Anda di halaman 1dari 77

SKRIPSI

PENGARUH KOMPOSISI BAHAN PENGKAPSUL TERHADAP


KUALITAS MIKROKAPSUL OLEORESIN
LADA HITAM (Piper nigrum L.)

Oleh :
Fahmi Nasrullah
F 24051949

2010
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
PENGARUH KOMPOSISI BAHAN PENGKAPSUL TERHADAP
KUALITAS MIKROKAPSUL OLEORESIN
LADA HITAM (Piper nigrum L.)

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh :
Fahmi Nasrullah
F 24051949

2010
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Skripsi : Pengaruh Komposisi Bahan Pengkapsul Terhadap Kualitas
Mikrokapsul Oleoresin Lada Hitam (Piper nigrum L.)
Nama : Fahmi Nasrullah
NIM : F24051949

Menyetujui,

Pembimbing I, Pembimbing II,

(Dr.Ir. Budiatman Satiawihardja, M.Sc) (Dra. Hernani, M.Sc)


NIP : 19530815.197903.1.002 NIP : 19570518.198603.2.001

Mengetahui:
Ketua Departemen,

(Dr.Ir. Dahrul Syah )


NIP : 19650814.199002.1.001

Tanggal Lulus : 23 Desember 2009


Fahmi Nasrullah. F24051949. Pengaruh Komposisi Bahan Pengkapsul Terhadap
Kualitas Mikrokapsul Oleoresin Lada Hitam (Piper nigrum L.). Di bawah bimbingan
Dr. Ir. Budiatman Satiawihardja, M.Sc dan Dra. Hernani, M.Sc.

RINGKASAN
Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor lada terbesar di dunia.
Namun lada yang diperjualbelikan biasanya dalam bentuk utuh yang berisiko
mengalami penurunan mutu. Untuk menanggulangi masalah tersebut, pemasaran lada
hitam dapat dilakukan dalam bentuk oleoresin. Meskipun oleoresin lada hitam memiliki
banyak kelebihan dibanding lada utuh, oleoresin memiliki beberapa kelemahan seperti
penanganan bahan di industri lebih sulit serta rentan terjadi perubahan kimia dan
organoleptik selama penyimpanan. Mikroenkapsulasi oleoresin lada hitam dapat
menjadi salah satu solusi untuk menjawab tantangan tersebut. Mikroenkapsulasi adalah
proses pengkapsulan bahan aktif dengan bahan pengkapsul tertentu sehingga dapat
melindungi bahan aktif dari resiko penurunan mutu.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan komposisi bahan
pengkapsul yang efisien untuk mikroenkapsulasi oleoresin lada hitam. Penelitian ini
diharapkan dapat memberikan acuan proses pembuatan mikrokapsul oleoresin lada
hitam yang efisien dan ekonomis terutama dari segi pemakaian bahan pengkapsulnya
dengan metode spray drying.
Penelitian tahap pertama yakni penentuan bahan pengkapsul mengombinasikan
maltodekstrin dengan susu skim, tepung kedelai, dan tepung kacang hijau dengan
konsentrasi 1%, 2%, dan 3%. Susu skim dinilai sebagai bahan protein terbaik
dibandingkan dengan bahan lain dengan rendemen 73,22%, kadar air 4,75%, kadar
minyak atsiri 0,82%, dan kadar oleoresin tak terkapsulkan (kadar surface oil) sebesar
0,58% pada pemakaian susu skim 3%.
Penelitian tahap kedua yakni penentuan komposisi bahan pengkapsul
mengombinasikan maltodekstrin dengan susu skim dan dengan natrium kaseinat
sebagai pembanding. Komposisi bahan pengkapsul terbaik adalah perlakuan 2 yakni
penggunaan susu skim 10% dari bahan pengkapsul dan konsentrasi bahan pengkapsul
sebesar 10% dari total emulsi. Mikrokapsul yang dihasilkan dari perlakuan ini memiliki
rendemen 67,22%, kadar minyak atsiri 0,68%, kadar surface oil 0,1420%, pH 6,16, dan
kelarutan sebesar 98,20%. Hasil pengamatan dengan scanning electron microscope
menunjukkan bahwa mikrokapsul perlakuan 2 memiliki morfologi yang cukup baik
dengan diameter partikel antara 2-20 μm.
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena berkat
rahmat serta hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang
berjudul ‖Pengaruh Komposisi Bahan Pengkapsul Terhadap Kualitas Mikrokapsul
Oleoresin Lada Hitam (Piper nigrum L.)”. Penyusunan skripsi merupakan salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Budiatman Satiawihardja, M.Sc. dan Dra. Hernani, M.Sc. selaku
pembimbing atas pengarahan dan masukannya kepada penulis hingga penyelesaian
skripsi
2. Dr. Ir. H. Yadi Haryadi atas kesediaan dan masukannya sebagai dosen penguji.
3. Dra. Sri Yuliani, Apt. atas izinnya mengikuti proyek penelitian ini
4. Keluargaku: Ayah, Ibu, dan Kakak-kakakku atas kasih sayang, doa, dan segala
dukungan yang tidak ternilai harganya baik secara moril maupun materil.
5. Yang terkasih, Risma Sholeh Hattunisa atas segala perhatian, dukungan, dan kasih
sayangnya
6. Sahabat seperjuangan, Galih Nugroho. Terima kasih atas segala kebersamaan yang
telah kita lalui
7. Sahabat-sahabatku The Golden Generation ITP 42, Twi, Icha, Tiyu, Peye, Kamlit,
Harist, Beki, Hesti, Indri, Rino, Hurry, Achid, Ari TP, Aji, Venty serta adik-adikku
ITP 43 dan ITP 44.
8. Sahabat-sahabatku di Café Friends 24 dan Lumpia Van Java : Riza, Dila, Tiwi,
Widya, Widi, Tito, Zul, Rina, dan Jali atas semangat tak kenal lelah dalam
berwirausaha serta Bi Arti, Dikdik dan Mas Nur atas bantuannya
9. Sahabat sekosan, Torik, Ragil, Rofik, dan Riki atas segala bantuannya
10. Para laboran yang telah membimbing penulis melakukan penelitian: Pak Triono,
Pak Adom. Mbak Dewi, Mbak Melly, Bu Pia (BB Pascapanen), Pak Yahya, dan
Pak Wahid (Lab ITP)
11. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
penulis baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat
diharapkan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, Januari 2010

Fahmi Nasrullah
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Gresik pada tanggal 8 Februari 1988.


Penulis adalah anak terakhir dari lima bersaudara dari pasangan
Masyhudi Mahmud dan Sumarlik. Penulis mengawali pendidikan
pada tahun 1993 di Modern YIS SunanGiri, kemudian melanjutkan
pendidikan di SLTP Negeri 3 Gresik (1999-2002) dan SMA Negeri
1 Gresik (2002-2005). Penulis diterima menjadi mahasiswa Institut
Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Departemen Ilmu
dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian.
Penulis aktif mengikuti organisasi di antaranya Himpunan Mahasiswa Surabaya
dan sekitarnya (Himasurya Plus), Unit kegiatan mahasiswa Forum for Scientific Studies
(FORCES IPB) dan Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (Himitepa IPB).
Penulis juga bertanggungjawab terhadap berbagai kegiatan antara lain Open House IPB,
Seminar dan Training HACCP, Training 2in1 ISO 9001 dan ISO 22000, Kompetisi
Inovasi Agroteknologi, penyuluhan keamanan pangan untuk pedagang
makanan/minuman dan lain-lain. Penulis pernah mendapat juara 3 tingkat nasional di
ajang National Scientific Paper Competition in Agriculture yang diadakan IAAS LC
Universitas Brawijaya pada tahun 2008 dengan judul ―The Importance of Alternative
Food Product Based on Sorghum to Face Global Warming Effects in Indonesia‖.
Penulis juga dipercaya sebagai koordinator asisten Praktikum Teknologi Pangan dan
aktif sebagai pengajar di beberapa bimbingan belajar.
Penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Fakultas Teknologi
Pertanian, dengan judul ―Pengaruh Komposisi Bahan Pengkapsul Terhadap Kualitas
Mikrokapsul Oleoresin Lada Hitam (Piper nigrum L.)‖ di bawah bimbingan Dr. Ir.
Budiatman Satiawihardja, M.Sc dan Dra. Hernani, M.Sc.
DAFTAR ISI

Halaman
RINGKASAN .............................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ................................................................................. v
RIWAYAT HIDUP PENULIS ................................................................... vii
DAFTAR ISI ............................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ....................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xii
I. PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG ....................................................................... 1
B. TUJUAN ........................................................................................... 3
C. MANFAAT ....................................................................................... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 4
A. LADA HITAM.................................................................................. 4
B. OLEORESIN..................................................................................... 7
C. MIKROENKAPSULASI ................................................................... 8
D. BAHAN PENGKAPSUL .................................................................. 14
1. Maltodekstrin ............................................................................... 15
2. Natrium Kaseinat ......................................................................... 17
3. Susu Skim .................................................................................... 17
4. Tepung Kacang Kedelai ............................................................... 19
5. Tepung Kacang Hijau................................................................... 21
III. METODOLOGI .................................................................................. 22
A. WAKTU DAN TEMPAT ................................................................... 22
B. BAHAN DAN ALAT PENELITIAN ................................................. 22
C. TAHAPAN PENELITIAN ................................................................. 22
1. Ekstraksi Oleoresin Lada Hitam .................................................. 22
2. Penelitian Pendahuluan : Penentuan Bahan Pengkapsul ............... 23
3. Penelitian Utama : Penentuan Komposisi Bahan Pengkapsul ....... 24
D. PERLAKUAN ................................................................................... 25
E. METODE ANALISIS ......................................................................... 27
1. Rendemen Oleoresin ..................................................................... 27
2. Rendemen Mikrokapsul ................................................................ 27
3. Kadar Air Metode Destilasi Azeotropik ........................................ 27
4. Kadar Minyak Atsiri ..................................................................... 27
5. Kadar Surface Oil atau Kadar Minyak di Permukaan .................... 28
6. Kelarutan Dalam Air Metode Gravimetri ...................................... 29
7. Derajat Keasaman / pH ................................................................. 29
8. Analisis dengan Scanning Electrone Microscope .......................... 29
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................. 31
A. EKSTRAKSI OLEORESIN LADA HITAM ..................................... 31
B. PENENTUAN BAHAN PENGKAPSUL .......................................... 32
C. PENENTUAN KOMPOSISI BAHAN PENGKAPSUL .................... 39
D. HUBUNGAN ANTARA MIKROSTRUKTUR DAN KUALITAS
MIKROKAPSUL .............................................................................. 51
V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 54
A. KESIMPULAN ................................................................................. 54
B. SARAN ............................................................................................. 54
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 55
LAMPIRAN ................................................................................................ 61
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Produksi lada dan volume ekspor lada Indonesia ............................. 1
Tabel 2. Komposisi kimia lada hitam dan lada putih ..................................... 5
Tabel 3. Komposisi kimia lada hitam dalam 100 g lada hitam ....................... 6
Tabel 4. Persyaratan mutu oleoresin lada ...................................................... 8
Tabel 5. Mikroenkapsulasi beberapa bahan aktif dengan metode spray drying 13
Tabel 6. Jenis bahan pengkapsul yang digunakan untuk mikrokapsul ............ 15
Tabel 7. Kandungan protein pada susu skim.................................................. 18
Tabel 8. Formulasi perlakuan pada penelitian utama ..................................... 26
Tabel 9. Karakterisitik lada hitam oleoresin hasil percobaan ......................... 31
Tabel 10. Viskositas emulsi dengan berbagai konsentrasi bahan pengkapsul . 39
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1. Tanaman lada (Piper nigrum L.) ................................................. 4
Gambar 2. Beberapa alkaloid yang terdapat dalam lada hitam ...................... 6
Gambar 3. Morfologi dari tipe mikokapsul yang berbeda ............................. 9
Gambar 4. Diagram skematik proses spray drying ....................................... 11
Gambar 5. Diagram Alir Ekstraksi Oleoresin Lada Hitam ............................ 23
Gambar 6. Diagram alir proses mikroenkapsulasi oleoresin lada hitam......... 25
Gambar 7. Rendemen mikrokapsul oleoresin lada hitam dengan variasi bahan
pengkapsul .......................................................................... 33
Gambar 8. Kadar air mikrokapsul oleoresin lada hitam dengan variasi bahan
pengkapsul .......................................................................... ......... 34
Gambar 9. Kadar minyak atsiri mikrokapsul oleoresin lada hitam dengan variasi
bahan pengkapsul .............................................................. ........... 35
Gambar 10.Kadar surface oil mikrokapsul dengan berbagai variasi bahan
pengkapsul . ................................................................................ 37
Gambar 11.Rendemen mikrokapsul dengan variasi komposisi bahan
Pengkapsul .................................................................................. 40
Gambar 12.Kadar minyak atsiri mikrokapsul dengan variasi komposisi bahan
pengkapsul ................................................................................. 42
Gambar 13.Kesalahan kandungan minyak atsiri ............................................ 45
Gambar 14.Kadar surface oil mikrokapsul dengan berbagai komposisi bahan
pengkapsul ................................................................................. 46
Gambar 15.Kelarutan mikrokapsul dengan variasi komposisi bahan pengkapsul 48
Gambar 16.Derajat keasaman mikrokapsul dengan variasi komposisi bahan
pengkapsul ................................................................................. 49
Gambar 17. Hasil SEM mikrokapsul perlakuan 2 .......................................... 51
Gambar 18. Hasil SEM mikrokapsul perlakuan 4 .......................................... 51
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Perhitungan komposisi bahan mikrokapsul untuk penelitian
pendahuluan .......................................................................... 62
Lampiran 2. Hasil Penelitian Pendahuluan ................................................ 63
Lampiran 3a. Hasil Penelitian Utama .......................................................... 64
Lampiran 3b. Hasil Penelitian Utama (lanjutan) .......................................... 65
Lampiran 4. Dokumentasi hasil penelitian ................................................. 66
A. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor lada terbesar di dunia.


Produksi lada Indonesia tahun 2002 lebih dari 90 ribu ton. Sebanyak 70% di
antaranya diekspor. Namun produksi lada Indonesia terus menurun menjadi di bawah
80 ribu ton pada tahun 2005 (Ditjenbun, 2008). Volume ekspor lada Indonesia juga
turun drastis di tahun yang sama menjadi hanya 44% dari total produksi (BPS, 2005).
Tabel 1 menunjukkan produksi lada Indonesia dan ekspornya.
Tabel 1. Produksi lada dan volume ekspor lada Indonesia.
Tahun Produksi Lada (Ton)*) Volume Ekspor Lada (Ton)**)
2000 69.087 65.011
2001 82,078 53.638
2002 90,181 63.214
2003 90,740 51.546
2004 77,008 34.302
2005 78,328 34.556
*) Direktorat Jenderal Perkebunan (2008)
**) Badan Pusan Statistik (2005)
Penurunan ekspor lada antara lain disebabkan oleh munculnya negara-negara
baru pengekspor lada seperti Vietnam serta meningkatnya standar mutu lada di
negara-negara konsumen akibat persaingan perdagangan yang semakin ketat. Untuk
meningkatkan kembali ekspor lada Indonesia diperlukan peningkatan mutu lada serta
diversifikasi produk olahan lada yang memiliki nilai ekonomi yang lebih besar (IPC,
2005).
Produk olahan lada yang dihasilkan oleh masyarakat Indonesia berupa lada
hitam dan lada putih. Namun lada yang diperjualbelikan biasanya dalam bentuk utuh
yang berisiko mengalami penurunan mutu selama pengangkutan. Agar mutu lada
dapat dipertahankan, pemasaran lada dapat dilakukan dalam bentuk kering (bubuk)
atau oleoresin. Oleoresin, menurut Sudibyo (1989) dan Djubaedah (1986), memiliki
beberapa keunggulan dibandingkan bahan segar maupun bubuk yakni : (1) dapat
menanggulangi masalah kontaminasi mikroba; (2) mengurangi volume dan berat
sehingga mengurangi biaya transportasi; (3) menghindari pemalsuan; (4)
memungkinkan standardisasi kekuatan flavour; (5) mengandung antioksidan alami;
dan (8) masa simpannya lama pada kondisi ideal.
Hasil olahan lada hitam dalam bentuk oleoresin memiliki beberapa
kelemahan. Konsistensinya yang lengket dan kental mempersulit penanganan bahan
dalam aplikasi di indusri. Perubahan kimia dan organoleptik yang bersifat dekstruktif
juga dapat terjadi selama penyimpanan. Transformasi oleoresin menjadi bentuk
bubuk merupakan salah satu pendekatan yang sangat menarik untuk memberikan
kemudahan dalam penanganan dan pemakaian oleoresin serta menjaga mutu bahan
aktifnya. Mikroenkapsulasi pada oleoresin lada hitam dapat menjadi salah satu
metode yang dapat menjawab tantangan tersebut.
Mikroenkapsulasi adalah suatu proses pengkapsulan suatu bahan inti dengan
menggunakan bahan pengkapsul khusus yang membuat bahan inti mempunyai sifat
fisika dan kimia seperti yang dikehendaki (Rosenberg et al., 1990). Proses ini dapat
melindungi bahan aktif dari pengaruh lingkungan yang merugikan seperti kerusakan
akibat oksidasi, hidrolisis, penguapan atau degradasi panas sehingga bahan aktif akan
mempunyai masa simpan yang lebih panjang serta mempunyai kestabilan proses
yang lebih baik. Selain itu, pelepasan bahan aktif dari dalam kapsul juga dapat
dikendalikan sehingga efektifitasnya dapat dirancang sesuai dengan keinginan dan
dapat menghasilkan produk dengan kualitas flavour yang distandardisasi (Koswara,
1995).
Efektivitas mikroenkapsulasi sangat ditentukan oleh bahan pengkapsulnya.
Oleh karena itu diperlukan penelitian tentang bahan pengkapsul yang dapat
menghasilkan produk mikrokapsul yang optimal. Desmawarni (2007) dalam
penelitiannya tentang mikroenkapsulasi oleoresin jahe telah mendapatkan kondisi
spray drying yang menghasilkan efisiensi mikroenkapsulasi yang tinggi (suhu inlet
170°C dan laju alir umpan 15 ml/menit). Komposisi bahan pengkapsul juga telah
diperoleh dengan bahan dasar maltodekstrin dan penambahan natrium kaseinat.
Berdasarkan penelitian tersebut disarankan untuk mencobakan jenis protein lain dari
sumber protein lokal yang murah dan mudah didapat. Oleh kerena itu, dalam
penelitian tentang mikrokapsul oleoresin lada hitam ini akan dikaji penggunaan
beberapa jenis protein lokal, murah, dan mudah didapat seperti susu skim, tepung
kedelai dan tepung kacang hijau dengan menggunakan natrium kaseinat sebagai
pembanding.

B. TUJUAN
Penelitian ini bertujuan
1. mengetahui pengaruh kompisisi bahan pengkapsul terhadap kualitas
mikrokapsul oleoresin lada hitam (P. nigrum L.)
2. membandingkan pengaruh bahan pengkapsul dari jenis protein lokal dengan
natrium kaseinat
3. menentukan jenis dan komposisi bahan pengkapsul yang efektif.

C. MANFAAT
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan acuan proses pembuatan
mikrokapsul oleoresin lada yang efisien dan ekonomis terutama dari segi pemakaian
bahan pengkapsulnya. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan nilai
tambah bagi komoditas lada sehingga meningkatkan konsumsi produk diversivikasi
lada. Peningkatan konsumsi ini dengan sendirinya meningkatkan kebutuhan bahan
baku lada sehingga berdampak pada peluang peningkatan usaha pertanaman lada,
yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan petani lada.
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. LADA HITAM
Lada (Piper nigrum L.) termasuk famili Piperaceae, ordo piperales, dan
genus piper. Tanaman lada berasal dari pantai barat Ghats, India dan berkembang
pesat di Indonesia. Di Indonesia terdapat sekitar 40 spesies lada dan yang paling
banyak dibudidayakan adalah jenis lada lampung dan lada bangka (Rismunandar,
2000).
Tanaman lada dapat hidup pada daerah yang mempunyai iklim panas dengan
curah hujan merata sepanjang tahun, suhu lingkungan yang optimal 23-300C dan
ketinggian tempat tidak lebih dari 500 meter di atas permukaan laut. Pemanenan
lada dilakukan setelah tanaman lada berumur 2,5 – 3 tahun. Tanaman lada dengan
penanaman yang intensif menghasilkan 1 – 1,8 kg lada hijau per tanaman pada
tahun ketiga. Nilai produktivitas ini naik menjadi 3,6 – 9,0 kg pada umur 4 hingga 7
tahun, lalu turun menjadi 2 kg per tanaman per tahun pada umur 8 tahun hingga 12
atau 15 tahun (Purseglove et al., 1981).
Buah lada umumnya berbentuk bulat atau agak lonjong. Buah normal
berwarna hijau dan apabila sudah masak berwarna oranye sampai merah. Buah yang
tidak normal berukuran kecil, berwarna hijau tua, dan akan berubah warna menjadi
kehitam-hitaman (Nuryani, 1996).

Gambar 1. Tanaman lada (Piper nigrum L.) dan lada hitam


Pada dasarnya, ada dua jenis hasil olahan lada yaitu lada hitam dan lada
putih. Menurut Ketaren (1985), perbedaan pengolahan lada hitam dan lada putih
terletak pada proses fermentasi. Lada putih dibuat merendam buah lada yang matang
(tua) dalam air selama 7–10 hari. Lada yang telah direndam dipisahkan dari tangkai
dan kulitnya kemudian dikeringkan. Lada hitam dibuat dengan cara lada ditumpuk
dulu selama 2–3 hari agar lada menjadi coklat kehitaman baru kemudian
dihilangkan tangkainya dan dikeringkan.
Selain ditimbun, pemeraman buah lada dapat dilakukan dengan cara
direndam dalam air panas selama sekitar sepuluh menit (blanching). Proses ini dapat
mempercepat pencoklatan dan proses pengeringan. Selanjutnya buah dijemur di
bawah sinar matahari langsung hingga kering (Purseglove et al., 1981). Dari
penjemuran akan dihasilkan buah lada yang berwarna hitam kelam dengan kulit
keriput. Setelah kering, seluruh buah yang melekat pada tangkai malai dilepaskan.
Lalu lada dibersihkan dari segala kotoran. Rendemen lada hitam kering sebanyak
33-36% (Rismunandar, 2000). Lada yang telah kering akan mengandung air sekitar
11-14% (Mansjur, 1980).
Lada hitam memiliki nilai terutama pada aroma rempahnya dan rasa
pedasnya yang khas (Premi, 2000). Rasa pedas lada diakibatkan oleh adanya zat
piperin, piperanin, dan chavicin yang merupakan senyawa alkaloida (Rismunandar,
2000). Chavicin banyak terdapat dalam daging atau kuli biji lada dan tidak akan
hilang walaupun biji yang masih berdaging dijemur hingga menjadi lada hitam.
Oleh karena itu, lada hitam lebih pedas bila dibandingkan denga lada putih. Menurut
Pangborn (1970), minyak lada merupakan campuran hidrokarbon yang terdiri dari
70-80% monoterpen, 20-30% seskuiterpen, dan kurang dari 4% senyawa
beroksigen. Perbandingan komposisi kimia lada hitam dan lada putih dapat dilihat
pada Tabel 2. Komposisi kimia lada hitam lebih detil dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 2. Komposisi kimia lada hitam dan lada putih.


Kandungan Lada hitam (%) Lada putih (%)
Air 8 – 13 9,9 – 15
Protein 11 11
Karbohidrat 22 – 24 50 – 65
Minyak atsiri 1–4 <1
Piperin (alkaloid) 5–9 5–9
Sumber : Rismunandar (2000)
Tabel 3. Komposisi kimia lada hitam dalam 100 g lada hitam.
Komposisi Kandungan (mg)
Air 10 500
Protein 11 000
Lemak 3 300
Karbohidrat 64 800
Serat 13 100
Kadar abu 4 300
Kalsium 437
Zat besi 29
Magnesium 194
Fosfor 173
Potasium 1259
Sodium 44
Zinc 1
Sumber : Farrrel (1985)
Piperin merupakan alkaloid dengan rumus molekul C17H19NO3. Senyawa ini
dapat membentuk kristal dengan titik cair 129-130°C dan merupakan amida, sedikit
larut dalam air, akan tetapi mudah larut dalam alkohol (6.1 gram / 100 ml alkohol)
(Ketaren, 1985). Beberapa alkaloid yang terdapat dalam lada hitam dapat dilihat
pada Gambar 2.

Piperin Piperidin Chavicin

Piperetin Piperanin

Gambar 2. Beberapa alkaloid yang terdapat dalam lada hitam (Epstein, 1993)
B. OLEORESIN
Oleoresin adalah campuran resin dan minyak atsiri, berbentuk padat atau
semi padat, dan konsisteansinya lengket. Oleoresin dapat diperoleh dari ekstraksi
bagian tanaman tertentu dengan mempergunakan pelarut organik. (Rismunandar,
2000). Selain mengandung resin dan minyak atsiri, oleoresin juga mengandung
bahan lain seperti senyawa aromatik, zat warna (pigmen), vitamin dan komponen
lain dari rempah tersebut (Whitteley et al., 1952). Menurut Pruthi (1980),
penggunaan rempah dalam oleoresin memiliki beberapa keuntungan, antara lain :
lebih bersifat sebagai anti mikroba, lebih higienis, mengandung anti oksidan alami,
bebas dari enzim, memiliki umur simpan yang lebih panjang, penyimpanan lebih
hemat, lebih ringan dalam pengangkutan, dan terhindar dari bahaya jamur seperti
yang dialami rempah pada umumnya.
Pembuatan oleoresin dimulai dengan pencampuran bahan rempah-rempah
yang berbentuk bubuk halus dengan pelarut. Larutan dipisahkan dengan
penyaringan pelarut kemudian pelarut diuapkan pada suhu dan tekanan rendah.
Rendemen ekstraksi oleoresin lada dilaporkan bervariasi antara 5-15% sementara
kadar minyak atsiri dan kadar piperinnya antara 15-27% dan 35-55% (Purseglove et
al., 1980). Sufni (2001) menyebutkan dalam penelitiannya bahwa rendemen
oleoresin tertinggi dihasilkan dari lada hitam dengan lama ekstraksi 2 jam, yaitu
sebesar 17,66%. Syarat mutu oleoresin menurut SNI dapat dilihat pada Tabel 4.
Menurut Raghavan (2007), minyak atsiri oleoresin lada hitam
bertanggungjawab terhadap aroma pungency, sekitar 80% mengandung monoterpen
seperti sabinen, α-pinen, β-pinen, limonen, dan 1,8-sineol sedangkan 20% lainnya
ialah sekuiterpen seperti β-kariofilen dan humulen. Menurut Rismunandar (2000),
Oleoresin biji lada mengandung zat piperin, piperanin, dan chavicin yang memberi
rasa pedas pada biji lada.
Tabel 4. Persyaratan mutu oleoresin lada (SNI 0025-1987-B)
Karakteristik Persyaratan
Warna Coklat muda, coklat kehijauan, coklat
Bentuk Pasta cair, pasta kental
Aroma Khas lada
Kadar piperin % (b/b) min 35,0
Kadar minyak atsiri % (v/v) min 10,0
Indeks bias minyak atsiri (nd 250) 1,4820 – 1,4960
Sisa pelarut dalam oleoresin maks Tergantung syarat negara pengimpor

C. MIKROENKAPSULASI
Mikroenkapsulasi adalah suatu proses pengkapsulan bahan aktif yang
berbentuk cair atau padat dengan menggunakan suatu bahan pengkapsul khusus
yang membuat partikel-partikel inti mempunyai sifat fisika dan kimia seperti yang
dikehendaki. Bahan pengkapsul yang berfungsi sebagai dinding pembungkus bahan
inti tersebut dirancang untuk melindungi bahan-bahan terbungkus dari faktor-faktor
yang dapat menurunkan kualitas bahan tersebut (Rosenberg et al., 1990).
King (1995) menyatakan bahwa apabila ukuran partikel >5000 µm disebut
makrokapsul, ukuran partikel antara 0,2 sampai 5000 µm disebut mikrokapsul, dan
bila ukurannya kurang dari 0,2 µm disebut nanokapsul. Struktur dan ukuran
mikrokapsul yang dihasilkan tergantung dari teknik pengkapsulannya, jenis polimer
yang digunakan, dan jenis bahan inti yang dikapsulkan (Jackson and Lee, 1991).
Mikroenkapsulasi memiliki beberapa bidang aplikasi, pada umumnya adalah
industri makanan. Risch (1995) menyatakan bahwa mikroenkapsulasi banyak
digunakan untuk mempertahankan flavour, asam, lipid, enzim, mikroorganisme,
pemanis buatan, vitamin, mineral, air, bahan pengembang, pewarna, dan garam.
Proses enkapsulasi flavor dapat diterapkan untuk berbagai flavor alami, seperti
minyak atsiri dan oleoresin, maupun flavor buatan. Keuntungan-keuntungan yang
dapat diperoleh dengan proses mikroenkapsulasi ini antara lain adalah flavour
terlindungi dari perubahan dekstruktif (penguapan) selama penyimpanan, mudah
dalam pengolahan lanjutan, mudah digunakan dalam pencampuran produk, bebas
dari mikroba dan serangga (higienis), berkadar air rendah, dan dapat menghasilkan
produk dengan kualitas flavour yang distandardisasi (Koswara, 1995).
Bakan (1973) mengemukakan bahwa proses mikroenkapsulasi secara umum
melalui tiga tahap yaitu:
a. Bentuk tiga fase kimia yang belum saling bercampur, yaitu fase pembawa (air),
fase material inti yang akan dilapisi dan fase pengkapsul.
b. Penempelan bahan pengkapsul pada permukaan bahan inti. Umumnya tahapan
ini terjadi karena bahan pengkapsul diadsorbsikan pada antar permukaan yang
terbentuk antara materi inti dan bahan cair.
c. Pemadatan pelapis untuk membentuk mikroenkapsul yang biasanya terjadi
akibat adanya panas.
Menurut Bakan (1973), keberhasilan suatu mikroenkapsulasi dan sifat
mikrokapsul yang dihasilkan dipengaruhi oleh parameter penting, yakni :
a. Bahan inti yang disalut, yaitu berwujud padat atau cair
b. Bahan pengkapsul yang digunakan
c. Prinsip proses mikroenkapsulasi yang digunakan (fisika atau kimia)
d. Tahapan proses mikroenkapsulasi
e. Struktur dinding mikrokapsul
Berdasarkan sifat fisik dan kimia bahan inti, komposisi bahan pengkapsul,
dan metode mikroenkapsulasi; mikrokapsul yang dihasilkan dapat dikelompokkan
menjadi beberapa tipe yakni tipe berinti tunggal (simpel/monocore), tak teratur
(irregular), berinti banyak (multi-core), multilapis (multi-wall), dan matrik (Gibbs
et al., 1999). Kelima morfologi mikrokapsul tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Morfologi dari tipe mikrokapsul yang berbeda (Gibbs et al., 1999).
Beberapa metode proses enkapsulasi yang sudah dikomersilkan untuk
penggunaan bahan makanan yaitu (1) metode spray drying, (2) pengkapsulan
dengan suspensi udara, (3) ekstruksi dan, (4) spray cooling atau spray chilling.
Proses enkapsulasi dapat pula dilakukan dengan teknik koaservasi, kokristalisasi,
dan thin layer drying.
Kokristalisasi merupakan metode yang menggunakan sukrosa sebagai bahan
pengkapsul merujuk penelitian mikroenkapsulasi oleoresin pala (Chandrayani,
2002). Enkapsulasi pada metode ini terjadi akibat kristalisasi spontan dari sukrosa
yang menghasilkan bentuk berkelompok sehingga menyalut bahan inti. Koaservasi
adalah suatu istilah yang digunakan untuk menerangkan fenomena pemisahan fase
dalam sistem koloid. Pemisahan fase erat kaitannya dengan pengendapan atau
flokulasi zat koloid (Soottitantawat et al., 2005). Metode thin layer drying dilakukan
dengan menyalut bahan inti dengan bahan pengkapsul tertentu kemudian
dikeringkan menjadi lembaran tipis. Selanjutnya lembaran ini digiling sehingga
berbentuk serbuk.
Suspensi udara berfungsi sebagai alat mikroenkapsulasi dimana partikel
padatan yang akan diselaputi ada pada suatu kolom udara panas dan kemudian
disemprot dengan bahan pengkapsul dari atas melalui nozzle yang akan
menghasilkan lapisan-lapisan tipis pada permukaan partikel. (Dziezak, 1988). Spray
cooling atau spray chilling adalah metode mikroenkapsulasi dengan lemak sebagai
bahan pengkapsulnya (Bakan dan Anderson, 1987). Lemak didinginkan pada suhu
tertentu sehingga bahan inti yang berbentuk padat seperti vitamin dan mineral
terkapsulkan didalamnya (Risch, 1995)
Metode spray drying adalah metode yang paling umum digunakan dalam
proses mikroenkapsulasi pada industri pangan karena biayanya yang rendah dan
peralatannya telah tersedia (Gouin, 2004). Mikroenkapsulasi dengan teknik ini
merupakan yang paling tua untuk proses enkapsulasi dan digunakan pertama kali
sekitar tahun 1930an untuk membuat perisa dengan gum akasia sebagai bahan
pengkapsulnya (Shahidi & Han, 1993). Diagram skematik proses spray drying dapat
dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Diagram skematik proses spray drying

Keuntungan penggunaan metode spray drying antara lain adalah peralatan


yang digunakan sederhana, biaya proses relatif rendah, pilihan yang luas dalam
penggunaan bahan pengkapsul, kemampuan retensi bahan volatil yang baik, dan
stabilitas flavour yang dihasilkan juga sangat baik (Reineccius, 1988). Keuntungan
lainnya adalah teknologi ini sudah banyak dikuasai sehingga mudah diaplikasikan,
mampu memproduksi mikrokapsul dalam jumlah banyak, bahan pengkapsul yang
cocok untuk spray drying juga layak sebagai bahan makanan, dan bahan pengkapsul
yang digunakan larut dalam air sehingga dapat melepaskan bahan inti tanpa adanya
bahan pengkapsul yang mengendap (Thies, 1996). Dibandingkan dengan metode
freeze-drying, biaya spray drying 30-50 kali lebih murah (Desobry et al., 1997).
Proses yang terdapat dalam spray drying ada tiga tahap : (1) persiapan bahan
emulsi, (2) homogenisasi, dan (3) penyemprotan emulsi ke dalam chamber
(atomisasi massa pada tempat pengeringan). Tahap pertama adalah pembentukan
emulsi yang stabil dari bahan inti dalam larutan pengkapsul. Emulsi yang akan
diatomisasi dipreparasi dulu dengan cara mendispersikan bahan inti, yang biasanya
hidrofobik, dalam larutan bahan pengkapsul yang immisibel. Dispersi ini harus
dihomogenisasi dengan atau tanpa pengemulsi. Pada awal proses spray drying,
droplet emulsi berdiameter 1-100 μm (Dziezak, 1988).
Emulsi minyak dalam air yang dihasilkan kemudian diatomisasi ke dalam
udara panas yang dihembuskan ke drying chamber dan penguapan zat pelarut
(biasanya air) mendorong pembentukan mikrokapsul. Partikel yang disemprotkan
diasumsikan sebagai parikel yang berbentuk bola dengan minyak terbungkus
didalamnya, dalam fase aquatik (Dziezak, 1988). Proses atomisasi bertujuan agar
dapat membentuk semprotan sehalus mungkin, sehingga transfer panas antara udara
panas dan suspensi larutan dapat optimal. Proses kontak antara partikel hasil
atomisasi dan udara pengering adalah proses pengeringan. Proses ini terjadi pada
suhu antara 150-220°C. Proses penguapan air bahan berlangsung sangat cepat
sekitar 5 detik (Corrigan, 1995). Waktu eksposisi dan evaporasi air yang cepat
menjaga temperatur inti dibawah 40 oC walaupun proses spray drying menggunakan
suhu tinggi (Dubernet dan Benoit, 1986). Tabel 5 berikut merupakan beberapa
penelitian tentang mikroenkapsulasi metode spay drying beberapa bahan aktif.
Tabel 5. Mikroenkapsulasi beberapa bahan aktif dengan metode spray drying
Suhu Suhu Suhu
No Bahan Inti Bahan Pengkapsul Umpan Inlet Outlet
(oC) (oC) (oC)
1 Anhydrous milk fat Protein whey / laktosa 50 160 80

2 Etil butirat etil kaprilat Protein whey / laktosa 5 160 80


Oregano, citronela dan
3 Protein whey / protein susu TD 185-195 85-95
marjoram
4 Minyak kedelai Sodium kaseinat / karbohidrat TD 180 95
Kalsium sitrat, kalsium Turunan selulosa / asam
5 TD 120-170 91-95
laktat polimetakrilik
6 Likopen Gelatin / sukrosa 55 190 52

7 Minyak ikan Turunan pati / sirup glukosa TD 170 70


Suhu
8 Minyak esensial kardamom Gum Mesquite 195-205 105-115
ruang
Maltodekstrin / gum arab /
9 Arakidonil L-askorbat TD 200 100-110
polisakarida kedelai
Gum arab / pati termodifikasi /
10 Oleoresin kardamom TD 160-180 115-125
maltodekstrin
Gum arab / maltodekstrin / Suhu
11 Bixin 180 130
sukrosa ruang
Gum arab / pati termodifikasi /
12 D-Limonen TD 200 100-120
maltodekstrin
13 L-Menthol Gum arab / pati termodifikasi TD 180 95-105
14 Oleoresin lada hitam Gum arab / pati termodifikasi TD 176-180 105-115
Gum arab / pati termodifikasi /
15 Oleoresi kurkumin TD 158-162 115-125
maltodekstrin
16 Minyak ikan Pektin bit/sirup glukosa TD 170 70
Protein susu / protein whey /
17 Minyak esensial Caraway TD 175-185 85-95
maltodekstrin
18 Asam lemak rantai pendek Maltodekstrin/gum arab TD 180 90
Keterangan : TD : Tidak dilaporkan
Sumber : Gharsallaoui et al. (2007)
Mikroenkapsulasi oleoresin lada hitam metode spray drying telah dilakukan
oleh Saikh et al. (2006) dengan menggunakan gum arab dan pati termodifikasi (Hi-
Cap). Gum arab dilaporkan memiliki kemampuan proteksi lebih baik daripada pati
termodifikasi dilihat dari waktu paruh (t 1/2) perlindungannya. Waktu paruh
mikrokapsul dengan gum arab mencapai 71 minngu sementara dengan pati
termodifikasi hanya 55 minggu. Menurut (Gharsallaoui et al., 2007), gum arab
memiliki kemampuan yang sangat baik sebagai bahan pengkapsul namun mahalnya
biaya, minimnya suplai, dan variasi kualitas membatasi pemakaiannnya. Hal ini
mendorong para peneliti mencari bahan pengkapsul alternatif.
D. BAHAN PENGKAPSUL
Bahan pengkapsul adalah bahan yang berfungsi sebagai penyalut bahan inti
(bahan aktif) dalam proses enkapsulasi (Masters, 1979). Menurut Young et al.,
(1993) bahan pengkapsul yang digunakan dalam spray drying harus memiliki
kemampuan kelarutan dan kemampuan mengemulsi yang tinggi, harus dapat
membentuk lapisan film, dan menghasilkan larutan yang berkonsentrasi tinggi
dengan viskositas rendah. Selain itu, bahan pengkapsul harus mampu antara lain :
(1) melindungi bahan aktif dari oksidasi, panas, cahaya, kelembaban, dan lain-lain;
(2) mencegah penguapan komponan volatil; (3) membuat bahan aktif menjadi a free
flowing powder untuk mengurangi masalah penanganan dan pencampuran makanan
kering.
Lebih jauh, bahan pengkapsul harus memiliki kriteria sebagai berikut :
1. bersifat melindungi komponen aktif dari kerusakan seperti oksidasi, dan cahaya
2. Harus memiliki sifat kehilangan komponen aktif yang rendah selama proses
berlangsung (Quellet et al., 2001)
3. Komponen enkapsulat dapat terdispersi dalam larutan pengkapsul secara merata
dengan ukuran yang kecil (Quellet et al., 2001)
4. Untuk enkapsulasi dengan cara spray drying, pengenkapsulasi dengan viskositas
rendah akan meningkatkan efisiensi pengeringan (Rosenberg, 1997)
5. Bahan pengkapsul harus memiliki sistem pengendalian pelepasan komponen
aktif selama penyimpanan (Quellet et al., 2001)
6. Bahan pengenkapsulasi harus aman (Rosenberg, 1997)
7. Bahan pengenkapsulasi harus memiliki sifat fungsional spesifik seperti sifat
emulsi, pemebentukan film, dan dapat membentuk larutan konsentrasi tinggi
(Rosenberg, 1997)
Beberapa bahan pengkapsul yang umumnya digunakan untuk proses
mikroenkapsulasi disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Jenis bahan pengkapsul yang digunakan untuk mikrokapsul
Kelas Jenis
Gum Gum arab, agar, natrium alginat, karagenan
Pati, dekstrin, sukrosa, sirup jagung, CMC, etil selulosa,
Karbohidrat metil selulosa, nitro selulosa, asetil selulosa, aetat fitat
selulosa, asetat butilay fitat selulosa
Lilin, parafin, tristearin, asam stearat monogliserida,
Lemak
digliserida, lilin tawon, minyak, lemak, minyak keras
Bahan Anorganik kalsium fosfat, silikat, tanah liat
Protein gluten, kasein, gelatin, albumin
Sumber : Jackson dan Lee (1991)

Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa bahan pengkapsul dari jenis


protein maupun kombinasi protein dengan polisakarida lebih efektif sebagai bahan
pengkapsul. Menurut Zao dan Whistler (1994), pati dapat berinteraksi dengan
komponen-kompeonen lain seperti protein membentuk granula (sphere) dalam
proses spray drying. Granula ini dapat membawa sejumlah komponen bahan pangan
seperti minyak dan flavour untuk mengontrol pelepasannya dari poros granula.

1. Maltodekstrin
Maltodektrin [(C6H12O5)nH2O] didefinisikan sebagai produk hidrolisat pati
(polisakarida tidak manis) dengan panjang rantai rata-rata 5-10 unit/molekul
glukosa. Polisakarida ini secara teori diproduksi dengan hidrolisis terkontrol
menggunakan enzim α-amilase atau asam (Kennedy at al., 1995). Maltodextrin
terdiri dari unit b-D-glucose yang terhubung secara umum dengan ikatan glikosidik
1:4 dan biasanya diklasifikasikan menurut equivalensi dekstrosanya (DE). DE
maltodextrrin menentukan kapasitas mereduksinya dan menginversinya yang
berhubungan dengan berat rata-rata molekularnya. DE maltodextrin biasanya
kurang dari 20 (Chronakis, 1998).
Lebih lanjut, Kenyon dan Anderson (1988), menyebutkan bahwa
maltodekstrin adalah senyawa nonhigroskopis, dapat larut dalam air dingin dengan
sempurna sehingga dapat melepaskan flavour dengan cepat dalam penggunaannya
pada aplikasi tertentu. Flavour dan rasa manis pada maltodekstrin sendiri sangat
rendah sehingga dapat cepat hilang saat digunakan. Maltodekstrin juga mudah
diperoleh dan terjangkau dari segi biaya. Senyawa ini biasanya digunakan untuk
bahan yang sulit untuk dikeringkan seperti jus buah, perisa, dan pemanis
(Reineccius, 1991) dan untuk mengurangi masalah penggumpalan selama
penyimpanan, dengan demikian meningkatkan stabilitas produk (Bhandari et al.,
1993).
Maltodekstrin menunjukkan stabilitas yang baik terhdap oksidasi minyak,
namun memiliki kapasitas dan stabilitas emulsifikasi yang buruk serta retensi
minyak yang rendah (Kenyon, 1995). Maltodektrin tersusun dari unit glukosa dan
tidak efektif untuk menstabilkan minyak atau flavour dalam larutan berviskositas.
Untuk itu biasanya maltodekstrin dikombinasikan dengan bahan seperti gum arab
atau pati termodifikasi lainnya untuk keperluan stabilitas emulsi (Kenyon dan
Anderson, 1988). Menurut Bang dan Reinecius (1985), maltodekstrin atau pati
terkombinasi dengan DE yang rendah (kurang dari 20) efektif untuk
mikroenkapsulasi flavour. Viskositas yang rendah dari maltodextrin lebih
menguntungkan pada proses enkapsulasi dengan spray dryer (Kenyon, 1995).
Maltodextrin mampu mengurangi laju reaksi maillard ketika digunakan
sebagai mikroenkapsul pada komponen pangan. Permukaan aktifnya dan rendahnya
viskositas tidak mampu mengemulsifikasi minyak dan lemak. Maltodextrin sering
digunakan sebagai agen koenkapsulasi pada proses spray-drying (McNamee et al.,
1998). Telah diuji bahwa penggunaan maltodextrin (DE = 12.6) pada 10 hingga
30% (wt/wt dari emulsi cair)—menggunakan natrium kaseinat sebagai emulsifier—
menyumbangkan kestabilan dan membuatnya mampu dikeringkan dengan spray-
dryer, selama rasio antara maltodextrin dan natrium kaseinat serta fase
terdispersinya adalah lebih dari 1.35 (Dollo et al., 2003).
2. Natrium Kaseinat
Natrium kaseinat digunakan luas sebagai bahan pengkapsul. Keberadaan
natrium kaseinat ialah sebagai emulsifier. Dalam konteks mikroenkapsulasi, kasein
dan kaseinat kurang sensitif terhadap panas dan menunjukkan sifat sebagai
permukaan aktif. Hal ini membuat kasein digunakan sebagai agen pengemulsi pada
berbagai aplikasi termasuk pada proses spray drying (Pedersen et al., 1998).
Menurut Singh (1995), natrium kaseinat mempunyai stabilitas panas yang cukup
baik (~140 0C), bersifat tidak atau sulit larut dalam air, dan aman untuk digunakan
sebagai produk pangan.
Ruis (2007) menyatakan bahwa kemampuan fungsional natrium kaseinat
mencakup beberapa fungsi seperti emulsifikasi, water-fat binding, agen pengeras,
dan agen pengental (gelation). Sebagai penstabil emulsi, natrium kaseinat dapat
menurunkan tegangan permukaan antara dua fase disebabkan adanya karakter
ampifilik yang kuat dari komponen utama kasein yaitu αS1-kasein dan β-kasein.
Kasein tipe αS1 lebih bersifat hidrofilik sehingga dapat mengikat komponan polar,
sedangkan tipe β-kasein lebih bersifat hidrofobik sehingga dapat mengikat
komponen nonpolar.
Banyak penelitian yang telah menelaah penggunaan natrium kaseinat
sebagai bahan pengkapsul, misalnya pada penelitian minyal jeruk. Retensi flavor
yang diperoleh cukup baik dengan kadar minyak pada permukaan yang rendah
(Kim dan Morr, 1996). Hogan et al. (2001) juga menggunakannya sebagai bahan
pengkapsul untuk mikroenkapsulasi minyak kedelai.

3. Susu Skim
Susu skim adalah produk yang diperoleh dari pemisahan susu dan memiliki
kadar lemak sangat rendah. Biasanya susu skim ditemukan dalam bentuk bubuk.
Penampakannya harus putih atau krim putih, bersifat free flowing dan bebas
gumpalan. Cita rasanya pada kondisi kering harus tidak berbau. Penggunaan susu
skim dalam berbagai produk makanan memiliki keuntungan yaitu (1) mudah
dicerna dan dapat dicampur dengan makanan padat atau semipadat, (2)
mengandung nilai gizi tinggi dan asam amino esensial, dan (3) dapat disimpan
lebihlama daripada whole milk karena kandungan lemaknya sangat rendah.
Walaupun susu skim merupakan sumber protein yang baik, susu skim memiliki
kekurangan yaitu rendahnya energi yang terkandung didalamnya (Liana, 1987).
Susu skim kering dibuat dari susu skim yang telah dipanaskan pada suhu
75-95 0C, kemudian dikonsentrasikan sampai mengandung 35-54% padatan, dan
selanjutnya dikeringkan menggunakan spray dryer. Suhu pengeringan yang
digunakan adalah 2600C dengan waktu yang relatif singkat setelah susu
disemprotkan dengan tekanan tinggi sehingga tebentuk kabut dalam rauang
pengering (Warner, 1975).
Susu skim hanya mengandung 0,5-2% lemak karena telah dipisahkan dari
lemaknya (Varnam dan Sutherlan, 1994). Protein susu merupakan penyusun
terbesar pada susu skim. Komponen ini dapat diklasifikasikan menjadi dua grup
utama yaitu kasein dan whey. Kasein merupakan fraksi utama protein yang
mengendap saat susu segar diasamkan pada pH 4-6 pada suhu 200C. Protein ini
terdapat pada susu dalam bentuk partikel koloidal, misel, yang mengandung
kalsium, fosfat, sitrat, dan magnesium. Kasein menyusun 76-86% dari total protein
susu skim (Thompson et al., 1965).
Protein nonkasein yang tertinggal setelah pengendapan kasein disebut
protein whey atau serum protein. Whey menyusun 14-24% dari total protein susu
skim (Thompson et al., 1965). Protein whey bersifat labil terhadap panas dan
terdenaturasi pada suhu 800C. Hal ini berbeda dengan kasein yang stabil pada suhu
1400C. Kandungan protein susu skim dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Kandungan protein pada susu skim
Protein Jenis Jumlah (% susu skim)
Kasein αs-kasein 45-55
β-kasein 25-35
Γ-kasein 3-7
Kappa-kasein 8-15
Whey β-lactoglobulin 7-12
α-lactalbumin 2-5
blood serum albumin 0,7-1,3
Sumber : Rimbawan, 1977.
Material pengkapsul selama proses pengeringan harus mampu menahan dan
melindungi bahan-bahan volatil dari kehilangan dan kerusakan kimia selama
pengolahan, penyimpanan dan penanganan (Kim dan Morr, 1996). Analisis dari
distribusi ukuran droplet campuran maltodekstrin dan susu skim pada proses
mikroenkapsulasi memunjukkan bahwa ikatan kovalennya membuat emulsifikasi
protein semakin kuat pada kondisi asam atau netral. (Akhtar dan Dickinson, 2007).
Susu skim tidak pernah digunakan secara langsung sebagai bahan
pengkapsul. Biasanya yang digunakan adalah fraksi proteinnya yakni kasein dan
whey secara terpisah. Selain kasein, protein whey juga banyak digunakan sebagai
bahan pengkapsul. Protein whey telah berhasil digunakan sebagai sistem dinding
untuk mengenkapsulasi lemak susu anhidrat dengan spray dryer dan dengan
rendemen lebih dari 90%. Efisiensi pengkapsulannya dapat ditingkatkan dengan
penggantian 50% whey dengan laktosa. Kombinasi whey dan laktosa sebagai bahan
pengkapsul dapat membatasi difusi zat nonpolar melewati dinding (Young et al.,
1993). Rosenberg & Sheu (1996) juga telah mempelajari mikroenkapsulasi etil
butirat dan etil kaprilat menggunakan campuran isolat whey dan laktosa pada
perbandingan 1:1.

4. Tepung Kedelai
Kedelai merupakan salah-satu tanaman polong-polongan terpopuler di
dunia. Hasil utamanya yakni biji kedelai mengandung 40% protein, 20% lemak,
35% karbohidrat, dan sisanya mineral (abu). Menurut Iwabuchi dan Yamauchi
(1987), Komponen utama protein kedelai adalah glycinin (11S) dan β-conglycinin
(7S). Kadar protein kedelai yang tinggi menyebabkan hasil olahan biji kedelai
seperti tepung kedelai atau isolat protein kedelai (ISP) sering digunakan sebagai
bahan pengkapsul. Selain itu, kandungan utama protein kedelai adalah heat-stable
storage protein sehingga dapat digunakan dalam proses pengolahan pangan yang
membutuhkan suhu tinggi seperti mikroenkapsulasi metode spray dryer.
Menurut Wolf (1987), produk kedelai dapat dikelompokkan berdasarkan
kadar proteinnya yaitu tepung kedelai, konsentrat protein kedelai, dan isolat protein
kedelai. Lebih jauh, beberapa jenis tepung kedelai berdasarkan kandungan dan
proses pembuatannya adalah sebagai berikut :
1. Tepung kedelai tanpa lemak (defatted soy flour) dibuat dari ekstraksi flakes dan
mengandung kurang dari 1% lemak
2. Tepung kedelai penuh lemak (full-fat soy flour) dibuat tanpa ekstraksi dan
pengupasan kulit sehingga mengandung 18% sampai 20% lemak. Karena kadar
lemaknya yang tinggi, penggiling khusus seperti Alpine Fine Impact Mill harus
digunakan
3. Tepung kedelai rendah lemak (low-fat soy flour) dibuat dengan menambahkan
kembali lemak ke tepung kedelai tanpa lemak. Kadar lemak sangat bervariasi
tergantung spesifikasi produknya, biasanya antara 4,5% sampai 9%
4. Lecithinated soy flour dibuat dengan menambahkan lesitin kedelai pada ketiga
jenis tepung yang lain untuk meningkatkan kelarutan dan sifat emulsifikasinya.
Kadar lesitin bervariasi sampa 15%.
Penggunaan tepung kedelai secara langsung sebagai bahan pengkapsul
sangat jarang. Biasanya yang digunakan adalah produk turunannya yakni isolat
protein kedelai atau lesitin kedelai. Soottitantawat et al. (2000) menyatakan bahwa
gum arab, polisakarida larut air dari kedelai (soybean water-soluble
polysaccharides / SSPS) atau pati termodifikasi dicampur dengan maltodekstrin
dapat digunakan sebagai bahan pengkapsul untuk mikroenkapsulasi flavor. Perisa
d-Limonene, etil butirat, dan etil propional digunakan sebagai model dalam
penelitiannya sedangkan SSPS yang merupakan emulsifier tipe baru diekstraksi dan
dimurnikan dari kedelai dan diproduksi oleh Fuji Oil Chemical Co., Ltd dengan
merek SOYAFIBE-S.
Baptista et al. (2003) menggunakan lesitin kedelai komersial yang
mengandung 22% phosphatidylcholine untuk menenkapsulasi pewarna Rhodamine
6G. Penggunaan lesitin kedelai sangat dipengaruhi pH di mana pada kondisi asam,
pelarutan mikrokapsul pewarna terjadi sangat cepat dibandingkan pada kondisi
basa.

5. Tepung Kacang Hijau


Kacang hijau (Vigna radiata) atau dikenal juga dengan nama mung bean
merupakan tanaman polong-polongan dengan biji kecil, bulat, berkulit hijau dan
berwarna kuning di bagian dalamnya. Kacang hijau berasal dari India–Myanmar
dan umumnya tumbuh di Asia, Afrika, America Selatan dan Utara, dan Australia.
Bijinya dapat dijadikan pasta dengan cara dikupas, dimasak, dan dihancurkan.
Rasanya manis seperti pasta kacang merah dengan aroma mendekati aroma buncis.
Tepungnya dapat dibuat dengan menghancurkan bijinya tanpa pengupasan kulit.
Tepung kacang hijau dapat diolah lebih lanjut menjadi produk turunannya seperti
pati kacang hijau yang dibentuk seperti bihun, bahkan es krim. (US Department of
Agriculture, 2001).
Kandungan kacang hijau setara dengan anggota kacang-kacangan yang lain,
dengan protein 24%, lemak 1%, 63% karbohidrat, dan 16% serat pangan (US
Department of Agriculture, 2001). Kandungan proteinnya kekurangan asam amino
bersulfur dan biji mentahnya mengandung inhibitor tripsin (Khader & Rao, 1996).
Tepung kacang hijau berpotensi sebagai bahan pengkapsul karena
mengandung kadar protein yang cukup tinggi. Namun selama ini belum ada
penelitian yang menggunakan tepung kacang hijau sebagai bahan pengkapsul
secara langsung.
III. METODOLOGI

A. WAKTU DAN TEMPAT


Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2008 sampai bulan September
2009 di Laboratorium Penelitian dan Bangsal Minyak Atsiri Balai Besar Penelitian
dan Pengembangan Pascapanen, Departemen Pertanian RI, serta Laboratorium L3
dan Biokimia Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

B. BAHAN DAN ALAT PENELITIAN


Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan utama lada
hitam (Piper nigrum L.) yang berasal dari tanaman berumur sekitar 6-7 tahun yang
diperoleh dari daerah Lampung dan Banten. Lada hitam ini kemudian diekstrak
untuk diambil oleoresinnya. Bahan-bahan lain yang digunakan adalah maltodekstrin
(DE 15-20), natrium kaseinat (New Zealand), dan susu skim, tepung kacang kedelai,
dan tepung kacang hijau sebagai bahan pengkapsul. Bahan kimia yang digunakan
adalah heksana, toluena, alkohol 96%, akuades, dan bahan-bahan analisis.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain wadah stainles steel,
mesin pengaduk, kertas saring, pin disk mill, vacum evaporator, spray dryer (Lab
Plant SD-05), rotary vacuum evaporator (Buchi R-114), neraca digital, Scanning
Electron Microscope (JEOL JSM-5310LV-20 kV), oven, neraca analitik, alat
destilasi (labu clevenger), homogenizer, termometer, hot plate, dan alat-alat gelas
untuk kebutuhan analisis.

C. TAHAPAN PENELITIAN
1. Ekstraksi Oleoresin dari Lada Hitam
Ekstraksi oleoresin dilakukan dengan metode maserasi. Lada hitam yang
telah dikeringkan, dihancurkan dengan pin disk mill, sampai menjadi bubuk lada
berukuran 30-40 mesh. Bubuk lada dicampur dengan larutan etanol 96% dalam
wadah stainles steel (perbandingan lada:etanol = 1:6) dan diaduk dengan mesin
pengaduk selama 2 jam, 250 rpm. Campuran didiamkan selama 24 jam
kemudian disaring dengan kain kasa dan kertas saring kasar sehingga diperoleh
ampas dan filtrat. Pelarut dalam filtrat diuapkan dengan vacum evaporator pada
suhu 40-50oC dan tekanan ±16 cmHg hingga pelarut menguap dan diperoleh
oleoresin lada yang berbentuk kental. Oleoresin ditampung dalam botol kaca
berwarna gelap kemudian disimpan dalam lemari es. Diagram alir ekstraksi
oleoresin dapat dilihat pada Gambar 5.

Lada Hitam Kering

Dihaluskan (30-40 mesh)

Etanol 96%
(1:6)
Ektraksi 2 jam, suhu ruang

Didiamkan selama 24 jam

Penyaringan

Ampas

Filtrat

Penguapan (vacuum evaporator) Pelarut

Oleoresin

Gambar 5. Diagram alir ekstraksi oleoresin lada hitam


2. Penelitian Pendahuluan : Penentuan Bahan Pengkapsul
Bahan pengkapsul yang akan digunakan ditentukan berdasarkan studi
pustaka dan metode trial and error. Hasil penelitian tahap ini akan digunakan
untuk tahap selanjutnya yakni penentuan komposisi bahan pengkapsul.
Perlakuan pada tahap ini adalah sebagai berikut: maltodekstrin digunakan
sebagai bahan pengkapsul dikombinasikan dengan bahan protein dengan
proporsi maltodekstrin : protein di dalam bahan protein sebesar 99:1 (1% basis
protein), 98:2 (2% basis protein) dan 97:3 (3% basis protein). Jenis bahan
protein yang digunakan yaitu susu skim, tepung kacang kedelai, dan tepung
kacang hijau. Total penggunaan bahan pengkapsul (total maltodekstrin dan
protein di dalam bahan protein) sebanyak 10% dari total campuran (emulsi).
Oleoresin yang digunakan sebanyak 1% dari total berat emulsi. Emulsi
merupakan campuran bahan pengkapsul dan oleoresin yang ditambahkan
akuades hingga 100%.
Mikrokapsul yang dihasilkan pada tahap ini selanjutnya dianalisis
rendemen, kadar air, kadar minyak atsiri, dan surface oil-nya. Berdasarkan
parameter tersebut akan ditentukan bahan pengkapsul terpilih untuk penelitian
tahap 3. Rincian perhitungan komposisi bahan pengkapsul pada tahap ini
diuraikan pada Lampiran 1a.

3. Penelitian Utama : Penentuan Komposisi Bahan Pengkapsul


Bahan pengkapsul terpilih berdasarkan penelitian pendahuluan yakni susu
skim digunakan dalam penelitian tahap ini. Maltodekstrin dikombinasikan
dengan susu skim dan natrium kaseinat sebagai bahan proteinnya. Tepung
kedelai dan tepung kacang hijau tidak digunakan karena berdasarkan penelitian
pendahuluan, keduanya kurang baik digunakan sebagai bahan pengkapsul.
Natrium kaseinat digunakan sebagai bahan protein pembanding karena
berdasarkan penelitian Desmawarni (2007) baik digunakan sebagai bahan
protein pengkapsul. Setiap kom-binasi bahan pengkapsul memiliki proporsi
maltodekstrin : bahan protein pengkapsul serta konsentrasi bahan pengkapsul
tertentu. Oleoresin yang digunakan sebanyak 1% dari total berat emulsi seperti
pada penelitian pendahuluan. Perlakuan dan perhitungan komposisi bahan
pengkapsul dapat dilihat pada bab Perlakuan. Mikrokapsul yang dihasilkan pada
tahap ini dianalisis rendemen, kadar air, kadar minyak atsiri, kadar surface oil,
derajat keasaman dan kelarutannya. Berdasarkan parameter tersebut, ditentukan
komposisi bahan pengkapsul yang efektif.
Tahapan proses mikroenkapsulasi oleoresin lada hitam dengan metode
spray drying adalah sebagai berikut:
Maltodekstrin dan bahan protein

Pencampuran kering

Homogenisasi
(6000 rpm, 15 menit) Akuades

Didiamkan selama
semalam

Suspensi bahan

Oleoresin Homogenisasi
lada hitam (6000 rpm, 15 menit)

Emulsi

Spray Drying
Suhu inlet 170oC, Suhu outlet 90oC-
100oC,
laju alir bahan 15- 17 ml/menit

Bubuk mikrokapsul
Gambar 6. Diagram alir proses mikroenkapsulasi oleoresin lada hitam

D. PERLAKUAN
Perlakuan untuk penelitian pendahuluan adalah sebagai berikut :
a. Jenis bahan protein :
1. Susu skim
2. Tepung kedelai
3. Tepung kacang hijau
b. Penggunaan bahan protein pengkapsul (maltodekstrin : protein dalam bahan
protein)
1. 1% : maltodekstrin : protein dalam bahan protein = 99 : 1
2. 2% : maltodekstrin : protein dalam bahan protein = 98 : 2
3. 3% : maltodekstrin : protein dalam bahan protein = 97 : 3
Perlakuan untuk penelitian utama adalah sebagai berikut. Masing-masing
formula bahan pengkapsul memiliki proporsi maltodekstrin : protein dalam bahan
protein sebesar 95:5, 90:10, 85:15 dan 80:20 sedangkan konsentrasi bahan
pengkapsul (maltodekstrin dan protein) sebanyak 10% dan 12,5% dari total
campuran (emulsi). Oleoresin yang digunakan sebanyak 1% dari total berat emulsi.
Formulasi perlakuan tersebut dapat dilihat pada Tabel 8.
Perlu diingat bahwa penggunaan bahan protein yang digunakan sebagai bahan
pengkapsul dihitung berdasarkan berat proteinnya. Selain itu, perlu diperhatikan
bahwa perlakuan pada penelitian utama kali ini menitikberatkan pada jenis bahan
protein, proporsi maltodekstrin dengan protein, dan konsentrasi bahan pengkapsul.
Persentase maltodekstrin, bahan protein, dan total bahan pengkapsul pada Tabel 8
hanya untuk memperjelas penggunaan bahan-bahan tersebut berdasarkan total berat
emulsi.
Tabel 8. Formulasi perlakuan pada penelitian utama
Proporsi maltodekstrin : Konsentrasi
Jenis protein dalam bahan protein bahan Bahan Total bahan
Maltodektrin
Perlakuan Bahan Protein pengkapsul protein pengkapsul
Maltodekstrin (%) 2)
Protein dalam bahan (X+Y) (%)3) (%)4)
(X) (%)1)
protein (Y)
1 susu skim 95 5 10 9,5 2,2 11,7
2 susu skim 90 10 10 9,0 4,4 13,4
3 susu skim 85 15 10 8,5 6,6 15,1
4 susu skim 80 20 10 8,0 8,8 16,8
5 susu skim 95 5 12,5 11,9 2,7 14,6
6 susu skim 90 10 12,5 11,3 5,5 16,7
7 susu skim 85 15 12,5 10,6 8,2 18,8
8 susu skim 80 20 12,5 10,0 10,9 20,9
9 Na-kaseinat 95 5 10 9,5 0,5 10,0
10 Na-kaseinat 90 10 10 9,0 1,1 10,1
11 Na-kaseinat 85 15 10 8,5 1,6 10,1
12 Na-kaseinat 80 20 10 8,0 2,2 10,2
13 Na-kaseinat 95 5 12,5 11,9 0,7 12,6
14 Na-kaseinat 90 10 12,5 11,3 1,4 12,6
15 Na-kaseinat 85 15 12,5 10,6 2,1 12,7
16 Na-kaseinat 80 20 12,5 10,0 2,7 12,7
1) Konsentrasi bahan pengkapsul didapat dari penjumlahan maltodekstrin (X) dan protein (Y). Persentase
konsentrasi bahan pengkapsul berdasarkan berat total emulsi.
2) Persentase berdasarkan berat total emulsi.
3) Persentase bahan protein dihitung dengan membagi berat protein yang dibutuhkan dengan kadar
protein bahan protein, yakni 22,4% untuk susu skim dan 91,0% untuk Na-kaseinat. Persentase bahan
protein berdasarkan berat total emulsi.
4) Total bahan pengkapsul didapat dengan menjumlahkan berat maltodekstrin dan bahan protein.
Persentase berdasarkan berat total emulsi.
E. METODE ANALISIS
1. Rendemen Oleoresin
Rendemen dihitung berdasarkan bobot oleoresin yang dihasilkan oleh
alat evaporator dibandingkan dengan bobot total serbuk lada hitam yang
digunakan sebagai bahan baku pembuatan oleoresin. Rendemen oleoresin
ditentukan sebagai berikut

Rendemen =

2. Rendemen Mikrokapsul
Rendemen dihitung berdasarkan berat mikrokapsul yang dihasilkan oleh
alat spray dryer dibandingkan dengan total padatan bahan emulsi (bahan
pengkapsul dan oleoresin). Kadarnya ditentukan sebagai berikut

Rendemen =

3. Kadar Air Metode Destilasi Azeotropik (AOAC, 1980)


Sampel mikrokapsul ditimbang sebanyak sekitar 10 gram (a) dan
dimasukkan dalam labu didih kemudian ditambah 60-100 ml toluen. Labu
destilasi kemudian dipasang pada alat destilasi khusus dengan penampung air.
Destilasi dilakukan sampai semua air menguap dan air dalam wadah tidak
bertambah lagi (± 1-1,5 jam). Setelah destilasi, volume air yang tertampung
dicatat. Volume air (b) dibaca dan dihitung kadar air sampel dari berat sampel
dengan memperhatikan nilai faktor destilasi (FD) setiap kali analisis dilakukan.

Kadar air = x FD x 100% ; FD =

4. Kadar Minyak Atsiri Mikrokapsul Metode Hidrodestilasi Clevenger


(Rennecius, 1988)
Sampel mikrokapsul sebanyak 50 gram (a) dicampur dangan air destilata
500 ml dalam sebuah labu 1 liter kemudian ditambahkan batu didih. Sampel
didestilasi selama 5 jam dan minyak atsiri yang tertampung dicatat volumenya.
Bobot minyak (b) diperoleh dari hasil perkalian volume minyak atsiri dengan
bobot jenisnya. Kadar minyak atsiri dinyatakan dalam basis kering setelah
dikurangi kadar airnya (%KA).

Kadar Minyak Atsiri = x 100%


5. Kadar Surface Oil atau Kadar Minyak di Permukaan (Kombinasi Bhandari
et al.., 1999 dengan Ketaren, 1986)
Surface oil merupakan parameter yang menunjukkan besarnya oleoresin
yang tidak dapat terkapsulkan atau yang melekat di permukaan kapsul. Sampel
mikrokapsul sebanyak 10 gram (a) dilarutkan (dicuci) dalam 10 ml heksan
selama kurang lebih 10 detik. Hasil pencucian selanjutnya disaring dengan
menggunakan kertas saring dan fitratnya ditampung dalam labu evaporasi yang
telah diketahui bobot tetapnya (b). Selanjutnya dilakukan tiga kali pencucian
dengan membilas bagian sampel yang ada pada kertas saring dengan heksan
masing-masing 10 ml.
Semua filtrat yang diperoleh diuapkan dengan rotary vacuum evaporator
pada suhu 60ºC. Selanjutnya dimasukkan ke dalam oven 85ºC selama 30 menit.
Bobot labu akhir (c) ditimbang dan dihitung selisihnya. Minyak yang terdapat
pada labu dihitung sebagai surface oil.

Kadar surface oil = x 100%

6. Kelarutan Dalam Air Metode Gravimetri (AOAC, 1984 dengan modifikasi)


Bahan ditimbang sebanyak 1 gram (a) dan dilarutkan dalam 20 ml air
destilata kemudian disaring dengan memakai pompa vakum dan kertas saring
Whatman no. 42. Sebelum digunakan, kertas saring dikeringkan dalam oven
105oC selama 30 menit dan ditimbang (b). Setelah penyaringan, kertas saring
dikeringkan kembali dalam oven selama 1 jam pada suhu 105oC. Stelah itu,
kertas saring didinginkan didesikator kemudian ditimbang sampai tercapai bobot
tetap (c).

Kelarutan dalam air =

7. Derajat Keasaman / pH (AOAC, 1984)


Sampel bubuk yang homogen ditimbang tepat 1 gram. Kemudian
ditambah 10 ml akuabides (konsentrasi sampel = 10%). Campuran dibiarkan
selama 1 jam supaya mengendap, sampel kemudian diukur pH-nya dengan
pHmeter yang telah dikalibrasi dengan larutan buffer pH 4 dan pH 7.
8. Analisis dengan Scanning Electron Microscope
Analisis scanning electron microscope (SEM) dilakukan dengan alat
JEOL JSM-5310LV. Beberapa butir mikrokapsul yang ingin diuji diletakkan
pada plat tembaga berbentuk silinder. Selanjutnya mikrokapsul disalut (coating)
dengan lapisan ion emas murni (Au) setebal 1-2 μm selama 15 menit.
Selanjutnya butir mikrokapsul diletakkan di dalam alat SEM. Perbesaran obyek
dilakukan 1000 sampai 2000 kali.
Prinsip kerja dari SEM adalah pancaran cahaya elektron dengan fokus
sangat tajam disapukan pada sampel sehingga elektron sekunder. Elektron yang
terpental kembali lalu menyebar dan memancarkan sinar X. Sinyal-sinyal ini
dideteksi terus menerus selama pancaran cahaya elektron menyapu permukaan
obyek. Sinyal elektron sekunder menghasilkan gambar permukaan elektron yang
terpental kembali lalu menyebar menghasilkan distribusi komposisi dan karakter
dari sinar X sehingga menghasilkan distribusi elemen yang terdapat pada obyek.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. EKSTRAKSI OLEORESIN LADA HITAM


Oleoresin lada hitam yang dihasilkan dalam tahap ini berupa pasta kental
yang berwarna hitam kecoklatan. Bila dibandingkan dengan persyaratan mutu dalam
SNI, oleoresin lada hitam yang dihasilkan tidak terlalu baik. Hal ini terlihat dari
kadar minyak atsiri oleoresin hasil percobaan yang jauh lebih rendah (6,60 %v/b)
dibandingkan yang disyaratkan dalam SNI (10,0 %v/b). Rendahnya kadar minyak
atsiri ini kemungkinan karena kehilangan komponen volatil selama proses
pembuatannya. Kehilangan komponen minyak atsiri sudah dimulai saat persiapan
bahan baku yakni pengeringan dan penggilingan, serta saat evaporasi pelarut.
Menurut Purseglove et al. (1981) oleoresin yang baik adalah yang mempunyai
kandungan minyak atsiri yang tinggi dan kehilangan komponan kimia seminimum
mungkin.
Rendahnya kadar minyak atsiri juga berkaitan dengan rendahnya rendemen.
Rendemen oleoresin yang dihasilkan adalah 12,3%. Nilai ini lebih rendah bila
dibandingkan dengan hasil penelitian Sufni (2001) dengan metode yang sama, yakni
sebesar 17,66%. Rendemen oleoresin yang dihasilkan tergantung beberapa faktor
antara lain metode ekstraksi, jenis pelarut, suhu ekstraksi dan derajat kehalusan
partikel. Jumlah pelarut juga mempengaruhi jumlah oleoresin yang dihasilkan.
Semakin besar volume pelarut, jumlah oleoresin semakin banyak sehingga hasilnya
akan bertambah sampai pada titik kejenuhan (Suryandari, 1981). Karakterisitik
oleoresin hasil percobaan dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Karakterisitik lada hitam oleoresin hasil percobaan.


Parameter Karakterisik oleoresin lada Persyaratan mutu
hitam hasil percobaan oleoresin lada *)
Penampakan Kental, berwarna hitam Pasta cair/ kental berwarna
kecoklatan coklat, coklat kehijauan
Aroma Khas lada Khas lada
Rendemen 12,3% -
Kadar minyak atsiri 6,60 %v/b atau 5,93 %b/b 10,0 % v/b minimal
BJ minyak atsiri 0,8987 -
*) SNI 0025-1987-B
B. PENENTUAN BAHAN PENGKAPSUL

Langkah yang penting dalam mengembangkan produk mikrokapsul adalah


pemilihan bahan pengkapsul yang sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan misalnya
kekuatan mekanik, kesesuaian dengan produk pangan, kesesuaian dengan kondisi
termal proses dan pelepasan zat terkapsulkan, ukuran partikel, dan lain-lain (Brazel,
1999). Desmawarni (2007) melaporkan bahwa kombinasi maltodekstrin dengan
natrium kaseinat sangat baik digunakan dalam mikroenkapsulasi oleoresin jahe
dibandingkan dengan gum arab. Penelitian pada tahap ini menguji beberapa bahan
protein lain untuk dikombinasikan dengan maltodekstrin sebagai bahan pengkapsul
oleoresin lada hitam. Hal ini bertujuan mencari alternatif bahan protein selain
natrium kaseinat. Bahan protein yang digunakan yakni tepung kacang kedelai,
tepung kacang hijau, dan susu skim bubuk.
Perlakuan dan proses pembuatan mikrokapsul pada tahap ini telah
dijelaskan dalam bab metodologi. Emulsi yang telah dibuat, dispray drying dengan
kondisi suhu inlet 170oC dan laju aliran bahan antara 15-17 ml/menit. Kondisi spray
drying ini dinilai baik untuk proses mikroenkapsulasi karena bila emulsi dispray
drying pada suhu di bawah 160 oC, mikrokapsul tidak kering sempurna. Sebaliknya
jika pengeringan dilakukan pada suhu di atas 170 oC, produk jadi terlalu kering dan
suhu outlet bisa diatas 110oC sehingga dikhawatirkan menimbulkan kerusakan pada
produk. Laju alir umpan yang lebih tinggi dari 20 ml/menit menyebabkan produk
masih basah dan lengket sedangkan emulsi tidak dapat tersedot pada laju alir umpan
di bawah 15 ml/menit. Mikrokapsul yang dihasilkan diukur rendemen, kadar air,
kadar minyak atsiri dan surface oil-nya.

1. Rendemen mikrokapsul
Variasi jenis bahan protein pengkapsul mempengaruhi nilai rendemen
mikrokapsul yang beragam seperti yang terlihat pada Gambar 7. Secara
keseluruhan, mikrokapsul dengan bahan protein pengkapsul susu skim memiliki
rendemen yang lebih tinggi dari pada mikrokapsul dengan bahan pengkapsul
yang lain. Rendemen mikrokapsul dengan bahan pengkapsul susu skim berkisar
diatas 70%. Mikrokapsul dengan bahan protein susu skim 2% memiliki
rendemen tertinggi di antara mikrokapsul yang lain yakni 72,33%. Rendemen
yang paling rendah dimiliki oleh mikrokapsul dengan komposisi bahan
pengkapsul tepung kacang hijau 3% yakni 55,56%.

Rendemen Mikrokapsul
80
Susu Skim
70
60
Rendemen (%)

Tepung Kedelai
50
40 Tepung Kacang
Hijau
30
20
10
0
1 2 3
Persentase Bahan Protein (% protein)

Gambar 7. Rendemen mikrokapsul oleoresin lada hitam dengan variasi bahan


pengkapsul
Penggunaan susu skim sebanyak 1% – 3% sebagai bahan protein
pengkapsul tidak memberi pengaruh terhadap rendemen. Namun rendemen
mikrokapsul dengan bahan pengkapsul tepung kedelai dan tepung kacang hijau
cenderung menurun seiring peningkatan persentase pemakaian bahan
proteinnya. Penggunaan tepung kedelai dan tepung kacang hijau dapat
menurunkan rendemen karena pemakaiannya dapat menaikkan viskositas emulsi
seiring dengan peningkatan penggunaan bahan protein pengkapsul sehingga
mempersulit kerja spray dryer. Selain itu suspensi bahan pengkapsul dengan
menggunakan tepung kedelai dan tepung kacang hijau juga tidak larut sempurna
dan menghasilkan endapan yang dapat menghambat proses mikroenkapsulasi.
Menurut Young et al. (1993), bahan-bahan pengkapsul yang digunakan dalam
spray drying harus memiliki kelarutan yang tinggi dan memiliki kemampuan
membentuk emulsi. Selain itu, bahan pengkapsul juga harus dapat membentuk
lapisan film dan menghasilkan larutan dalam konsentrasi tinggi dengan
viskositas rendah. Mikrokapsul dengan bahan pengkapsul kombinasi
maltodekstrin dan susu skim lebih baik daripada mikrokapsul dengan tepung
kedelai dan tepung kacang hijau dari segi rendemen.
2. Kadar Air
Kadar air menjadi salah satu parameter utama yang menentukan kualitas
produk mikrokapsul yang bersifat kering. Kadar air yang rendah dapat mencegah
tumbuhnya mikroba yang dapat merusak produk. Hasil pengukuran kadar air
mikrokapsul oleoresin lada hitam dengan variasi bahan pengkapsul dapat dilihat
pada Gambar 8.

Kadar Air
6.0

5.0 Susu Skim


Kadar Air (%)

4.0 Tepung Kedelai

3.0 Tepung Kacang


Hijau
2.0

1.0

0.0
1 2 3
Persentase Bahan Protein (% protein)

Gambar 8. Kadar air mikrokapsul oleoresin lada hitam dengan variasi bahan
pengkapsul

Gambar 8 menunjukkan bahwa kadar air tertinggi dimiliki oleh


mikrokapsul dengan tepung kacang hijau 2% dan 3% sebagai bahan protein
pengkapsul, yakni 5,40% dan 5,19%. Kadar air mikrokapsul dengan susu skim
1%, 2%, dan 3% tidak terlalu berbeda satu sama lain yakni di bawah 5%. Kadar
air mikrokapsul dengan kacang kedelai juga berada di bawah 5% namun
memiliki kecenderungan meningkat bila pemakaian tepung kedelai bertambah.
Kadar air yang tinggi pada mikrokapsul dengan tepung kacang hijau
berkaitan dengan ukuran partikel bahan pengkapsul dan emulsi saat dikeringkan.
Ukuran partikel bahan pengkapsul dengan kacang hijau diperkirakan masih
cukup besar, terlihat dengan banyaknya endapan pada suspensi mikrokapsul.
Ukuran partikel yang besar menyebabkan ukuran droplet mikrokapsul saat
memasuki ruang pengering juga besar. Hal ini menyebabkan pengeringan tidak
optimal, partikel hasil pengeringan menjadi berat, dan kontak bahan dengan
udara pengering lebih singkat. Pada proses spray drying, diameter droplet
emulsi sebaiknya antara 1–100 μm. Sebelum proses spray drying, emulsi harus
stabil selama beberapa saat (Liu et al., 2001). Viskositas yang tinggi
berpengaruh pada tahap atomisasi dan mendorong pembentukan droplet yang
besar yang berefek pada laju pengeringan (Rosenberg et al., 1990).

3. Kadar Minyak Atsiri


Kadar minyak atsiri adalah banyaknya minyak atsiri yang terdapat pada
produk mikrokapsul baik yang terenkapsulasi maupun yang berada di
permukaan mikrokapsul. Pengukuran kadar minyak atsiri pada produk
mikrokapsul oleoresin adalah salah satu pendekatan kuantitatif untuk
mengetahui seberapa banyak oleoresin yang terkapsulkan dengan asumsi
meningkatnya kadar minyak atsiri berarti meningkat pula kadar oleoresin yang
dikandung mikrokapsul. Mikrokapsul dinilai baik bila kadar minyak atsirinya
tinggi. Gambar 9 berikut memperlihatkan kadar minyak atsiri mikrokapsul
dengan variasi bahan pengkapsul.

Kadar Minyak Atsiri


0.9
Susu Skim
0.8
Kadar Miyak Atsiri (%BK)

0.7
Tepung Kedelai
0.6
0.5
Tepung Kacang
0.4
Hijau
0.3
0.2
0.1
0
1 2 3
Persentase Bahan Protein (% protein)
Gambar 9. Kadar minyak atsiri mikrokapsul dengan variasi bahan pengkapsul.
Kadar minyak atsiri mikrokapsul dengan jenis bahan protein dan
komposisi yang berbeda terlihat bervariasi yakni mulai 0,61% sampai 0,82%.
Kadar minyak atsiri mikrokapsul dengan susu skim meningkat pada pemakaian
susu skim 2% dan konstan nilainya pada pemakaian susu skim 3%. Kadar
minyak atsiri mikrokapsul dengan tepung kedelai dan tepung kacang hijau
meningkat pada pemakain bahan protein 2% kemudian menurun pada
pemakaian bahan protein sebesar 3%.
Kemampuan bahan dalam mengemulsi minyak yang terkandung dalam
oleoresin diperkirakan menyebabkan kadar minyak atsiri mikrokapsul dengan
bahan pengkapsul susu skim sedikit lebih tinggi daripada mikrokapsul yang lain.
Menurut Reineccius (1988), bahan pengkapsul untuk mikroenkaspulasi dengan
spray drying harus memilki sifat emulsifikasi yang baik dan kemampuan
membentuk film (film forming). Susu skim mengandung protein whey yang
berfungsi sebagai pengemulsi dan agen pembentuk film (Sheu &
Rosenberg,1998). Selain kemampuan mengemulsi, ukuran partikel bahan juga
mempengaruhi kadar minyak atsiri produk. Tepung kedelai dan kacang hijau
secara visual memiliki ukuran partikel yang lebih besar dan kasar dibanding
susu skim. Hal ini menyababkan bahan pengkapsul tidak larut sempurna dan
komponen protein yang dikandungnya tidak dapat berfungsi maksimal.
Bahan pengkapsul tepung kedelai menghasilkan mikrokapsul yang
berkadar minyak atsiri lebih tinggi daripada tepung kacang hijau. Kandungan
lesitin dalam kedelai menyebabkan proses emulsifikasi berlangsung lebih baik.
Madene et al. (2005) melaporkan bahwa lesitin memiliki salah satu karakteristik
utama sebagai bahan pengkapsul. Lesitin komersial juga digunakan sebagai
bahan pengkapsul pewarna Rhodamin 6G (Baptista et al., 2003).

4. Kadar Surface oil


Kadar surface oil merupakan parameter yang menunjukkan banyaknya
minyak yang tidak dapat terkapsulkan atau yang melekat di permukaan
mikrokapsul. Nilai surface oil sangat penting untuk diketahui karena dapat
digunakan untuk melihat seberapa banyak oleoresin dapat terkapsulkan secara
sempurna. Mikroenkapsulasi bertujuan melindungi bahan inti dari kerusakan dan
penguapan. Dengan kata lain minyak atau oleoresin yang tak terkapsulkan akan
lebih mudah mengalami kerusakan, penguapan, dan oksidasi sehingga
menurunkan mutu mikrokapsul (Shahidi & Han, 1993). Kadar surface oil
mikrokapsul dengan variasi bahan pengkapsul dapat dilihat pada Gambar 10 dan
Lampiran 2.
Kadar Surface Oil
3.00
Susu Skim

Kadar Surface Oil (%BK)


2.50
Tepung Kedelai
2.00
Tepung Kacang
1.50 Hijau
1.00

0.50

0.00
1 2 3
Persentase Bahan Protein (% protein)

Gambar 10. Kadar surface oil mikrokapsul dengan berbagai variasi bahan
pengkapsul

Kadar surface oil tertinggi diperoleh dari mikrokapsul dengan bahan


tepung kedelai 1% yakni 2,74%. Nilai ini kemudian menurun pada pemakaian
tepung kedelai 2% dan 3% yakni 1,95% dan 1,05%. Pada penggunaan tepung
kacang hijau dan susu skim kecenderungannya sama yakni menurun. Tetapi
penurunan kadar surface oil mikrokapsul dengan susu skim lebih tajam
dibanding mikrokapsul dengan tepung kacang hijau. Kadar surface oil terendah
bahkan diperoleh dari mikrokapsul dengan susu skim 3% yakni 0,58%.
Susu skim yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kadar protein
22,84% sedangkan tepung kedelai dan tepung kacang hijau yang digunakan
mengandung protein sebesar 38,25% dan 22,32%. Namun jumlah protein yang
terkandung dalam bahan pengkapsul bukanlah penyebab perbedaan kadar
surface oil karena pemakaian bahan protein pengkapsul telah diperhitungkan
berdasarkan kadar proteinnya, sehingga jumlah protein dianggap sama untuk
setiap perlakuan.
Perbedaan kadar surface oil ini lebih berkaitan dengan sifat dan jenis
protein dalam bahan pengkapsul yang digunakan. Kadar surface oil mikrokapsul
dengan susu skim lebih rendah dari pada yang lain. Hal ini karena protein dalam
susu lebih bebas keberadaannya daripada protein dalam bahan lain. Protein
dalam tepung kedelai dan tepung kacang hijau keberadaannya terikat oleh
komponen lain terutama karbohidrat (pati) yang terkandung di dalamnya.
Kandungan protein yang bebas pada susu skim menyebabkan protein mudah
larut dalam sistem emulsi sehingga lebih mudah pula berinteraksi dengan
minyak dari oleoresin.
Susu skim mengandung protein kasein dan whey. Kandungan protein
kasein yang tinggi dalam susu skim menurunkan tegangan permukaan antara dua
fase sehingga dapat menstabilkan sistem emulsi. Kasein terdapat pada susu
dalam bentuk partikel koloidal yakni misel. Kasein menyusun 76-86% dari total
protein susu skim (Thompson, et. al, 1965). Protein whey juga dapat menjadi
bahan pengkapsul yang baik bila digunakan dalam bentuk konsentrat dan isolat
(Young et al., 1993). Meskipun bukan dalam bentuk konsentrat maupun isolat,
kandungan whey dalam susu skim setidaknya cukup banyak yakni sekitar 14-
24% (Roginski et al., 2003) sehingga dapat membantu pengkapsulan oleoresin.
Bila dicermati lebih jauh, kadar surface oil dapat pula dihubungkan
dengan kadar minyak atsiri pada Lampiran 2. Hampir semua kadar surface oil
pada setiap perlakuan lebih tinggi daripada kadar minyak atsirinya. Hanya
mikrokapsul dengan susu skim 3% yang kadar surface oil-nya lebih rendah
daripada kadar minyak atsirinya. Bahkan kadar surface oil mikrokapsul dengan
kedelai 1% mencapai 3,5 kali kadar minyak atsirinya. Hal ini menunjukkan
bahwa heksana yang digunakan dalam analisis surface oil tidak hanya
mengekstrak minyak atsiri pada produk mikrokapsul tetapi juga turut
mengekstrak komponen oleoresin lainnya. Ini menunjukan bahwa pengkapsulan
berjalan kurang sempurna sehingga mikrokapsul yang dihasilkan tidak mampu
melindungi oleoresin yang ada.
Secara keseluruhan, tepung kedelai dan tepung kacang hijau dinilai kurang
baik sebagai bahan pengkapsul bila dibandingkan dengan susu skim dari segi
rendemen, kadar minyak atsiri, dan kadar surface oilnya. Susu skim dinilai lebih
berpotensi sebagai bahan pengkapsul sehingga nantinya akan digunakan sebagai
bahan protein pengkapsul pada penelitian utama.

C. PENENTUAN KOMPOSISI BAHAN PENGKAPSUL


Penelitian pada tahap ini mengkaji mikroenkapsulasi oleoresin lada hitam
menggunakan bahan pengkapsul susu skim dan natrium kaseinat yang masing-
masing akan dikombinasikan dengan maltodekstrin. Perlakuan pada tahap ini telah
dijelaskan pada bab metodologi. Penentuan konsentrasi bahan pengkapsul juga
ditentukan dengan metode trial-error. Menurut Reineccius (1988), meningkatnya
konsentrasi bahan pengkapsul akan meningkatkan retensi bahan aktif. Namun
demikian, ada titik optimum dimana konsentrasi bahan pengkapsul akan menurunkan
retensi dan menghambat proses pengeringan. Pemilihan konsentrasi bahan
pengkapsul sebaiknya disesuaikan dengan kemampuan spray dryer.
Total penggunaan bahan pengkapsul pada penelitian pendahuluan adalah
sebanyak 10% dari total emulsi. Konsentrasi ini coba ditingkatkan hingga 20%. Nilai
viskositas emulsi dengan 20% bahan pengkapsul ternyata mencapai 27 cp padahal
spray dryer yang digunakan dalam penelitian ini tidak mampu menghisap emulsi
yang viskositasnya di atas 20 cp. Oleh karena itu dilakukan uji coba dengan variasi
konsentrasi bahan pengkapsul, dengan pemakaian bahan protein terendah (5% basis
protein). Hasil uji viskositas emulsi dengan variasi konsentrasi bahan pengkapsul
disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Viskositas emulsi dengan berbagai konsentrasi bahan pengkapsul


Konsentrasi Bahan Pengkapsul Viskositas (cp) Keterangan
20 % 27 Sulit dispray drying
18 % 27 Sulit dispray drying
16 % 24 Agak sulit dispray drying
14 % 22 Agak sulit dispray drying
12,5% 20 Dapat dispray drying

Berdasarkan percobaan di atas ditetapkan perlakuan untuk konsentrasi


bahan pengkapsul adalah 10% dan 12,5% dari total emulsi. Oleoresin yang
digunakan sebanyak 10% dari total berat bahan pengkapsul dan proses
mikroenkapsulasi sesuai dengan kondisi pada saat penelitian pendahuluan.

1. Rendemen

Secara umum, nilai rendemen mikrokapsul tidak terlalu tinggi, yakni tidak
lebih dari 80% (Gambar 11). Hal ini karena banyaknya kehilangan produk selama
proses pengolahan. Kehilangan produk telah dimulai sejak pembuatan suspensi
bahan pengkapsul dan pembuatan emulsi, yakni adanya bahan yang melekat pada
alat homogenizer. Namun kehilangan bahan terbanyak terjadi saat proses spray
drying antara lain tertinggalnya endapan di wadah, selang spray dyrer, dan
melekatnya produk di tabung pengering. Kehilangan produk juga terjadi karena
mampatnya nozzle spray dryer.

Rendemen Mikrokapsul
80.00
70.00
60.00
Rendemen (%)

50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
A1C1 A1C2 PerlakuanA2C1 A2C2

Gambar 11. Rendemen mikrokapsul dengan variasi komposisi bahan pengkapsul

Rendemen mikrokapsul yang dihasilkan bervariasi dengan nilai tertinggi


didapat dari penggunaan natrium kaseinat 20% dan konsentrasi bahan pengkapsul
12,5% (Perlakuan 16) yakni 78,93%. Untuk mikrokapsul dengan bahan
pengkapsul susu skim, rendemen tertinggi dihasilkan dari pelakuan 1 dengan
rendemen sebesar 73.70%. Mikrokapsul dengan bahan susu skim dan konsentrasi
bahan pengkapsul 12,5% (Perlakuan 5 – 8) memiliki rendemen yang lebih rendah
dibandingkan perlakuan 1 – 4. Rendahnya rendemen mikrokapsul perlakuan 5 – 8
ini kemungkinan besar disebabkan tingginya viskositas emulsi yang mencapai 22
cp sehingga lebih susah di-spray drying pada kondisi proses yang digunakan.
Mikrokapsul dengan bahan protein natrium kaseinat memiliki rendemen
rata-rata yang relatif lebih tinggi daripada perlakuan dengan susu skim. Hal ini
karena penggunaan bahan pengkapsul yang lebih sedikit dibanding perlakuan susu
skim. Bahan pengkapsul yang digunakan lebih sedikit karena tingginya protein
natrium kaseinat sehingga hanya dibutuhkan natrium kaseinat sekitar 1/5 berat
susu skim untuk mendapatkan protein dengan berat yang sama. Dengan
penggunaan bahan pengkapsul yang lebih sedikit, total padatan akan lebih rendah,
dan viskositas emulsi akan rendah. Tercatat viskositas emulsi perlakuan dengan
natrium kaseinat berkisar antara 14 sampai 17 cp. Selain itu, kemampuan
emulsifikasi yang tinggi dari natrium kaseinat membuat oleoresin terdispersi
dengan lebih baik sehingga tidak menghalangi proses spray drying.
Berdasarkan hasil percobaan di atas, rendemen mikrokapsul mempunyai
kecenderungan meningkat seiring meningkatnya konsentrasi protein yang
digunakan. Hal ini karena kemampuan emulsi dinding pengkapsul menjadi lebih
baik sehingga minyak dapat dienkapsulasi lebih baik, dengan demikian nilai
rendemen akan meningkat. Hal ini terlihat dari mikrokapsul perlakuan 16 yang
memiliki rendemen tertinggi karena menggunakan natrium kaseinat dengan
jumlah terbanyak sebagai bahan pengkapsulnya.
2. Kadar Minyak Atsiri
Kadar minyak atsiri yang dihasilkan dari mikrokapsul nilainya bervariasi
mulai dari yang terendah yakni perlakuan 8 (0,47%) hingga yang tertinggi yakni
perlakuan 11 (1,31%). Kadar minyak atsiri dari variasi komposisi bahan
pengkapsul dapat dilihat pada Gambar 12.

Kadar minyak atsiri


1.40
Kadar Miyak Atsiri (%BK)

1.20
1.00
0.80
0.60
0.40
0.20
0.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
16 A1C1 A1C2 A2C1 A2C2
Perlakuan
Gambar 12. Kadar minyak atsiri mikrokapsul dengan variasi komposisi bahan
pengkapsul

Berdasarkan Gambar 12 jelas terlihat bahwa kadar minyak atsiri


mikrokapsul dengan bahan natrium kaseinat lebih tinggi daripada mikrokapsul
dengan bahan susu skim. Kadar minyak atsiri mikrokapsul dengan bahan susu
skim yang tertinggi sebesar 0,68% (Perlakuan 2), sedangkan kadar minyak
mikrokapsul dengan bahan natrium kaseinat nilainya diatas 0,70% . Hal ini
berkaitan dengan kemampuan natrium kaseinat sebagai penstabil emulsi minyak
dalam air yang baik. Vega et al. (2005) menyebutkan bahwa natrium kaseinat
memiliki kemampuan enkapsulasi yang lebih baik dibandingkan dengan kasein
miselar. Hasil ini disebabkan oleh faktor konformasi molekular, difusifitas yang
tinggi, dan sifat amfifilik dari kasein secara individual yang memungkinkan
distribusi yang lebih baik di sekitar permukaan yang dienkapsulasi dibandingkan
dengan kasein miselar.
Selain itu, natrium kaseinat dapat menurunkan tegangan permukaan antara
dua fase disebabkan adanya karakter ampifilik yang kuat dari komponen utama
kasein yakni αS1-Kasein (lebih hidrofilik) dan β-kasein (lebih hidrofobik) (Ruis,
2007). Minyak yang terdispersi dalam larutan bahan pengkapsul akan teremulsi
dengan lebih baik. Dengan demikian, kehilangan minyak selama proses
pengemulsian atau saat pengeringan dapat diminimalkan.
Gambar 12 juga menunjukkan mikrokapsul perlakuan 1 sampai perlakuan
4 menunjukkan kecenderungan yang sama dengan mikrokapsul perlakuan 5
sampai perlakuan 8 dari segi kadar minyak atsiri. Kadar minyak atsiri produk naik
dari perlakuan 1 ke perlakuan 2 kemudian menurun pada perlakuan 3 dan
mencapai titik terendah pada perlakuan 4. Hal ini disebabkan pada perlakuan 2,
enkapsulasi telah terjadi secara optimum. Penambahan bahan protein pengkapsul
pada perlakuan 3 dan 4 justru menurunkan kadar minyak atsiri karena
mikrokapsul lebih banyak mengandung bahan pengkapsul daripada oleoresinnya.
Oleh karena itu, saat dianalisis atau diekstrak minyak atsirinya, mikrokapsul
perlakuan 2 menghasilkan minyak atsiri lebih banyak dibanding perlakuan 3 dan 4
pada berat mikrokapsul yang sama. Penggunaan natrium kaseinat sebahai bahan
pengkapsul memberikan kecenderungan yang mirip dengan penggunaan susu
skim dari segi kadar minyak atsirinya. Perbedaannya, kandungan minyak atsiri
paling tinggi dicapai pada perlakuan 11 dan 15 (penggunaan 15% bahan protein)
kemudian menurun pada perlakuan 12 dan 16 (penggunaan 20% bahan protein).
Kecenderungan di atas berkaitan dengan hubungan antara mekanisme
emulsi oleh protein dengan ketersediaannya yang dijelaskan oleh Dickinson et al.
(1997) sebagai berikut. Konsentrasi kritis tertentu (c*) dari protein pada fase cair
biasanya dibutuhkan untuk menyediakan jangkauan menyeluruh dari droplet
emulsi. Meskipun demikian, keberadaan kaseinat yang berlebih (c > c*) dapat
menginduksi terjadinya flokulasi droplet emulsi dan mengakibatkan creaming
karena kecenderungan yang kuat dari submisel kasein untuk membentuk partikel
protein yang kecil. Di lain sisi, ketika protein terbatas dalam emulsi yang
mengandung konsentrasi kaseinat dalam jumah sedikit (c < c*), permukaan
minyak menjadi tidak dapat terjangkau semuanya oleh protein yang tersedia,
sehingga kasein yang diserap harus berbagi dengan dua atau lebih droplet minyak
untuk membuat jembatan flokulasi (Dickinson et al., 1989). Dengan demikian,
menjadi sangat penting untuk menentukan emulsi paling optimum yang stabil
dengan konsentrasi kaseinat yang dapat memberikan jangkauan menyeluruh
terhadap permukaan air dan minyak tanpa kelebihan yang signifikan dari protein
tersisa (Dickinson, 1999).
Kadar minyak atsiri pada perlakuan 1 hampir sama dengan kadar minyak
atsiri mikrokapsul 5. Demikian halnya antara perlakuan 2 dengan 6 dan
seterusnya. Hal ini menunjukkan bahwa, untuk mikrokapsul dengan susu skim,
perbedaan konsentrasi bahan pengkapsul (10% dan 12,5%) tidak terlalu
berpengaruh terhadap kadar minyak atsiri pada penggunaan susu skim dengan
jumlah yang sama.
Namun pada mikrokapsul dengan bahan natrium kaseinat, perbedaan
konsentrasi bahan pengkapsul (10% dan 12,5%) berpengaruh terhadap kadar
minyak atsiri. Mikrokapsul dengan kadar bahan pengkapsul 10% (perlakuan 9
sampai 12) memiliki kadar minyak atsiri yang relatif lebih tinggi dari pada
mikrokapsul dengan kadar bahan pengkapsul 12,5% (perlakuan 13 sampai 16).
Hal ini kemungkinan terjadi karena tingginya viskositas emulsi saat dispray
drying. Tingginya viskositas menyebabkan laju aliran lebih lambat dan
menyebabkan kontak bahan dengan udara pengering lebih lama sehingga
menyebabkan sebagian bahan inti teruapkan. Pada mikrokapsul perlakuan 13
sampai 16, akuades yang digunakan lebih sedikit. Hal ini juga bisa mendorong
penguapan bahan inti karena air yang juga berfungsi sebagai medium pendingin
(mencegah bahan inti menguap), berkurang.
Secara keseluruhan, berdasarkan kadar minyak atsirinya, natrium
kaseinat lebih baik dalam mengkapsulkan oleoresin daripada susu skim. Perlakuan
11 menghasilkan mikrokapsul dengan kadar minyak atsiri tertinggi di antara yang
lain. Namun untuk mikrokapsul dengan susu skim, perlakuan 2 dan perlakuan 4
adalah yang terbaik kadar minyak atsirinya.
Lebih jauh, kandungan minyak atsiri mikrokapsul berdasarkan hasil
analisis dapat dikaitkan dengan kandungan minyak atsiri dari oleoresin yang
digunakan. Produk mikrokapsul dinilai baik kualitasnya apabila kandungan
minyak atsiri produk mendekati kandungan minyak atsiri dari oleoresin atau nilai
harapan kandungan minyak atsiri. Mikrokapsul yang berkadar minyak atsiri tinggi
belum tentu memiliki kualitas pengkapsulan yang baik karena bisa jadi bahan inti
yang dienkapsulasi lebih banyak jumlahnya dibanding yang lain atau dari awal
memang memiliki kadar minyak yang tinggi.
Perbandingan kandungan minyak atsiri mikrokapsul dengan kandungan
minyak atsiri oleoresinnya juga dapat digunakan untuk mengkonfirmasi ada
tidaknya kesalahan analisis kadar minyak atsiri, yaitu penyimpangannya dari nilai
harapan. Dalam hal ini, nilai harapan dinyatakan bernilai 100%. Bila nilai
kandungan minyak atsiri produk kurang atau lebih dari nilai harapan berarti
terjadi kesalahan kandungan minyak atsiri. Berdasarkan hasil perhitungan
(Lampiran 3a), nilai perbandingan minyak atsiri ada yang kurang dari 100% dan
ada yang jauh melebihi 100% sehingga diperkirakan terjadi kesalahan kandungan
minyak atsiri. Kesalahan kandungan minyak atsiri dapat dilihat pada Gambar 13.

Kesalahan Kandungan Minyak Atsiri


150.0
Nilai temuan minyak atsiri (%)

140.0
130.0
120.0
110.0
100.0
90.0
80.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
70.0 16
Perlakuan
Gambar 13. Kesalahan kandungan minyak atsiri
Untuk mikrokapsul dengan susu skim (perlakuan 1 – 8), nilai
Perbandingan minyak atsirinya masih dapat dikatakan normal karena hanya
sedikit melebihi angka 100%. Namun untuk mikrokapsul dengan bahan
pengkapsul natrium kaseinat, nilai perbandingan minyak atsirinya sangat jauh di
atas 100%, terutama pada mikrokapsul perlakuan 9 – 11 dan perlakuan 15.
Kesalahan kandungan minyak atsiri terutama disebabkan oleh dua hal
yakni (1) pada saat preparasi emulsi dan (2) saat analisis kadar minyak atsiri.
Preparasi emulsi yang tidak homogen menyebakan produk yang dihasilkan juga
tidak akan homogen. Hal ini menyebabkan kandungan minyak atsiri hasil analisis
bisa lebih besar atau lebih kecil dari pada yang seharusnya. Berdasarkan Gambar
13, mikrokapsul dengan bahan pengkapsul natrium kaseinat memilki kesalahan
kandungan minyak atsiri yang tinggi. Tingginya kesalahan kandungan minyak
atsiri diperkirakan karena sistem emulsinya yang kurang homogen.
Beberapa faktor pada saat analisis kadar minyak atsiri turut menyebebkan
kesalahan kandungan minyak atsiri. Faktor-faktor tersebut antara lain kesalahan
penimbangan, produk yang kurang homogen, sampling error, dan kesalahan
analis saat destilasi minyak atsiri. Faktor yang paling berpengaruh kemungkinan
adalah saat destilasi minyak atsiri. Volume minyak atsiri yang terukur dalam alat
destilasi berkisar antara 0,3 – 0,6 ml. Jumlah ini dinilai sangat sedikit mengingat
skala tabung penampung minyak atsiri cukup kecil. Selain itu, pembacaan volume
minyak atsiri terdestilasi dilakukan dengan membaca dua meniskus sehingga
meningkatkan resiko kesalahan saat analisis.

3. Surface oil (Kadar minyak di permukaan)


Kadar surface oil yang dihasilkan nilainya bervariasi akibat komposisi
bahan pengkapsul yang berbeda-beda. Kadar surface oil tertinggi diperoleh dari
mikrokapsul perlakuan 1 (0,212%) sedangkan kadar surface oil terendah
diperoleh dari perlakuan 8 (0,094%) (Gambar 14).
Kadar Surface oil
0.25

0.20

Kadar surface oil (% BK)


0.15

0.10

0.05

0.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
A1C1 A1C2
Perlakuan A2C1 A2C2

Gambar 14. Kadar surface oil mikrokapsul dengan berbagai komposisi bahan
pengkapsul
Berdasarkan grafik di atas, secara keseluruhan dapat diamati bahwa kadar
surface oil cenderung menurun seiring penambahan bahan protein pengkapsul.
Penyebab terjadinya penurunan kadar surface oil ini adalah semakin banyak
bahan protein maka proses emulsifikasi oleoresin dalam fase berair semaik baik.
Dengan kata lain, semakin banyak zat aktif yang dapat diperangkap dan minyak
yang ada dipermukaan dapat diminimalkan.
Kadar surface oil mikrokapsul dengan bahan protein susu skim pada setiap
perlakuan terlihat tidak jauh berbeda dengan kadar surface oil mikrokapsul
dengan bahan natrium kaseinat. Kadar surface oil mikrokapsul dengan bahan susu
skim (perlakuan 1 – 8) berkisar antara 0,212% sampai 0,094% sedangkan kadar
surface oil mikrokapsul dengan bahan natrium kaseinat (perlakuan 9 – 16)
berkisar antara 0,177% sampai 0,135%. Bahkan dibeberapa perlakuan dengan
penggunaan bahan protein yang sama jumlahnya, kadar surface oil mikrokapsul
dengan bahan susu skim lebih rendah daripada kadar surface oil mikrokapsul
dengan bahan natrium kaseinat. Hal ini menunjukkan bahwa susu skim memiliki
potensi memberikan perlindungan terhadap bahan inti.
Bila dicermati lebih jauh, mikrokapsul dengan kadar surface oil yang
paling baik (terendah) menggunakan bahan protein pengkapsul terbanyak, yakni
mikrokapsul perlakuan 8 (0,094%). Rendahnya kadar surface oil ini dapat
didekati oleh mikrokapsul perlakuan 2 (0.142%) dan mikrokapsul perlakuan 6
(0.140%). Kedua perlakuan tersebut lebih dipertimbangkan karena menggunakan
bahan protein lebih sedikit (10% dari bahan pengkapsul). Dengan penggunaan
bahan protein setengah kali lipat dari pada mikrokapsul perlakuan 8, mikrokapsul
perlakuan 2 dan 6 dinilai lebih efisien dalam memberikan perlindungan bahan inti.

4. Kelarutan dalam air


Mikrokapsul oleoresin banyak digunakan dalam berbagai jenis makanan,
dengan berkembangnya industri makanan siap saji seperti produk-produk dalam
bentuk deep fat fried food, pastries, corn chips, tortilla, potato stick serta produk-
produk dari daging (Wampler dan Soper, 1998). Flavour yang dienkapsulasi juga
digunakan dalam makanan olahan, permen, makanan formula, bumbu-bumbuan,
makanan penutup, dan lain-lain (Koswara, 1995). Penggunaan mikrokapsul dalam
beberapa aplikasi tersebut membutuhkan suatu kemampuan melepas bahan aktif
dengan baik. Oleh karena itu, mikrokapsul yang dihasilkan sebaiknya memiliki
kelarutan yang tinggi dalam pelarut yang umum digunakan seperti air. Hasil uji
kelarutan mikrokapsul dalam air disajikan dalam Gambar 15 dan Lampiran 3b.

Kelarutan dalam air


100

95
Kelarutan (% BK)

90

85

80
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
16 A1C1 A1C2 A2C1 A2C2
Perlakuan
Gambar 15. Kelarutan mikrokapsul dengan variasi komposisi bahan pengkapsul

Mikrokapsul dengan kelarutan tertinggi adalah mikrokapsul perlakuan 13


(98,62%) sedangkan mikrokapsul yang kelarutannya paling rendah adalah
mikrokapsul perlakuan 5 (94,64%) dan 8 (94,65%). Secara keseluruhan, nilai
kelarutan mikrokapsul sangat tinggi yakni diatas 90%. Tingginya kelarutan
mikrokapsul ini disebabkan adanya maltodekstrin sebagai bahan baku
mikrokapsul terbanyak. Maltodekstrin dapat larut dengan sempurna dalam air
dingin sehingga dapat melepaskan flavour secara tepat pada aplikasi tertentu
(Kenyon dan Anderson, 1988).
Nilai kelarutan mikrokapsul dengan bahan natrium kaseinat terlihat
semakin menurun pada penggunaan bahan protein yang lebih banyak. Nilai
kelarutan terendah diperoleh dari perlakuan 16 dengan pemakaian natrium
kaseinat sebanyak 20% basis protein. Nilai kelarutan yang relatif rendah pada
mikrokapsul dengan susu skim juga didapat pada pemakaian susu skim yang
paling banyak (perlakuan 4 dan 8). Dengan demikian diketahui bahwa semakin
banyak pemakaian bahan protein baik natrium kaseinat ataupun susu skim,
semakin rendah pula kelarutannya dalam air.
Kelarutan yang paling tinggi dari mikrokapsul dengan susu skim didapat
dari perlakuan 2. Nilai kelarutannya mencapai 98,20%. Nilai ini menyamai
tingkat kelarutan mikokapsul dengan natrium kaseinat. Pembentukan emulsi yang
baik diperkirakan menjadi penyebab tingginya nilai kelarutan mikrokapsul
perlakuan 2. Emulsi yang baik menyebabkan partikel mikrokapsul menjadi lebih
halus dan mudah larut. Hal ini menyebabkan pelepasan bahan aktif diperkirakan
lebih baik. Dengan demikian, dari segi kelarutan, perlakuan 2 dinilai yang paling
baik di antara mikrokapsul dengan susu skim.
5. Derajat Keasaman (pH)
Secara keseluruhan, nilai pH semua mikrokapsul berada pada kisaran 5,5
sampai 6. Nilai pH yang tertinggi diperoleh dari perlakuan 12 dan 16 (6,16 dan
6,13) sedangkan yang terendah adalah perlakuan 9 (5,46). Berdasarkan nilai pH
ini, dapat dikatakan produk mikrokapsul tergolong agak asam. Gambar 16
menunjukkan nilai pH mikrokapsul dengan variasi komposisi bahan pengkapsul.

pH
6.40
6.20
6.00
5.80
pH

5.60
5.40
5.20
5.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
A1C1 A1C2Perlakuan A2C1 A2C2

Gambar 16. Derajat keasaman mikrokapsul dengan variasi komposisi bahan


pengkapsul
Derajat keasaman mikrokapsul kemungkinan lebih dipengaruhi oleh
bahan pengkapsul utama yakni maltodektrin. Diketahui bahwa pH maltodekstrin
yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebesar 5,74. Maltodekstrin
diproduksi dengan hidrolisis terkontrol menggunakan enzim α-amilase atau asam
(Kennedy at al., 1995). Proses pembuatan ini menyebebkan maltodekstrin bersifat
agak asam. Nilai pH mikrokapsul dengan bahan natrium kaseinat memiliki
kecenderungan meningkat dari perlakuan 9 sampai 12 dan dari perlakuan 13
sampai 16. Peningkatan pH ini diperkirakan karena penambahan penggunaan
natrium kaseinat. Diketahui bahwa natrium kaseinat cenderung bersifat basa
sehingga penggunaannya akan meningkatkan pH produk. Demikian halnya
dengan kecenderungan penggunaan susu skim.
Uraian pembahasan nilai pH di atas menunjukkan bahwa perbedaan nilai
pH lebih disebabkan jumlah bahan pengkapsul, bukan karena banyak tidaknya zat
aktif yang dapat terkapsulkan. Oleh karena itu nilai pH produk tidak dapat
mewakili kualitas mikrokapsul yang dihasilkan.
Berdasarkan keseluruhan hasil analisis mikrokapsul di atas dapat
disimpulkan bahwa susu skim memilki potensi sebagai bahan protein pengkapsul.
Berdasarkan parameter rendemen dan kadar surface oil, mikrokapsul dengan susu
skim sebanding kualitasnya dengan mikrokapsul natrium kaseinat. Kadar minyak
atsiri mikrokapsul dengan natrium kaseinat tidak berarti menunjukkan kualitas
produk yang baik karena kesalahan kandungan minyak atsirinya cukup tinggi.
Tingginya kesalahan kandungan minyak atsiri diperkirakan karena sistem
emulsinya yang kurang homogen.
Data kadar minyak atsiri menunjukkan bahwa mikrokapsul perlakuan 2 dan
6 dinilai yang terbaik untuk mikrokapsul dengan bahan susu skim. Analisis
surface oil menunjukkan mikrokapsul perlakuan 2 dan 6 juga lebih efisien
mengkapsulkan oleoresin meskipun tidak lebih baik dari pada mikrokapsul
perlakuan 8. Komposisi bahan pengkapsul tidak terlalu berpengaruh nyata
terhadap rendemen, namun peningkatan konsentrasi bahan pengkapsul seperti
pada perlakuan 5 sampai 8 (konsentrasi bahan pengkapsul 12,5% total emulsi)
tidak direkomendasikan karena dapat mempersulit kerja spray dryer. Oleh karena
itu, perlakuan 2 dinilai sebagai komposisi bahan pengkapsul terbaik. Hal ini
didukung dengan nilai kelarutan mikrokapsul perlakuan 2 yang sangat tinggi
(98,20%).
Mikrokapsul dengan perlakuan 2 selanjutnya dilihat penampakannya dengan
scanning electron microscope. Mikrokapsul dengan perlakuan 4 juga akan
diperlihatkan dengan SEM sebagai pembanding karena mikrokapsul dengan
perlakuan 4 diperkirakan akan memiliki morfologi yang baik mengingat kadar
surface oil-nya yang rendah.

D. HUBUNGAN ANTARA MIKROSTRUKTUR DAN KUALITAS


MIKROKAPSUL
Pengujian dengan Scanning Electron Microscope (SEM) dilakukan untuk
membandingkan kualitas mikrokapsul secara mikrostruktur. Analisis morfologi
dengan SEM mampu menunjukkan ukuran, bentuk, dan aspek umum lainnya
terhadap mikrokapsul secara lebih detil. Morfologi mikrokapsul mempengaruhi sifat
mikrokapsul lainnya seperti laju pelepasan bahan inti, surface oil, kelarutan, dan
stabilitas mikrokapsul. Gambar 17 dan Gambar 18 menyajikan foto hasil SEM.

0 5 10 μm

Gambar 17. Hasil SEM mikrokapsul perlakuan 2 (perbesaran 2000 X)

0 5 10 μm

Gambar 18. Hasil SEM mikrokapsul perlakuan 4 (perbesaran 2000 X)


Gambar 17 menunjukkan bahwa mikrokapsul perlakuan 2 memiliki diameter
partikel antara 2-20 μm sedangkan perlakuan 4 memiliki diameter partikel 2-35 μm. Hal
ini menunjukkan bahwa dari segi ukuran, meskipun mikrokapsul perlakuan 4 relatif
lebih besar, ukuran mikrokapsul perlakuan 2 dan perlakuan 4 tidak jauh berbeda. King
(1995) menyatakan bahwa apabila ukuran partikel antara 0,2 sampai 5000 µm disebut
mikrokapsul sedangkan Richard dan Benoit (2000) menyebutkan bahwa ukuran
mikrokapsul hasil spray drying berkisar antara 1-50 μm. Menurut Finch (1993),
mikrokapsul yang baik ialah yang mampu memiliki ketebalan dinding terkecil dengan
ukuran partikel terbesar sehingga mampu membawa komponen yang dikapsul paling
banyak. Sheu et al. (1998) menyebutkan bahwa terdapat variasi dalam morfologi
(ukuran, struktur, dan penampakan) dari butiran bubuk selama proses pengeringan
berlangsung. Umumnya pada banyak kasus, butiran ini pada awalnya berbentuk bola,
selanjutnya karena terdapat lubang, tekanan, dan faktor eksternal lainnya membuat
bentuknya menjadi tidak beraturan dan seperti memiliki banyak lipatan.
Mengacu pada Gibbs et al.(1999), tipe mikrokapsul yang dihasilkan adalah
mikrokapsul berinti tunggal (simple/monocore). Bentuk mikrokapsul perlakuan 2 dan 4
memiliki kemiripan. Terdapat bentuk bulat utuh dan bola kecil keriput pada
penampakan SEM keduanya. Partikel yang berbentuk bulat utuh menandakan bahwa
mikrokapsul terbentuk sempurna dan berisi oleoresin. Bentuk bola kecil keriput
diperkirakan adalah partikel bahan pengkapsul tanpa oleoresin didalamnya atau
mikrokapsul yang berbentuk kurang sempurna.
Kedua gambar memperlihatkan bahwa mikrokapsul perlakuan 2 yang keriput
ataupun berbentuk kurang sempurna lebih banyak dibanding mikrokapsul perlakuan 4.
Hasil SEM ini mendukung kadar surface oil mikrokapsul perlakuan 2 yang sedikit lebih
tinggi daripada mikrokapsul perlakuan 4. Keretakan atau bentuk mikrokapsul yang
kurang baik dapat memacu tingkat pelepasan bahan aktif sehingga nilai surface oil
meningkat.
Menurut Sheu et al. (1998) mikrokapsul hasil spray drying dengan dinding
pengkapsul yang mengandung polisakarida menunjukkan permukaan yang khas. Hal ini
dikarenakan efek dari komposisi dinding pengkapsul, proses atomisasi dan pengeringan,
pengeriputan yang tidak seragam pada awal proses pengeringan, dan efek tegangan
permukaan larutan. Pengembangan udara atau uap air di dalam partikel yang
dikeringkan dapat tidak berlubang. Efek pengembangan ini biasa disebut efek balon.
Efek balon ini berpengaruh terhadap kualitas pengkapsulan. Efek balon ini sangat
dipengaruhi oleh kecepatan pengeringan dan sifat viskoelastis dari matriks dinding
pengkapsul. Efek balon juga dapat terjadi karena tingginya tekanan pada permukaan,
membuat interaksi hidrofobik/hidrofilik terjadi antara pembawa amphiphatik, air, dan
zat yang dienkapsulasi sehingga akan membuatnya menjadi misel. Kecilnya droplet
misel yang terbentuk (rata-rata berdiameter 100 µm) membuatnya mudah dikeringkan
sehingga terbentuklah lapisan keras di sekeliling zat yang terenkapsulasi.
Oleh karena bentuk, ukuran dan morfologi kedua mikrokapsul tersebut tidak
jauh berbeda, dapat disimpulkan bahwa komposisi bahan pengkapsul perlakuan 2 dapat
membentuk mikrokapsul yang memiliki kualitas tidak jauh berbeda dengan mikrokapsul
perlakuan 4. Dengan kata lain, komposisi bahan pengkapsul perlakuan 2 lebih efisien
daripada perlakuan 4.
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Susu skim dinilai sebagai bahan pengkapsul terpilih berdasarkan
penelitian pendahuluan. Mikrokapsul dengan bahan protein susu skim sebesar
3% dari bahan pengkapsul merupakan yang terbaik dengan rendemen 73,22%,
kadar air 4,75%, kadar minyak atsiri 0,82%, dan kadar minyak permukaan
(kadar surface oil) sebesar 0,58%.
Berdasarkan penelitian utama komposisi bahan pengkapsul terbaik
adalah perlakuan 2 yakni penggunaan susu skim 10% dari bahan pengkapsul dan
konsentrasi bahan pengkapsul sebesar 10% dari total emulsi. Mikrokapsul yang
dihasilkan dari perlakuan ini memiliki rendemen 67,22%, kadar minyak atsiri
0,68%, kadar surface oil 0,142%, pH 6,16, dan kelarutan sebesar 98,20%. Hasil
pengamatan dengan scanning electron microscope menunjukkan bahwa
mikrokapsul perlakuan 2 memiliki morfologi yang cukup baik dengan diameter
partikel antara 2-20 μm.

B. SARAN
Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka disarankan untuk dilakukan
penelitian lanjutan menentukan kapasitas penkapsulan oleoresin lada hitam dan
optimasi kondisi proses pengeringan metode spray drying. Disarankan juga
untuk dilakukan penelitian dengan pengukuran umur simpan mikrokapsul
dengan berbagai jenis kemasan.
DAFTAR PUSTAKA

Akhtar, M. and E. Dickinson. 2007. Food Hydrocolloids,Volume 21, 607-616.

AOAC. 1980. Official Methods of Analysis. AOAC Publisher. Washington D.C.

AOAC. 1984. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical


Chemistry 1st Edition. AOAC Inc. Arlington Virginia.

Badan Pusan Statistik. 2005.Volume Dan Nilai Ekspor Impor Indonesia.


http://www.bps.go.id/. [30 -12-09].

Bakan, J. A. and Anderson J. L. 1987. Microencapsulation. Didalam L. Lachman, H. A.


Lieberman, and J. L. Kanig (Eds). The Theory and Practice of Industrial
Pharmachy, 2nd Edition. Philadelphia : Lea and Febiger. 384.

Bakan, JA. 1973. Microencapsulation of food related products. Food Technology 27


(11): 34-40

Bang, W.E and G.A Reineccius. 1985. Spray Drying of Food Flavors III. Optimum
Infeed Concentration for the Retention of Artificial Flavors. J. Perfumer &
Flavorist. 9:27-29.

Baptista A. L. F.,. Coutinho P. J. G, Real Oliveira, M. E. C. D, and. Rocha G. J. I. N.


2003. Effect of pH on The Control Release of Microencapsulated Dye In
Lecithin Liposomes – Part II. Journal of Liposome Research Vol. 13, No. 2,
pp. 111–121, 2003.

Bhandari, B. R., Snoussi, A., Dumoulin, E. D., & Lebert, A. 1993. Spray Drying of
Concentrated Fruit Juices. Drying Technology, 11(5), 1081–1092.

Bhandari, B.R., and T. Howes. 1999. Implications of Glass Transition for The Drying
and Stability of Dried Foods. J. Food Eng. 40 : 71-79.

Brazel, C. S. 1999. Microencapsulation: Offering solutions for the food industry. Cereal
Foods World, 44, 388–393

Chandrayani, E. 2002. Mikroenkapsulasi Oleoresin Biji Pala dengan Menggunakan


Sukrosa sebagai Bahan Penyalut. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Chronakis, I. S. 1998. On The Molecular Characteristics, Compositional Properties, and


Structural-Functional Mechanisms of Maltodextrins: A Review. Crit. Rev.
Food Sci. 38:599–637.

Corrigan, O. I. 1995. Thermal analysis of spray dried products. Thermochimica Acta.


248. 245–258.
Desmawarni. 2007. Pengaruh Komposisi Bahan Penyalut dan Kondisi Spray Drying
Terhadap Karakteristik Mikrokapsul Oleoresin Jahe. Skripsi. Fakultas
Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Desobry, S., Netto, F.M. and Labuza, T.P. 1997. Comparison of spray-drying, drum-
drying and freeze-drying for b-carotene encapsulation and preservation.
Journal of Food Science. 62. 1158–1162.

Dickinson, E. 1999. Caseins in emulsions: Interfacial properties and interactions.


International Dairy Journal. 9. 305–312.

Dickinson, E., Flint, F. O., and Hunt, J. A. 1989. Bridging flocculation in binary protein
stabilized emulsions. Food Hydrocolloids. 3. 389–397.

Dickinson, E., Golding, M., and Povey, M. J. W. 1997. Creaming and flocculation of
oil-in-water emulsions containing sodium caseinate. Journal of Colloidal and
Interface Science. 185. 515–529.

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2008. Luas Areal Dan Produksi Perkebunan Seluruh
Indonesia Menurut Pengusahaan.
http://ditjenbun.deptan.go.id/cigraph/index.php/viewstat/komo-ditiutama/7-
lada. [30 -12-09].

Djubaedah, E. 1986. Ekstraksi Oleoresin dari Jahe (Zingiber officinale, Roscoe). Media
Teknologi Pangan. 2(2) : 10-19.

Dollo, G., P. Le Corre, A. Guerin, F. Chevanne, J. L. Burgot, and R. Leverge. 2003.


Spray-Dried Redisperable O/W Emulsions to Improve Oral Bioavailability of
Poorly Soluble Drugs. Eur. J. Pharm. Sci. 19:273–280.

Dubernet, C. and Benoit, J. P. 1986. La microencapsulation: Ses techniques et ses


applications en biologie. L’actualite ´ chimique. (De ´cembre). 19–28.

Dziezak, J. D. 1988. Microencapsulation and Encapsulated Ingredients. Food


Technology(April), 136–151.

Epstein, W. W., Netz, D. F., and Seidel, J. L. 1993. Isolation of Piperine from Black
Pepper. J. Chem. Ed 70, 598-599.

Farrrel, K. T. 1985. Spice, Condiments, and Seasoning. The AVI Book Published by
Van Nostrand Reinhold Co. New York.

Finch, C. A. 1993. Industrial microencapsulation: polymers for encapsule walls. In


Encapsulation and Controlled Release, Karsa, D.R. and Stephenson, R.A.
(eds.). The Royal Society of Chemistry, Cambridge, pp. 1–17.

Gharsallaoui, A., Gaelle R.,Odile C., Andree V., Remi S. 2007. Applications of spray-
drying in microencapsulation of food ingredients: An overview. Food Research
International. 40. 1107-1121.
Gibbs, B. F., Kermasha, S., Alli, I., and Mulligan, C. N. 1999. Encapsulation in the food
industry: A review. International Journal of Food Sciences and Nutrition. 50.
213–224.

Gouin, S. 2004. Microencapsulation: Industrial appraisal of existing technologies and


trends. Trends in Food Science and Technology. 15. 330–347.

Hogan, S. A., McNamee, N. F., O’Riordan, E. D., & O’Sullivan, M. 2001.


Emulsification and microencapsulation properties of sodium
caseinate/carbohydrate blends. International Dairy Journal, 11, 137–144.

International Pepper Community. 2005. Pepper Statistic Year Book 2002. IPC, Jakarta.
p. 21−34.

Iwabuchi, S. dan A. F. Yamauchi. 1987. Electrophoretic Analysis Of Whey Protein


Present On Soybean Globulin Fraction. J. Agric. Food Chem 35 : 205 – 209.

Jackson, L. S. and Lee K. 1991. Microencapsulation and The Food Industry. Lebensm-
Wis-Technol. 24 : 289-297.

Kennedy, J. F., C. J Knil. and D. W. Taylor. 1995. Maltodekstrin. Di dalam M. W.


Keasley and S. Z. Dziedzic (Eds). Handbook of Hydrolysis Products and Their
Derivates. Blackie Academic and Professional. London.

Kenyon, M. M and R. J. Anderson. 1988. Maltodextrin an Low Dextrose Equivalence


Corn Syrup Solids. Di dalam Risch S. J. and G. A. Reneccius (Eds). Flavour
Encapsulation. American Chemical Society, Washington D. C. 7-10.

Kenyon, M. M. 1995. Modified Starch, Maltodextrin, and Corn Syrup Solids as Wall
Materials for Food Encapsulation. in Encapsulation and Controlled Release of
Food Ingredients. ACS Symposium Series, Vol. 590. S. J. Risch and G. A.
Reineccius, ed. American Chemical Society, Washington, DC. 42–50

Ketaren, S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Jakarta : Balai Pustaka.

Khader, V. and Rao, S. V. 1996. Studies on protein quality of green gram (Phaseolus
aureus). Plant Foods for Human Nutrition, 49, 127–132.

Kim, YD and C. V. Morr. 1996. Microencapsulation properties of gum Arabic and


several food protein: spray dried orange oil emulsion particles. J Agric. Food
Chem. 44 : 1314-1320.

King, A.H. 1995. Evaluation of The Mechanisms Associated With The Release of
Encapsulated Flavor Materials from Maltodextrin Matrices. In: Risch SJ,
Reineccius GA, editors. Encapsulation and controlled release of food
ingredients. Washington DC: Amer Chem Soc. p 143-160.

Koswara. 1995. Jahe dan Hasil Olahannya. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Liana. 1987. Pembuatan Produk Pasta Berprotein Tinggi : Campuran Susu Skim,
Yoghurt, dan Kacang Tanah. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Bogor.

Liu, X. D., T. Atarashi, T. Furuta, H. Yoshii, S. Aishima, and M. Ohkawara. 2001.


Microencapsulation of emulsified hydrophobic flavours by spray drying.
Drying Technology, 19, 1361–1374.

Mansjur. 1980. Budidaya Tanaman Lada dan Kopi. Bogor : Unit Penataran IPB.

Masters, K. 1979. Spray Drying Hand Book. New York : John Wilegard Sons.

McNamee, B. F., E. D. O’Riordan, and M. O’Sullivan. 1998. Emulsification and


Microencapsulation properties of gum Arabic. J. Agric. Food Chem. 46:4551–
4555.

Nuryani, Y. 1996. Klasifikasi dan Karakteristik Tanaman Lada (Piper nigrum L). Di
dalam Monograf Tanaman Lada. Balai Tanaman Rempah dan Obat, Balai
Penelitian dan Pengambangan Pertanian. Bogor.

Pangborn, R. M. 1970. Preliminary examination of odour pepper. The flavor industry


vol.19.

Pedersen, G. P., P. Fäldt, B. Bergenståhl, and H. G. Kristensen. 1998. Solid state


characterization of a dry emulsion: A potential drug delivery system. Int. J.
Pharm. 171:257–270.

Premi, B. R. 2000. Essential Oils and Oleoresins in India. Beverage and Food World
27(4), 12-19

Pruthi, J. S.1980. Spice and Condiments Chemistry, Microbiology, Technology. New


York : Academic Press. 163-173

Purseglove, J. W., E. G. Brown, C. L. Green, and S. R. J. Robins. 1981. Spices Vol I.


New York: Longman Inc. 10-99

Quellet, C., M. Taschi, J. B. Ubink. 2001. Composite Materials. US Patent.


Applications No. 20010008635.

Raghavan, S. 2007. Handbook of Spices, Seasonings, and Flavorings. CRC Press. Boca
Raton.152-157

Reineccius, G. A. 1988. The Spray Drying of Food Flavors. Drying Technology. 22 (6)
: 1289-1324.

Richard, J. and J.P. Benoit. 2000. Microencapsulation. Techniques de l’ingenieur. J.


2210, 1–20.
Rimbawan, J. W. 1977. A Study of Physico-Chemical Properties of Non Fat Dry Milk
as Affected by Process Temperature. Thesis. The Faculty of Agricultural
Engineering and Product Technology. Bogor Agricultural University. Bogor.

Risch, S. J. 1995. Review of patents for encapsulation and controlled release of food
ingredients. di dalam Encapsulation and Controlled Release of Food
Ingredients, Risch, S.J. and Reineccius, G.A. (eds.). American Chemical
Society. Washington DC. Chapter 18. 197–203

Rismunandar. 2000. Lada, Budidaya dan Tantangannya. Jakarta: Penebar Swadaya.

Roginski H., Fuquay, J. W. and Fox, P. F. 2003. Encyclopedia of Dairy Sciences.


Academic Press. London.

Rosenberg M., Kopelman I. J, Talmon Y. 1990. Factors Affecting Retention in Spray-


Drying Microencapsulation of Volatile Materials. J Agric Food Chem 38:1288-
94.

Rosenberg, M. 1997. Milk Derived Whey Protein Based Miroencapsulating Agent and
Method of Use. US Patent 5,610,760.

Rosenberg, M., & Sheu, T. Y. 1996. Microencapsulation of Volatiles By Spray-Drying


In Whey Protein-Based Wall Systems. International Dairy Journal, 6, 273–284.

Ruis, H. G. M. 2007. Structure Rheology Relations in Sodium Caseinate in Containing


Systems. Tesis. Wengeningen University. Netherland.

Shahidi, F. and Han, X. Q. 1993. Encapsulation of food ingredients. Critical Review in


Food Science and Nutrition. 33. 501–547.

Shaikh, J., Bhosale, R., & Singhal, R. 2006. Microencapsulation of black pepper
oleoresin. Food Chemistry, 94, 105–110.

Sheu, T. Y., and Rosenberg, M. 1998, Microstructure of Microcapsules Consisting of


Whey Proteins and Carbohydrates. Journal of Food Science. 63.3. 491-494.

SNI 01-025-1987-B. Standard Oleoresin Lada Hitam. Dewan Stadardisasi Nasional.

Soottitantawat, A., Bigeard, F., Yoshii, H., Furuta, T., Ohkawara, M., & Linko, P. 2005.
Influence of emulsion and powder size on the stability of encapsulated D-
limonene by spray drying. Innovative Food Science and Emerging
Technologies, 6, 107–114.

Soottitantawat, A., H. Yoshiia, X. D. Liua, T. Atarashia, T. Furutaa, S. Aishimab, M.


Ohgawarab, P. Linko. 2000. Flavor Release From Spray-Dried Maltodextrin
Gum Arabic or Soy Matrices as A Function of Storage Relative Humidity.
Innovative Food Science & Emerging Technologies 2 (2001) 55-61.

Sudibyo, A. 1989. Prospek Pengembangan Industri Minyak Atsiri dan Rempah.


Bul.Ekon.Bapindo XIV.905) : 48-53.
Sufni, T.M. 2001. Kajian Pengaruh Jenis Lada (Piper nigrum L.) dan Lama Ektraksi
Terhadap Rendemen dan Mutu Oleoresin yang Dihasilkan. Skripsi. Fakultas
Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.

Suryandari, S. 1981. Pengambilan Oleoresin Jahe dengan Cara Solvent Extraction.


BBIHP, Bogor.

Thies, C. 1996. A Survey of Microencapsulation Process. Di dalam Benita, S. (Ed.)


Microencapsulation methods and Industrial Application. Newyork : Marcel
Deker, 1-19.

Thompson, M. P., N. P. Tarrassuk, R. James, H. A. Lillevik, U. I. Aswurth, and D.


Pose. 1965. Nomenclature of Proteins of Cow Milk and Revision. J. Dairy Sci.
48-159.

US Department of Agriculture. 2001. Nutrient database for standard reference.


Washington, DC: US Department of Agriculture, pp. 14

Varnam, A. H. and J. P. Sutherlan. 1994. Milk and Milk Product Technology,


Chemical, and Microbiology. Chapman and Hall. London.

Vega, C., Kim, E. H. J., Chen, X. D., and Roos, Y. H. 2005. Solid-state characterization
of spray-dried ice cream mixes. Colloids and Surfaces B: Biointerfaces. 45.
66–75.

Wampler and Soper. 1998. http://www.patentstorm.us/inventors/Jon_C__Soper-


2085189.html http://www.patentstorm.us/inventors/Daniel_J__Wampler-
2625891.html. [4-11-2009].

Warner, J. N. 1975. Principle of Dairy Processing. Willey Easton Ltd., New Delhi.

Watanabe, Y., Fang, X., Adachi, S., Fukami, H., & Matsuno, R. 2004. Oxidation of 6-
O-arachidonoyl -ascorbate microencapsulated with a polysaccharide by spray-
drying. Lebensmittel-Wissenschaft und-Technologie, 37, 395–400.

Whitteley, M.A., Welch A. J. E., and Owen L. N. 1952. Thorpe’s Dictionary of Applied
Chemistry Vol V 4th Edition. Longman, Green and Co. London.

Wolf, W. J.1987. Soybean as A Food Source. CRC Press. Boca Raton F L.

Young, S. L., X. Sarda, and M. Rosenberg. 1993. Microencapsulation Properties of


Whey Proteins. 1. Microencapsulation of Anhydrous Milk Fat. Journal of
Dairy Science, 76, 2868–2877.

Zhao, J. and Whistler, R. L. 1994. Spherical Aggregates of Starch Granules as Flavor


Carriers. Food Technol. 48. 104–105.
Lampiran 1. Perhitungan komposisi bahan mikrokapsul untuk penelitian
pendahuluan

Bahan Pengkapsul
Oleoresin
Perlakuan Akuades
Protein (%) Maltodekstrin (%) (%)
(%)
1% 0,1 9,9 89 1
Susu skim 2% 0,2 9,8 89 1
3% 0,3 9,7 89 1
1% 0,1 9,9 89 1
Tepung
2% 0,2 9,8 89 1
kedelai
3% 0,3 9,7 89 1
Tepung 1% 0,1 9,9 89 1
kacang 2% 0,2 9,8 89 1
hijau 3% 0,3 9,7 89 1

Keterangan :
Perhitungan persentase bahan diatas berdasarkan total emulsi
Kadar protein susu skim : 22,84% kadar pati susu skim : 4,88%
Kadar protein tepung kedelai : 38,25% kadar pati tepung kedelai : 13,27%
Kadar protein tepung kacang hijau : 22,32% kadar pati tepung kacang hijau : 25,08%
Kadar protein natrium kaseinat : 91,0%
Lampiran 2. Hasil Penelitian Pendahuluan

Rendemen (%) Kadar Air (%) Kadar Minyak (%) Kadar Surface oil (%)
Jenis Konsentrasi
Kadar
Bahan Bahan Ulangan Rata- Std. Kadar Rata- Std. Kadar Rata- Std. Rata- Std.
Rendemen Surface
Protein Protein rata deviasi Air rata deviasi Minyak rata deviasi rata deviasi
oil
1 71.92 4.67 0.73 1.29
1% 71,57 0,51 4,58 0,11 0,67 0,09 1.29 0,00
2 71.21 4.50 0.60 1.28
Susu 1 73.56 4.70 0.84 1.02
2% 73,43 0,18 4,82 0,17 0,82 0,03 1,06 0,05
Skim 2 73.30 4.94 0.80 1.10
1 72.33 4.73 0.84 0.58
3% 72,33 0,00 4,75 0,02 0,82 0,03 0,58 0,01
2 72.33 4.76 0.80 0.58
1 63.56 3.76 0.83 2.50
1% 61,38 3,08 3,75 0,01 0,72 0,16 2,47 0,03
2 59.21 3.75 0.60 2.45
Tepung 1 58.13 4.30 0.84 2.02
2% 59,26 1,59 4,35 0,07 0,82 0,03 1,95 0,09
Kedelai 2 60.38 4.39 0.80 1.89
1 57.70 4.77 0.73 1.10
3% 57,79 0,13 4,76 0,02 0,77 0,05 1,05 0,02
2 57.89 4.74 0.80 1.01
1 63.26 4.70 0.42 1.33
1% 63,10 0,23 4,71 0,01 0,61 0,27 1,33 0,01
2 62.94 4.72 0.80 1.33
Tepung
1 58.59 5.38 0.74 1.32
Kacang 2% 59,52 1,32 5,40 0,02 0,77 0,04 1,31 0,01
2 60.45 5.41 0.80 1.31
Hijau
1 56.57 5.06 0.84 0.97
3% 55,56 1,44 5,19 0,18 0,72 0,17 1,06 0,13
2 54.54 5.31 0.60 1.15
Lampiran 3a. Hasil Penelitian Utama
Data Rendemen Data Kadar Minyak Perbandingan Minyak Atsiri
Kadar
Perlakuan Ulangan Rendemen Rata- Std. Rata- Std. Nilai Perbandingan Rata-
Minyak
(%) rata deviasi rata deviasi Minyak Atsiri (%) rata
(%bk)
1 75.53 0.58 86.4
1 73.70 2.59 0.58 0.00 84.3
2 71.87 0.57 82.2
1 60.15 0.65 90.4
2 67.22 10.01 0.68 0.04 105.0
2 74.30 0.70 119.6
1 69.81 0.67 116.6
3 67.74 2.93 0.62 0.07 105.3
2 65.67 0.57 94.0
1 69.07 0.56 108.8
4 70.61 2.17 0.52 0.07 101.8
2 72.14 0.47 94.7
1 73.17 0.58 83.7
5 68.90 6.03 0.58 0.00 78.8
2 64.64 0.58 73.9
1 65.92 0.67 99.0
6 69.64 5.25 0.67 0.00 104.6
2 73.35 0.67 110.2
1 47.27 0.57 67.7
7 61.46 20.07 0.57 0.00 88.0
2 75.66 0.57 108.3
1 70.71 0.47 92.8
8 70.99 0.39 0.47 0.00 93.2
2 71.26 0.47 93.6
1 75.99 1.11 136.1
9 70.94 7.15 1.11 0.00 127.1
2 65.89 1.11 118.0
1 72.49 1.14 133.1
10 71.39 1.55 1.14 0.00 131.1
2 70.30 1.14 129.1
1 70.31 1.31 148.4
11 72.30 2.81 1.31 0.00 152.6
2 74.28 1.30 156.8
1 72.21 0.89 107.3
12 73.18 1.37 0.90 0.00 108.7
2 74.15 0.90 110.2
1 75.60 0.71 86.5
13 70.91 6.63 0.71 0.00 81.2
2 66.22 0.71 75.8
1 63.82 0.93 96.1
14 67.05 4.57 0.93 0.00 101.0
2 70.28 0.93 105.8
1 69.64 1.12 126.5
15 73.45 5.38 1.12 0.00 133.4
2 77.25 1.12 140.3
1 77.62 0.76 94.2
16 78.93 1.85 0.76 0.00 95.7
2 80.24 0.76 97.3
.
Lampiran 3b. Hasil Penelitian Utama (lanjutan)
Data Kadar Surface oil Data Kelarutan Data pH
Kadar
Perlakuan Ulangan Rata- Std. Kelarutan Rata- Std. Rata- Std.
Surface pH
rata deviasi (%bk) rata deviasi rata deviasi
oil (%bk)
1 0.211 93.96 6.07
1 0.212 0.001 94.48 0.75 6.08 0.01
2 0.212 95.01 6.09
1 0.143 98.25 6.15
2 0.142 0.001 98.20 0.08 6.16 0.01
2 0.142 98.14 6.17
1 0.157 95.70 5.88
3 0.138 0.026 95.08 0.87 5.89 0.01
2 0.120 94.47 5.89
1 0.103 95.20 6.04
4 0.103 0.001 94.74 0.66 6.05 0.01
2 0.102 94.27 6.06
1 0.161 96.14 5.96
5 0.173 0.018 96.23 0.14 5.95 0.01
2 0.185 96.33 5.94
1 0.161 94.44 6.00
6 0.140 0.029 94.64 0.29 6.00 0.00
2 0.120 94.84 6.00
1 0.147 96.53 6.02
7 0.109 0.054 96.78 0.35 6.03 0.01
2 0.070 97.03 6.04
1 0.088 95.32 5.85
8 0.094 0.008 94.65 0.94 5.84 0.02
2 0.100 93.98 5.82
1 0.190 98.17 5.43
9 0.169 0.029 98.49 0.46 5.46 0.04
2 0.149 98.81 5.48
1 0.166 98.20 5.90
10 0.177 0.015 98.19 0.01 5.87 0.04
2 0.188 98.19 5.84
1 0.143 97.61 6.03
11 0.145 0.003 97.95 0.48 6.04 0.01
2 0.147 98.29 6.05
1 0.118 98.01 6.14
12 0.097 0.029 97.95 0.09 6.16 0.02
2 0.077 97.89 6.17
1 0.168 98.47 5.56
13 0.170 0.002 98.62 0.21 5.56 0.01
2 0.171 98.76 5.55
1 0.201 98.23 5.87
14 0.170 0.044 98.42 0.27 5.87 0.00
2 0.139 98.60 5.87
1 0.138 98.27 6.06
15 0.146 0.011 98.40 0.19 6.07 0.01
2 0.154 98.54 6.07
1 0.129 96.96 6.14
16 0.135 0.008 97.40 0.62 6.13 0.01
2 0.140 97.84 6.12
Lampiran 4. Dokumentasi hasil penelitian

Oleoresin lada hitam

Mikrokapsul oleoresin lada hitam penelitian pendahuluan

1 2 3 4

5 6 7 8

Bubuk mikrokapsul oleoresin lada hitam dengan bahan pengkapsul susu skim
9 10 11 12

13 14 15 16

Bubuk mikrokapsul oleoresin lada hitam dengan bahan pengkapsul na- kaseinat

Mikrokapsul perlakuan 2 di bawah mikroskop dengan perbesaran 100 (kiri) dan


400 (kanan)

Mikrokapsul perlakuan 4 di bawah mikroskop dengan perbesaran 100 (kiri) dan


400 (kanan)

Anda mungkin juga menyukai