Anda di halaman 1dari 22

MENGETAHUI ARTI PENTINGNYA MAZHAB FRANKFURT BAGI

PERTUMBUHAN ILMU SOCIAL

Diajukan salah satu mata kuliah


(MANAJEMEN PENGEMBANGAN LEMBAGA DAKWAH)

Dosen pengampu:
DR. HASAN MUKMIN. MA

Kelompok 6:
DEVAN PRATAMA (1941030271)

ROMA PUTRA BANJARSYAH (1941030279 )

Kelas: E
Jurusan: Manajemen dakwah
Semester IV

FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

TAHUN 2021 M/ 1442 H

1
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT. Tuhan semesta alam, yang telah memberi kemudahan
dengan senantiasa melimpahkan karunia, rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Makalah dengan judul
“MENGETAHUI ARTI PENTINGNYA MAZHAB FRANKFURT BAGI
PERTUMBUHAN ILMU SOSIAL” disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
MANAJEMEN PENGEMBANGAN LEMBAGA DAKWAH.

Dalam penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu,
penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak terkait yang telah memberi dukungan
moral dan material. Tiada gading yang tak retak, begitu juga dengan makalah ini yang masih
jauh dari kata sempurna. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis
harapkan untuk kesempurnaan makalah ini dimasa mendatang. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat kepada pembaca dan penulis.

Bandar Lampung, Mei 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................2

DAFTAR ISI.............................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................4

A. Latar Belakang..............................................................................................................4

B. Rumusan Masalah.........................................................................................................4

C. Tujuan............................................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................6

A. SEJARAH & KEMUNCULAN TEORI KRITIS TIDAK LEPAS MENURUT


DUA ASPEK KRUSIAL YG SALING TERKAIT...........................................................6

B. KRITIK TERHADAP TEORI TRADISIONAL.......................................................8

C. ASUMSI DASAR TEORI KRITIS............................................................................11

D. CIRI KHAS TEORI KRITIS.....................................................................................13

E. DARI DOMINASI EKONOMI KE DOMINASI KULTURAL.............................14

F. KONTRIBUSI TEORITIS DAN PRAKTIS............................................................17

BAB III PENUTUP................................................................................................................20

A. Kesimpulan.....................................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................22

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Artikel ini bertujuan untuk mengkaji teori kritis mazhab Fraknfurt, terutama
yang berkaitan dengan sejarah, konsep, asumsi, dan kontribusinya. Secara historis-
geneologis, teori kritis lahir dari rahim teori Marxis. Meski lahir dari rahim teori
Marxis, teori kritis tidak terlalu puas dengan analisis para Marxian yang dianggap
determinisme ekonomi terlalu mekanistik dalam melihat realitas sosial masyarakat
kapitalis Barat. Menurut teori kritis, analisis Marxian dalam memandang dan
menganalisis ketimpangan realitas masyarakat kapitalis di Eropa terlalu reduksionis,
yaitu faktor (struktur) ekonomi yang menentukan ketimpangan sosial ekonomi atau
konflik kelas dalam masyarakat kapitalis. Teori kritis yang dikembangkan oleh orang-
orang yang menyebut diri mereka Neo-Maxian, hadir untuk mengembangkan lebih
lanjut analisis klasik Marxian, yang tidak hanya bertumpu pada faktor-faktor
ekonomi, tetapi juga pada faktor-faktor sosial-ekonomi lainnya. Layanan pemikiran
teori sosial kritis Mazhab Frankfurt yang dipelopori oleh Horkheimer, bagaimanapun,
telah memberikan perspektif teoritis yang relatif baru (meskipun tidak terlalu baru)
dalam melihat, memahami dan menganalisis realitas sosial. Perspektif teori sosial
kritis ini telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perkembangan teori
sosial. Salah satunya adalah teori kritis telah berkontribusi pada pengembangan
kesadaran kritis dan emansipatoris praktik manusia dalam melihat realitas sosial yang
penuh dengan ketimpangan dan ketidakadilan.

B. Rumusan Masalah

1. Menjelaskan Sejarah Mazhab Fankfurt ?


2. Mengungkapkan Pokok Fikiran Mazhab Fankfurt ?
C. Tujuan

1. Dapat Mengetahui Pentingnya Mazhab Fankfurt Bagi Pertumbuhan Ilmu Sosial !


2. Dapat Mengetahu Sejarah Mazhab Fankfurt !
3. Dapat Memahami Pokok Fikiran Mazhab Fankfurt !

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. SEJARAH & KEMUNCULAN TEORI KRITIS TIDAK LEPAS MENURUT


DUA ASPEK KRUSIAL YG SALING TERKAIT.

Pertama,terkait menggunakan syarat lingkungan rakyat atau negara pada Eropa yg


sedang mengalami industrialisasi yg begitu masif & kemajuan pesat sejak awal abad ke-19.
Modernisasi membawa perubahan akbar pada tatanan hayati sosial & kegiatan dan interaksi
insan pada segala bidang. Salah satu bidang yg paling menyolok merupakan dalam bidang
ekonomi. Lahirnya rakyat industri baru pada Eropa –termasuk pada Jerman– yangsangat
kapitalistik, dipenuhi menggunakan praktek penindasan, penguasaan, ketimpangan sosial-
ekonomi yg merebak layaknya penyakit sosial yg semakin mengendemik. Singkat istilah,
secara faktual, teori kritis berhadapan menggunakan situasi sosial yg ditandai jurang antara
negaramiskin & negara kaya, pencerahanmengenai jati diri kesukuan, kebangsaan, &
kenegaraan secara khusus pada Dunia Berkembang yg baru mendapatkan kemerdekaan,
interaksi global,perkembangan & kemajuan ilmu pengetahuan & teknologi menggunakan
berbagai dampak (Saeng, 2012:63)

Teori kritik bisa dianggap menjadi “teori anti-kemapanan”. Teori ini lahir menurut
ketidakberesan pada suatu sistem, atau dianggap menjadi structural inquality pada pada suatu
rakyat, khususnya rakyat Barat pada bawah sistem kapitalisme. Teori kritis mengkritik status
quo & berbagai bentuk penindasan yg terdapat pada rakyat. Teori kritis menyediakan
perspektif & alternative kritis yg bersifat transformative & emansipatoris.

Secara keilmuan, tidak sinkron menggunakan pembagian disiplin akademis dalam umumnya,
teori kritis berusaha memetakan rekanan antara domain empiris sosial yg dipisahkan secara
speksifik (sebagaimana yg terdapat pada teori positivisme). Pengkotakan-kotakan atau
kategorisasi-kategorisasi atas empiris misalnya itu, pada pandangan teori kritis akan
mereproduksi pengkotakan misalnya halnya karakteristik spesial rakyat terbaru kontemporer
(Haryanto, 2013:234). Kedua imbas idialisme filsafat jerman, dimana Idialisme filsafat
Jerman yg sangat ditentukan sang filsafat Immanuael Kant (1724-1804) yg terkenal
menggunakan filsafat kritisisme. Salah satu penganut Neo-Kantinianisme, Herman Cohen,
menulis 3 kitab yg dikenal menggunakan sebutan “Ketiga Kritik”, diantaranya merupakan
Kritik atas Rasio Murni, Kritik Atas Rasio Praktis, & Kritik atas Daya Pertimbangan Filsafat
Kantian ini begitu mewarnai perkembangan pemikiran filsafat & pemikir-pemikir Jerman

5
lainnya diantaranya merupakan Edmund Husserl, Schler, Martin Heidegger, Horkheimer &
Adorno (Bertens, 2014:119). Menurut Horkheimer, Kant bisa dianggap menjadi filsuf kritis
yg pertama. Kant lebih menitik beratkan bagaimana swatantra individu itu bisa dibangun
pada rangka membentuk pengetahuan. Di sinilah makna kritisisme awal, bahwa pengetahuan
kita tidak dipengaruhi sang objek atau empiris, akan tetapi rasio insan yg membentuk
pengetahuan itu.

Teori kritis mahzab Frankfurt tidak mampu dilepas menurut tokoh utamanya, yakni Max
Horkheimer, Inilah peritiwa-insiden krusial yg mewarnai perkembangan teori kritis. tidak
sinkron menggunakan pandangan kaum positivisme, yg berkata bahwa kehidupan insan
“ditakdirkan” buat dikendalikan sang kekuatan sosial yg dipaksakan modernitas, menganggap
insan menjadi objek, bukan subjek. Teori sosial kritis berkeyakinan bahwa tidak mungkin
membangun tatanan sosial yg merdeka & berkeadilan, jika kehidupan insan masih
dikendalikan olek kekuaran sosial eksternal misalnya misalnya kapitalisme, patriakhi,
rasisme, & penguasaan alam. Karenanya, insan menggunakan potensi kebebasannya bisa
sebagai subjek yg bisa mensugesti & merubah struktur (Angger, 2013:40). Bertolak menurut
pemikiran Kantian tersebut, Sekolah Frankfurt beranggapan bahwa segala sesuatu merupakan
output karya pengetahuan subjektif insan yg otonom. Jadi tidak terdapat sesuatu yg terdapat
dalam dirinya, seluruh dipengaruhi sang keaktifan pengetahuan subjektif. Lantaran itu
menurut Mazab Frankfurt, sejarah pun tidak perlu lagi berhalan secara diterministis
(sebagaimana yg dikatakan Marx & para teoritisi tradisional/ positivisme), sejarah wajib
difahami secara kritis menjadi pengungkapan diri insan secara rasional (Sindhunata,
1983:31). Lantaran itu, teori sosial kritis sangat berhutang budi dalam para filsuf misalnya
Immanuel Kant, Fredich Nitze, & Hegel, yg mana filsafat yg digeluti merupakan filsafat
eksistensialis. Teori kritis semakin tumbuh subur pula berkat & imbas imbas idealaisme
Jerman. Dalam sistem rakyat ekonomi kapitalistik, segala sesuatu, tenaga insan dipercaya
menjadi onjek & komoditi yg hanya memiliki nilai tukar. Relasi produksi sarat menggunakan
pendayagunaan yg lebih menguntungkan pemilik modal. Relasi yg eksploitatif sudah
melahirkan ketimpangan & ketidakadilan pada tengah rakyat. Berbagai ketidakdilan &
ketimpangan sosial-ekonomi yg terjadi pada rakyat menjadi akibat menurut intervensi sistem
katipalistik ini, yg coba dibongkar sang teori sosial kritis. Teori kritis menolak segala bentuk
rekaan & ketegorisasi yg diproduksi sistem ekonomi kapitalistik, pada antaranya merupakan
kategori-kategori rakyat yg didasari sang nilai tukar, misalnya kategori produktif, berguna,
layak, bernilai & sebagainya. Dalam pandangan teori sosial kritis, sistem rekaan &

6
kategorisasi tersebut hanya berfungsi buat menyembunyikan & melestarikan praktek
penguasaan, penindasan, & ketimpangan sosial ekonomi. Dominasi & kuatnya sistem
kapitalistik mengakibatkan dimensi kultural atau pencerahan insan (rakyat) sebagai hilang.
Sehingga insan tidak bisa melawan penguasaan ekonomi yg ketat & kaku tersebut. Analisis
kritis menurut para pemikir mahzab Frankfurt tidak hanya mengkritisi syarat rakyat kapitalis,
namun pula terhadap teori-teori tradisional misalnya teori positivistisme. Dalam pandangan
Horkheimer, teori-teori tradisonal cenderung melestarikan, membiarkan & membenarkan
tatanan sosial- rakyat yg menindas ini. (Sindhunata, 1983:80-83).

Mengikuti tesis Feuerbach yg kesebelas menurut Marx & Engels, teori kritis percaya bahwa
tujuan ilmu pengetahuan merupakan buat mengangkat pencerahan insan buat berkontribusi
dalam perubahan sosial. Sementara bagi teoritisi positif, tujuan pengetahuan merupakan
perumusan aturan sosial. mengikuti Comte, mereka (kaum positivis) mengklaim bahwa
pengetahuan atas aturan evolusioner ini memungkinkan aparatur negara mengatur rakyat
mengikuti jalan ke arah kematangan modernitas (Angger, 2014:40).

Lantaran itu, Dalam pandangan Masour Faqih, teori kritis, bukan sekedar berkitan
menggunakan urusan “benar” & “galat ” mengenai keterangan atau suatu empiris sosial,
namun lebih menurut itu, teori kritis bertugas menciptakan kesadara kritis atau perspektif
kritis pada rakyat mengenai bagaimana agama idiologis rakyat sudah membentuk empiris
sosial tersebut. Bagi teori kritis, harapan akan keadilan sosial mustahil bisa dicapai tanpa
melibatkan pencerahan mereka yg tertindas buat terlibat pada aksi refleksi kritis & praktis
(Faqih, 2001:94). Lantaran itu, visi primer teori kritis merupakan visi pembebasan insan
menurut kungkungan & intervensi struktural yg tak seimbang atau tidak adil. Teori sosial
kritis berusaha mendekonstruksi tatasan sosial; aturan besi kapitalisme, patriakhi, rasisme, &
penguasaan atas alam & insan. Bagi teori kritis,positivisme tidak lagi semata - mata teori
pengetahuan tetapi telah sebagai idiologi baru yg krusial dalam masa kapitalisme akhir yg
mendukung penyesuaian menggunakan kehidupan sehari-hari (Faqih, 2001:39).

B. KRITIK TERHADAP TEORI TRADISIONAL

Secara historis, teori sosial kritis sejatinya ada menjadi respon terhadap kelemahan &
kegagalam teori tradisional yg berpardigma positivisme. Dalam pandangan Horkheimer, teori
tradisonal (positivisme) yg berpijak dalam ilmu pengetahuan, sudah memisahkan antara
subjek & objek, antara teori & keterangan, & berjalan secara alamiah. Lantaran itu, netralitas
dilihat menurut jika objek berada pada luar dirinya. Dalam pandangan Horkheimer, terdapat 3

7
hal yg membuahkan teori tradisional dipercaya menjadi teori idiologis yg ekskluif
(Sindhunata, 1983: 74-77)

Pertama,teori tradisional melihat & tahu empiris misalnya apa adanya, tidak bertanya secara
kritis mengapa empiris itu mampu terjadi. Teori tradisional mendapat empiris menjadi apa
adanya yg telah terikat menggunakan aturan-aturan alamaiah. Karenanya teori tradisional
mendapat & membenarkan empiris begitu saja. Sikap mendapat & dukungan “tanpa reserve”
dipercaya menjadi perilaku yg objektif & netral. Padahal menurut Horkheimer, perilaku
misalnya itu sebagai kedok yg kondusif buat menutupi “kelemahan” dirinya yg memang tidak
mau mengubah empiris. Lantaran itu, wajar jika teori tradisional lebih pro dalam kemapanan
(status quo). Horkheimer menyebut teori tradisional menjadi teori idiologis yg eksklsuif,
artinya beliau sudah sebagai atau dipakai menjadi alasan pembenar & pelestari empiris yg
terdapat. Dalam perkataan lain, teori ini dianggap menjadi teori “status quo”.

Kedua, Lantaran bersifat status quo, teori tradisional ini lebih berpikir “AHISTORIS”,pada
melihat & tahu perkembangan rakyat. Teori ini hanya berpusat & bahkan memutlaktan dalam
ilmu pengetahuan menjadi satu-satunya menjadi “juru selamat”. Teori tradisional lupa bahwa
perkembangan historis rakyat pula ditentukan & dipengaruhi sang berbagai factor & aspek
kehidupan yg lainnya.Aktivitas ilmu pengetahuan nir berdiri & berjalan sendiri, beliau akan
terkait menggunakan kiprah & kegiatan-kegiatan yg lain secara holistik. Pendek istilah,
perkembangan kehidupan rakyat berjalan secara dialektis.

Ketiga,atas nama kenetralan ilmu pengetahuan, Teori tradisional berusaha memisahkan teori
menggunakan praktis. Dengan memandang, atau lebih sempurna membiarkan keterangan
atau empiris sosial secara lahiriah. Ini sama saja menggunakan teori tradisional tidak
memikirkan kiprah & aplikasi praktis.

Lantaran itu teori tradisional hanya sebagai “ilmu tukang” pada rekanan subjek-objek. Teori
tradisional tidak berpikir bagaimana teorinya bisa menghasilkan pencerahan yg bisa dijadikan
menjadiinstrument tindakan buat mensugesti & bahkan merubah keterangan/empiris/keadaan
yg terdapat. Secara ontologis, teori tradisional membuahkan aspek kebebasan menjadi bagian
terpenting pada diri insan sebagai hilang. Kebebasan insan telah termakan sang sistem
kapitalisme, atau pada istilah Horkheimer, swatantra subjek semakin tereduksi sang sistem.
Lantaran itu, Horkheimer sangat menghargai pemikiran filsafat Kant yg menemukan
swatantra subjek. Mengikuti pemikiran Kantian, Horkheimer ingin meyakinkan bahwa teori
kritis dalam dasarnya pula pada rangka buat menemukan atau mengembalikan hak dasar

8
insan yakni, kebebasan atau swatantra subjek. Gagasan ini yg ingin diperjuangan pada
Sekolah Frankfurt. Horkheimer, menyatakan bahwa usaha Sekolah Frankfurt merupakan
kebenaran, Rasionalitas, Kemanusiaan, kebersamaan, peng- hormatan terhadap hayati &
martabat pribadi yg melampaui keyakinan idiologis & agama (sebagaimana yg digagasa sang
kaum Marxitisme). (Saeng, 2012:56)

Lantaran itu, atas dasar alasan pada atas, Horkheimer berkeyakninan bahwa lantaran teori
tradisional bersifat idiologis, tidak mungkin sebagai teori emansipatoris. Sebaliknya, teori
tradisional hanya melestarikan & membenarkan keadaan yg terdapat (status quo). mensugesti
& mengadakan perubahan terhadap empiris yg penuh menggunakan ketimpangan &
ketidakadilan (Sindhunata, 1983:78-79). Lantaran itu, teori ktitis nir bersifat netral,
melainkan bervisi & misi dalam keberpihakan. Sejak dilahirkan, teori sosial kritis ini
diniatkan & diorientasikan dalam misi utamanya merupakan membebaskan sisi humanisme
rakyat menurut irasionalitas & idiologi-idiologi mapan yg sudah membelenggu pola pikir &
tindakan rakyat. Ada sebuah keyakinan bagi Horkhemer, bahwa teori kritisnya tidak hanya
sanggup memproduksi perihal-perihal kritis yg menggugah pencerahan baru rakyat, namun
pula sanggup menciptakan pencerahan kritis yg emansipatoris buat melakukan perubahan
sosial yg lebih baik. Keyakinan ini didasarkan dalam karakteritisk menurut teori ktitis, pada
antaranya merupakan; Pertama, teori kritis selalu mengambil kiprah buat curiga & kritis
terhadap kemapanan rakyat atau empiris yg terdapat. Kedua, teori sosial kritis selalu
menempatkan empiris sosial pada konteks historisnya. Artinya teori kritik selalu berpijak
dalam proses historisitas rakyat secara komprehensif. Ketiga, teori kritik tidak memisahkan
antara teori & praxis. Keduanya saling terkait secara simbiosis mutualisme. Teori kritis tidak
hanya sanggup melahirkan perihal & pencerahan kritis, namun pula sanggup menciptakan
pencerahan emansipatoris buat tujuan perubahan sosial yg lebih baik. Lantaran itu, wajar jika
teori kritis sifatnya “partisipasi” atau memihak, pada arti, memihak dalam keadilan &
kepentingan rakyat yg lebih luas. Teori kritis, pula sanggup mengungkap keterangan teori
kritik pula prasangka buat merubahnya (merubah syarat yg penuh menggunakan penindasan
& ketimpangan yg membunuh nilai humanisme) (Sindhunata,1983:80-88). Keberpihakan
teori kritis dalam nilai-nilai keadilan & humanisme. Lantaran itu, teori kritis hadir pada
rangka pertama ; menciptakan pencerahan kritis rakyat secara intelektual. Realitas sosial yg
terdapat wajib sanggup menyadarkan dirinya bahwa dirinya (& rakyat) berada pada syarat &
belenggu & kerangkeng sistem kapitalisme yg menistakan & penuh menggunakan
ketidakadilan.

9
Kedua, menciptakan perilaku emansi- patoris, yakni setelah pencerahan kritisnya terbangun
& terbentuk, akan dilanjutkan menggunakan perilaku & tindakan emansipatoris, yakni
melakukan sesuatu secara aktif–baik secara personal maupun kolektif– buat merubah &
menghilangkan struktur yg menindas tersebut. Orientasi teori kritis merupakan melakukan
perubahan rakyat secara holistik pada arti menciptakan & menghadirkan rakyat yg adil, bebas
dari penindasan. Singkat istilah, teori kritis berusaha buat mengembalikan harkat & martabat
(humanisme) insan yg sudah dinistakan sang sistem kapitalisme.

Teori kritis berusaha membongkar selubung yg terdapat pada narasi akbar kapitalisme.
Pada dasarnya Kapitalisme melahirkan kontradiksi- kontradiksi, frustasi-frustasi sosial,
penindasan- penindasan tidak lagi nampak. Kesan “semuanya pada syarat baik-baik saja”,
seluruh kebutuhan terpuaskan, berjalan efisien, produktif, lancar, & bermanfaat. Kesan semu
itulah yg ingin dibongkar sang teori kritis sehingga sebagai “telanjang” & bisa diketahui
fenomena yg sebenarnya atau “borok-boroknya”. Tetapi demikian,tidak misalnya pemikiran
Marx; tatanan sosial ekonomi rakyat yg tidak adil & penuh praktik penguasaan & penindasan
wajib dilawan menggunakan usaha revolusioner kaum proletariat, menggunakan misi primer
merubah & menghilangkan tatanan sosial-ekonomi yg tidak adil tersebut & menggantinya
menggunakan tatanan sosial rakyat yg egaliter masyaakat tanpa kelas (rakyat komunis).
Tetapi demikian, pada pandangan Adorno, revolusi kaum proletariat yg diramalkan Marx nir
pernah terjadi & hanya ramalan utopis saja. Adorno & Horkheimer, menggunakan tegas
menolak jalan & segala aktivismerevolusioner yg dipercaya akan merugikan rakyat. Mereka
yakin bahwa setiap revolusi, setiap bisnis insan yg memakai kekerasan hanya akan meng-
membentuk rejim yg lebih represif yg puncaknya dalam era Stalinisme. pada konteks ini,
teori kritis sebenarnya anti-praksis (anti kekerasan), jalan yg masih terbuka & moderat
merupakan menggunakan melakukan resignasi, penarikan diri dalam pencerahan yg menolak
dicaplok sang suatu sistem, agama bahwa harapan utopis bisa mempertahankan suatu ruang
kebebasanyg pernah bisa melahirkan suatu rakyat yg baru (Sindhuna, 1983).

C. ASUMSI DASAR TEORI KRITIS

Adapun asumsi dasar menurut teori kritis ini, pada antaranya, pertama, bahwa dalam
dasaranya insan itu merupakan insan yg mempunyai swatantra & kebebasan. Otonomi &
kebebasannya itu yg akan membentuk pengetahuannya. Dengan swatantra & kebebasannya
yg ditopang menggunakan kekuatan akalnya sanggup melakukukan perubahan sosial.
Lantaran itu, mengikuti pemikiran Immanuel Kant, pengetahuan insan tidak dipengaruhi sang

10
objek atau empiris, namun subjek yg membentuk pengetahuan tersebut. Manusia tidak perlu
lagi tahu alam menjadi semata-mata alamiah, akan tetapi alam dilihat menjadi kebudayaan,
yaitu alam yg telah dirasional- isasikan insan.

Kedua, Sikap netralitas pada konspesi ilmu pengetahuan (sciences) yg disusun teori
tradisional-positivisme Dalam konsep keilmuan (kegiatan ilmiah), bahwa merupakan sesuatu
yg semu. Teori tradisional yg mencita - cita ilmu pengetahuan tanpa pamrih atau bebas nilai
merupakan sesuatu yg utopis. ”Nilai” tidak bisa dipandang menjadi wilayah yg terletak pada
luar ilmu pengetahuan (sebagaimana yg dikonsepsikan pula sang Max Weber). Antara
keterangan & value tidak bisa dipisahkan, antara subjek-objek bukan sesuatu yg terpisah
(subjek mampu saja sebagai bagian menurut yg membentuk objek, begitu kebalikannya;
rekanan subjek - objek bersifat dialektis. Memimpikan terpisahnya keterangan & value,
subjek & objek dalam kenyataanya berarti memihak dalam status quo.

Ketiga, teori kritis menolak pandangan & pemahaman mengenai eksistensi empiris yg
diperspesi & diteroriakan sang teori tradisional- positvisme, bahwa empiris sosial hadir &
terjadi ”apa adanya” & secara alamiah. Sebaliknya, Teori kritis berpandangan bahwa empiris
sosial itu hadir & terjadi secara dialektis, empiris sosial merupakan produk atau konstruksi
menurut individu - induvidu & aspek aspek kehidupan lainnya yg saling terkait & penuh
menggunakan kompleksitas.

Keempat, perkembangan sejarah rakyat dipandang menjadi pembabasan insan menurut


cengekraman alam. Perkembangan sejarah memperlihatkan proses diatasinya ketergantungan
insan dalam alam. Sejauh bangsa insan melepaskan diri menurut ketergantungan dalam alam
menuju kebebasannya yg penuh. Sejarah perkembangan & kemajuan rakyat/bangsa nir
bergerak pada spektrum yg linier, beliau bergerak secara dialektis.

Kelima, secara filosofis, ilmu-ilmu positivisme tersebut nampaknya rasional, & itulah
rasionalitas yg bertujuan atau rasionalitas instrumental. Tetapi pada kenyataannya, ilmu-ilmu
positivisme dipercaya irrasional, lantaran mendukung suatu sistem yg irrasional. Sistem itu
dipercaya irasional lantaran nir membahagiakan insan & gagal pada membangun hubungan
sosial yg berkeadilan & manusiawi. Teori kritis hadir buat melawan praktik dehumanisasi yg
hayati & berkembang & dipertahankan sang ilmu positivisme yg menjelma pada teori
modernisasi & praktik kapitalisme.

11
D. CIRI KHAS TEORI KRITIS

Menurut Angger (2014:7-10), teori sosial bisa dikatakan menjadi teori kritis jika
memenuhi karakteristik spesial sebabagi berikut;

Teori sosial kritis selalu antagonis menggunakan teori-teori tradisional misalnya positivisme.
Teori kritis antagonis menggunakan pandangan positivis yg menyatakan bahwa sain wajib
menjelaskan aturan alam rakyat yg bersifat kausalitas. Sebaliknya, teori sosial kritis percaya
bahwa mas- yarakat ditandai & bekerja pada konteks historisitas yg terus berubah secara
dialektif. Dalam konteks perubahan rakyat yg dialektif tersebut, teori kritis membedakan
antara masa kemudian & masa kini. Dalam rentang perkembangan & perubahan tersebut,
selalu ditandai menggunakan praktek penguasaan, pendayagunaan, & penindasan. Relitas &
perubahan sosial rakyat tidak misalnya yg dibayangkan kaum positivisme yg berjalan secara
linier, namun berjalan kompleks.

Teori kritis memandang, praktel penguasaan itu bersifat struktural, yakni kehidupan rakyat
sehari-hari ditentukan bahkan dikendalikan sang institusi sosial yg lebih akbar misalnya
politik, ekonomi, aturan, budaya, & diskursus, jender, & ras. Dalam konteks ini, teori kritis
berusaha tidak sekedar buat memberi tahu “strutkur-struktur” akbar tersebut, akan tetapi
lebih menurut itu berusaha buat menunjukkan bahwa struktur-struktur tersebut sarat
menggunakan penindasan, penuh menggunakan ketimpangan & mengakibatkan ketidakadilan
pada masyarakat. Teori kritis membantu rakyat buat tahu secara sadar syarat yg dialamnya yg
penuh menggunakan penindasan. Dengan menunjukkan adanya ketimpangan & ketidakdilan
struktural tersebut, teori kritis berusaha buat menciptakan pencerahan individual secara
kolektif & melahirkan kesadara emansipatif.

Teori kritis berkeyakinan bahwa struktur penguasaan direproduksi melalui pencerahan palsu
insan, dilanggengkan sang idiologi (sebagaimana yg dianggap Marx), reifikasi (“menuhankan
sesuatu”, sebagaimana yg dianggap Georg Lukacs), intervensi (sebagaimana yg dianggap A.
Gramci), pemikiran satu dimensi (H. Marcuse), & metafisika keberadaan (Derrida).
Kesadaran palsu inilah yg dipelihara sang ilmu sosial positivis misalnya ekonomi & sosiologi
(atau pada istilah Horkheimer menggunakan istilah teori tradisional).

Kesadaran palsu insan tersebut mendeskripsikan bahwa rakyat dikendalikan sang aturan yg
kaku atau ajeg. Dalam konteks ini, teori kritis hadir buat mematahkan & membongkar

12
pencerahan palsu menggunakan meyakni bahwa insan merupakan mahluk yg mempunyai
kebebasan & mempunyai kuasa, baik secara pribadi atau pun kelompok buat mengubah
rakyat (penuh menggunakan penguasaan & penindasan) ke arah yg lebih baik. pada konsepsi
Marx merupakan rakyat tanpa kelas (komunis). Mengikuti pemikiran Marx, teori sosial kritis
mendeskripsikan rekanan antara struktur & insan bersifat dialektis. Pengalaman sehari - hari
& empiris sosial bisa sebagai sumber pengetahuan insan mengenai struktur pada rakyat, &
bisa membantu rakyat buat mengubah syarat sosial yg lebih baik. Lantaran itu, tugas ilmuwan
sosial pada pandangan teori kritis merupakan melakukan penyadaran kritis rakyat terhadap
sistem & struktur sosial “dehumanisasi” yg membunuh humanisme. Gramscy menyebut
proses ini menjadi upaya counterhegemony. (Faqih, 2001:7). Dalam konteks ini, teori kritis
berusaha buat menghindari aspek diterminisme & mendukung voluntarisme.

Teori kritis berkeyakinan bahwa insan bertanggung jawab sendiri sepenuhnya atas kebebasan
mereka sendiri dan mencegah mereka supaya nir saling menindas antara sesamanya atas
nama masa depan kebebasan jangka panjang. Teori kritis menolak pragmatism revolusioner
sebagaimana yg diperjuangan kaum Marxis orthodox. Dalam pandangan Horkheimer,
terdapat potensi-potensi akbar yg terdapat pada diri insan yg bisa diberdayakan buat
melakukan perubahan. Perubahan sosial wajib dimulai menurut pencerahan kolektif, mulai
menurut mengenal dirinya & lingkungan sosial sosialnya, & kemudian melakukan sesuatu
tindakan nyata. Kesadaran ini bisa dilakukan melalui melalui kritik terhadap apa yg
disebutnya menjadi teori tradisional atau positivisme ilmiah & bentuk-bentuk ilmu sosial yg
mencoba meniru objektivitas ilmu alam. Karean itu, bagi Horkheimer, teori kritis nir sekedar
menciptakan perihal kritis, akan tetapi bagaimana perihal kritis sanggup bertransformasi
sebagai tindakan praksis buat sebuah vsi perubahan (Edkins & William, 2009:12)

E. DARI DOMINASI EKONOMI KE DOMINASI KULTURAL

Teori kritis menentang Positivism, termasuk kaum Marxian lantaran beberapa alasan;
Pertama, positivism cenderung melihat kehidupan sosial menjadi sebuah proses alamiah.
Sementara teori kritis lebih suka memusatkan perhatiannya dalam kegiatan insan. baginya
insan merupakan makhluk otonomi yg mempunyai daya & cara-cara buat mensugesti struktur
sosial. Singkatnya,positivisme dipercaya teori kritis terlalu mengabaikan kiprah aktor. Kedua,
positivism dipercaya terlalu bersifat konservatif, & tidak sanggup menantang sistem yg
terdapat. Ketiga, Mengangap adanya metode ilmiah tunggal yg bisa diberlakukan dalam
seluruh bidang kajian, & bersifat netral. Positifisme ditentang sang teoritisi kritis lantaran

13
positifisme dinilai cenderung mereifikasi (men “tuhan”-kan atau membendakan) global sosial
& memeliharanya menjadi proses netral, mengabaikan aktor & mengerdilkannya sebagai
entitas pasif yg dipengaruhi sang kekuatan-kekuatan alamiah. Pemikiran & teori Marx lebih
berorientasi dalam penguasaan & diterminasi irit. Teori kritis meletakkan orientasi teoritisnya
dalam masalah kultural. Jika Teori Marxian tertuju dalam struktur ekonomi, maka teori kritis
menggeser orientasi analisisnya dalam tingkat kultural. Aspek kultural dipercaya menjadi
empiris rakyat kapitalisme terbaru. Semua produk kapitalisme merupakan produk
kebudayaan. Di era terbaru, produk-produk & simbil-simbol kapitalisme sudah membelenggu
kehidupan rakyat. Dalam genre kritis, rakyat terbaru tidak hanya didominasi sang bidang
ekonomi, namun telah lebih jauh menurut itu, yakni adanya penguasaan elemen kultural.
Lantaran itulah, genre kritis berusaha buat memusatkan perhatian dalam penindasan kultural
atas individu pada rakyat. Dalam pandangan Adorno, rasionalitas pada rakyat terbaru
diwujudkan pada bentuk teknologi. Teknologi merupakan bentuk & produk menurut holistik
proses rasionalisasi insan. Pada perkembangan teknologi bukan pada dominasi insan,
kebalikannya insan dikuasai teknologi.insan sebagai objek & budak menurut produk yg
dihasilkan sendiri (teknologi). Lantaran itu, yg dikhawatirkan sang genre kritis merupakan;
Pertama, masalah adanya kepalsuan. Membangun empiris sosial-ekonomi rakyat yg palsu,
artifisial, & penuh menggunakan kepura- puraan, apalagi ditransformasikan melalui media
pada khalayak umum, Kedua, teoritisi kritis terhadap produk-produk kapitalisme terbaru pada
berbagai paras sudah meninabobokkan & membius bawah sadar rakyat. Realitas-empiris
kapitalisme terbaru yg ingin coba dibongkar sang para teoritisi sosial kritis. Lantaran
sejatinya janji-janji kesejahteraan yg dikampanyekan sang kapitalisme terbaru “modernisasi”
hanya isapan jempol. Teoritisi kritis pula pula mengkritisi apa yg dianggap menggunakan
“Industri pengetahuan”, yakni mengacu pada entitas-entitas yg berafiliasi menggunakan
produksi ilmu pengetahuan. "industri pengetahuan", yg merujuk dalam entitas yg
memproduksi pengetahuan (mis. Universitas & Institut penelitian) yg sudah sebagai struktur
otonom pada masyarkat. Otonomi mereka memberikan peluang buat memperluas dirinya
hingga ke luar batas mandat yg diterima. Mereka sebagai struktur opresif yg tertarik buat
memperluas imbas ke seluruh rakyat (Ritzer & Godmaan, 2008:. 177). Sebut saja misalnya,
ketika ini saat lembaga pendidikan, semisal perguruan tinggi–tanpa disadari– sudah menjad
proyek industri baru pada global kapitalisme. Perguruan tinggi laiknya pabrik yg
memproduksi pengetahuan-pengetahuan instan laiknya barang dagangan. Aliran kritis
berusaha buat menentang praktik-praktik irrasionalitas rakyat terbaru misalnya ini yg
dipercaya membunuh nilai humanisme.
14
Singkatnya, teori kritis mengriktik; Pertama, Kritik terhadap positivisme; positivisme dinilai
terlalu economic diterminisme; positisme cenderung melihat kehidupan sosial menjadi proses
yg alamiah, kebalikannya teoritisi kritis melihatnya kehidupan sosial merupakan empiris yg
kompleks & berproses secara dialektis. Teori sosial kritis berpandangan positivisme nir lagi
semata-mata teori pengetahuan tetapi telah sebagai idiologi baru yg krusial dalam masa
kapitalisme akhir yg mendukung penyesuaian menggunakan kehidupan sehari-hari (Angger,
2013:39).

Kedua, Kritik terhadap rakyat terbaru. Menurut Mazhab kritis, pada rakyat moderen represi
yg disebabkan sang rasionalitas sudah menggeser pendayagunaan ekonomi menjadi masalah
sosial dominan. Bagi teoritisi kritis, rasionalitas formal (meminjam istilah Max Weber)
dipandang menjadi "pemikiran teknokratis", yg tujuannya menjalankan kekuatan penguasaan,
bukan buat mengemansipasikan orang menurut penguasaan. Cara berfikir teknokratis sangat
tidak sinkron menggunakan cara berfikir nalar (reason). Cara berfikir nalar lebih
mengutamakan nilai-nilai humanisme menjadi nilai tertinggi, misalnya; keadilan,
perdamaian, & kebahagiaan (Ritzer, 2014:17).

Ketiga, Kritik terhadap kultur. Teori Marxian lebih fokus dalam aspek diterminasi ekonomi,
sementara teori kritis mengalihkan orientasinya ke level kultural yg dipandangnya menjadi
empiris rakyat kapitalis terbaru. Rasionalitas rakyat terbaru telah berubah sebagai
industrialisasi atau pada istilah lain “industry kultural”, yakni struktur yg dirasionalisasi &
dibirokrasi (melalui jaringan televisi) yg mengendalikan kultur terbaru industri kultur
membentuk “kultur massa” yg didefinisikan menjadi kultur yg diatur,tidak spontan,
dikendalikan, dimaterialkan, & palsu (Ritzer, 2014:172)

Kritik ini menemukan momentum yg pas saat melihat empiris kekinian. Contohnya
pernihakan Raffi Ahmad Raffi Ahmad-Nagita Slavina (Gigi) mengundang kehebohan jagat
modernitas Indonesia. Kehebohan tersebut mewujud pada hipperealitas rakyat terbaru.
Pernikahan Raffi-Gigi, tidak sekedar prosesi yg bersifat sakral; penuh kehimatan &
religiusitas tinggi, akan tetapi dalam ketika yg sama keprofanan bahkan lebih mengebohkan.
Beberapa sumber memprediksi, acara proses nikah tersebut menghabiskan puluhan milyar
rupiah yg dipakai buat “menghipnotis” pernikahan yg sacral sebagai pernikahan profane yg
penuh menggunakan keglamouran (Sholahudin, 2014). Gaya hayati para elit penuh glamour
yg dipopulerkan & presentasikan secara vulgar sang seniman-seniman idola rakyat sontak
sebagai gaya hayati rakyat kebanyakan. Dalam konteks ini, kapitalisme menyediakan

15
pelbagai komoditas termasuk komoditas mewah yg secara irit berdampak inefisiensi sumber
daya (Haryanto, 2013:246).

Lantaran itu, tidak keliru, mazhab kritis melihat pada global moderen sarat menggunakan
meskipun menjadi perwujudan rasionalitas, "rakyat kini secara holistik irasional". Marcuse
mengkritik teknologi moderen yg dijalankan pada bawah sistem kapitalisme. Ia melihat
bahwa teknologi pada rakyat kapitalis terbaru mengarah dalam totalitarianisme. Sebagai
metode kontrol ekster- nal terhadap individu yg baru, lebih efektif & bahkan lebih
menyenangkan. Marcuse menolak gagasan bahwa teknologi bersifat netral pada global
moderen & justru melihatnya menjadi sarana buat mendominasi rakyat, teknologi merupakan
instrument buat mengekang & menindas individualitas. Menciptakan "rakyat berdimensi
tunggal" pada mana individu kehilangan kemampuan berfikir kritis & negatif mengenai
rakyat (Ritzer & Goodman, 2008:241)

F. KONTRIBUSI TEORITIS DAN PRAKTIS

Kontribusi teoritis ; jasa pemikiran teori Sosial kritis mahzab Frankfurt yg dipelopori
Hork- heimer bagaimanapun pula sudah memberikan perspektif teoritis yg relative baru
(meskipun tidak baru sekali) pada melihat, tahu & menganalisis empiris sosial. Perspektif
teoritis teori Sosial kritis ini sudah memberi kontribusi relatif akbar terhadap perkembangan
teori sosial, yakni: Terkait menggunakan Subjektivitas, yakni upaya buat menukar orientasi
teori Marxian menuju ke arah subjektif. Menggeser menurut fokus diterminasi ekonomi
marxis ke penguasaan kultural. Semuanya mampu disimpulkan menjadi "kritik penguasaan".
Sekalipun begitu, hal yg terpenting merupakan upaya yg dilakukan sang para teoritisi ktitis,
terutama Marcuse buat mengintegrasikan pandangan Freud dalam level pencerahan (&
bawah sadar) ke pada tafsir kebudayaan yg dilakukan sang para teori-tisi kritis. Selain itu,
teori kritis pada perkembangannya sudah membuat para teori-teori “terpesona”, bahkan
sebagai bahan pijakan & inspirasi pada mengembangkan teori-teori baru (teori-teori
postmodern galat satu diantaranya) : Salah satu keuntungan minat dalam pencerahan
individu merupakan minat memberikan koreksi terhadap pesimisme mazhab kritis &
fokusnyadalam hambatan-hambatan kultural. Meskipun orang dikendalikan, dijejali
menggunakan kebutuhan palsu, & dilumpuhkan, menurut gagasan Freudian merekapun
dibekali menggunakan libido (lebih tak jarang dipahami energi seksual), yg sebagai dasar
bagi tindakan kreatif yg berorientasi ke arah terhapusnya bentuk-bentuk primer penguasaan.

16
Selain itu, teori sosial kritis sudah memberikan pemahaman baru bahwa aktor atau individu
pun sanggup merubah struktur yg terdapat, melalui kekuatan rasionalitas & daya kreasinya.
Teori kritis sanggup menciptakan pencerahan subjektif individu secara kolektif terhadap
empiris sosial rakyat, tidak hanya terhadap struktur ekonomi Marxian akan tetapi pula
struktur budaya yg sudah membelenggu rakyat. Teori kritis sudah membuka genre atau teori-
teori baru yg lebih mikro, yg lebih bertumpu terdapat kemampuan individu pada membangun
atau memperngaruhi sistem atau struktur yg terdapat.

Teori Sosial kritis pula sudah memberikan khazanah teoritik terhadap perkembangan teori
ilmu sosial selanjutnya. Beberapa teori postmodern, inspirasi pemikirannya menurut teori
kritis. Selain tu, teori kritis sebagai spectrum baru pada pada perkembangan teori-teori sosial
yg selama ini lebih didominasi & sebagai mainstream pada perkembangan ilmu pengetahuan.
Secara teoritis, pendekatan teori kritis nir diterministik (ekonomi) & reduksionistik
sebagaimana yg digunakan sang kaum Marxist. Teori kritis tahu empiris sosial secara holistik
atau totalitas, & bersifat dialektis. lantaran itu pendekatan keilmuannya merupakan
interdisipliner. Salah satu displin yg relatif menonjol digunakan merupakan pendekatan
psikoanalisis Sigmud Freud. Pendekatan Freud ini sangat membantu bagi teori kritis pada
tahu pencerahan individu. Teori kritis yg digagas Sekolah Frankfurt, sudah memperkaya
Khazanah pengetahuan melalui perilaku kritis & jeli terhadap fenomena ekonomi, sosial,
politik, pemerintahan, agama, & idiologi yg terdapat & sedang berlangsung. Teori kritis
membawa kita buat tidak selalu melihat & tahu empiris sosial secara holistic, nir parsial.
Lantaran setiap pengalaman empiris & factor-faktor sosio-kultural hayati insan secara
eksistensial mempunyai makna, kepentingan, & pesan. Dengan demikian, kita akan lebih
jernih & cerdas pada tahu empiris sosial yg terdapat. Teori kritis pula sudah banyak
mensugesti pandangan pendekatan, & praktik perubahan sosial pada rakyat, galat satu yg
paling dirasakan pengaruhnya merupakan adanya pendekatan yg menempatkan rakyat
menjadi aktor perubahan sosial & pem- bangunan. Atas dasar inilah lahir metodologi & riset
“partisiaptori” (Faqih, 2001:97-98). Mazhab Frankfurt ini pula sebagai galat satu mainstream
pada kajian ilmu aturan yg selama ini didomonasi sang genre & paradigma positivisme aturan
yg memandang aturan nir hanya sekedar undang-undang. Hukum nir hanya difahami pada
kaca- mata positivisme, akan tetapi pula mulai dikaji pada perspektif ilmu sosial, khususnya
perspektif teori kritis. Teori-teori kritis pada ilmu sosial, terutama yg digagas sang tokohnya,
Max Hokheimer memberikan sumbangan akadamis yg krusial bagi para pemikir aturan pada
tahu aturan yg lebih kritis. Para teoritisi kritis menolak “dogma” yg dinyatakan sang kaum

17
positivisme (aturan), bahwa aturan rasional positivis & moern merupakan sesuatu yg netral &
objektif. Bagi teoritisi kritis, aturan terbaru yg berlaku & diberlakukan pada suatu negara
terbaru bukan sesuatu yg netral, beliau & perangkatnya mengandung mengandung unsur
idiologi tertentu yg dominative, yakni beliau lahir menurut rahim sistem rakyat kapitalis
Barat. Konstribusi Praktis : Karl Korsch menolak paham kaum Marxis bahwa teori Marx
hanya suatu pelukisan ilmiah objektif mengenai proses- proses perkembangan rakyat.
Menurut Korsch, teori Marx memiliki suatu tujuan ganda; suatu tujuan teoritis yg sekaligus
membuahkan praktis. Tujuan teoritis Marx merupakan kritik terhadap kategori-ketegori ilmu-
ilmu borjuis, khususnya ilmu ekonomi. Kritik teoritis atas diterminasi ekonomi tersebuti
sekaligus memecahkan daya pesona pikiran-pikiran borjuis itu atas rakyat & membebaskan
rakyat pada suatu pencerahan revolusioner. Lantaran itu, Pendek istilah : Teori kritis secara
praktis merangsang pencerahan setiap orang buat menciptakan pencerahan atas empiris
kehidupan yg terdapat. Selain itu, teori kritis sebagai inspirasi gerakan praktis bagi
kelompok-kelompok kiri pada memperjuangkan hak & kepentingannya & yg tidak puas
menggunakan syarat kemapanan rakyat yg terdapat, terutama pada negara-negara Amerika
Latin (negara-negara sosialis yg menentang penguasaan sistem kapaitalisme) & negara-
negara berkembang, yg hingga ketika ini masih pada ancaman & cengkeraman sistem
kapitalisme. Teori kritis sebagai instrumen usaha politik bagi individu & kelompok sosial
pada rakyat (diberbagai global) pada melakukan Teori kritis memberi pelajaran & membawa
kita buat berfikir “menunda”, tidak terlalu terburu-buru mengambil kesimpulan & keputusan,
& tidak melihat sesuatu (empiris sosial) secara linier. Teori kritis membawa kita tidak
sekedar berwacana kritis, namun bertindak kritis & emansipatoris.

Kritik teoritis atas diterminasi ekonomi sekaligus memecahkan daya pesona pikiran - pikiran
borjuis itu atas rakyat & membebaskan rakyat pada suatu pencerahan revolusioner. Pendek
istilah,teori kritis secara praktis merangsang pencerahan setiap orang buat menciptakan
pencerahan baru. Tak hanya menciptakan pencerahan baru, para ilmuwan sosial pada
pandangan teori kritis sekedar diabadikan demi kepentingan golongan lemah atau yg
tertindas, akan tetapi yg paling mendasar, ilmuwan sosial haruslah berperan pada proses
pembangkitan pencerahan kritis, baik yg tertindas maupun yg menindas, atas sistem & Salah
satu gerakan yg ketika ini sedang mengglobal, termasuk pada Jerman sendiri merupakan
gerakan sosial-politik menetang sistem & praktik Kapitalisme global. Di Jerman sendiri,
gerakan ini beberapa pekan yg kemudian hingga mengakibatkan kekerasan (pembakaran
mobil aparat polisi Jerman). Teori kritis pula dipakai sekelompok orang atau gerakan sosial

18
yg tergabung pada gerakan anti Globalisasi yg watak utamanya merupakan perluasan sistem
kapitalisme. struktur sosial yg adil. Teori sosial wajib mengabdi dalam proses transformasi
sosial yakni terciptanya hubungan (struktur) yg baru yg lebih adil (Faqih, 2001:9)

19
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Teori sosial kritik sudah memberikan kontribusi yang sedikit terhadap perkembangan
teoritik & praktik menurut ilmu pengetahuan. Dalam tataran praktis, hampir sebagian akbar ,
gerakan-gerakan sosial oposisional terhadap kemapanan (status quo) yg menginginkan
adanya perubahan struktural pada rakyat yg lebih baik, pangkal pikirnya berawal menurut
pemamahan teori sosial kritiis ini. Dengan istilah lain, teori sosial kritis sudah memberikan
horizon teoritik pada khasanah teori sosiologi yg sudah “mapan” (baca: teori positivisme).
Tetapi demikian, teori sosial kritis ini bukan tanpa kritis menurut para ilmuwan sosial. Ben
Angger (2013:296), berkata kritik sosiologi sejati atas teori sosial kritis terdapat dalam 3
kegagalan, yaikni Pertama, teori sosial kritis bersifat non-kuantitatif, sehingga gagal meraih
standart metodologis sains : Kedua, teori sosial kriis dinyatakan politis, menolak mengadopsi
standar bebas nilai positivis : & Ketiga, teori sosial kritis nir mempunyai “data”,
mempertahankan spekulasi umum. Teori sosial kritis dipercaya menjadi sosiologi kursi
malas.Meski mendapat kritikan menurut para teoritisi lainnya, lantaran dipercaya genre kritis
bukan merupakan sebuah teori. Teori kritis hanya “segerombolan” orang-orang yg puas,
kecewa, & marah terhadap praktik-praktik modernisasi yg diilhami sang paradigma
positivisme & teori-teori struktural. Meski marah terhadap praktik-praktik modernisasi, tetapi
tidak sanggup merubah keadaaan. Begitu tepatnya analisas mahzab Frankfurt terhadap rakyat
industry maju, teori kritis ini gagal justru pada claim-nya yg paling inti yakni menjadi
katalisator suatu praksis emansipatoris. Visi & misi Pembebasan menurut belenggu dogma
Marxisme klasik dibayar menggunakan pesimisme total. Teori kritis gagal bukan lantaran
perkembangan ekonomi global tidak sinkron menurut pengandaiannya (Marx-perkembangan
yg positivistic). Melainkan lantaran mereka tetap bertolak menurut pengandaian-pengandaian
filosofis Karl Marx. Sehingga sebenarnya teori kritis sudah menanamkan kegagalan kepada
pengandaian-pengandaiannya sendiri (Sindhunata, 1983;Haryanto,2013).

Dalam bukunya The Eclpise of Reason Hork- heimer ingin menyatakan bahwa saat
insan berburu pengertian & identitas rasional, beliau justru sebagai irrasional. Ingin terbebas
menurut mitos akan tetapi justru terjurumus ke mitos lagi. Sehingga pemikirannya
(Horkheimer) seakan telah berada diambang jalan buntu saat beliau melihat bahwa bisnis-
bisnis insan (rasional) terlihat gagal. Sehngga teori kritisnya “terpaksa” pula wajib

20
berhadapan menggunakan aturan dialektik bisnis insan rasional (Sindhunata, 1983:145).
Selain itu, saat rakyat terbaru semakin memburu rasionalitas menjadi identitasnya, maka
beliau memperoleh keirrasionalan & kehancuran identitasnya. Dan keirasionalan &
kehancuran individu yg paling fatal justru pula terjadi pada zaman terbaru ini (Sind- hunata,
1983:114).Visi teoritis teori kritik yg mengusung jargon emansipatorik (membebaskan insan
menurut tatanan sosial-ekonomi kapitalistik & bermetamorfosis sebagai industri kultural
ternyata gagal pada menjalankan tugas mulainya itu. Dengan istilah lain, pada istilah
Sindhunata menjadi “Dilema Usaha Manusia Rasional”; semakin insan membebaskan dirinya
menurut logika budi objektif, makin logika budi insan sebagai instrumentalis. Pembebasan
belenggu menurut logika budi merupakan tindakan rasional, menggunakan demikian insan
mempunyai balik kedaulatan logika budinya sendiri, akan tetapi ternyata bisnis itu sekaligus
irasional, sebab pembuat logika budi insan kehilangan otonominya & sebagai alat belaka
(Sindhunata, 1983:123). Meskipun sanggup memberikan kerangka teoritis & akademis, &
praksis. Akan namun, teori kritis belum sanggup merubah keadaan yg diidealkan. Lantaran
itu, nir terlalu berlebihan jika teori kritis hanya sebatas mengusung gerakan & teori yg
bersifat moralis. Visi teori kritis merupakan visi pembebasan, emansipatoris & memimpikan
datangnya rakyat yg ideal, yakni tatanan sosial rakyat tanpa penindasan & ketiadadilan (baca:
rakyat ideal).

21
DAFTAR PUSTAKA

Ben Angger, Teori Sosial Kritis; Kritik, Penerapan, dan Implikasinya, cetakan Kedepan 2013,
Kreasi Wacana, Yogyakarta, hal. 40.

Edkins, Jenny -Nick Vaugan William. 2009, Teori-Teori Kritis; Menantang Pandangan
Utama Studi Politik Internasional, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Faqih, Mansour. 2001. Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalsiasi, INSIST Press-
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Goerge, Ritzer dan J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi Modern., PT. Kencana Prenada
Media Group, Jakarta.

K. Bertens. 2014, Sejarah Filsafat Kontemporer Jerman dan Inggris, PT. Gramedia, Jakarta.

Magnis Suseno, Franz, 2001, Pemikiran Karl Marx; Sosialis Utopis Ke Perselisihan
Revisionis, Jakarta, PT. Gramedia.

Sindhunata, 1983, Dilema Usaha Manusia Rasional, Kanisius Yogyakarta.Saeng,


Valentinus, 2012, Herbert Marcuse, PT. Gramedia Jakarta.

Wignyosoebroto, Soetandyo. 2008. Hukum dan Masyarakat dalam Masyarakat, Perkembangan


dan Masalah; Sebuah Pengantar ke Arah Kajian Sosiologi Hukum. Bayumedia Publishing. Malang.

Jenny Edkins-Nick Vaugan William, Teori-Teori Kritis; Menantang Pandangan Utama Studi
Politik Internasional, 2009, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 12

Suyanto, Bagong, Anak-Anak Peremuan Yang Dilacurkan Dalam Perspektif Teori Kritis,
Disertasi Doktoral Ilmu Sosial FISIP Universitas Airlanggar Surabaya.

Sholahudin, Umar. 2014 Raffi dan Kegilaan atas Modernitas, artikel di kolom Horizon,
Radar Surabaya, 9 November 2014.

22

Anda mungkin juga menyukai