Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

RUANG LINGKUP ADMINISTRASI PEMBANGUNAN

( Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Administrasi Pembangunan


Jurusan Ekonomi Islam Semester VI )

Oleh :
Kelompok II
Ginie Aulia Rawani (0501183291)
Reni Dwijaya (0501183265)
Salsabilla Siagian (0501181002)

Dosen Pengampu : Muhammad Hafizh

PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

MEDAN

2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Administrasi pembangunan lahir dari suatu pemikiran dalam
pembangunan agar lebih efektif melakasanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan dan
program-program bagi pencapaian tujua pembangunan. Selama masa tersebut,
sudah berkembang berbagai alur pemikiran bahkan paradigma dalam administrasi
pembangunan. Dalam pembangunan suatu negeri, pembangunan nasional meliputi
berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, yang pada hakikatnya adalah hasil
kegiatan seluruh masyarakat. Oleh karena itu, dalam perkembangannya,
administrasi pembangunan terutama dalam studi kebijaksanaan, memanfaatkan
berbagai bidang ilmu yang lain, misalnya ilmu ekonomi dalam leveraging change
through the market (mendorong perubahan melalui pemanfaatan mekanisme
pasar) dan ilmu sosiologi dalam empowering the poor (pemberdayaan yang
kurang berdaya). Dengan demikian, administrasi pembangunan adalah suatu
administrasi bagi usaha pembangunan social ekonomi yang bersifat dinamis dan
inovatf dan mengupayakan perubahan berbagai aspek kehidupan masyarakat
melalui berbagai pengerahan dan alokasi umber daya untuk kegiatan
pembangunan. Secara lebih spesifik, administrasi pembangunan berfungsi
merumuskan kebijaksanaan-kebijaksanaan dan program-program pembangunan
(ke arah modernisasi, pembangunan bangsa atau pembangunan social ekonomi),
dan melaksanakannya secara efektif dengan pendekatan yang multi disiplin.
Administrasi pembangunan berkembang karena adanya kebutuhan di
negara-negara yang sedang membangun untuk mengembangkan lembaga-lembaga
dan pranata-pranata sosial, politik dan ekonominya, agar pembangunan dapat
berhasil. Oleh karena itu, pada dasarnya administrasi pembangunan adalah bidang
studi yang mempelajari sistem administrasi negara di negara yang sedang
membangun serta upaya untuk meningkatkan kemampuannya. Dari sudut praktik,
administrasi pembangunan merangkum dua kegiatan besar dalam satu pengertian,
yakni administrasi dan pembangunan.

2
Pembangunan adalah pusat politik yang dapat memainkan peran kunci
dalam pembangunan nasional. Administrasi publik dianggap penting dalam proses
mekanisme pembangunan ini. Pemerintah menggunakan kewenangan
administratif untuk mencapai tugas pembangunan nasional dengan merumuskan,
mengatur, dan melaksanakan program aksi skala besar. Untuk mengenai kegiatan
pemerintah yang kompleks ini, instrumen administrasi pembangunan digunakan.

B. Rumusan Masalah
Dalam mengkaji diskusi di atas, pemakalah merumuskan beberapa
rumusan permasalahan, antara lain:
1. Bagaimana penulisan laporan penelitian?
2. Bagaimana bentuk laporan penelitian?
3. Bagaimana sistematika laporan penelitian?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin dicapai dari penyusunan dan pemaparan makalah ini
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui bagaimana penulisan laporan penelitian.
2. Mengetahui bentuk laporan penelitian.
3. Mengetahui bagaimana sistematika laporan penelitian.

RAHN

A. Pengertian Rahn
Secara etimologi, Rahn berarti tetap atau lama (as-subut wa ad-dawam)
atau pengekangan dan keharusan (al-habs wa al-luzum). Sedangkan menurut
istilah adalah penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat
dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut.1
Menurut Al-Bahuti dan Ibnu Qudamah, Rahn secara bahasa berarti tetap
dan abadi, dikatakan m’un rahinun artinya air yang menggenang, na’matun
rahinatun artinya yang abadi. Berdasarkan firman Allah adalah “Tiap-tiap diri
bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”, maksudnya tertahan.
1
Nurhayati dan Ali Imran Sinaga, Fiqih dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Pranadamedia Group,
2018), h. 43.

3
Rahn yang dimaksudkan lebih condong mengikuti arti yang pertama, yaitu karena
tertahan berarti tetap tidak berpindah sedikitpun.2
Sedangkan Al-Qurtubi mendefinisikan Rahn sebagai barang yang ditahab
oleh pihak yang member hutang sebagai jaminan dari orang yang berhutang,
sampai pihak penghutang melunasi hutang tersebut.3
Menurut Imam Abu Zakariya al-Anshari dalam kitab Fathul Wahhab
mendefinisikan rahn yaitu menjadikan benda bersifat harta sebagai kepercayaan
dari suatu utang yang dapat dibayarkan dari (harga) benda itu bila utang tidak
dapat di bayar. Sedangkan menurut Ahmad Baraja, rahn adalah jaminan buka
produk dan semata untuk kepentingan social, bukan kepentingan bisnis, jual beli
mitra.4
Pasal 20 ayat 14 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)
mendefinisikan bahwa rahn/gadai adalah penguasaan barang milik peminjam oleh
pemberi pinjaman sebagai jaminan.
Dari berbagai definisi yang telah dipaparkan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa Rahn adalah suatu jaminan yang diserahkan oleh pihak yang
berhutang kepada pihak yang memberi hutang. Dan apabila pihak yang telah
berhutang tidak mampu membayar hutangnya sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan atau sudah jatuh tempo, maka pihak yang memberi hutang mempunyai
kuasa penuh untuk menjual barang jaminan tersebut. Jika barang jaminan yang
telah di jual melebihi jumlah hutang, maka sisanya harus dikembalikan kepada
penghutang, namun jika kurang maka pihak penghutang harus menambahinya.

B. Dasar Hukum Rahn

‫ت ْال ِحلُّ َواإْل ِ بَا َحةُ إِالَّ بِ َدلِ ْي ٍل‬


ِ َ‫ْاألَصْ ُل فِي ال ُّشر ُْو ِط فِي ْال ُم َعا َمال‬

2
Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah Kontemporer, (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2015),
h.163.
3
Ibid.
4
Sri Sudiarti, Fiqh Muamalah Kontemporer, (Medan: FEBI UIN-SU Press, 2018), h.219.

4
“Hukum asal menetapkan syarat dalam mu’âmalah adalah halal dan
diperbolehkan
kecuali ada dalil (yang melarangnya).”5

Berdasarkan dail Al-Qur’an yaitu terdapat dalam surah al-Baqarah ayat


283 di bawah ini:

ُ ‫ض ۗةٌ فَإِ ْن أَ ِم َن بَ ْع‬


‫ض ُك ْم‬ َ ‫َوإِ ْن ُك ْنتُ ْم َع ٰلى َسفَ ٍر َّولَ ْم تَ ِج ُد ْوا َكاتِبًا فَ ِر ٰه ٌن َّم ْقب ُْو‬
‫ق هّٰللا َ َربَّهٗۗ َواَل تَ ْكتُ ُموا ال َّشهَا َد ۗةَ َو َم ْن‬
ِ َّ‫اؤتُ ِم َن أَ َمانَتَهٗ َو ْليَت‬
ْ ‫بَ ْعضًا فَ ْلي َُؤ ِّد الَّ ِذى‬
‫يَ ْكتُ ْمهَا فَإِنَّهٗ ٰاثِ ٌم قَ ْلبُهٗۗ َوهّٰللا ُ بِ َما تَ ْع َملُ ْو َن َعلِ ْي ٌم‬
“Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang
penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Tetapi, jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah,
Tuhannya. Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, karena barang
siapa menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor (berdosa). Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”6

Dalam surah al-Mudatsir ayat 38:

ٌ‫ت َر ِهينَة‬ ٍ ‫ُكلُّ نَ ْف‬


ْ َ‫س بِ َما َك َسب‬

“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”

Sedangkan dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari
Aisyah binti Abu Bakar yaitu:

ُ‫ي إِلَى أَ َج ٍل َو َرهَنَه‬


ٍّ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ا ْشتَ َرى طَ َعا ًما ِم ْن يَهُو ِد‬ َّ ِ‫أَ َّن النَّب‬
َ ‫ي‬
‫ِدرْ عًا ِم ْن َح ِدي ٍد‬

5
A Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqih, (Jakarta: Pranadamedia Group, 2006), h. 130.
6
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Pranadamedia Group, 2003), h. 228.

5
“Sesungguhnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan dari
seorang yahudi dengan cara berutang, dan beliau menggadaikan baju
besinya.” (Hr. Al-Bukhari no. 2513 dan Muslim no. 1603)”7

Dengan demikian, berdasarkan kesepakatan maka hokum rahn adalah


mubah atau boleh. Hal ini didasarkan dari dalil-dalil Allah yang terdapat di dalam
Al-Qur’an dan ada pula berdasarkan Hadis.

C. Rukun dan Syarat Rahn


Rukun rahn terdiri dari pemberi gadai (Rahn), penerima gadai (murtahin),
barang jaminan (marhun), hutang (marhun bihi) dan shigat (ijab dan qabul).
Sedangkan menurut Hanafiyah, rukun rahn adalah ijab dan Kabul dari rahin dan
murtahin.8
Di setiap rukun-rukun yang ada terdapat pula syarat-syarat yang harus
terpenuhi. Mengenai syarat bagi pihak yang berakad sama dengan syarat akad
pada umumnya yaitu para pihak yang berijab Kabul adalah pihak yang berakal,
sudah baligh, tidak dalam paksaan atau tidak terpaksa. Dalam pasal 330 KHES
juga disebutkan bahwa pihak yang melakukan akad adalah pihak yang cakap
hukum.
Mazhab hanafiyah mempunyai pandangan tersendiri mengenai syarat
sigad atau akad yaitu agar akad tidak terikat dengan syarat tertentu dan tidak
tergantung pada suatu kejadian di masa mendatang. Akad yang terikat oleh suatu
syarat, misalnya penerima mau melaksanakan akad dengan syarat pemberi
jaminan mau membeli barang tertentu miliknya. Sementara akad yang
digantungkan pada kejadian mendatang contohnya adalah rahn berlangsung
selama tidak turun hujan, maka ketika terjadi hujan atau turun hujan maka akad
tidak jadi. Apabila terjadi persyaratan dan penggantungan akad dengan suatu yang
lain di luar akad maka akan membuat akad menjadi rusak.
Dalam hutang juga memiliki syarat-syarat yang terkait di dalamnya yaitu
sebagai berikut:

7
Sudiarti, Op. Cit., 220.
8
Mustofa, Op.Cit., 166.

6
1. Hutang merupakan hak yang harus di bayar.
2. Jumlah hutang dapat tertutupi dengan nilai barang yang digadaikan atau
jumlah hutang tidak boleh melebihi dari nilai barang yang dijadikan
sebagai jaminan.
3. Hak hutang harus jelas.
Sedangkan pandangan oleh mazhab Syafi’iyah dan Hanbaliyah, syarat
yang terkait pada hutang adalah sebagai berikut:
1. Hutang merupakan hutang yang tetap dan wajib dibayar oleh Rahin.
2. Hutang harus mengikat kedua belah pihak.
3. Jumlah, ukuran dan sifat hutang harus jelas di antara para pihak yang
berakad.
Syarat yang berkaitan dengan agunan atau barang yang menjadi jaminan
hutang adalah sama dengan syarat barang yang menjadi obyek jual beli pada
umumnya transaksi dalam jual beli. Hal tersebut dikarenakan bahwa barang yang
dijadikan jaminan dimungkinkan akan di jual oleh penerima jaminan (murtahin)
ketika orang yang menggadaikan tidak mempu membayar hutangnya. Syarat-
syarat tersebut adalah:9
1. Barang yang digadaikan benar-benar ada dan nyata. Jika barang tersebut
belum atau tidak ada maka transaksi rahn tidak sah, begitu juga barang
yang belum pasti adanya, seperti binatang yang masih di dalam kandungan
induknya.
2. Obyek transaksi merupakan barang yang bernilai, halal, dapat dimiliki,
dapat di simpandan dimanfaatkan sebagaimana mestinya serta tidak
menimbulkan kerusakan.
3. Barang yang dijadikan objek transaksi merupakan hak milik secara sah dan
kepemilikan sempurna. Berdasarkan syarat ini, maka tidak sah
menggadaikan pasir ditengah padang atau air laut yang masih dilaut atau
menggadaikan panas matahari, karena tidak adanya kepemilikan yang
sempurna.

9
Maman Surahman dan Panji Adam, “Penarapan Prinsip Syariah Pada Akad Rahn di
Lembaga Pegadaian Syariah”. Jurnal Law and Justice Vol. 2 No. 2, Oktober 2017, h. 141.

7
4. Objek harus dapat diserahkan saat transaksi. Berdasarkan syarat ini maka
tidak sah menggadaikan binatang liar, ikan dilautan atau burung yang ada
di awing, karena tidak dapat diserahkan kepada pembeli.
5. Selain syarat diatas, ada satu syarat lagi yang mutlak harus terpenuhi, yaitu
barang yang digadaikan harus tahan lama dan tidak mudah rusak, seperti
emas, perak, logam mulia, kendaraan dan seterusnya. Berdasarkan syarat
ini, maka tidak sah menjadikan maknan yang mudah busuk, seperti kue
basah sebagai jaminan utang, karena tidak bertahan lama.
Menurut ulama Hanafiyah, syarat barang yang digadaikan harus barang
yang berharga, jelas, dan diserahterimakan, dapat disimpan tahan lama, terpisah
dari barang lainnya, baik benda bergerak maupun tidak. Secara lebih rinci, syarat-
syarat ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Barang yang digadaikan harus dapat diperjualbelikan; harus pada waktu
akad dan dapat diserahterimakan.
2. Barang yang digadaikan harus berupa harta (kekayaan) yang bernilai.
3. Barang yang digadaikan harus halal digunakan atau dimanfaatkan,
sekiranya barang tersebut dapat untuk melunasi utang
4. Barang harus jelas, spesifikasinya, ukuran, jenis jumlah, kualitas dan
seterusnya.
5. Barang harus milik pihak yang menggadaikan secara sempurna.
6. Barang yang digadaikan harus menyatu, tidak terpisah-pisah.
7. Barang harus tidak ditempeli sesuatu yang tidak ikut digadaikan.
8. Barang yang digadaikan harus utuh; tidaksah menggadaikan mobil hanya
seperempat atau separuh.
Rahn dikatakan sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat sebagaimana
dijelaskan diatas. Apabila salah satu rukun atau syarat tidak terpenuhi, maka rahn
tidak sah.

D. Pemanfaatan Barang Rahn

8
Bagi rahin (penggadai) mayoritas ulama membolehkan penggadai
memanfaatkan barang yang digadaikannya selama mendapat izin dari murtahin.
Selain itu, penggadai harus menjamin barang tersebut selamat dan utuh.
Sedangkan pemanfaatan barang dari murtahin, mayoritas ulama selain mazhab
Hambali memberikan pendapat bahwa murtahin tidak boleh menggunakan barang
rahn.10

E. Pertambahan Barang Jaminan (Borg)


Para ulama telah membuat kesepakatan bahwa tambahan yang ada pada
borg adalah milik rahin. Pendapat dari para ulama tersebut adalah sebagai berikut:
1. Ulama hanafiyah memberikan pandangan atau pendapat bahwa tambahan
yang terjadi pada borg yang termasuk rahn, baik yang berkaitan dengan
rahn seperti buah, kelapa dan lainnya yang terpisah, seperti anak hewan.
Adalah tambahan yang tidak berkaitan dengan rahn, seperti upah
merupakan milik rahin.
2. Ulama Malikiyah bahwa yang termasuk pada rahn adalah sesuatu yang
dihasilkan, berkaitan dan tidak terpisah seperti lemak, atau yang terpisah,
tetapi berkaitan seperti anak dan lainnya. Adapun sesuatu yang bukan asli
dari penciptaan borg atau gambarannya tidaklah termasuk borg. Seperti
buah yang dihasilkan pohon atau yang tidak dihasilkan. Seperti sewa
rumah atau penghasilannya.
3. Ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa segala tambahan dari rahn, baik yang
dilahirkan dari borg atau bukan, berkaitan dengan borg ataupun tidak
semua termasuk rahn, hukumnya benda tersebut sama dengan hukumnya
dari rahn itu sendiri.11

10
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendekiawan, h. 217.
11
Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), h. 177

9
F. Penambahan Hutang
Jumhur ulama membolehkan rahin untuk menambah borg, misalnya rahin
meminjam kan uang Rp. 100.000.00 dengan menggadaikan baju, kemudian ia
menambahkan satu lagi untuk gadai.
Demikian, diantara ulama terjadi perbedaan pendapat apabila rahin
meminta tambahan uang, seperti rahin meminjam uang Rp. 100.000,00 dengan
menggadaikan sepeda, kemudian rahin meminjam lagi Rp. 100.000,00 dengan
menjadikan sepeda sebagai gadai diatas utang Rp. 200.000,00
Mengenai hal tersebut pendapat para ulama fiqih ada dua, yaitu:
1. Ulama Hanafiyah, Muhammad, Hanabila, dan Imam Syafi'i menyatakan
tidak sah menambah utang sebab dapat menyebabkan rahn kedua, padahal
borg berkaitan dengan rahn pertama secara sempurna.
2. Imam Malik, Abu Yusuf, Abu Turs, Al-Majani, dan Ibn Al-Mundzir
membolehkan tambahan tersebut sebab rahn kedua membatalkan rahn
yang pertama. Sama dengan menggadaikan satu borg untuk dua utang.12

G. Akhir Akad Rahn


Rahn dipandang berakhir masanya jika memenuhi beberapa keadaan di
bawah ini:13
1. Barang yang dijadikan sebagai agunan telah diserahkan kembali kepada
pemiliknya.
2. Hutang telah dibayar oleh rahin.
3. Dijual dengan perintah hakim atas permintaan rahin.
4. Pembebasan hutang dengan cara apapun, meskipun dengan pemindahan
oleh murtahin.
5. Dibatalkan oleh murtahin, meskipun tidak dapat persetujuan oleh rahin.
6. Barang rahn rusak bukan karena tindakan atau penggunaan dari pihak
murtahin.

12
Syafe’i, Op.Cit., 178.
13
Antonio, Op.Cit., 217

10
7. Berdasarkan pasal 381, dibatalkan bila harta gadai belum dikuasai oleh
penerima gadai.14
8. Berdasarkan pasal 384, pemberi gadai dan penerima gadai membatalkan
akad gadai berdasarkan kesepakatan.

H. Manfaat Rahn
Bank dapat memperoleh manfaat dari prinsip rahn yaitu sebagai berikut:
1. Mencegah nasabah untuk tidak lalai dan bermain-main dengan fasilitas
pembiayaan yang diberikan oleh pihak bank.
2. Memberikan keamanan bagi segenap penabung dan pemegang deposito
bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam
ingkar janji karena ada suatu asset atau barang yang dipegang oleh bank.
3. Jika rahn diterapkan dalam mekanisme pegadaian, maka sudah tentu
barang akan membantu saudara kita yang kesulitan dana terutama di
daerah-daerah.
Manfaat yang langsung didapatkan oleh pihak bank adalah biaya-biaya
kongkrit yang harus di bayar oleh nasabah untuk pemeliharaan dan keamanan
asset tersebut. Jika penahanan asset berdasarkan fidusia (penahanan barang
bergerak sebagai jaminan pembayaran), maka nasabah juga harus membayar
biaya asuransi yang besarnya sesuai dengan yang berlaku untuk umum.15
Sedangkan keuntungan penggunaan rahn bagi nasabah itu sendiri adalah
sebagai berikut:
1. Waktu yang relatif singkat untuk memperoleh uang pinjaman, yaitu pada
hari itu peminjam datang ke pengadaian pada hari itu juga uang yang
dibutuhkan cair, ini karena pengadaian prosedurnya yang sederhana.
2. Bila dilihat dari persyaratanya pun sangat sederhana, sehingga masyarakat
untuk menunjang perekonomian.
3. Apabila dilihat dari pengadaian konvesional tidak ada kewajiban
masyarakat memberi tahu kepada pihak pengadaiannya uang yang diberian

14
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, 2008, h. 81.
15
Antonio, Op.Cit., 218

11
untuk keperluan apa, tetapi dalam pengadaian syariah pengunaan dana
yang akan digunakan lebih baik di beritahukan agar pihak pengadaian
mengetahui jenis akad apa yang lebih tepat untuk masyarakat tesebut.16

I. Status Barang Gadai


Terbentuknya status gadai adalah ketika terjadinya suatu akad atau kontrak
hutang-piutang dan bersamaan dengan penyerahan suatu aguanan/jaminan. Maka
dari itu, status gadai menjadi sah sesutah terjadinya hutang. Penilaian ulama juga
menyebutkan bahwa hal ini sah karena hutang tetap (tsabit) memang menuntut
pengambilan jaminan. Dengan demikian, dibolehkan untuk mengambil suatu
barang untuk dijadikan sebagai jaminannya.17
Menurut mazhab Maliki dan mazhab Hanafi, status gadai dapat pula
terbentuk sebelum munculnya hutang. Misalnya seseorang berkata “Saya
gadaikan rumah saya dengan uang pinjaman yang diberikan oleh Anda sebesar Rp
20.000.000,00.” Maka gadai tersebut sah, karena barang tersebut merupakan
sebagai jaminan pula bagi hak tertentu.

J. Implementasi Rahn dalam Lembaga Keuangan Syariah


Rahn digunakan untuk membantu nasabah dalam memenuhi kebutuhan
insidentilnya yang mendesak. Dalam praktik rahn di perbankan syariah, bank
tidak menarik manfaat apapun kecuali biaya pemeliharaan dan keamanan barang
agunan atau barang yang digadaikan. Pengaplikasian akad rahn juga dapat
dilakukan untuk memenuhi permintaan bank akan jaminan tambahan atas suatu
pemberian fasilitas pembiayaan kepada nasabah.18
Kontrak rahn dalam perbankan syariah adalah sebagai berikut:
1. Dipakai sebagai produk pelengkap, yaitu sebagai akad tambahan
(jaminan/collateral) terhadap produk lain seperti dalam pembiayaan ba’I al

16
Pamonaran Manahaar, “Implementasi Gadai Syariah (Rahn) Untuk Menunjang
Perekonomian Masyarakat di Indonesia”, Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi, Volume 10 Nomor 2,
April 2019, h. 104.
17
Antonio, Op.Cit., 215
18
Mustofa, Op.Cit., 172

12
murabahah. Bank dapat menahan barang nasabah sebagai konsekuensi
akad tersebut.
2. Sebagai produk tersendiri, yaitu di beberapa negara Islam termasuk di
Malaysia, akad rahn telah dipakai alternatif dari penggadaian
konvensional. Bedanya adalah dalam rahn adalah yang dipungut dari
nasabah adalah biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan serta penaksiran.
Perbedaan yang paling utama adalah dari sipat bunga yang berakumulasi
dan berlipat ganda, sedangkan biaya rahn hanya sekali dan ditetapkan di
muka.
Alur praktik rahn dalam Lembaga Keuangan Syariah adalah:
1. Jaminan diserahkan oleh nasabah kepada bank syariah (murtahin) dan
jaminan tersebut merupakan barang yang bergerak.
2. Akad pembiayaan dilaksanakan antara rahin (nasabah) dan murtahin (bank
syariah).
3. Apabila kontrak pembiayaan telah ditandatangani, dan agunan diterima
oleh bank syariah, maka bank syariah mencairkan pembiayaan.
4. Setelah itu, rahin membayar kembali ditambah dengan fee yang telah
disepakati, dimana fee tersebut merupakan sewa tempat dan biaya untuk
pemeliharaan agunan.

13
1. Melalui bank, nasabah dapat menggunakan barang tertentu yang
digadaikan dengan tidak mengurangi nilai dan merusak barang yang telah
digadaikan. Apabila rusak atau cacat maka nasabah harus bertanggung
jawab.
2. Apabila nasabah wanprestasi, bank dapat melakukan penjualan barang
yang digadaikan atas perintah hakim.
3. Nasabah mempunyai hak untuk menjual barang tersebut dengan seizing
bank. Apabila hasil penjualan melebihi kewajibannya, maka kewajiban
tersebut menjadi milik nasabah.
4. Bila hasil penjualan tersebut lebih kecil dari kewajiban, nasabah menutupi
kekurangannya.
Hal di atas sesuai dengan pasal 408 ayat (2) yaitu apabila pemberi gadai
tidak dapat melunasi utangnya maka harta gadai dijual paksa melalui lelang
syariah, pasal 408 ayat (3) yaitu hasil penjualan harta gadai digunakan untuk
melunasi utang biaya penyimpanan dan pemeliharaan yang belum dibayar serta
biaya penjualan, serta pasal 408 ayat (4) yaitu kelebihan hasil penjualan menjadi
milik pemberi gadai dan kekurangannya menjadi kewajiban pemberi gadai.19
Mekanisme akad yang dilakukan dalam perjanjian gadai syariah adalah
sebagai berikut:
1. Akad al-qardhul hasana, yang dilakukan apabila nasabah menggadaikan
barang miliknya untuk keperluan konsumtif. Dengan demikian, nasabah
(rahin) akan memberikan fee kepada pihak yang menerima barang gadai
(murtahin) yang telah menjaga atau merawat barang gadaiannya.
2. Akad al-mudharabah, yang dilakukan oleh nasabah yang menggadaikan
agunan atau jaminan untuk modal usaha (pembiayaan investasi dan modal
kerja). Maka dari itu, rahin memberikan bagi hasil (berdasarkan
keuntungan) kepada murtahin sesuai dengan kesepakatan yang dilakukan
kedua belah pihak hingga peminjaman modal terlunasi.
3. Akad ba’i almuqayadah, yang dilakukan oleh nasabah yang menggadaikan
jaminannya untuk menambah modal usaha berupa pembelian barang

19
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, 2008, h. 86.

14
modal. Dengan demikian murtahin akan membelikan barang yang
dimaksud oleh rahin.20

DAFTAR PUSTAKA

Antonio, Syafi’i. Muhammad. Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendekiawan


Djazuli, A. 2006. Kaidah-Kaidah Fiqih. Jakarta: Pranadamedia Group
Mahkamah Agung Republik Indonesia. 2008. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
Manahaar, Pamonaran. 2019. Implementasi Gadai Syariah (Rahn) Untuk
Menunjang Perekonomian Masyarakat di Indonesia. Jurnal Hukum Bisnis
dan Investasi. Volume 10 Nomor 2
Mustofa, Imam. 2015. Fiqih Mu’amalah Kontemporer. Yogyakarta: Kaukaba
Dipantara
Nurhayati., dan Sinaga Imran Ali. 2018. Fiqih dan Ushul Fiqh. Jakarta:
Pranadamedia Group
Sudiarti, Sri. 2018. Fiqh Muamalah Kontemporer. Medan: FEBI UIN-SU Press
Surahman, Maman., dan Adam Panji. 2017. Penarapan Prinsip Syariah Pada
Akad Rahn di Lembaga Pegadaian Syariah. Jurnal Law and Justice Vol. 2
No. 2
Syafe’i, Rachmat. 2001. Fiqih Muamalah. Bandung: CV Pustaka Setia
Syarifuddin, Amir. 2003. Garis-Garis Besar Fiqih. Jakarta: Pranadamedia Group

20
Sudiarti, Op. Cit., 225.

15

Anda mungkin juga menyukai