Anda di halaman 1dari 6

Nama : Salsabilla Siagian

Kelas : EKI-IVC
Nim : 0501181002

TUGAS IKLH DAN KURVA KUZNETS

A. INDEKS KUALITAS LINGKUNGAN HIDUP

Selama ini untuk mengukur kualitas lingkungan umumnya dilakukan secara parsial
berdasarkan media, yaitu air, udara, dan lahan sehingga sulit untuk menilai apakah kondisi
lingkungan hidup di suatu wilayah bertambah baik atau sebaliknya. Salah satu cara untuk
mereduksi banyak data dan informasi adalah dengan menggunakan indeks.
Indeks kualitas lingkungan dapat dimanfaatkan untuk mengukur keberhasilan
program-program pengelolaan lingkungan. Selain sebagai sarana untuk mengevaluasi
efektifitas program-program pengelolaan lingkungan, indeks kualitas lingkungan
mempunyai peranan dalam hal:
1. Membantu perumusan kebijakan
2. Membantu dalam mendisain program lingkungan
3. Mempermudah komunikasi dengan publik sehubungan dengan kondisi lingkungan

Indikator dan Parameter Indeks Kualitas Lingkungan

Indikator Kualitas
No. Lingkungan Parameter
Proporsi jumlah sampel air dengan nilai Indeks
1. Kualitas air sungai Pencemaran
Air (IPA) > 1 terhadap total jumlah sampel
2. Kualitas udara Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU)
Proporsi luas hutan primer dan sekunder terhadap
3. Tutupan hutan luas kawasan hutan.

Perhitungan IKLH untuk setiap provinsi dilakukan dengan menggunakan formula sebagai
berikut:

IKLH Provinsi = IPA+ISPU+ITH/3


dimana:
IKLH_Provinsi = indeks kualitas lingkungan tingkat provinsi
IPA = indeks pencemaran air sungai
ISPU = indeks standar pencemar udara
ITH = indeks tutupan hutan
Ketiga indikator tersebut dianggap mempunyai tingkat kepentingan yang sama untuk
setiap provinsi, sehingga bobot untuk setiap indikator ditetapkan masing-masing 1/3. Setelah
didapatkan nilai indeks provinsi kemudian dihitung indeks nasional dengan menggunakan
formula sebagai berikut:

28
populasi provinsi i
IKLH = ∑ IKL H Provinsi i X
i=1 populasi indonesia

Perhitungan nilai indeks kualitas air dan udara mengacu pada baku mutu atau standar yang
ditetapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup (baku mutu air dan baku mutu udara ambien).
Sedangkan untuk indeks tutupan hutan menggunakan standar luas kawasan hutan di setiap
provinsi yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan. Karena luas kawasan hutan yang
ditetapkan baru ada untuk 28 provinsi, maka bagi provinsi-provinsi pemekaran nilai indeks
setiap indikatornya digabungkan dengan provinsi induk.

Indikator dan Parameter

1. Kualitas Air Sungai


Air, terutama air sungai mempunyai peranan yang sangat strategis dalam kehidupan
manusia dan makhluk hidup lainnya. Data dari BPS menunjukkan bahwa pada tahun 2007
sekitar 3 persen rumah tangga di Indonesia menjadikan sungai sebagai sumber air minum.
Selain itu air sungai juga menjadi sumber air baku untuk berbagai kebutuhan lainnya, seperti
industri, pertanian dan pembangkit tenaga listrik Di lain pihak sungai juga dijadikan tempat
pembuangan berbagai macam limbah sehingga tercemar dan kualitasnya semakin menurun.
2. Kualitas Udara
Kualitas udara, terutama di kota-kota besar dan metropolitan, sangat dipengaruhi oleh
kegiatan transportasi. Pada tahun 2008 kegiatan transportasi di Indonesia diperkirakan
mengemisikan CO2, CH4, dan N2O masing-masing sebesar 83 juta ton, 24 ribu ton, dan 3,9
ribu ton.
Perhitungan indeks untuk indikator kualitas udara dilakukan berdasarkan Keputusan
Kepala Bapedal No. 107 Tahun 1997 tentang Pedoman Perhitungan dan Pelaporan serta
Informasi Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU).
Nilai ISPU mempunyai rentang dari 0 (baik) sampai dengan 500 (berbahaya). Menurut
pedoman tersebut di atas, parameter-parameter dasar untuk ISPU adalah partikulat (PM10),
sulfur dioksida (SO2), karbon monoksida (CO), ozon (O3), dan nitrogen dioksida (NO2).
Setiap nilai hasil pengukuran parameter-parameter tersebut dikonversikan menjadi nilai
ISPU dengan berpedoman pada Tabel sebagai berikut.
Batas Indeks Pencemar Udara
SO2 (24
PM10 (24 jam) jam) CO (8 jam) O3 (1 jam) NO2 (1 jam)
ISPU
(μg/m3) (μg/m3) (μg/m3) (μg/m3) (μg/m3)
0 0 0 0 0 0
50 50 80 5 120 282
100 150 365 10 235 565
200 350 800 17 400 1130
300 420 1600 34 800 2260
400 500 2100 46 1000 3000
500 600 2620 57,5 1200 3750

Formula untuk menghitung indeks dari setiap parameter adalah sebagai berikut:

I = Ia-Ib/Xa-Xb (Xx-Xb)+Ib
dimana:
I = ISPU terhitung
Ia = ISPU batas atas
Ib = ISPU batas bawah
Xa = Ambien batas atas
Xb = Ambien batas bawah
Xx = Kadar ambien nyata hasil pengukuran

3. Tutupan Hutan
Hutan merupakan salah satu komponen yang penting dalam ekosistem. Selain
berfungsi sebagai penjaga tata air, hutan juga mempunyai fungsi mencegah terjadinya erosi
tanah, mengatur iklim, dan tempat tumbuhnya berbagai plasma nutfah yang sangat berharga
bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Untuk menghitung indeks tutupan hutan yang pertama kali dilakukan adalah
menjumlahkan luas hutan primer dan hutan sekunder untuk setiap provinsi. Nilai indeks
didapatkan dengan formula
ITH=(LPH+LHS)/LKH

dimana:
ITH = indeks tutupan hutan
LHP = luas hutan primer
LHS = luas hutan sekunder
LKH = luas kawasan hutan berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan

Hasil perhitungan IKLH menurut provinsi menunjukkan bahwa pada tahun 2009 ada
18 provinsi yang mempunyai nilai indeks lebih besar dari nilai indeks nasional dan 10
provinsi mempunyai nilai indeks lebih kecil dari nilai indeks nasional.
Tabel Indeks Kualitas Lingkungan Hidup menurut Provinsi
Kualitas Kualitas Tutupan
Rank Provinsi IKLH
Air Udara Hutan
1 Sulawesi Utara dan Gorontalo 83,06 95,84 85,74 88,21
2 Sumatera Barat 78,57 92,33 90,23 87,04
3 Bali 61,90 94,61 100,00 85,50
4 Bengkulu 51,19 96,16 91,38 79,58
5 Maluku dan Maluku Utara 66,81 95,75 73,84 78,80
6 Papua dan Papua Barat 42,11 98,72 85,07 75,30
7 Jambi 64,26 96,54 64,32 75,04
8 Nusa Tenggara Barat 75,76 97,51 47,80 73,69
9 Lampung 71,11 83,08 66,73 73,64
10 Aceh 24,44 97,63 95,34 72,47
11 Kalimantan Barat 67,77 93,45 54,54 71,92
12 Sumatera Selatan 83,23 89,01 35,66 69,30
13 Kalimantan Timur 24,68 93,22 87,99 68,63
14 Sulawesi Tengah 13,64 97,49 94,41 68,51
15 Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat 36,01 96,23 70,61 67,62
16 Nusa Tenggara Timur 29,63 91,32 78,87 66,61
17 Sumatera Utara 37,43 96,83 53,18 62,48
18 Sulawesi Tenggara 9,38 97,10 75,10 60,53
19 Jawa Timur 30,86 96,69 49,47 59,01
20 Jawa Tengah 40,67 96,28 29,26 55,40
21 DI. Yogyakarta 26,57 95,68 38,30 53,52
22 Bangka Belitung 50,00 97,07 9,39 52,15
23 Riau dan Kepulauan Riau 40,27 85,68 29,01 51,65
24 Banten 24,00 94,95 33,64 50,86
25 Jawa Barat 15,33 95,06 38,69 49,69
26 Kalimantan Selatan 8,40 97,11 39,24 48,25
27 Kalimantan Tengah 2,91 93,71 40,48 45,70
28 DKI Jakarta 28,95 96,01 0,24 41,73

Indonesia 59,79
Perhitungan IKLH untuk wilayah kepulauan menunjukkan bahwa Pulau Jawa berada
pada posisi terendah dengan nilai indeks 54,41. Sedangkan posisi tertinggi ditempati oleh
Pulau Maluku - Papua dengan nilai indeks 79,56.

B. KURVA KUZNETS
Dalam bidang ekonomi, kurva Kuznets menggambarkan hipotesis bahwa ketika
ekonomi berkembang, kekuatan pasar pertama-tama meningkat dan kemudian
mengurangi ketidaksetaraan ekonomi . Hipotesis pertama kali diajukan oleh ekonom Simon
Kuznets pada 1950-an dan 1960-an. 
Salah satu penjelasan tentang perkembangan seperti itu menunjukkan bahwa di
awal pembangunan , peluang investasi bagi mereka yang memiliki uang berlipat ganda,
sementara gelombang masuknya tenaga kerja pedesaan murah ke kota menahan
upah. Sedangkan dalam ekonomi yang matang, akrual modal manusia (perkiraan biaya yang
telah dikeluarkan tetapi belum dibayarkan) menggantikan akrual modal fisik sebagai sumber
utama pertumbuhan; dan ketidaksetaraan memperlambat pertumbuhan dengan menurunkan
tingkat pendidikan karena orang miskin, kurang beruntung kekurangan dana untuk
pendidikan mereka di pasar kredit yang tidak sempurna.
Kurva Kuznets menyiratkan bahwa ketika suatu bangsa mengalami industrialisasi -
dan terutama mekanisasi pertanian - pusat ekonomi bangsa akan bergeser ke kota-
kota. Karena migrasi internal oleh petani yang mencari pekerjaan dengan upah lebih baik di
pusat-pusat perkotaan menyebabkan kesenjangan ketimpangan desa-kota yang signifikan
(pemilik perusahaan akan mendapat untung, sementara pekerja dari industri-industri itu akan
melihat pendapatan mereka naik pada tingkat yang jauh lebih lambat dan pekerja pertanian
akan mungkin melihat pendapatan mereka menurun), populasi pedesaan menurun dengan
meningkatnya populasi perkotaan. Ketidaksetaraan diperkirakan akan menurun ketika tingkat
pendapatan rata-rata tertentu tercapai dan proses industrialisasi - demokratisasi dan
kebangkitan negara kesejahteraan - memungkinkan manfaat dari pertumbuhan yang cepat,
dan meningkatkan pendapatan per kapita. Kuznets percaya bahwa ketidaksetaraan akan
mengikuti bentuk "U" terbalik ketika naik dan kemudian jatuh lagi dengan peningkatan
pendapatan per kapita.
Diagram kurva Kuznets menunjukkan kurva U terbalik, meskipun variabel di
sepanjang sumbu sering dicampur dan dicocokkan, dengan ketidaksetaraan atau koefisien
Gini pada sumbu Y dan perkembangan ekonomi, waktu atau pendapatan per kapita pada
sumbu X. 
Kurva Kuznets lingkungan (EKC) adalah hubungan yang dihipotesiskan antara
kualitas lingkungan dan pembangunan ekonomi: berbagai indikator degradasi lingkungan
cenderung menjadi lebih buruk karena pertumbuhan ekonomi modern terjadi hingga
pendapatan rata-rata mencapai titik tertentu selama proses pembangunan.  EKC
menyarankan, secara ringkas, bahwa "solusi untuk polusi adalah pertumbuhan ekonomi."
Meskipun masih terus diperdebatkan, ada banyak bukti yang mendukung penerapan
kurva Kuznets lingkungan untuk berbagai indikator kesehatan lingkungan, seperti air , polusi
udara dan jejak ekologis yang menunjukkan kurva berbentuk U terbalik sebagai pendapatan
per kapita dan / atau kenaikan PDB .  Telah diperdebatkan bahwa tren ini terjadi pada tingkat
banyak polutan lingkungan, seperti sulfur dioksida, nitrogen
oksida, timbal , DDT , klorofluorokarbon , limbah , dan bahan kimia lainnya yang
sebelumnya dilepaskan langsung ke udara atau air. Misalnya, antara tahun 1970 dan 2006,
PDB yang disesuaikan dengan inflasi Amerika Serikat tumbuh sebesar 195%, jumlah mobil
dan truk di negara itu lebih dari dua kali lipat, dan jumlah total jarak tempuh yang ditempuh
meningkat sebesar 178%. Namun, selama periode yang sama perubahan regulasi dan inovasi
teknologi tertentu menyebabkan penurunan emisi karbon monoksida tahunan dari 197 juta
ton menjadi 89 juta, emisi nitrogen oksida dari 27 juta ton menjadi 19 juta, emisi sulfur
dioksida dari 31 juta ton menjadi 15 juta , partikulat emisi hingga 80%, dan emisi timbal
lebih dari 98%. 
Deforestasi dapat mengikuti kurva Kuznets (lih. Kurva transisi hutan ). Di antara
negara-negara dengan PDB per kapita setidaknya $ 4.600, deforestasi bersih telah tidak ada
lagi.  Namun telah dikatakan bahwa negara-negara kaya mampu mempertahankan hutan
bersama dengan konsumsi tinggi dengan 'mengekspor' deforestasi.

Anda mungkin juga menyukai