Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

MAKSIMALISASI LABA: PERSPEKTIF


SEKULER VS ISLAM
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ekonomi Mikro Islam II
Jurusan Ekonomi Islam Semester IV

DOSEN PENGAMPU : MUHAMMAD SYAHBUDI, SEI, M.EI

Disusun Oleh :
Kelompok VI
Ahmad Prayendi Dasopang (0501182131)
Ginie Aulia Rawani (0501182162)
Raudhatul Hasanah Imnur (0501183251)
Salsabilla Siagian (0501181002)

JURUSAN EKONOMI ISLAM


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
PERIODE 2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa
atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusunan makalah
”Maksimalisasi Laba: Perspektif Sekuler Vs Islam” dapat diselesaikan dengan
baik. Tidak lupa pula kami ucapkan terimakasih kepada pihak–pihak yang telah
membantu dan mendukung dalam penyusunan makalah ini.

Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini yaitu untuk mengenalkan dan
membahas maksimalisasi laba: perspektif sekuler vs Islam. Dengan makalah ini
diharapkan baik penulis sendiri maupun pembaca dapat memiliki pengetahuan
yang lebih luas mengenai teori permintaan dalam Islam.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak


terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun,
sangat kami harapkan. Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi para
pembaca umumnya dan kami sendiri khususnya.

Medan, 29 Maret 2020

Kelompok VI

i
DFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................i

DAFTAR ISI..............................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang..............................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................2
C. Tujuan Penulisan...........................................................................2

BAB II POKOK PEMBAHASAN

A. Laba................................................................................................3
B. Maksimalisasi Laba dalam Pandangan Sekuler.............................4
C. Penentuan Posisi Laba Secara Islami.............................................7
D. Maksimalisasi Laba dan Efek Sosialnya......................................10

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan..................................................................................14
B. Saran.............................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam dunia bisnis saat ini, laba merupakan sesuatu hal yang vital dalam
perusahaan, karena jika berada pada kondisi merugi pada satu periode saja akan
berdampak buruk pada periode selanjutnya. Perusahaan pun harus menutupi berbagai
biaya yang berpotensi menimbulkan kerugian agar dapat bertahan serta kembali
memperoleh keuntungan. Sedemikian pentingnya laba dalam perusahaan keberadaanya
seperti oksigen bagi makluk hidup, karena jika tidak menghirup udara atau oksigen
maka dapat mengakibatkan kematian. Demikian pula halnya pada bisnis modern saat
ini. Tujuan perusahaan tidak semata-mata mencari laba lagi karena laba merupakan
suatu keharusan yang tidak bisa ditawar. Ada atau tidaknya laba, esensinya harus dapat
dimiliki oleh perusahaan, bahkan dengan berbagai strategi bagaimana perusahaan dapat
memaksimalkannya.

Pandangan terhadap masalah laba dari sistem ekonomi konvensional dengan


sistem ekonomi Islam tergantung pada pendektan yang digunakan. Teoti ekonomi
sekuler, dalam hal ini biasanya menggunakan pendekatan impersonal dalam kaitan
dengan masalah distribusi. Pendekatan ini terutama berlandasan pada kekuatan-
kekuatan pasar, sebagaimana yang diatur oleh kompetisi untuk menjadi salah satu
pembagian “adil” produk bagi faktor-faktor produksi. Bagian pekerja biasanya masuk
didalam biaya-biaya produksi, sehingga dapat mengurangi bagian pekerja. Di dalam
Islam, penentuan posisi laba perilaku rasional dalam maksimisasi laba pada dasarnya
dikondisikan oleh 3 faktor, yaitu: (1) pandangan Islam tentang bisnis; (2) perlindungan
kepada konsumen; dan (3) bagi hasil diantara faktor yang mendukung produksi.1

Sebuah perusahaan dalam menjalankan bisnisnya pasti bertujuan untuk


mendapatkan suatu keuntungan atau laba. Keuntungan yang diperoleh dengan menjual
barang dengan harga lebih tinggi daripada pembeliannya, dan sebagainya. Namun,
banyak sekali penyimpangan yang dilakukan oelh perusahaan dalam mendapatkan laba.
Terkadang, perusahaan menjual barang dengan kualitas yang buruk dengan harga yang

1
Muhammad, Maksimalisasi Laba Usaha : Perspektif Konvensioanl dan Islam

1
2
tiinggi. Dimana jika kualitas suatu barang tersebut buruk, maka biaya produkisnya akan
rendah. Dan jika dijual dengan harga yang tinggi, maka perusahaan tersebut akan
mendapat keuntungan yang sangat besar.3

Salah satu tujuan aktivis bisnis adalah mencari laba. Laba dapat menjadi
pendorong bagi pengusaha melakukan usaha. Namun terdapat perbedaan pandandan
antar sistem ekonomi konvensional dengan sistem ekonomi Islam dalam memandang
laba. Pandangan terhadap masalah laba dari kedua sistem ekonomi ini tergantung pada
pndekatan yang digunakan. Untuk mengetahui perbedaan pandangan antara sistem
ekonomi sekuler dengan sistem ekonomi Islam tentang maksimalisasi laba maka pokok
pembahasan didalam makalah ini mengenai maksimalisasi laba dalam pandangan
sekuler, posisi laba secara islami, serta maksimalisasi laba dan efek sosialnya.4

B. Rumusan Masalah

Dari permasalahan-permasalahan yang telah dipaparkan di latar belakang


penulisan makalah ini, maka permasalahan yang akan di bahas dalam penulisan
makalah ini adalah :
1. Apakah yang dimaksud dengan Laba ?
2. Bagaimana Maksimalisasi Laba dalam Pandangan Sekuler ?
3. Bagaimana Penentuan Posisi Laba Secara Islami ?
4. Bagaimana Maksimaliasi Laba dan Efek Sosialnya ?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:


1. Untuk mengetahui pengetian Laba
2. Untuk mengetahui Maksimalisasi Laba dalam Pandangan Sekuler
3. Untuk mengetahui Penentuan Posisi Laba Secara Islami
4. Untuk mengetahui Maksimaliasi Laba dan Efek Sosialnya

3
Rizka Munadiyah, Laba Ekonomi Islam vs Ekonomi Sekuler, di akses dari
http://www.kompasiana.com/munadiyaah/5c03db95c112fe1da52dc1d5/laba-islami-vs-sekuler, pada 29
Maret 2020.
4
Rokhmat Subagiyo, Maksimalisasi Laba, 2016, h.106.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Laba

Menurut Soemarso laba adalah selisih lebih pendapatan atas beban sehubungan
dengan kegiatan usaha. Apabila beban lebih besar dari pendapatan, selisihnya disebut
rugi. Laba atau rugi merupakan hasil perhitungan secara periodik (berkala). Laba atau
rugi ini belum merupakan laba atau rugi yang sebenarnya. Laba atau rugi yang
sebenarnya baru dapat diketahui apabila perusahaan telah menghentikan kegiatannya
dan dilikuidasikan.

Walter T. Harrison jr mendefinisikan laba adalah kenaikan manfaat ekonomi


selama suatu periode akuntansi (misalnya, kenaikan aset atau penurunan kewajiban)
yang menghasilkan peningkatan ekuitas, selain yang menyangkut transaksi dengan
pemegang saham.

Kemudian Kuswandimendefinisikan laba (rugi) sebagai “pendapatan dikurangi


seluruh beban/biaya yang telah dikeluarkan.

Dalam bahasa arab, laba berarti pertumbuhan dalam dagang. Jual beli adalah
ribh dan perdagangan adalah rabihah yaitu laba atau hasil dagang. 5 Seseorang yang
berdagang akan mendapatkan laba dari hasil perdagangannya tersebut.

Menurut Arfan menyatakan bahwa terdapat komponenkomponen yang


mempengaruhi laba, yaitu:

1. Pendapatan, merupakan kenaikan dalam modal dihasilkan dari penyerahan atas


barang-barang atau penyewaan dari jasa dengan bisnis. Dalam jumlah,
pendapatan adalah sebanding terhadap kas dan piutang yang di peroleh dalam
kompensasi untuk barang-barang yang diserahkan atau jasa yang di sewa.
2. Biaya-Biaya, merupakan penurunan dalam modal yang disebabkan oleh operasi
produksi pendapatan bisnis. Dalam jumlah, biaya adalah setara terhadap nilai

5
Syofian Syafri Harahap, Akutansi Islam, (Jakarta:Bumi Aksara,2004) , h. 144

3
dan barang-barang dan jasa yang digunakan atau yang di konsumsi dalam
memperoleh pendapatan”.6

B. Maksimalisasi Laba dalam Pandangan Sekuler

Dalam pembahasan konvesional sumber keuntungan pendapatan yang diperoleh


para pengusaha sebagai pembayaran dari melakukan kegiatan:

1. Menghadapi resiko terhadap ketidakpastian di masa yang akan datang.


2. Melakukan inovasi/pembaharuan di dalam kegiatan ekonomi.
3. Mewujudkan kekuasaan monopoli di dalam pasar.7

Dalam pandangan ekonomi sekuler, maksimalisasi laba sebagai kondisi rasional


yang tidak berhubungan dengan kesejahteraan. Dorongan untuk pengayaan diri dengan
penggandaan penjualan menjadikan kompetisi di antara para pembisnis.8 Setelah
kompetisi terganggu logika maksimalisasi laba cenderung beroperasi dalam arah
berlawanan (tidak beretika).

Ajaran Smith yang cukup terkenal bahwa “pengejaran kepentingan diri secara
otomatis dapat meningkatkan kebaikan kolektif10 dalam sistem berusaha yang bebas,”
yang dipercayai sebagai pelengkap anggapan mengenai respektabilitas sosial yang lebih
baik. Model klasik dari sistem ini tidak jarang disadarkan untuk menggambarkan dan
memperkuat kepercayaan tersebut

Dalam model ini, para usahawan selalu bersaing untuk memperoleh laba pribadi
dalam suatu industri yang terbuka. Persaingan sempurna dalam pengertian bahwa para
pembeli secara individual tidak memiliki kekuatan untuk menetapkan harga di pasar.
Model ini mengklaim, memiliki dua aspek yang berkaitan dengan kesejahteraan sosial,
yaitu :

Pertama, mengijinkan para usahawan mengambil tingkat laba dari modalnya


yang tidak lebih dari cukup kepada mereka suatu pendapatan absolut, yang terdiri atas:

1) Bunga investasi atas sekuritas yang tidak akan merugi


6
Khairul M Noor, dkk, Upaya Stratejik Maksimalisasi Laba Untuk Perusahaan Yang Berbasis Pada
Produksi Makanan Camilan, Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, Vol. 2 No. 1 Februari 2019, h. 156.
7
Sadono Sukirno, Pengantar Teori Mikro Ekonomi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2015) h. 388.
8
Muhammad, Ekonomi Mikro Islam, (Yogyakarta: BPFE, 2016), h. 274

4
2) Gaji atas jasa yang telah mereka berikan kepada perusahaan dalam kaitan
dengan manajemen yang diukur dengan opportunity cost
3) Premi untuk pengambilan risiko sebagaimana yang ditetapkan berdasarkan
taksiran aktuarianya.

Ini berarti, penetapan harga kompetitif memberikan kepada pengusaha suatu


tingkat laba normal, yang demikian ini, dianggap sebagai suatu imbalan yang sah atas
aktivitas produktif karyawan dan harus diperlakukan sebagai biaya elemen biaya
produksi. Maksimum adalah persyaratan minimun yang diperlukan untuk bertahan
hidup.

Kedua, dorongan untuk pengayaan diri yang diarahkan oleh persaingan juga
memaksimalkan produk sosial sebagai pemanfaatan perusahaan yang optimal dalam
setiap kasus. Lebih lanjut, setiap faktor dapat ditunjukkan untuk mendapatkan apa yang
disumbangkannya kepada produk perusahaan yang bernilai sebagai perolehan atas skala
perusahaan dengan asumsi yang tetap.

Model tersebut dikritik karena sangat tidak realistik. Memang benar, namun
hanya memiliki kepentingan sekunder. Signifikansi riilnya adalah menunjukkan bahwa
model tersebut menghancurkan dirinya sendiri, sekalipun situasi awalnya sama seperti
yang digambarkan, dan bahwa laba normal tidak perlu tetap merusak dalam proses
terebut. Argumen model ini mengabaikan suatu sifat dasar penting laba tersebut. Yaitu
bahwa harga pasar produk perusahaan pasti memiliki margin walaupun kecil, atas
biaya-biaya (diluar laba), pelipatan laba yang lebih dari produk yang dijual.

Proses penggandaan laba inilah yang harus tergantung pada kondisi persaingan
sempurna dengan usahannya sendiri.

Jika penjualan perusahaan berkembang dengan cara tersebut, maka modalnya


harus ditingkatkan secara proporsional. Komponen bunga laba normal akan bertambah
dengan rasio yang sama. Namun kekhawatiran manajerial diharapkan meningkat dalam
proporsi yang kurang banyak dibandingkan dengan aktivitas produksi perusahaan.
Risiko kerugian ini sebenarnya cenderung berkurang bila bisnis menjadi besar dan

5
stabil. Sekalipun itu meningkat, namun tidak mungking meningkat dalam rasio yang
sama, seperti dalam penjualan.9

Hal ini digambarkan pada grafik dibawah ini:

Gambar Tentang Konsep Laba Normal Tidak Memiliki Kepentingan Etik

Dari grafik di atas terlihat bahwa rata-rata penerimaan sama dengan biaya rata-
rata (titik P0, laba normal). Setelah perusahaan ingin melakukan maksimalisasi
keuntungan dengan faktor produksi yang sama, sehingga terjadi harga komoditas lebih
besar daripada biaya marginal produksi P0q0 > Tq0. Ini menunjukkan bahwa (1) faktor
pekerja yang dikerjakan tidak dibayar dengan nilai penuh dari hasil produksi fisik
marginal (dieksploitasi) (2) para pelanggan/ konsumen ditolak, perolehan suatu
penurunan dalam harga sama dengan biaya marginal di titik P1, dan surplus mereka
dikurangi, dan (3) pemanfaatan fasilitas kurang dari optimal-produksi sosial tidak
dimaksimalisasikan (Oq0 < Oq1).

Di sini, para pekerja, konsumen dan masyarkat pada umumnya, tampak tidak
memperoleh apa-apa, karena laba yang di peroleh hanya ‘normal’ dan dalam pengertian
layak. Grafik tersebut hanya bermakna untuk menjelaskan konsep laba ‘normal’ tidak
memiliki kepentingan etis.

9
Sudaryatmo, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: Citra Adya Bakti, 1996)
h.75

6
C. Penentuan Posisi Laba Secara Islami

Dalam melaksanakan aktivitas bisnis, harus ada batasan agar tidak mendzolimi
seseorang yang lain. Berikut merupakan landasan dasar terhadap larangan memakan
harta yang bathil:

ْ
ٍ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اَل تَأ ُكلُوا أَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَا ِط ِل إِاَّل أَ ْن تَ ُكونَ تِ َجا َرةً ع َْن تَ َر‬
‫اض‬
‫ِم ْن ُك ْم ۚ َواَل تَ ْقتُلُوا أَ ْنفُ َس ُك ْم ۚ إِ َّن هَّللا َ َكانَ بِ ُك ْم َر ِحي ًما‬

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka
samasuka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu (Q.S. An-Nisa: 29).

Kegiatan bisnis harus terintegrasi dengan ranah Islam. Orientasi bisnis


(entrepreneur) yang bervisi sekuler harus sejalan dengan visi dan misi penciptaan
manusia. Orientasi pada bisnis Islami mengandung empat komponen, yakni: target
hasil, pertumbuhan, keberlangsungan, dan keberkahan. Maka makna bisnis dalam Islam
bertujuan untuk merealisasikan konsep keseimbangan antara dimensi horizontal dengan
dimensi spiritual.10

Di dalam Islam penentuan posisi laba dan perilaku rasional dalam maksimalisasi
laba pada dasarnya dikondisikan oleh tiga faktor, yaitu:11

1. Pandangan Islam Tentang Bisnis adalah Suatu Fardhu Kifayah

Bisnis adalah sebuah aktivitas yang mengarah pada peningkatan nilai tambah
melalui proses penyerahan jasa, perdagangan atau pengelolahan barang(produksi). Para
ahli hukum Islam menngklasifikasi bisnis sebagai fardhu kifayah, karena di dalamnya
terdapat kewajiban sosial. Jika sekelompok orang sudah berkecimpung dalam
memproduksi barang-barang dalam jumlah yang mencukupi masyarakat, maka
kewajiban keseluruan masyarakat sudah terpenuhi dan sebaliknya jika tidak mencukupi
kebutuhan masyarakat maka akan diminta pertanggungjawabannya di akhirat.

10
Suharto dan Muhammad Iqbal Fasa, Model Pengembangan Manajemen Bisnis Pondok Modern
Darussalam Gontor Ponorogo, Indonesia, Jurnal Studi Ekonomi dan Bisnis Islam, Volume 3, Nomor 2,
Desember 2018, h. 93.
11
Muhammad, Op. Cit, , h. 278.

7
Bisnis dalam kajian konvensional hanya dalam rangka pengendalian pasar,
namun bisnis Islam berupaya menemukan nilai ibadah yang berdampak pada konsep
perwujudan rahmatan lil ‘alamin, untuk mendapatkan ridha Allah. Oleh karena itu,
sasaran keuntungan, keridhoan konsumen harus dibingkai dengan ridha Allah.

2. Perlindungan Kepada Konsumen

Untuk melindungi konsumen dari tindakan eksploitasi, syari’ah Islam


memberikan sejumlah kewajiban bagi penjual sehubungan dengan takaran, kualitas,
harga dan informasi. Perlindungan konsumen merupakan tindakan yang berhubungan
atas berbagai kemungkinan penyalahgunaan kelemahan yang dimiliki oleh konsumen.
Perlindungan konsumen yang berhubungan dengan tindakan pratransaksi, meliputi:12

a. Perlindungan dari Pemalsuan dan Informasi Tidak Benar.


Dalam fiqih Islam istilah promosi atau iklan yang tidak jujur yaitu al-ghurur dan
ini dilarang namun kebenaran dan keakuratan saat promosi harus sesuai dengan
keadaan produk. Dalam Islam jika terdapat Al-ghurur (ketidaksesuaian antara
promosi dengan sifat barang) maka konsumen akan mempunyai hak khiyar
tadlis, khiyar ‘aib, dan khiyar ru’yah.
b. Perlindungan terhadap Hak Pilih dan Nilai Tukar Tidak Wajar
Dalam perlindungan hak pilih dan nilai tukar tidak wajar, fiqih Islam
menawarkan banyak solusi, di antaranya: pelarangan praktek ribawi, pelarangan
monopoli dan persaingan tidak sehat, pemberlakuan tas’ir, pemberlakuan khiyar
al-ghubun al- fahisy, pemberlakuan khiyar al- murtarsil, pelarangan jual beli an-
Najasy, pelarangan jual beli Talaqi Rukban dan jual beli al-hadhir li bad.
c. Perlindungan terhadap Keamanan Produk dan Lingkungan Sehat
Berdasarkan Hadist Nabi SAW “ Tidaklah halal bagi seseorang yang menjual
suatu barang, kecuali apabila ia menjelaskan kualifikasi barang tersebut. Dan
tidak halal bagi orang yang mengetahui hal tersebut kecuali apabila ia terangkan
hakikatnya” (HR. Ahmad dari Wasilah). Sebagai penjual diwajibkan
memberitahukan mutu dan cacat barang yang tersembunyi, namun juga wajib
adanya pemberitahuan tentang risikorisiko pemakain suatu produk. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa kerugian jiwa atau materil yang menimpa
12
Mecki Kridayanti dkk, Maksimalisasi Laba, diakses dari
Academiahttps://www.academia.edu/35128051/ekonomi_miro_islam_8.docx pada 29 Maret 2020

8
konsumen sebagai akibat buruk dari produk pelaku usaha harus ditanggung oleh
pelaku usaha sesuai prinsip ganti rugi (dhaman).
d. Perlindungan dari Pemakaian Alat Ukur Tidak Tepat
Maksud alat ukur tidak tepat di sini adalah ketidak sesuain antara sifat dan
kualifikasi barang yang di minta dengan yang diserahkan dari segala segi, mulai
dari ukuran berat isi, kandungan isi, dan semua yang tertulis dalam label atau
yang dijanjikan oleh penjual. Dalam pemerintahan Islam, perlindungan dari
pemakaian alat ukur tidak tepat adalah al-hisbah. Al-Qur’an juga melaknat hal
demikian berdasarkan (QS.Al-Muthaffifin 1-3): “Celakalah orang-orang yang
berbuat curang yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang
lain, mereka meminta dipenuhi. Dan apabila mereka menimbang untuk orang
lain, mereka merugikan.
e. Hak Mendapatkan Advokasi dan Penyelesaian Sengketa
Hak untuk mendapatkan perlindungan dengan penyelesaian sengketa harus
didukung oleh dua faktor kemudahan, yaitu kemudahan proses beracara ketika
konsumen mengajukan tuntutan dan adanya suatu badan hukum pemerintah
yang selalu siap sedia untuk membela konsumen dan berdiri sebagai penuntut
umum. Dalam hal ini pemerintahan Islam telah membentuk sebuah struktur
hukum yang aktif dan efektif untuk membela hak-hak konsumen, yaitu al-
hisbah.
f. Perlindungan dari Penyalahgunaan Keadaan
Pada hakikatnya, penyalahgunaan keadaan mempunyai maksud yang sama
dengan eksploitasi status sosial atau keunggulan informasi, keadaan terpelajar
dan ekonomis yang dimiliki oleh salah satu pihak yang berakad. Dalam kajian
fiqih, masalah penyalah gunaan kehendak juga dimasukkan oleh para fiqih Islam
ke dalam bahasan cacat kehendak (‘uyub al-iradah). Contohnya adalah Bai’ al
Murtasil, Bai’ al- Dharurah, Bai’ al-washi mal al-qashir, Bai’ talaqi rukban.
g. Hak Mendapatkan Ganti Rugi Akibat Negatif Produk
Pembahsan ganti rugi atau tanggung jawab pelaku usaha terhadap kerugian
akibat barang atau transaksi, dalam kajian fiqih salah disebut prinsip ganti rugi
(mabda’ al –dhaman).

9
3. Bagi Hasil di antara Faktor yang Mendukung (Penghargaan Kepada Faktor
Produksi)

Teori ekonomi sekuler memenuhi salah satu kegagalan utamanya dalam hal
menunjukkan bagaimana nilai produk suatu perusahaan dapat dibagi secara adil di
antara faktor produksi. Bagi hasil antara tenaga kerja dan modal akan menjadi petunjuk
yang baik dari organisasi pada masa-masa mendatang. Sebab potensinya adalah untuk
meningkatkan efisiensi, keadilan, stabilitas, dan pertumbuhan. Namun, hal ini
bergantung pada umat Islam sendiri apakah mereka akan menanggapi pesan agama dan
memasukkan mekanisme bagi hasil menjadi mekanisme maksimalisasi laba yang dapat
bebas dari eksploitasi, mengecewakan dan menyusahkan.

D. Maksimaliasi Laba dan Efek Sosialnya


1. Maksimalisasi Laba

Di dalam kompetisi monopolistik, maksimalisasi laba yang bertujuan untuk


memberikan harga komoditas paling rendah, volume hasil yang lebih besar, dan
keuntungan neto yang besar. Maksimalisasi laba Islam dan sekuler dapat dibandingkan
sebagai berikut:13

a. Minimalisasi Biaya untuk Memproduksi Jumlah yang sama antara Sekuler


(bunga) dan Islam (bagi hasil)

Kurva biaya total yang membandingkan antara biaya total pada sistem bunga
dan biaya total pada sistem bagi hasil, dapat diketahui bahwa biaya total pada sistem
bunga akan lebih tinggi daripada biaya total pada sistem bagi hasil. Secara grafis
baiaya total pada sistem bunga akan digambarkan dengan kurva TC1, dan biaya total
pada sistem bagi hasil dengan kurva Tc. Pada sumbu X yang menggambarkan
tingkat produksi sama (Q). Kemudian ditarik garis vertikal ke atas sampai
memotong kurva TC dan TCi. Dari perpotongan tersebut kita tarik garis horizontal ke
sumbu Y, ternyata pada tingkat produksi yang sama, biaya total sistem bagi hasil
lebih kecil dibandingkan biaya total pada sistem bunga. Sehingga, produksi dengan
sistem bagi hasil lebih efisien dibandingkan dengan sistem bunga.

13
Farida Khoirun Nisak, Maksimalisasi Laba Perspektif Sekuler vs Islam, diakses dari
https://dokumen.tips/documents/maksimalisasi-laba-perspektif-sekuler-dan-islampdf.html pada 29
Maret 2020

10
Grafik : minimalis biasaya pada tingkat produksi sama

b. Maksimalisasi Produksi dengan Jumlah Biaya Sama

Pada hal ini untuk melihat lebih efisien manakah antara sistem bunga dan
bagi hasil kita ambil satu titik mana saja di sumbu Y sebagai titik yang
menggambarkan biaya total yang sama (TC). Kemudian kita tarik garis horizontal
sampai memotong kurva biaya total baik pada sistem bunga maupun sistem bagi
hasil. Setelah itu kita tarik garis vertikal ke bawah sumbu X, ternyata untuk biaya
total yang sama, jumlah produksi pada sistem bagi hasil lebih besar dibandingkan
dengan sistem bunga. Sehingga, produksi pada sistem bagi hasil lebih efisien
dibandingkan dengan sistem bunga.

Grafis : maksimalisasi produksi pada biaya yang sama

11
c. Skala Ekonomi

Dalam melakukan analisis ini, digunakan kurva penerimaan total (TR) yang
membandingkan antara penerimaan total sistem bagi hasil (TRrs) dan penerimaan
total sistem bunga (TRi). Penerimaan total pada sistem bagi hasil akan berputar
searah jarum jam, sementara penerimaan total pada sistem bunga akan tetap pada
tempatnya. Untuk melakukan analisis terhadap skala ekonomi, kita tarik titik mana
saja pada sumbu Y sebagai titik yang menggambarkan penerimaan total yang sama
(TR), kemudian ditarik garis horizontal yang memotong kurva TRrs dan kurva TRi.
Dari perpotongan tersebut, kita tarik garis vertikal ke bawah sampai sumbu X.
Ternyata berdasarkan analisis grafis terlihat bahwa pada penerimaan total yang
sama, jumlah produksi pada sistem bagi hasil lebih besar, daripada jumlah produksi
sistem bunga. Sehingga, pada sistem bagi hasil bukan saja lebih efisien namun juga
mampu mendorong produsen untuk berproduksi pada skala yang lebih besar.

Grafik : skala ekonomi

2. Efek Sosial

Perusahaan Islam beroperasi dengan menggunakan mekanisme bagi hasil.


Dalam kerangka bagi hasil, maka akan terjadi pembagian hasil dan risiko. Penghapusan
mekanisme bunga dalam organisasi kerangka Islam, akan melakukan penyebaran risiko
atas investasi keseluruhan secara adil. Dengan demikian terlihat, bahwa maksimalisasi
laba akan memberikan suasana partisipasi bagi semua agen produksi dan akan
mendorong mereka bekerja sama secara timbal balik. Hubungan antara profit dengan
risiko dalam praktek perusahaan Islam, dapat digambarkan sebagai berikut:

12
Grafik : hubungan antara risiko dan laba dalam perbandingan antara islam dan
sekunder

Gambar di atas melukiskan hubungan antara risiko dan laba, dengan bunga
bersih yang dibayar atas pinjaman dalam perusahaan sekuler di tunjukkan dengan kurva
AA . Ini bisa kita sebut sebagai kurva kemungkinan risiko-laba. Kurva ini menunjukkan
1

kombinasi optimal risiko dan laba perusahaan yang dapat dipilih sesuai dengan skala
preferensinya. Kurva AA1 merupakan kurva cembung terhadap sumbu laba, hal ini
secara tidak langsung menunjukkan bahwa jika ada penambahan laba perusahaan yang
diharapkan, maka risiko akan bertambah setingkat dengan penambahannya. Untuk
perusahaan sekuler, kombinasi optimal resiko dan laba ditunjukkan oleh T1, dengan
titik tangensi antara kurva AA1 dan kurva indifference berada pada I1. Namun, jika
perusahaan mengadopsi cara Islam yaitu menghilangkan bunga dan menggantinya
dengan bagi hasil akan cenderung menggeser kurva untuk pemegang sahamnya ke arah
kanan yaitu ke posisi BB1.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Maksimalisasi Laba dalam Pandangan Sekuler sebagai kondisi rasional yang


tidak berhubungan dengan kesejahteraan. Dorongan untuk pengayaan diri dan
penggandaan penjualan menjadikan kompetisi diantara pembisnis. Setelah kompetisi
terganggu logika maksimalisasi laba cenderung beroperasi dalam arah berlawanan
(tidak beretika)

Di dalam Islam penetuan posisi laba dan perilaku rasional dalam maksimalisasi
laba pada dasarnya dikondisikan oleh tiga faktor, yaitu: Pandangan Bisnis adalah suatu
Fardhu Kifayah, perlindungan kepada konsumen dan bagi hasil diantara faktor yang
mendukung.

Maksimalisasi Laba dan Efek Sosialnya di dalam kompetisi monopolistik,


maksimalisasi laba yang bertujuan untuk memberikan harga komoiditas paling rendah,
volume hasil yang lebih besar, dan keuntungan neto yang besar. Maksimalisasi laba
Islam dan sekuler dapat dibandingkan sebagai berikut; Minimalisasi Biaya untuk
Memproduksi Jumlah yang sama antara Sekuler (bunga) dan Islam (bagi hasil),
Maksimalisasi Produksi dengan Jumlah Biaya Sama dan Efek Sosial

B. Saran

Penulis tentunya menyadari dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan yang penulis miliki, untuk
kedepannya semoga penulis akan lebih detail dan fokus dalam menjelaskan tentang isi
makalah dan dengan sumber-sumbernya yang lebih banyak lagi yang dapat
dipertanggung jawabkan.

14
DAFTAR PUSTAKA

Fasa, Iqbal, Muhammad., dan Suharto. Model Pengembangan Manajemen Bisnis


Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo, Indonesia, Jurnal Studi Ekonomi
dan Bisnis Islam, Volume 3, Nomor 2, Desember 2018
Harahap, Syafri Syofian. 2004. Akutansi Islam. Jakarta: Bumi Aksara
Kridayanti, Mecki, dkk. Maksimalisasi Laba. diakses dari
Academiahttps://www.academia.edu/35128051/ekonomi_miro_islam_8.docx
pada 29 Maret 2020
Muhammad. 2016. Ekonomi Mikro Islam. Yogyakarta: BPFE
Munadiyah, Rizka. Laba Ekonomi Islam vs Ekonomi Sekuler. Di akses dari
http://www.kompasiana.com/munadiyaah/5c03db95c112fe1da52dc1d5/laba-
islami-vs-sekuler, pada 29 Maret 2020.
Nisak, Khoirun, Farida. Maksimalisasi Laba Perspektif Sekuler vs Islam, diakses dari
https://dokumen.tips/documents/maksimalisasi-laba-perspektif-sekuler-dan-
islampdf.html pada 29 Maret 2020
Noor, M. Khairul, dkk. Upaya Stratejik Maksimalisasi Laba Untuk Perusahaan Yang
Berbasis Pada Produksi Makanan Camilan, Jurnal Pengabdian Kepada
Masyarakat, Vol. 2 No. 1 Februari 2019
Subagiyo, Rokhmat. 2016. Maksimalisasi Laba
Sudaryatmo. 1996. Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung: Citra
Adya Bakti
Sukirno, Sadono. 2015. Pengantar Teori Mikro Ekonomi. Jakarta: RajaGrafindo Persada

15

Anda mungkin juga menyukai