Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan , baik oleh
sector alam dan atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga megakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis (Pusat Krisis Kesehatan, 2014).
Bencana menurut WHO adalah peristiwa atau kejadian pada suatu daerah
yang mengakibatkan kerusakan ekologi, kerugian kehidupan manusia serta
memburuknya kesehatan serta pelayanan kesehatan yang bermakna sehingga
memerlukan bantuan luar biasa dari luar lokasi bencana. Secara geografis Indonesia
merupakan salah satu Negara yang rawan terhadap bencana alam seperti gempa bumi,
gelombang tsunami, letusan gunung, dll, karena terletak paa titik pertemuan dari tiga
lempengan besar yaitu lempeng Eurasian, lempeng Pasifik, dan lempeng Indo-
Australia. Dampak buruk akibat bencana antara lain: penyakit menular, kurangnya air
bersih, kesulitan makanan dan gangguan gizi serta gangguan kesehatan mental.
Penyakit yang timbul sangat tergantung dengan jenis bencananya.
Penelitian Rossi, dkk (2007) menunjukkan bahwa ketersediaan pangan
menjadi masalah utama pada beberapa hari pascabencana. Penyakit ikutan
pascabencana dapat muncul akibat rusaknya infrastruktur penunjang. Oleh sebab itu,
disini penulis akan mengupas tuntas mengenai penyakit-penyakit yang timbul akibat
bencana dan pencegahannya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dari penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa saja penyakit-penyakit yang ditimbulkan bencana?
2. Apa saja faktor resiko yang berkontribusi dalam penyebaran penyakit?
3. Penceghahan dan Penanggulangan penyakit akibat disaster?
4. Bagaimana kontroling terhadap penyakit akibat disaster?
5. Bagaimana monitoring dan evaluasi program penanganan penyakit akibat bencana?

1
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apa saja penyakit-penyakit yang ditimbulkan bencana.
2. Untuk mengetahui apa saja faktor resiko yang berkontribusi dalam penyebaran
penyakit.
3. Untuk mengetahui penceghahan dan penanggulangan penyakit akibat disaster.
4. Untuk mengetahui bagaimana kontroling terhadap penyakit akibat disaster.
5. Untuk mengetahui bagaimana monitoring dan evaluasi program penanganan
penyakit akibat bencana.
1.4 Manfaat
Berdasarkan tujuan di atas penulis dapat menyimpulkan manfaat sebagai berikut :
1. Bagi institusi pendidikan, hasil makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan bacaan
di bidang kesehatan sebagai bahan informasi.
2. Bagi pembaca dapat mengetahui dan memahami mengenai materi tentang
penyakit-penyakit yang ditimbulkan akibat disaster.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Yang Ditimbulkan Bencana


Bencana alam yang terjadi selalu menyisakan kepedihan yang mendalam.
Baik berupa gempa bumi, tanah longsor, banjir, gunung meletus, ataupun tsunami.
Banyak korban nyawa, fisik, dan harta akibat bencana yang terjadi. Bencana
menyebabkan korban yang selamat, kehilangan keluarga, sahabat, harta, bahkan
tempat tinggal. Bencana ini selanjutnya menyebabkan berbagai masalah kesehatan.
Menurut Ketua Umum PB IDI Fachmi Idris, secara umum, masalah kesehatan utama
setelah bencana adalah trauma fisik seperti luka dan patah tulang. Kemudian, selama
dan sesudah masa itu korban bencana yang selamat dan tinggal di pengungsian juga
terancam penyakit jika upaya antisipasinya tidak memadai. Berbagai penyakit yang
ditimbulkan disaster antara lain sebagai berikut:
1. Masalah Gizi.
Masalah gizi yang bisa timbul adalah kurang gizi pada bayi dan balita, bayi
tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) karena terpisah dari ibunya dan semakin
memburuknya status gizi kelompok masyarakat. Bantuan makanan yang sering
terlambat, tidak berkesinambungan dan terbatasnya ketersediaan pangan lokal
dapat memperburuk kondisi yang ada. Masalah lain yang seringkali muncul adalah
adanya bantuan pangan dari dalam dan luar negeri yang mendekati atau melewati
masa kadaluarsa, tidak disertai label yang jelas, tidak ada keterangan halal serta
melimpahnya bantuan susu formula bayi dan botol susu. Masalah tersebut
diperburuk lagidengan kurangnya pengetahuan dalam penyiapan makanan buatan
lokal khususnya untuk bayi dan balita. Bayi dan anak berumur di bawah dua tahun
(baduta) merupakan kelompok yang paling rentan dan memerlukan penanganan
gizi khusus. Pemberian makanan yang tidak tepat pada kelompok tersebut dapat
meningkatkan risiko kesakitan dan kematian, terlebih pada situasi bencana. Risiko
kematian lebih tinggi pada bayi dan anak yang menderita kekurangan gizi terutama
apabila bayi dan anak juga menderita kekurangan gizi mikro. Penelitian di
pengungsian menunjukkan bahwa kematian anak balita 2-3 kali lebih besar
dibandingkan kematian pada semua kelompok umur.

3
2. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
Penyebab ISPA dapat berupa bakteri, virus, dan berbagai mikroba lainnya. Gejala
utama dapat berupa batuk dan demam. Jika berat, maka dapat atau mungkin
disertai sesak napas, nyeri dada, dll. ISPA mudah menyebar di tempat yang banyak
orang, misalnya di tempat pengungsian korban banjir;
3. Diare
Penyakit Diare sangat erat kaitannya dengan kebersihan individu (personal
hygiene) Pada saat banjir, sumber-sumber air minum masyarakat, khususnya
sumber air minum dari sumur dangkal, akan ikut tercemar;
4. Demam Berdarah
Saat musim hujan, terjadi peningkatan tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti,
karena banyak sampah seperti kaleng bekas, ban bekas, dan tempat- tempat
tertentu terisi air sehingga menimbulkan genangan, tempat berkembang biak
nyamuk tersebut.
5. Penyakit Campak
Kerawanan terhadap penyakit ini meningkat karena memburuknya status
kesehatan, terutama status gizi anak – anak serta konsentrasi pengungsi pada suatu
tempat.
6. Penyakit leptospirosis.
Leptospirosis (demam banjir) disebabkan bakteri leptospira menginfeksi manusia
melalui kontak dengan air atau tanah masuk ke dalam tubuh melalui selaput lendir
mata atau luka lecet. Bakteri Leptospira ini bisa bertahan di dalam air selama 28
hari. Penyakit ini termasuk salah satu penyakit zoonosis karena ditularkan melalui
hewan. Di Indonesia, hewan penular terutama adalah tikus, melalui kotoran dan air
kencingnya yang bercampur dengan air banjir. Seseorang yang memiliki luka,
kemudian bermain atau terendam air yang sudah tercampur dengan kotoran atau
kencing tikus yang mengandung bakteri lepstopira, berpotensi terinfeksi dan jatuh
sakit.
7. Penyakit kulit
Penyakit kulit dapat berupa infeksi, alergi, atau bentuk lain. Jika musim banjir
datang, maka masalah utamanya adalah kebersihan yang tidak terjaga baik. Seperti
juga pada ISPA, berkumpulnyabanyak orang juga berperan dalam penularan
infeksi kulit.

4
8. Penyakit saluran cerna lain, misalnya demam tifoid. Dalam hal ini, faktor
kebersihan
makanan memegang peranan penting.
9. Trauma fisik seperti luka dan patah tulang yang ditimbulkan oleh gempa bumi
akibat reruntuhan bangunan atau pepohonan.
10. Memburuknya penyakit kronis yang mungkin memang sudah diderita. Hal ini
terjadi
karena penurunan daya tahan tubuh akibat musim hujan berkepanjangan, apalagi
bila
bencana yang terjadi selama berhari-hari ataupun jangka waktu yang lama.
11. Keracunan yang ditimbulkan oleh akibat masalah industri seperti halnya kecipratan
bahan kimia .
2.2. Faktor Resiko Yang Berkontribusi Dalam Penyebaran Penyakit
Potensi timbulnya masalah gizi dan penyakit menular pada kondisi pasca bencana
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: penyakit yangsudah ada sebelum bencana,
perubahan ekologis karena bencana, pengungsian, perubahan kepadatan penduduk,
rusaknya fasilitas umum, dan hilangnya layanan kesehatan dasar.
1. Penyakit yang ada sebelum bencana
Umumnya, penyakit menularyang muncul setelah bencana terkait dengan
penyakit endemis wilayah tersebut. Sehingga, risiko penularan penyakit paska
bencana juga tidak ada jika organisme penyebab tidak ada di wilayah tersebut
sebelumnya. Meskipun begitu, relawan yang datang ke wilayah bencana
mempunyai risiko untuk menularkan penyakit, maupun tertular penyakit yang
sudah ada di wilayah bencana.
2. Perubahan ekologi karena bencana
Bencana alam seringkali akan menyebabkan perubahan ekologis
lingkungan. Akibatnya risiko penularan penyakit bisa meningkat maupun
berkurang, terutama penyakit yang ditularkan oleh vektor maupun penyakit yang
ditularkan oleh air. Rusaknya lahan pertanian dan perkebunan, serta gagal panen
mempengaruhi ketersediaan sumber dan bahan makanan.
3. Pengungsian
Pola pengungsian di Indonesia sangat beragam mengikuti jenis bencana,
lama pengungsian danupaya persiapannya. Pengungsianpola sisipan yaitu
pengungsi menumpang di rumah sanakkeluarga. Pengungsian yangterkonsentrasi
5
di tempat – tempatumum atau di barak – barak yangtelah disiapkan. Pola
lainpengungsian yaitu di tenda – tendadarurat di samping kann kiri rumah mereka
yang rusak akibat bencana. Adapun pola pengungsian akibat bencana tetap
menimbulkanmasalah kesehatan. Masalahkesehatan berawal dari kurangnyaair
bersih yang berakibat padaburuknya kebersihan diri dansanitasi lingkungan
yangmenyebabkan perkembanganbeberapa penyakit menular. Persediaan pangan
yang tidak mencukupi juga mempengaruhi pemenuhan kebutuhan gizi seseorang
serta akan memperberat proses terjadinya penurunan daya tahan tubuh terhadap
berbagai penyakit. Pengungsian dapat menyebabkan meningkatnya risiko relatif
munculnya penyakit menular melalui mekanisme sebagai berikut: terbebaninya
sistem layanan kesehatan dimana mereka mengungsi, tertularinya para pengungsi
oleh penyakit endemis dimana mereka mengungsi, para pengungsi
memperkenalkan agen infeksi baru pada lingkungan dimana mereka mengungsi.
4. Kepadatan penduduk
Kepadatan penduduk merupakan faktor penting penularan penyakit
terutama terkait dengan penularan melalui rute penularan melalui pernapasan dan
kontak langsung. Bencana alam menyebabkan rusaknya rumah, yang berakibat
meningkatnya kepadatan penduduk karena terkumpul dalam kemah-kemah
pengungsian.
5. Rusaknya fasilitas public
Listrik, air minum, maupun sistem pembuangan limbah akan terpengaruh
oleh bencana alam. Hilangnya sarana MCK akan meningkatkan penyakit yang
menular melalui makanan dan air. Kurangnya air untuk mencuci tangan maupun
mandi juga akanmeningkatkan penyebaran penyakit melalui kontak langsung.
Rusaknya berbagai fasilitas kesehatan, seperti rumah sakit dan Puskesmas
menyebabkan banyak kasus penyakit infeksi menular tidak tertangani secara
maksimal. Keterlambatan koordinasi dan hambatan dalam sistem komunikasi juga
memperlambat penanganann penyakit infeksi menular pascabencana alam.
6. Terganggunya Program Kesehatan Masyarakat
Setelah terjadi suatu bencana tenaga dan dana biasanya dialihkan untuk
kegiatan pemulihan. Jika program kesehatan masyarakat (misalnya program
pengendalian vektor atau program vaksinasi) tidak dipelihara atau dipulihkan
sesegera mungkin, penyebaran penyakit menular dapat meningkat pada populasi
yang tidak terlindung
6
7. Persediaan makanan, air dan penampungan darurat dalam situasi bencana
Kebutuhan dasar penduduk sering disediakan dari sumber baru atau
sumber yang berbeda. Penting kiranya untuk memastikan bahwa metode baru ini
memang aman serta bukan merupakan sumber penyakit menular. Feses manusia
mengandungbanyak organisme yang menyebabkan penyakit meliputi virus,
bakteri, dan telur atau larva dari parasit. Mikroorganisme yang ada pada feses
manusia mungkin masuk ke tubuh melalui makanan, air, alat makan dan masak
yang terkontaminasi atau melalui kotak dengan benda-benda yang terkontaminasi.
Diare, kolera, dan typhoid tersebar dengan cara ini dan penyebab utama kesakitan
dan kematian dalam bencana dan kedaruratan. Sedangkan urin relative kurang
berbahaya, kecuali di area dimana schistosomiasis karena urin terjadi. Banyak
penyakit menular menyebar melalui air minum dan makanan yang terkontaminasi
feses.
Dengan demikian, harus dilakukan upaya untuk memastikan pembuangan
ekstreta yang saniter. Pengaruh bencana pada pemanfaatan makanan, yaitu
penyerapan usus dan pemanfaatan nutrien lebih lanjut, secara tidak langsung
bergantung pada faktor seperti dampak bencana terhadap lingkungan, khususnya
persediaan air dan sanitasi. Kondisi tersebut menjadi topik yang harus
diperhatikan, khususnya berkaitan dengan infeksi gastrointestinal karena penyakit
tersebut dapat mempengaruhi penyerapan nutrient.
2.3. Pencegahan dan Pengurangan Penyakit Akibat Disaster
Prinsip – prinsip pencegahan dan pengendalian masalah gizi dan penyakit akibat
bencana, antara lain :
1. Melaksanakan sesegera mungkin semua upaya kesehatan masyarakat untuk
mengurangi risiko timbulnya masalah gizi dan penularan penyakit.
2. Menyusun suatu sistem pelaporan penyakit yang reliabel untuk
mengidentifikasi KLB dan untuk memulai pengendalian sesegera mungkin.
3. Menyelidiki semua laporan masalah gizi dan penyakit menular secara cepat.
Klarifikasi awal mengenai situasi dapat mencegah pemakaian yang sebenarnya
tidak diperlukan dari sumber daya yang jumlahnya terbatas dan mencegah
terputusnya program yang biasa.
2.4. Kontroling Penangulangan Bencana Akibat Disaster
Salah satu strategi yang terus dikembangkan dalam mewujudkan
Indonesia Sehat adalah melalui pengembangan desa siaga. Desa siaga adalah desa
7
yang penduduknya memiliki kesiapan sumber daya dan kemampuan serta
kemauan untuk mencegah dan mengatasi masalah-masalah kesehatan, bencana dan
kegawatdaruratan kesehatan secara mandiri. Desa yang dimaksud disini dapat
berarti kelurahan atau nagari atau istilah-istilah lain bagi kesatuan masyarakat
hukum yang memiliki batas-batas wilayah, yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat-
istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Inti kegiatan desa siaga adalah memberdayakan
masyarakat agar mau dan mampu untuk hidup sehat. Oleh karena itu, dalam
pengembangannya diperlukan langkah-langkah pendekatan edukatif, yaitu upaya
mendampingi (menfasilitasi) masyarakat untuk menjalani proses pembelajaran
yang berupa proses pemecahan masalah-masalah kesehatan yang dihadapinya.
Untuk menuju desa siaga perlu dikaji upaya-upaya kesehatan bersumberdaya
masyarakat (UKBM) yang sudah ada seperti posyandu, polindes, pos obat desa,
dana sehat, siap antar jaga kesehatan ibu dan anak (Siaga KIA) dan lain-lain
sebagai embrio atau titik awal pengembangan menuju desa siaga. Dengan
demikian, mengubah desa menjadi desa siaga akan lebih cepat bila di desa tersebut
telah ada berbagai UKBM. Pengembangan desa siaga juga merupakan revitalisasi
pembangunan kesehatan.
Masyarakat desa (PKMD) sebagai pendekatan edukatif yang perlu
dihidupkan kembali. Pengembangan Desa Siaga dilaksanakan dengan
membantu/memfasilitasi masyarakat untuk menjalani proses pembelajaran melalui
siklus atau spiral pemecahan masalah yang terorganisasi (pengorganisasian
masyarakat). Yaitu dengan menempuh tahap-tahap: (1) mengidentifikasi masalah,
penyebabnya, dan sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk mengatasi masalah,
(2) mendiagnosis masalah dan merumuskan alternatif-alternatif pemecahan
masalah, (3) menetapkan alternatif pemecahan masalah yang layak, merencanakan
dan melaksanakannya, serta (4) memantau, mengevaluasi dan membina kelestarian
upaya-upaya yang telah dilakukan. Meskipun di lapangan banyak variasi
pelaksanaannya, namun secara garis besarnya langkah-langkah pokok yang perlu
ditempuh adalah sebagai berikut:
1. Pengembangan tim petugas kecamatan (lintas program/lintas sektor)
Langkah ini merupakan awal kegiatan, sebelum kegiatan-kegiatan lainnya
dilaksanakan. Tujuan langkah ini adalah mempersiapkan para petugas kesehatan
8
yang berada di wilayah Puskesmas, baik petugas teknis maupun petugas
administrasi. Persiapan para petugas ini bisa berbentuk sosialisasi, pertemuan
atau pelatihan yang bersifat konsolidasi, yang disesuaikan dengan kondisi
setempat. Keluaran atau output dari langkah ini para petugas yang memahami
tugas dan fungsinya, serta siap bekerjasama dalam satu tim untuk melakukan
pendekatan kepada pemangku kepentingan dan masyarakat.
2. Pengembangan tim di masyarakat (Forum Desa Siaga)
Tujuan langkah ini adalah untuk mempersiapkan para petugas, tokoh
masyarakat, serta masyarakat, agar mereka tahu dan mau bekerjasama dalam
satu timuntuk mengembangkan desa siaga. Dalam langkah ini termasuk
kegiatan advokasi kepada para penentu kebijakan, agar mereka mau
memberikan dukungan, baik berupa kebijakan atau anjuran, serta restu, maupun
dana atau sumber daya lain, sehingga pengembangan desa siaga dapat berjalan
dengan lancar. Sedangkan pendekatan kepada tokoh-tokoh masyarakat
bertujuan agar mereka memahami dan mendukung, khususnya dalam
membentuk opini publik guna menciptakan iklim yang kondusif dalam
pengembangan desa siaga. Jadi dukungan yang diharapkan dapat berupa
dukungan moral, dukungan finansial atau dukungan material, sesuai
kesepakatan dan persetujuan masyarakat.
3. Survei mawas diri (SMD)
Survei mawas diri (SMD) atau Telaah Mawas Diri (TMD) atau Community Self
Survey (CSS) bertujuan agar masyarakat dengan bimbingan petugas mampu
melakukan telaah mawas diri untuk desanya. Survei ini harus dilakukan oleh
pemuka-pemuka masyarakat setempat dengan bimbingan tenaga kesehatan.
Dengan demikian, diharapkan mereka menjadi sadar akan permasalahan yang
dihadapi di desanya, serta timbul niat dan tekad untuk mencari solusinya. Untuk
itu, sebelumnya perlu dilakukan pemilihan dan pembekalan keterampilan bagi
mereka. Keluaran dari SMD ini berupa identifikasi masalah-masalah kesehatan
serta daftar potensi di desa yang dapat didayagunakan dalam mengatasi
masalah-masalah kesehatan tersebut.
4. Musyawarah masyarakat desa (MMD)
Tujuan penyelenggaraan musyawarah atau lokakarya desa ini adalah mencari
alternatif penyelesaian masalah kesehatan hasil SMD dikaitkan dengan potensi
yang dimiliki desa. Di samping itu, juga untuk menyusun rencana jangka
9
panjang pengembangan desa siaga. Inisiatif penyelenggaraan musyawarah
sebaiknya berasal dari para tokoh masyarakat yang telah sepakat mendukung
pengembangan desa siaga. Bahkan sedapat mungkin dilibatkan pula kalangan
dunia usaha yang bersedia mendukung pengembangan Desa Siaga dan
kelestariannya. Data serta temuan lain yang diperoleh pada saat SMD disajikan
adalah daftar masalah kesehatan, data potensi, serta harapan masyarakat. Hasil
pendapatan tersebut dimusyawarahkan untuk penentuan prioritas, dukungan dan
kontribusi apa yang dapat disumbangkan oleh masing-masing individu/institusi
yang diwakilinya, serta langkah-langkah solusi untuk pengembangan desa siaga.
Pelaksanaan kegiatan desa siaga
Secara operasional pembentukan desa siaga dilakukan dengan kegiatan-kegiatan
sebagai berikut:
a. Pemilihan pengurus dan kader desa siaga
Pemilihan pengurus dan kader desa siaga dilakukan melalui pertemuan
khusus para pimpinan formal desa dan tokoh masyarakat serta beberapa
wakil masyarakat. Pemilihan dilakukan secara musyawarah & mufakat,
sesuai dengan tata cara dan kriteria yang berlaku, dengan difasilitasi oleh
Puskesmas.
b. Orientasi/Pelatihan Kader Desa Siaga
Sebelum melaksanakan tugasnya, kepada pengelola dan kader desa yang
telah ditetapkan perlu diberikan orientasi atau pelatihan. Orientasi/pelatihan
dilaksanakan oleh Puskesmas sesuai dengan pedoman orientasi /pelatihan
yang berlaku. Materi orientasi/pelatihan mencakup kegiatan yang akan
dilaksanakan di desa dalam rangka pengembangan Desa Siaga yaitu antara
lain pengelolaan desa siaga secara umum, pembangunan dan pengelolaan
palayanan kesehatan dasar seperti Poskedes (jika diperlukan), pengelolaan
UKBM, serta hal-hal lain seperti kehamilan dan persalinan sehat, Siap-Antar-
Jaga, Keluarga Sadar Gizi, posyandu, kesehatan lingkungan, pencegahan
penyakit menular, penyediaan air bersih danpenyehatan lingkungan
pemukiman (PAB-PLP), kegawat-daruratan sehari-hari, kesiapsiagaan
bencana, kejadian luar biasa, warung obat desa (WOD), diversifikasikan
pertanian tanaman pangan dan pemanfaatan pekarangan melalui Taman Obat
Keluarga (TOGA), kegiatan surveilans, perilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS), dan lain-lain.
10
c. Pengembangan Pelayanan Kesehatan Dasar Dan UKBM
Dalam hal ini, pembangunan Poskesdes (jika diperlukan) bisa dikembangkan
dari UKBM yang sudah ada, khususnya Polindes. Apabila tidak ada
Polindes, maka perlu dibahas dan dicantumkan dalam rencana kerja
pembangunan Poskesdes. Dengan demikian sudah diketahui bagaimana
pelayanan kesehatan dasar tersebut akan diadakan, membangun baru dengan
fasilitas dari Pemerintah, membangun baru dengan bantuan dari donatur,
membangun baru dengan swadaya masyarakat, mengembangkan bangunan
Polindes yang ada, atau memodifikasi bangunan lain yang ada. Bilamana
Poskesdes Sudah berhasil diselenggarakan, kegiatan dilanjutkan dengan
membentuk UKBM-UKBM yang diperlukan, dan belum ada di desa yang
bersangkutan, atau merevitalisasi yang sudah ada tetapi kurang/tidak aktif.
Kegiatan-kegiatan di desa siaga utamanya dilakukan oleh kader kesehatan
yang dibantu tenaga kesehatan profesional (bidan, perawat, tenaga gizi, dan
sanitarian). Secara berkala kegiatan desa siaga dibimbing dan dipantau oleh
Puskesmas, yang hasilnya dipakai sebagai masukan untuk perencanaan dan
pengembangan desa siaga selanjutnya secara lintas sektoral.
d. Pembinaan dan peningkatan
Mengingat permasalahan kesehatan sangat dipengaruhi oleh kinerja sektor
lain, serta adanya keterbatasan sumberdaya, maka untuk memajukan desa
siaga perlu adanya pengembangan jejaring kerjasama denganberbagai pihak.
Perwujudan dari pengembangan jejaring desa siaga dapat dilakukan melalui
Temu Jejaring UKBM secar internal di dalam desa sendiri atau Forum
Komunikasi Desa Sehat dan atau Temu Jejaring antar Desa Siaga (minimal
sekali dalam setahun). Upaya ini selain untuk memantapkan kerjasama, juga
diharapkan dapat menyediakan wahana tukar-menukar pengalaman dan
memecahkan masalah-masalah yang dihadapi bersama. Yang juga tidak
kalah pentingnya adalah pembinaan jejaring lintas sektor, khususnya dengan
program-program pembangunan yang bersasaran desa.
2.5. Monitoring dan Evaluasi Program Penangulangan Bencana
a. Monitoring
Pemantauan dilakukan untuk memastikan bahwa pelaksanaan
penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana dan penanganan pengungsi

11
yang merupakan penjabaran dari kebijakan dilakukan berdasarkan perencanaan
yang telah dibuat sebelumnya.Pemantauan di dasarkan pada :
1) Standar minimal dengan indicator yang ada.
2) Dilakukan oleh semua tingkatan yakni petugas Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota
dan petugas dilokasi pengungsian (para penyelenggara program di masing–
masing departemen atau lembaga yang menyelenggarakannya).
3) Waktu pemantauan (setiap hari untuk dilokasi pengungsian, sedangkan tingkat
Kabupaten/Kota, Provinsi, dan Pusat melakukannya secara berkala).
4) Kesiapan dan pelaksanaan serta hal–hal yang merupakan ancaman bagi derajat
kesehatan masyarakat
5) Cara (dilakukan dengan kunjungan lapangan, studi dokumentasi, dan
pertemuan–pertemuan dengan pelaksana dan penerima pelayanan).
6) Hasil–hasil pemantauan disebarluaskan sehingga masyarakat mengetahui
perkembangan kemajuan yang dicapai.
b. Evaluasi
Evaluasi dilakukan dengan tujuan untuk :
1) Mengetahui keberhasilan pencapaian dan dampak program yang
diselenggarakan berdasarkan kebijakan dasar.
2) Memperbaiki kebijakan agar lebih dapat mendukung dan mempercepat
penyelesaian masalah kesehatan akibat becana dan penanganan pengungsi.
Pelaksana evaluasi :
1) Petugas yang ditunjuk oleh lembaga penyelenggara program di pusat,
sebanyak dua kali dalam satu tahun (evaluasi pertama bersifat formative
untuk mengetahui format pelaksanaan program, sedangkan evaluasi kedua
bersifat summative untuk mengetahui hasil–hasil program).
a) Petugas Provinsi sebanyak empat kali dalam setahun.
b) Petugas Kabupaten setiap bulan.
Cara evaluasi :
a) Kunjungan lapangan
b) Wawancara
c) Pengamatan
d) Studi dokumentasi
2) Hasil evaluasi disebarluaskan untuk diketahui masyarakat dan diperoleh
masukan alam revisi kebijakan.
12
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan


mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan , baik oleh
sector alam dan atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
megakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta
benda, dan dampak psikologis (Pusat Krisis Kesehatan, 2014).
Bencana alam yang terjadi selalu menyisakan kepedihan yang mendalam.
Baik berupa gempa bumi, tanah longsor, banjir, gunung meletus, ataupun tsunami.
Banyak korban nyawa, fisik, dan harta akibat bencana yang terjadi. Bencana
menyebabkan korban yang selamat, kehilangan keluarga, sahabat, harta, bahkan
tempat tinggal. Bencana ini selanjutnya menyebabkan berbagai masalah kesehatan.
Menurut Ketua Umum PB IDI Fachmi Idris, secara umum, masalah kesehatan utama
setelah bencana adalah trauma fisik seperti luka dan patah tulang. Kemudian, selama
dan sesudah masa itu korban bencana yang selamat dan tinggal di pengungsian juga
terancam penyakit jika upaya antisipasinya tidak memadai. Berbagai penyakit yang
ditimbulkan diasater antara lain sebagai berikut: masalah gizi, infeksi saluran
pernapasan akut (ispa), diare, demam berdarah, penyakit campak, penyakit
leptospirosis, infeksi saluran pernapasan akut (ispa), penyakit kulit, penyakit saluran
cerna lain, dan memburuknya penyakit kronis .

3.2. Saran

1) Bagi Institusi Pendidikan


Sebaiknya pihak yang bersangkutan memberikan pengarahan yang
lebih mengenai penyakit yang timbul akibat disaster.

13
2) Bagi Mahasiswa
Mengenai makalah yang kami buat, bila ada kesalahan maupun ketidak
lengkapan materi mengenai penyakit yang timbul akibat disaster. Kami mohon
maaf, kamipun sadar bahwa makalah yang kami buat tidaklah sempurna. Oleh
karena itu kami mengharap kritik dan saran yang membangun.

DAFTAR PUSTAKA

Ainy, Asmaripa. 2010. Desa Siaga Dan Manajemen Kesehatan Bencana. Jurnal Ilmu
Kesehatan Masyarakat Volume 1 No. 01 Maret 2010.

Daswito, Rinaldi. Dkk.2019. Studi Ekologi Kabut Asap Dan Kejadian ISPA Di
Kabupaten Muaro Jambi. Jurnal Kesehatan Published By Poltekkes
Ternate, 12 (2), 2019, Pages 213 – 220.

Hutagaol, Emmelia Kristina. 2019. Masalah Kesehatan Dalam Kondisi Bencana :


Peranan Petugas Kesehatan Partisipasi Masyarakat Health Problems In
Disaster Conditions: Role Of Community Participation Health Officers.
Jurnal Ilmiah Kesehatan Institut Medika Vol (1), No. 1, Desember 2019.
Husaein , Ahmad. 2017. Buku Ajar Kesehatan Lingkungan Manajenemen Bencana.
Desain oleh Tim P2M2 : Jakarta
Tumenggung, Imran.2017. Masalah Gizi Dan Penyakit Menular Pasca Bencana.
Health and Nutritions Journal Volume III / Nomor 1 / 2017.
Utariningsih, Wahyuni, dkk. 2019. Analisis Kerentanan Kesehatan Penduduk Pra-
Bencana Banjir Di Kabupaten Aceh Barat Daya.

14

Anda mungkin juga menyukai