BAB 1
PENDAHULUAN
Potensi penularan HIV dari wanita hamil untuk anaknya yang belum lahir
diakui pada tahun 1982, bahkan sebelum identifikasi virus HIV muncul. Sejak saat ini
kemajuan signifikan telah dibuat pada bidang pengetahuan tentang metode untuk
mengurangi risiko ini. Penurunan dramatis dalam tingkat transmisi di Inggris dan
Irlandia dari 25,6% pada 1990-an menjadi 0,5% pada 2011 menunjukkan
keberhasilan intervensi ini. Pencegahan penularan dari ibu ke anak (MTCT) adalah
kompleks: intervensi bertujuan untuk mengurangi risiko kehamilan, persalinan dan
periode neonatal secara keseluruhan. Akibatnya tim multi-disiplin, termasuk dokter
spesialis HIV, bidan, dokter kandungan dan dokter anak adalah komponen yang
berharga. Selain mencegah penularan HIV, implementasi intervensi ini juga
bermanfaat bagi kesehatan ibu. Skrining antenatal secara universal memfasilitasi
diagnosis dari mereka yang hidup dengan HIV yang tidak diketahui. Kehamilan juga
bisa beraksi sebagai pemicu untuk meninjau manajemen, meningkatkan keterlibatan
dan memberikan perawatan tambahan untuk mereka yang didiagnosa HIV. Tinjauan
tim multi-disiplin secara teratur dapat membantu mengidentifikasi setiap kehamilan
atau komplikasi terkait HIV serta memberikan dukungan psikologis jika diperlukan. 3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan sebuah retrovirus yang
memiliki genus lentivirus yang menginfeksi, merusak, atau menggangu fungsi sel
sistem kekebalan tubuh manusia sehingga menyebabkan sistem pertahanan tubuh
manusia tersebut menjadi melemah. Virus HIV menyebar melalui cairan tubuh dan
memiliki cara khas dalam menginfeksi sistem kekebalan tubuh manusia terutama sel
Cluster of Differentiation 4 (CD4) atau sel-T. HIV menyerang sel - sel sistem
kekebalan tubuh manusia terutama sel-T CD4+ dan makrofag yang merupakan sistem
imunitas seluler tubuh. Infeksi dari virus ini akan menyebabkan kerusakan secara
progresif dari sistem kekebalan tubuh, menyebabkan defisiensi imun sehingga tubuh
tidak mampu melawan infeksi dan penyakit. Seiring dengan berjalannya waktu, HIV
dapat merusak banyal sel CD4 sehingga kekebalan tubuh semakin menurun dan tidak
dapat melawan infeksi serta penyakit sama sekali, infeksi ini akan berkembang
menjadi Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). AIDS merupakan tahap
infeksi yang terjadi akibat menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus
HIV. AIDS merupakan stadium ketika sistem imun penderita jelek dan penderita
menjadi rentan terhadap infeksi dan kanker terkait, infeksi yang disebut infeksi
oportunistik.4
Infeksi oportunistik adalah infeksi yang terjadi akibat sistem kekebalan tubuh
yang menurun dan dapat terjadi penyakit yang lebih berat dibandingkan pada orang
yang sehat. Seseorang dapat didiagnosis AIDS apabila jumlah sel CD4 turun di < 200
sel/mm3 darah, selain itu seseorang dapat terdiagnosis dengan AIDS jika menderita
lebih dari satu infeksi oportunistik atau kanker yang berhubungan dengan HIV dan
perlu waktu 10-15 tahun bagi orang yang sudah terinfeksi HIV untuk berkembang
menjadi AIDS.4
2.2 Epidemiologi
Penularan dari ibu ke anak (MTCT) menyumbang 90% dari infeksi HIV anak-
anak Indonesia di bawah usia 15 tahun. Tanpa intervensi apa pun, bayi lahir dengan
wanita hamil yang terinfeksi HIV memiliki risiko 25-45% infeksi HIV selama
kehamilan, persalinan, dan menyusui. Dengan tidak adanya menyusui, infeksi
intrauterin (transplasental) dan infeksi peripartum untuk 25-40% dan 60-75%,
masing-masing, dari infeksi vertikal. Menyusui mengandung risiko 8-25% transmisi
vertikal di negara-negara berkembang.5
Berdasarkan data dari UNAIDS, diperkirakan 34 juta orang terinveksi HIV
diseluruh dunia. Pada Asia Tenggara dan Selatan terdapat 4 juta orang dewasa dan
anak anak yang terinveksi HIV, diantaranya kematian orang dewasa dan anak - anak
karena AIDS sebesar 250.000 orang dan 280.000 orang adalah penderita infeksi HIV
baru.6
Gambar 2.1 Perkiraan jumlah orang dewasa dan anak anak dengan HIV secara
Global6
Perkembangan HIV positif di Indonesia sampai tahun 2013 disajikan pada
Gambar 2.2 berikut ini.
Gambar 2.2 Jumlah kasus baru HIV positif di Indonesia sampai tahun 2013.7
Pada permukaan dalam envelope lipid virus dilapisi oleh protein matriks
(p17), yang kemungkinan berperan penting dalam menjaga integritas struktural
virion. Envelope lipid terbungkus dalam protein kapsid yang berbentuk ikosahedral
(p24) dan matriks p17. Protein kapsid mengelilingi inti dalam virion sehingga
membentuk 'cangkang' di sekeliling material genetik. Protein nukleokapsid terdapat
dalam 'cangkang' tersebut dan berikatan langsung dengan molekul-molekul RNA.8
Sampai dengan saat ini dikenal dua serotip HIV yang menginfeksi manusia,
yaitu HIV tipe1 (HIV-1) dan HIV tipe 2 (HIV-2). HIV-1 lebih mematikan dan lebih
mudah masuk kedalam tubuh. HIV-1 maupun HIV-2 mempunyai struktur yang
hamper sama, HIV-1 mempunyai gen vpu tetapi tidak mempunyai vpx, sedangkan
sebaliknya HIV-2 mempunyai vpx tetapi tidak mempunyai vpu. Perbedaan struktur
genom ini walaupun sedikit, diperkirakan mempunyai peranan dalam menentukan
patogenitas dan perbedaan perjalanan penyakit diantara kedua tipe HIV tersebut,
karena HIV-1 yang lebih sering ditemukan, maka penelitian – penelitian klinis dan
laboratoris lebih sering dilakukan terhadap HIV-1.8
2.4 Patogenesis
Partikel-partikel virus HIV yang akan memulai proses infeksi biasanya
terdapat di dalam darah, sperma atau cairan tubuh lainnya dan dapat menyebar
melalui sejumlah cara. Cara yang paling umum adalah transmisi seksual melalui
mukosa genital. Keberhasilan transmisi virus itu sendiri sangat bergantung pada viral
load individu yang terinfeksi. Viral load ialah perkiraan jumlah copy RNA per
mililiter serum atau plasma penderita. Apabila virus ditularkan pada inang yang
belum terinfeksi, maka akan terjadi viremia transien dengan kadar yang tinggi, virus
menyebar luas dalam tubuh inang. Sementara sel yang akan terinfeksi untuk pertama
kalinya tergantung pada bagian mana yang terlebih dahulu dikenai oleh virus, bisa
CD4+sel T dan monosit di dalam darah atau CD4+ sel T dan makrofag pada jaringan
mukosa. Ketika HIV mencapai permukaan mukosa, maka ia akan menempel pada
limfosit-T CD4+ atau makrofag (atau sel dendrit pada kulit). Setelah virus
ditransmisikan secara seksual melewati mukosa genital, ditemukan bahwa target
selular pertama virus adalah sel dendrit jaringan (dikenal juga sebagai sel
Langerhans) yang terdapat pada epitel servikovaginal, dan selanjutnya akan bergerak
dan bereplikasi di kelenjar getah bening setempat. Sel dendritik ini kemudian berfusi
dengan limfosit CD4+ yang akan bermigrasi kedalam nodus limfatikus melalui
jaringan limfatik sekitarnya. Dalam jangka waktu beberapa hari sejak virus ini
mencapai nodus limfatikus regional, maka virus akan menyebar secara hematogen
dan tinggal pada berbagai kompartemen jaringan. Nodulus limfatikus maupun
ekuivalennya (seperti plak Peyeri pada usus) pada akhirnya akan mengandung virus.
Selain itu, HIV dapat langsung mencapai aliran darah dan tersaring melalui nodulus
limfatikus regional. Virus ini bereproduksi dalam nodus limfatikus dan kemudian
virus baru akan dilepaskan. Sebagian virus baru ini dapat berikatan dengan limfosit
CD4+ yang berdekatan dan menginfeksinya, sedangkan sebagian lainnya dapat
berikatan dengan sel dendrit folikuler dalam nodus limfatikus. 9,10
Fase penyakit HIV berhubungan dengan penyebaran virus dari tempat awal
infeksi ke jaringan limfoid di seluruh tubuh. Dalam jangka waktu satu minggu hingga
tiga bulan setelah infeksi, terjadi respons imun selular spesifik HIV. Respons ini
dihubungkan dengan penurunan kadar viremia plasma yang signifikan dan juga
berkaitan dengan awitan gejala infeksi HIV akut. Selama tahap awal, replikasi virus
sebagian dihambat oleh respons imun spesifik HIV ini, namun tidak pernah terhenti
sepenuhnya dan tetap terdeteksi dalam berbagai kompartemen jaringan, terutama
jaringan limfoid. Sitokin yang diproduksi sebagai respons terhadap HIV dan mikroba
lain dapat meningkatkan produksi HIV dan berkembang menjadi AIDS. 9,10
Sementara itu sel dendrit juga melepaskan suatu protein manosa yang
berikatan dengan lektin yang sangat penting dalam pengikatan envelope HIV. Sel
dendrit juga berperan dalam penyebaran HIV ke jaringan limfoid. Pada jaringan
limfoid sel dendrit akan melepaskan HIV ke CD4+ sel T melalui kontak langsung sel
ke sel. Dalam beberapa hari setelah terinfeksi HIV, virus melakukan banyak sekali
replikasi sehingga dapat dideteksi pada nodul limfatik. Replikasi tersebut akan
mengakibatkan viremia sehingga dapat ditemui sejumlah besar partikel virus HIV
dalam darah penderita. Keadaan ini dapat disertai dengan sindrom HIV akut dengan
berbagai macam gejala klinis baik asimtomatis maupun simtomatis. Viremia akan
menyebabkan penyebaran virus ke seluruh tubuh dan menyebabkan infeksi sel T
helper, makrofag, dan sel dendrit di jaringan limfoid perifer. Infeksi ini akan
menyebabkan penurunan jumlah sel CD4+ yang disebabkan oleh efek sitopatik virus
dan kematian sel. Jumlah sel T yang hilang selama perjalanan dari mulai infeksi
hingga AIDS jauh lebih besar disbanding jumlah sel yang terinfeksi, hal ini diduga
akibat sel T yang diinfeksi kronik diaktifkan dan rangsang kronik menimbulkan
apoptosis. Sel dendritik yang terinfeksi juga akan mati. Penderita yang telah
terinfeksi virus HIV memiliki suatu periode asimtomatik yang dikenal sebagai
periode laten. Selama periode laten tersebut virus yang dihasilkan sedikit dan
umumnya sel T darah perifer tidak mengandung virus, tetapi kerusakan CD4+ sel T
di dalam jaringan limfoid terus berlangsung selama periode laten dan jumlah CD4+
sel T tersebut terus menurun di dalam sirkulasi darah. Pada awal perjalanan penyakit,
tubuh dapat cepat menghasilkan CD4+ sel T baru untuk menggantikan CD4+ sel T
yang rusak. Tetapi pada tahap ini, lebih dari 10% CD4+ sel T di organ limfoid telah
terinfeksi. Seiring dengan lamanya perjalanan penyakit, siklus infeksi virus terus
berlanjut yang menyebabkan kematian sel T dan penurunan jumlah CD4+ sel T di
jaringan limfoid dan sirkulasi. 9,10
Selama fase lanjutan (kronik) infeksi HIV ini penderita akan rentan terhadap
infeksi lain dan respons imun terhadap infeksi ini akan merangsang produksi virus
HIV dan kerusakan jaringan limfoid semakin menyebar. Progresivitas penyakit ini
akan berakhir pada tahap yang mematikan yang dikenal sebagai AIDS. Pada keadaan
ini kerusakan sudah mengenai seluruh jaringan limfoid dan jumlah CD4+ sel T dalam
darah turun di bawah 200 sel/mm3 (normal 1.500 sel/mm3). Penderita AIDS dapat
mengalami berbagai macam infeksi oportunistik, keganasan, cachexia (HIV wasting
syndrome), gagal ginjal (HIV nefropati), dan degenerasi susunan saraf pusat (AIDS
ensefalopati). Oleh karena CD4+ sel T sangat penting dalam respons imun selular dan
humoral pada berbagai macam mikroba, maka kehilangan sel limfosit ini merupakan
alasan utama mengapa penderita AIDS sangat rentan terhadap berbagai macam jenis
infeksi. 9,10
Gambar 2.4 Patogenesis AIDS9
2.5 Transmisi
Transmisi HIV secara umum dapat terjadi melalui empat jalur, yaitu :10
a. Kontak seksual: HIV terdapat pada cairan mani dan sekret vagina yang akan
ditularkan virus ke sel, baik pada pasangan homoseksual atau heteroseksual.
Kerusakan pada mukosa genitalia akibat penyakit menular seksual seperti
sifilis dan chancroid akan memudahkan terjadinya infeksi HIV.
b. Tranfusi: HIV ditularkan melalui tranfusi darah baik itu tranfusi whole blood,
plasma, trombosit, atau fraksi sel darah lainnya.
c. Jarum yang terkontaminasi: transmisi dapat terjadi karena tusukan jarum yang
terinfeksi atau bertukar pakai jarum di antara sesama pengguna obat-obatan
psikotropika.
d. Transmisi vertikal (perinatal): Lebih dari 90% anak yang terinfeksi HIV
didapat dari ibunya, penularan melalui ibu kepada anaknya. Transmisi vertikal
dapat terjadi secara transplasental, antepartum, maupun postpartum.
Mekanisme transmisi intauterin diperkirakan melalui plasenta. Hal ini
dimungkinkan karena adanya limfosit yang terinfeksi masuk kedalam
plasenta. Transmisi intrapartum terjadi akibat adanya lesi pada kulit atau
mukosa bayi atau tertelannya darah ibu selama proses kelahiran. Beberapa
faktor resiko infeksi antepartum adalah ketuban pecah dini, lahir per vaginam.
Transmisi postpartum dapat juga melalui ASI yakni pada usia bayi menyusui,
pola pemberian ASI, kesehatan payudara ibu, dan adanya lesi pada mulut
bayi. Seorang bayi yang baru lahir akan membawa antibodi ibunya, begitupun
kemungkinan positif dan negatifnya bayi tertular HIV adalah tergantung dari
seberapa parah tahapan perkembangan AIDS pada diri sang ibu
2.6 Faktor yang berperan dalam penularan HIV dari ibu ke anak
Ada tiga faktor utama yang berpengaruh pada penularan HIV dari ibu ke
anak, yaitu faktor ibu, bayi/anak, dan tindakan obstetric :10,11
1. Faktor Ibu
a. Jumlah virus (viral load)
Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat persalinan dan
jumlah virus dalam air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya sangat mempengaruhi
penularan HIV dari ibu ke anak. Risiko penularan HIV menjadi sangat kecil jika
kadar HIV rendah (kurang dari 1.000 kopi/ml) dan sebaliknya jika kadar HIV di atas
100.000 kopi/ml.
b. Jumlah Sel CD4
Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah lebih berisiko menularkan HIV ke
bayinya. Semakin rendah jumlah sel CD4 risiko penularan HIV semakin besar.
c. Status gizi selama hamil
Berat badan rendah serta kekurangan asupan seperti asam folat, vitamin D,
kalsium, zat besi, mineral selama hamil berdampak bagi kesehatan ibu dan janin
akibatntya dapat meningkatkan risiko ibu untuk menderita penyakit infeksi yang
dapat meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayi.
d. Penyakit infeksi selama hamil
Penyakit infeksi seperti sifilis, infeksi menular seksual,infeksi saluran
reproduksi lainnya, malaria,dan tuberkulosis, berisiko meningkatkan jumlah virus dan
risiko penularan HIV ke bayi.
e. Gangguan pada payudara
Gangguan pada payudara ibu dan penyakit lain, seperti mastitis, abses, dan
luka di puting payudara dapat meningkatkan risiko penularan HIV melalui ASI
sehingga tidak sarankan untuk memberikan ASI kepada bayinya dan bayi dapat
disarankan diberikan susu formula untuk asupan nutrisinya.
2. Faktor Bayi
a. Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir
Bayi lahir prematur dengan berat badan lahir rendah (BBLR) lebih rentan
tertular HIV karena sistem organ dan sistem kekebalan tubuhnya belum berkembang
dengan baik.
b. Periode pemberian ASI
Semakin lama ibu menyusui, risiko penularan HIV ke bayi akan semakin
besar.
c. Adanya luka dimulut bayi
Bayi dengan luka di mulutnya lebih berisiko tertular HIV ketika diberikan
ASI.
3. Faktor obstetrik
Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Faktor
obstetrik yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke anak selama
persalinan adalah
a. Jenis persalinan
Risiko penularan persalinan per vagina lebih besar daripada persalinan
melalui bedah sesar (seksio sesaria).
b. Lama persalinan
Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV dari ibu
ke anak semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya kontak antara bayi dengan
darah dan lendir ibu.
c. Ketuban pecah
Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan risiko
penularan hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam.
d. Tindakan episiotomi,ekstraksi vakum dan forceps
Meningkatkan risiko penularan HIV karena berpotensi melukai ibu
Gambar 2.5 Resiko penularan HIV dari ibu ke anak saat hamil, bersalin dan
Menyusui10,12
2.9 Diagnosis
Langkah pertama untuk mendiagnosis HIV/AIDS adalah anamnesis secara
keseluruhan kemudian dilakukan pemeriksaan diagnostik infeksi HIV dapat
dilakukan secara virologis (mendeteksi antigen DNA atau RNA) dan serologis
(mendeteksi antibodi HIV) pada spesimen darah. Diagnosis laboratorium yang dapat
dilakukan adalah: isolasi virus HIV, serologi dengan menggunakan enzyme-linked
immunosorbent assays (ELISA) atau tes aglutinasi, deteksi asam nukleat atau
antigen: pengujian amplifikasi seperti reverse trancriptase-polymerase chain
reaction (RT-PCR), dan imunologi: nilai absolut limfosit CD4 dan rasio CD4:CD8
rendah pada orang yang terinfeksi HIV. 4,14
Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Indonesia menetapkan untuk
mendiagnosis AIDS dengan kriteria WHO digunakan untuk keperluan surveilans
epidemiologi. Dalam hal ini seseorang dapat didiagnosis berdasarkan gejala klinis,
yang terdiri dari gejala mayor dan minor. Pasien yang dikatakan AIDS jika
menunjukan hasil tes HIV positif disertai minimal terdapat 2 gejala mayor atau
terdapat 2 gejala minor dan 1 gejala mayor. Pemeriksaan jumlah sel CD4 dapat
segera di lakukan setelah pertama kali dinyatakan positif HIV dan saat akan
melahirkan menggunakan spesimen darah.1,14
2.10 Tatalaksana
Kapan Memulai Terapi Antiretroviral
Inisiasi terapi antiretroviral direkomendasikan untuk semua orang yang
terinfeksi HIV dengan terdeteksi viremia, terlepas dari jumlah CD4 +; orang dengan
Infeksi HIV akut di mana terapi antiretroviral harus dimulai secepatnya; dan orang-
orang yang viral load tidak terdeteksi tanpa terapi antiretroviral tetapi memiliki
jumlah CD4 yang menurun. Rencana penghentian terapi antiretroviral dini setelah
durasi pengobatan tertentu tidak dianjurkan di luar pengaturan penelitian. Ada minat
baru dalam menyembuhkan penelitian menggunakan gangguan perawatan analitik.
Namun, penghentian pengobatan antiretroviral yang direncanakan seharusnya hanya
terjadi dalam pengaturan uji coba penelitian di mana individu dipantau secara ketat
untuk kekambuhan virus dan mundur segera.15
Farmakokinetik
C. Protease Inhibitors
Atazanavir / ritonavir dan darunavir / ritonavir adalah PI yang disukai untuk
digunakan pada ibu hamil yang belum pernah menggunakan ARV. 19,20,21
D. Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors
Tidak ada NNRTI pilihan untuk digunakan pada wanita hamil yang belum
pernah menggunakan ARV. 19,20,21
Tabel 2.2 Regimen Kombinasi Awal untuk Wanita Hamil yang Tidak Pernah
Menggunakan Antiretroviral19
RAL plus Backbone Dual-NRTI yang sering Data PK tersedia untuk penggunaan
digunakan RAL pada kehamilan, dan pengalaman
dengan penggunaan dalam kehamilan
meningkat. RAL telah terbukti
menghasilkan penurunan viral load yang
cepat ke tingkat yang tidak terdeteksi
pada wanita yang datang untuk terapi
awal di akhir kehamilan. Rejimen
berbasis INSTI mungkin berguna ketika
interaksi obat atau potensi untuk
kelahiran prematur dengan rejimen
berbasis PI adalah masalah. Diperlukan
dosis dua kali sehari. Ada waktu khusus
dan / atau rekomendasi jika RAL
dikonsumsi dengan kalsium atau zat
besi
Regimen PI pilihan
ATV / r plus Backbone Dual-NRTI yang Administrasi sekali sehari.
Dipilih Pengalaman luas dengan
penggunaan dalam kehamilan.
Hyperbilirubinemia maternal;
tidak ada hiperbilirubinemia
neonatal yang signifikan secara
klinis atau kernicterus yang
dilaporkan
Pemantauan bilirubin neonatal
dianjurkan
Tidak dapat dikelola dengan PPI.
Waktu spesifik
direkomendasikan untuk dosis
dengan H2 blocker
Alternatif Regimen Awal dalam Kehamilan
Obat-obatan atau kombinasi obat ditetapkan sebagai opsi alternatif untuk terapi pada
wanita hamil ketika data uji klinis pada orang dewasa menunjukkan kemanjuran dan data
pada individu hamil umumnya baik tetapi terbatas. Sebagian besar obat atau rejimen
alternatif dikaitkan dengan lebih banyak PK, dosis, tolerabilitas, formulasi, administrasi,
atau masalah interaksi daripada yang ada dalam kategori yang dipilih, tetapi mereka dapat
diterima untuk gunakan dalam kehamilan. Beberapa obat atau regimen alternatif mungkin
diketahui memiliki risiko toksisitas atau teratogenisitas yang diimbangi dengan
keuntungan lain untuk wanita dengan HIV yang sedang hamil atau yang sedang mencoba
untuk hamil. Oleh karena itu, penting untuk membaca semua informasi pada setiap obat
dalam Pedoman Perinatal sebelum memberikan obat-obatan ini kepada pasien
Alternatif Dual-NRTI Backbones
ZDV/3TC Tersedia sebagai FDC. Meskipun tidak
direkomendasikan untuk terapi awal
pada orang dewasa yang tidak hamil,
ZDV / 3TC adalah kombinasi NRTI
dengan pengalaman paling banyak
untuk digunakan dalam kehamilan. Itu
memiliki kerugian karena memerlukan
administrasi dua kali sehari dan
memiliki potensi peningkatan toksisitas
hematologi dan toksisitas lainnya
Alternatif Regimen PI
LPV / r plus Backbone Dual-NRTI yang Banyak pengalaman dan mendirikan PK
dipilih dalam kehamilan. Lebih banyak efek
samping mual. Administrasi dua kali
sehari. Peningkatan dosis dianjurkan
selama trimester ketiga. LPV / r sekali
sehari tidak dianjurkan untuk digunakan
pada wanita hamil.
Regimen NNRTI alternatif
EFV / TDF / FTC (FDC) Cacat lahir telah dilaporkan dalam studi
atau EFV di hewan, tetapi belum ada bukti
EFV / TDF / 3TC (FDC) peningkatan risiko cacat lahir dalam
atau penelitian pada manusia dan dalam
EFV plus Backbone Dual-NRTI Pilihan kehamilan.
Rejimen ini bermanfaat bagi wanita
yang memerlukan pengobatan dengan
obat yang memiliki interaksi signifikan
dengan agen yang dipilih, atau yang
membutuhkan kenyamanan rejimen
koformulasi, singletablet, sekali sehari
dan tidak memenuhi syarat untuk DTG
atau RPV.
Skrining untuk antenatal dan depresi
pascapersalinan dianjurkan.
Memiliki tingkat efek samping yang
lebih tinggi daripada beberapa obat yang
dipilih.
RPV / TDF / FTC (FDC) RPV tidak direkomendasikan pada
atau pasien dengan pretreatment HIV RNA>
RPV plus Backbone Dual-NRTI yang 100.000 jumlah mL atau CD4 <200 sel /
Disukai mm3. Jangan gunakan dengan PPI. Data
PK tersedia untuk individu hamil, tetapi
ada sedikit pengalaman dengan
penggunaan dalam kehamilan. Data PK
menyarankan tingkat obat yang lebih
rendah dan risiko peningkatan viral load
pada trimester kedua dan ketiga; jika
digunakan, pertimbangkan untuk
memantau viral load lebih sering. Harus
diambil dengan makanan. Tersedia
dalam rejimen koformulasi, tablet
tunggal, sekali sehari
Kurangnya data dalam kehamilan untuk merekomendasikan untuk rejimen awal
pada perempuan yang belum pernah menggunakan obat-obatan ART ini disetujui
untuk digunakan pada orang dewasa tetapi tidak memiliki PK spesifik kehamilan
atau data keamanan yang memadai
BIC/TAF/FTC (FDC)
DOR
IBA
TAF/FTC (FDC) or RPV/TAF/FTC (FDC Paparan TAF plasma pada orang dewasa
hamil serupa dengan yang terlihat pada
orang dewasa tidak hamil, apakah TAF
diadministrasikan dengan agen
pendorong atau tidak. TAF telah
dipelajari pada kehamilan perempuan,
tetapi data belum cukup untuk
merekomendasikan memulai TAF pada
kehamilan
Tidak Direkomendasikan untuk ART Awal atau Penggunaan pada Kehamilan
Obat-obatan dan kombinasi obat ini direkomendasikan untuk digunakan pada orang
dewasa tetapi tidak dianjurkan untuk digunakan selama kehamilan kekhawatiran tentang
keselamatan ibu atau janin atau kemanjuran yang lebih rendah, termasuk terobosan virus
pada trimester kedua dan ketiga
ATV/c Data yang terbatas tentang penggunaan
ATV dengan COBI pada kehamilan
DRV/c (FDC) atau DRV/c/FTC/TAF (FDC) Data yang terbatas tentang penggunaan
DRV dengan COBI pada kehamilan
EVG/c/FTC/TAF (FDC) Data yang terbatas tentang penggunaan
EVG dengan COBI pada kehamilan
EVG/c/FTC/TDF (FDC) Data yang terbatas tentang penggunaan
EVG dengan COBI pada kehamilan
3TC = lamivudine; ABC = abacavir; ART = antiretroviral therapy; ARV = antiretroviral;
ATV = atazanavir; ATV/c = atazanavir/cobicistat; ATV/r = atazanavir/ritonavir; BIC =
bictegravir; CD4 = CD4 T lymphocyte cell; COBI = cobicistat; d4T = stavudine; ddI =
didanosine; DOR = doravirine; DRV/c = darunavir/cobicistat; DRV/r =
darunavir/ritonavir; DTG = dolutegravir; EFV = efavirenz; ETR = etravirine; EVG =
elvitegravir; EVG/c = elvitegravir/cobicistat; FDC = fixed-dose combination; FPV =
fosamprenavir; FPV/r = fosamprenavir/ritonavir; FTC = emtricitabine; IBA =
ibalizumab; IDV = indinavir; IDV/r = indinavir/ritonavir; INSTI = integrase strand
transfer inhibitor; LPV/r = lopinavir/ ritonavir; MVC = maraviroc; NFV = nelfinavir;
NNRTI = non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor; NRTI = nucleoside reverse
transcriptase inhibitor; NTD = neural tube defect; NVP = nevirapine; the Panel = the
Panel on Treatment of Pregnant Women with HIV Infection and Prevention of Perinatal
Transmission; PI = protease inhibitor; PK = pharmacokinetic; PPI = proton pump
inhibitor; RAL = raltegravir; RPV = rilpivirine; RTV = ritonavir; SQV = saquinavir;
SQV/r = saquinavir/ritonavir; T-20 = enfuvirtide; TAF = tenofovir alafenamide; TDF =
tenofovir disoproxil fumarate; TPV = tipranavir; TPV/r = tipranavir/ritonavir; ZDV =
zidovudine
Tabel 2.3 mengkonsolidasikan rekomendasi khusus situasi tentang penggunaan obat
ARV pada perempuan dengan HIV selama pembuahan dan kehamilan menjadi satu
tabel untuk kemudahan referensi. 19
Wanita hamil yang hidup dengan HIV yang sedang menerima terapi
antiretroviral
Wanita yang memakai terapi antiretroviral (ART) untuk infeksi HIV harus
melanjutkan rejimen ART mereka selama kehamilan, asalkan dapat ditoleransi
dengan baik, aman, dan efektif dalam menekan replikasi virus. Menghentikan atau
mengubah terapi dapat menyebabkan peningkatan viral load, yang mengarah pada
pengembangan penyakit, penurunan status kekebalan, dan peningkatan risiko
penularan HIV perinatal. Pemeliharaan penekanan virus sangat penting untuk
kesehatan ibu dan pencegahan penularan perinatal. Namun demikian, perubahan ART
dapat diindikasikan atau dipertimbangkan dalam keadaan tertentu.22.23
Paparan Dolutegravir (DTG) pada saat pembuahan telah dikaitkan dengan
peningkatan kecil pada risiko neural tube disease (NTD) pada bayi. Wanita hamil
yang datang untuk perawatan rejimen berbasis DTG harus menerima konseling
tentang manfaat dan risiko untuk terus menggunakan DTG atau mengganti rejimen.
Studi Tsepamo di Botswana melaporkan ada lima bayi yang lahir dengan neural tube
disease dari wanita yang menerima DTG pada saat pembuahan. Salah satu NTD yang
diamati mungkin merupakan cacat yang dapat terjadi selama trimester pertama, tetapi
setelah tabung saraf ditutup (peristiwa postneurulation). Namun, dalam kasus di mana
seorang wanita hamil saat mengambil DTG, dokter dan pasien harus mendiskusikan
apakah pasien harus terus menggunakan DTG atau beralih ke rejimen ARV lain. 22.23
BAB 3
KESIMPULAN