Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

PENGGUNAAN OBAT TIDAK RASIONAL SEBAGAI FAKTOR YANG


MEMPENGARUHI STATUS KESEHATAN DALAM PELAYANAN
KESEHATAN

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Komunitas I


Dosen : Prinawatie, S.Kep.,M.Kes

Disusun oleh :
ERLISA
NIM : 2019.C.11a.1008

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PRODI S-1 KEPERAWATAN
TAHUN 2021/2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan
judul “Penggunaan Obat Tidak Rasional Sebagai Faktor Yang Mempengaruhi
Status Kesehatan Dalam Pelayanan Kesehatan”.
Dalam penyusunan makalah mungkin ada sedikit hambatan. Namun berkat
bantuan dari sumber-sumber yang didapat, serta bimbingan dari dosen
pembimbing. Sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Dengan adanya makalah ini, diharapkan dapat membantu proses pembelajaran
dan dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca.
Makalah ini mungkin kurang sempurna untuk itu penulis mengharap kritik
dan saran untuk penyempurnaan makalah ini kedepannya.

Palangka Raya, 29 September 2021

Erlisa

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................................... i
DAFTAR ISI .............................................................................................................................. ii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .....................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................................3
1.3 Tujuan...................................................................................................................................4
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Umum Mengenai Obat.......................................................................................5
2.2 Pedoman Obat Rasional (POR)

................................................................................................................................................9
2.3 Penggunaan Obat Tidak Rasional
..............................................................................................................................................13
2.4 Faktor-faktor yang berpengaruh dalam pemberian obat tidak rasional

..............................................................................................................................................14
2.5 Ciri Pemakaian Obat yang Tidak Rasional

..............................................................................................................................................16
2.6 Dampak Ketidakrasionalan Penggunaan Obat

..............................................................................................................................................19
2.7 Peran Tenaga Kesehatan Dalam Pemberian Obat
..............................................................................................................................................22
2.8 Prinsip Dasar Pemberian Obat..............................................................................................23

BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan ..........................................................................................................................30
3.2 Saran ....................................................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................31

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Langkah awal yang merupakan ciri khas dari seorang pasien ketika
menderita suatu penyakit adalah berusaha untuk mengobati sendiri penyakit yang
dialaminya. Hal yang paling umum untuk dilakukan adalah dengan swamedikasi
menggunakan obat – obatan yang dijual bebas di pasaran. Tetapi ketika seseorang
mengalami penyakit yang parah, maka swamedikasi tidak dapat dilakukan atau
dengan kata lain mereka memerlukan tenaga kesehatan dalam penatalaksanaan
terapi.
Penggunaan obat yang rasional didefinisikan sebagai suatu kondisi jika
pasien menerima pengobatan sesuai dengan kebutuhan klinisnya, baik dilihat dari
regimen dosis yang sesuai. lama pengobatan yang cukup dan biaya pengobatan
yang lebih rendah. Peresepan obat yang rasional sangat didambakan berbagai
pihak, baik oleh dokter, apoteker, maupun pasien, sehingga diperoleh peresepan
obat yang efektif dan efisien (Mundariningsih et al., 2007). Jika pasien menerima
pengobatan yang tidak sesuai dengan definisi penggunaan obat yang rasional
tersebut maka telah terjadi ketidakrasionalan penggunaan obat. Penggunaan obat
yang tidak rasional dapat menimbulkan dampak morbiditas dan mortalitas yang
serius terutama pada pasien anak dengan infeksi dan pasien dengan penyakit
kronis (WHO, 2002), dan pada skala besar secara signifikan meningkatkan
kejadian efek samping serta tingginya biaya pengobatan (Quick et al., 1997)
Suatu pengobatan dikatakan rasional apabila memenuhi beberapa kriteria
antara lain tepat diagnosis, tepat indikasi penyakit, tepat pemilihan obat, tepat
dosis, tepat cara pemberian, tepat interval waktu pemberian, tepat lama
pemberian, waspada terhadap efek samping, tepat penilaian kondisi pasien. Obat
yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin, serta tersedia setiap
saat dengan harga yang terjangkau, tepat informasi, tepat tindak lanjut, tepat
penyerahan obat, pasien patuh dalam pengobatan (Kemenkes RI, 2011).
Penggunaan obat rasional merupakan hal yang penting agar kualitas hidup dan
kesejahteraan masyarakat tercapai dengan lebih baik (Cippole dkk., 2012).

1
Penggunaan obat yang tidak rasional merupakan masalah serius dalam
pelayanan kesehatan karena kemungkinan dampak negatif yang terjadi. Di
banyak negara, pada berbagai tingkat pelayanan kesehatan, berbagai studi dan
temuan telah menunjukkan bahwa penggunaan obat jauh dari keadaan optimal
dan rasional. Banyak hal yang dapat ditingkatkan dalam penggunaan obat pada
umumnya dan khususnya dalam peresepan obat (prescribing). Secara singkat,
penggunaan obat (khususnya adalah peresepan obat atau prescribing), dikatakan
tidak rasional apabila kemungkinan memberikan manfaat sangat kecil atau tidak
ada sama sekali, sehingga tidak sebanding dengan kemungkinan efek samping
atau biayanya (Vance dan Millington, 1986). Penggunaan Obat yang tidak
rasional menyebabkan proses peresepan obat yang tidak sesuai atau tidak
rasional. Ketidakrasionalan yang terjadi biasanya adalah penggunaan obat yang
berlebihan, polifarmasi, efek samping yang merugikan dan interaksi obat
(Agabna,2014).
Data yang didapatkan dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada
tahun 2013 di bahasan farmasi dan pelayanan kesehatan tradisional memberikan
data sebanyak 35,2% dari 294.959 Rukun Tetangga (RT) di Indonesia
menyimpan obat untuk swamedikasi dengan rata – rata sediaan obat yang
disimpan hampir 3 macam. Proporsi RT yang menyimpan obat keras sebanyak
35,7% dan antibiotika 27,8%. Dari data tersebut didapatkan 81,9% RT
menyimpan obat keras dan 86,1% RT menyimpan antibiotik yang diperoleh tanpa
resep. Kejadian ini memberikan gambaran bahwa swamedikasi yang dilakukan di
masyarakat masih menunjukkan adanya ketidak rasionalan dalam pemberian obat
oleh tenaga kesehatan.
Pada tahun 2016 di Provinsi Jawa Tengah hanya 32,34% dari 875
Puskesmas yang telah melakukan pelayanan kefarmasian sesuai dengan standar
(Direktorat Jenderal Kefarmasian Dan Alat Kesehatan, 2017). Target Persentase
Penggunaan Obat 2 Rasional di Puskesmas pada tahun 2017 adalah 66% dan
realisasinya 62,32% (Direktorat Jenderal Kefarmasian Dan Alat Kesehatan,
2018). Penggunaan Obat Rasional (POR) adalah persentase penggunaan obat
rasional di puskesmas yang diperoleh dari 4 indikator Peresepan yaitu persentase
antibiotik pada ISPA non pneumonia, persentase antibiotik pada diare non

2
spesifik, persentase injeksi pada Myalgia dan rerata item obat per lembar resep
(Sirkesnas,2016). Dasar pemilihan ISPA Non Pneumonia, Diare Non Spesifik,
dan injeksi Myalgia adalah karena ketiganya termasuk 10 penyakit terbanyak,
diagnosis mudah ditegakkan tanpa pemeriksaaan penunjang, pedoman terapinya
jelas, tidak perlu antibiotik/injeksi dan tiga penyakit tersebut potensial untuk
diterapi secara tidak rasional (Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan, 2012). Evaluasi indikator fasilitas dilakukan untuk memastikan
ketersediaan pedoman penting dan obat-obatan utama dalam stok. Indikator
fasilitas yang dimaksud adalah Ketersediaan Daftar Obat Esensial dan
ketersediaan formularium (Angamo, 2011).
Penggunaan obat secara rasional di masyarakat merupakan salah satu hal
penting untuk membangun pelayanan kesehatan. Pelaksanaan pengobatan yang
tidak rasional selama ini telah memberikan dampak negatif berupa pemborosan
dana, efek samping dari penggunaan obat yang kurang tepat akan menyebabkan
terjadinya resistensi, interaksi obat yang berbahaya, dapat menurunkan mutu
pengobatan dan mutu pelayanan kesehatan. Untuk meningkatkan kerasionalan
obat pada masyarakat hingga mutu pelayanan kesehatan yang optimal maka perlu
dilakukan pengelolaan obat secara rasional dan sistematis (Yuliastuti dkk., 2013).
Pengetahuan dan sikap tenaga kesehatan dalam penyampaian informasi
kepada pasien dapat membantu keberhasilan dari penggunaan obat yang rasional.
Kegiatan ini dapat memberikan nilai yang positif untuk menekan angka penyakit
secara global. Peran tenaga kesehatan dalam memberikan informasi secara
maksimal dapat membantu swamedikasi yang dilakukan oleh masyarakat secara
benar, sehingga dapat merubah perilaku masyarakat dalam melakukan
swamedikasi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi Obat secara umum ?
2. Apa itu Pedoman Obat Rasional (POR) ?
3. Apa itu Penggunaan Obat Tidak Rasional ?
4. Apa saja faktor yang berpengaruh dalam pemberian obat tidak rasional ?
5. Apa ciri pemakaian obat yang tidak rasional ?
6. Bagaimana dampak ketidakrasionalan penggunaan obat ?

3
7. Bagaimana peran tenaga kesehatan dalam pemberian obat ?
8. Bagaimana prinsip dasar pemberian obat ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi Obat secara umum.
2. Untuk mengetahui Pedoman Obat Rasional (POR).
3. Untuk mengetahui Penggunaan Obat Tidak Rasional.
4. Untuk mengetahui faktor yang berpengaruh dalam pemberian obat tidak
rasional.
5. Untuk mengetahui ciri pemakaian obat yang tidak rasional.
6. Untuk mengetahui dampak ketidakrasionalan penggunaan obat.
7. Untuk mengetahui peran tenaga kesehatan dalam pemberian obat .
8. Untuk mengetahui prinsip dasar pemberian obat.

4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Umum Mengenai Obat
Obat adalah setiap zat kimia (alami maupun sintetik) yang selain makanan
yang mempunyai pengaruh atau menimbulkan efek terhadap organisme hidup,
baik efek psikologis, fisiologis maupun biokimiawi. Obat juga merupakan
kumpulan zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup setiap manusia yang
mengkonsumsinya dan akan melewati mekanisme kerja dari mulai bagaimana
obat itu di absorpsi, didistribusikan, mengalami biotransformasi dan akhirnya
harus ada yang diekskresikan. Pengobatan memiliki tujuan yaitu sebagai
penetapan diagnose, untuk memperelok atau memperindah badan atau bagian
badan manusia. sebagai tindakan pencegahan (preventif), dan penyembuhan
(kuratif), simtomatik. Pengobatan juga bisa berperan dalam proses pemulihan
kembali (rehabilitatif) maupun peningkatan kesehatan (promotif) serta sebagai
kontrasepsi.
Obat Jadi yaitu obat dalam keadaan murni atau campuran dalam bentuk
serbuk, cairan, salep, tablet, pil, suppositoria atau bentuk lain yang mempunyai
teknis sesuai dengan Farmakope Indonesia atau buku lain yang ditetapkan oleh
pemerintah. Obat Paten yaitu obat jadi dengan nama dagang yang terdaftar atas
nama si pembuat yang dikuasakannya dan dijual dalam bungkus asli dari pabrik
yang memproduksinya. Obat Baru yaitu obat yang terdiri atau berisi zat, baik
sebagai bagian yang berkhasiat, ataupun yang tidak berkhasiat, misalnya lapisan,
pengisi, pelarut, pembantu atau komponen lain, yang belum dikenal sehingga
tidak diketahui khasiat dan kegunaannya.
Obat Asli yaitu obat yang didapat langsung dari bahan-bahan alamiah
Indonesia, terolah secara sederhana atas dasar pengalaman dan digunakan dalam
pengobatan tradisional. Obat Esensial yaitu obat yang paling dibutuhkan untuk
pelayanan kesehatan masyrakat terbanyak dan tercantum dalam Daftar Obat
Esensial yang ditetapkan oleh MenKes. Obat Generik yaitu obat dengan nama

5
resmi yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia untuk zat berkhasiat yang
dikandungnya.
Secara umum obat didefinisikan sebagai suatu bahan atau paduan bahan-
bahan yang dapat digunakan untuk menetapkan diagnosis, mencegah,
mengurangkan, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit,
luka atau kelainan badaniah dan rokhaniah pada manusia atau hewan dan untuk
memperelok badan atau bagian badan manusia. Pada hakekatnya semua obat
adalah racun dan hanya dengan cara pemberian serta dosis yang tepatlah obat
dapat bermanfaat untuk pengobatan. Obat merupakan komoditas dagang yang
menyangkut kesehatam masyarakat sebagai pengguna, sehingga peredarannya
hams diatur oleh pemerintah melalui peraturan perundang-undangan khusus
mengenai obat.
 Obat Dalam Preskripsi Dokter
Bagian terpenting dalam preskripsi dokter adalah jenis, bahan dan jumlah
obat (inscriptio). Obat yang dipakai dalam preskripsi dokter merupakan obat
pilihan dan disusun sendiri oleh dokter serta disesuaikan dengan kondisi pasien
yang dihadapi. Jumlah obat yang ditulis dalam resep dapat berupa obat pokok
(remidium cardinale) yang tunggal atau kombinasi beberapa obat pokok, dengan
atau tanpa obat penunjang ( remidium ajuvant), dan bahan tambahan (remidium
corrigen).
Berikut ini adalah jenis dan bahan obat dalam preskripsi dokter :
1. Bahan Baku.
Bahan ini dapat berbentuk serbuk, kristal, atau cairan tergantung dari sifat-
sifat fisikakimia obat. Penulisan nama bahan obat pada preskripsi dokter
dapat menggunakan nama resmi dalam Farmakope Indonesia (FI) atau sesuai
dengan nomenklatur international (INN)
2. Obat formula standard
Jenis obat tersebut merupakan formula baku/standard dengan nama sesuai
dalam Farmakope Indonesia atau buku resmi lain. Sediaan obat jenis ini dapat
berupa serbuk (pulveres) atau padat lain (tablet, kapsul), cairan (solutio,
suspensi dll), dan setengah padat (salep, krim dan pasta). Pada scat ini
pemerintah melalui BPOM (Badan Pengawasan Obat dan Makanan)

6
mengembangkan obat jadi standard yaitu Obat Generik Berlogo. Obat
tersebut mempunyai mutu yang baik karena cara pembuatannya harus juga
memenuhi criteria cara pembuatan obat yang baik dan benar. Harganya juga
relatif murah bila dibandingkan dengan obat paten pada umumnya. Macam
obat standard tersebut dapat dilihat dalam Daftar Obat Generik Berlogo yang
dikeluarkan oleh BPOM.
3. Obat paten
Jenis obat tersebut merupakan obat jadi (dalam bentuk sediaan padat, cair
atau setengah padat) dengan nama dagang (brand name) dari pabrik yang
memproduksi obat jadi tersebut. Saat ini banyak sekali beredar obat paten di
pasaran dengan berbagai macam nama, bentuk dan harga. Umumnya harga
obat paten lebih mahal dibandingkan dengan OGB.
 Bentuk obat
1. Kaplet, yaitu bentuk dosis padat untuk pemberian oral; bentuk seperti kapsul
bersalut, sehingga mudah ditelan
2. Tablet, yaitu bentuk dosis bubuk yang dikomperesi ke dalam cakram atau
slinder yang keras; selain obat utama, mengandung zat pengikat (perakat
untuk membuat bubuk menyatu), zat pemisah ( untuk meningkatkan pelarutan
tablet), lubrika (supaya mudah dibuat di pabrik), dan zat pengisi (supaya
ukuran tablet cocok)
3. Tablet enterik bersalut, yaitu tablet untuk pemberian oral,yang dilapisi bahan
yang tidak larut dalam lambung; lapisan larut di dalam usus, tempat obat
diabsorbsi.
4. Tablet isap (troche, lozenge) : bentuk dosis datar, bundar mengandung obat,
citarasa, gula, dan bahan perekat cair; larut dalam mulut untuk melepas obat
5. Kapsul, yaitu bentuk dosis padat untuk pemberian oral; obat dalam bentuk
bubuk, cairan, atau minyak dan dibungkus oleh selongsong gelatin, kapsul
diwarnai untuk membantu identifikasi produk
6. Eliksir, yaitu cairan jernih berisi air dan alkohol; dirancang untuk penggunaan
oral; biasanya di tambah pemanis

7
7. Ekstrak, yaitu bentuk obat pekat yang dibuat dengan memindahkan bagian
aktif obat dari komponen lain obat tersebut (misalnya, ekstrak cairan adalah
obat yang dibuat menjadi larutan dari sumber sayur-sayuran )
8. Gliserit : larutan obat yang di kombinasi dengan gliserin untuk penggunaan
luar, berisi sekurang-kurangnya 50% gliserin
9. Cakram intraokular (intraocular disk), yaitu bentuk oval, fleksibel berukuran
kecil terdiri dari dua lapisan luar yang lunak dan sebuah lapisan tengah berisi
obat. Saat dilembabkan oleh cairan okuler (mata), cakram melepas obat
sampai satu minggu
10. Obat gosok (liniment), yaitu preparat biasanya mengandung alkohol, minyak
atau pelembut sabun yang dioles pada kulit
11. Losion, yaitu obat dalam cairan, suspensi yang di oles pada kulit untuk
melindunginya
12. Salep : semisolid (agak padat), preparat yang di oles pada kulit, biasanya
mengandung satu atau lebih obat
13. Pasta, yaitu preparat semisolid, lebih kental dan lebih kaku dari pada salep;
diabsorbsi melalui kulit lebih lambat dari pada salep
14. Pil, yaitu bentuk dosis padat berisi satu atau lebih obat, dibentuk kedalam
bentuk tetesan, lonjong, atau bujur; pil yang sesungguhnya jarang digunakan
karena telah digantikan oleh tablet
15. Larutan, yaitu preparat cairan yang dapat digunakan per oral, parenteral, atau
secara eksternal; dapat juga dimasukkan ke dalam organ atau rongga tubuh
(mis. Irigasi kantong kemih); berisi air dan mengandung satu atau lebih
senyawa terlarut; harus steril untuk penggunaan parenteral
16. Supositoria, yitu bentuk dosis padat yang di campur dengan gelatin dan
dibentuk dalam bentuk peluru untuk dimasukkan ke dalam rongga tubuh
(rektum atau vagina); meleleh saat mencapai suhu tubuh, melepas obat untuk
diabsorbsi
17. Suspense, yaitu partikel obat yang dibelah sampai halus dan larut dalam
media cair, saat dibiarkan, partikel berkumpul di bagian bawah wadah;
umumnya merupakan obat oral dan tidakdiberikan perintravena

8
18. Sirup, yaitu obat yang larut dalam larutan gula pekat, mengandung perasa
yang membuat obat terasa lebih enak
19. Cakram atau lempeng transdermal, yaitu obat beradadalam cakram (disks)
atau patch membrane semipermeable yang membuat obat dapat diabsorbsi
perlahan-lahan melalui kulit dalam periode waktu yang lama
20. Tingtura, yaitu alkohol atau larutan obat air-alkohol
2.2 Pedoman Obat Rasional (POR)
WHO menjelaskan bahwa definisi penggunaan obat yang rasional adalah
apabila pasien menerima pengobatan sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dalam
dosis yang sesuai dengan kebutuhan, dalam periode waktu yang sesuai dan
dengan biaya yang terjangkau oleh dirinya dan kebanyakan masyarakat. Dengan
empat kata kunci yaitu kebutuhan klinis, dosis, waktu, dan biaya yang sesuai.
POR merupakan upaya intervensi untuk mencapai pengobatan yang efektif.
Penggunaan obat yang dapat dianalisa adalah penggunaan obat melalui
bantuan tenaga kesehatan maupun swamedikasi oleh pasien. Berikut ini kriteria
suatu obat dikatakan rasional menurut Peraturan Kementerian Kesehatan tahun
2011 adalah:
1. Tepat Diagnosis
Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang tepat.
Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan obat akan
terpaksa mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut. Akibatnya obat yang
diberikan juga tidak akan sesuai dengan indikasi yang seharusnya.
2. Tepat Indikasi
Penyakit Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik. Antibiotik,
misalnya di indikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian, pemberian
obat ini hanya di anjurkan untuk pasien yang member gejala adanya infeksi
bakteri.
3. Tepat Pemilihan Obat
Keputusan untuk melakukan upaya terapi di ambil setelah diagnosis
ditegakkan dengan benar.Dengan demikian obat yang dipilih harus yang
memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit.
4. Tepat Dosis

9
Dosis, cara dan lama pemberian obat sangan berpengaruh terhadap efek terapi
obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang dengan
rentang terapi yang sempitakan sangat beresiko timbulnya efek samping.
Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapinya kadar
terapi yang di harapkan.
5. Tepat Cara Pemberian
Obat antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan. Demikian pula
antibiotik tidak boleh dicapur dengan susu, karena akan membentuk ikatan,
sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi dan menurunkan efektivitasnya.
6. Tepat Waktu Interval
Pemberian Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan
praktis, agar mudah di taati oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian
obat per hari (misalnya 4 kali sehari), semakin rendah tingkat ketaatan minum
obat. Obat yang harus diminum 3 x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut
harus diminum dengan interval setiap 8 jam.
7. Tepat Lama Pemberian
Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing – masing. Untuk
tuberkolosis dan kusta, lama pemberian paling singkat adalah 6 bulan. Lama
pemberian kloramfenikol pada demam tifoid adalah 10-14 hari. Pemberian
obat yang terlalu singkat atau terlalu lama dari yang seharusnya akan
berpengaruh terhadap hasil pengobatan.
8. Waspada Terhadap Efek Samping
Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak
diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, karena itu
muka merah setelah pemberian atropine bukan alergi, tetapi efek samping
sehubugan vasodilatasi pembuluh darah di wajah. Pemberian tetrasiklin tidak
boleh dilakukan pada anak kurang dari 12 tahun, karena menimbulkan
kelainan pada gigi dan tulang yang sedang tumbuh.
9. Tepat Penilaian Kondisi Pasien
Respon individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini lebih jelas
terlihat pada beberapa jenis obat seperti teofilin dan aminoglikosida.
10. Tepat Informasi

10
Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting dalam
menunjang keberhasilan terapi.
11. Tepat Tindak Lanjut (Follow-up)
Pada saat memutuskan pemberian terapi, harus sudah dipertimbangkan upaya
tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh atau
mengalami efek samping.
12. Tepat Penyerahan Obat (Dispensing)
Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerah obat
dan pasien sendiri sebagai konsumen. Pada saat resep dibawa ke apotek atau
tempat penyerahan obat di Puskesmas, apoteker/asisten apoteker menyiapkan
obat yang dituliskan peresep pada lembar resep untuk kemudian diberikan
kepada pasien. Proses penyiapan dan penyerahan harus dilakukan secara
tepat, agar pasien mendapatkan obat sebagaimana harusnya. Dalam
menyerahkan obat juga petugas juga harus memberikan informasi yang tepat
kepada pasien.
13. Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan, ketidaktaatan
minum obat umumnya terjadi pada keadaan beikut :
a. Jenis dan/atau jumlah obat yang diberikan terlalu banyak
b. Frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering
c. Jenis sediaan obat terlalu beragam
d. Pemberian obat dalam jangka panjang tanpa informasi
e. Pasien tidak mendapatkan informasi/penjelasan yang cukup mengenai cara
minum/menggunakan obat.
f. Timbulnya efek samping (misalnya ruam kulit dan nyeri lambung), atau efek
ikatan (urin menjadi merah karena minum rifamfisin) tanpa diberikan
penjelasan terlebih dahulu.
 Prinsip-prinsip POR
Pada dasarnya obat akan diresepkan bila memang diperlukan dan dalam
setiap kasus, pemberian obat harus dipertimbangkan berdasarkan manfaat dan
resikonya. Kebiasaan peresepan obat yang tidak rasional akan berdampak buruk
bagi pasien seperti kurangnya efektivitas obat, kurang aman, biaya pengobatan
tinggi dan sebagainya. Dalam buku guide to good prescribing yang diterbitkan

11
oleh WHO tahun 1994 telah dibuat pedoman penggunaan obat secara rasional.
Langkah-langkah pengobatan rasional tersebut disusun sebagai berikut :
- Langkah 1 : Tetapkan masalah pasien.
Sedapat mungkin diupayakan menegakkan diagnosis secara akurat
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik yang seksama, pemeriksaan
penunjang yang tepat. Diagnosis yang akurat serta identifikasi masalah yang
jelas akan memudahkan rencana penanganan.
- Langkah 2 : Tentukan tujuan terapi.
Tujuan terapi disesuaikan untuk setiap masalah atau diagnosis yang telah
dibangun berdasarkan patofisiologi penyakit yang mendasarinya.
- Langkah 3 : Strategi pemilihan obat.
Setiap pemilihan jenis penanganan ataupun pemilihan obat harus
sepengetahuan dan kesepatan dengan pasien. Pilihan penanganan dapat
berupa penanganan non farmakologik maupun farmakologik. Pertimbangan
biaya pengobatan pun harus dibicarakan bersama-sama dengan pasien
ataupun keluarga pasien.
a. Penanganan non farmarkologik
Perlu dihayati bahwa tidak semua pasien membutuhkan penanganan
berupa obat. Sering pasien hanya membutuhkan nasehat berupa
perubahan gaya hidup, diet tertentu, sekedar fisioterapi atau psikoterapi.
Semua instruksi tersebut perlu dijelaskan secara rinci dan dengan
dokumen tertulis.
b. Penanganan farmakologik
Berdasarkan pemahaman patofisiologi penyakit serta farmakodinamik
obat dilakukan pemilihan jenis obat dengan mempertimbangkan
efektivitas, keamanan, kenyamanan dan harga obat.
- Langkah 4 : Penulisan resep obat
Sebuah resep obat berisi perintah dari penulisnya kepada apoteker sebagai
pihak yang menyerahkan obat kepada pasien. Resep harus ditulis dengan
jelas, mudah dibaca dan memuat informasi nama dan alamat penulis resep,
tanggal peresepan, nama dan kekuatan obat, dengan singkatan dan satuan
yang baku, bentuk sediaan dan jumlahnya, cara pemakaian dan peringatan.

12
Nama, umur pasien serta alamat juga dicantumkan, kemudian dibubuhi paraf
atau tanda tangan dokter.
- Langkah 5 : Penjelasan tentang aturan pakai dan kewaspadaan.
Pasien memerlukan informasi, instruksi dan peringatan yang akan
memberinya pemahaman sehingga ia mau menerima dan mematuhi
pengobatan dan mempelajari cara minum obat yang benar. Insformasi yang
jelas akan meningkatkan kepatuhan pasien.
- Langkah 6 : Pemantauan pengobatan
Pemantauan bertujuan untuk menilai hasil pengobatan dan sekaligus menilai
apakah diperlukan tambahan upaya lain. Pemantauan dapat dilakukan secara
pasif maupun aktif. Pemantauan pasif artinya dokter menjelaskan kepada
pasien tentang apa yang harus dilakukan bila pengobatan tidak manjur.
Pemantauan aktif berarti pasien diminta dating kembali pada waktu yang
ditentukan untuk dinilai hasil pengobatan terhadap penyakitnya.
2.3 Penggunaan Obat Tidak Rasional
Penggunaan obat yang tidak rasional sering dijumpai dalam praktek sehari-
hari. Peresepan obat tanpa indikasi yang jelas; penentuan dosis, cara, dan lama
pemberian yang keliru, serta peresepan obat yang mahal merupakan sebagian
contoh dari ketidakrasionalan peresepan. Penggunaan suatu obat dikatakan tidak
rasional jika kemungkinan dampak negatif yang diterima oleh pasien lebih besar
dibanding manfaatnya. Dampak negatif di sini dapat berupa:
a. Dampak klinik (misalnya terjadinya efek samping dan resistensi kuman),
b. Dampak ekonomi (biaya tidak terjangkau)
 Penggunaan obat yang tidak rasional dapat dikategorikan (ciri-ciri)
sebagai berikut :
1. Peresepan berlebih (over prescribing)
Yaitu memberikan obat yang sebenarnya tidak diperlukanuntuk penyakit yang
bersangkutan. Contoh : Pemberian antibiotik pada ISPA non pneumonia
(umumnya disebabkan oleh virus).
2. Pemberian obat dengan dosis lebih dari yang dianjurkan.
3. Jumlah obat yang diberikan lebih dari yang diperlukan untuk pengobatan
penyakit tersebut.

13
4. Peresepan kurang (under prescribing)
Yaitu jika pemberian obat kurang dari yang seharusnyadiperlukan, baik dosis,
jumlah maupun lama pemberian. (Pemberian antibiotika obat selama 3 hari
untuk ISPA Pneumonia atau Tidak memberikan oralit pada anak yang jelas
menderita diare)
5. Peresepan majemuk (multiple prescribing)
Yaitu jika memberikan beberapa obat untuk suatu indikasipenyakit yang sama,
pemberian lebih dari satu obat untuk penyakityang diketahui dapat
disembuhkan dengan satu jenis obat. Contoh : pemberian puyer pada anak
dengan batuk pilek, berisi : Amoksisilin, Parasetamol, GG, Deksametason,
CTM dan Luminal
6. Peresepan salah (incorrect prescribing)
Yaitu Pemberian obat untuk indikasi yang keliru dengan resiko efek samping
misalnya Pemberian antibiotic golongan kuinolon (mis: Siprofloksasin dan
Ofloksasin) untuk wanita hamil, atau Meresepkan Asam Mefenamat untuk
demam pada anak < 2 tahun
 Akibat penggunaan obat tidak rasional :
1. Pemborosan biaya dan anggaran masyarakat
2. Resiko efek samping dan resistensi
3. Mutu ketesediaan obat kurang terjamin.
4. Mutu pengobatan dan pelayanan kesehatan buruk .
5. Memberikan persepsi yang keliru tentang pengobatan padamasyarakat
2.4 Faktor-faktor yang berpengaruh dalam pemberian obat tidak rasional
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam pemberian obat kurang rasional antara
lain:
1. Kurangnya pengetahuan dari tenaga kesehatan dalam ilmu obat-obatan;
2. Adanya kebiasaan dokter meresepkan jenis atau merk obat tertentu;
3. Kepercayaan masyarakat terhadap jenis atau merk obat tertentu;
4. Keinginan pasien yang cenderung ingin menggunakan obat tertentu, dengan
sugesti menjadi lebih cepat sembuh.
5. Adanya sponsor dari industri farmasi tertentu;

14
6. Pemberian obat berdasarkan adanya hubungan baik perorangan dengan pihak
dari industri farmasi;
7. Adanya keharusan dari atasan dalam suatu instansi atau lembaga kesehatan
untuk meresepkan jenis obat tertentu;
8. Informasi yang tidak tepat atau bias, sehingga pemakaian obat menjadi tidak
tepat;
9. Beban pekerjaan yang terlalu berat sehingga tenaga kesehatan menjadi tidak
sempat untuk berpikir mengenai rasionalitas pemakaian obat;
10. Adanya keterbatasan penyediaan jenis obat di suatu instansi atau Lembaga
kesehatan tertentu, sehingga jenis obat yang diperlukan untuk suatu penyakit
justru tidak tersedia, sehingga memakai obat yang lain.
Penggunaan obat yang kurang rasional atau tidak sesuai dengan standar
pengobatan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum. Adanya berbagai
efek dari tiap jenis obat dapat menimbulkan efek interaksi obat di dalam tubuh
yang dapat merugikan ataupun membahayakan apabila pemakaian obat diberikan
dalam jumlah jenis yang melebihi batas.
Sebagai contoh, apabila diberikan 3 jenis obat maka akan didapatkan adanya
3 macam jenis interaksi obat, namun apabila diberikan 5 jenis obat akan
menghasil kurang lebih 10 macam interaksi obat yang mempunyai resiko tinggi
bagi pemakai.
Pemakaian obat suntik serta infus yang kurang rasional juga banyak ditemukan di
lapangan, terutama pada sarana kesehatan tingkat dasar seperti puskesmas ataupun
dokter praktik swasta di daerah dengan ruang lingkup komunitas masyarakat
menengah ke bawah. Adanya kepercayaan yang berakar pada masyarakat
berpendidikan rendah yang merasa belum diobati apabila belum diberikan obat
suntik. Jenis infus yang jenisnya terbatas & tersedia pada sarana kesehatan seperti
puskesmas juga menyebabkan penggunaan infus menjadi tidak tepat.
Adanya berbagai media informasi (media cetak, televisi, radio, internet, dst)
juga memberikan efek kurang baik yang menyebabkan masyarakat
menggampangkan memakai obat seperti obat pengurang nyeri atau penurun panas
yang tidak tepat indikasi pemakaiannya. Seperti karena adanya beban pekerjaan,
maka seseorang dengan gampang menggunakan obat pengurang nyeri karena

15
merasa sedikit nyeri kepala. Begitupun bagi para ibu rumah tangga yang cepat
merasa khawatir apabila ada anaknya yang demam, maka dengan cepat mereka
diberikan obat penurun panas. Penggunaan obat antibiotik pada praktik pelayanan
kesehatan dapat digolongkan menjadi beberapa jenis yaitu pengobatan suatu
penyakit berdasarkan pedoman dosis & cara tertentu, & ada juga yang
menggunakan dosis berdasarkan pengalaman seharihari.
Adanya kekebalan & tingkat infeksi kuman yang meningkat, menyebabkan
dosis pengobatan biasanya lebih tinggi dari pada yang seharusnya. Ditambah pula
dengan adanya kemajuan teknologi farmasi yang mengembangkan antibiotik
menjadi beberapa generasi & terus berkembang sampai sekarang.
Banyak dokter praktik swasta sekarang yang merangkap menjadi pemasar
dari perusahaan farmasi tertentu atau mengikuti keanggotaan Multi Level
Marketing (MLM) kesehatan. Umumnya, produk yang dijual adalah suplemen
makanan (food supplement) atau multivitamin. Pemakaian suplemen makanan
ataupun multivitamin ini menjadi tidak rasional tatkala pemberian tidak
berdasarkan indikasi, atau karena harga yang dikenakan cukup mahal, kadangkala
malah jauh lebih mahal daripada obat yang justru penting diberikan untuk
penyakitnya.
Pada beberapa kasus, perusahaan farmasi yang menjadi sponsor
penyelenggaraan kegiatan ilmiah, kadang dianggap berhubungan dengan
kebijakan pelayanan kesehatanyang menjadi terikat pada ‘hubungan’ tenaga
kesehatan dengan perusahaan farmasi tersebut. Keengganan menuliskan resep
obat generik oleh kebanyakan dokter karena intervensi perusahaan farmasi seperti
inilah yang membuat masyarakat kelas menengah ke bawah menjadi kadang harus
membayar lebih mahal untuk obat yang seharus dapat dibeli dengan murah.
Di puskesmas daerah yang sangat terpencil & sangat sulit dijangkau karena
medan yang sulit ditempuh oleh pegawai dinas kesehatan, kadang pasokan obat-
obatan tidak terjamin dengan lancar, karenanya pegawai puskesmas hanya
memberikan obat-obatan yang hanya tersedia kepada pasien yang berobat,
walaupun indikasi pemakaiannya tidak tepat.
2.5 Ciri Pemakaian Obat yang Tidak Rasional

16
Secara ringkas dikatakan pemakaian obat tidak rasional kalau manfaat yang
didapat tidak sebanding dengan kemungkinan risiko yang disandang pasien atau
biaya yang harus dikeluarkan. Tetapi secara lebih luas pemakaian obat yang tidak
rasional akan memberikan ciri-ciri umum seperti yang diuraikan berikut:
1. Pemakaian obat dimana sebenarnya indikasi pemakaiannya secara medik
tidak ada atau samar-samar.
2. Pemilihan obat yang keliru untuk indikasi penyakit tertentu.
3. Cara pemberian obat, dosis, frekuensi dan lama pemberian yang tidak sesuai.
4. Pemakaian jenis obat dengan potensi toksisitas atau efek samping lebih besar
padahal obat lain yang sama kemanfaatannya (efficacy) dengan potensi efek
samping lebih kecil juga ada.
5. Pemakaian obat-obat mahal padahal alternatif yang lebih murah dengan
kemanfaatan dan keamanan yang sama tersedia.
6. Tidak memberikan pengobatan yang sudah diketahui dan diterima
kemanfaatannya dan keamanannya (established efficacy and safety).
7. Memberikan pengobatan dengan obat-obat yang kemanfaatan dan
keamanannya masih diragukan.
8. Pemakaian obat yang semata-mata didasarkan pada pengalaman individual
tanpa mengacu kepada sumber-sumber informasi ilmiah yang layak, atau
hanya didasarkan pada sumber-sumber informasi yang tidak dapat dipastikan
kebenarannya.
9. Pemakaian obat yang didasarkan pada instink dan intuisi tanpa melihat fakta
dan kebenaran ilmiah yang lazim. Ini misalnya terlihat pada dokter-dokter
yang mengklaim mempunyai cara-cara inkonvensional dalam pengobatan.
Bentuk-bentuk ketidak-rasionalan pemakaian obat juga dapat dikelompokkan
seperti berikut (MSH, 1984),
1. Peresepan boros (extravagant), yakni peresepan dengan obat-obat yang lebih
mahal padahal ada alternative yang lebih murah dengan manfaat dan
keamanan yang sama. Termasuk di sini mestinya adalah peresepan yang
terlalu berorientasi ke pengobatan simtomatik sampai mengurangi alokasi
obat-obat yang lebih vital. Misalnya pemakaian obat-obat antidiare yang

17
berlebihan dapat menurunkan alokasi untuk oralit yang notabene lebih vital
untuk menurunkan mortalitas.
2. Peresepan berlebihan (over prescribing), terjadi bila dosis obat, lama
pemberian atau jumlah obat yang diresepkan melebihi ketentuan. Juga
peresepan dengan obatobat yang sebenarnya tidak diperlukan dapat
dikategorikan dalam bentuk ketidakrasionalan ini
3. Peresepan yang salah (incorrect prescribing), mencakup pemakaian obat untuk
indikasi yang keliru, diagnosis tepat tetapi obatnya keliru, pemberian obat ke
pasien salah. Juga pemakaian obat tanpa memperhitungkan kondisi lain yang
diderita bersamaan.
4. Peresepan majemuk (multiple prescribing), yakni pemakaian dua atau lebih
kombinasi obat padahal sebenarnya cukup hanya diberikan obat tunggal saja.
Termasuk di sini adalah pengobatan terhadap semua gejala yang mungkin
tanpa mengarah ke penyakit utamanya. Sebagai contoh, di Puskesmas pasien
yang datang rata-rata akan menerima obat + 4 jenis per episode kunjungan.
5. Peresepan kurang (under prescribing) terjadi kalau obat yang diperlukan tidak
diresepkan, dosis tidak cukup atau lama pemberian terlalu pendek.
Bentuk-bentuk ketidakrasionalan dalam praktek banyak dijumpai, dan
mungkin jarang terlintas di pikiran kita kalau tidak ditelaah secara dalam apakah
suatu pola peresepan tertentu sudah optimal atau belum. Walaupun mungkin ada
keragaman antar berbagai daerah pelayanan, tetapi umumnya bentuk-bentuk
ketidakrasionalan pemakaian obat menunjukkan pola yang mungkin serupa.
Beberapa contoh yang sering dijumpai, misalnya:
- Pemakaian antibiotika dan bukannya oralit pada kasus-kasus diare akut.
- Pemakaian antibiotika untuk infeksi-infeksi saluran nafas akut yang non-
bakterial (ISPA ringan)
- Pemakaian suntikan tanpa indikasi jelas padahal pemakaian obat secara oral
juga dimungkinkan.
- Pemakaian berbagai tonikum dan multivitamin tanpa indikasi medik yang
tepat.
- Pemberian obat secara berondongan (shotgun) dengan berbagai macam obat
tanpa dasar jelas.

18
- Pemakaian hormon untuk perangsang nafsu makan dan pertumbuhan pada
anak,
- Pemakaian steroid secara sembarangan untuk terapi simtomatik berbagai
kondisi,
- Pemakaian profilaksi antibiotika untuk semua tindakan bedah tanpa indikasi
yang jelas,
- Pemakaian antibiotika profilaksi pada kondisi malnutrisi.
- Masih banyak lagi contoh-contoh ketidakrasionalan pemakaian obat yang
sering dilihat dalam praktek, tetapi kesemuanya sesuai dengan ciri-ciri yang
digambarkan di muka.
2.6 Dampak Ketidakrasionalan Penggunaan Obat
Dampak negatif penggunaan obat yang tidak rasional sangat beragam dan
bervariasi tergantung dari jenis ketidakrasionalan penggunaannya. Dampak
negatif ini dapat saja hanya dialami oleh pasien yaitu berupa efek samping, dan
biaya yang mahal, maupun oleh populasi yang lebih luas berupa resistensi kuman
terhadap antibiotik tertentu dan mutu pelayanan pengobatan secara umum.
Secara ringkas dampak negatif ketidakrasionalan penggunaan obat dapat meliputi:
1) Dampak pada mutu pengobatan dan pelayanan.
2) Dampak terhadap biaya pengobatan.
3) Dampak terhadap kemungkinan efek samping dan efek lain yang tidak
diharapkan.
4) Dampak terhadap mutu ketersediaan obat.
5) Dampak psikososial.
1. Dampak pada mutu pengobatan dan pelayanan
Salah satu dampak penggunaan obat yang tidak rasional adalah peningkatan
angka morbiditas dan mortalitas penyakit. Sebagai contoh, penderita diare akut
non spesifik umumnya mendapatkan antibiotika dan injeksi, sementara
pemberian oralit (yang lebih dianjurkan) umumnya kurang banyak dilakukan.
Padahal diketahui bahwa resiko terjadinya dehidrasi pada anak yang diare dapat
membahayakan keselamatan jiwa anak yang bersangkutan.
Hal yang sama juga terjadi pada penderita ISPA non pneumonia pada anak
yang umumnya mendapatkan antibiotika yang tidak diperlukan. Sebaliknya pada

19
anak yang jelas menderita pneumonia justru tidak mendapatkan terapi yang
adekuat. Dengan demikian tidaklah mengherankan apabila hingga saat ini angka
kematian bayi dan balita akibat ISPA dan diare masih cukup tinggi di Indonesia.
2. Dampak terhadap biaya pengobatan
Penggunaan obat tanpa indikasi yang jelas, atau pemberian obat untuk
keadaan yang sama sekali tidak memerlukan terapi obat, jelas merupakan
pemborosan dan sangat membebani pasien. Di sini termasuk pula peresepan obat
yang mahal, padahal alternatif obat yang lain dengan manfaat dan keamanan
sama dengan harga lebih terjangkau telah tersedia. Peresepan antibiotika
bukannya keliru, tetapi memprioritaskan pemberiannya untuk penyakit-penyakit
yang memang memerlukannya (yang jelas terbukti sebagai infeksi bakteri) akan
sangat berarti dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas penyakit infeksi.
Oleh sebab itu jika pemberiannya sangat selektif, maka pemborosan anggaran
dapat dicegah dan dapat direalokasikan untuk penyakit atau intervensi lain yang
lebih prioritas. Dengan demikian mutu pelayanan kesehatan dapat dijamin.
3. Dampak terhadap kemungkinan efek samping dan efek lain yang tidak
diharapkan
Dampak lain dari ketidakrasionalan penggunaan obat adalah meningkatkan
resiko terjadinya efek samping serta efek lain yang tidak diharapkan, baik untuk
pasien maupun masyarakat.
Beberapa data berikut mewakili dampak negatif yang terjadi akibat
penggunaan obat yang tidak rasional:
 Resiko terjadinya penularan penyakit (misalnya hepatitis & HIV) meningkat
pada penggunaan injeksi yang tidak lege artis, (misalnya 1 jarum suntik
digunakan untuk lebih dari satu pasien).
 Kebiasaan memberikan obat dalam bentuk injeksi akan meningkatkan resiko
terjadinya syok anafi laksis.
 Resiko terjadinya efek samping obat meningkat secara konsisten dengan
makin banyaknya jenis obat yang diberikan kepada pasien. Keadaan ini
semakin nyata pada usia lanjut. Pada kelompok umur ini kejadian efek
samping dialami oleh 1 di antara 6 penderita usia lanjut yang dirawat di rumah
sakit.

20
 Terjadinya resistensi kuman terhadap antibiotika merupakan salah satu akibat
dari pemakaian antibiotika yang berlebih (overprescribing), kurang
(underprescribing), maupun pemberian pada kondisi yang bukan merupakan
indikasi (misalnya infeksi yang disebabkan oleh virus).
4. Dampak terhadap mutu ketersediaan obat
Sebagian besar dokter masih cenderung meresepkan antibiotika untuk
keluhan batuk dan pilek. Akibatnya kebutuhan antibiotika menjadi sangat tinggi,
padahal diketahui bahwa sebagian besar batuk pilek disebabkan oleh virus dan
antibiotika tidak diperlukan. Dari praktek pengobatan tersebut tidaklah
mengherankan apabila yang umumnya dikeluhkan oleh Puskesmas adalah tidak
cukupnya ketersediaan antibiotik. Akibatnya jika suatu saat ditemukan pasien
yang benar-benar menderita infeksi bakteri, antibiotik yang dibutuhkan sudah
tidak tersedia lagi. Yang terjadi selanjutnya adalah pasien terpaksa diberikan
antibiotik lain yang bukan pilihan utama obat pilihan (drug of choice) dari infeksi
tersebut.
Di sini terdapat 2 masalah utama:
 Pertama, seolah-olah mutu ketersediaan obat sangat jauh dari memadai.
Padahal yang terjadi adalah antibiotik telah dibagi rata ke semua pasien yang
sebenarnya tidak memerlukan.
 Kedua, dengan mengganti jenis antibiotik akan berdampak pada tidak
sembuhnya pasien (karena antibiotik yang diberikan mungkin tidak memiliki
spektrum antibakteri untuk penyakit tersebut, misalnya pneumonia diberi
metronidazol). Atau penyakit menjadi lebih parah dan pasien kemudian
meninggal. Ketidakrasionalan pemberian obat oleh dokter juga sering
memberi pengaruh buruk bagi pasien maupun masyarakat. Pengaruh buruk
ini dapat berupa ketergantungan terhadap intervensi obat maupun persepsi
yang keliru terhadap pengobatan.
Beberapa contoh berikut mungkin banyak dijumpai dalam praktek sehari-hari:
- Kebiasaan dokter atau petugas kesehatan untuk memberikan injeksi kepada
pasien.
Jika tujuannya adalah untuk memuaskan pasien, maka hal ini harus dikaji
ulang secara mendalam karena pemberian obat per injeksi selalu memberikan

21
resiko yang lebih besar dibandingkan per oral. Resiko ini semakin besar
apabila cara pemberian obat per injeksi tidak lege artis (misalnya
menggunakan satu jarum untuk beberapa/banyak pasien). Dampak berikutnya
adalah tertanamnya keyakinan pada masyarakat bahwa injeksi adalah bentuk
pengobatan yang paling baik, karena selalu dianjurkan atau ditawarkan oleh
dokter atau petugas.
5. Dampak Injeksi
 Pemberian substitusi terapi pada diare. Dengan memasyarakatnya
penanganan diare di rumah tangga, petugas kesehatan seolah dihinggapi
keengganan (keraguan) untuk tetap memberikan Oralit tanpa disertai obat lain
pada pasien dengan diare akut non spesifik. Oleh sebab itu tidak
mengherankan apabila sebagian besar penderita diare akut non spesifik masih
saja mendapat injeksi maupun antibiotik, yang sebenarnya tidak diperlukan.
Sementara Oralit yang menjadi terapi utama justru sering tidak diberikan.
 Memberikan roboransia pada anak dengan dalih untuk merangsang nafsu
makan sangatlah keliru apabila tidak disertai upaya untuk memotivasi orang
tua ag ar memberikan makanan yang bergizi, apalagi pada saat anak sakit.
2.7 Peran Tenaga Kesehatan Dalam Pemberian Obat
Penentuan obat untuk pasien adalah wewenang dari dokter, tetapi para
perawat dituntut untuk turut bertanggung jawab dalam pengelolaan obat tersebut.
Mulai dari memesan obat sesuai order dokter, menyimpan dan meracik obat
sesuai order hingga memberikan obat kepada pasien. Memastikan bahwa obat
tersebut aman bagi pasien dan mengawasi akan terjadinya efek samping dari
pemberian obat tersebut pada pasien.
Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan baik didalam maupun
diluar negeri sesuai dengan peraturan perundang- undangan (Permenkes, 2010).
Perawat adalah seorang yang memiliki kemampuan dan kewenangan melakukan
tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimilikinya yang diperoleh melalui
pendidikan keperawatan (UU kesehatan No 23 tahun 1992). Perawat harus
mengetahui semua komponen dari perintah pemberian obat dan mempertanyakan
perintah tersebut jika tidak lengkap atau tidak jelas atau dosis yang diberikan di
luar batas yang direkomendasikan. Secara hukum perawat bertanggung jawab

22
jika mereka memberikan obat yang diresepkan dan dosisnya tidak benar atau obat
tersebut merupakan kontraindikasi bagi status kesehatan klien.
Cara pemberian obat yang benar akan memberikan efek dan dampak yang
bagus dan efektif kepada proses penyembuhan penyakit. Pemberian obat yang
tepat dan sesuai dengan dosis adalah salah satu tanggung jawab penting bagi
seorang perawat yang dilakukan di tempat pelayanan kesehatan seperti hal nya
rumah sakit dan puskesmas.
1. Peran Dokter, dokter bertanggaung jawab atas diagnosis dan terapi dengan
peran sebagai pemesan dengan menulis resep.
2. Peran Apoteker, apoteker bertanggung jawab atas pasokan dan distribusi
obat. Selain itu apoteker bertanggung jawab atas pembuatan sejumlah besar
produk farmasi seperti larutan antiseptik, dan lain-lain. Peran penting lainnya
ialah sebagai narsumber informasi obat.Apoteker bekerja sebagai konsultan
spesialis untuk profesi kedokteran, dan memberi nasihat kepada staf
keperawatan dan profesi kesehatan lainmengenai semua aspek penggunaan
obat, dan memberi konsultasi kepada pasian tentang oabtnya (bila diminta).
3. Peran Perawat, Perawat adalah mata rantai terakhir dalam proses pemberian
obat kepada pasien. Perawat yang bertanggung jawab bahwa obat itu diberikan
dan memastikan bahwa obat itu benar diminum. Bila ada obat yang diberikan
kepada pasien, hal ini harus menjadi bagian integral dari rencana keperawatan.
Perawat adalah tenaga kesehatan yang paling tahu tentang kebutuhan dan
respons pasien terhadap pengobatan. Misalnya, pasien yang sukar menelan,
muntah atau tidak dapat minum obat tertentu (bentuk kapsul), pasien ini harus
diperhatikan. Faktor gangguan visual, pendengaran, intelektual, atau motorik,
yang mungkin membuat pasien sukar makan obat, harus dipertimbangkan.
Rencana perawatan harus mencakup rencana pemberian obat, bergantung pada
hasil pengkajian, pengetahuan tentang kerja dan interaksi obat, efek samping,
lama kerja, dan program dokter.
2.8 Prinsip Dasar Pemberian Obat
Data tentang kesalahan obat di Indonesia belum dapat ditemukan karena
tidak terekspos oleh media masa. Prinsip enam benar dalam memberikan obat
sangat diperlukan dalam memberikan obat dengan tepat. Lima benar pada zaman

23
dahulu sudah mulai ditinggalkan. Perawat harus memberikan berbagai macam
obat kepada pasien yang berbeda maka dalam memberikan obat perawat harus
melakukan dengan aman. Dimana hal ini sebagai pertanggung jawaban perawat
terhadap tindakan yang dilakukan. Dalam pemberian obat yang aman perawat
perlu memperhatikan lima tepat (five rights) yang kemudian dikenal dengan
istilah lima benar oleh perawat.
Istilah lima benar menurut Tambayong yaitu :
1) Pasien yang benar;
2) Obat yang benar;
3) Dosis yang benar;
4) Cara / rute pemberian yang benar; dan
5) Waktu yang benar.
Dewasa ini prinsip tersebut mulai ditinggalkan setelah munculnya prinsip 6
benar dalam pemberian obat yang dianggap lebih tepat untuk perawat.
Joyce 1996 menyebutkan prinsip enam benar yaitu :
1) Klien yang benar,
2) Obat yang benar,
3) Dosis yang benar,
4) Waktu yang benar,
5) Rute yang benar dan ditambah dengan
6) Dokumentasi yang benar.
Hal ini diperlukan pleh perawat sebagai pertanggunggugatan secara legal
tindakan yang dilakukannya. Mengingat di ruang rawat inap seorang perawat
harus memberikan berbagai macam obat kepada beberapa pasien yang berbeda.
Berikut adalah beberapa persyaratan yang perlu diperhatikan untuk menjamin
keamanan dalam pemberian obat antara lain:
1. Tepat obat
Obat yang benar berarti klien menerima obat yang telah diresepkan.
Perintah pengobatan mungkin diresepkan oleh seorang dokter, dokter gigi, atau
pemberi asuhan kesehatan yang memiliki izin praktik dengan wewenang dari
pemerintah. Perintah melalui telepon untuk pengobatan harus ditandatangani oleh
dokter yang menelepon dalam waktu 24 jam.

24
Komponen dari perintah pengobatan adalah :
1) Tanggal dan saat perintah ditulis,
2) Nama obat,
3) Dosis obat,
4) Rute pemberian,
5) Frekuensi pemberian, dan
6) Tanda tangan dokter atau pemberi asuhan kesehatan.
Meskipun merupakan tanggung jawab perawat untuk mengikuti perintah
yang tepat, tetapi jika salah satu komponen tidak ada atau perintah pengobatan
tidak lengkap, maka obat tidak boleh diberikan dan harus segera menghubungi
dokter tersebut untuk mengklarifikasinya.
Sebelum mempersiapkan obat ke tempatnya petugas harus memperhatikan
kebenaran obat sebanyak 3x, yakni : ketika memindahkan obat dari tempat
penyimpanan obat, saat obat di programkan, dan mengembalikan obat ketempat
penyimpanan. Perawat harus ingat bahwa obat-obat tertentu mempunyai nama
yang bunyinya hampir sama dan ejaannya mirip, misalnya digoksin dan
digitoksin, quinidin dan quinine, Demerol dan dikumarol, dst.
 Tindakan – tindakan dalam Tepat obat :
- Menegecek program terapi pengobatan dari dokter
- Menanyakan ada tidaknya alergi obat
- Menanyakan keluhan pasien sebelum dan setelah memberikan obat
- Mengecek label obat 3 kali ( saat melihat kemasan, sebelum menuangkan, dan
setelah menuangkan obat) sebelum memberikan obat
- Mengetahui interaksi obat
- Mengetahui efek samping obat
- Hanya memberikan obat yang disiapkan sendiri
2. Tepat dosis
Dosis yang benar adalah dosis yang diberikan untuk klien tertentu. Dalam
kebanyakan kasus, dosis diberikan dalam batas yang direkomendasikan untuk
obat yang bersangkutan. Perawat harus menghitung setiap dosis obat secara
akurat, dengan mempertimbangkan variable berikut :
1) tersedianya obat dan dosis obat yang diresepkan (diminta),

25
2) dalam keadaan tertentu, berat badan klien juga harus dipertimbangkan,
misalnya 3 mg/KgBB/hari.
Sebelum menghitung dosis obat, perawat harus mempunyai dasar
pengetahuan mengenai rasio dan proporsi. Jika ragu-ragu, dosis obat harus
dihitung kembali dan diperiksa oleh perawat lain. Waktu yang benar adalah saat
dimana obat yang diresepkan harus diberikan. Dosis obat harian diberikan pada
waktu tertentu dalam sehari, seperti b.i.d ( dua kali sehari ), t.i.d ( tiga kali
sehari), q.i.d (empat kali sehari), atau q6h ( setiap 6 jam ), sehingga kadar obat
dalam plasma dapat dipertahankan. Jika obat mempunyai waktu paruh (t ½ ) yang
panjang, maka obat diberikan sekali sehari. Obat-obat dengan waktu paruh
pendek diberikan beberapa kali sehari pada selang waktu yang tertentu. Beberapa
obat diberikan sebelum makan dan yang lainnya diberikan pada saat makan atau
bersama makanan. Untuk menghindari kesalahan dalam pemberian obat, maka
penentuan dosis harus diperhatikan dengan menggunakan alat standar seperti obat
cair harus dilengkapi alat tetes, gelas ukur, spuit atau sendok khusus : alat untuk
membelah tablet; dan lain-lain. Dengan demikian,perhitungan dosis benar untuk
diberikan ke pasien.
 Tindakan – tindakan dalam Tepat dosis :
- Mengecek program terapi pengobatan dari dokter
- Mengecek hasil hitungan dosis dengan perawat lain (double check)
- Mencampur / mengoplos obat sesuai petunjuk panda label / kemasan obat
- Berikan obat pada saat yang khusus. Obat-obat dapat diberikan ½ jam
sebelum atau sesudah waktu yang tertulis dalam resep.
- Berikan obat-obat yang terpengaruh oleh makanan seperti captopril, sebelum
makan
- Berikan obat-obat, seperti kalium dan aspirin, yang dapat mengiritasi perut
( mukosa lambung ) bersama-sama dengan makanan.
- Tanggung jawab perawat untuk memeriksa apakah klien telah dijadwalkan
untuk pemeriksaan diagnostik, seperti endoskopi, tes darah puasa, yang
merupakan kontraindikasi pemberian obat.
- Periksa tanggal kadaluarsa. Jika telah melewati tanggalnya, buang atau
kembalikan ke apotik ( tergantung peraturan ).

26
- Antibiotika harus diberikan dalam selang waktu yang sama sepanjang 24 jam
( misalnya setiap 8 jam bila di resep tertulis t.i.d ) untuk menjaga kadar darah
terapeutik.
3. Tepat pasien
Obat yang diberikan hendaknya benar pada pasien yang di programkan. Hal
ini dilakukan dengan mengidentifikasi identitas kebenaran obat, yaitu
mencocokan nama, nomor register, alamat, dan program pengobatan pada pasien.
 Tindakan – tindakan dalam Tepat pasien:
- Mengecek program terapi pengobatan dari dokter
- Memanggil nama pasien yang akan diberikan obat (beberapa klien akan
menjawab dengan nama sembarang atau tidak berespon, maka gelang
identifikasi harus diperiksa pada setiap klien pada setiap kali pengobatan. Pada
keadan gelang identifikasi hilang, perawat harus memastikan identitas klien
sebelum setiap obat diberikan)
- Mengecek identitas pasien pada papan / kardeks di tempat tidur pasien yang
akan diberikan obat
4. Tepat Jalur Pemberian
Kesalahan rute pemberian dapat menimbulkan efek sistematik yang fatal
pada pasien. Untuk itu,cara pemberiannya adalah dengan cara melihat cara
pemberian atau jalur obat pada label yang ada sebelum memberikannya ke pasien.
Rute yang benar perlu untuk absorpsi yang tepat dan memadai.
Rute yang lebih sering dari absorpsi adalah :
1) oral ( melalui mulut ): cairan , suspensi ,pil , kaplet , atau kapsul . ;
2) sublingual (di bawah lidah untuk absorpsi vena ) ;
3) topikal ( dipakai pada kulit) ;
4) inhalasi ( semprot aerosol ) ;
5) instilasi (pada mata , hidung , telinga , rektum atau vagina) ; dan empat rute
parenteral : intradermal , subkutan , intramuskular , dan intravena.
 Tindakan – tindakan dalam Tepat jalur atau cara pemberian :
- Mengecek program terapi pengobatan dari dokter
- Mengecek cara pemberian pada label / kemasan obat

27
- Pemberian per oral : mengecek kemampuan menelan, menunggui pasien
sampai meminum obatnya
- Pemberian melalui intramuskular : tidak memberikan obat > 5 cc pada satu
lokasi suntikan
- Pergunakan teknik aseptik sewaktu memberikan obat . Teknik steril
dibutuhkan dalam rute parenteral .
- Berikan obat- obat pada tempat yang sesuai .
- Tetaplah bersama klien sampai obat oral telah ditelan.
5. Tepat waktu
Pemberian obat harus benar-benar sesuai dengan waktu yang
diprogamkan,karena berhubungan dengan kerja obat yang dapat menimbulkan
efek terapi dari obat
 Tindakan – tindakan dalam Tepat waktu:
- Mengecek program terapi pengobatan dari dokter
- Mengecek tanggal kadaluarsa obat
- Memberikan obat dalam rentang 30 menit sebelum sampai 30 menit setelah
waktu yang diprogramkan
6. Tepat pendokumentasi
Dokumentasi snagat penting, jadi setelah memberikan obat kita harus segera
memberikan obat ke format dokumentasi dengan benar. Fungsi dokumentasi
adalah sebagai catatan perkembangan pasien dan sebagai alat untuk bukti
melakukan tindakan. Dokumentasi yang benar membutuhkan tindakan segera dari
seorang perawat untuk mencatat informasi yang sesuai mengenai obat yang telah
diberikan. Ini meliputi nama obat , dosis , rute , waktu dan tanggal , inisial dan
tanda tangan perawat .
Respon klien terhadap pengobatan perlu di catat untuk beberapa macam obat
seperti :
1) narkotik – bagaimana efektifitasnya dalam menghilangkan rasa nyeri – atau
2) analgesik non-narkotik,
3) sedativa,
4) antiemetik

28
5) reaksi yang tidak diharapkan terhadap pengobatan, seperti irigasi
gastrointestinal atau tanda – tanda kepekaan kulit.
Penundaan dalam mencatat dapat mengakibatkan lupa untuk mencatat
pengobatan atau perawat lain memberikan obat itu kembali karena ia berpikir
obat itu belum diberikan.
 Tindakan – tindakan dalam Tepat dokumentasi
- Mengecek program terapi pengobatan dari dokter
- Mencatat nama pasien , nama obat, dosis, cara dan waktu pemberian obat
- Mencantumkan nama/ inisial dan paraf
- Mencatat keluhan pasien
- Mencatat penolakan pasien
- Mencatat jumlah cairan yang digunakan untuk melarutkan obat ( pada pasien
yang memerlukan pembatasan cairan)
- Mencatat segera setelah memberikan obat
Universal precaution
1. Mencuci tangan sebelum dan sesudah memberikan obat
2. Menggunakan sarung tangan ketika memberikan obat secara parenteral
3. Membuang jarum suntik bekas pada tempat khusus dalam keadaan terbuka

29
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tenaga kesehatan memiliki peran yang besar di masyarakat terutama dalam
pemilihan dan penggunaan terapi oleh pasien. Keberhasilan terapi yang dijalani
pasien tidak lepas dari pemberian informasi oleh tenaga kesehatan dan dalam hal
ini pengetahuan serta pengalaman tenaga kesehatan memegang peranan yang
sangat penting dalam penggunaan obat yang rasional. Informasi yang diberikan
secara tidak tepat oleh tenaga kesehatan dapat menimbulkan suatu masalah baru
dalam swamedikasi yang dilakukan oleh masyarakat. Rasionalitas penggunaan
obat terdiri dari beberapa aspek yaitu ketepatan indikasi, kesesuaian dosis, tidak
terdapat kontraindikasi, tidak terdapat efek samping, tidak terdapatnya interaksi
dengan obat lain maupun makanan dan tidak terdapat polifarmasi yang
merupakan kondisi penggunaan obat lebih dari duammacam obat untuk indikasi
yang sama (Cipolle, et. al., 1998).
Pengetahuan dan sikap tenaga kesehatan dalam penyampaian informasi
kepada pasien dapat membantu keberhasilan dari penggunaan obat yang rasional.
Kegiatan ini dapat memberikan nilai yang positif untuk menekan angka penyakit
secara global.
Peran tenaga kesehatan dalam memberikan informasi secara maksimal dapat
membantu swamedikasi yang dilakukan oleh masyarakat secara benar, sehingga
dapat merubah perilaku masyarakat dalam melakukan swamedikasi.

30
Swamedikasi yang dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap dirinya sendiri
dapat menggambarkan ketepatan dari informasi yang akan diberikan kepada
masyarakat.
3.2 Saran
Menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
kedepannya penulis akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang
makalah di atas dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat di
pertanggungjawabankan.

DAFTAR PUSTAKA

Kementerian Kesehatan Ri, 2011. Modul Penggunaan Obat Rasional


Dra. Mae Sri Hartati Wahyuningsih, Msi. Apt. Obat, Dosis Dan Jadwal Pemberian
Dalam Preskripsi Dokter
Heri Hermansyah dan Asep Sufyan Ramadhy. Perawat dan Pemakaian Obat
Secara Rasional.
Setiadi. Peran perawat dalam pemberian Obat
Dewi Susanti Atmaja, Aprillia Rahmadina. (2018). Penggunaan Obat Rasional
(POR) dalam Swamedikasi pada Tenaga Kesehatan di STIKES Sari Mulia.
Banjarmasin. Jurnal Pharmascience, Vol 05, No. 02, Oktober 2018, hal:
109-116 http://jps.unlam.ac.id/ Volume 05, Nomor 02.
Juliyanty Akuba, S.Farm., M.Sc., Apt. 2020 . Penyuluhan Penggunaan Obat
Bebas Dan Bebas Terbatas Di Desa Lombongo, Kecamatan Suwawa
Tengah Kabupaten Bone Bolango. Laporan Pengabdian Masyarakat.

31

Anda mungkin juga menyukai