Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

STROKE

(NAMA)

KARINA LESTARI

2017720087

(KELAS)

7.B

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2020/2021
LAPORAN PENDAHULUAN
STROKE

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Definisi
Stroke adalah penyakit serebrovaskular yaitu gangguan neurologic mendadak
yang terjadi akibat pembatasan atau terhentinya aliran darah, yang menunjukkan
beberapa kelainan otak baik secara fungsional atau structural yang disebabkan
oleh keadaan patologis, robekan pembuluh darah atau oklusi parsial yang bersifat
sementara atau permanen.
Stroke atau gangguan peredaran darah otak merupakan penyakit neurologis yang
sering ditemui dan harus ditangani dengan cepat dan tepat. Stroke adalah tanda
klinik yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal dengan kematian
tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vascular.
a. Stroke Iskemik
Yang terjadi akibat suplai darah ke jaringan otak berkurang karena
obstruksi atau bekuan di salah satu arteri besar pada sirkulasi serebrum.
Penyebab stroke yaitu trombotik dan embolik primer termasuk aterosklerosis,
attertis, penyakit jantung structural, dan hipoperfusi global. Biasanya terjadi
setelah beristirahat lama, bangun tidur atau di pagi hari. Tidak terjadi
perdarahan namun terjadi iskemia yang menimbukan hipoksia dan dapat
timbul edema sekunder. Hampir 80% pasien stroke mengalami stroke iskemik.
b. Stroke Hemoragik
Lesi vascular intraserebrum mengalami rupture sehingga terjadi
perdarahan sub arachnoid atau langsung ke dalam jaringan otak. Biasanya
terjadi saat melakukan aktivitas dan aktif, namun dapat juga saat istirahat.
Biasanya stroke hemoragik secara cepat menyebabkan kerusakan fungsi orak
dan kehilangan kesadaran. Perdarahan otak dibagi dua, yaitu:
1. Intraserebral: pecahnya vascular karena hipertensi mengakibatkan darah
masuk ke jaringan otak, membentuk massa dan menekan jaringan otak,
dan menimbukan edema otak.
2. Subarachnoid: perdarahan berasal dari pecahan aneurisma. Aneurisma
yang pecah berasal dari sirkulasi Willisi. Pecahnya arteri dan keluarnya ke
ruang sub arachnoid mengakibatkan TIK meningkat mendadak,
meregangnya struktur peka nyeri sehingga timbul nyeri kepala hebat.

2. Manifestasi Klinis
Tergantung dari sisi mana yang terkena, rata-rata serangan, ukuran lesi dll.
a. Kelumpuhan wajah atau badan sebagian
b. Gangguan sensibilitas pada satu anggota
c. Penurunan kesadaran
d. Afasia, staksia
e. Gangguan penglihatan
f. Vertigo, mual muntah, sakit kepala
g. Face (wajah)
Mintalah orang yang dicurigai mengalami stroke untuk tersenyum. Perhatikan,
apakah wajahnya tampak tidak simetris?
h. Arms (lengan)
Mintalah orang yang dicurigai mengalami stroke untuk mengangkat kedua
lengan lurus ke depan dan menahannya untuk beberapa detik. Apakah ia hanya
dapat mengangkat satu lengan saja? Bila ia dapat mengangkat kedua
lengannya, apakah salah satu lengan terlihat turun?
i. Speech (bicara)
Mintalah orang yang dicurigai mengalami stroke untuk mengulang beberapa
kalimat. Apakah ia mampu berbicara jelas atau terdengar pelo atau cadel?
Akan lebih jelas bila kalimat yang diucapkan mengandung banyak konsonan
huruf R seperti, ular melingkar-lingkar di atas pagar.
j. Time (waktu)
Seperti disebutkan sebelumnya, time is brain, setiap detik sangat berharga.
Bila ditemukan salah satu gejala di atas, segera hubungi atau bawa pasien ke
Unit Gawat Darurat (UGD) rumah sakit terdekat yang memiliki fasilitas
penanganan stroke terpadu.
Risiko perdarahan pada subjekstroke iskemik akut diukur menggunakan ATRIA
Bleeding Risk Score.

3. Etiologi
a. Penyebab: thrombosis, emboli, hipoperfusi global, perdarahan sub arachnoid,
intraserebral
b. Faktor Risiko: usia, jenis kelamin, ras, hipertensi, penyakit jantungm DM,
perokok, obesitas

4. Pemeriksaan Penunjang
a. CT Scan untuk mengetahui area infark, edema, abnormalitas struktur
b. EEG untuk mengidentifikasi masalah melalui gelombang otak dan melihat lesi
c. Angiografi serebral untuk menentukan penyebab secara jelas seperti
perdarahan, obstruksi, rupture
d. MRI untuk evaluasi lokasi dan ukuran lesi
e. Pungsi Lumbal untuk pemeriksaan likuor merah biasanya dijumpai pada
perdarahan yang masih, jika perdarahan kecil biasanya likuor masih normal

5. Pemeriksaan Neurologi
GCS
Glasgow coma Scale sudah digunakan secara luas untuk menentukan tingkat
kesadaran penderita.Glasgow Coma Scale meliputi :
a. Eye / Mata
Spontan membuka mata 4
Membuka mata dengan perintah(suara) 3
Membuka mata dengan rangsang nyeri 2
Tidak membuka mata dengan rangsang apapun 1
b. Verbal
Berorientasi baik 5
Disorientasi 4
Bisa membentuk kata tapi tidak bisa membentuk kalimat 3
Bisa mengeluarkan suara yang tidak memiliki arti 2
Tidak bersuara 1
c. Motorik
Menurut perintah 6
Dapat melokalisir rangsang nyeri 5
Menolak rangsangan nyeri pada anggota gerak (withdrawal) 4
Menjauhi rangsang nyeri 3
Ekstensi spontan 2
Tak ada gerakan 1
Kriteria : kesadaran baik/normal : GCS 15 Koma : GCS < 7
Tingkat Kesadaran Kualitatif :
a. Compos mentis
Yaitu sadar sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun terhadap
lingkungannya. Klien dapat menjawab pertanyaan pemeriksa dengan baik.
b. Apatis
Keadaan di mana klien tampak segan dan acuk tak acuh terhadap
lingkungannya.
c. Delirium
Yaitu penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik dan siklus tidur
bangun yang terganggu. Klien tampak gaduh gelisah, kacau, disorientasi dan
meronta-ronta.
d. Somnolen (letergia, obtundasi, hipersomnia)
Yaitu keadaan mengantuk yang masih dapat pulih bila dirangsang, tetapi bila
rangsang berhenti, klien akan tertidur kembali.
e. Sopor (stupor)
Keadaan mengantuk yang dalam, klien masih dapat dibangunkan dengan
rangsang yang kuat, misalnya rangsang nyeri, tetapi klien tidak terbangun
sempurna dan tidak dapat memberikan jawaban verbal yang baik.
f. Semi-koma (koma ringan)
Yaitu penurunan kesadaran yang tidak memberikan respons terhadap
rangsang verbal, dan tidak dapat dibangunkan sama sekali, tetapi refleks
(kornea, pupil) masih baik. Respons terhadap rangsang nyeri tidak adekuat.
g. Koma
Yaitu penurunan kesadaran yang sangat dalam, tidak ada gerakan spontan
dan tidak ada respons terhadap rangsang nyeri.
Pemeriksaan Saraf Kranial
1. Saraf I (N. Olfaktorius)
Pemeriksaan dapat secara subyektif dan obyektif. Subyektif hanya
ditanyakan apakah penderita masih dapat membaui bermacam-macam bau
dengan betul. Obyektif dengan beberapa bahan yang biasanya sudah
dikenal oleh penderita dan biasanya bersifat aromatik dan tidak merangsang
seperti : golongan minyak wangi, sabun, tembakau, kopi, vanili, dan
sebagainya (3 atau 4 macam). Bahan yang merangsang mukosa hidung
(alkohol, amonia) tidak dipakai karena akan merangsang saraf V. Yang
penting adalah memeriksa kiri, kanan dan yang diperiksa dari yang normal.
Ini untuk pegangan, sebab tiap orang tidak sama. Kemudian abnormal
dibandingkan dengan yang normal. Tetapi dalam pembuatan status
dilaporkan yang abnormal dahulu.
Cara Pemeriksaan :
• Kedua mata ditutup
• Lubang hidung ditutup
• Dilihat apakah tidak ada gangguan pengaliran udara
• Kemudian bahan satu persatu didekatkan pada lubang hidung yang
terbuka dan penderita diminta menarik nafas panjang, kemudian
diminta mengidentifikasi bahan tersebut.
Yang harus diperhatikan pada pemeriksaan adalah :
• Penyakit pada mukosa hidung, baik yang obstruktif (rinitis) atau
atropik (ozaena) akan menimbulkan positif palsu.
• Pada orangtua fungsi pembauan bisa menurun (hiposmia)
• Yang penting adalah gangguan pembauan yang sesisi (unilateral)
tanpa kelainan intranasal dan kurang disadari penderita (kronik),
perlu dipikirkan suatu glioma lobus frontalis, meningioma pada
crista sphenoidalis dan tumor parasellar. Fungsi pembauan juga bisa
hilang pada trauma kapitis (mengenai lamina cribosa yang tipis) dan
meningitis basalis (sifilis, tuberkulosa).
• Untuk membedakan hambatan pembauan karena penyebab psychic
dengan organik, pemeriksaan tidak hanya memakai zat yang
merangsang N II, tapi juga yang merangsang N V (seperti amoniak).
Meskipun N I tidak dapat membau karena rusak, tetapi N V tetap
dapat menerima rangsangan amoniak. Bila dengan amoniak tetap
tidak membau apa-apa maka kemungkinan kelainan psycis
2. Saraf II (N. Opticus)
Pemeriksaan meliputi :
2.1. Penglihatan sentral Untuk keperluan praktis, membedakan
kelainan refraksi dengan retina digunakan PIN HOLE (apabila
penglihatan menjadi lebih jelasmaka berarti gangguan visus akibat
kelainan refraksi). Lebih tepat lagi dengan optotype Snellen. Yang
lebih sederhana lagi memakai jari-jari tangan dimana secara
normal dapat dilihat pada jarak 60 m dan gerakan tangan dimana
secara normal dapat dilihat pada jarak 300 m.
2.2. Penglihatan Perifer
diperiksa dengan :
a) Tes Konfrontasi.
• Pasien diminta untuk menutup satu mata, kemudian
menatap mata pemeriksa sisi lain.
• Mata pemeriksa juga ditutup pada sisi yang lain, agar
sesuai denganlapang pandang pasien.
• Letakkan jari tangan pemeriksa atau benda kecil pada
lapang pandang pasien dari 8 arah.
• Pasien diminta untuk menyatakan bila melihat benda
tersebut. Bandingkan lapang pandang pasien dengan
lapang pandang pemeriksa.
• Syarat pemeriksaan tentunya lapang pandang
pemeriksa harus normal.
b) Perimetri/Kampimetri Biasanya terdapat di bagian mata
dan hasilnya lebih teliti daripada tes konfrontasi.
23 Melihat warna Persepsi warna dengan gambar stilling Ishihara.
Untuk
mengetahui adanya polineuropati pada N II.
2.3. Pemeriksaan Fundus Occuli Pemeriksaan ini menggunakan alat
oftalmoskop. Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat apakah
pada papilla N II terdapat :
1. Stuwing papil atau protusio N II Kalau ada stuwing papil yang
dilihat adalah papilla tersebut mencembung atau menonjol oleh
karena adanya tekanan intra cranial yang meninggi dan
disekitarnya tampak pembuluh darah yang berkelok-kelok dan
adanya bendungan.
2. Neuritis N II
Pada neuritis N II stadium pertama akan tampak adanya udema
tetapi papilla tidak menyembung dan bial neuritis tidak acut lagi
akan terlihat pucat. Dengan oftalmoskop yang perlu diperhatikan
adalah :
• Papilla N II, apakah mencembung batas-batasnya.
• Warnanya
• Pembuluh darah
• Keadaan Retina.
3. Saraf III (N. Oculo-Motorius)
Pemeriksaan meliputi :
a. Retraksi kelopak mata atas
Bisa didapatkan pada keadaan :
• Hidrosefalus (tanda matahari terbit)
• Dilatasi ventrikel III/aquaductus Sylvii
• Hipertiroidisme
b. Ptosis
Pada keadaan normal bila seseorang melihat kedepan, maka batas
kelopak mata atas akan memotong iris pada titik yang sama secara
bilateral. Bila salah satu kelopak mata atas memotong iris lebih rendah
daripada mata yang lain, atau bila pasien mendongakkan kepala ke
belakang/ ke atas (untuk kompensasi) secara kronik atau mengangkat
alis mata secara kronik dapat dicurigai sebagai ptosis. Penyebab Ptosis
adalah:
• False Ptosis : enophtalmos (pthisis bulbi), pembengkakan
kelopak mata (chalazion).
• Disfungsi simpatis (sindroma horner).
• Kelumpuhan N. III
• Pseudo-ptosis (Bell’s palsy, blepharospasm)
• Miopati (miastenia gravis).
c. Pupil
Pemeriksaan pupil meliputi :
1) Bentuk dan ukuran pupil
Bentuk yang normal adalah bulat, jika tidak maka ada
kemungkinan bekas operasi mata. Pada sifilis bentuknya menjadi
tidak teratur atau lonjong/segitiga. Ukuran pupil yang normal kira-
kira 2-3 mm (garis tengah). Pupil yang mengecil disebut Meiosis,
yang biasanya terdapat pada Sindroma Horner, pupil Argyl
Robertson( sifilis, DM, multiple sclerosis). Sedangkan pupil yang
melebar disebut mydriasis, yang biasanya terdapat pada parese/
paralisa m. sphincter dan kelainan psikis yaitu histeris
2) Perbandingan pupil kanan dengan kiri Perbedaan diameter pupil
sebesar 1 mm masih dianggal normal. Bila antara pupil kanan
dengan kiri sama besarnya maka disebut isokor. Bila tidak sama
besar disebut anisokor. Pada penderita tidak sadar maka harus
dibedakanapakah anisokor akibat lesi non neurologis(kelainan iris,
penurunan visus) ataukah neurologis (akibat lesi batang otak, saraf
perifer N. III, herniasi tentorium.
3) Refleks pupil
Terdiri atas : - Reflek cahaya Diperiksa mata kanan dan kiri
sendiri-sendiri. Satu mata ditutup dan penderita disuruh melihat
jauh supaya tidak ada akomodasi dan supaya otot sphincter
relaksasi. Kemudian diberi cahaya dari samping mata. Pemeriksa
tidak boleh berada ditempat yang cahayanya langsung mengenai
mata. Dalam keadaan normal maka pupil akan kontriksi. Kalau
tidak maka ada kerusakan pada arcus reflex (mata---N. Opticus---
pusat---N. Oculomotorius)
Reflek akomodasi Penderita disuruh melihat benda yang dipegang
pemeriksa dan disuruh mengikuti gerak benda tersebut dimana
benda tersebut digerakkan pemeriksa menuju bagian tengah dari
kedua mata penderita. Maka reflektoris pupil akan kontriksi.
Reflek cahaya dan akomodasi penting untuk melihat pupil Argyl
Robetson dimana reflek cahayanya negatif namun reflek
akomodasi positif.
Reflek konsensual Adalah reflek cahaya disalah satu mata, dimana
reaksi juga akan terjadi pada mata yang lain. Mata tidak boleh
langsung terkena cahaya, diantara kedua mata diletakkan selembar
kertas. Mata sebelah diberi cahaya, maka normal mata yang lain
akan kontriksi juga.
4. Gerakan bola mata (bersama-sama dengan N. IV dan VI)
Gerakan bola mata yang diperiksa adalah yang diinervasi oleh nervus III,
IV dan VI. Dimana N III menginervasi m. Obliq inferior (yang menarik
bala mata keatas), m. rectus superior, m. rectus media, m. rectus inferior.
N IV menginervasi m. Obliq Superior dan N VI menginervasi m. rectus
lateralis.
N III selain menginervasi otot-otot mata luar diatas juga menginervasi otot
sphincter pupil. Pemeriksaan dimulai dari otot-otot luar yaitu penderita
disuruh mengikuti suatu benda kedelapan jurusan. Yang harus
diperhatikan ialah melihat apakah ada salah satu otot yang lumpuh. Bila
pada 1 atau 2 gerakan mata ke segala jurusan dari otot-otot yang disarafi N
III berkurang atau tidak bisa sama sekali, maka disebut opthalmoplegic
externa. Kalau yang parese otot bagian dalam (otot sphincter pupil) maka
disebut opthalmoplegic interna. Jika hanya ada salah satu gangguan maka
disebut opthalmoplegic partialis, sedangkan kalau ada gangguan kedua
macam otot luar dan dalam disebut opthalmoplegic totalis
Sikap Bola Mata Sikap bola mata yaitu kedudukan mata pada waktu
istirahat. Kelainan –kelaian yang tampak diantaranya adalah : -
Exopthalmus, dimana mata terdorong kemuka karena proses mekanis
retroorbital - Strabismus yang dapat divergen atau convergen.Secara
subyektif ditanyakan apakah ada diplopia. Pemeriksaan subyektif ini
penting karena kadang-kadang strabismus yang ringan tak kelihatan pada
pemeriksaan obyektif. - Nystagmus atau gerakan bola mata yang spontan.
Dalam hal ini tidak hanya memeriksa otot-otot yang menggerakkan bola
mata sja, tetapi sekaligus melihat adanya kelainan dalam keseimbangan
atau N VIII. - Deviasi conjugae, adalah sikap bola mata yang dalam
keadaan istirahat menuju kesatu jurusan tanpa dapat dipengaruhi oleh
kesadaran, dengan sumbu kedua mata tetap sejajar secara terusmenerus.
Lesi penyebab bisa di lobus frontalis atau di batang otak, bisa lesi
destruktif (infark) atau irirtatif (jaringan sikatriks post trauma/ epilepsi
fokal & perdarahan)
5. Saraf V (N. Trigeminus)
Pemeriksaan meliputi :
a) Sensibilitas Sensibilitas N V ini dapat dibagi 3 yaitu : - bagian dahi,
cabang keluar dari foramen supraorbitalis - bagian pipi, keluar dari
foramen infraorbitalis - bagian dagu, keluar dari foramen mentale.
Pemeriksaan dilakukan pada tiap cabang dan dibandingkan kanan
dengan kiri.
b) Motorik
Penderita disuruh menggigit yang keras dan kedua tangan pemeriksa
ditruh kira-kira didaerah otot maseter. Jika kedua otot masseter
berkontraksi maka akan terasa pada tangan pemeriksa. Kalau ada
parese maka dirasakan salah satu otot lebih keras.
c) Reflek Penderita diminta melirik kearah laterosuperior, kemudian dari
arah lain tepi kornea disentuhkan dengan kapas agak basah. Bila reflek
kornea mata positif, maka mata akan ditutupkan.

6. Gerakan bola mata (bersama-sama dengan N. IV dan VI)


7. Saraf VII (N. Facialis)
a. Dalam keadaan diam, perhatikan :
- asimetri muka (lipatan nasolabial)
- gerakan-gerakan abnormal (tic fasialis, grimacing, kejang
tetanus/rhesus sardonicus, tremor, dsb)
b. Atas perintah pemeriksa
1. Mengangkat alis, bandingkan kanan dengan kiri.
2. Menutup mata sekuatnya (perhatikan asimetri), kemudian
pemeriksa mencoba membuka kedua mata tersebut (bandingkan
kekuatan kanan dan kiri).
3. Memperlihatkan gigi (asimetri).
4. Bersiul dan mencucu (asimetri/deviasi ujung bibir).
5. Meniup sekuatnya (bandingkan kekuatan udara dari pipi
masingmasing).
6. Menarik sudut mulut ke bawah (bandingkan konsistensi otot
platisma kanan dan kiri). Pada kelemahan ringan, kadang-kadang
tes ini dapat untuk mendeteksi kelemahan saraf fasialis pada
stadium dini.
c. Sensorik khusus (pengecapan 2/3 depan lidah)
Melalui chorda tympani. Pemeriksaan ini membutuhkan zat-zat yang
mempunyai rasa : - manis, dipakai gula - pahit, dipakai kinine - asin,
dipakai garam - asam, dipakai cuka Paling sedikit menggunakan 3
macam. Penderita tidak boleh menutup mulut dan mengatakan
perasaannya dengan menggunakan kode-kode yang telah disetujui
bersama antara pemeriksa dan penderita. Penderita diminta membuka
mulut dan lidah dikeluarkan. Zat-zat diletakkan di 2/3 bagian depan
lidah. Kanan dan kiri diperiksa sendiri-sendiri, mula-mula diperiksa
yang normal.
8. Saraf VIII (N. Acusticus)
Pemeriksaan pendengaran
1. Detik arloji Arloji ditempelkan ditelinga, kemudian dijauhkan
sedikit demi sedikit, sampai tak mendengar lagi, dibandingkan
kanan dan kiri.
2. Gesekan jari
3. Tes Weber
Garpu tala yang bergetar ditempelkan dipertengahan dahi.
Dibandingkan mana yang lebih keras, kanan/ kiri.
4. Tes Rinne
Garpu tala yang bergetar ditempelkan pada Processus mastoideus.
Sesudah tak mendengar lagi dipindahkan ke telinga maka terdengar
lagi. Ini karena penghantaran udara lebih baik dari pada tulang.
9. Saraf IX-X (N. Glossopharyngeus-N. Vagus)
Pemeriksaan saraf IX dan X terbatas pada sensasi bagian belakang
rongga mulut atau 1/3 belakang lidah dan faring, otot-otot faring dan
pita suara serta reflek muntah/menelan/batuk.
a. Gerakan Palatum Penderita diminta mengucapkan huruf a atau ah
dengan panjang, sementara itu pemeriksa melihat gerakan uvula
dan arcus pharyngeus. Uvula akan berdeviasi kearah yang normal
(berlawanan dengan gerakan menjulurkan lidah pada waktu
pemeriksaan N XII).
b. Reflek Muntah dan pemeriksaan sensorik Pemeriksa meraba
dinding belakang pharynx dan bandingkan refleks muntah kanan
dengan kiri. Refleks ini mungkin menhilang oada pasien lanjut usia.
c. Kecepatan menelan dan kekuatan batuk
10. Saraf XI (N. Accesssorius)
Hanya mempunyai komponen motorik. Pemeriksaan :
a. Kekuatan otot sternocleidomastoideus diperiksa dengan menahan
gerakan fleksi lateral dari kepala/leher penderita atau sebaliknya
(pemeriksa yang melawan/ mendorong sedangkan penderita yang
menahan pada posisi lateral fleksi).
b. Kekuatan m. Trapezius bagian atas diperiksa dengan menekan
kedua bahu penderita kebawah, sementara itu penderita berusaha
mempertahankan posisi kedua bahu terangkat (sebaliknya posisi
penderita duduk dan pemeriksa berada dibelakang penderita)
11. Saraf XII (N. Hypoglossus)
Pada lesi LMN, maka akan tamapk adanya atrofi lidah dan fasikulasi
(tanda dini berupa perubahan pada pinggiran lidah dan hilangnya papil
lidah) Pemeriksaan :
a. Menjulurkan lidah Pada lesi unilateral, lidah akan berdeviasi kearah
lesi. Pada Bell,s palsy (kelumpuhan saraf VII) bisa menimbulkan
positif palsu.
b. Menggerakkan lidah kelateral Pada kelumpuhan bilateral dan berat,
lidah tidak bisa digerkkan kearah samping kanan dan kiri.
c. Tremor lidah Diperhatikan apakah ada tremor lidah dan atropi.
Pada lesi perifer maka tremor dan atropi papil positip
d. Articulasi Diperhatikan bicara dari penderita. Bila terdapat parese
maka didapatkan dysarthria.
Pemeriksaan rangsang meningeal
a. Kaku kuduk
• Mempersilahkan penderita berbaring telentang di tempat tidur,
kedua tangan dan kedua tungkai diluruskan, kemudian ambil
bantal bila ada
• Memutar kepala penderita kesamping kanan kiri serta menoleh
ke kanan kiri apakah ada tahanan
• Memegang kepala belakang penderita dengan tangan kiri dan
tangan kanan, kemudian mem-fleksikan kepala-dagu penderita
ke arah sternum penderita apakah ada tahanan atau nyeri di
leher, normal dagu dapat menyentuh dada
• Kaku kuduk positif bila dagu tidak menyentuh dada karena ada
tahanan atau nyeri
b. Kernig sign
• Mempersilahkan penderita berbaring terlentang ditempat tidur,
kedua tangan dan kedua tungkai diluruskan, kemudian ambil
bantal bila ada
• Memfleksikan paha pada sendi panggul dan lutut 900,
ekstensikan tungkai bawah pada sendi lutut, normal lebih dari
1350
• Lakukan di sisi kanan dan kiri bergantian
• Menentukan tanda kernig positif bila ada tahanan atau nyeri
dan sudut tidak mencapai 1350
c. Tanda Budzinski I
• Mempersilahkan penderita berbaring terlentang ditempat tidur,
kedua tangan dan kedua tungkai diluruskan, kemudian ambil
bantal bila ada
• Memutar kepala penderita ke samping kanan kiri serta menoleh
ke kanan kiri apakah ada tahanan
• Memegang kepala belakang penderita dengan tangan kiri dan
kanan, kemudian memfleksikan kepala dagu penderita ke arah
dada penderita apakah ada tahanan dileher, normal dagu
menyentuh dada
• Lihat respon tungkai bawah, positif bila ada fleksi kedua
tungkai dan sendi lutu
d. Tanda Brudzinski II (tungkai)
• Mempersilahkan penderita berbaring terlentang di tempat tidur,
kedua tangan dan kedua tungkai diluruskan, kemudian ambil
bantal bila ada
• Memfleksikan salah satu tungkai lurus pada sendi panggul
maksimal
• Bila tungkai kontra lateral fleksi disebut positif
e. Tanda Brudzinski III
• Mempersilahkan penderita berbaring terlentang di tempat tidur,
kedua tangan dan kedua tungkai diluruskan, kemudian ambil
bantal bila ada
• Menekan kedua pipi atau infaorbita pasien dengan kedua
tangan pemeriksa
• Menentukan tanda Brudzinski III positif, yaitu terlihat ada
fleksi pada kedua lengan
f. Tanda Brudzinski IV
• Mempersilahkan penderita berbaring terlentang di tempat tidur,
kedua tangan dan kedua tungkai diluruskan, kemudian ambil
bantal bila ada
• Menekan os pubis penderita dengan tangan pemeriksa
• Menentukan tanda Brudzinski IV positif, yaitu terlihat ada
fleksi pada kedua tungkai
Aspek klinis beberapa penyakit yang bermanifetasi meningeal sign
positif antara lain meningitis, meningosenfalitis dan sub arachnoid
haemorhage

Pemeriksaan Refleks fisiologis


Refleks Fisiologis adalah reflex regang otot (muscle stretch reflex) yang
muncul sebagai akibatrangsangan terhadap tendon atau periosteum atau
kadang-kadang terhadap tulang, sendi, fasiaatau aponeurosis. Pemeriksaan
fisiologis terdiri dari:
1. Pemeriksaan Refleks pada Lenga
a. Pemeriksaan Reflex Biseps
• Pasien duduk dengan santai,lengan dalam keadaan lemas,siku dalan
posisisedikit fleksi dan pronasi.
• Letakan ibu jari pemeriksa di atas tendo biseps,lalu pukul ibu jari tadi
denganmenggunakan refleks hammer. Reaksinya adalak fleksi lengan bawah.
Bilarefleks meninggi maka zona refleksogen akan meluas.
b. Pemeriksaan Refleks Triseps
• Posisi pasien sama dengan pemeriksaan refleks bisep
• Apabila lengan pasien sudah benar-benar relaksasi (dengan
meraba trisep tidakteraba tegang), pukullah tendon yang lewat di
fossa olekrani
• Maka trisep akan berkontraksi dengan sedikit menyentak
2. Pemeriksaan Refleks pada Tungkai
a. Refleks Patella
• Pasien dalam posisi duduk dengan tungkai menjuntai
• Daerah kanan-kiri tendo patella terlebih dahulu diraba, untuk
menetapkan daerahyang tepat.
• Tangan pemeriksa yang satu memegang paha bagian distal, dan
tangan yanglain memukul tendo patella tadi dengan reflex hammer
secara tepat.
• Tangan yang memegang paha tadi akan merasakan kontraksi otot
kuadriseps,dan pemeriksa dapat melihat tungkai bawah yang
bergerak secara menyentakuntuk kemudian berayun sejenak.
Apabila pasien tidak mampu duduk, makapemeriksaan reflex
patella dapat dilakukan dalam posisi berbaring.
b. Refleks Achiles
• Pasien dapat duduk dengan posisi menjuntai, atau berbaring tau dapat
pulapenderita berlutut dimana sebagian tungkai bawah dan kakinya menjulur
di luar kursi pemeriksaan.
• Pada dasarnya pemeriksa sedikit meregangkan tendon achiles dengan
caramenahan ujung kaki kea rah dorsofleksi.
• Tendon Achilles dipukul dengan ringan tapi cepat.
• Akan muncul gerakan fleksi kaki yang menyentak.
Pemeriksaan Refleks Patologis
Refleks patologis merupakan respon yang tidak umum dijumpai pada individu
normal. Reflekspatologis pada ekstemitas bawah lebih konstan, lebih mudah
muncul, lebih reliable dan lebihmempunyai korelasi secara klinis dibandingkan
pada ektremitas atas. pemeriksaan patologis terdiri dari :
1. Refleks Hoffmann-Tromner
Cara pemeriksaan : tangan penderita dipegang pada pergelangannya dan suruh
pasienmelekukan fleksi ringan jari-jarinya. Kemudian jari tengah pasien
diregangkan dan dijepitdiantara jari telunjuk dan jari tengah pemeriksa. Lalu
lakukan : Hoffmann : “Goresan” padaujung jari tengah pasien reaksi : fleksi
dan adduksi ibu jari disertai dengan fleksi telunjukdan jari-jari lainnya.
Tromner : “Colekan” pada ujung jari pasien maka akan muncul reaksiyang
sama dengan hoffmann.

2. Babinsky sign
Pemeriksa menggores bagian lateral telapak kaki dengan ujung palu refleks.
Reaksi:Dorsofleksi ibu jari kaki disertai plantarfleksi dan gerakan melebar
jari-jari Lainnya
Refleks Grup Babinsky :
• Chaddock’s sign
Cara : Pemeriksa menggores dibawah dan sekitar maleolus eksterna ke arah
lateral dengan palu refleks ujung tumpul. Reaksi : sama dengan babinski sign
• Gordon’s sign
Cara : Pemeriksa menekan oto-otot betis dengan kuat. Reaksi : sama dengan
babinskisign
• Schaeffer’s sign
Cara : Pemeriksa menekan tendo Achilles dengan kuat. Reaksi : sama
denganbabinski’s sign
• Oppenheim’s sign
Cara : Pemeriksa memberi tekanan yang kuat dengan ibu jari dan telunjuk
padapermukaan anterior tibia kemudian digeser ke arah distal Reaksi : sama
dengan babinki’s sign
6. Penatalaksanaan Farmakologis dan Non Farmakologis
a. Pada Fase Akut
- Pertahankan jalan nafas, monitor TIK, AGD, TTV, EKG, cegah emboli
paru dan tromboplebitis dengan antikoagulan
- Menempatkan klien dalam posisi yang tepat, posisi diubah tiap 2 jam dan
dilakukan latihan gerak pasif.
b. Pembedahan
- Jika perdarahan serebrum >3cm atau volume >50ml untuk dekompresi bila
ada hidrosefalus obstruksi akut
- Endosterektomi karotis membentuk kembali arteri karotis, membuka arteri
di leher
- Evaluasi bekuan darah dilakukan pada stroke akut
c. Terapi Obat-Obatan
- Stroke Iskemik: pemberian trombolisis, digoksin, kaptopril, alfa beta,
vasodilator
- Stroke Hemoragik: antihipertensi, diuretic, antikonvulsan

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Keluhan Utama
Kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat
berkomunikasi, dan penurunan kesadaran.

b. Riwayat Penyakit Sekarang


Serangan stroke sangat mendadak, biasanya terjadi nyeri kepala, mual,
muntah, bahkan kejang sampai tidak sadar, gejala kelumpuhan separuh badan,
gangguan fungsi otak.

c. Riwayat Penyakit Dahulu


Adanya riwayat hipertensi, stroke sebelumnya, DM, peyakit jantung,
riwayat merokok, penggunaan obat anti koagulan, aspirin, vasodilator.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga dengan menderita hipertensi, DM, stroke dari generasi
terdahulu.

e. Pemeriksaan Fisik
- Pada stroke hemisfer kiri, tanda dan gejalanya di sebelah kanan, begitupun
sebaliknya
- Kerusakan saraf kranial, tanda dan gejalanya di sisi yang sama
- Perubahan tingkat kesadaran
- Hemiparesis/ hemiplegia, disatria
- Kemunduran fungsi sensorik
- Disfagia: sulit menelan, mengunyah, paralisis lidah, laring
- Kesulitan komunikasi: adanya aphasia sensorik (kerusakan wernick),
aphasia

2. Patofisiologi
a. Stroke Iskemik
Iskemik pada otak mengakibatkan perubahan di sel otak secara
bertahap. Awalnya diawali dengan penurunan aliran darah yang disebabkan
aterosklerosis atau trombus, sehingga sel otak mengalami hipoksia. Hal ini
menyebabkan kegagalan metabolism dan penruunan energy yang dihasilkan
sel neuron tersebut. Di tahap selanjutnya ternjadi ketidakseimbangan suplay
yang memicu respon inflamasi dan kematian sel.

b. Stroke Hemoragik
Perdarahan intraserebral disebabkan oleh pecahnya mikroaneurisme
akibat hipertensi maligna. Paling sering terjadi di daerah subkortikal,
serebelum, dan batang otak. Peningkatan tekanan darah secara tiba-tiba
menyebakan rupturnya arteri kecil. Perdarahan di arteri kecil ini menimbulkan
efek penekanan pada arteriola dan pembuluh kapiler, sehingga pembuluh ini
juga pecah. Elemen vasoaktif yang keluar akibat kondisi iskemi dan
penurunan tekanan perfusi menyebabkan daerah yang terkena darah
mengalami kenaikan tekanan. Perdarahan subarachnoid terjadi akibat
pembuluh darah disekitar permukaan otak yang pecah, sehingga terjadi
ekstravasasi darah ke subarachnoid.

3. Diagnosa Keperawatan
a. Perfusi jaringan serebral tidak efektif b.d suplay darah ke jaringan serebral
tidak adekuat
b. Gangguan mobilitas fisik b.d kerusakan neurovascular, penuruna kekuatan/
otot, kerusakan gangguan sensori
c. Gangguan komunikasi verbal b.d penurunan sirkulasi serebral, gangguan
neuromuskuler
d. Defisit perawatan diri b.d kerusakan neuromuscular, kelemahan, kerusakan
status mobilitas

4. Intervensi Keperawatan
a. Diagnosa: Perfusi jaringan serebral tidak efektif b.d suplay darah ke jaringan
serebral tidak adekuat
• Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan perfusi
jaringan otak dapat tercapai secara optimal
• KH: klien tidak gelisah, tidak ada nyeri kepala, GCS normal, TTV
normal
• Intervensi:
Manajemen peningkatan TIK
- Identifikasi penyebab peningkatan TIK
- Monitor status neurologis, MAP, CVP, PAP, ICP
- Monitor status pernafasan, monitor CSS
Pemantauan TIK
- Monitor peningkatan TTV, pernafasan, penurunan fungsi
jantung
- Posisikan kepala sedikit ditinggikan
- Beri trombolitik intravena, antikoagulan, antitrombosit,
antihipertensi

b. Diagnosa: Gangguan mobilitas fisik b.d kerusakan neurovascular, penuruna


kekuatan/ otot, kerusakan gangguan sensori
• Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan mobilisasi
kembali optimal
• KH: mempertahankan dan meningkatkan kekuatan tubuh,
mempertahankan posisi
• Intervensi:
- Kaji kemampuan fungsi
- Sangga ekstremitas dalam posisi fungsional seperti bantal
- Latih gerak rentang aktif dan pasif semua ekstremitas
- Bantu mengembangkan keseimbangan saat duduk
- Konsultasi ahli terapi fisik mengenai latihan aktif
- Bantu dengan stimulasi elektruk (TENS)
- Beri relaksan otot dan antispasmodic
-
c. Diagnosa: Gangguan komunikasi verbal b.d penurunan sirkulasi serebral,
gangguan neuromuskuler
• Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan mampu
menunjukkan pengertian terhadap masalah komunikasi, mampu
mengekspresikan perasaan dan dengan bahasa isyarat
• KH: terciptanya komunikasi dimana kebutuhan klien dapat dipenuhi,
mampu merespon setiap berkomunikasi verbal atau isyarat
• Intervensi:
- Kaji tipe disfungsi, misalnya tidak mengerti tentang kata atau
masalah bicara atau tidak mengerti
- Bedakan afasia dan disatria
- Lakukan metode percakapan yang baik dan lengkap, beri
kesempatan klien mengklarifikasi
- Perintahkan menyebutkan nama benda
- Ucapkan langsung dengan pelan dan tenang
- Konsul ke ahli terapi bicara

d. Diagnosa: Defisit perawatan diri b.d kerusakan neuromuscular, kelemahan,


kerusakan status mobilitas
• Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan terjadi peningkatan
perilaku dalam perawatan diri
• KH: perubahan gaya hidup untuk kebutuhan merawat diri, mampu
melakukan aktivitas perawatan diri sesuai dengan tingkat
kemampuannya
• Intervensi:
- Kaji kemampuan dan tingkat penurunan dalam melakukan
ADL
- Hindari melakukan hal yang dapat dilakukan sendiri, beri
bantuan sesuai kebutuhan
- Dorong orang terdekat untuk membiarkan pasien melakukan
tindakan sebanyak mungkin untuk dirinya sendiri
- Beri suposituria dan pelunak feses
- Konsultasi dengan tim rehabilitasi seperti ahli fisik dan okupasi
DAFTAR PUSTAKA

Dosen Keperawatan Medikal Bedah Indonesia. 2016. Rencana Asuhan


Keperawatan Medikal Bedah: Diagnosis NANDA-I 2015-2017 Intervensi NIC Hasil
NOC. Jakarta: EGC.
Esti, Amira, Trimona Rita. 2020. Keperawatan Keluarga Askep Stroke. Lubuk
Begalung, Padang: Pustaka Galeri Mandiri.
Muttaqin, Arif. 2008. Pengantar Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Rumahorbo, Monica, Cicilia Erlia. 2014. 60 Hal Tentang Perawatan Stroke Di
Rumah. Jakarta: PK. ST. Carolus, Tim Keperawatan.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Jakarta: DPP PPNI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Jakarta: DPP PPNI.

Anda mungkin juga menyukai