dan pengantar atau perkenalan. Menyediakan ruangan yang memadai dan tetap
memperhatikan privacy pasien.
Selama wawancara sangat penting menjaga jarak yang nyaman dengan pasien.
Jarak antar perawat-pasien dalam wawancara dapat berbeda makna dalam
perspektif budaya, namun jarak yang ideal yaitu 2-3 kaki. Pada jarak tersebut
seorang perawat dapat menunjukkan kedekatan dengan pasien sekaligus kesiapan
untuk mendiskusikan hal yang sifatnya pribadi.
Bahasa tubuh merupakan hal yang dapat memberikan makna berbeda dengan
pesan yang disampaikan. Upayakan dalam melakukan komunikasi kondisi dalam
keadaan rileks, duduk dengan posisi nyaman dengan kedua kai berada di atas
lantai tidak dalam keadaan tergantung. Biarkan bahu rileks dan letakkan kedua
tangan anda di atas lutut. Posisi tersebut dalam term psychotherapy dikenal
dengan istilah posisi netral.

14
Upayakan menjaga dan mempertahankan kontak mata selama berkomunikasi
terutama saat pasien berbicara. Jika pasien mungkin menangis atau marah, maka
perlu untuk mengalihkan pandangan sejenak.
Sentuhan merupakan hal yang sangat membantu selama wawancara, namun
tetap mempertimbangkan beberapa hal seperti : sentuhan dilakukan pada area
yang tidak terpasang alat medikasi atau luka, perawat merasa nyaman untuk
melakukan sentuhan, pasien tidak menunjukkan respon atau reaksi menolak
dengan sentuhan yang dilakukan.
Pastikan pasien mengenal siapa anda dana pa yang anda lakukan. Upayakan
perawat memberikan salam atau dengan berjabat tangan dengan pasien lebih
dahulu, lalu pada keluarga pasien atau pendampingnya. Hal ini untuk
menunjukkan bahwa pasien merupakan subjek yang penting dalam pertemuan
antara perawat-pasien.
b) Listening Skills
Saat memulai dialog dengan pasien, sebagai seorang professional harus
memastikan bahwa ia melakukan wawancara atau dialog dengan memiliki
keterampilan mendengar yang baik. Secara umum ada empat poin yang sangat
esensial dari keterampilan mendengarkan yaitu pertanyaan terbuka, teknik
fasilitasi, klarisikasi, dan mengendalikan waktu dan interupsi.
Dalam komunikasi terapeutik, dimana perawat mencoba sebagi bagian dari
support sistem pasien, maka pertanyaan terbuka merupakan hal yang sangat
esensial untuk menulusuri akan pengalaman yang dirasakan oleh pasien
mengenai kondisi sakitnya.
Hal pertama dan merupakan hal sangat penting dari teknik fasilitasi dalam
komunikasai antar perawat-pasien adalah diam. Jika perawat mampu
memberikan waktu ntuk kondisi diam pasien maka memungkinkan pasien akan
mengungkapkan atau mengekspresikan apa yang dipikirkannya.
Ada beberapa teknik fasilitasi lainnya yang dapat dilakukan selama
berkomunikasi dengan pasien yaitu menganggukan kepala, berhenti sejenak saat
berbicara, tersenyum dan memberikan respon seperti “hmm”. Untuk
menunjukkan pada pasien bahwa perawat memperhatikan dan mendengarkan
perkataan pasiennya yaitu dengan melakukan pengulangan satu atau dua kata
terakhir yang diucapkan pasien. Pengulangan merupakan suatu bentuk dari teknik
fasilitasi. Terapeutik dimana perawat mencoba sebagai bagian dari support sistem

15
pasien ,maka pertanyaan terbuka merupakan hal yang sangat esensial untuk
menelusuri akan pengalaman yang di rasakan oleh pasien mengenai kondisi sakit
nya.
Hal yang pertama sekaligus merupakan hal sangat penting dari tehnik fasilitas
antara perawat pasien adalah diam jika pasien sedng berbicara upayakan tidak
memotong pembicaraaan nya tunggulah pasien berhenti berbicara sebelum anda
memulai berbicara ,hal ini merupakan aturan sederhana tapi sering diabaikan
sehingga pasien merasa tidak nyaman bila perawat atau tenaga kesehatan lainnya
tidak mau mendengarkannya dengan saksama menganai keluhannya ,diam juga
kondisi dimana pasien berpikir atau merasakan sesuatu yang penting .jika
perawat mampu memberikan waktu untuk kondisi diam pasien amak memungkin
kan pasien akan mengungkapkan apa yang di ekspresikan .
Selain diam sejenak ada beberapa tehnik fasilitas yang dapat di lakukan
selama komunikasi yaitu menganggukan kepala ,berhenti sejenak,tersenyum atau
memberikan respon “YA”,”HMMT” atau “apa lagi “untuk menunjukan pada
pasien bahwa perawat memperhatikan dan mendengarkan perkataan pasien nya
yaitu dengan melakukan pengulangan 1 atau 2 kata terakhir yang di ucapkan
pasien,pengulangan merupakan suatu tehnik fasilitas sebagai contoh pasien
mengatakan “saya merasakan dari hari –kehari semakin letih”, jadi sebagai
perawat dapat menanyakan dengan pengulangan (reiteration) “apa yang bapa
maksud semakin lelah”.
c) Acknowledge
Respon empatik merupakan tehnik yang sangat baik selama proses komunikasi
yang penuh emosional .respon empati tidak membutuhkan perasaan pribadi dari
petugas jika pasien merasa sedih maka tidak seharus nya kita merasa sedih juga
.terdapat 3 tahapan dalam melakukan respon empati,yaitu :
1. mengidentifikasi emosi yang di ekspesikan oleh pasien.
2. mengidentifikasi penyebab terhadap kondisi emosional pasien
3. melakukan respon berdasarkan pernyataan pasien yang telah di kemukakan
dengan menghubungkan hal-hal pada bagian 1 dan 2
d) strategi manajemen
Manajemen strategi yang dapat di jadikan sebagai pedoman :
1. tentukan apa yang akan di nilai sebagai strategi medis yang optimal

16
2. melakukan penilaian dalam pikiran anda sendiri atau dengan menanyakan
pada pasien mengenai harapan pasien mengenai kondisi,pengobatan dan hasil
yang ingin di capai .
3. mengusulkan strategi mengingat kesimpulan anda dari langkah 1 dan langkah
2 lalu ajukan strategi .
4. kaji respon pasien dengan membuat catatan kemajuan pasien dalam
membentuk sebuah rencana aksi (tahap ini sering di definisikan sebagai
precontemplation ,kontemplasi ,dan pelaksanaan atau penguatan ).
e) Summary
Sumarry dalam wawancara adalah waktu yang penting untuk menekan mengenai
pengobatan pasien.3 hal yang penting untuk di ketahui:
1. ikhtisar atau pengulangan poin utama yang di bahas dalam dialog
2. memberikan kesempatan pada pasien untuk mengajukan pertanyaan
3. merencanakan pertemuan atau interaksi berikutnya

2. Menyampaikan Berita Buruk


Komunikasi dalam praktik keperawatan bukanlah hal yang mudah akan tetapi
secara alamiah hal tersebut merupakan sesuatu yang kompleks (Malloy, Virani, Kelly,
dan Munevar, 2010). Seperti halnya keterampilan keperawatan profesional
komunikasi memerlukan pendidikan dan latihan yang intens. Kebutuhan akan
kemampuan komunikasi yang baik menjadi hal yang berlaku secara umum dalam
praktik keperawatan terutama saat waktu-waktu tertentu atau khusus seperti kondisi
penyakit serius dan kritis serta perawatan menjelang akhir hayat.

Sangat banyak literatur dalam bidang keperawatan paliatif yang merupakan


hasil penelitian mengenai komunikasi terutama mengenai komunikasi dokter pasien.
Dimana kebanyakan dari penelitian tersebut mengenai penyampaian berita buruk.
Bagian dalam tatanan pelayanan perawat yang selalu sedia terbagi saat bersama
pasien sehingga hal tersebut menyatakan perawat harus siap untuk meluangkan
waktunya untuk membantu pasien dan keluarganya memahami kondisi atau berita
buruk mengenai pasien dan mendengarkan respon emosi mereka setelah mendapatkan

17
informasi tersebut. Percakapan mengenai perawatan akan menjadi sangat sulit bagi
dokter perawat. Pasien dan keluarga pasien disaat proses pengobatan tidak berjalan
sesuai yang diharapkan, dimana pengobatan tidak dapat lagi untuk mengobati atau
mengontrol penyakit pasien (Gordon, 2003). Beberapa isu dalam komunikasi yang
biasanya sulit untuk dilakukan seperti ketidak pastian prognosis penyakit. (berapa
lama bagi kemungkinan waktu yang dimiliki oleh pasien untuk bertahan hidup),
kematian (dimana dan bagaimana saya akan meninggal), mengenai harapan (saya
tidak boleh kehilangan harapan namun apa yang saya akan harapkan). Mendiskusikan
hal mengenai ketidak pastian prognosis pasien merupakan hal problematic bagi dokter
karena sulit untuk memperkirakan kapan pasien akan meninggal, kemungkinan hanya
akan memberikan harapan yang palsu disaat pasien sedang menghadapi masa akhir
hayatnya, dan kemungkinannya hanya akan memberikan gambaran yang bisa
mengenal kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.

Menyampaikan berita buruk membutuhkan keterampilan dan juga perhatian


khusus. Ketika seseorang menyampaikan pengalamannya mengenai sesuatu yang
buruk dalam pelayanan kesehatan atau cara penyampaian berita buruk yang jelek,
prognosis penyakit yang buruk atau kegagalan dari upaya pengobatan sering
menunjukkan respon ketidakpuasan. Membicarakan hal tersebut terkadang menjadi
hal yang selalu dihindari oleh mereka. Hal tersebut akan mempengaruhi petugas
kesehatan untuk melakukan komunikasi. Buruknya komunikasi pada situasi tersebut
menjadikan petugas kesehatan mengalami stres dan burnout.

Ada 2 model yang sangat membantu untuk menyampaikan berita buruk.


Robert Buckman (2005) memperkenalkan the SPIKES strategi untuk menyampaikan
berita buruk. Dia mendefinisikan berita buruk merupakan sesuatu yang memiliki
dampak buruk terhadap masa yang akan datang dalam perspektif dan pandangan
seseorang. SPIKES merupakan singkatan dari Setting, Perception, Invitation,
Knowlegde, Empaty, dan Summary.

Setting mencangkup upaya untuk menjamin lingkungan yang privasi dan


dengannya memungkinkan orang terdekat dan keluarga untuk hadir. Petugas
kesehatan duduk dengan tenang dan penuh perhatian untuk mendengarkan dan tidak
memotong pembicaraan. Perception merupakan upaya untuk meyakinkan sebagai

18
petugas kesehatan telah memahami persepsi pasien, orang terdekat atau keluarga
mengenai situasinya sebelum berita buruk tersebut disampaikan. Invitation adalah
strategi untuk mengundang pasien, orang terdekat atau keluarga untuk ingin tau lebih
banyak lagi mengenai informasi secara detail. Knowledge berarti kondisi dimana
petugas kesehatan memberikan beberapa pertanda pada mereka bahwa berita buruk
tersebut akan segera disampaikan. menggunakan bahasa dan kalimat yang sederhana,
menghindari penggunaan istilah medis dan memberikan informasi dalam sekmen
yang lebih singkat untuk membantu mereka mengolah dan memahami informasi yang
disampaikan. Tunjukkan rasa empati dengan mengidentifikasi dan merespon emosi
yang timbul pada pasien atau keluarga yang selanjutnya akan membantu memvalidasi
perasaan mereka. Selanjutnya pada tahap akhir lakukan summary atau ringkasan
komunikasi yang telah dilakukan dan tetap memberikan kesempatan untuk
mengajukan pertanyaan atau butuh penjelasan mengenai rencana pengobatan atau
perawatan selanjutnya yang akan disetujui dan diikuti oleh pasien dan keluarganya.

Stategi lain untuk menyampaikan berita buruk yaitu the PRAPARED strategi
(O’Connor, Lee& Aranda, 2012). Strategi tersebut menyediakan panduan bagaimana
mengkomunikasikan prognosis dan isu-isu lainnya mengenai akhir hayat terkhusus
pada pasien dewasa dan keluarganya. PRAPARED merupakan singkatan dari Prepare
for the discussion, Relate to the person, Elicit patient and caregiver preferences,
Provide information, Acknowledge emotions and concerns, Realistic hope, Encourage
questions, dan Document.

Langkah awal pada strategi PREPARED yaitu Prepare, dimana petugas


kesehatan akan mempersiapkan diskusi dengan berupaya untuk memberikan
informasi yang akurat mengenai pemeriksaan dan diagnosis penyakit, menjamin
privasi dan melakukan negosiasi terhadap keluarga yang hadir. Selanjutnya “Relate”
diskusi fokus pada hal yang menjadi fokus perhatian pasien untuk membangun
hubungan yang lebih akrab. Elicit, hindari dan cegah segala sesuatu yang berpotensi
untuk mengganggu proses komunikasi dan penyampaian informasi, termaksuk faktor
budaya. Selanjutnya menyediakan dan memberikan informasi penting sesuai dengan
kebutuhan pasien dan keluarga. Acknowledge merupakan upaya untuk memahami
emosi dan fokus perhatian pasien dan keluarga dengan merespon secara empati. Lalu
Memberikan Harapan yang realistik, hal ini dapat dicapai dengan menyeimbangkan

19
antara kejujuran secara realistik dengan memberikan jaminan dukungan perawatan
dan bantuan. Encourage questions, memberikan kesempatan untuk bertanya, dan hal
ini dapat dilakukan dengan memberikan informasi dan penjelasan ulang untuk
memastikan bahwa mereka telah memahami informasi yang telah diberikan dan siap
untuk proses komunikasi selanjutnya. Tahap akhir yaitu summary, Ringkasan
komunikasi harus di Dokumentasikan dalam catatan rekam medik pasien, dan
komunikasi oleh petugas kesehatan lainnya yang dianggap penting jika harus
dimasukkan dalam dokumentasi.

3. Barrier dalam menyampaikan berita buruk


Beberapa barier faktor yang dapat menjadi penghambat dalam proses
komunikasi untuk menyampaikan berita buruk pada pasien dan keluarga pasien yaitu
situasi yang kurang nyaman atau kondusif ,kemampuan koping dalam merespon
kedukaan dan ketidakmampuan untuk merespon pertanyaan (jevon,2010)
Menyampaikan berita buruk pada pasien dan keluarga pasien bukanlah
pekerjaan yang mudah dan hal tersebut menjadi tugas yang membuat petugas
kesehatan sangat stres dan tidak nyaman ,dan beberapa alasan yang menyebabkan hal
tersebut terjadi ,pertama ,kemungkinan petugas kesehatan memiliki keterbatasan atau
minimnya rasa percaya diri untuk membantu pasien yang mengalami masalah
psikologis seperti stress,dan juga ada kesulitan untuk merasakan empati terhadap
perasaan seseorang .
Para praktisi kesehatan juga terkadang mengalami kesulitan untuk menghadapi
pasien dengan marah atau pasien yang menyalahkan dirinya sendiri atau orang lain
yang mungkin akan timbul di saat pasien mendengar berita buruk .mengenai respon
marah atau menyalahkan diri sendiri atau orang lain terkadang di tujukan pada
seseorang atau sistem pelayanan kesehatan.kondisi ini kemungkinan dapat terjadi
pada seseorang yang tidak mampu mengendalikan perasaan pribadi sebagagai akibat
dari penyakit yang di deritanya tidak memberikan harapan dan bahkan cenderung
semakin memperburuk kondisi pasien.
Pasien dan keluarga pasien terkadang lebih cenderung untuk bertanya lebih
banyak dalam merespon berita buruk ,keraguan atau ketakutan akan ketidak mampuan
untuk memberikan jawaban yang tepat atau keraguan dan ketakutan akan respon yang
dialami pasien setelah menerima berita buruk merupakan faktor yang sering

20
menyebabkan penyampaian berita buruk menjadi pengalaman yang membuat
seseorang sangat stress.

4. Komunikasi pada pasien dengan demensia


Pada tahap awal demensia ,isu komunikasi belum lah menjadi masalah .isu
komunikasi belum lah menjadi masalah .isu komunikasi pada tahap awal biasanya di
manifestasikan sebagai akibat dari adanya perubahan memori,menurunya kemampuan
pasien dalam merespon secara spontan ,terjadinya disorientasi waktu ,kadang-kadang
juga di temukana kecemasan ,atau beratanya tentang seusuatu secara berulang-ulang .

2.4 TEKNIK KOMUNIKASI


1. Fase – Fase Dalam Berkomunikasi
a) Fase pra interaksi
Fase ini merupakan fase persiapan yang dapat dilakukan perawat
sebelum berinteraksi dan berkomunikasi dengan klien. Pada fase ini, perawat
mengeksplorasi perasaan, fantasi dan ketakutan sendiri, serta menganalisis
kekuatan dan kelemahan profesional diri. Perawat juga mendapatkan data
tentang klien dan jika memungkinkan merencanakan pertemuan pertama
dengan klien. Perawat dapat bertanya kepada dirinya untuk mengukur
kesiapan berinteraksi dan berkomunikasi dengan klien.
Contoh pertanyaan perawat kepada diri sendiri sebagai berikut.
 Apa yang akan saya tanyakan saat bertemu nanti?
 Bagaimana respons saya selanjutnya?
 Adakah pengalaman interaksi yang tidak menyenangkan?
 Bagaimana tingkat kecemasan saya?
b) Fase orientasi/introduksi
Fase ini adalah fase awal interaksi antara perawat dan klien yang
bertujuan untuk merencanakan apa yang akan dilakukan pada fase selanjutnya.
Pada fase ini perawat dapat:
 Memulai hubungan dan membina hubungan saling percaya. Kegiatan
ini mengindikasi kesiapan perawat untuk membantu klien.
 Memperjelas keluhan, masalah, atau kebutuhan klien dengan
mengajukan pertanyaan tentang perasaan klien; serta

21
 Merencanakan kontrak/kesepakatan yang meliputi lokasi, kapan, dan
lama pertemuan; bahan/materi yang akan diperbincangkan; dan
mengakhir hubungan sementara.

Tiga kegiatan utama yang harus dilakukan perawat pada fase orientasi ini
sebagai berikut.
1) Memberikan salam terapeutik
Contoh : “Assalamualaikum, selamat pagi”, dan sebagainya.
2) Evaluasi dan validasi perasaan klien
Contoh : “Bagaimana perasaan Ibu hari ini? Ibu tampak segar hari
ini”.
3) Melakukan kontrak hubungan dengan klien meliputi kontrak
tujuan interaksi, kontrak waktu, dan kontrak tempat.
Contoh : “Tujuan saya datang ke sini adalah membantu Ibu
menemukan masalah yang membuat Ibu selalu merasa tidak
nyaman selama ini”, “Menurut Ibu, berapa lama waktu yang akan
kita butuhkan untuk tujuan ini? Bagaimana kalau 15 menit?”,
“Untuk tempat di dalam ruang ini saja atau di taman belakang?”
c) Fase kerja
Fase ini adalah fase terpenting karena menyangkut kualitas hubungan
perawatklien dalam asuhan keperawatan. Selama berlangsungnya fase kerja
ini, perawat tidak hanya mencapai tujuan yang telah diinginkan bersama,
tetapi yang lebih bermakna adalah bertujuan untuk memandirikan klien. Pada
fase ini, perawat menggunakan teknik-teknik komunikasi dalam
berkomunikasi dengan klien sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan
(sesuai kontrak).
Contoh : “Saya akan memasukkan jarum infus ini ke pembuluh darah di
tangan ibu”, “Ibu akan merasakan sakit sedikit dan tidak perlu khawatir”.
d) Fase Terminasi
Pada fase ini, perawat memberi kesempatan kepada klien untuk
mengungkapkan keberhasilan dirinya dalam mencapai tujuan terapi
dan ungkapan perasaannya. Selanjutnya perawat merencanakan
tindak lanjut pertemuan dan membuat kontrak pertemuan
selanjutnya bersama klien. Ada tiga kegiatan utama yang harus

22
dilakukan perawat pada fase terminasi ini, yaitu melakukan
evaluasi subjektif dan objektif; merencanakan tindak lanjut
interaksi; dan membuat kontrak dengan klien untuk melakukan
pertemuan selanjutnya.
Contoh : komunikasi dalam fase terminasi ini sebagai berikut.
a) Evaluasi subjektif dan objektif
“Bagaimana perasaan Ibu setelah kita diskusi tentang masalah
yang Ibu hadapi?”
“Coba sebutkan masalah yang Ibu hadapi terkait dengan
keluarga Ibu!

b) Rencana tindak lanjut


“Baik, Ibu, saya cukupkan pertemuan kita hari ini, tidak terasa
bahwa waktu kita sudah berlangsung 15 menit. Rencana
selanjutnya setelah ini adalah menemukan alternatif
penyelesaian masalah yang Ibu hadapi dan pengambilan
keputusan untuk solusi.”
c) Kontrak yang akan datang
“Terkait dengan rencana tersebut, saya akan datang lagi besok
hari Selasa pukul 09.00, saya akan datang di tempat ini lagi.
Selamat istirahat dan assalamualaikum, selamat siang.”

2. Teknik Dalam Berkomunikasi


Seorang perawat harus menguasai teknik-teknik berkomunikasi dan
menggunakannya secara efektif pada saat berinteraksi dengan klien. Berikut ini
teknik komunikasi Stuart & Sundeen (1998) yang dikombinasikan dengan
pendapat ahli lainnya.
a) Mendengarkan dengan penuh perhatian (listening)
Mendengarkan dengan penuh perhatian merupakan upaya untuk
mengerti seluruh pesan verbal dan nonverbal yang sedang dikomunikasikan.
Keterampilan mendengarkan dengan penuh perhatian dapat ditunjukkan
dengan sikap berikut.
 Pandang klien ketika sedang bicara.

23
 Pertahankan kontak mata yang memancarkan keinginan untuk
mendengarkan.
 Hindarkan gerakan yang tidak perlu.
 Anggukkan kepala jika klien membicarakan hal penting atau
memerlukan umpan balik.
 Condongkan tubuh ke arah lawan bicara.
Contoh :
K : Saya merasa kecewa dengan keadaan saya yang sekarang sus, saya merasa
tidak berguna untuk keluarga saya.
P : (Tatap mata klien, berdampingan dengan klien) kenapa berbicara seperti
itu? Coba suster mau denger alasannya?

b) Menunjukkan penerimaan (accepting)


Menerima tidak berarti menyetujui. Menerima berarti bersedia untuk
mendengarkan orang lain, tanpa menunjukkan keraguan atau tidak setuju.
Tentu saja sebagai perawat kita tidak harus menerima semua perilaku klien.
Perawat sebaiknya menghindarkan ekspresi wajah dan gerakan tubuh yang
menunjukkan tidak setuju, seperti mengerutkan kening atau menggelengkan
kepala seakan tidak percaya. Sikap perawat yang menunjukkan penerimaan
dapat diidentifikasi seperti perilaku berikut.
 Mendengarkan tanpa memutuskan pembicaraan.
 Memberikan umpan balik verbal yang menampakkan pengertian.
 Memastikan bahwa isyarat nonverbal cocok dengan komunikasi verbal.
 Menghindarkan untuk berdebat, menghindarkan mengekspresikan
keraguan, atau menghindari untuk mengubah pikiran klien.
 Perawat dapat menganggukan kepalanya atau berkata “ya” atau “saya
mengerti apa yang bapak-ibu inginkan”.
Contoh:
K : Suster kemarin aku gambar muka suster loh, tapi muka suster gambanya
celemotan gara-gara aku bikinnya kurang bagus.
P : (tersenyum dan menepuk bahu) wah gapapa ko yang penting kamu sudah
berusaha, suster seneng lihatnya.

24
c) Menanyakan pertanyaan yang berkaitan
Tujuan perawat bertanya adalah untuk mendapatkan informasi yang
spesifik mengenai klien. Paling baik jika pertanyaan dikaitkan dengan topik
yang dibicarakan dan gunakan kata-kata dalam konteks sosial budaya klien.
Contoh :
K : Saya kemarin sedih saat suster libur kerja, saya tidak punya
teman. P : Kenapa harus sedih? Kan banyak suster-suster yang lain?

d) Mengulang (restating/repeating)
Maksud mengulang adalah teknik mengulang kembali ucapan klien
dengan bahasa perawat. Teknik ini dapat memberikan makna bahwa perawat
memberikan umpan balik sehingga klien mengetahui bahwa pesannya
dimengerti dan mengharapkan komunikasi berlanjut.
Contoh:
K : “Saya tidak nafsu makan, seharian saya belum makan.”
P : “Bapak mengalami gangguan untuk makan?”

e) Klarifikasi (clarification)
Teknik ini dilakukan jika perawat ingin memperjelas maksud
ungkapan klien. Teknik ini digunakan jika perawat tidak mengerti, tidak jelas,
atau tidak mendengar apa yang dibicarakan klien. Perawat perlu
mengklarifikasi untuk menyamakan persepsi dengan klien.
Contoh :
“Coba jelaskan kembali apa yang Bapak maksud dengan kegagalan hidup? ”

f) Memfokuskan (focusing)
Metode ini dilakukan dengan tujuan membatasi bahan pembicaraan
sehingga lebih spesifik dan dimengerti. Perawat tidak seharusnya memutus
pembicaraan klien ketika menyampaikan masalah yang penting, kecuali jika
pembicaraan berlanjut tanpa informasi yang baru. Perawat membantu klien
membicarakan topik yang telah dipilih dan penting.
Contoh:
K : “Ya, beginilah nasib wanita yang teraniaya seperti saya. Tapi, saya pikir
untuk apa saya pikirkan sakit ini?”

25
P : “Coba ceritakan bagaimana perasaan ibu sebagai wanita.”

g) Merefleksikan (reflecting/feedback)
Perawat perlu memberikan umpan balik kepada klien dengan
menyatakan hasil pengamatannya sehingga dapat diketahui apakah pesan
diterima dengan benar. Perawat menguraikan kesan yang ditimbulkan oleh
syarat nonverbal klien. Menyampaikan hasil pengamatan perawat sering
membuat klien berkomunikasi lebih jelas tanpa harus bertambah
memfokuskan atau mengklarifikasi pesan.
Contoh :
“Ibu tampak sedih.”
“ Apakah Ibu merasa tidak senang apabila Ibu ….”

h) Memberi informasi (informing)


Memberikan informasi merupakan teknik yang digunakan dalam
rangka menyampaikan informasi-informasi penting melalui pendidikan
kesehatan. Apabila ada informasi yang ditutupi oleh dokter, perawat perlu
mengklarifikasi alasannya. Setelah informasi disampaikan, perawat
memfasilitasi klien untuk membuat keputusan.
Contoh:
K : Suster, kenapa suhu tubuh saya masih tinngi? Padahal saya sudah minum
obat, ini kira-kira kenapa ya sus?
P : Baik saya jelaskan, panas tubuh atau suhu tubuh meningkat dapat
disebabkan oleh beberapa hal diantaranya karena ada proses infeksi,
dehidrasi atau karena metabolisme tubuh yang meningkat.

i) Diam (silence)
Diam memberikan kesempatan kepada perawat dan klien untuk
mengorganisasi pikirannya. Penggunaan metode diam memerlukan
keterampilan dan ketetapan waktu. Diam memungkinkan klien untuk
berkomunikasi terhadap dirinya sendiri, mengorganisasi pikirannya, dan
memproses informasi. Bagi perawat, diam berarti memberikan kesempatan
klien untuk berpikir dan berpendapat/berbicara.
Contoh:

26
K : Saya jengkel kepapada suami saya.
P : Diam(memberi kesempatan klien).
K : Suami saya selalu telat pulang kerja tanpa alasAn yang jelas, kalau saya
tanya pasti marah.

j) Identifikasi tema (theme identification)


Identifikasi tema adalah menyimpulkan ide pokok/utama yang telah
dikomunikasikan secara singkat. Metode ini bermanfaat untuk membantu
topik yang telah dibahas sebelum meneruskan pada pembicaraan berikutnya.
Teknik ini penting dilakukan sebelum melanjutkan pembicaraan dengan topik
yang berkaitan.
Contoh :
“Saya paham terhadap masalah Ibu. Ibu merasa bahwa anak-anak dewasa dan
semua telah meninggalkan Ibu sendirian di rumah. Terkait masalah ini, apa
rencana yang akan Ibu lakukan untuk mengatasi masalah?”

k) Memberikan penghargaan (reward)


Menunjukkan perubahan yang terjadi pada klien adalah upaya untuk
menghargai klien. Penghargaan tersebut jangan sampai menjadi beban bagi
klien yang berakibat klien melakukan segala upaya untuk mendapatkan pujian.
Contoh :
“Saya perhatikan Ibu sudah lebih segar dan sehat.”
“Selamat, ya. Semoga Ibu dapat segera sembuh” (reward).

l) Menawarkan diri
Klien mungkin belum siap untuk berkomunikasi secara verbal dengan
orang lain atau klien tidak mampu untuk membuat dirinya dimengerti. Sering
kali perawat hanya menawarkan kehadirannya, rasa tertarik, dan teknik
komunikasi ini harus dilakukan tanpa pamrih.
Contoh :
“Saya ingin Anda merasa tenang dan nyaman.”

27
m) Memberi kesempatan kepada klien untuk memulai pembicaraan
Memberi kesempatan pada klien untuk berinisiatif dalam memilih
topik pembicaraan. Perawat dapat berperan dalam menstimulasi klien untuk
mengambil inisiatif dalam membuka pembicaraan.
Contoh :
“Adakah sesuatu yang ingin Ibu bicarakan?”
“Apakah yang sedang Ibu pikirkan?”
“Dari mana Ibu ingin mulai pembicaraan ini?”

n) Menganjurkan untuk meneruskan pembicaraan


Hal ini merupakan teknik mendengarkan yang aktif, yaitu perawat
menganjurkan atau mengarahkan pasien untuk terus bercerita. Teknik ini
mengindikasikan bahwa perawat sedang mengikuti apa yang sedang
dibicarakan klien dan tertarik dengan apa yang akan dibicarakan selanjutnya.
Contoh :
“… lanjutkan Ibu ….”
“… dan kemudian …?
“Ceritakan kepada saya tentang itu ….”

o) Refleksi
Refleksi menganjurkan klien untuk mengemukakan serta menerima ide dan
perasaannya sebagai bagian dari dirinya sendiri.
Contoh :
“Bagaimana menurutmu?” atau “Bagaimana perasaanmu?”
Dengan teknik ini , dapat diindikasikan bahwa pendapat klien adalah
berharga.

p) Humor
Humor yang dimaksud adalah humor yang efektif. Humor ini bertujuan
untuk menjaga keseimbangan antara ketegangan dan relaksasi. Perawat harus
hati-hati dalam menggunakan teknik ini karena ketidaktepatan penggunaan
waktu dapat menyinggung perasaan klien yang berakibat pada
ketidakpercayaan klien kepada perawat.
Contoh :

28
“kamu bisa saja, saya fikir kamu asyanti ternyata bukan haha”

2.5 PENTINGNYA KOMUNIKASI


Dalam lingkungan perawatan kesehatan, komunikasi, apakah disengaja atau tidak,
terjadi sepanjang waktu antara perawat dan pasien dalam setiap aspek perawatan. Pasien
menganggap keterampilan komunikasi sangat penting. Bailey dan Wilkinson melakukan
penelitian kualitatif yang mengevaluasi persepsi pasien tentang keterampilan komunikasi
perawat dan atribut perawat yang baik. Dua puluh sembilan pasien disurvei tentang
komunikasi. Pasien menetapkan bahwa perawat harus memiliki keterampilan verbal dan
nonverbal yang baik dan dapat didekati, simpatik, dan tidak menghakimi serta peduli.
Pasien juga merasa bahwa perawat yang baik memiliki karakteristik pribadi sebagai
pendengar yang baik dan kualitas profesional sebagai komunikator yang baik. Semua ini
adalah karakteristik penting dari keperawatan umum. Jelas, keperawatan dan komunikasi
di akhir kehidupan berjalan seiring.

Kebutuhan komunikasi perawat termasuk akuisisi keterampilan, pengetahuan yang


kredibel di bidang perawatan akhir-hidup, pemberdayaan untuk berpartisipasi dan
berkomunikasi dalam kematian dan diskusi yang baik, dan perilaku komunikasi yang
tepat. Selain itu, keterampilan komunikasi mempengaruhi keberhasilan perawat dalam
berbagai peran terapeutiknya, termasuk advokasi, dukungan, pembagian informasi,
pemberdayaan, validasi, dan ventilasi.

Ada dua tingkat keterampilan komunikasi yang diperlukan berdasarkan pendidikan


dan keahlian. Pada perawat terdaftar atau tingkat generalis, keterampilan komunikasi
kritis termasuk, tetapi tidak terbatas pada, mendengarkan dan mendukung pasien dalam
mengatasi penyakit mereka, memberikan informasi kepada pasien sehingga mereka dapat
membuat keputusan penting, hadir pada saat pengiriman berita buruk, hadir dalam
pertemuan keluarga, memperkuat informasi untuk memberikan konten yang konsisten,
meninjau opsi perawatan, mendukung pengambilan keputusan, mengadvokasi pasien dan
keluarga, meninjau tanda dan gejala kematian, memfasilitasi komunikasi antara pasien
dan keluarga, hadir di sekarat proses, memberikan perawatan dan pengarahan postdeath,
dan memberikan dukungan dalam kesedihan dan dukacita. Beberapa perawat generalis
mempertimbangkan peran berbagi informasi dan setiap diskusi tentang diagnosis dan
pengobatan berada di luar lingkup praktik mereka. Namun, dari perspektif peran advokasi

29
dalam keperawatan, berbagi informasi memberdayakan pasien untuk membuat keputusan.
Selain itu, kedekatan perawat dalam peran pengasuhan langsung di samping tempat tidur
memberi banyak kesempatan bagi perawat untuk menciptakan pertemuan komunikasi
yang positif. Banyaknya peluang untuk memulai dialog tentang kematian dan kematian
termasuk, di samping pertemuan yang direncanakan, saat-saat privasi antara perawat dan
pasien selama mandi, makan, dan kegiatan perawatan diri.

Pada tingkat praktik master atau tingkat lanjut, keterampilan komunikasi keperawatan
kritis termasuk diskusi diagnosis, pilihan pengobatan, dan prognosis; pengiriman berita
buruk ketika penyakit berkembang; transisi ke perawatan paliatif; diskusi tentang
pengobatan yang mendukung kehidupan; fasilitasi pertemuan keluarga; diskusi tentang
pilihan postdeath seperti otopsi atau donasi organ; dan dukungan duka dan dukacita.
Namun, masalah konsultasi yang digunakan adalah penting bagi APN. Dalam model
medis terutama digunakan dalam pengaturan akademik, fokusnya adalah pada keahlian
dalam perawatan paliatif. Dalam model keperawatan, fokusnya adalah pada pembinaan
atau pendampingan, tergantung pada budaya dan lingkungan dari pengaturan kerja.

Kurangnya pendidikan atau pelatihan atau kurangnya pengalaman pribadi dan


profesional dengan kematian dan kematian menghasilkan sedikit paparan komunikasi di
akhir kehidupan. Kecuali perawat dibimbing atau dilatih oleh rekan kerja, kurangnya
kepercayaan diri dalam melakukan tugas-tugas ini mengarah pada penghindaran
partisipasi dalam pertemuan komunikasi yang sulit. Perawat lain mungkin memiliki
ketidaknyamanan dengan komunikasi dalam keadaan seperti itu karena perjuangan
pribadi kesedihan yang belum terselesaikan, ketakutan akan kematian mereka sendiri,
atau takut menjadi emosional di depan pasien. Namun demikian, agar efektif dalam
menangani pasien pada akhir kehidupan, perawat harus memeriksa perasaan mereka
sendiri tentang kematian dan kematian, menerima dukungan untuk kesedihan pribadi
mereka, dan mencari bimbingan untuk meningkatkan keterampilan komunikasi.

Komunikasi selama periode akhir masa hidup sangat penting. Para pemain yang
terlibat dalam proses komunikasi termasuk pasien, perawat dan penyedia layanan
kesehatan, dan keluarga atau orang-orang pendukung. Setiap orang memiliki kebutuhan
yang berbeda, terkait dengan gaya komunikasi pribadi dan gaya belajar. Gaya komunikasi
bervariasi berdasarkan pola bicara, nada, intensitas, amplitudo, dan ucapan. Gaya belajar

30
termasuk melihat, mendengar, melakukan, atau campuran dari ketiganya. Oleh karena itu,
mungkin perlu menggunakan variasi diskusi verbal, bahan tertulis, dan video.

Ada beberapa kebutuhan pasien, termasuk manajemen gejala, dukungan dari keluarga
dan teman, pemenuhan keluarga atau harapan budaya, mencapai makna, dan menjaga
martabat dan kontrol. Kebutuhan komunikasi diskrit pasien yang terkait dengan masalah
ini termasuk memperoleh informasi, mensintesis informasi, membuat keputusan, dan
mencoba mempertahankan rasa kontrol. Perawat berfungsi untuk menilai bidang-bidang
ini, terutama pada saat stres, ketika pemrosesan informasi mungkin terganggu.
Sebagaimana dijelaskan Pasacreta dan rekan-rekannya, seseorang yang agak cemas
mungkin dapat memproses informasi dan, pada kenyataannya, mungkin cukup kreatif.
Memang, kecemasan ringan membantu sebagian besar orang melakukan pekerjaan
mereka dengan waspada terhadap masalah, mengidentifikasi masalah, dan memfasilitasi
solusi kreatif. Beberapa pasien mengalami kecemasan ringan hanya dengan berpartisipasi
dalam pertemuan kesehatan preventif. Dalam situasi ini, perawat dapat memberikan
informasi kesehatan dasar. Namun, ketika kecemasan meningkat ke tingkat yang sedang,
seperti yang sering terjadi dengan menerima berita tentang perkembangan penyakit,
pemrosesan informasi menjadi selektif. Dalam hal pasien, ini berarti bahwa ketika sesuatu
yang menakutkan atau mengancam dikomunikasikan, pasien mungkin tidak dapat
memperoleh banyak informasi. Sebagai contoh, seorang pasien mungkin diberitahu
bahwa film x-ray terlihat tidak normal. Pada saat itu, pasien memiliki kesadaran yang
meningkat dan mungkin memikirkan kemungkinan masalah. Dalam hal ini, perawat
memberikan dukungan kepada pasien dalam memungkinkan pasien untuk melepaskan
kekhawatiran dan mengulangi informasi yang telah disediakan oleh tim.

Dalam kasus kecemasan dan panik yang parah, seperti ketika mendengar berita buruk
dalam bentuk prognosis pendek atau kurangnya pilihan, pemrosesan informasi pasien
mungkin benar-benar terganggu. Ini terjadi ketika pasien diberi diagnosis terminal.
Segera setelah dokter atau perawat praktik lanjutan (APN) memberikan berita buruk
tentang gravitasi semacam itu, pasien mungkin tidak dapat mendengar hal lain. Ia
mungkin telah mengalami syok atau panik tentang berita dan tidak dapat memahami
informasi lainnya. . Ini penting untuk waktu komunikasi lebih lanjut dan tindak lanjut dari
peristiwa semacam itu. Perawat memiliki peran penting dalam memvalidasi reaksi pasien

31
dan menawarkan dukungan dalam menentukan informasi lebih lanjut apa yang mungkin
diperlukan pasien.

Aspek eksistensial komunikasi akhir-hidup meliputi pengungkapan, pencarian makna,


dan menanggapi reaksi kesedihan terhadap informasi yang diterima. Eksplorasi seputar
penyakit yang mengancam jiwa dapat membantu pasien hidup ketika sedang sekarat,
mengurangi rasa takut, dan mencapai kualitas hidup selama proses ini.

Kebutuhan komunikasi keluarga dan orang-orang yang mendukung lainnya


bergantung pada peran mereka dalam sistem keluarga, usia, kemampuan membuat
keputusan, dan aturan lain di dalam dan khusus untuk keluarga. Keluarga seringkali
sangat terlibat dalam perawatan, tetapi mereka juga memiliki banyak tanggung jawab
rumah dan pekerjaan. Oleh karena itu, mungkin ada tantangan bagi anggota keluarga
untuk hadir di samping tempat tidur. Keluarga mungkin mengalami tingkat frustrasi yang
tinggi dari kebutuhan untuk memperbarui informasi secara terus-menerus untuk mengatur
dan memprioritaskan kegiatan lain di sekitar peran pengasuhan mereka. Dalam upaya
untuk menyeimbangkan masalah perawatan diri mereka, mereka mungkin tidak hadir
untuk berbagi informasi informal penting kecuali sebuah pertemuan dijadwalkan.

Untuk memfasilitasi partisipasi dalam perawatan pasien, keluarga memerlukan


komunikasi mengenai beberapa masalah: memahami apa rencana asuhannya, apa yang
saat ini sedang dilakukan, dan bagaimana mereka dapat membantu; jaminan kenyamanan
pasien; dukungan dalam mengatasi kondisi pasien; dan dukungan untuk bersama pasien.
Sejalan dengan itu, kebutuhan komunikasi untuk pasien termasuk informasi, penjelasan
berkelanjutan dari alasan untuk perawatan, kebutuhan untuk didengarkan, dan
kesempatan untuk berpartisipasi dalam diskusi penting. Untuk pasien dan keluarga,
perawat adalah dokter penting dalam membina proses komunikasi.

32
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Komunikasi merupakan pertukaran informasi yang dilakukan oleh dua orang atau
lebih dengan maksud dan tujuan tertentu. Sedangkan, menurut KBBI komunikasi
merupakan pengiriman dan penerimaan informasi, berita, atau pesan yang dilakukan oleh
dua orang atau lebih sehingga maksud atau pesan tersebut dapat dipahami.
Seseorang dengan penyakit kronis atau dengan penyakit terminal akan mengalami
rasa berduka dan kehilangan. Sebagai seorang perawat kita harus mampu memahami hal
tersebut. Komunikasi dengan klien penyakit terminal dan kronis merupakan komunikasi
yang tidak mudah. Perawat harus memiliki pengetahuan tentang penyakit yang mereka
alami serta pengetahuan tentang proses berduka dan kehilangan. Dalam berkomunikasi
perawat menggunakan konsep komunikasi terapeutik.

Untuk pasien yang dirawat oleh seorang dokter yang tidak komunikatif atau tidak
efektif, kematian bisa menjadi pengalaman yang mengisolasi, cemas, menakutkan, dan
tidak percaya yang diterjemahkan ke dalam rasa ditinggalkan. Dalam situasi seperti itu,
keluarga mengalami kesedihan yang kompleks dan berkabung dan peningkatan stres.
Bagi perawat, komunikasi tidak langsung dan kurangnya pengungkapan kebenaran dalam
proses yang sekarat ini menghasilkan stres yang lebih besar, kecemasan, dan komunikasi
tidak autentik, yang diterjemahkan menjadi rasa bersalah, konflik internal, dan rasa gagal.
Mengingat kebutuhan ini untuk mengidentifikasi dan memperlakukan setiap pasien
secara individual, keterampilan komunikasi sangat penting untuk memberikan perawatan
yang optimal. Menariknya, perubahan dalam teori komunikasi telah terjadi secara
bersamaan. Penelitian telah menunjukkan bahwa keterampilan komunikasi, seperti
keterampilan lainnya, dapat diperoleh oleh penyedia layanan kesehatan. Oleh karena itu,
pendidikan komunikasi harus dimulai pada setiap tingkat pendidikan untuk keperawatan,
terlepas dari tingkat di mana perawat memasuki praktik pendidikan tingkat asosiasi,
bujangan, master, atau postmaster. Namun, ada juga kebutuhan untuk menyediakan
pendidikan berkelanjutan dalam komunikasi untuk perawat saat ini dalam prakteknya.

33
Pada Prinsip Komunikasi Dalam Perawatan Paliatif
Perawat harus mengenal dirinya sendiri yang berarti menghayati, memahami
dirinya sendiri serta nilai yang dianut, komunikasi harus ditandai dengan sikap saling
menerima, saling percaya, dan saling menghargai, perawat harus memahami,
menghayati nilai yang dianut pasien, perawat harus menyadari pentingnya kebutuhan
pasien baik fisik maupun mental, perawat harus menciptakan suasanan yang
memungkinkan pasien memiliki motivasi untuk mengubah dirinya baik sikap maupun
tingkah lakunya sehingga tumbuh makin matang dan dapat memecahkan masalah-
masalah yang dihadapi, perawat mampu menguasai perasaan sendiri secara bertahap
untuk mengetahui dan mengatasi perasaan gembira, sedih, marah, keberhasilan
maupun masalah, mampu menentukan batas waktu yang sesuai dan dapat
mempertahankan konsistensinya, memahami arti empati sebagai tindakan yang
terapetik, kejujuran dan komunikasi terbuka, mampu berperan sebagai role mode agar
dapat menunjukan dan menyakinkan orang lain tentang kesehatan, altruisme,
mendapatkan kepuasaan dengan menolong orang lain secara manusiawi, dan
bertanggung jawab.

Adapun teknik komunikasi terapeutik

1. Fase – Fase Dalam Komunikasi Terapeutik


a) Fase pra interaksi
b) Fase orientasi/introduksi
Tiga kegiatan utama yang harus dilakukan perawat pada fase orientasi ini
sebagai berikut.
1) Memberikan salam terapeutik
2) Evaluasi dan validasi perasaan klien
3) Melakukan kontrak hubungan dengan klien meliputi kontrak tujuan
interaksi, kontrak waktu, dan kontrak tempat.
c) Fase kerja
d) Fase Terminasi
2. Teknik – Teknik Komunikasi Terapeutik
a) Mendengarkan dengan penuh perhatian (listening)
b) Menunjukkan penerimaan (accepting)
c) Menanyakan pertanyaan yang berkaitan
d) Mengulang (restating/repeating)
e) Klarifikasi (clarification)
f) Memfokuskan (focusing)
g) Merefleksikan (reflecting/feedback)

34
h) Memberi informasi (informing)
i) Diam (silence)
j) Identifikasi tema (theme identification)
k) Memberikan penghargaan (reward)
l) Menawarkan diri
m) Memberi kesempatan kepada klien untuk memulai pembicaraan
n) Menganjurkan untuk meneruskan pembicaraan
o) Refleksi
p) Humor

Dalam lingkungan perawatan kesehatan, komunikasi, apakah disengaja atau


tidak, terjadi sepanjang waktu antara perawat dan pasien dalam setiap aspek
perawatan. Pasien menganggap keterampilan komunikasi sangat penting.

Pasien menetapkan bahwa perawat harus memiliki keterampilan verbal dan


nonverbal yang baik dan dapat didekati, simpatik, dan tidak menghakimi serta peduli.
Pasien juga merasa bahwa perawat yang baik memiliki karakteristik pribadi sebagai
pendengar yang baik dan kualitas profesional sebagai komunikator yang baik. Semua
ini adalah karakteristik penting dari keperawatan umum. Jelas, keperawatan dan
komunikasi di akhir kehidupan berjalan seiring.

3.2 SARAN
Untuk tim medis seperti perawat, dokter, dan instasi kesehatan lainnya kami berharap
dapat bekerja sama untuk meningkatkan cara berkomuniaksi dengan baik tanpa harus
menyinggung perasaan klien dan utaman keluhan klien tanpa harus memandang siapa dia
agar tujuan utama dapat tercapai dengan baik. Harapan untuk pasien supaya pasien dapat
mengerti dan memahami tim kesehatan yang bekerja dengan sebaik mungkin agar
komunikasi yang terjaga dapat terlaksana dengan baik tanpa hambatan.

35
DAFTAR PUSTAKA

Kozier,Barbara.(2004).Fundamentals Of Nursing: concepts, process, and practice (7


th ed.). New Jersey : Pearson

Northouse, Peter Guy.(2010).Leadership : Theory and Practice.(5 th ed.). USA:


SAGE

Potter & Perry. (2009).Fundamental keperawatan (7 th ed.).(vols 2.). dr Adrina


&marina, penerjemah). Jakarta : Salemba Medika.

Stuart.G.W.,&Laraia.,M.T.(2005).Principles and Practice Of psychiatric nursing.(8 th


ed.).St Louis : MOSBY

Stuart dan Sundeen (1998). Keperawatan Jiwa Edisi 3. Jakarta: EGC.

WHO(1999).Manajemen Pelayanan Kesehatan Primer.(2 th ed). (dr.Popy Kumalasari,


Penerjemah).Jakarta : EGC

36

Anda mungkin juga menyukai