Anda di halaman 1dari 2

Simpulan hasil diskusi pertemuan ke-8

1. Untuk penerapan falsafah yang dipakai bagi masyarakat Minangkabau, pada prinsipnya
sampai hari ini masih dipakai, hanya saja frekwensinya sudah mulai memudar, terutama
di kalangan generasi muda dan mereka yang merantau atau hidup di perkotaan. Hal ini
disebabkan oleh berbagai faktor. Pertama, dipengeruhi oleh budaya atau kehidupan
masyarakat yang datang atau bersinggungan dengan kebudayaan Minang itu sendiri.
Kedua, keadaan dan situasi tertentu yang diakibatkan perkembangan zaman. Ketiga, tidak
adanya itikat dari masyarakat Minang itu sendiri untuk tetap menjaga nila-nilai falsafa itu
sendiri. Jadi, mari kita mulai dari diri sendiri untuk tetap berpegang teguh dan hidup
dalam nilai-nilai budaya itu sendiri.

2. Masalah warisan dalam Budaya Minang (Sudah dibahas pada pertemuan ke-5)
Berdasarkan kasus pewarisan muncul perbedaan pandangan. Seolah-olah adat bertentangan
dengan syariat, sebenarnya tidak bertentangan. Hanya beda konsep, sebab dalam masyarakat
Minangkabau ada dua jenis Harta, yaitu harta tinggi (harta kaum) dan harta rendah (hasil usaha
suami istri, bukan warisan turun temurun dalam suatu kaum)

konsep 1. Hak waris secara adat, yang diwariskan kepada anak perempuan adalah harta tingg,
bukan harta rendah. Dalam hal ini adat tidak menyinggung perkara harta rendah.

Konsep 2. Hak waris dalam Islam, yang di bagi 2:1 adalah hasil pencaharaian kedua orangtua
yang bukan milik kaum, maka dalam hal ini, Islam tidak mengatur hak waris harta tinggi.

Dengan demikian sebenarnya tidak ada pertentangan antara syariat, dan budaya, karena masing-
masing mengatur hal yang berbeda.

3. Untuk kejujuran, apapun alasannya, kecuali yang disyariatkan dalam hadis Nabi, tidak
dibenarkan, sekalipun pahit. Kejujuran di atas segalanya. Ia adalah mata uang yang dapat
dibawa kemana saja. Memang ketika kita jujur ada hal-hal yang tidak kita inginkan.
Maka dalam hal ini kita membutuhkan berbagai strategi dalam penerapannya.
4. Perkara baju kuruang adalah perkara adat istiadat yang berbeda dalam kelompok
masyarakat Minangkabau sesuai dengan daerahnya. Namun sampai saat ini,
keberadaannya masih terus diminati oleh oleh perempuan Minang. Lain halnya dengan
baju Pangulu, baju ini adalah baju kebesaran dalam adat bagi laki-laki Minang yang
dipakai pada upacara-upacar adat.
Dengan demikian, baju ini tidak hanya sekedar baju untuk bergaya, lebih dari itu, baju
adalah penutup, penutup aurat, penutup malu, maka kembalikanlah fungsi baju itu sesuai
dengan yang seharusnya, sesuai dengan filosofi baju itu sendiri.
5. Perkara fungsi surau sebagai salah satu lembaga non formal bagi masyarakat
Minangkabau, maka mungkin tidak kita temukan seutuhnya dalam masyarakat
Minangkabau, telah terjadi pergeseran fungsi sesuai dengan perkembangan zaman.
Namun dalam hal ini, masyarakat, pemuka adat, pemuka agama sudah berusaha kembali
untuk menghidupkan/menjalankan fungsi surau sebagai media seharusnya. Ini tentu
membutuhkan peran serta kita semua. Untuk pengaruh digital, sebenarnya ada sisi positif
dan negatif, hanya kita saja pandai memanfaatkan. Salah satunya mengembalikan fungsi
surau secara daring.
6. Perkara kepemimpinan, maka disimpulkan bahwa, dalam masyarakat Minangkabau
menganut sistem tungku tigo sajarang. Artinya, diminangkabau tidak ada keputusan
mutlak dari satu orang. Dalam hal ini setiap kebijakan dan keputusan adalah kesepakatan
bersama atau musyawarah dalam suatu kaum.

Anda mungkin juga menyukai