Anda di halaman 1dari 36

HIV PADA KEHAMILAN

BAB 1
PENDAHULUAN

Human immunodeficiency virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency


Syndrome (AIDS) telah diketahui sebagai kontributor utama kematian ibu diseluruh
dunia. Ada 33.4 juta penduduk dunia yang tertular HIV/AIDS, 22.4 juta tinggal di
Sub Sahara Afrika, 3.8 juta tinggal di Asia Tenggara dan 2 juta tinggal di Amerika
Latin. Dari data diatas 16 juta adalah perempuan (47%) dan 2.7 juta (6.2%) adalah
anak. Usia harapan hidup pada usia 15 tahun di negara dimana infeksi HIV/AIDS
sangat tinggi akan menurun dari 50 tahun menjadi 30 tahun. 1 Data yang
dipublikasikan oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan (Ditjen PP & PL) Kementrian Kesehatan Republik Indonesia tentang
Situasi Masalah HIV-AIDS Triwulan I (Januari-Maret) tercatat dari bulan Januari
sampai dengan Maret 2014 jumlah kasus baru infeksi HIV dilaporkan sebanyak 6.626
kasus. Persentase infeksi HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 25- 49 tahun
(72, 3%), diikuti kelompok umur 20-24 tahun (15%), dan kelompok umur ≥ 50 tahun
(5, 8%). Rasio HIV antara laki-laki dan perempuan adalah 1:1. Persentase faktor
risiko HIV tertinggi adalah hubungan seks berisiko pada heteroseksual (55, 6%), LSL
(Lelaki Berhubungan Seks dengan Lelaki) (14, 7%), dan penggunaan jarum suntik
tidak steril pada penggunaan narkoba Suntik (penasun) (7%).2

Potensi penularan HIV dari wanita hamil untuk anaknya yang belum lahir
diakui pada tahun 1982, bahkan sebelum identifikasi virus HIV muncul. Sejak saat ini
kemajuan signifikan telah dibuat pada bidang pengetahuan tentang metode untuk
mengurangi risiko ini. Penurunan dramatis dalam tingkat transmisi di Inggris dan
Irlandia dari 25,6% pada 1990-an menjadi 0,5% pada 2011 menunjukkan
keberhasilan intervensi ini. Pencegahan penularan dari ibu ke anak (MTCT) adalah
kompleks: intervensi bertujuan untuk mengurangi risiko kehamilan, persalinan dan
periode neonatal secara keseluruhan. Akibatnya tim multi-disiplin, termasuk dokter
spesialis HIV, bidan, dokter kandungan dan dokter anak adalah komponen yang
berharga. Selain mencegah penularan HIV, implementasi intervensi ini juga
bermanfaat bagi kesehatan ibu. Skrining antenatal secara universal memfasilitasi
diagnosis dari mereka yang hidup dengan HIV yang tidak diketahui. Kehamilan juga
bisa beraksi sebagai pemicu untuk meninjau manajemen, meningkatkan keterlibatan
dan memberikan perawatan tambahan untuk mereka yang didiagnosa HIV. Tinjauan
tim multi-disiplin secara teratur dapat membantu mengidentifikasi setiap kehamilan
atau komplikasi terkait HIV serta memberikan dukungan psikologis jika diperlukan. 3

Tanpa pengobatan, kemungkinan penularan HIV secara vertikal (ibu ke anak)


adalah 15-45%. Kemajuan dalam antiretroviral terapi (ART) selama 20 tahun terakhir
dapat mengurangi resiko hingga di bawah 5% dan di Inggris kurang dari 0,5%.
Penularan dapat terjadi sebelum, sesudah atau setelah kelahiran (melalui menyusui)
dan penatalaksanaan bertujuan untuk mengurangi risiko potensial pada setiap tahap
melalui penekanan viral load HIV pada ibu.1,2

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan sebuah retrovirus yang
memiliki genus lentivirus yang menginfeksi, merusak, atau menggangu fungsi sel
sistem kekebalan tubuh manusia sehingga menyebabkan sistem pertahanan tubuh
manusia tersebut menjadi melemah. Virus HIV menyebar melalui cairan tubuh dan
memiliki cara khas dalam menginfeksi sistem kekebalan tubuh manusia terutama sel
Cluster of Differentiation 4 (CD4) atau sel-T. HIV menyerang sel - sel sistem
kekebalan tubuh manusia terutama sel-T CD4+ dan makrofag yang merupakan sistem
imunitas seluler tubuh. Infeksi dari virus ini akan menyebabkan kerusakan secara
progresif dari sistem kekebalan tubuh, menyebabkan defisiensi imun sehingga tubuh
tidak mampu melawan infeksi dan penyakit. Seiring dengan berjalannya waktu, HIV
dapat merusak banyal sel CD4 sehingga kekebalan tubuh semakin menurun dan tidak
dapat melawan infeksi serta penyakit sama sekali, infeksi ini akan berkembang
menjadi Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). AIDS merupakan tahap
infeksi yang terjadi akibat menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus
HIV. AIDS merupakan stadium ketika sistem imun penderita jelek dan penderita
menjadi rentan terhadap infeksi dan kanker terkait, infeksi yang disebut infeksi
oportunistik.4
Infeksi oportunistik adalah infeksi yang terjadi akibat sistem kekebalan tubuh
yang menurun dan dapat terjadi penyakit yang lebih berat dibandingkan pada orang
yang sehat. Seseorang dapat didiagnosis AIDS apabila jumlah sel CD4 turun di < 200
sel/mm3 darah, selain itu seseorang dapat terdiagnosis dengan AIDS jika menderita
lebih dari satu infeksi oportunistik atau kanker yang berhubungan dengan HIV dan
perlu waktu 10-15 tahun bagi orang yang sudah terinfeksi HIV untuk berkembang
menjadi AIDS.4

2.2 Epidemiologi
Penularan dari ibu ke anak (MTCT) menyumbang 90% dari infeksi HIV anak-
anak Indonesia di bawah usia 15 tahun. Tanpa intervensi apa pun, bayi lahir dengan
wanita hamil yang terinfeksi HIV memiliki risiko 25-45% infeksi HIV selama
kehamilan, persalinan, dan menyusui. Dengan tidak adanya menyusui, infeksi
intrauterin (transplasental) dan infeksi peripartum untuk 25-40% dan 60-75%,
masing-masing, dari infeksi vertikal. Menyusui mengandung risiko 8-25% transmisi
vertikal di negara-negara berkembang.5
Berdasarkan data dari UNAIDS, diperkirakan 34 juta orang terinveksi HIV
diseluruh dunia. Pada Asia Tenggara dan Selatan terdapat 4 juta orang dewasa dan
anak anak yang terinveksi HIV, diantaranya kematian orang dewasa dan anak - anak
karena AIDS sebesar 250.000 orang dan 280.000 orang adalah penderita infeksi HIV
baru.6
Gambar 2.1 Perkiraan jumlah orang dewasa dan anak anak dengan HIV secara
Global6
Perkembangan HIV positif di Indonesia sampai tahun 2013 disajikan pada
Gambar 2.2 berikut ini.

Gambar 2.2 Jumlah kasus baru HIV positif di Indonesia sampai tahun 2013.7

Setelah tiga tahun berturut-turut (2010-2012) cukup stabil, perkembangan


jumlah kasus baru HIV positif pada tahun 2013 kembali mengalami peningkatan
secara signifikan, dengan kenaikan mencapai 35% dibanding tahun 2012.7

2.3 Struktur HIV


Partikel HIV adalah virus RNA yang ber-envelop, berbentuk bulat sferis
dengan diameter 80-120 nm. Partikel yang infeksius terdiri dari dua untai single
stranded RNA positif yang berada di dalam inti protein virus (ribonukleoprotein) dan
dikelilingi oleh lapisan envelope fosfolipid yang ditancapi oleh 72 buah tonjolan
(spikes) glikoprotein (Gambar 2.3). Envelope polipeptida terdiri dari dua subunit
yaitu glikoprotein luar (gp120) yang merupakan tempat ikatan reseptor (receptor
binding) CD4+ dan glikoprotein transmembrane (gp41) yang akan bergabung dengan
envelope lipid virus. Protein-protein pada membrane luar ini terutama berfungsi
untuk mediasi
terjadinya ikatan dengan sel CD4+ dan reseptor kemokin.8

Gambar 2.3 Struktur HIV8

Pada permukaan dalam envelope lipid virus dilapisi oleh protein matriks
(p17), yang kemungkinan berperan penting dalam menjaga integritas struktural
virion. Envelope lipid terbungkus dalam protein kapsid yang berbentuk ikosahedral
(p24) dan matriks p17. Protein kapsid mengelilingi inti dalam virion sehingga
membentuk 'cangkang' di sekeliling material genetik. Protein nukleokapsid terdapat
dalam 'cangkang' tersebut dan berikatan langsung dengan molekul-molekul RNA.8
Sampai dengan saat ini dikenal dua serotip HIV yang menginfeksi manusia,
yaitu HIV tipe1 (HIV-1) dan HIV tipe 2 (HIV-2). HIV-1 lebih mematikan dan lebih
mudah masuk kedalam tubuh. HIV-1 maupun HIV-2 mempunyai struktur yang
hamper sama, HIV-1 mempunyai gen vpu tetapi tidak mempunyai vpx, sedangkan
sebaliknya HIV-2 mempunyai vpx tetapi tidak mempunyai vpu. Perbedaan struktur
genom ini walaupun sedikit, diperkirakan mempunyai peranan dalam menentukan
patogenitas dan perbedaan perjalanan penyakit diantara kedua tipe HIV tersebut,
karena HIV-1 yang lebih sering ditemukan, maka penelitian – penelitian klinis dan
laboratoris lebih sering dilakukan terhadap HIV-1.8

2.4 Patogenesis
Partikel-partikel virus HIV yang akan memulai proses infeksi biasanya
terdapat di dalam darah, sperma atau cairan tubuh lainnya dan dapat menyebar
melalui sejumlah cara. Cara yang paling umum adalah transmisi seksual melalui
mukosa genital. Keberhasilan transmisi virus itu sendiri sangat bergantung pada viral
load individu yang terinfeksi. Viral load ialah perkiraan jumlah copy RNA per
mililiter serum atau plasma penderita. Apabila virus ditularkan pada inang yang
belum terinfeksi, maka akan terjadi viremia transien dengan kadar yang tinggi, virus
menyebar luas dalam tubuh inang. Sementara sel yang akan terinfeksi untuk pertama
kalinya tergantung pada bagian mana yang terlebih dahulu dikenai oleh virus, bisa
CD4+sel T dan monosit di dalam darah atau CD4+ sel T dan makrofag pada jaringan
mukosa. Ketika HIV mencapai permukaan mukosa, maka ia akan menempel pada
limfosit-T CD4+ atau makrofag (atau sel dendrit pada kulit). Setelah virus
ditransmisikan secara seksual melewati mukosa genital, ditemukan bahwa target
selular pertama virus adalah sel dendrit jaringan (dikenal juga sebagai sel
Langerhans) yang terdapat pada epitel servikovaginal, dan selanjutnya akan bergerak
dan bereplikasi di kelenjar getah bening setempat. Sel dendritik ini kemudian berfusi
dengan limfosit CD4+ yang akan bermigrasi kedalam nodus limfatikus melalui
jaringan limfatik sekitarnya. Dalam jangka waktu beberapa hari sejak virus ini
mencapai nodus limfatikus regional, maka virus akan menyebar secara hematogen
dan tinggal pada berbagai kompartemen jaringan. Nodulus limfatikus maupun
ekuivalennya (seperti plak Peyeri pada usus) pada akhirnya akan mengandung virus.
Selain itu, HIV dapat langsung mencapai aliran darah dan tersaring melalui nodulus
limfatikus regional. Virus ini bereproduksi dalam nodus limfatikus dan kemudian
virus baru akan dilepaskan. Sebagian virus baru ini dapat berikatan dengan limfosit
CD4+ yang berdekatan dan menginfeksinya, sedangkan sebagian lainnya dapat
berikatan dengan sel dendrit folikuler dalam nodus limfatikus. 9,10
Fase penyakit HIV berhubungan dengan penyebaran virus dari tempat awal
infeksi ke jaringan limfoid di seluruh tubuh. Dalam jangka waktu satu minggu hingga
tiga bulan setelah infeksi, terjadi respons imun selular spesifik HIV. Respons ini
dihubungkan dengan penurunan kadar viremia plasma yang signifikan dan juga
berkaitan dengan awitan gejala infeksi HIV akut. Selama tahap awal, replikasi virus
sebagian dihambat oleh respons imun spesifik HIV ini, namun tidak pernah terhenti
sepenuhnya dan tetap terdeteksi dalam berbagai kompartemen jaringan, terutama
jaringan limfoid. Sitokin yang diproduksi sebagai respons terhadap HIV dan mikroba
lain dapat meningkatkan produksi HIV dan berkembang menjadi AIDS. 9,10
Sementara itu sel dendrit juga melepaskan suatu protein manosa yang
berikatan dengan lektin yang sangat penting dalam pengikatan envelope HIV. Sel
dendrit juga berperan dalam penyebaran HIV ke jaringan limfoid. Pada jaringan
limfoid sel dendrit akan melepaskan HIV ke CD4+ sel T melalui kontak langsung sel
ke sel. Dalam beberapa hari setelah terinfeksi HIV, virus melakukan banyak sekali
replikasi sehingga dapat dideteksi pada nodul limfatik. Replikasi tersebut akan
mengakibatkan viremia sehingga dapat ditemui sejumlah besar partikel virus HIV
dalam darah penderita. Keadaan ini dapat disertai dengan sindrom HIV akut dengan
berbagai macam gejala klinis baik asimtomatis maupun simtomatis. Viremia akan
menyebabkan penyebaran virus ke seluruh tubuh dan menyebabkan infeksi sel T
helper, makrofag, dan sel dendrit di jaringan limfoid perifer. Infeksi ini akan
menyebabkan penurunan jumlah sel CD4+ yang disebabkan oleh efek sitopatik virus
dan kematian sel. Jumlah sel T yang hilang selama perjalanan dari mulai infeksi
hingga AIDS jauh lebih besar disbanding jumlah sel yang terinfeksi, hal ini diduga
akibat sel T yang diinfeksi kronik diaktifkan dan rangsang kronik menimbulkan
apoptosis. Sel dendritik yang terinfeksi juga akan mati. Penderita yang telah
terinfeksi virus HIV memiliki suatu periode asimtomatik yang dikenal sebagai
periode laten. Selama periode laten tersebut virus yang dihasilkan sedikit dan
umumnya sel T darah perifer tidak mengandung virus, tetapi kerusakan CD4+ sel T
di dalam jaringan limfoid terus berlangsung selama periode laten dan jumlah CD4+
sel T tersebut terus menurun di dalam sirkulasi darah. Pada awal perjalanan penyakit,
tubuh dapat cepat menghasilkan CD4+ sel T baru untuk menggantikan CD4+ sel T
yang rusak. Tetapi pada tahap ini, lebih dari 10% CD4+ sel T di organ limfoid telah
terinfeksi. Seiring dengan lamanya perjalanan penyakit, siklus infeksi virus terus
berlanjut yang menyebabkan kematian sel T dan penurunan jumlah CD4+ sel T di
jaringan limfoid dan sirkulasi. 9,10
Selama fase lanjutan (kronik) infeksi HIV ini penderita akan rentan terhadap
infeksi lain dan respons imun terhadap infeksi ini akan merangsang produksi virus
HIV dan kerusakan jaringan limfoid semakin menyebar. Progresivitas penyakit ini
akan berakhir pada tahap yang mematikan yang dikenal sebagai AIDS. Pada keadaan
ini kerusakan sudah mengenai seluruh jaringan limfoid dan jumlah CD4+ sel T dalam
darah turun di bawah 200 sel/mm3 (normal 1.500 sel/mm3). Penderita AIDS dapat
mengalami berbagai macam infeksi oportunistik, keganasan, cachexia (HIV wasting
syndrome), gagal ginjal (HIV nefropati), dan degenerasi susunan saraf pusat (AIDS
ensefalopati). Oleh karena CD4+ sel T sangat penting dalam respons imun selular dan
humoral pada berbagai macam mikroba, maka kehilangan sel limfosit ini merupakan
alasan utama mengapa penderita AIDS sangat rentan terhadap berbagai macam jenis
infeksi. 9,10
Gambar 2.4 Patogenesis AIDS9

2.5 Transmisi
Transmisi HIV secara umum dapat terjadi melalui empat jalur, yaitu :10
a. Kontak seksual: HIV terdapat pada cairan mani dan sekret vagina yang akan
ditularkan virus ke sel, baik pada pasangan homoseksual atau heteroseksual.
Kerusakan pada mukosa genitalia akibat penyakit menular seksual seperti
sifilis dan chancroid akan memudahkan terjadinya infeksi HIV.
b. Tranfusi: HIV ditularkan melalui tranfusi darah baik itu tranfusi whole blood,
plasma, trombosit, atau fraksi sel darah lainnya.
c. Jarum yang terkontaminasi: transmisi dapat terjadi karena tusukan jarum yang
terinfeksi atau bertukar pakai jarum di antara sesama pengguna obat-obatan
psikotropika.
d. Transmisi vertikal (perinatal): Lebih dari 90% anak yang terinfeksi HIV
didapat dari ibunya, penularan melalui ibu kepada anaknya. Transmisi vertikal
dapat terjadi secara transplasental, antepartum, maupun postpartum.
Mekanisme transmisi intauterin diperkirakan melalui plasenta. Hal ini
dimungkinkan karena adanya limfosit yang terinfeksi masuk kedalam
plasenta. Transmisi intrapartum terjadi akibat adanya lesi pada kulit atau
mukosa bayi atau tertelannya darah ibu selama proses kelahiran. Beberapa
faktor resiko infeksi antepartum adalah ketuban pecah dini, lahir per vaginam.
Transmisi postpartum dapat juga melalui ASI yakni pada usia bayi menyusui,
pola pemberian ASI, kesehatan payudara ibu, dan adanya lesi pada mulut
bayi. Seorang bayi yang baru lahir akan membawa antibodi ibunya, begitupun
kemungkinan positif dan negatifnya bayi tertular HIV adalah tergantung dari
seberapa parah tahapan perkembangan AIDS pada diri sang ibu

2.6 Faktor yang berperan dalam penularan HIV dari ibu ke anak
Ada tiga faktor utama yang berpengaruh pada penularan HIV dari ibu ke
anak, yaitu faktor ibu, bayi/anak, dan tindakan obstetric :10,11
1. Faktor Ibu
a. Jumlah virus (viral load)
Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat persalinan dan
jumlah virus dalam air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya sangat mempengaruhi
penularan HIV dari ibu ke anak. Risiko penularan HIV menjadi sangat kecil jika
kadar HIV rendah (kurang dari 1.000 kopi/ml) dan sebaliknya jika kadar HIV di atas
100.000 kopi/ml.
b. Jumlah Sel CD4
Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah lebih berisiko menularkan HIV ke
bayinya. Semakin rendah jumlah sel CD4 risiko penularan HIV semakin besar.
c. Status gizi selama hamil
Berat badan rendah serta kekurangan asupan seperti asam folat, vitamin D,
kalsium, zat besi, mineral selama hamil berdampak bagi kesehatan ibu dan janin
akibatntya dapat meningkatkan risiko ibu untuk menderita penyakit infeksi yang
dapat meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayi.
d. Penyakit infeksi selama hamil
Penyakit infeksi seperti sifilis, infeksi menular seksual,infeksi saluran
reproduksi lainnya, malaria,dan tuberkulosis, berisiko meningkatkan jumlah virus dan
risiko penularan HIV ke bayi.
e. Gangguan pada payudara
Gangguan pada payudara ibu dan penyakit lain, seperti mastitis, abses, dan
luka di puting payudara dapat meningkatkan risiko penularan HIV melalui ASI
sehingga tidak sarankan untuk memberikan ASI kepada bayinya dan bayi dapat
disarankan diberikan susu formula untuk asupan nutrisinya.

2. Faktor Bayi
a. Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir
Bayi lahir prematur dengan berat badan lahir rendah (BBLR) lebih rentan
tertular HIV karena sistem organ dan sistem kekebalan tubuhnya belum berkembang
dengan baik.
b. Periode pemberian ASI
Semakin lama ibu menyusui, risiko penularan HIV ke bayi akan semakin
besar.
c. Adanya luka dimulut bayi
Bayi dengan luka di mulutnya lebih berisiko tertular HIV ketika diberikan
ASI.

3. Faktor obstetrik
Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Faktor
obstetrik yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke anak selama
persalinan adalah
a. Jenis persalinan
Risiko penularan persalinan per vagina lebih besar daripada persalinan
melalui bedah sesar (seksio sesaria).
b. Lama persalinan
Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV dari ibu
ke anak semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya kontak antara bayi dengan
darah dan lendir ibu.
c. Ketuban pecah
Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan risiko
penularan hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam.
d. Tindakan episiotomi,ekstraksi vakum dan forceps
Meningkatkan risiko penularan HIV karena berpotensi melukai ibu

2.7 Waktu dan resiko penularan HIV dari ibu ke Anak


Pada saat hamil, sirkulasi darah janin dan sirkulasi darah ibu dipisahkan oleh
beberapa lapis sel yang terdapat di plasenta. Plasenta melindungi janin dari infeksi
HIV. Tetapi, jika terjadi peradangan, infeksi ataupun kerusakan pada plasenta, maka
HIV bisa menembus plasenta, sehingga terjadi penularan HIV dari ibu ke anak.
Penularan HIV dari ibu ke anak pada umumnya terjadi pada saat persalinan dan pada
saat menyusui. Risiko penularan HIV pada ibu yang tidak mendapatkan penanganan
PPIA saat hamil diperkirakan sekitar 15-45%. Risiko penularan 15-30% terjadi pada
saat hamil dan bersalin, sedangkan peningkatan risiko transmisi HIV sebesar 10-20%
dapat terjadi pada masa nifas dan menyusui. Apabila ibu tidak menyusui bayinya,
risiko penularan HIV menjadi 20-30% dan akan berkurang jika ibu mendapatkan
pengobatan anti retrovirus (ARV). Pemberian ARV jangka pendek dan ASI eksklusif
memiliki risiko penularan HIV sebesar 15-25% dan risiko penularan sebesar 5-15%
apabila ibu tidak menyusui. Akan tetapi, dengan terapi antiretroviral jangka panjang,
risiko penularan HIV dari ibu ke anak dapat diturunkan lagi hingga 1-5%, dan ibu
yang menyusui secara eksklusif memiliki risiko yang sama untuk menularkan HIV ke
anaknya dibandingkan dengan ibu yang tidak menyusui. Dengan pelayanan PPIA
yang
baik, maka tingkat penularan dapat diturunkan menjadi kurang dari 2%.10,12

Gambar 2.5 Resiko penularan HIV dari ibu ke anak saat hamil, bersalin dan
Menyusui10,12

2.8 Manifestasi Klinis


Gambaran klinis infeksi HIV terdiri atas tiga fase sesuai dengan perjalanan
infeksi HIV itu sendiri, yaitu: Serokonversi, Penyakit HIV asimtomatik, Infeksi HIV
simtomatik atau AIDS. 13
1. Serokonversi
Serokonversi adalah masa selama virus beredar menuju target sel (viremia)
dan antibody serum terhadap HIV mulai terbentuk. Sekitar 70% pasien infeksi HIV
primer menderita sindrom mononucleosis-like akut yang terjadi dalam 2 hingga 6
minggu setelah infeksi awal, yang dikenal juga sebagai sindrom retroviral akut (acute
retroviral syndrome; ARS). Sindrom ini terjadi akibat infeksi awal serta penyebaran
HIV dan terdiri dari gejala–gejala yang tipikal, namun tidak khas. Sindrom ini
memiliki bermacam – macam manifestasi, gejala yang paling umum mencakup
demam, lemah badan, mialgia, ruam kulit, limfadenopati, dan nyeri tenggorokan
(sore throat). Selama masa ini terjadi viremia yang sangat hebat dengan penurunan
jumlah limfosit CD4.

2. Penyakit HIV Asimtomatis


Setelah infeksi HIV akut dengan penyebaran virus dan munculnya respons
imun spesifik HIV, maka individu yang terinfeksi memasuki tahap kedua infeksi.
Tahap ini dapat saja asimtomatis sepenuhnya. Istilah klinis 'laten' dulu digunakan
untuk menandai tahap ini, namun istilah tersebut tidak sepenuhnya akurat karena
pada tahap laten sejati (true latency), replikasi virus terhenti sementara. Jika tidak
diobati masa laten infeksi HIV dapat berlangsung 18 bulan hingga 15 tahun bahkan
lebih, rata-ratanya 8 tahun. Pada tahap ini penderita tidak rentan terhadap infeksi dan
dapat sembuh bila terkena infeksi yang umum. Jumlah CD4 sel T secara perlahan
mulai turun
dan fungsinya semakin terganggu. Penderita dengan masa laten yang lama, biasanya
menunjukkan prognosis yang lebih baik.

3. Infeksi HIV simtomatik atau AIDS.


Jika terjadi penurunan jumlah sel CD4 yang meningkat disertai dengan
peningkatan viremia maka hal tersebut menandakan akhir masa asimtomatik. Gejala
awal yang akan ditemui sebelum masuk ke fase simtomatik adalah pembesaran
kelenjar limfe secara menyeluruh (general limfadenopati) dengan konsistensi kenyal,
mobile dengan diameter 1 cm atau lebih. Seiring dengan menurunnya jumlah sel
CD4+ dan meningkatnya jumlah virus di dalam sirkulasi akan mempercepat
terjadinya infeksi oportunistik. Sebagian besar permasalahan yang berkaitan dengan
infeksi HIV terjadi sebagai akibat langsung hilangnya imunitas selular
(cellmediatedimmunity) yang disebabkan oleh hancurnya limfost T-helper CD4+.
Orang dengan penurunan jumlah sel CD4+ hingga kurang dari 200 sel/mm3
dikatakan menderita AIDS, meskipun kondisi ini tidak disertai dengan adanya
penyakit yang menandai AIDS.
Definisi ini mencerminkan peningkatan kecenderungan timbulnya masalah
yang berkaitan dengan HIV yang menyertai rendahnya jumlah sel CD4+ secara
progresif. Setelah AIDS terjadi, maka sistem imun sudah sedemikian terkompensasi
sehingga pasien tidak mampu lagi mengontrol infeksi oleh patogen oportunis yang
pada kondisi normal tidak berproliferasi, serta menjadi rentan terhadap terjadinya
beberapa keganasan. Pasien dengan AIDS yang tidak diobati rata-ratameninggal
dalam jangka waktu satu hingga tiga tahun. Terapi yang telah tersedia saat ini telah
memperbaiki prognosis pasien infeksi HIV secara signifikan.

2.9 Diagnosis
Langkah pertama untuk mendiagnosis HIV/AIDS adalah anamnesis secara
keseluruhan kemudian dilakukan pemeriksaan diagnostik infeksi HIV dapat
dilakukan secara virologis (mendeteksi antigen DNA atau RNA) dan serologis
(mendeteksi antibodi HIV) pada spesimen darah. Diagnosis laboratorium yang dapat
dilakukan adalah: isolasi virus HIV, serologi dengan menggunakan enzyme-linked
immunosorbent assays (ELISA) atau tes aglutinasi, deteksi asam nukleat atau
antigen: pengujian amplifikasi seperti reverse trancriptase-polymerase chain
reaction (RT-PCR), dan imunologi: nilai absolut limfosit CD4 dan rasio CD4:CD8
rendah pada orang yang terinfeksi HIV. 4,14
Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Indonesia menetapkan untuk
mendiagnosis AIDS dengan kriteria WHO digunakan untuk keperluan surveilans
epidemiologi. Dalam hal ini seseorang dapat didiagnosis berdasarkan gejala klinis,
yang terdiri dari gejala mayor dan minor. Pasien yang dikatakan AIDS jika
menunjukan hasil tes HIV positif disertai minimal terdapat 2 gejala mayor atau
terdapat 2 gejala minor dan 1 gejala mayor. Pemeriksaan jumlah sel CD4 dapat
segera di lakukan setelah pertama kali dinyatakan positif HIV dan saat akan
melahirkan menggunakan spesimen darah.1,14

Antenatal care wanita hamil dengan HIV


Semua wanita hamil HIV positif harus dilakukan pemeriksaan yang ketat dan
dilakukan juga pengobatan terhadap infeksi genital selama kehamilannya. Hal ini
harus dilakukan sedini mungkin. Pengukuran kadar plasma dan CD4 limfosit T harus
diulang 4-6 kali setiap bulan selama kehamilannya dan dianjurkan terapi antivirus
serta dibutuhkan terapi profilaksis untuk Pneumocystis carinii pneumonia (PCP).
Profilaksis PCP biasanya diberikan bila kadar CD4 limfosit T di bawah 200 sel/ìL
dalam bentuk
kotrimoksazol (sulfametoksazol 800 mg dan trimetoprin 160 mg) sekali sehari.
Wanita yang sedang pengobatan HAART harus dilakukan monitoring terhadap
intoksikasi obat seperti jumlah sel darah, ureum, elektrolit, fungsi hepar, laktat, dan
gula darah. Adanya gejala dan tanda preeklamsi, kolelitiasis, atau gangguan fungsi
hati selama kehamilan menandakan adanya intoksikasi obat. 4,14
Ultrasonografi (USG) mendetail tentang adanya anomali janin sangat penting
dilakukan terutama wanita hamil yang telah terpapar obat HAART dan antagonis
folat yang digunakan untuk profilaksis PCP. 4,14
Monitoring janin intensif termasuk adanya gangguan anatomi, gangguan
pertumbuhan, dan fetal well being pada saat trisemester III diharuskan pada ibu hamil
yang mendapat obat kombinasi HAART untuk melihat efek obat pada janin. 4,14
Dianjurkan pula untuk mengulang tes HIV selama trimester ketiga, sebelum
usia kehamilan 36 minggu untuk wanita hamil dengan hasil negatif pada tes antibodi
HIV awal mereka yang: 16,17
 Berisiko tinggi tertular HIV (mis., Mereka yang pengguna narkoba suntikan
atau pasangan pengguna narkoba suntik, mereka yang menukar seks dengan
uang atau narkoba, mereka yang merupakan pasangan seks dari orang dengan
HIV, mereka yang telah memiliki pasangan seks baru atau lebih dari satu
pasangan seks selama kehamilan saat ini, atau mereka yang memiliki dugaan
atau diagnosis infeksi menular seksual selama kehamilan)
 Menerima perawatan kesehatan di fasilitas di mana skrining prenatal
mengadakan satu atau lebih wanita hamil dengan HIV per 1.000 perempuan
diskrining, atau yang tinggal di daerah yang memiliki insiden HIV tinggi atau
AIDS pada wanita mencapai antara 15 dan 45 tahun
 Memiliki tanda atau gejala HIV akut (mis. Demam, limfadenopati, ruam kulit,
mialgia, sakit kepala, oral ulcer, leukopenia, trombositopenia, peningkatan
kadar transaminase)
Wanita yang menolak tes di awal kehamilan harus ditawari tes lagi selama
trimester ketiga, kombinasi antigen / antibodi immunoassay harus digunakan, karena
tes ini memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dalam pengaturan infeksi HIV akut dari
tes antibodi yang lebih lama. Ketika infeksi HIV akut dicurigai selama kehamilan,
selama periode intrapartum, atau saat menyusui, hasil tes HIV RNA plasma
seharusnya dilakukan bersamaan dengan kombinasi antigen / antibodi
immunoassay.16,17

Tes HIV Selama Periode Postpartum


Wanita yang belum dites HIV sebelum atau selama persalinan harus ditawari
tes yang dipercepat selama periode postpartum langsung. Pengujian ibu harus
dilakukan dengan menggunakan kombinasi antigen / antibody immunoassay untuk
melakukan skrining terhadap HIV yang lama dan akut; hasil harus diperoleh dalam
<1 jam. Jika infeksi HIV akut adalah suatu kemungkinan, maka plasma tes HIV RNA
harus dikirim juga. Ketika ibu tidak tersedia untuk pengujian, bayi mereka yang baru
lahir harus menjalani tes HIV yang dipercepat menggunakan kombinasi antigen /
antibody immunoassay. Obat ARV pascanatal perlu dimulai sesegera mungkin
idealnya ≤6 jam setelah kelahiran agar efektif dalam mencegah penularan perinatal.
Ketika tes HIV awal positif pada ibu atau pada bayi, sangat disarankan agar dokter
memulai rejimen ARV yang sesuai untuk bayi yang berada pada risiko penularan
HIV perinatal lebih tinggi dan menasihati ibu untuk tidak menyusui. Kedua aksi
dapat diambil sebelum hasil tes HIV ibu tambahan telah mengkonfirmasi keberadaan
HIV.18

2.10 Tatalaksana
Kapan Memulai Terapi Antiretroviral
Inisiasi terapi antiretroviral direkomendasikan untuk semua orang yang
terinfeksi HIV dengan terdeteksi viremia, terlepas dari jumlah CD4 +; orang dengan
Infeksi HIV akut di mana terapi antiretroviral harus dimulai secepatnya; dan orang-
orang yang viral load tidak terdeteksi tanpa terapi antiretroviral tetapi memiliki
jumlah CD4 yang menurun. Rencana penghentian terapi antiretroviral dini setelah
durasi pengobatan tertentu tidak dianjurkan di luar pengaturan penelitian. Ada minat
baru dalam menyembuhkan penelitian menggunakan gangguan perawatan analitik.
Namun, penghentian pengobatan antiretroviral yang direncanakan seharusnya hanya
terjadi dalam pengaturan uji coba penelitian di mana individu dipantau secara ketat
untuk kekambuhan virus dan mundur segera.15

Inisiasi terapi antiretroviral direkomendasikan untuk:15


• Semua orang yang terinfeksi HIV dengan viremia yang terdeteksi, terlepas dari
jumlah sel CD4 + sel (AIa)
• Orang dengan infeksi HIV akut. Terapi antiretroviral harus dimulai sesegera
mungkin (BIII)
• Orang dengan viral load tidak terdeteksi yang bertahan tanpa terapi antiretroviral
tetapi yang memiliki penurunan jumlah CD4 + (BIII)
Rencana penghentian terapi antiretroviral dini setelah durasi pengobatan tertentu
tidak dianjurkan di luar pengaturan penelitian (AIa)

Regimen Antiretroviral Awal yang Disarankan


Pengobatan antiretroviral awal yang disarankan adalah integrase strand
transfer inhibitor (InSTI) plus 2 nucleos(t)ide analog reverse transcriptase inhibitor
(nRTI). InSTI mungkin tidak tersedia di beberapa pengaturan terbatas sumber daya;
namun, mereka cenderung menjadi lebih tersedia dalam waktu dekat. 3 INSTI utama
yang saat ini tersedia adalah dolutegravir, elvitegravir, dan raltegravir, dan INSTI
lainnya sedang dalam pengembangan (Tabel 2.1). Data tentang INSTI ini bervariasi
(misalnya, data prospektif tentang penggunaan raltegravir dan tenofovir alafenamide
[TAF] terbatas). InSTI memiliki risiko lebih rendah untuk interaksi obat-obat
dibandingkan dengan kelas lain dari obat antiretroviral. Sebagai catatan, dolutegravir
dikaitkan dengan risiko rendah untuk resistansi virologi kegagalan dibandingkan
dengan 2 obat lain di kelas ini tanpa kemampuan untuk meningkatkan, yang
diperlukan untuk elvitegravir. Singkatnya, data saat ini mendukung penggunaan
InSTI sebagai bagian dari inisial terapi antiretroviral.15
Tabel 2.1 Rekomendasi Regimen Mengandung InSTI Awal15

Rekomendasi untuk Penggunaan Obat Antiretroviral selama Kehamilan

Bagian ini memberikan ikhtisar tentang masalah-masalah klinis dan


farmakokinetik (PK) utama yang relevan dengan pemilihan obat antiretroviral (ARV)
khusus untuk digunakan pada kehamilan. Rekomendasi tambahan untuk perempuan
yang belum pernah menerima terapi antiretroviral (perempuan yang belum pernah
menggunakan ART), perempuan yang saat ini menerima ART, dan perempuan yang
sebelumnya memakai ART atau yang telah menggunakan obat ARV untuk profilaksis
tercantum dalam Tabel 2.2 yang memberikan informasi spesifik tentang obat ARV
yang direkomendasikan ketika memulai ART pada wanita hamil yang belum pernah
menggunakan pengobatan. Pada tabel ini termasuk pertimbangan untuk pemilihan
rejimen ARV dan modifikasi pada wanita hamil yang berpengalaman dalam
pengobatan dan wanita yang berusaha untuk hamil.19,20
Regimen Awal yang diberikan dalam kehamilan seperti obat-obatan atau
kombinasi obat ditunjuk lebih disukai untuk terapi pada wanita hamil ketika data uji
klinis pada orang dewasa telah menunjukkan kemanjuran dan daya tahan dengan
toksisitas yang dapat diterima dan kemudahan penggunaan, serta data PK khusus
kehamilan tersedia untuk memandu dosis. Tambahan data yang tersedia harus
menyarankan keseimbangan manfaat-risiko yang menguntungkan untuk obat atau
kombinasi obat dibandingkan dengan pilihan obat ARV lainnya; penilaian risiko dan
manfaat harus memasukkan hasil untuk wanita, janin, dan bayi. Beberapa obat atau
regimen pilihan mungkin memiliki risiko toksisitas atau teratogenisitas minimal yang
diimbangi dengan keuntungan lain bagi perempuan dengan HIV yang sedang
hamil.19,20

Pemilihan obat-obatan ARV harus disesuaikan menurut riwayat ARV khusus


wanita hamil, hasil tes resistensi obat, dan adanya komorbiditas, serta masing-masing
preferensi wanita untuk menyeimbangkan risiko dan manfaat yang diketahui dan
tidak dikenal. Pada wanita hamil (seperti pada orang dewasa yang tidak hamil,
remaja, dan anak-anak), ART yang mencakup setidaknya tiga agen
direkomendasikan. Untuk perempuan yang belum pernah menggunakan ARV,
rejimen ARV yang mencakup dua NRTI dan Ritonavir (RTV) yang dikuatkan PI (PI)
atau integrase strand transfer inhibitor (INSTI) lebih disukai. Secara umum, wanita
yang sudah menggunakan rejimen yang sepenuhnya menekan ketika kehamilan
terjadi harus melanjutkan rejimen mereka. Pengecualian utama termasuk rejimen
yang melibatkan obat dengan risiko tinggi untuk toksisitas atau kemanjuran virologi
inferior yang tidak direkomendasikan untuk digunakan pada orang dewasa (mis., ddI
[ddI], indinavir [IDV], nelfinavir [NFV], stavudine [d4T], dan RTV dosis
pengobatan) dan obat yang tidak boleh digunakan pada wanita hamil karena masalah
PK atau toksisitas. Untuk perempuan yang telah mencapai penekanan virologi dan
yang menerima rejimen yang dapat meningkatkan risiko kegagalan virologi selama
kehamilan (mis., darunavir / cobicistat [DRV / c], atazanavir / cobicistat [ATV / c],
dan elvitegravir / cobicistat [EVG / c]), pertimbangkan untuk mengubah rejimen
ARV atau melanjutkan rejimen yang sama dan meningkatkan frekuensi pemantauan
viral load. Wanita yang tidak sepenuhnya ditekan, saat memakai ART harus
dievaluasi secara hati-hati untuk kepatuhan dan resistensi genotipik, dengan segala
upaya dibuat untuk mencapai penekanan virologi penuh secara cepat melalui
intervensi kepatuhan atau perubahan pengobatan. 19,20

Farmakokinetik

Perubahan fisiologis yang terjadi selama kehamilan dapat mempengaruhi


penyerapan obat, distribusi, biotransformasi, dan eliminasi, dengan demikian juga
mempengaruhi persyaratan untuk dosis obat dan berpotensi meningkatkan risiko
kegagalan virologi atau toksisitas obat. Selama kehamilan, waktu transit
gastrointestinal menjadi berkepanjangan; air dan lemak di tubuh meningkat sepanjang
kehamilan, dan perubahan ini disertai dengan peningkatan cardiac output, ventilasi,
dan aliran darah hati dan ginjal; konsentrasi protein plasma menurun; peningkatan
reabsorpsi natrium ginjal; dan perubahan terjadi pada transporter seluler dan
metabolisme enzim obat di hati dan usus. Pengangkutan obat plasenta,
kompartementalisasi obat dalam embrio / janin dan plasenta, biotransformasi obat
oleh janin dan plasenta, dan eliminasi obat oleh janin juga dapat memengaruhi PK
obat pada wanita hamil. Secara umum, PK NRTI dan non-nucleoside reverse
transcriptase inhibitor (NNRTI) serupa pada wanita hamil dan tidak hamil (meskipun
data PK untuk etravirine [ETR] terbatas). PI dan INSTI PK lebih bervariasi, terutama
selama trimester kedua dan ketiga.19,20,21

A.Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors


NRTI yang dipilih untuk digunakan pada wanita hamil yang belum pernah
menggunakan -ARV adalah: abacavir (ABC) yang digunakan dengan kombinasi
lamivudine (3TC), dan tenofovir disoproxil fumarate (TDF) yang digunakan dalam
kombinasi dengan emtricitabine (FTC) atau 3TC. 19,20,21

B. Integrase Strand Transfer Inhibitors


DTG obat pilihan yang dipertimbangkan untuk digunakan sepanjang kehamilan dan
obat alternatif untuk wanita yang berusaha hamil; namun obat ini menimbulkan
kekhawatiran tentang kemungkinan peningkatan risiko cacat tabung saraf (NTD).
Keputusan untuk menunjuk DTG sebagai obat ARV pilihan untuk terapi pada wanita
hamil, terlepas dari trimester, didasarkan pada beberapa faktor. Pertama, DTG
dikaitkan dengan tingkat penekanan virologi yang lebih tinggi, tingkat penurunan
viral load yang lebih cepat, dan penghalang genetik yang lebih tinggi terhadap
resistansi obat dibandingkan yang lebih disukai dan Agen alternatif. Kedua, sebuah
studi baru-baru ini yang mengevaluasi sejumlah besar kehamilan telah menunjukkan
bahwa risiko NTD lebih rendah dari yang dilaporkan sebelumnya dalam data awal.
Risiko ini juga terbatas pada periode waktu yang singkat (sebelum 6 minggu periode
menstruasi terakhir). Sebagian kecil wanita dengan HIV memulai rejimen ARV
pertama mereka selama periode waktu ini. Beberapa anggota Panel akan menghindari
penggunaan DTG pada perempuan yang memulai ART sebelum usia kehamilan 6
minggu. Setelah waktu ini, setiap risiko tambahan NTD karena DTG minimal.
Ketiga, data sangat terbatas pada risiko yang terkait dengan penggunaan obat pilihan
lainnya dan Alternatif prekonsepsi obat ARV atau pada awal kehamilan; kurangnya
data ini tidak menunjukkan baik ada atau tidak adanya risiko saat menggunakan
alternatif untuk DTG. 19,20,21

C. Protease Inhibitors
Atazanavir / ritonavir dan darunavir / ritonavir adalah PI yang disukai untuk
digunakan pada ibu hamil yang belum pernah menggunakan ARV. 19,20,21
D. Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors
Tidak ada NNRTI pilihan untuk digunakan pada wanita hamil yang belum
pernah menggunakan ARV. 19,20,21

E. Entry and Fusion Inhibitors


Enfuvirtide dan maraviroc (MVC) tidak direkomendasikan untuk ART awal
pada kehamilan karena mereka tidak direkomendasikan untuk ART awal pada orang
dewasa tidak hamil, dan karena keamanan dan data PK untuk obat ini dalam
kehamilan terbatas. Data PK yang tersedia pada wanita yang menerima MVC sebagai
bagian dari perawatan klinis menunjukkan hal itu merupakan dosis standar orang
dewasa sesuai selama kehamilan, meskipun penurunan paparan MVC selama
kehamilan. 19,20,21

Tabel 2.2 Regimen Kombinasi Awal untuk Wanita Hamil yang Tidak Pernah
Menggunakan Antiretroviral19

Obat atau Kombinasi Obat Komentar

RAL plus Backbone Dual-NRTI yang sering Data PK tersedia untuk penggunaan
digunakan RAL pada kehamilan, dan pengalaman
dengan penggunaan dalam kehamilan
meningkat. RAL telah terbukti
menghasilkan penurunan viral load yang
cepat ke tingkat yang tidak terdeteksi
pada wanita yang datang untuk terapi
awal di akhir kehamilan. Rejimen
berbasis INSTI mungkin berguna ketika
interaksi obat atau potensi untuk
kelahiran prematur dengan rejimen
berbasis PI adalah masalah. Diperlukan
dosis dua kali sehari. Ada waktu khusus
dan / atau rekomendasi jika RAL
dikonsumsi dengan kalsium atau zat
besi
Regimen PI pilihan
ATV / r plus Backbone Dual-NRTI yang  Administrasi sekali sehari.
Dipilih Pengalaman luas dengan
penggunaan dalam kehamilan.
Hyperbilirubinemia maternal;
tidak ada hiperbilirubinemia
neonatal yang signifikan secara
klinis atau kernicterus yang
dilaporkan
 Pemantauan bilirubin neonatal
dianjurkan
 Tidak dapat dikelola dengan PPI.
 Waktu spesifik
direkomendasikan untuk dosis
dengan H2 blocker
Alternatif Regimen Awal dalam Kehamilan
Obat-obatan atau kombinasi obat ditetapkan sebagai opsi alternatif untuk terapi pada
wanita hamil ketika data uji klinis pada orang dewasa menunjukkan kemanjuran dan data
pada individu hamil umumnya baik tetapi terbatas. Sebagian besar obat atau rejimen
alternatif dikaitkan dengan lebih banyak PK, dosis, tolerabilitas, formulasi, administrasi,
atau masalah interaksi daripada yang ada dalam kategori yang dipilih, tetapi mereka dapat
diterima untuk gunakan dalam kehamilan. Beberapa obat atau regimen alternatif mungkin
diketahui memiliki risiko toksisitas atau teratogenisitas yang diimbangi dengan
keuntungan lain untuk wanita dengan HIV yang sedang hamil atau yang sedang mencoba
untuk hamil. Oleh karena itu, penting untuk membaca semua informasi pada setiap obat
dalam Pedoman Perinatal sebelum memberikan obat-obatan ini kepada pasien
Alternatif Dual-NRTI Backbones
ZDV/3TC Tersedia sebagai FDC. Meskipun tidak
direkomendasikan untuk terapi awal
pada orang dewasa yang tidak hamil,
ZDV / 3TC adalah kombinasi NRTI
dengan pengalaman paling banyak
untuk digunakan dalam kehamilan. Itu
memiliki kerugian karena memerlukan
administrasi dua kali sehari dan
memiliki potensi peningkatan toksisitas
hematologi dan toksisitas lainnya
Alternatif Regimen PI
LPV / r plus Backbone Dual-NRTI yang Banyak pengalaman dan mendirikan PK
dipilih dalam kehamilan. Lebih banyak efek
samping mual. Administrasi dua kali
sehari. Peningkatan dosis dianjurkan
selama trimester ketiga. LPV / r sekali
sehari tidak dianjurkan untuk digunakan
pada wanita hamil.
Regimen NNRTI alternatif
EFV / TDF / FTC (FDC) Cacat lahir telah dilaporkan dalam studi
atau EFV di hewan, tetapi belum ada bukti
EFV / TDF / 3TC (FDC) peningkatan risiko cacat lahir dalam
atau penelitian pada manusia dan dalam
EFV plus Backbone Dual-NRTI Pilihan kehamilan.
Rejimen ini bermanfaat bagi wanita
yang memerlukan pengobatan dengan
obat yang memiliki interaksi signifikan
dengan agen yang dipilih, atau yang
membutuhkan kenyamanan rejimen
koformulasi, singletablet, sekali sehari
dan tidak memenuhi syarat untuk DTG
atau RPV.
Skrining untuk antenatal dan depresi
pascapersalinan dianjurkan.
Memiliki tingkat efek samping yang
lebih tinggi daripada beberapa obat yang
dipilih.
RPV / TDF / FTC (FDC) RPV tidak direkomendasikan pada
atau pasien dengan pretreatment HIV RNA>
RPV plus Backbone Dual-NRTI yang 100.000 jumlah mL atau CD4 <200 sel /
Disukai mm3. Jangan gunakan dengan PPI. Data
PK tersedia untuk individu hamil, tetapi
ada sedikit pengalaman dengan
penggunaan dalam kehamilan. Data PK
menyarankan tingkat obat yang lebih
rendah dan risiko peningkatan viral load
pada trimester kedua dan ketiga; jika
digunakan, pertimbangkan untuk
memantau viral load lebih sering. Harus
diambil dengan makanan. Tersedia
dalam rejimen koformulasi, tablet
tunggal, sekali sehari
Kurangnya data dalam kehamilan untuk merekomendasikan untuk rejimen awal
pada perempuan yang belum pernah menggunakan obat-obatan ART ini disetujui
untuk digunakan pada orang dewasa tetapi tidak memiliki PK spesifik kehamilan
atau data keamanan yang memadai
BIC/TAF/FTC (FDC)
DOR
IBA
TAF/FTC (FDC) or RPV/TAF/FTC (FDC Paparan TAF plasma pada orang dewasa
hamil serupa dengan yang terlihat pada
orang dewasa tidak hamil, apakah TAF
diadministrasikan dengan agen
pendorong atau tidak. TAF telah
dipelajari pada kehamilan perempuan,
tetapi data belum cukup untuk
merekomendasikan memulai TAF pada
kehamilan
Tidak Direkomendasikan untuk ART Awal atau Penggunaan pada Kehamilan
Obat-obatan dan kombinasi obat ini direkomendasikan untuk digunakan pada orang
dewasa tetapi tidak dianjurkan untuk digunakan selama kehamilan kekhawatiran tentang
keselamatan ibu atau janin atau kemanjuran yang lebih rendah, termasuk terobosan virus
pada trimester kedua dan ketiga
ATV/c Data yang terbatas tentang penggunaan
ATV dengan COBI pada kehamilan
DRV/c (FDC) atau DRV/c/FTC/TAF (FDC) Data yang terbatas tentang penggunaan
DRV dengan COBI pada kehamilan
EVG/c/FTC/TAF (FDC) Data yang terbatas tentang penggunaan
EVG dengan COBI pada kehamilan
EVG/c/FTC/TDF (FDC) Data yang terbatas tentang penggunaan
EVG dengan COBI pada kehamilan
3TC = lamivudine; ABC = abacavir; ART = antiretroviral therapy; ARV = antiretroviral;
ATV = atazanavir; ATV/c = atazanavir/cobicistat; ATV/r = atazanavir/ritonavir; BIC =
bictegravir; CD4 = CD4 T lymphocyte cell; COBI = cobicistat; d4T = stavudine; ddI =
didanosine; DOR = doravirine; DRV/c = darunavir/cobicistat; DRV/r =
darunavir/ritonavir; DTG = dolutegravir; EFV = efavirenz; ETR = etravirine; EVG =
elvitegravir; EVG/c = elvitegravir/cobicistat; FDC = fixed-dose combination; FPV =
fosamprenavir; FPV/r = fosamprenavir/ritonavir; FTC = emtricitabine; IBA =
ibalizumab; IDV = indinavir; IDV/r = indinavir/ritonavir; INSTI = integrase strand
transfer inhibitor; LPV/r = lopinavir/ ritonavir; MVC = maraviroc; NFV = nelfinavir;
NNRTI = non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor; NRTI = nucleoside reverse
transcriptase inhibitor; NTD = neural tube defect; NVP = nevirapine; the Panel = the
Panel on Treatment of Pregnant Women with HIV Infection and Prevention of Perinatal
Transmission; PI = protease inhibitor; PK = pharmacokinetic; PPI = proton pump
inhibitor; RAL = raltegravir; RPV = rilpivirine; RTV = ritonavir; SQV = saquinavir;
SQV/r = saquinavir/ritonavir; T-20 = enfuvirtide; TAF = tenofovir alafenamide; TDF =
tenofovir disoproxil fumarate; TPV = tipranavir; TPV/r = tipranavir/ritonavir; ZDV =
zidovudine
Tabel 2.3 mengkonsolidasikan rekomendasi khusus situasi tentang penggunaan obat
ARV pada perempuan dengan HIV selama pembuahan dan kehamilan menjadi satu
tabel untuk kemudahan referensi. 19
Wanita hamil yang hidup dengan HIV yang sedang menerima terapi
antiretroviral

Wanita yang memakai terapi antiretroviral (ART) untuk infeksi HIV harus
melanjutkan rejimen ART mereka selama kehamilan, asalkan dapat ditoleransi
dengan baik, aman, dan efektif dalam menekan replikasi virus. Menghentikan atau
mengubah terapi dapat menyebabkan peningkatan viral load, yang mengarah pada
pengembangan penyakit, penurunan status kekebalan, dan peningkatan risiko
penularan HIV perinatal. Pemeliharaan penekanan virus sangat penting untuk
kesehatan ibu dan pencegahan penularan perinatal. Namun demikian, perubahan ART
dapat diindikasikan atau dipertimbangkan dalam keadaan tertentu.22.23
Paparan Dolutegravir (DTG) pada saat pembuahan telah dikaitkan dengan
peningkatan kecil pada risiko neural tube disease (NTD) pada bayi. Wanita hamil
yang datang untuk perawatan rejimen berbasis DTG harus menerima konseling
tentang manfaat dan risiko untuk terus menggunakan DTG atau mengganti rejimen.
Studi Tsepamo di Botswana melaporkan ada lima bayi yang lahir dengan neural tube
disease dari wanita yang menerima DTG pada saat pembuahan. Salah satu NTD yang
diamati mungkin merupakan cacat yang dapat terjadi selama trimester pertama, tetapi
setelah tabung saraf ditutup (peristiwa postneurulation). Namun, dalam kasus di mana
seorang wanita hamil saat mengambil DTG, dokter dan pasien harus mendiskusikan
apakah pasien harus terus menggunakan DTG atau beralih ke rejimen ARV lain. 22.23
BAB 3
KESIMPULAN

Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) adalah penyakit yang


disebabkan oleh infeksi human immunodeficiency virus (HIV). Penyebaran HIV ini
berkembang dengan cepat dan mengenai wanita dan anak-anak. Acquired
immunodeficiency syndrome menyebabkan kematian lebih dari 20 juta orang setahun.
Saat ini di seluruh dunia kira-kira 40 juta orang dewasa berusia 15-45 tahun yang
hidup dengan infeksi HIV. Tahun 2003 diperkirakan 700.000 bayi baru lahir
terinfeksi HIV. Angka morbiditas dan mortalitas yang disebabkan oleh HIV semakin
meningkat dan
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang paling penting di seluruh dunia.
Hingga saat ini belum ditemukan imunisasi profilaksis atau pengobatan AIDS,
meskipun demikian terapi antiretrovirus seperti highly active antiretroviral therapy
(HAART) tetap dikembangkan. Penggunaan obat antivirus dan persalinan berencana
dengan seksio sesaria telah menurunkan angka transmisi perinatal penyakit ini dari
30% menjadi 20%.
AIDS dikarakteristikkan sebagai penyakit imunosupresif berat yang sering
dikaitkan dengan infeksi oportunistik dan tumor ganas serta degenerasi susunan saraf
pusat. HIV menimbulkan infeksi berbagai macam sistem sel imun, termasuk CD4+,
makrofag, dan sel dendrit HIV sering ditransmisikan melalui darah, sehingga usaha
pencegahan dilakukan dengan beberapa cara, meskipun asimtomatik setiap individu
yang terinfeksi HIV dapat menularkannya kepada individu yang lain, sehingga
dibutuhkan pemeriksaan kesehatan rutin. Pemeriksaan antibodi HIV harus diberikan
terhadap orang yang bertendensi berkontak dengan penderita seropositif seperti
pasangan seksual, orang yang sering bertukar pakai jarum, dan bayi yang dilahirkan
dari ibu seropositif.
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization (WHO)/Joint United Nations Programme on


HIV/AIDS (UNAIDS). HIV In Pregnancy: A Review. WHO/UNAIDS:
Geneva 2013. [cited: 30 Desember 2019].
http://whqlibdoc.who.int/hq/1999/WHO_CHS_RHR_99.15.pdf
2. Dirjen PP & PL Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Laporan
perkembangan HIV-AIDS di Indonesia Triwulan I Tahun 2014. 2014. [cited:
30 Desember 2019]
http://www. spiritia.or.id/Stats/StatCurr.php?lang=id&gg=1
3. Townsend CL, Byrne L, Cortina-Borja M, et al. Earlier initiation of ART and
further decline in mother-to-child HIV transmission rates, 2000–2011. AIDS.
2014;28(7):1049–57.
4. James DK, Steer PJ, Weiner CP, Gonik B, Robson SC, editors. High-risk
pregnancy: management options. Cambridge University Press; 2017.
5. Gomber, Sunil, and Pooja Dewan. Shift From PMTCT Program to ART
Program. 2015; 750-752.
6. UNAIDS. UNAIDS announces that the goal of 15 million people on life-
saving HIV treatment by 2015 has been met nine months ahead of schedule.
2015. . [cited: 30 Desember 2019]
http://www.unaids.org/en/resources/presscentre/pressreleaseandstatementarchi
ve/2015/july/20150714_PR_MDG 6report.
7. Kemenkes RI. Situasi Penyakit HIV AIDS di Indonesia. 2013. Jakarta:
Infodatin Kemenkes RI
8. Schur FK, Hagen WJ, Rumlová M, Ruml T, Müller B, Kräusslich HG, Briggs
JA. Structure of the immature HIV-1 capsid in intact virus particles at 8.8 Å
resolution. Nature. 2015 Jan;517(7535):505.
9. James DK, Steer PJ, Weiner CP, Gonik B. High risk pregnancy e-book:
Management options-expert consult. Elsevier Health Sciences; 2010 Dec 3.
10. Burgener A, McGowan I, Klatt NR. HIV and mucosal barrier interactions:
consequences for transmission and pathogenesis. Current opinion in
immunology. 2015 Oct 1;36:22-30.
11. World Health Organization. WHO technical brief: preventing HIV during
pregnancy and breastfeeding in the context of PrEP. World Health
Organization; 2017.
12. Oats JJ, Abraham S. Llewellyn-Jones Fundamentals of Obstetrics and
Gynaecology E-Book. Elsevier Health Sciences; 2015 Nov 13.
13. Greenwood D, Slack R, Peutherer J, Barer M. Medical microbiology: a guide
to microbial infections: pathogenesis, immunity, laboratory diagnosis and
control. Edisi ke-17. UK: Churchill Livingstone; 2007.
14. Cunningham F, Leveno K, Bloom S, Spong CY, Dashe J. Williams obstetrics,
24e. Mcgraw-hill; 2014.
15. Günthard HF, Saag MS, Benson CA, et al. Antiretroviral drugs for treatment
and prevention of HIV infection in adults: 2016 recommendations of the
International Antiviral Society–USA panel. JAMA. 2016;316(2):191-210.
16. Panel on Opportunistic Infections in Adults and Adolescents with HIV.
Guidelines for the prevention and treatment of opportunistic infections in
adults and adolescents with HIV: recommendations from the Centers for
Disease Control and Prevention, the National Institutes of Health, and the
HIV Medicine Association of the Infectious Diseases Society of America.
2018.
17. Panel on Antiretroviral Guidelines for Adults and Adolescents. Guidelines for
the use of antiretroviral agents in adults and adolescents living with HIV.
2018.
18. Yee LM, Miller ES, Statton A, et al. Sustainability of statewide rapid HIV
testing in labor and delivery. AIDS Behav. 2018;22(2):538-544.
19. Antiretroviral Pregnancy Registry Steering Committee. Antiretroviral
Pregnancy Registry international interim report for 1 January 1989–31
January 2019. Wilmington, NC: Registry Coordinating Center. 2019.
20. Brooks K, Pinilla M, Shapiro D, et al. Pharmacokinetics of tenofovir
alafenamide 25 mg with PK boosters during pregnancy and postpartum.
Presented at: Workshop on Clinical Pharmacology of HIV, Hepatitis, and
Other Antiviral Drugs. 2019. Noordwijk, Netherlands.
21. Redfield RR, Modi S, Moore CA, Delaney A, Honein MA, Tomlinson HL.
Health care autonomy of women living with HIV. N Engl J Med.
2019;381(9):798-800
22. Zash R, Jacobson DL, Diseko M, et al. Comparative safety of dolutegravir-
based or efavirenz-based antiretroviral treatment started during pregnancy in
Botswana: an observational study. Lancet Glob Health. 2018;6(7):e804-e810.
23. Zash R, Holmes L, Diseko M, et al. Neural-tube defects and antiretroviral
treatment regimens in Botswana. N Engl J Med. 2019;381(9):827-840

Anda mungkin juga menyukai