LAPORAN PENDAHULUAN
ACUTE CORONARY SYNDROME (ACS) ATAU SINDROM KORONER AKUT
DI RUANG CVCU RSUD LABUANG BAJI
OLEH :
UMRAH
70900120038
CI LAHAN CI INSTITUSI
( ) ( )
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Sindrom Koroner Akut merupakan penyebab kematian tertinggi di dunia, World Health
Organization (WHO) pada tahun 2015 melaporkan penyakit kardiovaskuler menyebabkan 17,5
juta kematian atau sekitar 31% dari keseluruhan kematian secara global dan yang diakibatkan
sindrom koroner akut sebesar 7,4 juta. Penyakit ini diperkirakan akan mencapai 23,3 juta
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan salah satu penyakit tidak menular
dimana terjadi perubahan patologis atau kelainan dalam dinding arteri koroner yang
dapat menyebabkan terjadinya iskemik miokardium dan UAP (Unstable Angina Pectoris) serta
Infark Miokard Akut (IMA) seperti Non-ST Elevation Myocardial Infarct (NSTEMI) dan ST
sindrom koroner akutadalah suatu keadaan infark atau nekrosis otot jantung karena
kurangnya suplai darah dan oksigen pada miokard (ketidakseimbangan antara suplai dan
Sindrom koroner akut adalah nekrosis miokard akibat aliran darah ke otot jantung
terganggu yang disebabkan oleh karena sumbatan pada arteri koroner, sumbatan akut
terjadi oleh karena adanya aterosklerotik pada dinding arteri koroner sehingga menyumbat
dapat disimpulkan bahwa ACS (Acute Coronari Sindrome) atau sindrom koroner akut
merupakan suatu masalah kegawat daruratan yang terjadi akibat kurangnya aliran darah
kejantung yang terjadi secara tiba-tiba karena adanya penyempitan pada pembuluh dara arteri
koroner. kondisi ini di tandai dengan adanya nyeri yang khas, yang dirasakan seperti tertindih
benda berat.
B. ETOLOGI
Penyebab SKA paling sering adalah oklusi lengkap atau hampir lengkap dari arteri
coroner, biasanya dipicu oleh ruptur plak arterosklerosis yang rentan dan diikuti oleh
pembentukan trombus. Ruptur plak dapat dipicu oleh faktor-faktor internal maupun eksternal.
(Joyce, 2014).
Faktor internal terjadinya sindrom koroner akut yaitu Salah satu dasar terjadinya
atherosklerosis adalah terbentuknya cedera endotel akibat faktor-faktor resiko klasik seperti
hiperlipidemia, hipertensi, merokok, kenaikan homosistein plasma, diabetes militus yang akan
menyebabkan disfungsi endotel dan berlanjut ke inflamasi kronis pada dinding endotel. (Arfian
Dkk. 2018)
terjadi peningkatan permeabilitas vaskuler, maka terjadi migrasi, adhesi leukosit, dan
terjadi influks Ox-LDL ke dalam tunika intima. Beberapa monosit pun mulai masuk ke
dalam tunika intima dan berubah menjadi makrofag jaringan. Makrofag jaringan karena
suatu respon akan memakan Ox-LDL dan berubah menjadi foam cell.
3. fibrous cup terdiri dari otot polos dan jaringan fibrosa sangat berperan dalam stabilitas
plak atheroma.
4. apabila terjadi peningkatan degradasi matriks oleh MMP, penurunan sekresi matriks akan
sangat berpengaruh pada stabilitas dari plak atheroma. apabila plak atheroma mengalami
sehingga terjadi manifestasi klinis berupa sindrom coroner akut. terjadinya inflamasi
dalam proses aterosklerosis di tandai dengan kenaikan kadar leukosit atau leukositosis.
leukositosis sendiri selain di pengaruhi oleh reaksi dari sumsum tulang terhadap
Faktor eksternal berasal dari aktivitas klien atau kondisi eksternal yang memengaruhi
klien. Aktivitas fisik berat dan stress emosional berat, seperti kemarahan, serta peningkatan
respon system saraf simpatis dapat menyebabkan rupture plak. Pada waktu yang sama, respon
system saraf simpatis akan meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium. (Joyce, 2014).
Faktor-faktor risiko penyebab terjadinya sindrom coroner akut yaitu : Diabetes, Riwayat
adanya penyakit jantung dalam keluarga, Makanan berlemak tinggi dan berkabohidrat tinggi,
myocardial infarction)
kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. keadaan ini memerlukan tindakan
revaskularisasi atau memperbaiki aliran darah arteri koroner yang tersumbat atau menyempit,
sehingga darah bisa mengalir lancar kembali secara medikamentosa dengan menggunakan agen
fibrinolitik atau secara mekanis melalui intervensi koroner perkuatan primer. diagnosis IMA-
EST di tegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut di sertai elevasi segmen ST yang
persisten di 2 sadapan yang berseblahan. inisiasi tata laksana revaskularisasi tidak perlu
sedangakan diagnosis IMA-NEST dan APTS di tegakkan jika terdapat keluhan angina
pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang menetap di 2 sadapan yang bersebelahan. rekaman
EKG saat presentase dapat berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang
datar, gelombang T pseudo-normalisasi, atau bahkan tanpa perubahan. Angina pektoris tidak
stabil dan IMA-NEST di bedakan berdasarkan hasil pemeriksaan biokarma jantung. biokarma
jantung yang lazim digunakan adalah high sensitivty troponin, troponin, atau CK-MB. bila hasil
infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST (IMA-NEST), jika biomarka jantung tidak
meningkat secara bermakna maka diagnosisnya APTS. pada sindrom koroner akut, nilai ambang
untung peningkatan biomarka jantung yang abnormal adalah beberapa unit melebihi nilai normal
jika pemeriksaan EKG awal tidak menunjukkan kelainan (normal) atau menunjukkan
kelainan yang non-diagnostik sementara angna masih berlangsung, maka pemeriksaan diulang
10-20 menit kemudian. jika EKG ulangan tetap menunjukkan gambaran non-diagnostik
sementara keluhan angina sangat sugestif SKA, maka pasien di pantau selama 12-24 jam. EKG
pengerasan pembuluh darah arteri akibat penumpukan plak pada dinding pembuluh darah yang
mengakibatkan terbentuknya trombus atau Gumpalan darah di dalam pembuluh darah arteri dan
vena sehingga membuat lumen atau saluran pembuluh darah menyempit, baik secara total
maupun parsial yang menyebabkan terjadinya gangguan suplai darah sehigga kekuatan
kontraksi otot jantung menurun. selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan
vasokontriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner. berkurangnya aliran darah
koroner menyebabkan iskemia miokardium. sedangkan suplai oksigen yang berhenti selama
infark miokard tidak selalu disebabkan oleh okulasi total pembuluh darah koroner.
sumbatan subtotal yang disertai vasokontriksi yang dinamis juga dapat menyebabkan terjadinya
iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard). selain nekrosis, iskemia juga
(setelah iskemi hilang), serta distritmia dan perubahan bentuk, ukuran, dan fungsi ventrikel. pada
sebagian pasien, SKA terjadi karena sumbatan dinamis akibat spasme lokal arteri koronaria
epikardial. penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme maupun trombus, dapat diakibatkan oleh
progresi pembentukan plak atau restenossi setelah intervensi koroner perkuatan (IKP). beberapa
faktor akstrinsik, seperti demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dan dapat menjadi
pencetus terjadinya SKA pada pasien yang telah menjadi plak aterosklerosis.
E. MANIFESTASI KLINIS
1. Angina
o Rasa nyeri saat beraktivitas, meluapkan kegembiraan emosional, terpapar dingin atau
2. MI (myocardial infarction)
o Rasa tertekan, teremas, terbakar yang tidak nyaman, nyeri atau rasa penuh yang
sangat terasa dan menetap di tengah dada dan berlangsung selama beberapa menit
o Nyeri yang menjalar sampai ke bahu, leher, lengan atau rahang atau nyeri di
punggung
o Berkeringat
o Mual
o Sesak napas
F. PENATALAKSANAAN
segara mengembalikan keseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen jnatung. Terapai
obat – obatan, pemberian oksigen dan tirah baring dilakuakan secara bersamaan untuk tetap
mempertahankan jantung. Obat – obatan dan oksigen digunakan untuk meningkatkan suplai
oksigen, sementara tirah baring dilakukan untuk mengurangi kebutuhan oksigen. Hilangnya
nyeri merupakan indikator utama bahwa kebutuhan dan suplai telah mencapai keseimbangan.
1. Terapi farmakologi
Menurut Brunner (2013) farmakoterapi ada tiga kelas obat- obatan yang biasa digunakan
intravena. Dosis NTG yang diperlukan untuk menghilangkan nyeri dada bervariasi
darah.
3) trombolitik Tujuan trombolitik adalah untuk melarutkan setiap trombus yang telah
terbentuk di arteri koroner, memperkecil penyumbatan dan juga luasnya infark. Agar
efektif, obat ini harus diberikan pada awal awitan nyeri dada.
4) pemberian oksigen, Terapi oksigen dimulai saat awitan nyeri. Oksigen yang dihirup
dengan observasi kecepatan dan irama pertukaran pernapasan, dan pasien mampu
bernafas dengan mudah. Saturasi oksigen dalam darah secara bersamaan diukur
dengan pulsa-oksimetri.
5) Analgetik, Pemberian analgetik dibatasi hanya untuk pasien yang tidak efektif diobati
dengan nitrat dan anti koagulan. Analgetik pilihan masih tetap morfin sulfat yang
diberikan secara intra vena dengan dosis meningkat 1 sampai 2 mg. Respons
kardiovaskuler terhadap morfin dipantau dengan cermat, khususnya tekanan darah
yang sewaktu – waktu dapat turun. Tetapi karena morfin dapat menurunkan preload
dan afterload dan merelaksasi bronkus sehingga oksigenasi meningkat, maka tetap
ada keuntungan terapeutik selain menghilangkan nyeri pada pemberian obat ini.
Menurut Idrus (2014) terapi non farmakologi yang dapat dilakukan oleh pasien Sindrom
2) Diet karena resiko muntah dan aspirasi segera setelah infark miokard, pasien harus
puasa atau hanya minum air dalam, 4 – 12 jam pertama. Diet mencangkup lemak <
30% kalori total dan kandungan kolesterol < 300% mg/hari. Menu harus diperkaya
dengan makanan yang kaya serat, kalium, magnesium, dan rendah natrium.
3) Bowels istirahat ditempat tidur dan efek penggunaan narkotik untuk menghilangkan
tempat tidur, diet tinggi serat dan penggunaan pencahar ringan secara rutin.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
menjadi 5 yaitu :
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan troponin T atau l dan pemeriksaan CK-MB telah diterima sebagai petanda
paling penting dalam diagnosis SKA. Menurut European Society Of Cardiology (ESC)
dianggap ada mionekrosis bila troponin T atau l positif dalam 24 jam. Troponin tetap
positif sampai 2 minggu. Resiko kematian bertambah dengan tingkat kenaikan troponin.
CK-MB kurang spesifik untuk diagnosis karena juga diketemukan di otot skeletal, tapi
berguna untuk diagnosis infark akut dan akan meningkat dalam beberapa jam dan
2. Ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiografi tidak memberikan data untuk diagnosis angina tak stabil
secara langsung. Tetapi bila tampak adanya gangguan faal ventrikel kiri, adanya
prognosis kurang baik. Ekokardiografi stres juga dapat membantu menegakkan adanya
iskemia miokard.
3. Elektrokardiografi (EKG)
Perubahan EKG yang terjadi pada fase awal adanya gelombang T tinggi dan
simetris.Setelah ini terdapat elevasi segmen ST. Perubahan yang terjadi kemudian ialah
adanya gelombang Q/QS yang menandakan adanya nekrosis. Nekrosis miokard dilihat
dari 12 lead EKG. Selama fase awal miokard infark akut, EKG pasien yang mengalami
oklusi total arteri koroner menunjukkan elevasi segmen ST. Kemudian gambaran EKG
berkembang menjadi gelombang non-Q. Ketika trombus tidak menyebabkan oklusi total,
maka tidak terjadi elevasi segmen ST. Pasien dengan gambaran EKG tanpa elevasi
segmen ST digolongkan ke dalam unstable angina atau Non STEMI. Diagnosis STEMI
ditegakkan jika ditemukan angina akut disertai elevasi segmen ST. Nilai elevasi segmen
ST bervariasi, tergantung kepada usia, jenis kelamin, dan lokasi miokard yang terkena.
Bagi pria usia≥40tahun, STEMI ditegakkan jika diperoleh elevasi segmen ST di V1-V3 ≥
2 mm dan ≥ 2,5 mm bagi pasien berusia < 40 tahun. ST elevasi terjadi dalam beberapa
menit dan dapat berlangsung hingga lebih dari 2 minggu. Diagnosis Non STEMI
ditegakkan jika terdapat angina dan tidak disertai dengan elevasi segmen ST yang
persisten. Gambaran EKG pasien Non STEMI beragam, bisa berupa depresi segmen ST,
perubahan EKG saat presentasi. Untuk menegakkan diagnosis Non STEMI, perlu
itu dapat juga dijumpai elevasi segmen ST tidak persisten (<20 menit), dengan amplitude
lebih rendah dari elevasi segmen ST pada STEMI. Inversi gelombang T yang simestris ≥
4. Uji Latih
Pasien yang telah stabil dengan terapi medikamentosa dan menunjukkan tanda resiko
tinggi perlu pemeriksaan Exercise test dengan alat treadmill. Bila hasilnya negatif maka
prognosis baik. Sedangkan bila hasilnya positif, lebih-lebih bila didapatkan depresi
untuk menilai keadaan pembuluh koronernya apakah perlu tindakan revaskularisasi (PCI
atau CABG) karena risiko terjadinya komplikasi kardiovaskuler dalam waktu mendatang
cukup besar.
5. Rontgen toraks
Rontgen dada sangat berperan untuk mengidentifikasi adanya kongesti pulmonatkan
ventrkel kiri atau oedem, yang biasanya terjadi pada pasiem UA/NSTEMI luas yang
H. KOMPLIKASI
1. Aritmia
ventricular fibrillation (VF), dan AV blok total dapat menjadi manifestasi awal terjadinya
SKA. Insidens aritmia ventrikel biasanya terjadi 48 jam pertama setelah onset SKA.
2. Gagal jantung
Gagal jantung pada SKA biasanya disebabkan oleh kerusakan miokard tapi dapat
pula terjadi karena aritmia atau komplikasi mekanik seperti ruptur septum ventrikel atau
regurgitasi mitral iskemik. Gagal jantung pada SKA menandakan prognosis yang lebih
buruk.
elektrolit dan adanya kelainan katup atau paru. Pemeriksaan foto toraks dan ekokardiografi
direkomendasikan untuk evaluasi luas kerusakan miokard dan komplikasi yang mungkin
Syok kardiogenik pada SKA menandakan kegagalan pompa jantung berat dan
hipoperfusi dengan manifestasi klinis TD sistolik < 90 mmHg, pulmonary wedge pressure >
20 mmHg atau cardiac index < 1,8 L/m2. Hal ini akibat nekrosis miokard yang luas.
Inotropik atau IABP sering diperlukan untuk mempertahankan TD sistolik > 90 mmHg.
suportif IABP direkomendasi sebagai jembatan untuk terapi definitive yaitu terapi intervensi
(emergency PCI).
Pada ruptur dinding ventrikel akut terjadi disosiasi aktivitas listrik jantung yang
menyebabkan henti jantung dalam waktu singkat. Biasanya hal ini fatal dan tidak respon
dengan resusitasi kardiopulmoner standar karena tidak ada cukup waktu untuk dilakukan
tindakan bedah segera. Ruptur dinding ventrikel subakut pada 25% kasus masih
yaitu gambaran reinfark dan didapatkan kembali gambaran elevasi segmen ST pada
Regurgitasi mitral akut biasanya terjadi dalam 2-7 hari SKA. Ada 3 mekanisme
terjadinya yaitu; dilatasi annulus mitral akibat dilatasi ventrikel kiri, disfungsi muskulus
papilaris akibat infark miokard inferior, ruptur dari badan atau ujung muskularis
normal atau hanya sedikit membesar. Pasien harus dikirim segera untuk intervensi bedah
TINJAUAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Merupakan tahap awal dan landasan proses keperawatan. Tahap pengkajian terdiri dari
tiga kegiatan yaitu pengumpulan data, pengelompokan data dan perumusan diagnosa
1. Pengumpulan data
a. Identitas klien
Meliputi nama pasien, umur, jenis kelamin, suku bangsa, pekerjaan, pendidikan,
b. Keluhan utama
Pada klien dengan sindrom coroner akut biasanya klien mengeluh nyeri khas angina
c. Riwayat kesehatan
Dalam hal ini yang perlu dikaji atau di tanyakan pada klien antara lain apakah
klien pernah menderita hipewrtensi atau diabetes millitus, infark miokard atau
sebelumnya.
2) Riwayat kesehatan keluarga
Mengkaji pada keluarga, apakah didalam keluarga ada yang menderita penyakit
Dalam hal ini yang perlu dikaji adalah apakah klien mengerti tentang penyakit
Pada klien dengan SKA biasanya kehilangan nafsu makan ,mual dan muntah
c) Pola eliminasi
Perlu dikaji berapa kali BAB nya perhari bagaimana konsistensi warna dan
baunya juga berapa kali BAK berapa jumlahnya baik sebelum atau pada saat
MRS.
Biasanya pada klien SKA mengalami gangguan sulit tidur karena nyeri dada
Dalam hal ini klien dengan SKA pola sensori normal meliputi panca indera
Pada klien SKA biasanya hubungan peran dengan orang lain baik dan bisa
Pada klien SKA biasanya akan mengalami stres karena cemas takut dan
Klien akan selalu berdoa demi keselamatan dirinya sehingga pelu bantuan
2. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Keadaan umum klien mulai pada saat pertama kali bertemu dengan klien dilanjutkan
mengukur tanda-tanda vital. Kesadaran klien juga diamati, Keadaan sakit juga
Pada klien SKA mengeluh nyeri pada kulit, rambut tipis dan kuku tipis serta rapuh.
Pada klien SKA mengeluh nyeri pada kepala , muka kadang-kadang pucat dan tidak
d. Mata
Pada klien SKA telinga , hidung dan tenggorokan tidak mengalami gangguan
sedangkan pada mulut ditemukan adanya mukosa pada mulut dan bibir.
Pada klien dengan SKA pada pemeriksaanpada pemeriksaan abdomen dan thoraks
ditemuka nyeri pada dada. Pada abdomen ditemukan nyeri juga mual muntah
g. Sistem respirasi
Pada klien SKA ditemukan dispnea dengan atau tanpa aktivitas , batuk produktif,
didapatkan peningkatan respirasi, pucat atau cianosis, suara nafas wheezing cracekes
atau juga vesikuler. Sputum jernih atau juga merah muda/ pink tinged.
Tekanan darah mungkin normal atau meningkat, nadi mungkin normal atau
papilaris yang tidak berfungsi. Heart rate mungkin meningkat atau mengalami
penurunan.Irama jantung mungkin ireguler atau juga normal, edema pada jubular
vena distension, odema anarsarka, crackles mungkin juga timbul dengan gagal
jantung.
Pada klien ini mengalami penurunan jumlah produksi urine dan frekuensi urine.
j. Sistem gastrointestinal
Pada saluran pencernaan terjadi gangguan. Gejalanya nafsu makan menurun, mual
dan munta, nyeri perut, serta turgor kulit menurun, penurunan atau tidak adanya
bising usus.
k. Sistem muskulusskeletal
Pada klien SKA adanya kelemahan dan kelelahan otot sehinggah timbul ketidak
dilakukan.
l. Sistem endokrin
m. Sistem persyarafan
Biasanya timbul gejala rasa berdenyut, vertigo disertai tanda-tanda dengan
perubahan orientasi atau respon terhadap rangsang, gelisa, respon emosi meningkat
dan apatis.
3. Pemeriksaan diagnostic
b. Perubahan EKG yang terjadi pada fase awal adanya gelombang T tinggi dan
simetris.Setelah ini terdapat elevasi segmen ST. Perubahan yang terjadi kemudian
ialah adanya gelombang Q/QS yang menandakan adanya nekrosis. Nekrosis miokard
dilihat dari 12 lead EKG. Selama fase awal miokard infark akut, EKG pasien yang
mengalami oklusi total arteri koroner menunjukkan elevasi segmen ST. Kemudian
menyebabkan oklusi total, maka tidak terjadi elevasi segmen ST. Pasien dengan
gambaran EKG tanpa elevasi segmen ST digolongkan ke dalam unstable angina atau
c. Pemeriksaan ekokardiografi
d. Uji Latih
e. rontgen toraks
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosis keperawatan yang biasa muncul pada pasien PJK (PPNI, 2016) :
8. Intoleransi aktivitas b/d ketidakseimbangan antara suplai oksigen miokard dan kebutuhan
11. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, kebutuhan pengobatan b/d kurang informasi
C. INTERVENSI
teratasi dengan kriteria hasil TTV normal, dapat mentoleransi aktivitas, tidak ada
Intervensi :
3) Catat tanda dan gejala yang mengarah pada penurunan kardiak output
Rasional : penurunan kardiak output sangat berpengaruh terhadapa sistemik tubuh
Rasional : status rspirasi yang buruk bisa saja disebabkan oleh edema paru dan ini
5) Pertahankan posisi tirah baring pada posisi yang nyaman selama episode akut
Rasional : dengan posisi tirah baring diharapkan ekspansi dada klien lebih optimal
6) Berikan oksigen tambahan dengan kanula nasal/ masker dan obat sesuai indikasi
(kolaborasi)
efek hipoksia/iskemia.
2. Diagnosa : Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan iskemia jaringan jantung
adanya penurunan rasa nyeri dada, menunjukan adanya penuruna tekanan dan cara
berelaksasi.
Intervensi :
Rasional : Membantu membedakan nyeri dada dini dan alat evaluasi kemungkinan
kemajuan menjadi angina tak stabil(angina stabil biasanya terjadi 3-5 menit
kemudian turun bila curah jantung dipenuhi. Takikardi juga terjadi pada respons
terhadap rangsangan simpatis dan dapat berlanjut sebagai kompensasi bila curah
jantung turun.
3) Anjurkan pada pasien agar segera melaporkan bila terjadi nyeri dada.
Rasional : Nyeri dan penurunan curah jantung dapat merangasang system saraf
agregasi trombosit dan mengeluarkan tromboxane A2. Ini vasokonstriksi poten yang
meyebabkan spasme arteri korroner yang dapat mencetus, dan mengkomplikasi dan
memperlama nyeri. Nyeri tak bisa ditahan yang menyebabkan vasogal, menurunkan
Rasional : Teknik relaksasi dengan nafas dalam dapat mengurangi rasa nyeri
jaringan.
Intervensi :
2) Inspeksi adanya pucat, cyanosis, kulit yang dingin dan penurunan kualitas nadi
perifer.
Alwi, Idrus.2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI Jilid II. Jakarta : Interna Publishing
Brunner dan Suddarth. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Edisi VIII Volume 2.
Jakarta : EGC
Muhibbah dkk. (2019). Karakteristik Pasien Sindrom Koroner Akut Pada Pasien Rawat Inap
Ruang Tulipdi Rsud Ulin banjarmasin. Indonesian Journal for Health Sciences. Vol.3, No.1.
Hal. 6-12.
Muhadi, Trisnohadi Hanafi B. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI Jilid II. Jakarta :
Interna Publishing
PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia, Defisini dan indikator diagnostik
(Edisi 1). Jakarta :DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia, Definisi dan tindakan keperawatan
(Edisi 1). Jakarta :DPP PPNI