Oleh :
Kelompok II
Ginie Aulia Rawani (0501183291)
Reni Dwijaya (0501183265)
Salsabilla Siagian (0501181002)
MEDAN
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Administrasi pembangunan lahir dari suatu pemikiran dalam
pembangunan agar lebih efektif melakasanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan dan
program-program bagi pencapaian tujua pembangunan. Selama masa tersebut,
sudah berkembang berbagai alur pemikiran bahkan paradigma dalam administrasi
pembangunan. Dalam pembangunan suatu negeri, pembangunan nasional meliputi
berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, yang pada hakikatnya adalah hasil
kegiatan seluruh masyarakat. Oleh karena itu, dalam perkembangannya,
administrasi pembangunan terutama dalam studi kebijaksanaan, memanfaatkan
berbagai bidang ilmu yang lain, misalnya ilmu ekonomi dalam leveraging change
through the market (mendorong perubahan melalui pemanfaatan mekanisme
pasar) dan ilmu sosiologi dalam empowering the poor (pemberdayaan yang
kurang berdaya). Dengan demikian, administrasi pembangunan adalah suatu
administrasi bagi usaha pembangunan social ekonomi yang bersifat dinamis dan
inovatf dan mengupayakan perubahan berbagai aspek kehidupan masyarakat
melalui berbagai pengerahan dan alokasi umber daya untuk kegiatan
pembangunan. Secara lebih spesifik, administrasi pembangunan berfungsi
merumuskan kebijaksanaan-kebijaksanaan dan program-program pembangunan
(ke arah modernisasi, pembangunan bangsa atau pembangunan social ekonomi),
dan melaksanakannya secara efektif dengan pendekatan yang multi disiplin.
Administrasi pembangunan berkembang karena adanya kebutuhan di
negara-negara yang sedang membangun untuk mengembangkan lembaga-lembaga
dan pranata-pranata sosial, politik dan ekonominya, agar pembangunan dapat
berhasil. Oleh karena itu, pada dasarnya administrasi pembangunan adalah bidang
studi yang mempelajari sistem administrasi negara di negara yang sedang
membangun serta upaya untuk meningkatkan kemampuannya. Dari sudut praktik,
administrasi pembangunan merangkum dua kegiatan besar dalam satu pengertian,
yakni administrasi dan pembangunan.
2
Pembangunan adalah pusat politik yang dapat memainkan peran kunci
dalam pembangunan nasional. Administrasi publik dianggap penting dalam proses
mekanisme pembangunan ini. Pemerintah menggunakan kewenangan
administratif untuk mencapai tugas pembangunan nasional dengan merumuskan,
mengatur, dan melaksanakan program aksi skala besar. Untuk mengenai kegiatan
pemerintah yang kompleks ini, instrumen administrasi pembangunan digunakan.
B. Rumusan Masalah
Dalam mengkaji diskusi di atas, pemakalah merumuskan beberapa
rumusan permasalahan, antara lain:
1. Bagaimana penulisan laporan penelitian?
2. Bagaimana bentuk laporan penelitian?
3. Bagaimana sistematika laporan penelitian?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin dicapai dari penyusunan dan pemaparan makalah ini
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui bagaimana penulisan laporan penelitian.
2. Mengetahui bentuk laporan penelitian.
3. Mengetahui bagaimana sistematika laporan penelitian.
RAHN
A. Pengertian Rahn
Secara etimologi, Rahn berarti tetap atau lama (as-subut wa ad-dawam)
atau pengekangan dan keharusan (al-habs wa al-luzum). Sedangkan menurut
istilah adalah penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat
dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut.1
Menurut Al-Bahuti dan Ibnu Qudamah, Rahn secara bahasa berarti tetap
dan abadi, dikatakan m’un rahinun artinya air yang menggenang, na’matun
rahinatun artinya yang abadi. Berdasarkan firman Allah adalah “Tiap-tiap diri
bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”, maksudnya tertahan.
1
Nurhayati dan Ali Imran Sinaga, Fiqih dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Pranadamedia Group,
2018), h. 43.
3
Rahn yang dimaksudkan lebih condong mengikuti arti yang pertama, yaitu karena
tertahan berarti tetap tidak berpindah sedikitpun.2
Sedangkan Al-Qurtubi mendefinisikan Rahn sebagai barang yang ditahab
oleh pihak yang member hutang sebagai jaminan dari orang yang berhutang,
sampai pihak penghutang melunasi hutang tersebut.3
Menurut Imam Abu Zakariya al-Anshari dalam kitab Fathul Wahhab
mendefinisikan rahn yaitu menjadikan benda bersifat harta sebagai kepercayaan
dari suatu utang yang dapat dibayarkan dari (harga) benda itu bila utang tidak
dapat di bayar. Sedangkan menurut Ahmad Baraja, rahn adalah jaminan buka
produk dan semata untuk kepentingan social, bukan kepentingan bisnis, jual beli
mitra.4
Pasal 20 ayat 14 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)
mendefinisikan bahwa rahn/gadai adalah penguasaan barang milik peminjam oleh
pemberi pinjaman sebagai jaminan.
Dari berbagai definisi yang telah dipaparkan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa Rahn adalah suatu jaminan yang diserahkan oleh pihak yang
berhutang kepada pihak yang memberi hutang. Dan apabila pihak yang telah
berhutang tidak mampu membayar hutangnya sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan atau sudah jatuh tempo, maka pihak yang memberi hutang mempunyai
kuasa penuh untuk menjual barang jaminan tersebut. Jika barang jaminan yang
telah di jual melebihi jumlah hutang, maka sisanya harus dikembalikan kepada
penghutang, namun jika kurang maka pihak penghutang harus menambahinya.
2
Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah Kontemporer, (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2015),
h.163.
3
Ibid.
4
Sri Sudiarti, Fiqh Muamalah Kontemporer, (Medan: FEBI UIN-SU Press, 2018), h.219.
4
“Hukum asal menetapkan syarat dalam mu’âmalah adalah halal dan
diperbolehkan
kecuali ada dalil (yang melarangnya).”5
Sedangkan dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari
Aisyah binti Abu Bakar yaitu:
5
A Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqih, (Jakarta: Pranadamedia Group, 2006), h. 130.
6
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Pranadamedia Group, 2003), h. 228.
5
“Sesungguhnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan dari
seorang yahudi dengan cara berutang, dan beliau menggadaikan baju
besinya.” (Hr. Al-Bukhari no. 2513 dan Muslim no. 1603)”7
7
Sudiarti, Op. Cit., 220.
8
Mustofa, Op.Cit., 166.
6
1. Hutang merupakan hak yang harus di bayar.
2. Jumlah hutang dapat tertutupi dengan nilai barang yang digadaikan atau
jumlah hutang tidak boleh melebihi dari nilai barang yang dijadikan
sebagai jaminan.
3. Hak hutang harus jelas.
Sedangkan pandangan oleh mazhab Syafi’iyah dan Hanbaliyah, syarat
yang terkait pada hutang adalah sebagai berikut:
1. Hutang merupakan hutang yang tetap dan wajib dibayar oleh Rahin.
2. Hutang harus mengikat kedua belah pihak.
3. Jumlah, ukuran dan sifat hutang harus jelas di antara para pihak yang
berakad.
Syarat yang berkaitan dengan agunan atau barang yang menjadi jaminan
hutang adalah sama dengan syarat barang yang menjadi obyek jual beli pada
umumnya transaksi dalam jual beli. Hal tersebut dikarenakan bahwa barang yang
dijadikan jaminan dimungkinkan akan di jual oleh penerima jaminan (murtahin)
ketika orang yang menggadaikan tidak mempu membayar hutangnya. Syarat-
syarat tersebut adalah:9
1. Barang yang digadaikan benar-benar ada dan nyata. Jika barang tersebut
belum atau tidak ada maka transaksi rahn tidak sah, begitu juga barang
yang belum pasti adanya, seperti binatang yang masih di dalam kandungan
induknya.
2. Obyek transaksi merupakan barang yang bernilai, halal, dapat dimiliki,
dapat di simpandan dimanfaatkan sebagaimana mestinya serta tidak
menimbulkan kerusakan.
3. Barang yang dijadikan objek transaksi merupakan hak milik secara sah dan
kepemilikan sempurna. Berdasarkan syarat ini, maka tidak sah
menggadaikan pasir ditengah padang atau air laut yang masih dilaut atau
menggadaikan panas matahari, karena tidak adanya kepemilikan yang
sempurna.
9
Maman Surahman dan Panji Adam, “Penarapan Prinsip Syariah Pada Akad Rahn di
Lembaga Pegadaian Syariah”. Jurnal Law and Justice Vol. 2 No. 2, Oktober 2017, h. 141.
7
4. Objek harus dapat diserahkan saat transaksi. Berdasarkan syarat ini maka
tidak sah menggadaikan binatang liar, ikan dilautan atau burung yang ada
di awing, karena tidak dapat diserahkan kepada pembeli.
5. Selain syarat diatas, ada satu syarat lagi yang mutlak harus terpenuhi, yaitu
barang yang digadaikan harus tahan lama dan tidak mudah rusak, seperti
emas, perak, logam mulia, kendaraan dan seterusnya. Berdasarkan syarat
ini, maka tidak sah menjadikan maknan yang mudah busuk, seperti kue
basah sebagai jaminan utang, karena tidak bertahan lama.
Menurut ulama Hanafiyah, syarat barang yang digadaikan harus barang
yang berharga, jelas, dan diserahterimakan, dapat disimpan tahan lama, terpisah
dari barang lainnya, baik benda bergerak maupun tidak. Secara lebih rinci, syarat-
syarat ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Barang yang digadaikan harus dapat diperjualbelikan; harus pada waktu
akad dan dapat diserahterimakan.
2. Barang yang digadaikan harus berupa harta (kekayaan) yang bernilai.
3. Barang yang digadaikan harus halal digunakan atau dimanfaatkan,
sekiranya barang tersebut dapat untuk melunasi utang
4. Barang harus jelas, spesifikasinya, ukuran, jenis jumlah, kualitas dan
seterusnya.
5. Barang harus milik pihak yang menggadaikan secara sempurna.
6. Barang yang digadaikan harus menyatu, tidak terpisah-pisah.
7. Barang harus tidak ditempeli sesuatu yang tidak ikut digadaikan.
8. Barang yang digadaikan harus utuh; tidaksah menggadaikan mobil hanya
seperempat atau separuh.
Rahn dikatakan sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat sebagaimana
dijelaskan diatas. Apabila salah satu rukun atau syarat tidak terpenuhi, maka rahn
tidak sah.
8
Bagi rahin (penggadai) mayoritas ulama membolehkan penggadai
memanfaatkan barang yang digadaikannya selama mendapat izin dari murtahin.
Selain itu, penggadai harus menjamin barang tersebut selamat dan utuh.
Sedangkan pemanfaatan barang dari murtahin, mayoritas ulama selain mazhab
Hambali memberikan pendapat bahwa murtahin tidak boleh menggunakan barang
rahn.10
10
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendekiawan, h. 217.
11
Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), h. 177
9
F. Penambahan Hutang
Jumhur ulama membolehkan rahin untuk menambah borg, misalnya rahin
meminjam kan uang Rp. 100.000.00 dengan menggadaikan baju, kemudian ia
menambahkan satu lagi untuk gadai.
Demikian, diantara ulama terjadi perbedaan pendapat apabila rahin
meminta tambahan uang, seperti rahin meminjam uang Rp. 100.000,00 dengan
menggadaikan sepeda, kemudian rahin meminjam lagi Rp. 100.000,00 dengan
menjadikan sepeda sebagai gadai diatas utang Rp. 200.000,00
Mengenai hal tersebut pendapat para ulama fiqih ada dua, yaitu:
1. Ulama Hanafiyah, Muhammad, Hanabila, dan Imam Syafi'i menyatakan
tidak sah menambah utang sebab dapat menyebabkan rahn kedua, padahal
borg berkaitan dengan rahn pertama secara sempurna.
2. Imam Malik, Abu Yusuf, Abu Turs, Al-Majani, dan Ibn Al-Mundzir
membolehkan tambahan tersebut sebab rahn kedua membatalkan rahn
yang pertama. Sama dengan menggadaikan satu borg untuk dua utang.12
12
Syafe’i, Op.Cit., 178.
13
Antonio, Op.Cit., 217
10
7. Berdasarkan pasal 381, dibatalkan bila harta gadai belum dikuasai oleh
penerima gadai.14
8. Berdasarkan pasal 384, pemberi gadai dan penerima gadai membatalkan
akad gadai berdasarkan kesepakatan.
H. Manfaat Rahn
Bank dapat memperoleh manfaat dari prinsip rahn yaitu sebagai berikut:
1. Mencegah nasabah untuk tidak lalai dan bermain-main dengan fasilitas
pembiayaan yang diberikan oleh pihak bank.
2. Memberikan keamanan bagi segenap penabung dan pemegang deposito
bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam
ingkar janji karena ada suatu asset atau barang yang dipegang oleh bank.
3. Jika rahn diterapkan dalam mekanisme pegadaian, maka sudah tentu
barang akan membantu saudara kita yang kesulitan dana terutama di
daerah-daerah.
Manfaat yang langsung didapatkan oleh pihak bank adalah biaya-biaya
kongkrit yang harus di bayar oleh nasabah untuk pemeliharaan dan keamanan
asset tersebut. Jika penahanan asset berdasarkan fidusia (penahanan barang
bergerak sebagai jaminan pembayaran), maka nasabah juga harus membayar
biaya asuransi yang besarnya sesuai dengan yang berlaku untuk umum.15
Sedangkan keuntungan penggunaan rahn bagi nasabah itu sendiri adalah
sebagai berikut:
1. Waktu yang relatif singkat untuk memperoleh uang pinjaman, yaitu pada
hari itu peminjam datang ke pengadaian pada hari itu juga uang yang
dibutuhkan cair, ini karena pengadaian prosedurnya yang sederhana.
2. Bila dilihat dari persyaratanya pun sangat sederhana, sehingga masyarakat
untuk menunjang perekonomian.
3. Apabila dilihat dari pengadaian konvesional tidak ada kewajiban
masyarakat memberi tahu kepada pihak pengadaiannya uang yang diberian
14
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, 2008, h. 81.
15
Antonio, Op.Cit., 218
11
untuk keperluan apa, tetapi dalam pengadaian syariah pengunaan dana
yang akan digunakan lebih baik di beritahukan agar pihak pengadaian
mengetahui jenis akad apa yang lebih tepat untuk masyarakat tesebut.16
16
Pamonaran Manahaar, “Implementasi Gadai Syariah (Rahn) Untuk Menunjang
Perekonomian Masyarakat di Indonesia”, Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi, Volume 10 Nomor 2,
April 2019, h. 104.
17
Antonio, Op.Cit., 215
18
Mustofa, Op.Cit., 172
12
murabahah. Bank dapat menahan barang nasabah sebagai konsekuensi
akad tersebut.
2. Sebagai produk tersendiri, yaitu di beberapa negara Islam termasuk di
Malaysia, akad rahn telah dipakai alternatif dari penggadaian
konvensional. Bedanya adalah dalam rahn adalah yang dipungut dari
nasabah adalah biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan serta penaksiran.
Perbedaan yang paling utama adalah dari sipat bunga yang berakumulasi
dan berlipat ganda, sedangkan biaya rahn hanya sekali dan ditetapkan di
muka.
Alur praktik rahn dalam Lembaga Keuangan Syariah adalah:
1. Jaminan diserahkan oleh nasabah kepada bank syariah (murtahin) dan
jaminan tersebut merupakan barang yang bergerak.
2. Akad pembiayaan dilaksanakan antara rahin (nasabah) dan murtahin (bank
syariah).
3. Apabila kontrak pembiayaan telah ditandatangani, dan agunan diterima
oleh bank syariah, maka bank syariah mencairkan pembiayaan.
4. Setelah itu, rahin membayar kembali ditambah dengan fee yang telah
disepakati, dimana fee tersebut merupakan sewa tempat dan biaya untuk
pemeliharaan agunan.
13
1. Melalui bank, nasabah dapat menggunakan barang tertentu yang
digadaikan dengan tidak mengurangi nilai dan merusak barang yang telah
digadaikan. Apabila rusak atau cacat maka nasabah harus bertanggung
jawab.
2. Apabila nasabah wanprestasi, bank dapat melakukan penjualan barang
yang digadaikan atas perintah hakim.
3. Nasabah mempunyai hak untuk menjual barang tersebut dengan seizing
bank. Apabila hasil penjualan melebihi kewajibannya, maka kewajiban
tersebut menjadi milik nasabah.
4. Bila hasil penjualan tersebut lebih kecil dari kewajiban, nasabah menutupi
kekurangannya.
Hal di atas sesuai dengan pasal 408 ayat (2) yaitu apabila pemberi gadai
tidak dapat melunasi utangnya maka harta gadai dijual paksa melalui lelang
syariah, pasal 408 ayat (3) yaitu hasil penjualan harta gadai digunakan untuk
melunasi utang biaya penyimpanan dan pemeliharaan yang belum dibayar serta
biaya penjualan, serta pasal 408 ayat (4) yaitu kelebihan hasil penjualan menjadi
milik pemberi gadai dan kekurangannya menjadi kewajiban pemberi gadai.19
Mekanisme akad yang dilakukan dalam perjanjian gadai syariah adalah
sebagai berikut:
1. Akad al-qardhul hasana, yang dilakukan apabila nasabah menggadaikan
barang miliknya untuk keperluan konsumtif. Dengan demikian, nasabah
(rahin) akan memberikan fee kepada pihak yang menerima barang gadai
(murtahin) yang telah menjaga atau merawat barang gadaiannya.
2. Akad al-mudharabah, yang dilakukan oleh nasabah yang menggadaikan
agunan atau jaminan untuk modal usaha (pembiayaan investasi dan modal
kerja). Maka dari itu, rahin memberikan bagi hasil (berdasarkan
keuntungan) kepada murtahin sesuai dengan kesepakatan yang dilakukan
kedua belah pihak hingga peminjaman modal terlunasi.
3. Akad ba’i almuqayadah, yang dilakukan oleh nasabah yang menggadaikan
jaminannya untuk menambah modal usaha berupa pembelian barang
19
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, 2008, h. 86.
14
modal. Dengan demikian murtahin akan membelikan barang yang
dimaksud oleh rahin.20
DAFTAR PUSTAKA
20
Sudiarti, Op. Cit., 225.
15