Anda di halaman 1dari 82

FINAL

“HUKUM DAN ETIKA TEKNOLOGI INFORMASI”

Di Susun Oleh:

NAMA : AHMAD NUR FAJAR


NIM : 19157201027
JURUSAN : SISTEM INFORMASI (4)

STMIK CATUR SAKTI KENDARI

2021
ETIKA SIBER DAN SIGNIFIKANSI MORAL DUNIA MAYA
CYBER ETHICS AND MORAL SIGNIFICATION IN CYBERSPACE

Ahmad Rudy Fardiyan1

Abstract

Internet usage has been necessity and helpfull in daily modern activities.
However, the benefits of using internet is equal to the risk of it own. The world of
cyber created by internet, is borderless. This, allow the citizen of cyber (netizen)
to do eithergoodthings or badthings that can not or impossible to achieve in the
real world. Many cases in these terms across countries make this type of crime
become more complex to anticipates. The differences of law and attention between
countries about this phenomena, make it even worse. At this point, the moral
become significant to control “life” in cyberspace. The unique characteristic of
cyberworld doesn’t change the view of values, ethics, and etiquette of life within.
Cyberethics as a part of ethic studies, proposes guidelines of values so the
opportunity and advantages that provided by internet can be use for good purpose
on human being.

Keywords : Moral, Cyberethic, Cyberspace

I. PENDAHULUAN
Peradaban masyarakat modern seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
telah menimbulkan persoalan baru tentang nilai. Jika melihat kondisi etis masyarakat
modern, menurut Bertens (2011) ada tiga ciri yang menonjol. Pertama, adanya pluralisme
moral. Hal ini dirasakan karena perkembangan teknologi komunikasi dan informasi
menjadikan dunia ini seperti tidak mengenal lagi batas-batas yang konkret, baik dalam
geografis maupun kebudayaan. Campur-aduknya manusia (yang secara geografis dan budaya
terpisah jauh) ke dalam satu wadah yang bernama internet telah membuat kita berhadap-
hadapan langsung dengan kemajemukan. Kemajemukan ini membawa pula nilai-nilai dan
norma-norma yang menyangkut praktik bisnis, seksualitas, gaya hidup, atau perkawinan.
Ciri kedua yang menandai situasi etis di zaman modern adalah munculnya persoalan
etis baru yang disebabkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Persoalan tentang
hal ini misalnya tentang biomedis, terkait dengan manipulasi genetik; reproduksi artifisial,
donor rahim, kloning, dan sebagainya. Persoalan lain misalnya tentang privasi atau hacking
virus komputer. Ciri ketiga adalah munculnya kepedulian etis di seluruh dunia. Globalisasi
juga berarti adanya gejala di bidang moral dimana gerakan kesadaran moral universal, baik
yang terorganisasi maupun tidak, mulai bermunculan. Salah satunya adalah Deklarasi
Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia oleh PBB pada tahun 1948. (Bertens, 2011: 32-
36).

1
Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Lampung;ahmad.rudy@unila.ac.id

PROSIDING SEMINAR NASIONAL KOMUNIKASI 2016 | 331


Sebagai salah satu hasil perkembangan teknologi informasi, internet (interconnected
networking) kini telah menjadi kebutuhan dasar masyarakat modern, terutama yang tinggal di
daerah perkotaan. Bermacam-macam aktivitas yang dilakukan orang-orang di internet,
membaca berita, menelusuri dokumen, bersosialisasi, saling tukar informasi data, hingga
berdagang. Internet telah menjadi “dunia” yang baru, dimana di dalamnya terdapat
“kehidupan” manusia dengan segala aktivitasnya.
Selain memberi keuntungan dalam akses dan transaksi informasi, internet juga
dimanfaatkan untuk mendapatkan keuntungan pribadi dengan merugikan pihak lain.
Sejumlah kasus seperti perdagangan senjata ilegal, human trafficking, pencurian data,
pembobolan rekening, dan lain sebagainya, telah meresahkan siapa saja yang aktif
menggunakan internet. Bentuk kejahatan ini biasa disebut kejahatan internet (cyber crime).
Korban dari kejahatan internet ini tidak hanya individu, namun juga instansi, bahkan negara.
Pada tahun 1999 seorang hacker berhasil menembus portal kemanan pada situs Kementrian
Keuangan Rumania. Hacker asing tersebut mengganti nilai kurs mata uang Rumania
sehingga banyak pembayar pajak online yang terkecoh dengan besaran nilai yang telah
diganti tersebut. Akibat serangan ini pemerintah Rumania mengalami kerugian yang sangat
besar2. Kasus ini tidak berlanjut ke ranah hukum karena tidak ada aturan tertulis yang
mengatur tentang tindak kejahatan antar wilayah negara. Meskipun pada tanggal 4 Desember
2000 Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menandatangai Resolusi PBB
55/63 untuk memerangi penyalahgunaan teknologi komunikasi dan informasi, namun
perbedaan penafsiran tentang jenis kejahatan dan perbedaan kemampuan dari setiap negara
dalam tata kelola internet di negaranya masing-masing, membuat kejahatan telematika
masih terus menjadi momok yang menghantui setiap pengguna internet aktif.
Atas dasar inilah pembicaraan mengenai etika kembali mendesak dilakukan.
Pembicaraan ini bukan hanya untuk merumuskan kembali sistem hukum yang tepat dan
ampuh untuk mengatasi persoalan kejahatan ini secara retrospektif dan prospektif, tetapi juga
untuk membangun kesadaran dalam memanfaatkan teknologi internet ini dengan cara yang
bermoral dan bermartabat. Sekiranya telah ada kesadaran bahwa untuk menciptakan
ketertiban dan kenyamanan, selain menempuh cara-cara represif (dengan menetapkan
undang-undang dan aturan legal) juga dibutuhkan “pendisiplinan” melalui pengetahuan moral
atau etika yang ditanamkan secara berkelanjutan. Etika yang secara khusus diterapkan dalam
konteks penggunaan internet ini biasa dikenal sebagai etika internet atau etika siber
(cyberethics).

II. PEMBAHASAN
Kata “moral” memiliki etimologi yang sama dengan “etika”, hanya asal katanya yang
berbeda. Oleh karena itu, berbicara tentang etika sama halnya berbicara tentang moral.
Sedangkan kata “etis” merupakan bentuk kata sifat dari “etika”. Selain itu, persoalan yang
menyangkut etika seringkali dicampur maknanya dengan persoalan tentang “etiket”. Padahal
keduanya punya perbedaan yang mendasar. Perbedaan tersebut bisa dijelaskan sebagai
berikut: 1) etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan, sedangkan etika
memberi norma tentang perbuatan tersebut. Misalnya, untuk memberi sesuatu kepada orang
lain, kita sebaiknya menggunakan tangan kanan. Namun, menyangkut etika, apakah mencuri
itu sebaiknya menggunakan tangan kanan atau kiri? Etiket adalah cara suatu perbuatan

2
“Hackers Alter Romanian Money Rate”, New York Times on the web/ Breaking News from Associated Press,
November 3, 1999, reported at_http://www.nytimes.com/aponline/i/AP-Romania-Hackers.html_.

332 | PROSIDING SEMINAR NASIONAL KOMUNIKASI 2016


dilakukan, sedangkan etika menyangkut perbuatan itu sendiri; 2) etiket hanya berlaku di
dalam pergaulan, yang berarti selalu melibatkan orang lain. Sedangkan etika tetap berlaku
meskipun tidak ada saksi mata; 3) etiket bersifat lebih relatif sedangkan etika bersifat lebih
absolut. Meskipun etika juga mempunyai relativitas, namun tingkatannya tidak setinggi
relativitas pada etiket; 4) etiket hanya memandang manusia dari segi lahiriahnya saja,
sedangkan etika menyangkut manusia dari segi dalam (Bertens, 2011: 10-11).
Etika secara umum membahas sejumlah tema yaitu hati nurani, nilai dan norma,
kebebasan dan tanggung jawab, serta hak dan kewajiban. Hati nurani merupakan “instansi”
dalam diri manusia yang memberi penilaian moralitas terhadap tingkah lakunya. Hati nurani
tidak membahas tentang situasi yang umum, melainkan tentang situasi yang konkret. Bisa
dibilang, hati nurani merupakan kesadaran moral manusia, sehingga ia bisa merefleksi dan
membimbing perbuatan-perbuatan manusia dalam bidang moral. Nilai memiliki beberapa
karakteristik, yaitu: kehadiran subjek (yang menilai), tampil dalam konteks praktis (adanya
kepentingan subjek), nilai menyangkut sifat yang ditambah oleh subjek terhadap objek.
Sedangkan norma adalah kaidah yang digunakan manusia untuk menilai sesuatu.
Kebebasan (bebas) bukanlah hal yang mudah untuk didefinisikan, karena ia mempunyai
banyak aspek dan karakteristik, sehingga “bebas” menjadi sebuah realitas yang kompleks.
Namun pada prinsipnya kebebasan dapat dibedakan antara kebebasan sosial-politik dan
kebebasan individual. Kebebasan sosial-politik mencakup kebebasan kolektif. Di sini, yang
menjadi subjeknya adalah bangsa atau rakyat. Secara sederhana, dapat diterjemahkan bahwa
kebebasan sosial-politik merupakan bentuk kedaulatan rakyat terhadap kekuasaan absolut
(penguasa otoriter, raja) maupun kekuasaan imperialis (kolonialisme). Sedangkan kebebasan
individual menempati posisi yang lebih umum dan penting. Di sini yang menjadi subjeknya
adalah manusia perorangan. Beberapa bentuk kebebasan individual yaitu kesewenang-
wenangan, kebebasan fisik, kebebasan yuridis, kebebasan psikologis (free will), kebebasan
moral, dan kebebasan eksistensial (Bertens, 2011: 107-123).Secara umum, kebebasan lebih
mudah dipahami sebagai kebebasan negatif. Yaitu kebebasan dengan pengertian “bebas
dari...”. Dari aspek ini, kebebasan bisa dimengerti sebagai bebas dari paksaan fisik,
perampasan hak-hak, tekanan bathin, paksaan moral, serta keterasingan (alienasi) atau
inotentisitas. Namun yang lebih sulit adalah memahami kebebasan dalam aspek positifnya,
yang dimengerti sebagai “bebas untuk...” Dalam hal ini maka dapat dikatakan bahwa
kebebasan mempunyai batasan. Batasan kebebasan yaitu faktor dari dalam (nature dan
nurture), lingkungan (geografis dan sosial), kebebasan orang lain, dan generasi yang akan
datang.
Tanggung jawab selalu mengandaikan kebebasan karena disana ada tindakan bebas
yang dilakukan, maka perlu ada „jawaban‟ atas apa yang dilakukannya itu. Bisa dikatakan
bahwa tindakan yang dilakukan secara bebas adalah penyebab. Orang bertanggung jawab atas
sesuatu yang disebabkan olehnya. Ada dua jenis tanggung jawab, yaitu tanggung jawab
prospektif dan tanggung jawab retrospektif. Tanggung jawab prospektif merupakan tanggung
jawab atas apa-apa yang belum dan mungkin akan terjadi. Sedangkan tanggung jawab
retrospektif adalah tanggung jawab atas apa-apa yang sudah terjadi (konsekuensi).
Hak adalah klaim yang dapat dibenarkan atau klaim yang sah. Karena itu, hak
mempunyai korelasi dengan kewajiban, dimana hak seseorang atas orang lain merupakan
kewajiban bagi orang lain tersebut. Meski demikian, ada perbedaan antara hak dengan
kewajiban menyangkut pihak yang terlibat. Tidak ada hak untuk diri sendiri. Hak selalu
mengandung hubungan dengan orang lain. Namun kewajiban berkaitan, baik terhadap orang
lain maupun diri sendiri. Kewajiban terhadap diri sendiri ini juga dapat dimengerti sebagai

PROSIDING SEMINAR NASIONAL KOMUNIKASI 2016 | 333


kewajiban terhadap Tuhan. Hal ini sesuai dengan kajian etika dimana etika berhubungan
dengan pula dengan agama dan hukum.
Etika Siber (Cyberethics) termasuk dalam kajian etika terapan atau etika khusus.
Menurut Richard A. Spinello (2004), etika siber di definisikan sebagai penerapan etika yang
menjelaskan tentang moral, hukum, dan isu sosial dalam pengembangan dan penggunaan
teknologi siber. Yang mana teknologi siber itu ia definisikan pula sebagai sebuah spektrum
besar yang membentang dari perangkat komputer hingga sekelompok jaringan komputasi
informasi dan komunikasi.
“...the field of applied ethics that examines moral, legal, and social issues in the
development and use of cybertechnology. Cybertechnology in turn, refers to abroad
spectrum of technologies that range from stand alone computer to the cluster of
networked computing information and communication”. (Spinello, 2004)
Dengan demikian etika siber atau etika internet tidak sekedar membahas tentang tata
cara penggunaan internet yang baik, aman, dan santun – yang mana hal tersebut tergolong ke
dalam etiket internet – namun lebih jauh lagi, etika internet mengkaji permasalahan-
permasalahan moral, hukum, dan isu-isu sosial yang berhubungan dengan penggunaan
komputer dan jaringan internet sebagai penunjang interaksi antar manusia.
Bilamana suatu tindakan merupakan pelanggaran etika atau bukan, melibatkan
penilaian normatif dan penafsiran terhadap aturan tertulis. Telah diketahui pula bahwa
teknologi siber menciptakan sebuah “dunia” tersendiri yang terpisah dari dunia riil; sebuah
dunia siber (dunia maya/dunia virtual) yang hanya bisa diakses melalui sambungan internet
pada komputer. Dunia siber ini mempunyai karakteristik yang berbeda dengan dunia riil.
Karekteristik tersebut dijelaskan oleh Dysson (1994)3 sebagai berikut:
1. Beroperasi secara virtual
2. Dunia siber (dunia maya) selalu berubah dengan cepat
3. Dunia siber tidak mengenal batas teritorial (borderless)
4. Orang yang hidup dalam dunia siber dapat melakukan aktivitasnya tanpa harus
menunjukkan identitas aslinya (anonim).
5. Informasi di dalamnya bersifat publik.
Karakteristik dunia siber yang khas ini memberi peluang terhadap munculnya perilaku
atau tindakan yang pada dunia riil tidak atau sulit bisa terwujud. Hal ini bisa disebabkan
adanya batas-batas fisik (geografis, bangunan, dan lain-lain) dan situasi perjumpaan yang
konkret (face to face dan/atau kehadiran orang lain secara riil).
Dunia siber menyediakan ruang fantasi yang luas untuk ekspresi ego individu. Dalam
ruang imajiner tersebut, identitas menjadi abstrak dan bisa berganda. Pengguna bisa menjadi
“hantu” yang bergentayangan di ruang privat pengguna lain. “Fasilitas” yang ditawarkan
dunia siber ini tentu saja memberi peluang bagi siapa saja yang oportunis dan ingin
mendapatkan keuntungan pribadi meskipun dicapai dengan mengorbankan prinsip-prinsip
etis. Selain itu, kemajemukan pengguna internet yang berasal dari seluruh dunia juga
berpotensi menimbulkan permasalahan nilai dan norma. Kondisi ini tidak berbeda dengan apa
yang biasa terjadi di dunia nyata. Oleh karena itu praktik pelanggaran etika dan hukum pada
teknologi siber merupakan adopsi dari apa yang terjadi di dunia nyata ke dalam dunia siber.

3
Kejahatan Telematika Sebagai Kejahatan Transnasiona, jurnal dari http://www.academia.edu

334 | PROSIDING SEMINAR NASIONAL KOMUNIKASI 2016


Maka menjadi jelas bagi kita bahwa penggunaan komputer tidak menimbulkan isu tentang
etika internet tanpa adanya teknologi siber.
Penguasaan dan penggunaan teknologi ICT komputer yang dibarengi dengan niat
jahat berpotensi menimbulkan kejahatan siber. Ada banyak sekali bentuk kejahatan yang
memanfaatkan komputer dan jaringan internet sebagai mediumnya. Convention on
Cybercrime di Budapest, Hungaria pada tahun 2001 mengklasifikasikan kejahatan siber itu
sebagai berikut:
1. Illegal acces; yaitu sengaja dan tanpa hak memasuki atau mengakses komputer pihak
lain
2. Illegal interception; yaitu dengan sengaja dan tanpa hak mendengar atau menangkap
secara diam-diam pengiriman dan pemancaran data komputer yang tidak bersifat
publik, dari atau di dalam sistem komputer dengan menggunakan alat bantu teknis
3. Data interference; yaitu sengaja dan tanpa hak melakukan pengrusakan, penghapusan
atau perubahan data komputer pihak lain
4. System interference; yaitu sengaja dan tanpa hak melakukan gangguan atau rintangan
terhadap berfungsinya sistem komputer
5. Misuses of Devices; yaitu penyalahgunaan perlengkapan komputer, termasuk program
komputer seperti code access dan sebagainya.
6. Computer related forgery; yaitu sengaja dan tanpa hak mengubah dan/atau
menghapus data otentik menjadi tidak otentik atau digunakan sebagai data otentik
untuk kepentingan pribadi (pemalsuan)
7. Computer related fraud; yaitu dengan sengaja menyebabkan hilangnya
barang/kekayaan orang lain dengan cara memasukkan, mengubah, menghapus data
komputer atau dengan mengganggu fungsi sistem komputer dengan tujuan untuk
memperoleh keuntungan bagi diri sendiri atau orang lain (penipuan).
8. Content-related offences; yaitu delik-delik yang berhubungan dengan pornografi anak
9. Offences related to infringements of copyright and related rights; yaitu delik-delik
yang terkait dengan pelanggaran hak cipta.
Dengan klasifikasi tersebut, maka bentuk-bentuk aktivitas di dunia siber berikut ini
dapat dikategorikan sebagai kejahatan siber: 1) Carding, yaitu berbelanja dengan
menggunakan nomor dan identitas kartu kredit orang lain yang diperoleh secara ilegal
melalui internet; 2) Hacking dan Cracking, Kedua istilah ini merujuk pada kegiatan
menerobos sistem keamanan komputer pihak lain. Bedanya, para hacker umumnya hanya
senang pada proses “menerobos” tersebut sementara cracker memang mempunyai tujuan dan
kepetingan tertentu; 3) Defacing, yaitu kegiatan mengubah laman situs tertentu. Motifnya
bisa sekedar iseng, unjuk kebolehan, namun ada juga yang mencuri data untuk dijual pada
pihak lain; 4) Phising; yaitu kegiatan memancing para pengguna internet (user) untuk
memberikan data personal (username dan password) mereka pada situs yang telah di deface;
5) Spaming; yaitu pengiriman informasi yang tidak dikehendaki melalui e-mail sehingga
sering juga disebut bulk e-mail atau junk e-mail. Spam seringkali dibarengi dengan phising
untuk memperoleh keuntungan pribadi; 6) Malware; yaitu merupakan program komputer
yang dibuat untuk merusak software atau operating system. Jenisnya beraneka ragam seperti
virus, worm, atau browser hijacker; 7) Melakukan copy paste sebagian atau keseluruhan
tulisan karya orang lain tanpa hak atau tidak mencantumkan sumbernya. Ini merupakan
pelanggaran terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Mengenai hal ini pemerintah
RI telah memperbarui UU Hak Cipta yang lama yaitu UUHC No.6 Tahun1982 dan UUHC
No.12 tahun 1997 dengan UUHC No.19 Tahun 2002 untuk melindungi hasil karya seseorang
dan menegakkan etika dalam penggunaan komputer dan internet.

PROSIDING SEMINAR NASIONAL KOMUNIKASI 2016 | 335


Bentuk-bentuk kejahatan siber tersebut masih bisa bertambah lagi menyesuaikan
dengan perkembangan teknologi dan modus operandi yang bisa dilakukan untuk menghindari
sistem proteksi komputer yang juga terus berkembang.
Maraknya kasus kejahatan siber ini menuntut diterapkannya regulasi yang khusus
mengatur tentang hal ini. Sekarang, negara-negara di dunia sudah mempunyai perangkat
hukum untuk memerangi kejahatan siber. Di Indonesia sendiri saat ini ada Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang disahkan pada tanggal 25 Maret 2008
oleh DPR RI. UU ITE ini mengatur berbagai perlindungan hukum atas penyalahgunaan
internet. UU semacam ini telah lebih dulu ada dan diterapkan di sejumlah negara-negara
Eropa dan Amerika Serikat.
Namun begitu, karakter borderless dunia siber menjadi faktor yang menyulitkan upaya
membangun aturan hukum yang jelas untuk menertibkan pengguna internet. Tidak adanya
batas teritorial berarti memungkinkan kejahatan siber ini dilakukan lintas negara. Namun
tidak adanya keseragaman dalam membuat regulasi dan aturan internal domestik membuat
kejahatan semacam ini sulit diberantas. Kasus penyebaran virus melissa di sejumlah negara
pada akhir dekade 90-an adalah contoh tentang hal ini. Virus yang dibuat oleh seorang
programmer dari New Jersey bernama David L. Smith tersebut disebarluaskan melalui situs
X-rate atau e-mail dan telah merugikan beberapa perusahaan hingga senilai US$ 80 milyar. 4
Setelah munculnya Resolusi PBB 55/63 pada tahun 2000 tentang anjuran bagi negara-negara
anggota untuk memerangi tindak kejahatan siber, negara-negara yang tergabung dalam
organisasi Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) sepakat membentuk APEC Cyber Crime
Strategy yang bertujuan mengupayakan sistem keamanan internet bersama, dan mencegah
serta menghukum pelaku kejahatan siber. Bahkan negara-negara ASEAN pernah pula
menghasilkan deklarasi tentang pencegahan dan pengawasan kejahatan antar negara (Manila
Declaration on Prevention and Control of Transnational Crime), termasuk di dalamnya
kejahatan yang menggunakan teknologi ICT atau kejahatan siber. Akan tetapi upaya-upaya
yang telah ditempuh tersebut hanya berupa kesepakatan moral dan politis saja, sedangkan
pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya pada kemauan dan kemampuan dari masing-masing
negara anggota.

III. PENUTUP
Etika internet atau etika siber (cyberethics) merupakan adopsi dari konsep etika
tradisional yang di terapkan pada konteks penggunaan dan pengembangan teknologi
komputer dan jaringan internet. Penggunaan komputer tidak akan menimbulkan pelanggaran
etika internet tanpa adanya teknologi siber. Teknologi siber ini menciptakan sebuah “dunia”
baru yang di dalamnya manusia bisa berinteraksi, berserikat, berbisnis, dan banyak lagi
aktivitas lainnya. Simulasi kehidupan dunia siber yang mirip dengan kehidupan riil, di
tambah dengan karakteristik yang khas dari dunia siber itu sendiri, membuka peluang yang
sangat besar untuk terjadinya tindak kejahatan siber. Kejahatan siber ini merupakan hal yang
baru, dimana bentuk kejahatannya sangat beragam dan bisa terus bertambah mengingat
teknologi komputer, komunikasi, dan informasi masih terus berkembang.
Di sinilah etika memegang peranan penting untuk menjaga supaya aktivitas di dunia
siber dapat berjalan dengan tertib, aman, dan nyaman. Aturan dan undang-undang telah

4
“Melissa Virus Exposes Computer Users‟ Vulnerability,”Japan Computer Industry Scan, April 12, 1999,
available at 1999 WL 9642279;dalam http://media.hoover.org/documents/0817999825

336 | PROSIDING SEMINAR NASIONAL KOMUNIKASI 2016


dibuat untuk memerangi kejahatan siber. Namun pembuatan regulasi ini masih banyak
dilakukan secara parsial, sesuai dengan kemampuan dan kemauan dari setiap negara untuk
memerangi kejahatan siber. Perlu ada perhatian yang lebih serius terhadap kerjasama regional
bahkan internasional dalam upaya melindungi dan mencegah terjadinya kejahatan siber. UU
ITE Tahun 2008 yang menjadi acuan negara untuk menangani masalah kejahatan siber di
Indonesia harus terbuka untuk pembaharuan dan penyesuaian. Selain itu, perlu ada upaya
yang berkelanjutan dalam menyosialisasikan etika internet karena pengguna internet yang
terus bertambah. Hal ini penting untuk menjaga etika dari pengguna internet pada tingkat
individu.

REFERENSI

Bertens, K. 2011. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Spinello, R.A. & Tavani, H.T. 2004. Reading In Cyberethics 2nd Edition. USA: Jone &
Barlett Publisher, Inc.

Sumber Internet :

Associated Press. 1999, Hackers Alter Romanian Money Rate, dilihat pada Februari 2014.
http://nytimes.com/aponline/i/AP-Romania-Hackers

Japan Computer Industry Scan. 1999. Melissa Vyrus Exposes Computer Users Vulnerability.
12 April, dilihat Februari 2014 dalam http://media.hoover.org/documents/0817999825

Soeparna, Intan. Kejahatan Telematika Sebagai Kejahatan Internasional, dilihat pada


Februari 2014. http://academia.edu/208360

PROSIDING SEMINAR NASIONAL KOMUNIKASI 2016 | 337


ETIKA KOMUNIKASI DALAM MENGGUNAKAN MEDIA SOSIAL
( INSTAGRAM )

Rerin Maulinda, S. Pd, M.Pd


Suyatno, S.Pd, M.Pd
Dosen 00445@unpam.ac.id

Abstrak

Media sosial adalah sebuah media online, dengan cara penggunanya bisa dengan
mudah berpartisipasi, berbagi dan menciptakan isi. Perkembangan media sosial
akhir-akhir ini sangat pesat. Sehingga menjadi topik hangat untuk dibahas karena
banyaknya masyarakat yang menggunakan media sosial namun kurang memahami
makna medianya itu sendiri. Adapun media sosial yang digunakan adalah
Instagram. Instagram adalah aplikasi media jejaring sosial yang mampu
menghasilkan dan mepublikasikan foto secara instan. Perkembangan media sosial
secara langsung berdampak terhadap tatanan dari perilaku manusia, baik sebagai
sarana informasi maupun sebagai sarana sosialisasi dan interaksi antar manusia.
Media sosial seakan menjadi tempat menumpahkan segala aktivitas yang tidak
jarang mengesampingkan beragam etika yang ada. Hal ini dilihat dari penggunaan
bahasa non baku dan tidak resmi dalam berkomunikasi. Komunikasi adalah suatu
proses penyampaian informasi (pesan, ide, gagasan) dari satu pihak kepada pihak
lainnya. Komunikasi akan lebih efektif apabila pesan yang disampaikan dapat
ditafsirkan sama oleh penerima pesan. Adapun Etika komunikasi yang baik dalam
media sosial adalah jangan menggunakan kata kasar, provokatif, porno ataupun
SARA; jangan memposting artikel atau status yang bohong; jangan mencopy paste
artikel atau gambar yang mempunyai hak cipta, serta memberikan komentar yang
relevan.

Kata kunci: Media Sosial, Instagram, Etika, dan Komunikasi


PENDAHULUAN

Zaman saat ini serba teknologi, sosial media menjadi kebutuhan penting
bagi banyak orang. Tak jarang kita selalu terhubung dengan dunia luar melalui
media sosial. Hubungan beragam yang dibangun dengan orang yang sudah
dikenal, kerabat, relasi, ataupun pihak-pihak yang belum kita kenal dan baru
diketahui lewat dunia maya.
Menurut C. Widyo Hermawan, adanya penggunaan internet melalui media
sosial, telah menghadirkan sebuah web forum yang dapat membentuk suatu
komunitas online.1 Layaknya forum diskusi, sebuah web forum dapat juga
menampung ide, pendapat, dan segala informasi dari para anggotanya sehingga
dapat saling berkomunikasi atau bertukar pikiran antara satu sama lainnya. Sebuah
forum online biasanya hanya memiliki suatu pokok bahasan tertentu, tetapi tidak
menutup kemungkinan dapat meluas hingga ke berbagai bidang.
Pada dasarnya, forum online merupakan sebuah papan pengumuman yang
tersedia dalam bentuk online. Namun seiring berjalannya waktu sebuah forum
online mengalami perluasan fungsi, yaitu tidak hanya sekedar berbagi informasi
melainkan sebagai sarana akomodasi antar sesama pengguna dan pihak yang
memiliki forum tersebut.
Tahun 2009 media sosial menjelma menjadi alat informasi yang sangat
potensial di Indonesia.2 Tingginya pengguna media sosial di Indonesia
merupakan aplikasi jejaring situs pertemana dan informasi. Atau dengan kata lain,
hampir semua masyarakat di Indonesia memiliki dan mengakses media sosial
yang ada
Media sosial beragam mulai bermunculan dan menjadi pilihan masyarakat,
seperti facebook, twitter, instagram, path dan masih banyak lainnya. 3 Interaksi
yang dilakukan dalam media sosial, haruslah memperhatikan etika dalam
berinteraksi. Hal ini sangat penting agar segala aktivitas kita di media sosial tidak
berdampak buruk dalam kehidupan kita, baik secara langsung maupun tidak
langsung.

1
Hermawan, C. W. (2009). Cara Mudah Membuat Komunitas Online dengan PHPBB.
Yogyakarta: ANDI.
2
Abu Bakar Fahmi. 2011. Mencerna Situs Jejaring Sosial. Jakarta : Elex Media Komputindo.
3
Nurudin. 2012. Media Sosial Baru. Yogyakarta : DPPM DIKTI.
Instagram merupakan sebuah aplikasi berbagi foto yang memungkinkan
pengguna mengambil foto, mereapkan filter digital, dan membagikannya ke
berbagai layanan jejaring sosial, termasuk milik Instagram sendiri. Salah satu hal
unik dari Instagram adalah memotong foto menjadi bentuk persegi, sehingga
terlihat seperti kamera Kodak Instamatic dan Polaroid. 4
Interaksi yang dilakukan dalam media sosial haruslah komunikatif dan
sopan. Sebagai manusia dalam kehidupan sehari-hari kita tidak akan pernah
terlepas dari komunikasi.5 Komunikasi selalu menjadi kegiatan utama kita, mulai
dari bangun tidur hingga tidur kembali, entah itu komunikasi formal maupun non
formal.
Hal tersebut memang telah menjadi kebiasaan dan menjadi kodrat kita
sebagai manusia yang merupakan makhluk sosial yang tak dapat hidup sendiri.
Kita selalu membutuhkan bantuan orang lain atau ingin selalu hidup dengan orang
lain. Walaupun hanya sekedar berinteraksi atau obrolan basa-basi. Dalam interaksi
itulah manusia lambat laun menciptakan nilai-nilai bersama yang kemudian
disebut sebagai kebudayaan.
Media sosial sangat mempengaruhi kehidupan seseorang, oleh karena itu
kita harus mampu menyikapi dengan pandai sehingga kelak tidak melupakan
kewajiban pada kehidupan nyata. Selain itu, kita harus memenuhi etika dalam
penggunaan media sosial sehingga mendapat hal baik dan positif, minimal sebagai
hiburan dan sumber informasi faktual.
Kemajuan teknologi yang menyebabkan memudarnya kebudayaan timur
dan lunturnya norma-norma kesantunan dalam segala hal, sehingga memberikan
pengaruh buruk bagi masyarakat, khususnya kamu pelajar. Selain itu, kemajuan
teknologi juga menyebabkan rendahnya etika dan moral masyarakat, sehingga
bukan kesantunan berbahasa yang terjalin melainkan kekerasan fisik, yaitu
tawuran.6
Dalam nilai-nilai yang terbentuk tersebut terdapat beberapa kaidah yang
bertujuan mengatur tata cara kita bekomunikasi antar sesama tanpa menyakiti hati

4
Mursito. (2006). Memahami Institusi Media (Sebuah Pengantar).Surakarta: Lindu Pustaka.
5
Rulli Nasrullah. 2015. Teori Media Sosial (Perspektif Komunikasi, Kultur, dan Sosiso-
Teknologi) Jogjakarta : Simbiosa Rekatama Media.
6
Franz magnis Suseno. 1993. Etika dasar. Jakarta : Pustaka Filsafat.
dan mejunjung tinggi etika sebagai sebuah tanda penghargaan pada lawan bicara
kita. Namun terkadang cara berkomunikasi atau pemakaian suatu kata atau
kalimat yang kita anggap sebuah etika, dapat pula berakibat pada sesuatu yang
tidak menyenangkan dan menimbulkan suatu kesalahpahaman antar sesama.7
Sistem komunikasi, verbal maupun nonverbal, membedakan suatu
kelompok dari kelompok lainnya. Terdapat banyak sekali bahasa verbal diseluruh
dunia ini demikian pula bahasa nonverbal, meskipun bahasa tubuh (nonverbal)
sering dianggap bersifat universal namun perwujudannya sering berbeda secara
lokal.
Memilih kata dalam berkomunikasi juga perlu di perhatikan agar sebuah
kegiatan atau tindakan membentuk dan menyelaraskan kata dalam kalimat dengan
tujuan untuk mendapatkan kata yang paling tepat dan sanggup mengungkapkan
konsep atau gagasan yang dimaksudkan oleh pembicara ataupun penulis. Akibat
kesalahan dalam memilih kata, informasi yang ingin disampaikan pembicara bisa
kurang efektif, bahkan bisa tidak jelas.

PEMBAHASAN

A. Sistematika Etika
Dalam kehidupan bermasyarakat terdapat suatu sistem yang mengatur tata
cara manusia bergaul. Tata cara pergaulan untuk saling menghormati biasa kita
kenal dengan sebutan sopan santun. Tata cara pergaulan bertujuan untuk menjaga
kepentingan komunikator dengan komunikan agar merasa senang, tentram,
terlindungi tanpa ada pihak lain yang dirugikan kepentingannya dan perbuatan
yang dilakukan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku serta tidak
bertentangan dengan hak asasi.
Secara umum tata cara pergaulan, aturan perilaku, adat kebiasaan manusia
dalam bermasyarakat dan menentukan nilai baik dan nilai tidak baik disebut
sebagai etika.8

7
Kismiyati. 2010. Filsafat dan Etika. Bandung : Widya Padjajaran.
8
Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi. Indonesia : Kanisius.
Sistematika Etika
Secara umum, menurut A. Sonny Kreaf (1993: 41)9, etika dapat dibagi menjadi
dua bagian:
1. Etika Umum yang membahas kondisi dasar bagaimana manusia bertindak etis,
dalam mengambil keputusan etis, dan teori etika serta mengacu pada prinsip
moral dasar yang menjadi pegangan dalam bertindak dan tolok ukur atau
pedoman untuk menilai baik atau buruknya suatu tindakan yang dilakukan oleh
seseorang atau kelompok orang.
2. Etika Khusus yaitu penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang khusus,
yaitu bagaimana mengambil keputusan dan bertindak dalam kehidupan sehari-
hari pada proses dan fungsional dari suatu organisasi. Etika khusus dibagi
menjadi dua bagian yaitu, Etika individual menyangkut kewajiban dan perilaku
manusia terhadap dirinya sendiri. Etika sosial berbicara mengenai kewajiban,
sikap, dan perilaku sebagai anggota masyarakat yang berkaitan dengan nilai-
nilai sopan santun, tata krama dan saling menghormati.
Etika berasal dari kata ethikus dan dalam bahasa Yunani disebut ethicos yang
berarti kebiasaan norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran baik
dan buruk tingkah laku manusia.10 Jadi, etika komunikasi adalah norma, nilai, atau
ukuran tingkah laku baik dalam kegiatan komunikasi di suatu masyarakat. 11
Dari definisi etika diatas, dapat diketahui bahwa “etika” berhubungan dengan
empat hal sebagai berikut:
1. Dilihat dari segi objek pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan
yang dilakukan oleh manusia.
2. Dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat.
Sebagai hasil pemikiran, maka etika tidak bersifat mutlak, absolute dan tidak
pula universal. Ia terbatas, dapat berubah, memiliki kekurangan, kelebihan dan
sebagainya. Selain itu, etika juga memanfaatkan berbagai ilmu yang
memebahas perilaku manusia seperti ilmu antropologi, psikologi, sosiologi,
ilmu politik, ilmu ekonomi dan sebagainya.
3. Dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap
terhadap sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah

9
Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi. Indonesia : Kanisius.
10
DIKNAS. 2005. KBBI edisi ketiga Jakarta : balai Pustaka.
11 Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi. Indonesia : Kanisius.
perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina dan
sebagainya. Dengan demikian etika lebih berperan sebagai konseptor terhadap
sejumlah perilaku yang dilaksanakan oleh manusia. Etika lebih mengacu
kepada pengkajian sistem nilai-nilai yang ada.
4. Dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relative yakni dapat berubah-ubah
sesuai dengan tuntutan zaman.12

Johannesen (1996) mengemukakan, dalam perspektif politik diperlukan empat


pedoman etika, yaitu: (1) menumbuhkan kebiasaan bersikap adil dengan memilih
dan menampilkan fakta dan pendapat secara terbuka, (2) mengutamakan motivasi
umum dari pada motivasi pribadi, dan (3) menanamkan kebiasaan menghormati
perbedaan pendapat.13
Selanjutnya, Nilsen (dalam Johannesen, 1996), mengatakan bahwa untuk
mencapai etika komunikasi, perlu diperhatikan sifat-sifat berikut: (1)
penghormatan terhadap seseorang sebagai person tanpa memandang umur, status
atau hubungannya dengan si pembicara, (2) penghormatan terhadap ide, perasaan,
maksud dan integritas orang lain, (3) sikap suka memperbolehkan, keobjektifan,
dan keterbukaan pikiran yang mendorong kebebasan berekspresi, (4)
penghormatan terhadap bukti dan pertimbangan yang rasional terhadap berbagai
alternatif, dan (5) terlebih dahulu mendengarkan dengan cermat dan hati-hati
sebelum menyatakan persetujuan atau ketidaksetujuan. 14

B. Sistem Komunikasi
Sistem komunikasi, verbal maupun nonverbal, membedakan suatu kelompok
dari kelompok lainnya. Terdapat banyak sekali bahasa verbal diseluruh dunia ini
demikian pula bahasa nonverbal, meskipun bahasa tubuh (nonverbal) sering
dianggap bersifat universal namun perwujudannya sering berbeda secara lokal. 15

12
Franz magnis Suseno. 1993. Etika dasar. Jakarta : Pustaka Filsafat.
13
Nugroho, Y. (2008). Adopting Technology, Transforming Society: The Internet and the
Reshaping of Civil Society Activism in Indonesia. International Journal of Emerging Technologies
and Society Vol.6 No.22.
14
Ibid.

15
Nurani Soyomukti. 2010. Pengantar Ilmu Komunikasi. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media.
Komunikasi merupakan keterampilan paling penting dalam hidup kita.
Seperti halnya bernafas, banyak orang beranggapan bahwa Komunikasi sebagai
sesuatu yang otomatis terjadi, sehingga orang tidak tertantang untuk belajar
berkomunikasi secara efektif dan beretika. Hal yang paling penting dalam
komunikasi, bukan sekadar pada apa yang dikatakan, tetapi pada karakter kita dan
bagaimana kita mentransfer pesan serta menerima pesan. Komunikasi harus
dibangun dari diri kita yang paling dalam sebagai fondasi integritas yang kuat.
Komunikasi merupakan suatu hal yang amat penting dalam kehidupan
manusia. Kita tidak bisa, tidak berkomunikasi. Kita belajar menjadi manusia
melalui komunikasi. Komunikasi sudah merupakan kebutuhan manusia, bahkan
kesuksesan seseorang sekarang ini, lebih banyak ditentukan pada kemampuan dia
berkomunikasi.

Komunikasi melibatkan interaksi antar anggota masyarakat. Dalam interaksi


diperlukan norma-norma atau aturan-aturan yang berfungsi untuk pengendalian
yang tujuannya adalah untuk tercapainya Ketertiban dalam masyarakat. Salah
satu, upaya mewujudkan tertibnya masyarakat adalah adanya etika komunikasi
yakni kajian tentang baik buruknya suatu tindakan komunikasi yang dilakukan
manusia, suatu pengetahuan rasional yang mengajak manusia agar dapat
berkomunikasi dengan baik.

Komunikasi menandakan pula adanya interaksi antar -anggota masyarakat,


karena komunikasi selalu melibatkan setidaknya dua orang. Dalam interaksi selalu
diperlukan norma-norma atau aturan-aturan yang berfungsi untuk pengendalian
atau social control. tujuannya untuk menciptakan masyarakat yang tertib. Salah
satu bentuk untuk mewujudkan tertibnya masyarakat adalah adanya etika, yakni
filsafat yang mengkaji baik-buruknya suatu tindakan yang dilakukan manusia.16

C. Media Sosial (Instagram)

Media sosial adalah sebuah media online, dengan para penggunanya bisa
dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi, meliputi blog, jejaring

16
Kismiyati. 2010. Filsafat dan Etika. Bandung : Widya Padjajaran.
sosial, wiki, forum dan dunia virtual. Blog, jejaring sosial dan wiki merupakan
media sosial yang paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia. 17

Anderas Kaplan dan Michael Haen lein mendefinisikan media sosial sebagai
kelompok aplikasi berbasis internet yang membangun di atas dasar ideologi dan
teknologi Web 2.0, dan yang memungkinkan penciptaan dan penukaran “user-
generated content.18

Kaplan dan Haenlein membagi media sosial menjadi enam bagian, yaitu
Proyek Kolaborasi (wiki, bookmark), Blog dan Mikroblog (twitter), Konten
(youtube), Situs jejaring sosial (facebook dan instagram), dan Virtual Game
Works (3D). 19

Berbagai media sosial yang populer di masyarakat Indonesia antara lain: path,
facebook, Instagram dan twitter. Media sosial telah menjadi trend tersendiri
dengan pengguna di Indonesia mencapai lebih dari 82 juta akun Facebook, 22 jt
pengguna aktif Instagram, dan lebih dari 6,2 juta akun Twitter. Data tersebut
merupakan survey JakPat September 2015. Berdasar perkembangannya,
Indonesia berada di urutan ke dua dunia setelah Amerika Serikat sebagai negara
dengan penduduknya sebagai pengguna media sosial.

Di Indonesia, Instgram lebih populer dibandingkan Twitter. Pengguna


Instagram di Indonesia menggunakan layanan ini untuk mencari informasi online
shop dan menggugah foto liburan dan wisata. Selain itu, dapat mengetahui berita
terbaru dari artis kesukaan. Hal ini tak ada yang bisa menampik Instagram sebagai
latform media sosial yang bakal semakin berpengaruh di masa mendatang.

Instagram adalah sebuh desain yang memiliki fungsi komunikasi praktis dan
menjadi sebuah media komunikasi praktis dan menjadi sebuah media komunikasi

17 17
Dedy Mulyana. 2014. Perkembangan Teknologi Informasi:New Media, Jurnal Umum Unpas:
Terbitan Mei 2014

18
Kaplan, Andreas M; Michael Haenlein.2010. “Users of the world, unite! The challenges and
opportunities of social media” . Business Horizons 53 : 59:68.

19
Ibid
melalu ini signifikasi foto. Instagram merupakan situs yang digunakan untuk
menampilan berupa teks dan foto, yang seiring zaman digunakan ssebagai
penyampai pesan oleh para pembaca.20

Hal di atas diperkuat oleh Linaschke yang mengatakan Instgram adalah


program sharing foto ke dalam jejaring sosial yang memfasilitasi penggunanya
untuk memfoto dan mengaplikasikan filter digital bertemakan faux vintage ke
dalam fotonya untuk kemudiandishare ke pengguna lain yang saling terhubung di
dalam jejaring sosial.21

Berikut beberapa contoh Instagram;

Gambar di atas memberikan informasi mengenai tausiyah kepada sesama.

20
Abu Bakar Fahmi. 2011. Mencerna Situs Jejaring Sosial. Jakarta : Elex Media Komputindo.
2121
Linaschke, J. 2011. Getting teh most from Instagram. Berkeley: Peachpit Press.
Gambar di atas memberikan informasi barang yang dijual di Thama Shop.

D. Etika Komunikasi dalam menggunakan Media Sosial (Instagram)

Komunikasi di media sosial sering dilakukan dengan menggunakan bahasa


tidak baku. Salah satu penyebabnya yakni di dunia maya sering tidak jelas siapa
lawan komunikasi kita dan di mana posisinya walaupun banyak juga orang yang
sudah berinteraksi dan bertemu di dunia nyata, dan berlanjut komunikasi ke dunia
maya (media sosial).

Bahasa di media sosial bukanlah bahasa resmi sebagaimana menulis artikel


karya ilmiah, makalah, jurnal, skripsi dan tesis. Sangat sedikit dan hampir tidak
pernah ada pengguna media sosial menulis status sesuai dengan Ejaan Yang
Disempurnakan (EYD) padahal penulisan yang baku sangat penting dilakukan
karena terkait dengan etika dalam berkomunikasi sesama pengguna media sosial.
Media sosial tampil menjadi media baru yang melahirkan berbagai
konsekuensi kehidupan. Pada dasarnya, media sosial bukanlah media baru bagi
proses interaksi dan komunikasi dalam masyarakat. Yang membuat media sosial
seakan menjadi media baru yakni saat kita meninjau media sosial masa lalu dan
masa kini dari aspek orientasi penggunaan dan aspek kelas sosial penggunanya

Media sosial seakan menjadi tempat menumpahkan cerita segala aktivitas,


luapan emosi dalam bentuk tulisan atau foto yang tidak jarang mengesampingkan
etika yang ada. Media sosial tidak lagi menjadi media berbagi informasi tapi
hanya berbagi sensasi. Jika kemajuan teknologi tidak dibarengi dengan kemajuan
dalam berpikir, yang ada kemajuan teknologi tersebut berbanding terbalik dalam
hal pola berfikir.

Perkembangan teknologi telah membuat pergeseran pemikiran. Etika yang


dulu dianggap penting oleh bangsa Indonesia, seakan menjadi tidak penting lagi
karena adanya tuntutan zaman. Kemudahan dalam mengakses dan menggunakan
media sosial tanpa disadari telah menjebak kita dalam penurunan etika.

Dalam kehidupan bersosial di masyarakat, istilah etika dikaitkan dengan


moralitas seseorang. Orang yang tidak memiliki etika yang baik sering disebut
tidak bermoral karena tindakan dan perkataan yang diambil tidak melalui
pertimbangan baik dan buruk. karena menyangkut pertimbangan akan nilai-nilai
baik yang harus dilakukan dan nilai-nilai buruk yang harus dihindari. Tidak
adanya filter pertimbangan nilai baik dan buruk merupakan awal dari bencana
pemanfaatan media sosial.

Etika berkomunikasi dalam implementasinya antara lain dapat diketahui dari


komunikasi yang santun. Hal ini merupakan juga cerminan dari kesantunan
kepribadian kita. Komunikasi diibaratkan seperti urat nadi penghubung
Kehidupan, sebagai salah satu ekspresi dari karakter, sifat atau tabiat seseorang
untuk saling berinteraksi, mengidentifikasikan diri serta bekerja sama. Kita hanya
bisa saling mengerti dan memahami apa yang dipikirkan, dirasakan dan
dikehendaki orang melalui komunikasi yang diekspresikan dengan menggunakan
berbagai saluran, baik verbal maupun non-verbal. Pesan yang ingin disampaikan
melalui komunikasi, bisa berdampak positif bisa juga sebaliknya. Komunikasi
akan lebih bernilai positif, jika para peserta komunikasi mengetahui dan
menguasai teknik berkomunikasi yang baik, dan beretika.
Etika berkomunikasi, tidak hanya berkaitan dengan tutur kata yang baik,
tetapi juga harus berangkat dari niat tulus yang diekspresikan dari ketenangan,
kesabaran dan empati kita dalam berkomunikasi. Bentuk komunikasi yang
demikian akan menghasilkan komunikasi dua arah yang bercirikan penghargaan,
perhatian dan dukungan secara timbal balik dari pihak-pihak yang erkomunikasi.
Komunikasi yang beretika, kini menjadi persoalan penting dalam penyampaian
aspirasi. Dalam keseharian eksistensi penyampaian aspirasi masih sering dijumpai
sejumlah hal yang mencemaskan dari perilaku komunikasi yang kurang santun.
Etika komunikasi sering terpinggirkan, karena etika Berkomunikasi belum
membudaya sebagai urat nadi kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Adapun Etika komunikasi yang baik dalam media sosial adalah jangan
menggunakan kata kasar, provokatif, porno ataupun SARA; jangan memposting
artikel atau status yang bohong; jangan mencopy paste artikel atau gambar yang
mempunyai hak cipta, serta memberikan komentar yang relevan.22

22
Mursito. (2006). Memahami Institusi Media (Sebuah Pengantar).Surakarta: Lindu Pustaka.
Gambar Instagram yang diupload di atas memberikan hal negatif bagi para
pembaca. Gambar yang kurang sopan dikirim ke publik, menimbulkan komentar
negatif terhadap acara yang seharusnya sakral dan berakhir kebahagian.
Sebaiknya gambar tersebut tidak dijadikan konsumsi publik dan tetap menjadi
koleksi pribadi sebagai kenang-kenangan.
Selain itu, adapun etika komunikasi dalam Instagram adalah jangan membanjiri
Photo Feed, Jangan sering narsis, dan Make conversation (Memberi komentar dan
membalas komentar dengan baik). 23

Gambar komentar negatif pembaca

23
Ibid
Gambar komentar positif pembaca
SIMPULAN

Berdasarkan pemaparan di atas, adapun kesimpulan yang ada bahwasanya etika


komunikasi dalam menggunakan media sosial, khususnya Instagram sangatlah
diperlukan. Hal ini dapat meminimalkan sesuatu negatif dari tanggapan dan cara
pandang seseorang pembaca atau masyaratat. Selain itu, setiap gambar atau foto
yang diupload haruslah dipilih yang dapat dipublikasikan dan yang menjadi
koleksi pribadi. Etika komunikasi dalam media sosial memang sangat diperlukan,
baik tuk mengupload gambar, menuliskan status ataupun memberikan komentar.
Hal yang anda lakukan di ranah publik itu bersifat sosial. Semua khalayak
masyarakat terbuka dan berhak memberi komentar ataupun hal positif atau negatif
lain tanpa ada batasnya. Jadi sebelum anda mengupload, menulis atau memberi
komentar, baiknya memeriksa kembali. Sudahkan anda memenuhi persyaratan
dalam etika komunikasi? Sudahkah anda menggunakan etika komunikasi dalam
media sosial, khususnya Instagram? Terakhir siapkah anda mendapat tanggapan
positif dan negatif dari apa yang anda lakukan di media sosial, khususnya
Instagram? Jika anda sudah memahami, silahkan anda lakukan sesuai standar
etika komunikasi dalam media sosial, khususnya Instagram.
DAFTAR PUSTAKA

Abu Bakar Fahmi. 2011. Mencerna Situs Jejaring Sosial. Jakarta : Elex Media
Komputindo.
Dedy Mulyana. 2014. Perkembangan Teknologi Informasi:New Media, Jurnal
Umum Unpas: Terbitan Mei 2014.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2005. KBBI edisi ketiga Jakarta : Balai
Pustaka.
Effendi, M. (2010). Peranan Internet Sebagai Media Komunikasi. Jurnal Dakwah
dan Komunikasi Vol. 4 No. 1.
Franz magnis Suseno. 1993. Etika dasar. Jakarta : Pustaka Filsafat.
Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi. Indonesia : Kanisius.
Heni, A. (2008). Langkah Mudah Mengembangkan dan Memanfaatkan Weblog.
Yogyakarta: ANDI.
Hermawan, C. W. (2009). Cara Mudah Membuat Komunitas Online dengan
PHPBB. Yogyakarta: ANDI.
Kaplan, Andreas M; Michael Haenlein.2010. “Users of the world, unite! The
challenges and opportunities of social media” . Business Horizons 53 : 59:68.

K. Bertens. Etika. 2006. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.


Kismiyati. 2010. Filsafat dan Etika. Bandung : Widya Padjajaran.
Kurnia, S.S. (2005). Jurnalisme Kontemporer. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Madcoms. (2010). Facebook, Twitter, dan Plurk dalam Satu
Genggaman.Yogyakarta: ANDI.
Mursito. (2006). Memahami Institusi Media (Sebuah Pengantar).Surakarta: Lindu
Pustaka.
Nugroho, Y. (2008). Adopting Technology, Transforming Society: The Internet
and the Reshaping of Civil Society Activism in Indonesia. International Journal of
Emerging Technologies and Society Vol.6 No.22.
Nugroho, Y. (2010). Citizien in @ction: Collaboration, participatory
democracyand freedom of information Mapping contemporary civic activism and
the use of new social media in Indonesia. Inggris: University of manchester’s
Institute of Innovation Research & HIVOS Regional Office Southeast Asia.
Nurani Soyomukti. 2010. Pengantar Ilmu Komunikasi. Yogyakarta : Ar-Ruzz
Media.
Nurudin. 2012. Media Sosial Baru. Yogyakarta : DPPM DIKTI.
Nurudin. (2007). Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Pawito. 2007).Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKiS.
Ramadhansyah,M.C.(2012).PertumbuhanSosialMedia.Dikutipdari
situshttp://www.sosialmedia.biz/2012/11/pertumbuhan-sosial-media.html, 5
Desember 2012.
Rulli Nasrullah. 2015. Teori Media Sosial (Perspektif Komunikasi, Kultur, dan
Sosiso-Teknologi) Jogjakarta : Simbiosa Rekatama Media.
Wenger, E.(et.al.)(2002). ultivating communities of practice: a guide to managing
knowledge. Boston: Harvard Business School Press.
Zarella, D. (2010). The Social Media Marketing Book. Jakarta: PT Serambi Ilmu
Semesta Anggota IKAPI
Biografi Pemakalah

Nama dan gelar : Rerin Maulinda, S.Pd, M.Pd


Tempat dan tanggal lahir : Jakarta, 30 Januari 1980
Riwayat Pendidikan : MI Madrasah Pembangunan IAIN Jakarta
SMP Muhammadiyah 22 Pamulang
SMUN 1 Ciputat
S1 FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia Uhamka
S2 FKIP Bahasa Indonesia Uhamka
Nomor HP 08121810935
Alamat email : dosen00445@unpam.ac.id
Karya-karya : Analisis Pola Pengembangan Paragraf Pada Tajuk
Rencana Koran Tempo ( SKRIPSI)
Pengaruh Teknik Pembelajaran dan Minat Baca
Terhadap Kemampuan Pemahaman Membaca
(Eksperimen Siswa Kelas V SDIT Al Hamidiyah)
(THESIS)

Nama dan gelar : Suyatno, S.Pd, M.Pd


Tempat dan tanggal lahir : Pacitan, 10 Mei 1969
Riwayat Pendidikan :-
Nomor HP 081311121227
Alamat email : dosen00445@unpam.ac.id
Karya-karya :-
HUKUM PROGRESIF DAN
PERKEMBANGAN TEKNOLOGI KECERDASAN BUATAN
Qur’ani Dewi Kusumawardani
Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia
email: qura002@kominfo.go.id

disampaikan 11/5/19 – di-review 29/5/19 – diterima 25/6/19


DOI: 10.25123/vej.3270

Abstract
Information technology in the era of Industrial Revolution 4.0 will become more sophisticated and
increasingly influence the relationship between law and society. Law, in interaction with artificial
intelligence and algorithms, will be expected in the future to provide quick and just answers to human
problems. It is also predicted that in settling disputes, artificial intelligence and algorithm will replace
the role and function of lawyers and judges. This prediction of how artificial intelligence and algorithm
will replace law’s societal function will be analyzed using the progressive law theory which perceived
law to be subordinate to human interest.

Keywords:
Artificial intelligence, algorithm, law’s function, progressive law theory

Abstrak
Teknologi informasi di era revolusi industri 4.0 akan semakin canggih dan mengubah pola interaksi
hukum dengan masyarakat. Hukum, dalam interaksi dengan kecerdasan buatan (artificial intelligence)
dan penggunaan algoritma, diharapkan mampu memberika jawaban lebih baik pada beragam situasi
dan permasalahan manusia yang muncul dari waktu ke waktu. Bahkan teknologi ini diprediksi akan
menggantikan peran pengacara serta hakim dalam memutus perkara di masa depan. Prediksi di atas
akan dianalisis dari sudut pandang teori hukum progresif yang memandang hukum pada prinsipnya
harus dikembangkan untuk manusia.

Kata kunci:
Kecerdasan buatan, algoritma, peran hukum, teori hukum progresif

Pendahuluan
Richard Susskind menyebutkan terdapat 3 (tiga) faktor pendorong perubahan
dalam profesi hukum yaitu tantangan, liberalisasi, dan teknologi informasi. Pendorong
pertama adalah tantangan yaitu kemauan klien untuk mendapatkan lebih banyak
layanan dengan harga yang lebih ekonomis, serta peluang dari firma hukum dan
pengacara untuk dapat menyediakan layanan tersebut.
Pendorong kedua adalah liberalisasi yang berarti bahwa meskipun dalam
sejarah panjang diketahui bahwa hanya pengacara berkualifikasi yang dapat

VeJ Volume 5 • Nomor 1 • 166


menyediakan layanan hukum, namun saat ini telah terdapat perubahan dari
pendekatan standar selama ini bagaimana sebuah layanan hukum dapat diberikan
karena garis batas antara profesi hukum dan profesi non-hukum menjadi sangat
kabur, hal ini berakibat pada konsultasi hukum yang dapat diberikan pula oleh para
professional di bidang hukum, tetapi tidak sepenuhnya berprofesi sebagai pengacara.
Pendorong ketiga adalah teknologi informasi. Teknologi ini menciptakan
kemungkinan-kemungkinan baru untuk menyediakan lebih banyak layanan hukum
dengan biaya lebih sedikit dan efisiensi, 1 terutama setelah muncul start up atau legal
tech yang mampu memberikan konsultasi hukum secara lengkap dan tanpa biaya.
Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi perkembangan hukum adalah
politik, globalisasi, ekonomi serta faktor sejarah. Namun dari semua faktor yang telah
disebutkan sebelumnya, penantang terkejam terhadap perubahan profesi- profesi
adalah teknologi. Hal ini dikarenakan hanya melalui penemuan 1 (satu) alat baru atau
mekanisme kecil, ribuan orang dapat menjadi pengangguran. Terlihat pula pada sektor
hukum yang mulai terdisrupsi oleh teknologi, sebagai contoh di seluruh sistem
pengadilan Amerika Serikat, dalam 1 (satu) tahun menerima klaim gugatan 3 (tiga) kali
lebih sedikit dibandingkan dengan sistem penyelesaian sengketa melalui online eBay.2
Konvergensi teknologi informasi ke dalam dunia perindustrian telah
melahirkan Revolusi Industri 4.0. Konvergensi tersebut dimotori oleh beberapa
perkembangan teknologi seperti Internet of Things (IoT), block chain, artificial
inteligence (AI) atau kecerdasan buatan, big data, cloud computing, 3D printing. 2
(dua) teknologi teratas yang disebut mempengaruhi revolusi industri keempat adalah
block chain dan kecerdasan buatan. Kecerdasan buatan sendiri adalah aktivitas yang
dikhususkan untuk membuat mesin cerdas, dan kecerdasan itu

1 Susskind, R.E, Tomorrow’s lawyers: An introduction to your future, Oxford University Press, United
Kingdom, 2013.
2 Susskind, R. and Susskind, D, the future of the professions: How technology will transform the work
of human experts, Oxford University Press, 2015, hlm. 1-3.

VeJ Volume 5 • Nomor 1 • 167


memungkinkan suatu entitas berfungsi dengan tepat serta memiliki pandangan jauh
ke depan berdasar pada lingkungannya.3
Kecerdasan buatan semakin banyak diterapkan di bidang farmasi, alat
kesehatan, dan perawatan kesehatan untuk membantu berbagai tahap penelitian dan
pengembangan, serta perawatan pasien. Perangkat lunak kecerdasan buatan
menggabungkan pembelajaran mesin (machine learning) dan kemampuan untuk
belajar dari data (autonomy learning) tanpa pemrograman berbasis aturan.4
Kecerdasan buatan dapat mencakup pembelajaran mesin, pemrosesan bahasa alami,
sistem pakar, visi, pidato, perencanaan, dan robot. 5
Bidang hukum dan kecerdasan buatan telah memiliki hubungan sejak lama
yaitu sekitar 30 (tiga puluh) tahun, yang berakibat pada kecerdasan buatan ternyata
bukanlah hal baru bagi hukum. Namun, penggunaan teknologi kecerdasan buatan
dalam sistem pemerintahan, industri hukum, dan profesional hukum di tahun-tahun
sebelumnya berjalan sangat lambat. Pada saat hadirnya revolusi industri 4.0, maka
minat terhadap kecerdasan buatan meningkat dan berkembang secara dramatis.
Peningkatan ini terjadi karena dibutuhkan transformasi pada layanan hukum, dan
ketersediaan data hukum.
Dampak dari teknologi kecerdasan buatan juga terlihat pada mata kuliah di
sekolah-sekolah hukum, di mana terdapat penekanan baru terhadap pembelajaran
dengan menggunakan alat komputerisasi, dan semakin banyak startup legaltech,
asosiasi legaltech, serta konferensi legaltech yang diselenggarakan. Selain itu,
beberapa kampus hukum di Amerika dan Eropa telah membuat pusat penelitian dan
pelatihan terkait “hukum dan teknologi kecerdasan

3 NilsJohn Nilsson, The Quest for Artificial Intelligence: A History of Ideas and Achievements , Cambridge
University Press, 2010, tanpa halaman.
4 Lincoln Tsang, Daniel A. Kracov, Jacqueline Mulryne, Louise Strom, Nancy Perkins, Richard Dickinson,

Victoria M. Wallace, and Bethan Jones. The Impact of Artificial Intelligence on Medical Innovation in
the European Union and United States. August 2017 issue of the Intellectual Property & Technology
Law Journal
5 Michael Mills, Artificial Intelligence in Law: The State of Play 2016, Legal Executive Institute,

http://legalexecutiveinstitute.com/artificial-intelligence-in-law-the-state-of-play2016-part-1.
VeJ Volume 5 • Nomor 1 • 168
buatan”, telah mulai dikembangkan pula pengacara robot (robolawyer) dan robot
yang mampu menghasilkan putusan hukum (robojudge).6
Robot disebut mampu memberikan dampak positif dalam beberapa aspek
yang berkaitan dengan proses sistem peradilan, karena otomatisasi dianggap mampu
mengungguli manusia dan meningkatkan produktivitas. Disisi lain, robot pun mampu
memberikan penilaian secara diam-diam.7 Serangkaian ide dasar terkait kecerdasan
buatan adalah titik awal yang diperlukan untuk melihat dampak teknologi tersebut di
arena hukum.8
Kecerdasan buatan tidak hanya akan berpengaruh pada adanya revolusi,
namun juga memiliki efek disrupsi hampir di setiap industri. Hal ini tentunya selain
berdampak pada produk dan layanan, juga akan berpengaruh pada kehidupan sehari-
hari warga di seluruh dunia. Di satu sisi, kecerdasan buatan akan membawa peluang
dan tantangan social ekonomi yang perlu diamati sejak dini. Sementara itu, disisi lain
yurisdiksi global di seluruh dunia saat ini masih memiliki perbedaan yang signifikan
dalam melakukan pendekatan regulasi terhadap teknologi kecerdasan buatan ini.9
Aplikasi komputer untuk penyelesaian masalah hukum telah berkembang dari
aplikasi editor teks biasa ke penelitian kasus hukum secara otomatis. 10

6 Adam Wyner, Artificial Intelligence and the Law, IJCAI-ECAI 2018 Tutorial, Swansea University School of
Law and Department of Computer Science, http://www.ijcai-18.org/wp-
content/uploads/2018/05/T04-AI-and-the-Law-IJCAI-ECAI-18.pdf.
7 Manyika, J, Chui, M, Miremadi, M, Bughin, J, George, K, Willmott, P. and Dewhurst, M, A future that

works: automation, employment, and productivity, McKinsey Global Institute,


http://www.mckinsey.com/global-themes/digital-disruption/ harnessing-automation-for-a- future-
that-works (terakhir diakses 21 Februari, 2019]
8 Frank Levy and Richard J. Murnane, The New Division of Labor, How Computers Are Creating the New

Job Market, Princeton University Press, 2005, tanpa halaman. Dapat dilihat pada Tommi Jaakkola
and Regina Barzilay, Introduction to Machine Learning, MIT, 2015, tanpa halaman.
9 Graham Greenleaf, Legal Expert Systems: Robot Lawyers? an Introduction to Knowledge-Based

Applications to Law, http://www2.austlii.edu.au/cal/papers/robots89/ (terakhir diakses 26 Maret,


2019), atau dapat dilihat pada Robert Moles and Bib Sangha, Logic Programming (an Assessment of
Its Potential for Artificial Intelligence Applications in
Law,http://web.archive.org/web/20020401072624/law.uniserve.edu.au/law/pub/compute/
logic/(terakhir diakses 26 Februari, 2019).
10 Russell Allen and Graham Greenleaf, Introduction to Inferencing, UNSW Computerisation of Law,

http://aide.austlii.edu.au/documentation/inferencing.introduction.

VeJ Volume 5 • Nomor 1 • 169


Bahkan saat ini komputer digunakan sebagai agen-agen cerdas11 yang bertugas untuk
memecahkan masalah hukum tertentu.12
Upaya-upaya memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan telah dilakukan
dengan menggunakan program komputer sebagai mesin pencari otomatis
mengumpulkan data dari database hukum.13 Kecerdasan buatan juga dapat digunakan
untuk membantu pengacara untuk memetakan masalah hukum dan mencari
argumentasi serta membantu membuat nota pembelaan terhadap jaksa. Teknologi ini
mampu membantu pengacara dalam pencarian database kasus secara otomatis
dengan kekuatan komputerisasi mesin kontemporer.14
Salah satu contoh teknologi komputerisasi mesin kontemporer terkait
kecerdasan buatan adalah robot. Robot diharapkan akan terus berkembang dan
belajar dengan cara mengamati dan berinteraksi dengan pola ekosistem kehidupan
manusia. Di sini, perilaku kekerasan pun dapat dipelajari oleh robot dan robot dapat
memasukkan langsung memasukkan perilaku tersebut ke dalam sistemnya sebagai
sebuah norma, dan bahkan ketika perbuatan melawan hukum sudah masuk ke dalam
sistem robot, robot itu sendiri dapat menjadi pelaku.
Sebagai contoh, Microsoft pada tahun 2016 membuat “Tay” (AI chatter bot)
yang dimodelkan untuk berbicara seperti seorang gadis remaja. Robot ini mampu
menggunakan bahasa gaul milenial, dengan tujuan untuk membantu meningkatkan
layanan pelanggan. Tay seharusnya menyesuaikan diri melalui pembelajaran setelah
berinteraksi dengan manusia, namun kemampuan robot yang menyimpan semua
informasi ke dalam sistem dan tidak mampu memilah- milah informasi pun membawa
bencana yaitu ketika Tay mulai memposting tweet

11 Stuart Russell and Peter Norvig, Artificial Intelligence: A Modern Approach, Prentice Hall, 1995, tanpa
halaman.
12 Muhammed A.R. Pasha and Paul Soper, Combining the Strengths of Information Management

Technologies to Meet the Needs of Legal Professionals, Journal Information, Law & Technology,
http://elj.warwick.ac.uk/jilt/itpract/2pasha.
13 Sandip Debnath et al., Law BOT: A Multiagent Assistant for Legal Research, 4 IEEE Journal Internet

Computing Online, No. 6, Nov.-Dec. 2000, at 32-37,


http://csdl.computer.org/comp/mags/ic/2000/06/w6032abs.htm.
14 W.H. Freeman and Co, Discussing the use of computers to automate judicial decision making,

http://www.ipma-wa.com/news/1977/197707.htm.
VeJ Volume 5 • Nomor 1 • 170
yang bersifat buruk dan ofensif, sehingga sistem Tay terpaksa dimatikan hanya
beberapa jam setelah peluncurannya untuk menghindari dampak negatif.15
Perkembangan teknologi kecerdasan buatan yang semakin canggih membuat
timbulnya kegelisahan-kegelisahan pada ranah hukum di seluruh dunia sehingga
diperlukan kajian hukum terkait dengan teknologi ini. Salah satu pemikiran yang
penulis anggap menarik dan penulis ingin gunakan sebagai pisau analisis untuk
mengkaji perkembangan teknologi kecerdasan buatan adalah gagasan hukum
progresif atau teori hukum progresif dari Satjipto Rahardjo.
Teori ini dapat dijadikan pisau analisis karena fokus utama dari perspektif
hukum ini adalah pada manusia (antroposentris), bukan undang-undang, benda
ataupun institusi. Fenomenologi dari hukum progresif yaitu sebuah pola pikir yang tak
semata-mata bertumpu pada objektivitas semata atau tidak hanya memandang dari
suatu gejala yang tampak, akan tetapi berusaha menggali makna di belakangnya. Oleh
karena itu penulis ingin melihat bagaimana pandangan hukum progresif terhadap
perkembangan teknologi kecerdasan buatan?

Pembahasan
Teknologi Kecerdasan Buatan
Pada tahun 1936, matematikawan Inggris Alan Turing mengusulkan konsep
mesin Turing yaitu sebuah model perhitungan yang memicu pengembangan
informatika dan komputer. Pada tahun 1950, Turing menerbitkan sebuah tulisan yaitu
berjudul mesin komputer dan kecerdasan. Hal ini pun disebut sebagai asal muasal dari
pemikiran kecerdasan buatan modern yaitu kapasitas mesin yang dapat menampilkan
kapasitas seperti manusia seperti pola pikir berisi penalaran, pembelajaran,
perencanaan dan kreativitas. Adapun yang mencetuskan nama kecerdasan buatan
pertama kali adalah John McCarthy, kemudian ia memulai penelitian tentang
kecerdasan buatan pada tahun 1955, ia pun mengasumsikan bahwa setiap aspek
pembelajaran dan domain intelejen dapat

15 Elle Hunt, ‘Tay, Microsoft’s AI chatbot, Get a Crash Course in Racism from Twitter’,
https://www.theguardian.com/technology/2016/mar/24/tay-microsoftsai-chatbot-gets-a- crash-
course-in-racism-from-twitter.
VeJ Volume 5 • Nomor 1 • 171
dideskripsikan dengan sangat tepat, kemudian dapat disimulasikan oleh sebuah
mesin.16
Ada beberapa tingkat evolusi dari teknologi kecerdasan buatan, yaitu pertama,
yang disebut dengan Artificial Narrow Intelligence (ANI) atau AI Lemah, sebagai
contoh AI Lemah ini dapat dilihat pada kecerdasan buatan permainan catur atau pada
AI Lemah pengendara mobil. Kedua, Artificial General Intelligence (AGI) atau AI Kuat
bisa disebut juga dengan AI setingkat manusia yaitu mahluk hidup yang memiliki
kemampuan setara dengan yang dimiliki manusia; karena itu mesin tersebut dapat
belajar dan tampil sesuai dengan tata cara manusia sehingga tidak dapat dibedakan
dari manusia. Ketiga, Artificial Super Intelligence (ASI) yaitu teknologi kecerdasan
buatan yang sengaja dibuat untuk melampaui kemampuan manusia. ASI dapat
didefinisikan sebagai kecerdasan apa pun yang melebihi kinerja kognitif manusia dan
terjadi pada hampir semua bidang minat.17
Teknologi ANI sudah memperlihatkan secara jelas, misalnya pada mobil self-
driving atau pada teknologi interaksi suara contohnya adalah Aplikasi Siri atau
Cortana, Amazon dan Facebook, pada sisi terjemahan otomatis maka ANI terdapat
pada google translate, Watson, IBM dll. Pada saat ini, kecerdasan buatan masih dalam
tahapan ANI, sedangkan AGI dan ASI masih dikategorikan sebagai teknologi masa
depan. Namun masa depan ini dapat dikategorikan bukanlah proses yang
membutuhkan waktu lama untuk kecerdasan buatan itu hadir. Kurzweil 18
memperkirakan bahwa AGI dapat dicapai pada tahun 2029, sedangkan ASI pada tahun
2045 yang kemudian akan diikuti oleh transformasi radikal pemikiran pada masyarakat
dan sektor ekonomi, meskipun tentunya ada pula yang masih berpikir skeptis tentang
hal ini19.

16 Ryan Riefri, Alan Turing, Pioner Awal Terciptanya Komputer Digital,


https://www.codepolitan.com/alan-turing-pioner-awal-terciptanya-komputer-digital-
58c686f4cdcef atau dapat diakses pada www.spiegel.de/netzwelt/web/john-mccarthy-der-vater-
der-rechner-cloud-ist-tot-a-793795.html (terakhir diakses 14 Februari 2019).
17 Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies, 1st edition, Oxford University Press,
United Kingdom, 2014, tanpa halaman.
18
Kurzweil, R., The Singularity Is Near: When Humans Transcend Biology, Penguin, 2006, tanpa
halaman.
19 Spyros Makridakis, ‘The forthcoming artificial intelligence (AI) revolution: Its impact on society and
firms’, Futures, 2017, tanpa halaman.
VeJ Volume 5 • Nomor 1 • 172
Riset PwC menempatkan kecerdasan buatan sebagai “game changer”
karena potensi nilai ekonomi yang akan diberikan kepada ekonomi global mencapai
$15,7 triliun di tahun 2030 mendatang. Angka tersebut dihitung berdasarkan analisis
manfaat yang didapatkan dari teknologi kecerdasan buatan. 20 Selain itu, berdasar
penelitian dari McKinsey Global Institute yang dikeluarkan pada Singapore Summit
2017 diketahui bahwa kecerdasan buatan di Asia Tenggara masih berada pada
tahapan awal. Salah satu sektor yang terpantau paling proaktif untuk transformasi
digital dengan menggunakan teknologi kecerdasan buatan adalah sektor kesehatan
(healthcare) dan sektor keuangan (financial services), walaupun jika dihitung-hitung
kembali maka secara keseluruhan dapat diketahui bahwa proyeksi terbesar berada di
sektor manufaktur, yaitu mencapai $311 miliar. 21 Berikut ini adalah contoh
penggunaan teknologi kecerdasan buatan dalam jasa bantuan hukum:22

Contoh Penggunaan Teknologi Kecerdasan Buatan


Tahun Firma Hukum Penyedia Penggunaan
teknologi AI
Agustus, 2015 Dentons IBM/ROSS Dentons bermitra dengan IBM di IBM Cloud.
Intelligence Dentons ' NextLaw Labs bermitra dengan Ross
Intelligence untuk mengembangkan aplikasi legal
yang didukung oleh IBM Watson.23
September, 2015 Berwin Leighton RAVN Systems Sistem RAVN mengumumkan bahwa BLP menggunakan
Paisner (BLP) AI platform untuk mengelola pemberitahuan
obstruksi cahaya properti24

20 Price Water Coopers, Global Artificial Intelligence Study, Sizing the Prize: Exploiting the AI
Revolution (What the real value of AI for your business and how can you capitalize?)
https://www.pwc.com/gx/en/issues/analytics/assets/pwc-ai-analysis-sizing-the-prize- report.pdf
21 Mc Kinsey Global Institute, Artificial Intelligence and Southeast Asia Future,
https://www.mckinsey.com/~/media/McKinsey/Featured%20Insights/Artificial%20Intelligence
/AI%20and%20 SE%20ASIA%20future/Artificial-intelligence-and-Southeast-Asias-future.ashx.
22 Richard Kemp, Legal Aspects of Artificial Intelligence, http://www.kempitlaw.com/wp-

content/uploads/2016/11/Legal-Aspects-of-AI-Kemp-IT-Law-v1.0-Nov-2016-2.pdf
23 Dentons, Nextlaw Labs and IBM Cloud fuel legal tech startups,
http://www.dentons.com/en/whats-different-about-dentons/connecting-you-to-talented-
lawyers-around-theglobe/news/2015/august/dentons-nextlaw-labs-and-ibm-cloud-fuel-legal- tech-
startups
24 Cision, RAVN Systems' Artificial Intelligence Platform is Deployed Successfully at Berwin Leighton

Paisner, https://www.ravn.co.uk/ravn-systems-artificial-intelligence-platform-deployed-
successfully-berwin-leightonpaisner/

VeJ Volume 5 • Nomor 1 • 173


Oct. 2015 Thomson Thomson Reuters bermitra dengan IBM untuk
Reuters/ IBM mengirimkan Watson sebuah komputer solusi
Watson kognitif yang mampu membantu menyelesaikan
kasus-kasus hukum.25
Dec, 2015 Riverview Law CIXILEX Riverview meluncurkan Kim Virtual Assistant
yang dibangun pada platform CIXILEX yang
kemudian diakuisisi oleh Riverview.
Mei, 2016 Baker Hostetler ROSS Baker Hostetler menjadi firma hukum AS
Intelligence pertama yang melisensi ROSS
BLP BLP memenangkan aplikasi Pengadilan Tinggi
yang menggunakan pengkodean prediktif dalam
dokumen litigasi penyingkapan kasus 26
Linklaters RAVN Linklaters mengkonfirmasi telah
menandatangani MSA dengan RAVN27
June Allen & Overy Deloitte Allen & Overy meluncurkan kepatuhan derivatif
sistem digital MarginMatrix bersama dengan
Deloitte28
DLA Piper Kira Systems DLA Piper mengumumkan perjanjian untuk
menggunakan Kira pada proses M&A due
diligence29
July Clifford Chance Kira Systems Clifford Chance mengumumkan perjanjian AI
dengan Kira Sistem30
Sept Freshfields Kira Systems Freshfields mengumumkan perjanjian untuk
menggunakan Kira yang dapat membantu pusat
bantuan hukum.
Slaughter and Luminance Slaughter and May mengumumkan kolaborasi
May dengan Luminance pada layanan due diligence
AI.31
Sumber: Richard Kemp (2016)

25 Thomson Reuters, Thomson Reuters and IBM Collaborate to Deliver Watson Cognitive Computing
Technology, http://thomsonreuters.com/en/press-releases/2015/october/thomson-reuters-ibm-
collaborate-to-deliverwatson-cognitive-computing-technology.html
26 Brian Cave Leighton Paisner, BLP wins first contested application to use Predictive Coding technology

in disclosure, https://www.bclplaw.com/en-US/thought-leadership/blp-wins-first- contested-


application-to-use-predictive-coding-technology-in-disclosure.html
27 Matt Byrne, Linklaters becomes first magic circle firm to sign deal with AI provider RAVN,

https://www.thelawyer.com/issues/online-may-2016/linklaters-becomes-first-magic-circle-firm- to-sign-
deal-with-ai-provider-ravn/
28 Allen and Overy, Allen & Overy and Deloitte tackle OTC derivatives market challenge,
http://www.allenovery.com/news/en-gb/articles/Pages/AllenOvery-and-Deloitte-tackle-OTC-
derivativesmarket-challenge.aspx
29 DLA Piper, DLA Piper partners with Kira Systems to leverage artificial intelligence tool for M&A due

diligence, https://www.dlapiper.com/en/uk/news/2016/06/dla-piper-partners-with-kira- systems/


30 Clifford Chance, Clifford Chance drives innovation strategy with artificial intelligence system Kira,
https://www.cliffordchance.com/news/news/2016/07/clifford-chance-drives-innovation- strategy-
with-- artificial-inte.html
31 Slaughter and May, Luminance launches with backing of Invoke Capital and in collaboration with
Slaughter and May, https://www.slaughterandmay.com/news-and-recent-
work/news/luminance-launches-with-backing-ofinvoke-capital-and-in-collaboration-with-
slaughter-and-may/

VeJ Volume 5 • Nomor 1 • 174


Hukum Progresif
Berdasar pada hasil penelitian Khudzalifah Dimyati dalam disertasinya terkait
dengan pemikiran hukum di Indonesia dari tahun 1945 hingga tahun 1990 disimpulkan
bahwa hasil kontemplasi intelektual para pemikir tidak terlepas dari situasi zaman
yang melingkupinya. Dilihat dari taksonominya dibagi menjadi 3 (tiga) periode, yaitu,
Periode Pertama, antara tahun 1945-1960, pemikiran hukum yang diwakili oleh
Sopeomo dan Soekanto. Periode Kedua, pada dekade 1960-1970 yang diwakili oleh
Soediman Kartohadiprojo. Periode Ketiga, pada dekade 1970-1990 yang diwakili oleh
Satjipto Rahardjo, Mochtar Kusumaatmadja,
C.F.G. Soenarjati Hartono dan Mohammad Koesnoe.32
Menelusuri perkembangan teori-teori hukum di Indonesia, pada tahun 1990,
maka salah satunya diwakili oleh Satjipto Rahardjo dengan mengemukakan teori
hukum Progresif. Progresif sendiri berasal dari istilah kata serapan bahasa Inggris yang
berarti maju. Oleh karena itu dapat dimaknai bahwa hukum progresif adalah hukum
yang bersifat maju ke depan dan kehadiran hukum tersebut untuk mengintegrasikan
dan mengkoordinasikan kepentingan-kepengingan yang bisa berbenturan antara
kepentingan yang satu dan kepentingan yang lain. 33
Beberapa karakteristik dasar teori hukum progresif yang dihimpun oleh Yudi
Kristina dalam disertasinya adalah:34 Pertama, hukum progresif memiliki asumsi dasar
bahwa hukum untuk manusia dan bukan sebaliknya manusia untuk hukum. Kedua,
bahwa hukum bukan institusi yang mutlak dan final, karena hukum selalu berada
dalam proses untuk terus menerus menjadi (law as process, law in the making).
Asumsi dasar yang diajukan oleh hukum progresif tersebut membawa konsekuensi
bahwa hukum tidak hanya untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih
luas dan lebih besar.35 Manakala dihadapkan

32 Khudzalifah Dimyati, Teorisasi Hukum: Studi Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-
1990, Muhammadiyah University Press, Surakarta, tanpa tahun, hlm. 221-223.
33 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 53.
34 Yudi Kristiana, Rekonstruksi Birokrasi Kejaksaan dengan Pendekatan Hukum Progresif, Studi

Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi, Disertasi di PDIH Universitas
Diponegoro, Semarang, 2007.
35 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif, Sebuah sintesa hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta,

2009, hlm.5.
VeJ Volume 5 • Nomor 1 • 175
pada suatu permasalahan maka hukumlah yang harus ditinjau dan diperbaiki dan
bukan manusianya yang dipaksakan untuk masuk dalam skema hukum yang ada.
Hukum progresif merupakan konsep cara berhukum. Cara berhukum secara
progresif tidak sekedar menerapkan hukum positif legalistis, kemudian menerapkan
undang-undang, lalu membaca dan mengeja undang-undang serta menerapkannya
seperti mesin, melainkan suatu aksi atau usaha (effort). Konstruksi berpikir filsafat
berdasar pada 3 (tiga) landasan berpikir yang meliputi landasan berpikir ontologis,
epstemologis dan teleologis. Landasan ontologis berkaitan dengan realitas atau
kenyataan yang menjadi objek kajian. Landasan epistemologis berkaitan dengan
metode yang dapat dan tepat diterapkan dalam rangka pengembangan pemikiran
terkait objek kajian ke masa depan. Adapun landasan aksiologis dan teleologis
berkaitan dengan masalah nilai yang terkandung di dalam pemikiran, kosep, teori
serta tujuan yang hendak diwujudkan melalui pemanfaatan pemikiran dan konsep.36
Jika melihat pada sisi landasan ontologis diatas, maka hukum progresif
dicetuskan dengan latar belakang keprihatinan terhadap realitas penegakan hukum
yang carut marut, penegakan hukum yang tersandera oleh tuntutan terpenuhinya
keadilan formal. Mindset aparat penegak hukum terpenjara oleh pemikiran yang
berparadigma positivisme hukum sehingga mengalami kelumpuhan dalam
menghadapi perkara hukum kontemporer. Dari sisi epistemologis, pengembangan
ilmu hukum di tanah air seyogyanya menggunakan metode induktif sebagaimana
banyak dilakukan dalam bingkai realisme hukum, sebagai suatu ilmu yang berbasis
empiris dan ilmu dalam arti genuine legal science.37 Sementara itu, dalam segi
aksiologis atau teleologis, hukum progresif dimaksudkan sebagai acuan berpikir dalam
pengembangan keilmuan, pendidikan hukum, pembentukan dan penegakan hukum
yang bertujuan mewujudkan keadilan bagi masyarakat.38

36 Kaelan, Filsafat Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, 1998, tanpa halaman.


37 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan, Muhammadiyah
University Press, Surakarta, 2004, hlm.42.
38 Natangsa Surbakti, Filsafat Hukum Perkembangan Pemikiran dan Relevansinya dengan
Reformasi Hukum Nasional, BP FKIP UMS, Surakarta, 2012, hlm. 230.

VeJ Volume 5 • Nomor 1 • 176


Hukum Progresif dan Teknologi Kecerdasan Buatan
Kecerdaan buatan dengan cepat telah masuk ke dalam praktik hukum,
berdasar pada sebuah survei terhadap mitra pengelola firma hukum di Amerika
Serikat yang beranggotakan 50 (lima puluh) pengacara atau lebih, menemukan bahwa
lebih dari 36% (tiga puluh enam persen) firma hukum dan lebih dari 90% (sembilan
puluh persen) firma hukum besar yang mempekerjakan lebih dari
1.000 pengacara didalamnya menggunakan secara aktif sistem kecerdasan buatan di
praktik hukum mereka.39
Berikut ini adalah contoh beberapa negara di dunia yang telah menjalin
hubungan dengan sistem kecerdasan buatan, yaitu, Pertama, Amerika Serikat,
kecerdasan buatan sudah digunakan sebagai alat untuk membuat keputusan hukum
layaknya seorang hakim, selain itu juga terdapat perkembangan teknologi analitik
prediktif yang memungkinkan membuat prediksi tentang hasil litigasi.40 Amerika
Serikat juga telah melakukan pengkodean prediktif untuk menentukan apakah
seorang residivis akan lebih banyak melakukan tindak pidana ataukah tidak ke
depannya.41
Kedua, Riyadh mengumumkan pada tahun 2017 bahwa robot cantik Sofia akan
diberikan kewarganegaraan Arab Saudi.42 Ketiga, Jepang pada tahun 2017
memberikan izin tinggal kepada robot Shibuya Mirai berdasarkan pada peraturan
khusus. Namun, tindakan ini tentunya bertentangan dengan undang-undang tentang
prosedur izin tinggal di Jepang yang berupa peraturan khusus (special regulation)
terkait izin tinggal yang hanya diperuntukkan kepada spesialis asing yang bekerja di
perusahaan Jepang, peserta dalam program reunifikasi keluarga, pengusaha dan
investor yang melakukan bisnis di Jepang, ilmuwan, seniman dan atlet tingkat dunia,
orang asing yang menikah dengan warga negara Jepang, siswa

39 Thomas S. Clay and Eric A. Seeger, Law Firms in Transition,


http://www.altmanweil.com/LFiT2017/.
40 Cromwell Schubarth, ‘Y Combinator Startup Uses Big Data to Invest in Civil Lawsuits’, Silicon
Valley Business Journal, 2016.
41 Adam Liptak, Sent to Prison by a Software Program’s Secret Algorithms,
https://www.nytimes.com/2017/05/01/us/politics/sent-to-prison-by-a-softwareprograms- secret
algorithms.html?smid=tw-share&_r=0>
42 Bloomberg, Saudi Arabia Gives Citizenship, www.bloomberg.com/news/articles/ 2017-10- 26/saudi-
arabia-gives-citizenship-to-a-robot-claims-global-first.
VeJ Volume 5 • Nomor 1 • 177
asing ketika belajar di Jepang, warga negara asing dalam kasus yang khusus serta
pemberian kewarganegaraan di Jepang ini telah diatur melalui Undang-Undang
Kewarganegaraan Jepang.43
Keempat, salah satu proyek penting yang mempengaruhi pemberian bantuan
hukum adalah munculnya DoNotPay chat di Inggris, yang saat ini layanan bantuan
hukumnya mencakup lebih dari 1.000 (seribu) bidang hukum 44. Popularitas layanan
bantuan hukum tersebut muncul karena fakta menunjukkan bahwa kecerdasan
buatan telah membantu menyelesaikan permasalahan hukum kepada lebih dari
160.000 (seratus enam puluh ribu) orang dikarenakan dikeluarkannya tiket parkir
secara ilegal kepada pemilik mobil, dan sistem ini diperluas untuk membantu para
pengungsi agar dapat menyelesaikan permasalahan hukum mereka.45 Selain itu juga,
Inggris telah membentuk komite kecerdasan buatan di House of Lords (Dewan
Bangsawan Britania Raya atau majelis tinggi dalam Parlemen Kerajaan Bersatu Britania
Raya) untuk mengkaji isu dan aturan terkait kecerdasan buatan.46
Kelima, Rusia, perusahaan Sberbank meluncurkan pengacara robot yang dapat
mengajukan gugatan kepada individu, selain itu juga perusahaan GlavstrahControl
yang meluncurkan robot untuk membantu menyelesaikan sengketa asuransi. 47 Pada
tahun 2015, Parlemen Rusia telah membuat rancangan Undang-Undang Grishin.
Rancangan undang-undang tersebut melakukan amandemen pada ketentuan Kode
Sipil Federasi Rusia, yang memberikan tanggung jawab hukum kepada pengembang
robot, operator, atau pabrikan, serta aturan baru tersebut akan mencakup isu tentang

perwakilan robot di pengadilan.


43 The Ministry of Justice, Nationality Law of Japan, http://www.moj.go.jp/ENGLISH/
information/tnl-01.html.
44 Mannes, J, DoNotPay launches 1,000 new bots to help you with your legal problems,
https://techcrunch.com/2017/07/12/donotpay-launches-1000-new-botsto-help-you-with-your-
legal-problems.
45 Samuel Gibbs, Chatbot lawyer overturns 160,000 parking tickets in London and New York,
https://www.theguardian.com/technology/2016/jun/28/chatbot-ailawyer-donotpay-parking-
tickets-london-new-york.
46 Shead, S, The House of Lords is going to carry out a public inquiry. Business Insider, July 20, 2017,

http://uk.businessinsider.com/house-of-lords-to-carry-outpublic-inquiry-into-ai-advances-2017- 7
47 Tsvetkova, I, AI in Court, lawyer bot in court, and legal disputes crowdfunding – LegalTech – revolution

begins, https://rb.ru/opinion/legaltech/

VeJ Volume 5 • Nomor 1 • 178


Selain itu, terdapat pula konvensi hukum terkait model robotika dan kecerdasan
buatan yang memperkenalkan aturan tentang cara membuat dan menggunakan
robot.48
Keenam, Selandia Baru, Alistair Knott merupakan proyek dari AI and Law di
University of Otago yang menyuarakan keprihatinan terkait penggunaan model
prediksi berbasis komputer untuk menangani gugatan dan tuntutan atas skema
kompensasi kecelakaan negara (Accident Compensation Corporation (ACC)).49 Ketujuh,
Meksiko, dalam melakukan pengambilan keputusan administratif yang sederhana
telah menggunakan teknologi kecerdasan buatan.50
Ketujuh, Uni Eropa, Komisi Eropa telah mengidentifikasi robotika dan AI
sebagai teknologi landasan, dan telah mengakui perlunya investasi yang signifikan di
bidang ini. Kebutuhan akan pendekatan dan keterampilan baru terkait kecerdasan
buatan, termasuk tantangan hukum sehingga harus dipikirkan secara matang. Satuan
tugas Uni Eropa terbaru juga dibentuk untuk memeriksa hambatan-hambatan terkait
dengan adopsi big data dan teknologi digital dalam perawatan kesehatan. Inisiatif ini
lahir dari rasa frustrasi karena sistem perawatan kesehatan Eropa terus mengalami
kegagalan dalam mengumpulkan manfaat dari teknologi digital terbaru. Satuan tugas
ini akan mengajukan proposal kebijakan dalam rangka mempercepat penggunaan data
genomik pada penelitian dan memaksimalkan potensi analitik teknologi big data
untuk memeriksa data kesehatan.51
Di satu sisi terdapat pemikiran, jika robot dapat mengambil keputusan otonom
(autonomous decisions) melalui teknologi dalam dirinya yang bertumbuh dengan
sendirinya dengan cara sistem robot akan berevolusi otomatis mengikuti

48 Neznamov, A., Naumov, V, Model Convention on Robotics and AI,


http://robopravo.ru/matierialy_dlia_skachivaniia#ul-id-4-35
49 University of Otago, Artificial Intelligence and Law in New Zealand,
http://www.cs.otago.ac.nz/research/ai/AI-Law/index.html.
50 Davide Carneiro et al, ‘Online Dispute Resolution: An Artificial Intelligence Perspective, Artificial
Intelligence Review 211 , 2014, hlm. 227–228.
51 Lincoln Tsang, Daniel A. Kracov, Jacqueline Mulryne, Louise Strom, Nancy Perkins, Richard Dickinson,

Victoria M. Wallace, and Bethan Jones, the Impact of Artificial Intelligence on Medical Innovation in
the European Union and United States, Issue of the Intellectual Property & Technology Law Journal,
2017.

VeJ Volume 5 • Nomor 1 • 179


dunia manusia, maka mungkin saja tindakan robot dapat membahayakan manusia dan
masyarakat luas. Namun disisi lain terdapat pendapat yang menyatakan bahwa robot
hanyalah menstimulasikan perilaku manusia dan tidak dapat dianggap sebagai
"sepenuhnya manusia", sehingga tidak diperlukan entitas hukum dan pengaturan
hukum untuk teknologi kecerdasan buatan. Adapun yang menjadi kepercayaan umum
yang berkembang saat ini adalah bahwa robot harus diperlakukan hanya sebagai
mesin semata, dan robot diciptakan untuk melayani umat manusia dalam peran itu.
Jika melihat pada hukum progresif maka pemikiran hukum perlu kembali ke
filosofi dasarnya, yaitu hukum untuk manusia. 52 Dengan filosofi tersebut (individual),
dianggap menjadi penentu dan titik orientasi hukum progresif. Hukum bertugas
melayani manusia, bukan sebaliknya, sehingga hukum bukan institusi yang terlepas
dari kepentingan manusia. Mutu hukum ditentukan oleh kemampuannya untuk
mengabdi pada kesejahteraan manusia. Ini menyebabkan hukum progresif menganut
ideologi yaitu hukum yang pro keadilan dan hukum yang pro rakyat. 53
Sistem hukum dari kacamata ini bukanlah bangunan pohon pengayoman
melainkan instrumen yang harus diabdikan pada dan melayani kepentingan manusia.
Hukum progresif dibangun dengan 2 (dua) latar belakang yaitu: (1). Harus
dikembangkan kepedulian yang tidak kunjung berhenti mengenai bagaimana
mendorong hukum untuk memberikan pelayanan yang lebih baik dan lebih baik lagi
kepada bangsanya. (2). Keinginan untuk mendorong masyarakat agar dalam berhukum
tidak mengenal waktu untuk berhenti, melainkan masyarakat selalu ingin hukum
melakukan sesuatu menuju kepada keadaan yang lebih baik. 54
Satjipto Rahardjo juga merujuk pada falsafah bangsa dan menyatakan bahwa

hukum yang dianut harus berdasar pada pancasila yang lebih menekankan
52 Satjipto, Hukum itu manusia bukan mesin dan Biarkan Hukum Mengalir, Kompas, Jakarta, 2007,
tanpa halaman.
53 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: penjelajahan suatu gagasan, Kajian hukum ekonomi dan bisnis.
No. 59, Desember 2004, hlm. 1-14.
54 Satjipto Rahardjo, Arsenal Hukum Progresif, Jurnal Hukum Progresif, Volume 3 Nomor 1 April
(2007), Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, hlm. 1.

VeJ Volume 5 • Nomor 1 • 180


pada substansi, bukan prosedur dalam peraturan perundang-undangan semata.
Dalam bahasa sederhana, hukum harus mewujudkan keadilan substantif bukan hanya
mengutamakan keadilan prosedural, kemudian menyatakan bahwa di dalam Negara
hukum Pancasila yang diunggulkan adalah olah hati nurani, untuk mencapai keadilan
sebagai moral justice atau rule of justice.”55
Dalam hal penafsiran, hukum progresif memiliki konsep yaitu memahami
proses hukum sebagai proses pembebasan terhadap suatu konsep yang konvensional,
yang tidak dapat lagi dipakai untuk melayani kehidupan masa kini. Satjipto Rahardjo
mengatakan penafsiran tersebut adalah sebagai penafsiran yang tidak selalu
bertumpu kepada logika, melainkan juga meninggalkan rutinitas logika.56
Hal ini disebabkan karena penafsiran dilakukan dengan cara melompat yaitu
tidak ada hubungan logis antara konsep yang lama dengan konsep yang baru, karena
itulah penafsiran ini disebut dengan penafsiran progresif, yaitu penafsiran yang tidak
berhenti pada pembacaan harfiah teks belaka. 57 Penafsiran ini digunakan dalam
metode berpikir hukum progresif untuk memaknai peraturan perundangan, agar
dapat diaplikasikan untuk kebaikan dan kemuliaan manusia.
Saat ini kita belum sepenuhnya memahami teknologi kecerdasan buatan.
Sebuah pemikiran penting dan menjadi tonggak awal relasi antara kepentingan
manusia dan robot adalah pemikiran apakah robot dapat dijadikan subjek hukum atau
tidak. Penentuan subjek hukum tentunya akan menimbulkan implikasi hukum dan
sebagai dasar simbiosis antara robot dan manusia di masa depan. Namun, masyarakat
kita tentunya belum siap sepenuhnya untuk perubahan paradigma ini karena akan
muncul banyak aspek yang terkait antara hukum dan masyarakat, yang tentunya akan
sangat rumit jika teknologi robotika berkembang sangat pesat.
Secara keseluruhan yang harus dipertimbangkan adalah bahwa hukum
seharusnya bersifat proaktif dan idealnya regulasi tersebut dibuat sebagai tata

55 Satjipto Rahardjo, Suatu versi Indonesia tentang Rule of Law, sisi-sisi lain dari hukum Indonesia,
Kompas, Jakarta, 2003, hlm. 10
56 Satjipto Rahardjo, Hukum dalam Jagat Ketertiban, UKI Press, Jakarta, 2006, hlm. 172.
57 Id

VeJ Volume 5 • Nomor 1 • 181


cara awal untuk mencegah terjadinya masalah (bersifat preventif). Oleh karena itu
tidak disarankan untuk menunggu sampai masalah muncul yaitu ketika terjadi
pemanfaatan besar-besaran teknologi robot dan kemudian baru mencari hukumnya,
bagaimana kebijakannya atau tindakan apa yang harus dilakukan dalam masyarakat
untuk dapat menjalin simbiosis mutualisme dengan robot. 58 Hal yang sangat jelas
terlihat adalah teknologi robot dan kecerdasan buatan akan menciptakan era baru
bagi kemanusiaan, senada yang dikatakan Stephen Hawking, “the rise of powerful AI
will be either the best or the worst thing ever to happen to humanity. We do not yet
know which”.59
Terkait pengaturan dan pembentukan hukum baru, Satjipto Rahardjo
mengatakan bahwa pembentukan hukum merupakan suatu aktivitas memilih dan cara
yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan sosial dan hukum tertentu di masyarakat.
Nantinya jika teknologi kecerdasan buatan mampu berkembang pesat di Indonesia,
maka jika meninjau teori hukum progresif, Negara dan Stakeholder hendaknya
mendorong lahirnya perundangan baru yang berdasar pada keinginan menuju tujuan
sosial yang dikehendaki masyarakat, dalam artian tidak begitu saja pemerintah dan
lembaga legislatif secara serta merta membuat peraturan terkait kecerdasan buatan
namun aturan tersebut juga harus bersifat bottom up yaitu mendengar aspirasi dan
kebutuhan masyarakat.
Hal ini terjadi karena fenomenologi hukum progresif berangkat dari pola pikir
subjektivisme yang tidak hanya memandang dari suatu gejala yang tampak, akan
tetapi berusaha menggali makna di balik gejala itu. Dalam perspektif konstruksi sosial
dan hukum, sebuah teknologi bukanlah sesuatu yang netral melainkan bentukan
manusia, termasuk didalamnya upaya manusia ketika akan membentuk regulasi
terkait dengan teknologi kecerdasan buatan. Oleh karena itu, sudah seharusnya
teknologi kecerdasan buatan seyogyanya harus mampu

58 Stamatis Karnouskos, The Interplay of Law, Robots and Society, an Artificial Intelligence Era, Master’s
Thesis in Law, Master’s Programme in Law, Gender and Society, Umeå University Forum for Studies
on Law and Society.
59 Spyros Makridakis, The forthcoming artificial intelligence (AI) revolution: Its impact on society
andfirms’ , Futures, 2017, tanpa halaman.
VeJ Volume 5 • Nomor 1 • 182
meningkatkan kesejahteraan manusia dengan mempermudah segala aktivitas untuk
mencapai kehidupan yang lebih baik.
Pemikiran Satjipto Rahardjo dengan hukum progresifnya menempatkan
manusia sebagai titik tolaknya. Hal ini seharusnya diikuti oleh para pemikir, pencipta
dan pengembang teknologi informasi agar teknologi yang diciptakan dapat membawa
kebahagiaan bagi manusia.60Secara sosiologis, pembuatan hukum atau undang-
undang tidak dapat dilihat sebagai suatu kegiatan yang steril dan mutlak otonom.
Dalam perspektif ini pembuatan undang-undang memiliki asal-usul sosial, tujuan
sosial, mengalami intervensi sosial dan juga mempunyai dampak sosial. Adapun untuk
mengurangi ketegangan dalam konflik kepentingan diperlukan pendekatan
partisipatoris masyarakat agar apa yang dirasakan sebagai kepentingannya dapat
terakomodasi dalam perundang-undangan yang akan dibentuk sebagaimana
pemikiran dalam teori hukum responsif oleh Nonet dan Selznick dan teori hukum
progresif.61
Hukum yang harus dikembangkan di sini tidak hanya hukum untuk manusia
sebagaimana tesis hukum progresif, akan tetapi berubah dan bertambah menjadi
hukum untuk manusia dan teknologi. Tesis ini dikemukakan untuk menampung tidak
hanya kepentingan manusia, akan tetapi juga kepentingan teknologi agar berkembang
demi kesejahteraan manusia serta ilmu pengetahuan. Perkembangan teknologi pada
umumnya dan teknologi informasi pada khususnya membawa dampak pada
kehidupan manusia dan lingkungan hidup di sekitar manusia. Menempatkan persoalan
kemanusiaan sebagai titik tolak dari teknologi kecerdasan buatan sesungguhnya
merupakan upaya untuk menempatkan manusia dalam posisi sentral sebagaimana
diamanatkan oleh Pancasila pada Sila Kedua. Berdasar hukum progresif, penempatan
manusia dalam posisi yang utama seharusnya diikuti oleh para pemikir, pencipta dan
pengembang teknologi

60 Agus Raharjo, Model Hibrida Hukum Cyberspace (Studi Tentang Model Pengaturan Aktivitas Manusia
Di Cyberspace dan Pilihan Terhadap Model Pengaturan Di Indonesia), Ringkasan Disertasi. Program
Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang,
http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/Disertasi_Agus_Raharjo_-_Bhs_Indonesia.pdf.
61 Satjipto Rahardjo dan Khudzaifah Dimyati, Sosiologi Hukum, Perkembangan, Metode dan Pilihan

Masalahnya, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2002, hlm. 125.


VeJ Volume 5 • Nomor 1 • 183
informasi agar teknologi yang diciptakan dapat membawa kebahagiaan bagi
manusia.62
Berdasar pada titik tolak pemikiran hukum progresif diatas maka kajian
tentang hukum progresif perlu dipertimbangkan sebagai bahan dalam membentuk
hukum terkait teknologi kecerdasan buatan yang diharapkan akan bermanfaat bagi
manusia dan bagi perkembangan teknologi itu sendiri, sehingga yang wajib menjadi
perhatian yaitu jangan sampai teknologi kecerdasan buatan yang seharusnya menjadi
alat kemanusiaan untuk melepaskan diri dari perbudakan, justru hal tersebut berubah
menjadi suatu mekanisme yang memperbudak manusia sendiri (dehumanisasi).

Penutup
Teknologi kecerdasan buatan adalah bagian sentral dari transformasi digital
pada Revolusi Industri 4.0 yaitu ketika teknologi big data memicu pembelajaran mesin
(machine learning) maka teknologi kecerdasan buatan akan semakin maju dan
memiliki dampak pada segala bidang kehidupan. Para pembuat kebijakan dan
regulator di negara maju seperti Uni Eropa, Jepang, Inggris dan Amerika Serikat pun
saat ini tengah bergulat dengan teknologi kecerdasan buatan dalam sektor hukum.
Analitik hukum pada tingkat global telah banyak yang mengadopsi teknologi
big data, algoritma, dan kecerdasan buatan untuk membuat prediksi hukum atau
mendeteksi tren dalam sebuah kumpulan data yang besar. Sebagai contoh, Lex
Machina, yang dimiliki oleh LexisNexis, menggunakan analitik hukum untuk
memprediksi tren dan hasil dalam litigasi kekayaan intelektual, bahkan saat ini sedang
dikembangkan ke jenis litigasi kompleks lainnya. Wolters Kluwer memanfaatkan basis
data dari catatan penagihan firma hukum untuk memberikan baseline, analisis
komparatif, dan meningkatkan efisiensi bagi penasihat hukum perusahaan untuk
keperluan penagihan dan jawaban bagi berbagai masalah

62 Agus Raharjo, Ringkasan Disertasi Model Hibrida Hukum Cyberspace (Studi tentang Model
Pengaturan Aktivitas Manusia di Cyberspace dan Pilihan terhadap Model Pengaturan di Indonesia),
Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, 2008,
http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/Disertasi_Agus_Raharjo_-_Bhs_Indonesia.pdf.

VeJ Volume 5 • Nomor 1 • 184


hukum. Ravel Law, juga baru-baru ini dibeli oleh LexisNexis, menggunakan sistem
analitik hukum untuk membantu hakim dalam memprediksi bagaimana logika dan
tatacara memutuskan kasus, termasuk memberikan rekomendasi terkait penciptaan
preseden dan rekomendasi bahasa kepada hakim dalam membuat putusan. Selain itu,
Profesor hukum Daniel Katz dan rekan-rekannya telah menggunakan analitik hukum
dan pembelajaran mesin (machine learning) untuk membuat model prediksi yang
sangat akurat dalam pembuatan putusan hakim di tingkat Mahkamah Agung.63
Sistem hukum yang ada dan berlaku saat ini dibuat untuk manusia, dan
berfungsi untuk melindungi hak-hak manusia. Sistem hukum yang ada juga dibangun
di sekitar kemampuan manusia dan pada dasarnya bertujuan untuk melindungi
manusia dari penderitaan. Ini menyiratkan kemampuan subjek hukum yang ada saat
ini tidak hanya mampu merasakan sakit, tetapi juga menyadari akan rasa sakit
sehingga hal tersebut dimasukkan dalam pertimbangan saat proses pengambilan
keputusan atau rekonstruksi sebuah aturan.
Beberapa pertanyaan dapat diajukan, seperti jika robot yang tidak merasakan
sakit atau senang, apakah dapat dihukum terutama dalam konteks hukum pidana?
Bahkan hak-hak seperti kebebasan asasi manusia dihubungkan dengan gagasan
tentang keadilan dan kesadaran maka robot tidak memiliki rasa takut akan kematian,
maka robot tidak akan menganggap hal tersebut sebagai sebuah hukuman karena jika
hal tersebut juga merupakan hukuman maka tidak akan menimbulkan rasa sakit.
Penghilangan hak-hak kebebasan atau hal-hal yang menimbulkan rasa takut seperti
hukuman penjara, hukuman mati atau hukuman seumur hidup juga akan sulit
diterapkan untuk menghukum sebuah mesin yang melakukan kesalahan.
Sejak ribuan tahun yang lalu, berbicara tentang hukum adalah berbicara
tentang keadilan dan pencarian keadilan (searching for truth). Dunia hukum pun
menjadi ajang pertarungan hati (keadilan) dan pikiran (rasio). Adapun dengan
munculnya teknologi artificial intelligent maka hukum juga akan terpengaruh

63 Daniel Martin Katz et al., A General Approach for Predicting the Behavior of the Supreme Court of
the United States, https://doi.org/10.1371/journal. pone.0174698.

VeJ Volume 5 • Nomor 1 • 185


untuk lebih bersifat teknis dan teknologis, sehingga yang perlu dipertanyakan pada
akhirnya adalah apakah ada jaminan bahwa sebuah robot yang diciptakan melalui
teknologi kecerdasan buatan akan mampu menciptakan keadilan, kejujuran, rasa kasih
sayang (mengasihi), menolong pihak yang lebih lemah (kepedulian) serta empati
dalam membuat keputusan hukum?
Dalam hukum progresif, teknologi harus dimaknai tidak semata-mata sebagai
teknologi, melainkan teknologi yang dihasilkan harus mampu mengekspresikan nilai
dan moral di dalamnya. Selain itu, pada akhirnya jika mendasarkan pada hukum
progresif maka hukum yang diciptakan terkait teknologi kecerdasan buatan harus
berbasis pada manusia dan kemanusiaan, yaitu mampu menolong manusia yang susah
dan juga menderita, yang bertujuan mewujudkan keadilan yang membahagiakan bagi
masyarakat.

Daftar Pustaka

Buku:
Frank Levy and Richard J. Murnane, The New Division of Labor, How Computers Are
Creating the New Job Market, Princeton University Press, New Jersey, 2005.
Kaelan, Filsafat Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, 1998.
Khudzalifah Dimyati, Teorisasi Hukum: Studi Perkembangan Pemikiran Hukum di
Indonesia 1945-1990, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2004.
Natangsa Surbakti, Filsafat Hukum Perkembangan Pemikiran dan Relevansinya dengan
Reformasi Hukum Nasional, BP FKIP UMS, Surakarta, 2012.
Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers and Strategies, 1st edition, Oxford
University Press, United Kingdom, 2014.
Nils John Nilsson, the Quest for Artificial Intelligence: A History of Ideas and
Achievements, Cambridge University Press, 2010.
Raymond Kurzweil, the Singularity is Near: When Humans Transcend Biology, Penguin,
United States, 2006.
Richard Susskind and Daniel Susskind, the Future of the Professions: How Technology
will Transform the Work of Human Experts, Oxford University Press, United
Kingdom, 2015.
Richard Susskind, Tomorrow’s lawyers: An introduction to your future, Oxford
University Press, United Kingdom, 2013.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.
VeJ Volume 5 • Nomor 1 • 186
dan Khudzaifah Dimyati, Sosiologi Hukum, Perkembangan, Metode
dan Pilihan Masalahnya, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2002.
, Suatu versi Indonesia tentang Rule of Law, Sisi-Sisi lain dari Hukum
Indonesia, Kompas, Jakarta, 2003.
, Ilmu Hukum, Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan,
Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2004.
, Hukum dalam Jagat Ketertiban, UKI Press, Jakarta, 2006.
, Hukum itu manusia bukan mesin dan Biarkan Hukum Mengalir,
Kompas, Jakarta, 2007.
, Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta
Publishing, Yogyakarta, 2009.
Stuart Russell and Peter Norvig, Artificial Intelligence: A Modern Approach, Prentice
Hall, New Jersey, 1995.

Jurnal dan artikel:


Cromwell Schubarth, Y Combinator Startup Uses Big Data to Invest in Civil Lawsuits,
Silicon Valley Business Journal, 2016.
Davide Carneiro et al, Online Dispute Resolution: an Artificial Intelligence Perspective,
Artificial Intelligence Review 211, 2014.
Lincoln Tsang, Daniel A. Kracov, Jacqueline Mulryne, Louise Strom, Nancy Perkins,
Richard Dickinson, Victoria M. Wallace, and Bethan Jones, The Impact of
Artificial Intelligence on Medical Innovation in the European Union and United
States, Issue of the Intellectual Property & Technology Law Journal, 2017.
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Penjelajahan Suatu Gagasan, Kajian Hukum
Ekonomi dan Bisnis, No. 59, Desember 2004.
, Arsenal Hukum Progresif, Jurnal Hukum Progresif, Semarang,
Volume 3 Nomor 1 April 2007.
Spyros Makridakis, the Forthcoming Artificial Intelligence (AI) Revolution: Its Impact on
Society and Firms, Working Paper Series, Neapolis University of Paphos,
Futures, 2017, https://doi.org/10.1016/j.futures.2017.03.006.

Disertasi dan Tesis:


Stamatis Karnouskos, The Interplay of Law, Robots and Society, an Artificial
Intelligence Era, Master’s Thesis in Law, Master’s Programme in Law,
Gender and Society, Umeå University Forum for Studies on Law and Society,
Swedia, 2017.
Yudi Kristiana, Rekonstruksi Birokrasi Kejaksaan dengan Pendekatan Hukum Progresif,
Studi Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi,
Disertasi di PDIH Universitas Diponegoro, Semarang, 2007.

Internet:
Adam Liptak, Sent to Prison by a Software Program’s Secret Algorithms,
https://www.nytimes.com/2017/05/01/us/politics/sent-to-prison-by-a-
softwareprograms-secret algorithms.html?smid=tw-share&_r=0.

VeJ Volume 5 • Nomor 1 • 187


Adam Wyner, Artificial Intelligence and the Law, IJCAI-ECAI 2018 Tutorial, Swansea
University School of Law and Department of Computer Science,
http://www.ijcai-18.org/wp-content/uploads/2018/05/T04-AI-and-the- Law-
IJCAI-ECAI-18.pdf.
Agus Raharjo, Ringkasan Disertasi Model Hibrida Hukum Cyberspace (Studi tentang
Model Pengaturan Aktivitas Manusia di Cyberspace dan Pilihan terhadap
Model Pengaturan di Indonesia), Program Doktor Ilmu Hukum Universitas
Diponegoro, 2008,
http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/Disertasi_Agus_Raharjo
Bhs_Indonesia.pdf.
Allen and Overy, Allen & Overy and Deloitte tackle OTC derivatives market challenge,
http://www.allenovery.com/news/en-
gb/articles/Pages/AllenOvery-and-Deloitte-tackle-OTC-derivativesmarket-
challenge.aspx.
Bloomberg, Saudi Arabia Gives Citizenship, www.bloomberg.com/news/articles/ 2017-
10-26/saudi-arabia-gives-citizenship-to-a-robot-claims-global-first.
Brian Cave Leighton Paisner, BLP wins first contested application to use Predictive
Coding technology in disclosure, https://www.bclplaw.com/en-
US/thought-leadership/blp-wins-first-contested-application-to-use- predictive-
coding-technology-in-disclosure.html.
Clifford Chance, Clifford Chance drives innovation strategy with artificial intelligence
system Kira,
https://www.cliffordchance.com/news/news/2016/07/clifford-chance- drives-
innovation-strategy-with-- artificial-inte.html.
Cision, RAVN Systems' Artificial Intelligence Platform is Deployed Successfully at
Berwin Leighton Paisner, https://www.ravn.co.uk/ravn-systems-artificial-
intelligence-platform-deployed-successfully-berwin-leightonpaisner.
Daniel Martin Katz et al., A General Approach for Predicting the Behavior of the
Supreme Court of the United States, https://doi.org/10.1371/journal.
pone.0174698.
Dentons, Nextlaw Labs and IBM Cloud fuel legal tech startups,
http://www.dentons.com/en/whats-different-about-dentons/connecting- you-
to-talented-lawyers-around-theglobe/news/2015/august/dentons- nextlaw-
labs-and-ibm-cloud-fuel-legal-tech-startups.
DLA Piper, DLA Piper partners with Kira Systems to leverage artificial intelligence tool
for M&A due diligence,
https://www.dlapiper.com/en/uk/news/2016/06/dla-piper-partners- with-
kira-systems.
Elle Hunt, ‘Tay, Microsoft’s AI chatbot, Get a Crash Course in Racism from Twitter’,
https://www.theguardian.com/technology/2016/mar/24/tay- microsoftsai-
chatbot-gets-a-crash-course-in-racism-from-twitter.
Graham Greenleaf, Legal Expert Systems: Robot Lawyers? an Introduction to
Knowledge-Based Applications to Law,
http://www2.austlii.edu.au/cal/papers/robots89/ (terakhir diakses 26 Maret,
2019).

VeJ Volume 5 • Nomor 1 • 188


Mannes, J, DoNotPay launches 1,000 new bots to help you with your legal problems,
https://techcrunch.com/2017/07/12/donotpay-launches-1000- new-botsto-
help-you-with-your-legal-problems.
Manyika, J, Chui, M, Miremadi, M, Bughin, J, George, K, Willmott, P. and Dewhurst, M,
A future that works: automation, employment, and productivity, McKinsey
Global Institute, http://www.mckinsey.com/global- themes/digital-
disruption/harnessing-automation-for-a-future-that-works (terakhir diakses 21
Februari, 2019].
Matt Byrne, Linklaters becomes first magic circle firm to sign deal with AI provider
RAVN, https://www.thelawyer.com/issues/online-may-
2016/linklaters-becomes-first-magic-circle-firm-to-sign-deal-with-ai- provider-
ravn.
Mc Kinsey Global Institute, Artificial Intelligence and Southeast Asia Future,
https://www.mckinsey.com/~/media/McKinsey/Featured%20Insights/A
rtificial%20Intelligence/AI%20and%20SE%20ASIA%20future/Artificial-
intelligence-and-Southeast-Asias-future.ashx.
Michael Mills, Artificial Intelligence in Law: The State of Play 2016, Legal Executive
Institute, http://legalexecutiveinstitute.com/artificial-intelligence-in-law- the-
state-of-play2016-part-1.
Muhammed A.R. Pasha and Paul Soper, Combining the Strengths of Information
Management Technologies to Meet the Needs of Legal Professionals, Journal
Information, Law & Technology,
http://elj.warwick.ac.uk/jilt/itpract/2pasha.
Neznamov, A., Naumov, V, Model Convention on Robotics and AI,
http://robopravo.ru/matierialy_dlia_skachivaniia#ul-id-4-35.
Price Water Coopers, Global Artificial Intelligence Study, Sizing the Prize: Exploiting the
AI Revolution (What the real value of AI for your business and how
can you capitalize?)
https://www.pwc.com/gx/en/issues/analytics/assets/pwc-ai-analysis- sizing-
the-prize-report.pdf
Richard Kemp, Legal Aspects of Artificial Intelligence,
http://www.kempitlaw.com/wp-content/uploads/2016/11/Legal- Aspects-of-
AI-Kemp-IT-Law-v1.0-Nov-2016-2.pdf
Robert Moles and Bib Sangha, Logic Programming (an Assessment of Its Potential for
Artificial Intelligence Applications in
Law,http://web.archive.org/web/20020401072624/law.uniserve.edu.au/l
aw/pub/compute/logic/(terakhir diakses 26 Februari, 2019).
Russell Allen and Graham Greenleaf, Introduction to Inferencing, UNSW
Computerisation of Law,
http://aide.austlii.edu.au/documentation/inferencing.introduction.
Ryan Riefri, Alan Turing, Pioner Awal Terciptanya Komputer Digital,
https://www.codepolitan.com/alan-turing-pioner-awal-terciptanya- komputer-
digital-58c686f4cdcef (diakses 14 Februari 2019).
Samuel Gibbs, Chatbot lawyer overturns 160,000 parking tickets in London and New
York,

VeJ Volume 5 • Nomor 1 • 189


https://www.theguardian.com/technology/2016/jun/28/chatbot-
ailawyer-donotpay-parking-tickets-london-new-york.
Sandip Debnath et al., Law BOT: A Multiagent Assistant for Legal Research, 4 IEEE
Journal Internet Computing Online, No. 6, Nov.-Dec. 2000, at 32-37,
http://csdl.computer.org/comp/mags/ic/2000/06/w6032abs.htm.
Shead, S, The House of Lords is going to carry out a public inquiry. Business Insider,
July 20, 2017, http://uk.businessinsider.com/house-of-lords-to- carry-
outpublic-inquiry-into-ai-advances-2017-7.
Slaughter and May, Luminance launches with backing of Invoke Capital and in
collaboration with Slaughter and May,
https://www.slaughterandmay.com/news-and-recent- work/news/luminance-
launches-with-backing-ofinvoke-capital-and-in- collaboration-with-slaughter-
and-may/.
The Ministry of Justice, Nationality Law of Japan, http://www.moj.go.jp/ENGLISH/
information/tnl-01.html.
Thomas S. Clay and Eric A. Seeger, Law Firms in Transition,
http://www.altmanweil.com/LFiT2017/.
Thomson Reuters, Thomson Reuters and IBM Collaborate to Deliver Watson Cognitive
Computing Technology, http://thomsonreuters.com/en/press-
releases/2015/october/thomson-reuters-ibm-collaborate-to- deliverwatson-
cognitive-computing-technology.html.
Tsvetkova, I, AI in Court, lawyer bot in court, and legal disputes crowdfunding–
LegalTech–revolution begins, https://rb.ru/opinion/legaltech.
University of Otago, Artificial Intelligence and Law in New Zealand,
http://www.cs.otago.ac.nz/research/ai/AI-Law/index.html.
W.H. Freeman and Co, Discussing the use of computers to automate judicial decision
making, http://www.ipma-wa.com/news/1977/197707.htm.

VeJ Volume 5 • Nomor 1 • 190


See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/326380527

Perspektif Hukum Teknologi Informasi

Technical Report · March 2014


DOI: 10.13140/RG.2.2.25583.15520

CITATION READS

1 18,783

3 authors:

Mahyuddin K. M. Nasution Opim Salim Sitompul


University of Sumatera Utara University of Sumatera Utara
241 PUBLICATIONS 840 CITATIONS 126 PUBLICATIONS 438 CITATIONS

SEE PROFILE SEE PROFILE

Sawaluddin Nasution
University of Sumatera Utara
28 PUBLICATIONS 112 CITATIONS

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Data warehouse conceptual design View project

Hand Gesture Recognition View project

All content following this page was uploaded by Mahyuddin K. M. Nasution on 30 November 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PANM¥ADIESNATALlSKE-60
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(12 Januari 1954-12 Januari 2014)
Jalan Univwsitm Rio. 4 — Kauqnu USU. Medau TeIpAm (061 ) 8213371

Nomor : fPAN/DN/FH-USU/2014 Medau, Maret 2014


Hal : Sumbanga• knrya ilmiah darl berbagai bidang ilmu
dslaas raagkn Dies Nstnfia e•60 ¥akaltas Bukaat USU

Kepada Yth. :
1. Or.Mahyudin, M.IT
2. Prof.Dr.Opim Salim Sitompul, M.Sc
3. Drs. Sawaluddin, M.IT
Di-
Tempat

Dengan hormat, dengan ini Panitia Dies Natalis Ke-60 Fakultas Hukum USU mengucapkan
terima kasih atas pengiriman Karye Ilmiah yang berjudul: “Perspektif Hukum Teknologi
Informasi”, Penulis:
1. Dr.Mahyudin, M.IT
2. Prof.Dr.Opim Salim Sitompul, lvLSc
3. Dis. Sawaluddin, M.IT

Deniikian disatnpaikan, atas kcijasamanya diucapkan terima kasih

PANTTIA PELAKSANA
DIES iATAL£S FAKULTAS HUKUM USU

Dr. OS,Saidia, GIEWEE Syanieul Rizal, SH.M.Hum

ku USU
PERSPEKTIF HUKUM TEKNOLOGI INFORMASI

Mahyuddin K. M. Nasution1, Opim Salim Sitompul2, Sawaluddin Nasution3


123
Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi (Fasilkom-TI),
3
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA)
dan
1
Pusat Sistem Informasi (PSI)
Universitas Sumatera Utara (USU)
1
mahyunst@yahoo.com, mahyuddin@usu.ac.id, 2opimstp@usu.ac.id, 3sawal@usu.ac.id

Abstrak
Teknologi informasi dan hukum adalah dua bidang keilmuan yang sangat berbeda, tapi kedua-
duanya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Hukum seiring dengan
tumbuhnya kehidupan sosial, sedangkan teknologi informasi ada ketika kebutuhan manusia
akan kehidupan lebih baik begitu penting. Dengan demikian, hukum diperlukan untuk
mengendalikan penggunaan teknologi informasi dalam setiap sisi kehidupan manusia.
Sebaliknya, teknologi informasi diperlukan untuk membantu pencapaian penerapan hukum
secara baik, disebabkan keterbatasan manusia itu sendiri dalam mengumpulkan dan mengolah
informasi yang begitu banyak. Teknologi informasi terus tumbuh begitu pesat, merambah ke
bidang-bidang lain, tetapi pertumbuhan ini tidak diiringi oleh aturan pengendalian dalam
penerapannya. Secara umum, di Indonesia perundang-undangan tentang penerapan dan
penggunaan teknologi informasi begitu lambat, dan ketika suatu undang-undang diluncurkan
tantangan keterbelakangan hukum sudah terlihat. Perspektif hukum teknologi informasi
mencoba melihat hal-hal yang mungkin dijadikan bahan pertimbangan dalam memahami
kemungkinan-kemungkinan penyelesaian ketertinggalan perundang-undangan dibandingkan
pertumbuhan teknologi informasi.

1. Pendahuluan

Kesejahteraan adalah hakikat dari kehidupan manusia dan ini memerlukan sains dan
teknologi (Nasution, 2001). Sains dibutuhkan untuk meningkatkan daya saing setiap
orang, komunitas atau bangsa, sedangkan teknologi digunakan untuk memudahkan
kehidupan manusia. Namun demikian, agar kesejahteraan itu terus terpelihara dengan
baik, diperlukan suatu tatanan, tatanan membutuhkan aturan-aturan yang menjadi
kerangka usaha manusia untuk mencapai dan meningkatkan kesejahteraan itu (Lloyd,
2000). Jadi, sebagai anggota sosial masyarakat setiap orang berkaitan secara langsung
antara satu dengan yang lain melalui ketentuan-ketentuan, adat-istiadat, dan
kelembagaan yang telah diatur dan disepakati bersama, yang dikenali sebagai sistem
sosial (Zhan et al., 2009).

Sains, pada satu sisi, adalah bebas nilai, namun demikian sains mempengaruhi
setiap sisi kehidupan manusia melalui peningkatan nilai-nilai kehidupan manusia
(Denicolò & Mariotti, 2000). Sains menjadi tolak ukur tinggi rendahnya kebudayaan,

1
sains menjadi landasan pembangunan suatu masyarakat yang berbudaya, tetapi tidak
banyak orang mengusainya baik sebagai ilmu maupun secara filosofis (Nasution et al.,
2010; Halilem et al., 2011). Oleh karena itu, sains kadangkala hanya bermukim di
kampus-kampus, sains sebagai pengetahuan tetaplah sebagai menara gading, indah
dilihat ketika jauh, dan ini memerlukan aturan dan ketentuan untuk mengendalikan
perilaku sosial, dengan kata lain agar retak gading tidak menjadi cacatnya gading
diperlukanlah polesan seni (Etzkowitz et al., 2000). Pada sisi lain, sains tidaklah sekedar
tinggal dalam dokumen, sains digunakan untuk menciptakan dan mengembangkan
teknologi yang bertujuan untuk meningkatkan tarap dan mutu hidup manusia (Nasution
et al., 2010). Namun demikian, setiap teknologi akan seperti pisau bermata dua
(Cummings 2003/2004; Mbatha, 2009), teknologi dapat digunakan untuk berbuat
kebaikan tetapi teknologi juga dapat menjadi sarana untuk berbuat jahat. Ketika
kejahatan semakin canggih karena teknologi, sosial masyarakat menjadi semakin
terdestruksi (Nasution, 2013). Penggunaan teknologi terkait dengan penguasaan
keterampilan, dan orang yang tidak memahami filosofis sains tentang teknologi dapat
dilatih untuk menguasai teknologi dan menggunakannya untuk sebarang keperluan
dalam kehidupannya. Namun begitu, orang yang demikian akan cenderung tidak
memikirkan sebab akibat penggunaan teknologi itu. Oleh karena itu, hanya aturan-
aturan yang dapat mengendalikan jalannya penggunaan teknologi, dan setiap
kemunculan teknologi semestinya harus diiringi oleh hukum yang mengatur
penggunaan teknologi itu, tetapi sayangnya kemunculan teknologi baru selalu lebih
cepat daripada penerbitan undang-undang.

Jika diambil teknologi informasi atau komputer sebagai satu kasus tentang
teknologi, maka akan dapat dikatakan bahwa setiap hari akan muncul minimal satu
teknologi yang berkaitan dengan teknologi informasi (Dai et al., 2007; Alonso et al.,
2010). Ini sejalan dengan lebih banyaknya kertas kerja ilmiah di bidang teknologi
informasi yang diterbitkan setiap tahun dibandingkan dengan bidang-bidang lain.
Dengan demikian, undang-undang tentang teknologi informasi atau komputer perlu
mampu beradaptasi terhadap perubahan-perubahan dan tantangan yang segera hadir
tidak lama setelah undang-undang itu diluncurkan. Lagi pula, teknologi informasi dan
hukum, sekilas pandang bukanlah kombinasi alami yang seseorang dapat pikirkan
dengan baik: Teknologi informasi cepat, memiliki renrengan dan masa depan,
sedangkan hukum yang berhati-hati, kuno dan verbose. Namun begitu, pengaruh
teknologi informasi dan khususnya Internet, menyebabkan hukum telah menjadi
semakin besar areanya dan gagasannya (Turner, 2009; Kennedy, 2013). Peningkatan
berarti terus dapat dilihat tentang hubungan keduanya. Teknologi informasi memainkan
peran terpusat dalam hukum, praktek hukum, dan penelitian hukum. Ketergantungan
pada teknologi informasi telah menjadi begitu besar sehingga orang bisa mengatakan
bahwa teknologi informasi dan hukum dapat digabungkan. Alasannya, meskipun
kemajuan teknologi informasi begitu mengesankan, tetapi masih tetap rentan terhadap
kesalahan dan kurang mudah digunakan secara benar.

2. Teknologi Informasi dan Kejahatan

Teknologi informasi (information technology) merujuk kepada proses pengetahuan dan


metode-metode penerapannya berupa pengolahan, mentransfer dan membuat informasi
sebagai ukuran kiprah kemajuan (Karami pour, 2003). Teknologi informasi adalah
kegiatan untuk mengumpulkan, mengorganisir, menyimpan, menerbitkan dan

2
menggunakan informasi dalam bentuk suara, grafis gambar atau citra, teks, angka,
audio, video dan sebagainya yang secara umum disebut multimedia dengan melibatkan
komputer dan/atau telekomunikasi (Shangmeng et al., 2010). Jadi, perubahan penting
dihasilkan dari dan oleh teknologi informasi, telah menjadi sumber perubahan mendasar
dalam banyak komunitas sosial. Perubahan yang paling penting memiliki akar melalui
fakta ini bahwa teknologi telah memungkinkan setiap orang sebagai anggota
masyarakat untuk mendapatkan manfaatnya dan ini menyebabkan masyarakat
termotivasi untuk meningkatkan penggunaan teknologi informasi (Steimann, 2001;
Lucas, 2011).

Secara umum peran teknologi informasi adalah untuk memastikan bahwa


layanan-layanan yang memudahkan kehidupan manusia dapat disajikan baik apabila
diperlukan maupun tidak. Dengan begitu, setiap saat agen perubahan sosial (seperti
sainstis, sosiolog, pakar hukum dan sebagainya) perlu mengkaji dan memprediksi
kemunculan teknologi informasi dan perkembangan teknologi sehingga akses terhadap
pengetahuan menjadi lebih baik. Prediksi menunjukkan bahwa teknologi informasi
berakhir dalam satu komunitas masyarakat seperti desa atau dusun, di sebalik keyakinan
lain bahwa teknologi informasi akan membantu pencapaian kesepakatan internasional
(mutual understanding), perdamaian dan persaudaraan. Yang lainnya menganggap
teknologi informasi sebagai faktor memperkuat kemandirian dan promosi demokrasi
(Best, 2006). Selain itu, teknologi informasi dianggap sebagai faktor pembebas sosial
dari keterikatan terhadap kejumudan sosial seperti korupsi (Alatas et al., 2009) dan
nepotisme (Sandström & Hällsten, 2008), sehingga dengan mendapatkan informasi
melalui sistem komunikasi yang lebih baik diperoleh keterbukaan dan transparansi. Tapi
kebanyakan negara dengan teknologi terbelakang dan penguasaan sains yang rendah
seperti Indonesia, selain sulit untuk mengakses teknologi, juga terus menerus
menghadapi masalah terstruktur dan perilaku yang berkaitan dengan penggunaan
teknologi, seringkali penggunaan teknologi informasi tidak tepat guna (efektif) dan
berdaya guna (efisien). Efisiensi dalam teknologi ini tergantung pada faktor-faktor
politik, budaya, ekonomi, teknis dan tingkat perkembangan teknologi pendukung dan
kualitas yang sedang dilembagakan serta penggunaannya (Kuznar & Frederick, 2007),
sedangkan efektif dalam teknologi memerlukan aturan dan ketentuan yang sesuai serta
ketaatan terhadapnya (Roberge et al., 2002).

2.1 Tantangan dan tuntutan

Tantangan yang berasal dari penggunaan dan penerapan teknologi informasi adalah
akan terjadinya perubahan perilaku baik secara peribadi maupun sosial (Clarke, 2006).
Kemampuan manusia terbatas, tidak peduli berapa banyak informasi yang
disebarluaskan, setiap orang hanya punya pilihan selain untuk mengandalkan orang lain
untuk memilah informasi yang relevan, pastilah memerlukan teknologi informasi
sebagai andalan. Dalam hal ini, arah tuju gerak sosial akan ditentukan oleh
perkembangan teknologi informasi. Pada dua dekade terakhir misalnya, teknologi
informasi telah memungkinkan terjadinya transformasi organisasi atau perusahaan, yang
memperbolehkan sebarang organisasi untuk menurunkan biaya dan meningkatkan
efisiensi (Brynjolfsson & Hitt, 1995), atau meraih keuntungan lebih. Miliu ini kemudian
tidak lagi menjadi bagian dari organisasi/perusahaan, tetapi juga menjadi
kecenderungan peribadi-peribadi. Fokus telah berkembang dari apakah teknologi
informasi mempengaruhi kinerja perusahaan dengan bagaimana teknologi itu mengubah
perusahaan dalam industri yang berbeda, menjadi apakah teknologi informasi

3
mempengaruhi tingkat prestasi anggota-anggota masyarakat termasuk anggota
organisasi itu dengan berbagai macam isu yang berbeda (Melville et al., 2004).
Pertanyaan demikian akan secara bergantian muncul untuk menjawab berbagai tuntutan.

Berbagai tuntutan yang datang baik dari anggota masyarakat secara pribadi
maupun secara berkelompok terhadap berbagai fasilitas kehidupan, yang menyebabkan
perlunya perkembangan teknologi informasi menjadi lebih baik dan lebih baik lagi
(Celentani & Ganuza, 2002). Percepatan pertumbuhan teknologi informasi
menyebabkan kecenderungan secara psikologi kemandulan pemikiran untuk hal-hal lain
yang bermanfaat, mengakibatkan tingginya tingkat kejenuhan sosial, rendahnya usaha
untuk berada dalam tatanan sosial berkompetensi dan berkompetitif dengan bermarwah.
Kesenangan sesaat lebih diutamakan, walaupun dengan kehancuran masa depan,
termasuk menjual harga diri. Kehidupan di kota lebih menarik daripada kehidupan di
desa, keterbukaan menjadi senjata salah kaprah terhadap perubahan sosial, dan
kehidupan sosial dengan demikian menjadi rentan terhadap informasi yang mungkin
ditafsirkan secara salah. Sebagaimana menjadi terkenal merupakan bagian dari
perubahan perilaku anggota masyarakat dalam era informasi, maka sebagai akibat
kemudahan yang diberikan oleh teknologi informasi, anggota-anggota masyarakat
menjadi terkotak-kotak dalam komunitas tertentu berdasarkan kepentingan.

Perubahan paling jelas disebabkan oleh teknologi informasi adalah perubahan


aliran informasi. Aliran informasi pada awalnya (secara klasik) mengalir dari sumber
terpusat seperti perpustakaan, pemancar radio, pemancar televisi, atau penerbit, kepada
audiens: pendengar atau pembaca (Nasution, 2013). Namun demikian, kini aliran itu
telah dua arah, setiap kali informasi diterbitkan, masyarakat secara individu dapat
memberi komentar dan dibaca atau didengar oleh banyak orang. Baik informasi yang
diterbitkan maupun komentar dapat saja tidak tak terbukti benar, sebab informasi yang
direkamkan adalah hanya gambaran gejolak sosial (Nasution & Noah, 2010). Sebarang
penerbitan informasi begitu mudahnya, dengan demikian terdapat banyak sumber
informasi dari berbagai hal, dan di antaranya sedikit yang boleh dipercaya. Sumber-
sumber informasi akademik menjadi rangking teratas yang dapat dipercaya karena
secara umum didasarkan atas pengetahuan dan penelitian yang dijalankan. Sumber
informasi blog dan komentar menjadi sumber yang paling rendah tingkat
kepercayaannya di antara sumber informasi, termasuk juga penerbitan seperti surat
kabar (koran) ataupun jurnal yang tidak memiliki kualitas redaksional/ulasan dan
penyuntingan. Sumber informasi tanpa memenuhi tatacara penerbitan bermutu
diistilahkan ‘abal-abal’ dan cenderung menyampaikan informasi dan pengetahuan yang
salah, dan kemudian merusak tatanan sosial (Beall, 2012).

2.2 Penyakit sosial dan kejahatan

Sejak dahulu tingkah laku jahat anggota masyarakat muncul secara alamiah di dalam
masyarakat yang sakit atau tidak terkelola dengan baik. Kadangkala, kejahatan
demikian dipandang sebagai bagian dari masyarakat dinamis, akan tetapi jelas menjadi
realita dan fakta yang merugikan bagi masyarakat (Chmura et al., 2007). Secara
ekonomis, kerugian dapat berupa material: Sebarang kejahatan akan berkaitan dengan
kehilangan atau rusaknya harta benda, serta biaya yang harus dikeluarkan untuk
menanggulanginya. Tetapi kerugian nonmateril selalu lebih mahal lagi: Kerugian
nonmateril berkaitan dengan hilangnya kepercayaan terhadap penegakan hukum.
Pemulihan tidak saja memerlukan dana, tetapi waktu yang cukup lama. Lagi pula,

4
kerugian nonmateril selalu menyebabkan kerugian lain atau beruntun, dan akibatnya
tidak kunjung selesai.

Dalam perspektif sosiologi, kejahatan merupakan perilaku yang dihasilkan oleh


masyarakat disebabkan dinamisme sosial dalam berinteraksi. Dari sudut teknologi,
kejahatan sebagai ketidakmampuan masyarakat mengadopsi teknologi informasi secara
menyeluruh (King & Jessen, 2010a, 2010b). Perilaku penggunaan teknologi informasi
secara sebagian-sebagian, atas alasan karena menguntungkan saja, bukan untuk tujuan
perbaikan mutu kehidupan atau pengajaran, merupakan perilaku fatal dalam
menegakkan nilai-nilai keadilan. Seperti penggunaan sebarang perangkat lunak
(software) tetapi dengan cara membajak pirantinya atau data orang lain, atau mematai-
matai untuk kepentingan kelompok tertentu atau pimpinan organisasi/masyarakat/
negara akan menjadi kejahatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Teknologi informasi di
tangan yang salah atau pelaku kejahatan akan menyebabkan kerusakan sosial menjadi
lebih buruk, apalagi ketika penegak hukum menggunakan teknologi informasi secara
salah adalah penyakit sosial terburuk yang akan membutuhkan kepunahan generasi
tertentu untuk menyembuhkannya (Saraf & Kazi, 2013).

Kejahatan tidak saja menyentuh golongan bawah, rakyat dan kemiskinan, tetapi
golongan atas, pemimpin, agen hukum, dan orang kaya. Kejahatan dengan melibatkan
teknologi informasi melebihi kejahatan yang ada dalam hal kerugian masyarakat dan
sosial. Kejahatan melalui teknologi informasi melintasi warna kulit, tingkat sosial,
perbedaan pandangan, golongan dan kelompok atau komunitas tertentu, dan ini akan
melukai hati nurani masyarakat. Ketiga peristiwa kejahatan disampaikan dengan mudah
oleh teknologi informasi, dan pelaku kejahatan adalah penegak hukum, serta melibatkan
teknologi informasi, walaupun secara hukum hanya oknum yang salah, tetapi serta-
merta secara sosial instansi hukum dan orang-orangnya dipandang sebagai penjahat, dan
ini adalah ciri pemerintahan atau negara yang akan hancur selalu didahului kekacauan
sosial (chaos) sebagai akibat awal.

2.3 Isu dasar

Isu dasar tentang kejahatan dan pelanggaran hukum adalah apabila ada kerugian, dan
ada pihak yang dirugikan. Kerugian dapat berkaitan dengan peribadi, komunitas, sosial
masyarakat tertentu atau lingkungan alam, atau bahkan melibatkan negara, kadangkala
menyentuh isu mayoritas dan minoritas dalam struktur sosial. Kerugian bersifat materil
dan non-materil, ada hal yang bersifat privasi tetapi juga ada hal yang bersifat publik,
ada yang terkait dengan warga negara tetapi juga ada yang berkaitan dengan
pemerintahan, jadi meliputi semua aspek kehidupan manusia. Kejahatan atau
pelanggaran dapat disebabkan oleh tindakan (melakukan), penggunaan alat atau
teknologi, atau berkaitan dengan sebarang objek yang dapat menimbulkan kejahatan
(Barton et al., 2003). Oleh karena itu, dalam teknologi informasi, isu yang berkaitan
langsung atau tidak langsung dengan teknologi informasi adalah

a. Semua aktivitas atau kegiatan yang melibatkan teknologi informasi yang


mengakibatkan kerugian terhadap peribadi, sosial, atau Negara.
b. Semua objek yang dibicarakan dalam teknologi informasi dan
disalahgunakan sehingga mengakibatkan kerugian terhadap peribadi, sosial
atau Negara.

5
c. Semua peristiwa yang berlangsung dengan menggunakan teknologi
informasi yang mengakibatkan kerugian terhadap peribadi, sosial, atau
Negara.
d. Sifat, sikap dan perilaku yang didasarkan atau sebagai akibat penggunaan
teknologi informasi yang menyebabkan kerugian terhadap peribadi lain,
sosial, atau Negara.
e. Semua yang bersifat fisik (riil) atau bukan yang menyebabkan kerugian
secara peribadi, secara sosial, atau atas nama Negara.

Telekomunikasi
1839 Telegraph Sir Charles Wheatstone Telegraph elektrik pertama beroperasi
& Sir William dengan jangkauan 21 kilometer di Great
Forthergill Cooke Western railway.
1876 Telepon Alexander Graham Telepon ditemukan, tapi menurut
Bell (Amerika Serikat) kongres AS bahwa Antonio Meucci
yang menemukan telepon.
1900 Reginald Fessenden Pengiriman suara manusia tanpa melalui
kabel.
1901 Guglielmo Marconi Pembangunan komunikasi tanpa kabel
antara Inggris dan Amerika Serikat.
1925 John Logie Baird Pengiriman pesan berupa gambar siluet
bergerak. Pada tahun yang sama dapat
dikirimkan gambar bergerak atau
televisi menggunakan Nipkow disk.
1973 Telepon Generasi I
Genggam Martin Cooper Telepon genggam ditemukan.
1983 Seluler Amos E. Joel Jr. Sistem penyambungan ponsel dari satu
wilayah ke sel ke wilayah sel yang lain.
1990 Telepon Generasi II
Telepon dengan teknologi 2G, Penggunaan sinyal digital melengkapi
CDMA dan GSM. telepon genggam dengan pesan suara,
panggilan tunggu, dan pesan singkat
(SMS).
2000 Telepon Generasi III
Telepon dengan teknologi 3G. Penggunaan sinyal digital untuk Internat
dan video call.
? Telepon Generasi IV
Pendekatan dengan teknologi CDMA, wireless LAN, Bluetooth dan
nirkabel dengan melibatkan sebagainya. Telah mengakomodasi
internet protocol (IP). berbagai aplikasi seperti video, dll.
? Telepon Generasi V.

Gambar 1. Garis waktu perkembangan teknologi telekomunikasi

3. Sejarah Teknologi Informasi dan Hukum Terkait di Indonesia

Sejarah informasi dan teknologi informasi sejajar dengan peradaban manusia. Manusia
purba melakukan komunikasi dan menyampaikan informasi kepada yang lain untuk
6
tetap dapat bertahan hidup dalam lingkungan yang keras termasuk untuk berburu
binatang yang lebih besar. Penyampaian informasi melalui tanda-tanda atau simbol-
simbol, seperti yang terukir pada gua-gua peninggalan jaman pra-sejarah, menjadi inti
dari pertahanan dalam kehidupan: Penafsiran berasal dari contoh pendahulu atau ikutan
agar terhindar dari konsep fitnah atau marabahaya lain. Kini, kehidupan nomaden yang
berpindah-pindah, telah digantikan oleh kehidupan modern. Informasi tidak sekedar
ditafsirkan, tetapi memerlukan pemaknaan lebih mendalam, sehingga memerlukan
teknik lebih canggih untuk mengungkapkan informasi apa disebalik informasi yang ada.
Oleh karena itu, teknologi informasi terus dipacu, dan sejak era industri tergantikan
dengan era informasi, dunia seperti kebanjiran teknologi informasi (Nasution, 2005a).

Komputer dan Jaringan


1940- Generasi I
an Mark I Howard H. Aiken Kalkulator elektronik untuk US Navy
(Amerika Serikat) (kumpulan kabel yang sangat panjang).
Model I Jaringan dengan batch processing.
ENIAC Joh W. Mauchly Terbuat dari tabung vakum.
1941 Z3 Konrad Zuse Digunakan untuk merancang pesawat
(Jerman) terbang dan peluru kendali.
1943 Colossus Inggris Digunakan untuk memecah kode
rahasia.
1945 EDVAC Joh von Neumann Komputer dengan CPU dan memori.
(Amerika Serikat)
1950- Jaringan Terdiri dari beberapa terminal terhubung
an secara seri ke computer host.
1951 UNIVAC I Remongton Rand Komputer komersial pertama.
Generasi II
1956 IBM- Penemuan transistor dan supercomputer
Stretch Digunakan bahasa pemrograman seperti COBOL dan
FORTRAN
Generasi III
1958 Chip Jack Kilby Sirkuit elektronik terpadu dikenali
sebagai IC (integrated circuit).
1969 ARPANET DARPA Jaringan organik dengan 10 komputer
berhasil dihubungkan untuk melakukan
komunikasi.
1970 Munculnya pengolahan secara
terdistribusi.
1972 e-mail Roy Tomlinson Penyempurnaan program surat
elektronik, dan memperkenalkan ikon @
sebagai lambang penting.
1973 Internet Vinton Cerf dan Bob Gagasan international network (Internet)
Kahn dikemukakan.
1979 USENET Tom Truscott, Jom Hadirnya newsgroups dengan nama
Ellis dan Steve USENET.
Belloven

Gambar 2. Garis waktu perkembangan teknologi komputer dan jaringan

7
Gambar 1 adalah gambaran singkat yang menjelaskan perkembangan teknologi
informasi menurut garis waktu (timeline). Teknologi ini merupakan teknologi
pendukung dalam pertukaran informasi (teknologi informasi), melalui berbagai macam
media perantara. Secara teknologi, terdapat berbagai media komunikasi yang secara
umum berasal dari alam, apakah itu bersifat konduktor (penghantar arus listrik), atau
semi-konduktor, atau melibatkan sumber-sumber daya alam yang penggunaannya di
Indonesia telah di atur dalam dan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. Namun
demikian perkembangan teknologi informasi dan penggunaannya telah memaksa
pemerintah Indonesia untuk menerbitkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.

Sejarah komputer, jaringan, internet, dan telekomunikasi tidak dapat dipisahkan


antara satu dengan yang lain. Sekarang ini, teknologi ini hampir tanpa ada kalang yang
jelas kecuali sekedar nama dalam bidang kajian, dan secara umum dikenali sebagai
teknologi informasi. Pada satu sisi, komputer akan menjadi pendukung terhadap
telekomunikasi, dalam hal ini komputer sebagai bagian dari teknologi telekomunikasi.
Sebaliknya, pada sisi lain, semua piranti / telekomunikasi sebagai alat pendukung
terhadap jaringan komputer dalam hal ini dipandang sebagai teknologi komunikasi yang
mendukung teknologi informasi (Nasution, 2005b, 2005c).

Komputer dan Jaringan Internet


Generasi IV
1980- VLSI Ribuan komponen transistor dalam satu chip tunggal
an Video game Atari 2600
1981 Televisi France Telecom Terciptanya telepon televisi (video link)
PC IBM Menggunakan mikroprosesor
1982 TCP/IP Terbentuknya TCP/IP (transmission control protocol) dan
Internet Protocol
1984 DNS Sistem penamaan domain (domain name system).
1987 Tercatat 10.000 komputer telah terhubung (sepuluh kali lipat
dari sebelumnya).
1988 Chat Jarkko Oikarinen Memperkenalkan internet relay chat
(IRC).
1990 WWW Tim Barners Lee Waring Wera Wanua (World Wide Web)
atau dapat disingkat Web saja.
1992 Komputer tersambung ke jaringan melebihi 1 juta komputer.
1994 Situs Web telah tumbuh menjadi 3.000 alamat.
Yahoo Yahoo didirikan, direktori sebagai cikal bakal mesin cari.
Netscape Munculnya Netscape Navigator untuk mesin browser.
? ? ? ?
Generasi V
2001 HAL9000 Arthur C. Clarke Bersifat imajinatif:
Space Odyssey, komputer
(berkemampuan) yang melibatkan
kecerdasan buatan, memiliki nalar,
mampu bercakap, memasukkan visual
dan belajar dari pengalamannya.
? ? ? ?
Gambar 3. Garis waktu perkembangan teknologi komputer, jaringan dan internet
8
Sejauh ini, berdasarkan garis waktu perkembangan teknologi informasi
(komputer, jaringan, Internet dan telekomunikasi) berada pada tahap Generasi IV,
namun demikian Generasi V sudah berada di ambang pintu, beberapa inisiatif: konsep,
sains dan metode, mulai mengarah kepada munculnya teknologi demikian, seperti
penglibatan kecerdasan buatan (artificial intelligent) di hampir semua pengolahan data
yang merangkumi semua bidang pengetahuan (Gambar 1, 2, dan 3). Walaupun menurut
garis waktu perkembangan teknologi informasi telah lama tumbuh, dan berkembang
hampir meliputi semua sisi kehidupan manusia, namun demikian Negara Indonesia baru
dapat meluncurkan ketentuan terkait dengan hal itu di tahun 2008, yaitu Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Internet dan Transaksi Elektronik, walaupun
secara mendasar pembicaraan tentang hal ini telah dilakukan jauh sebelum reformasi
bergulir.

Dari perspektif penerapan hukum, teknologi informasi dan undang-undang


terkait adalah bidang yang masih muda, hanya baru melalui beberapa dekade. Dari
perspektif teknologi informasi, hukum untuk teknologi informasi sudah berumur lama.
Jika diamati, jelas terdapat perbedaan antara dua disiplin ilmu ini: Hukum kembali
berabad-abad jika tidak ribuan tahun ke masa lalu, sementara teknologi informasi baru
muncul pada kedua abad terakhir. Domain hukum untuk teknologi informasi, berjalan
pincang dan melalui liku-liku teknologi yang kemudian beradaptasi terhadap teknologi
informasi. Misalnya, adalah hukum lalu lintas, hukum lingkungan, dan hukum hak asasi
manusia, telah melalui tradisi panjang dalam penerapannya, tetapi setelah terjadi
fenomena sosial yang berubah mengikuti masyarakat teknologi informasi, tanggung
jawab untuk perubahan terbaru didasarkan terhadap undang-undang teknologi
informasi. Pelanggaran lalu lintas yang semula harus dibuktikan ditempat, kemudian
dapat dibuktikan dengan menggunakan rekaman pelanggaran melalui penggunaan
teknologi informasi misalnya.

4. Ruang Lingkup: Dua Sisi Berbeda

Seperti yang telah diuraikan di atas, apa yang menjadi ruang lingkup teknologi
informasi tidak dapat dibatasi sampai kepada perilaku, waktu, tempat dan apa yang ada
saat ini sebagai teknologi informasi, tetapi juga bergantung kepada manfaat yang
diperoleh dan perkembangan selanjutnya dari teknologi informasi. Demikian juga,
kejahatan dan undang-undang terkait. Kejahatan dengan melibatkan teknologi
informasi, tidak saja berkaitan dengan bukti fisik, tetapi juga bukti nir-fisik, atau dengan
sesuatu yang jelas (terdeskripsi) ataupun berkaitan sesuatu yang niskala (abstrak).
Secara filosofis pengetahuan dapat dikatakan bahwa, penggunaan teknologi informasi
dengan mutu rendah (kasar) selalu disertai dengan bukti fisik, tetapi penggunaan
teknologi informasi secara canggih (halus) kadangkala tidak mudah untuk dibuktikan
secara fisik dan selalu dijumpai tidak ada bukti fisik kecuali pada sesuatu yang dapat
dimaknai seperti yang diungkapkan dalam kalimat: “Keberadaan jaringan teroris
sebagai kejahatan sosial yang dibuktikan melalui teknologi informasi (Nasution &
Elfida, 2013), akan menyebabkan kejahatan lain yang setara seperti adanya sabotase
politik dalam pemerintahan atau pengkhianatan terhadap negara jika terdapat banyak
pelaku korupsi dalam pemerintahan, sebab secara statistik maupun jaringan (Nasution &
Noah, 2010), sekumpulan koruptor akan sama seperti kumpulan teroris”.

9
Bersama kemajuan teknologi informasi saat ini, undang-undang yang berkaitan
dengannya: canggihnya kejahatan dan hukum harus berada dalam tempat yang setara.
Dengan kata lain, undang-undang harus mampu mengendalikan penggunaan teknologi
informasi di luar jalur kebenaran dan melindungi pihak-pihak yang dirugikan. Dengan
demikian, undang-undang tidak saja harus sesuai dengan kebutuhan penggunaan
teknologi informasi, tetapi juga adanya teknologi informasi yang mampu digunakan
untuk menggali kemungkinan-kemungkinan penerapan undang-undang untuk tujuan
yang lebih baik.

4.1 Teknologi informasi untuk hukum

Teknologi informasi untuk hukum terdiri dari dua komponen: teknologi informasi dan
hukum. Pada bagian ini teknologi informasi berorientasi hukum dan kajian berkaitan
dengan bagaimana menggunakan teknologi informasi di bidang hukum. Teknologi
informasi untuk hukum adalah denominator umum yang diterima dan dapat disebut
demikian, yang merupakan istilah yang sangat luas digunakan dalam bidang kajian
teknologi informasi. Beberapa istilah lain yang digunakan adalah “kecerdasan buatan
dan hukum” atau “kecerdasan buatan hukum” (Gray, 1997), “teknologi informasi
aplikasi hukum” (Yannopoulos, 1998), “perhitungan legislasi” (Seipel, 1977), dan
“hukum informatika”. Topik meliputi pengembangan sistem pengetahuan yang sah,
manajemen pengetahuan, model argumentasi yang sah, dan ontologi yang legal. Semua
topik ini, melibatkan multi disiplin dalam kajian teknologi informasi, yang
memperlajari apa peluang teknologi informasi untuk ditawarkan kepada pembuatan,
penerapan, dan pelaksanaan undang-undang atau hukum. Dengan kata lain, bagaimana
menerapkan teknologi informasi dalam penentukan hukum sesuatu kejahatan dan
kesalahan? Bagaimana merumuskan persyaratan untuk memastikan bahwa sistem dapat
dikembangkan memenuhi spesifik hukum? Beberapa tuntutan yang saling berkaitan
akan berhubungan erat dengan sikap yang diambil dalam menggunakan teknologi baru,
di mana beberapa penerapan harus mempertimbangkan potensi yang mungkin dapat
diambil.

Teknologi informasi untuk hukum, dimulai dari penggunaan beberapa perangkat


keras dan perangkat lunak untuk kepentingan hukum, seperti penggunaan pengolah kata
(misalnya Microsoft Word) dalam mendokumentasikan proses penjatuhan hukuman.
Perkembangan seterusnya didasarkan atas perlunya pengolahan data atau informasi
hukum yang cepat, maka informasi perlu distrukturisasi dalam satu pangkalan data
(database), yang memungkinkan penemuan kembali informasi yang sesuai untuk
kepentingan lain. Dalam nada yang sama pangkalan data dinyatakan dalam lingkaran
legal sebagai “kumpulan karya bebas, data atau bahan lain yang diatur secara sistematis
atau bermetode serta dapat diakses oleh peribadi secara elektronik atau cara lain.
Informasi yang terdapat di dalam pangkalan data dapat ditemukan secara online dengan
merumuskan kueri pencarian. Istilah umum untuk ini adalah penemuan kembali
informasi (information retrieval, disingkat IR) (Nasution & Noah, 2012).

Dengan adanya pangkalan data yang menyimpan istilah, sistem penaralan istilah
dapat dibangun, dan menunjukkan bahwa sistem ini dapat melakukan lebih dari sedekar
menyimpan dan memproses informasi. Sistem ini mampu menghubungkan informasi
yang telah disimpan dengan fakta-fakta yang diperkenalkan oleh pengguna dan untuk
alasana-alasan lain yang berkaitan dengan hukum. Dengan cara itu sistem ini dapat
menghasilkan luaran tertentu yang dapat memiliki bentuk keputusan. Oleh karena itu,

10
sistem ini dikenali juga dengan nama sistem pengelolaan pengetahuan yang berkaitan
dengan hukum. Dalam rangka untuk mencapai hal ini, informasi harus disimpan dalam
bentuk tertentu yang memudahkan penalaran, dan ini terbagi ke dalam tiga kategori:

a. Pertama diberi nama dengan sistem penalaran berbasis kasus (System of


Case based Reasoning, CBR), pengetahuan preseden pada dasarnya diwakili
oleh faktor-faktor preseden yang relevan. Dalam menggunakan semua
faktor, sistem memfasilitasi untuk menggambarkan analogi antara kasus
yang ditangani dengan kasus-kasus serupa sebelumnya dengan hasil yang
diinginkan, dan hal-hal yang diperbedakan dengan kasus serupa yang tidak
memiliki hasil yang diinginkan.
b. Kedua disebut sebagai sistem berbasis pengetahuan (Knowledge based
System, KBS) melibatkan aturan-aturan. Secara klasik, KBS memiliki tiga
bagian: Bagian basis pengetahuan dengan mana pengetahuan domain
disajikan sebagai aturan logika IF THEN, yang disebut sebagai aturan
produksi. Bagian berikutnya adalah mekanisme inferensi yang
memungkinkan untuk menentukan aturan. Mekanisme penalaran ini dapat
melibatkan forward chaining (dimulai dengan aturan syarat) atau backward
chaining (apabila hasil yang berasal kasus tidak diketahui). Jika syarat
dipenuhi, sistem dapat menuju kesimpulan berdasarkan aturan pertama
dengan syarat aturan lain dalam basis pengetahuan hukum, sedangkan hasil
yang tidak diketahui dibantu dengan dukungan hasil lain yang
memungkinkan.
c. Jaringan saraf (neural network) bekerja dengan cara yang sama sekali
berbeda dengan kedua sistem sebelumnya. Sistem bertujuan untuk meniru
cara kerja otak manusia: Jaringan saraf terdiri dari simpul dan jalinan, yang
dapat dibandingkan dengan neuron dan sisnapsis otak. Sisi masukan jaringan
terdiri dari berbagai faktor yang relevan, dan sisi luaran adalah hasil yang
mungkin. Di antaranya ada beberapa yang disebut lapisan tersembunyi yang
dapat disesuaikan sehingga hasil yang memadai tercapai. Sejumlah kasus
hukum dapat dijadikan sebagai latihan sistem disebut training set, yang
digunakan untuk mempelajari jaringan bagaimana memutuskan sesuatu,
yang akhirnya setelah optimal sistem menyarankan sesuatu. Dalam
perjalanan waktu, sistem menjadi lebih baik, dan kemudian sampai batasnya
diperoleh sesuatu yang benar. Dengan demikian, sistem dapat memecahkan
masalah dasar dalam domain hukum.

Taksonomi (penguraian) dapat membantu untuk melihat perbedaan dan


persamaan antara berbagai aplikasi teknologi informasi dalam hukum. Pemahaman ini
sangat penting dari sudut legal, bahwa penggunaan teknologi informasi dalam suatu
organisasi, misalnya sangat membantu dalam pengaturan pendidikan ketika mengajar
materi hukum tentang berbagai aplikasi, dan berguna dalam menentukan fokus kajian
tertentu. Jadi, taksonomi dukungan teknologi informasi untuk hukum berfungsi secara
alami. Taksonomi klasik dari jenis dukungan teknologi informasi adalah

a. Otomasi perkantoran: Pengolah kata, dokumen baku, sistem pengelolaan


aliran kerja merupakan tiga contoh dari otomasi perkantoran. Jenis dukungan
ini berasal dari perspektif praktis secara hakiki, tetapi perspektif ini tidak
begitu penting dari sudut hukum, kecuali hanya dari segi legalitas
penggunaan teknologi itu sendiri.

11
b. Pangkalan data: Penggunaan pangkalan data bersama berkaitan dengan
hukum kasus dan perundang-undangan, sangat diperlukan untuk tujuan
praktis, dan menimbulkan berbagai persoalan yang perlu dikaji, meskipun
sebagian besar tidak berkaitan langsung dengan hukum.
c. Sistem-sistem berbasis pengetahuan atau sistem pengetahuan, seperti mesin
cari: Sistem ini dalam prakteknya tidak digunakan secara luas, kecuali
sampai saat ini hanya menarik perhatian dari sudut penelitian.

Teksonomi yang mencerminkan siklus hidup data (Matthijssen & Weusten,


1999) menunjukkan teknologi informasi dapat digunakan untuk mencipta data,
mengubah data, menyimpan data, mengirimkan data, dan menerapkan data. Namun
begitu, terdapat tahap-tahap pengamanan terhadap data, sistem penulisan selalu
berkaitan dengan persoalan privasi penulisan, sedangkan berikutnya adalah menjadi hak
dan pengelolaan dari administrasi sistem dengan menerapkan sistem keamanan data dan
jaringan yang sesuai (Nasution, 2006a, 2006b, 2006c).

Taksonomi dukungan teknologi informasi untuk hukum berguna untuk dikenali


atas dasar kepentingan hukum itu sendiri. Dalam segala sisi, hukum bagian dari
kehidupan, yang dapat dinyatakan sebagai alat kendali sosial masyarakat, bersama
teknologi informasi menghadirkan kemungkinan pengelolaan pengetahuan legal atau
pengetahuan yang sah di sisi undang-undang. Maksudnya adalah untuk meyakinkan
bahwa di dalam sosial masyarakat, cukup tersedia informasi dan pengetahuan agar
tujuan dan arah sosial masyarakat berkibar secara positif.

4.2 Undang-undang untuk teknologi informasi

Hubungan antara teknologi informasi dan hukum dipelajari dan dikaji di dua area yang
berbeda baik dalam dunia pendidikan maupun dalam penelitian. Pada bagian ini hukum
berorientasi teknologi informasi. Secara silogisme analisis dan implikasi hukum
teknologi informasi dapat dilakukan, yaitu penyelesaian masalah hukum yang datang
dari penerapan dan penggunaan teknologi informasi dalam masyarakat. Topik bahasan
berkaitan dengan tanda tangan elektronik, kontrak-kontrak komputer, hak cipta di
internet, perlindungan data, dan kejahatan komputer. Kajian tentang hal ini akan
melibatkan multi disiplin ilmu yang ada dalam kedua bidang ini, yang membentang di
atas semua damain hukum klasik, yaitu hukum perdata, hukum pidana, hukum tata
negara, dan hukum administrasi.

Paradigma hukum teknologi informasi adalah bersifat melekatkan (embed), dan


secara fenomena terus terbarukan. Aturan hukum dalam perundang-undangan
dikembangkan untuk mengatasi situasi baru yang disebabkan oleh penggunaan
teknologi informasi yang sudah ada ataupun baru, atau aturan yang ada yang
memerlukan penafsiran kembali. Oleh karena itu, undang-undang yang berkaitan
dengan teknologi informasi semestinya didukung oleh peraturan-peraturan pemerintah
pusat atau daerah yang berfungsi untuk menafsirkan akibat-akibat perkembangan dan
kemunculan teknologi informasi yang baru. Khusus di Indonesia, perlu membangun
hukum mayantara Indonesia yang demokratis, karena akan mengadopsi perlakuan
hukum yang berbeda dalam setiap lapis dan budaya masyarakat yang beraneka ragam
(Kleve et al., 2011). Hukum mayantara, penamaan yang diberikan terhadap sekumpulan
aturan yang terkait dengan pelanggaran atau tindakan merugikan yang berasal dari

12
penggunaan teknologi informasi terutama dunia maya (Internet dan Web), yang secara
umum juga dikenali sebagai cyberlaw atau cybercrime (Koops & Brenner, 2006).

Dalam prakteknya, terdapat hambatan terbesar dari sudut sumber daya manusia,
penegakan hukum akan tergantung kepada para penegak hukum, selain kejujuran-
ketegasan-dan-tranparansi, diperlukan penguasaan teknologi informasi. Pada sisi
hukum, para penegak hukum akan merasa aman karena memiliki pengetahuan yang
mendalam tentang tradisi mereka di bidang hukum, tetapi pada sisi teknologi informasi,
penegak hukum membutuhkan kerja keras untuk memiliki pemahaman tentang
teknologi informasi, dan selalu tidak merasa aman, karena hukum dipengaruhi oleh
teknologi informasi itu. Bagaimana membangun hukum dengan cara paling cocok
terhadap teknologi informasi, apalagi teknologi yang terkait baru saja diperkenalkan,
adalah memerlukan latar belakang pengetahuan tentang undang-undang kriminal dalam
kasus kejahatan komputer, latar belakang hukum sipil dalam kasus hukum e-commerce,
dan latar belakang hukum umum dalam kasus pemungutan suara elektronik. Secara
umum, penerapan hukum teknologi informasi memerlukan keahlian para penegak
hukum, dan ini menjadi kendala utama dalam hukum teknologi informasi

4.3 Ontologi Undang-Undang Teknologi Informasi

Undang-undang yang terkait dengan teknologi informasi secara khusus di Indonesia


adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 yang diberi nama dengan Undang-
Undang Internet & Transaksi Elektronik. Undang-Undang ini dibagi dalam 13 bab dan
54 pasal, seperti terbagi dalam Tabel 1.

Tabel 1. Struktur Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008.


Bab Nama Bab Pasal Jumlah Pasal
I Ketentuan Umum 1 dan 2 2
II Asas dan Tujuan 3 dan 4 2
III Informasi, dokumen, dan tanda 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 8
tangan elektronik dan 12
IV Penyelenggaraan sertifikasi elektronik 13, 14, 15 dan 16 4
dan sistem elektronik
V Transaksi elektronik 17, 18, 19, 20, 21, 6
dan 22
VI Nama domain, hak kekayaan 23, 24, 25, dan 26 4
intelektual, dan perlingan hak pribadi
VII Perbuatan yang dilarang 27, 28, 29, 30, 31, 11
32, 33, 34, 35, 36,
dan 37.
VIII Penyelesaian Sengketa 38 dan 39 2
IX Peran Pemerintah dan Peran 40 dan 41 2
Masyarakat
X Penyidikan 42, 43, dan 44 3
XI Ketentuan Pidana 45, 46, 47, 48, 49, 7
50, 51, dan 52.
XII Ketentuan Peralihan 53 1
XIII Ketentuan Penutup 54 1

13
Ketentuan umum mengandungi definisi semua subjek dan objek yang berkaitan
dengan teknologi informasi. Objek dijadikan sebagai alat dalam melakukan perbuatan
hukum. Alat ini terdiri dari dua jenis: yang ada secara fisik atau yang tidak wujud dalam
bentuk fisik (nir-fisik). Sedangkan subjek adalah pelaksana/pelaku atau yang berbuat:
peribadi, komunitas, ataupun pemerintah. Bab II berkaitan dengan asas dan tujuan,
adalah untuk menjelaskan manfaat dan kegunaan teknologi informasi secara umum. Bab
III membahas tentang legalitas penggunaan data dan/atau informasi elektronik secara
hukum, yang dapat berkaitan dengan perundang-undangan lain seperti hukum pidana,
perdata dan lainnya. Bab selanjutnya mengatur masalah penyelenggaraan, berupa
penyelenggara dan apa yang diselenggarakan berkaitan dengan teknologi informasi.
Bab ini dibagi atas dua bagian, pasal-pasal yang bertumpu kepada sertifikasi dan pasal-
pasal yang bertumpu kepada sistem. Pasal-pasal yang berkaitan dengan kegiatan
memindahkan data atau informasi atau apa yang berhubungan dengan itu
dikelompokkan pula pada Bab V. Bab VI berkaitan dengan penentuan hak dan
kewajiban tentang penggunaan data atau kekayaan intelektual. Semua aktivitas atau
kegiatan yang dilarang diuraikan pasal per pasal pada Bab VII, sedangkan penyelesaian
persengketaan dinyatakan dalam dua pasal pada Bab VIII.

Gambar 4. Kesamaan antara pendefinisian beberapa subjek dan objek


hukum teknologi informasi

Peran pemerintah, peran masyarakat, pelaksanaan penyidikan, dan ketentuan


hukum yang berkaitan dengan pidana diatur pada Bab VIII, IX, X, dan XI. Dua bab

14
terakhir digunakan untuk menyatakan deklarasi hubungan dengan ketentuan atau
peraturan lain jika diperlukan.

Secara umum, arus informasi antara satu pasal dengan pasal lain dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2011 mengalir dari satu bagian ke bagian lain. Artinya,
terdapat hubungan yang jelas tentang pendeklarasian mengenai subjek, objek dan
kegiatan yang berkaitan dengan hukum teknologi informasi. Dengan kata lain, pasal per
pasal akan saling menjelaskan sesuai dengan urutan dan pendefinisian atau ontologinya.

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 telah dinyatakan beberapa objek


dan subjek sebagai berikut (penjelasan Gambar 4): (1) Informasi Elektronik, (2)
Transaksi Elektronik, (3) Teknologi Informasi, (4) Dokumen Elektronik, (5) Sistem
Elektronik, (6) Penyelenggaraan Sistem Elektronik, (7) Jaringan Sistem Elektronik, (8)
Agen Elektronik, (9) Sertifikat Elektronik, (10) Penyelenggara Sertifikasi Elektornik,
(11) Lembaga Sertifikasi Keandalan, (12) Tanda Tangan Elektronik, (13) Penanda
Tangan, (14) Komputer, (15) Akses, (16) Kodek Akses, (17) Kontrak Elektronik, (18)
Pengirim, (19) Penerima, (20) Nama Domain, (21) Orang, (22) Badan Usaha, dan (23)
Pemerintah. Secara teknologi pengetahuan, terdapat hubungan yang kuat antara
beberapa subjek dan objek dalam teknologi informasi seperti hubungan antara (9)
sertifikat elektronik dan (10) penyelenggara sertifikasi elektronik, hubungan demikian
kadang kala bersifat simetris, tetapi juga kadangkala bersifat asimetris walaupun begitu
kuat seperti hubungan antara (1) informasi elektronik dan (4) dokumen elektronik.
Hubungan yang lebih lemah antara beberapa subjek dan beberapa objek di dalam
undang-undang ini dilukiskan dengan taraf keabu-abuan, lihat Gambar 4.
Penggambaran dimaksudkan untuk memetakan wilayah area hukum yang berkaitan
dengan teknologi informasi dengan bantuan teknologi informasi itu sendiri yang
dikenali juga sebagai teknologi pengetahuan (Nasution, 2013a).

Penafsiran secara semantik (teknologi pengetahuan) di atas didasarkan


penggunaan kata-kata yang membangun kalimat atau pernyataan (Nasution, 2011)
hukum di dalam undang-undang.

Tabel 2. Taksonomi beberapa definisi subjek dan objek


No. Subjek/Objek Komponen Predikat Aktor Sifat
1 Informasi Tulisan Mengolah Orang Elektronik
Elektronik Suara Memiliki
Gambar Memahami
Peta
Rancangan
Foto
EDI
Email
Telegram
Teleks
Telecopy
Huruf
Tanda
Angka
Kode akses
Simbol
Perforasi
2 Transaksi Komputer Melakukan Elektronik
elektronik Jaringan Menggunakan
Media

15
3 Teknologi Teknik Mengumpulkan Elektronik
informasi Menyiapkan
Menyimpan
Memproses
Mengumumkan
Menganalisis
Menyebarkan
4 Dokumen Informasi Dibuat Orang Elektronik
elektronik Komputer Diteruskan Analog
Sistem Dikirim Digital
Makna Diterima Elektromagnetik
Arti Disimpan Optikal
Dilihat
Ditampilkan
Didengar
5 Sistem elektronik Perangkat Mempersiapkan Elektronik
Prosedur Mengumpulkan
Mengolah
Menganalisis
Menyimpan
Menampilkan
Mengumumkan
Mengirimkan
Menyebarkan
6 Penyelenggaraan Sistem Pemanfaatan Orang Elektronik
sistem elektronik Badan
Masyarakat
Negara
Penyelenggara
7 Jaringan sistem Sistem Terhubung Elektronik
elektronik Tertutup
Terbuka
8 Agen elektronik Sistem Dibuat Orang Elektronik
Tindakan Melakukan Otomatis
Informasi Diselenggarakan
9 Sertifikat Sertifikat Memuat Pihak Elektronik
elektronik Tanda tangan Menunjukkan Penyelenggara Status
Identitas Dikeluarkan
Subjek
10 Penyelenggara Sertifikat Berfungsi Badan Elektronik
sertifikasi Dipercaya Pihak
elektronik Memberikan
Mengaudit
11 Lembaga Sertifikat Dibentuk Pemerintah Elektronik
sertifikasi Diakui Lembaga Independen
keandalan Disahkan Andal
Diawasi Professional
Mengaudit
Mengeluarkan
12 Tanda tangan Tanda tangan Dilekatkan Verifikasi
elektronik Informasi Terasosiasi Autentikasi
Alat Terkait
Digunakan

13 Penanda tangan Subjek Terasosiasikan Elektronik


Tanda tangan Terkait
14 Komputer Alat Memproses Elektroik
Data Melaksanakan Magnetik
Sistem Optik
Logika

16
Aritmetika
Penyimpanan
15 Akses Kegiatan Melakukan Elektronik
Interaksi Berdiri sendiri
Sistem
Jaringan
16 Kode Akses Angka Mengakses Elektronik
Huruf
Simbol
Karakter
Kombinasi
Kunci
Komputer
Sistem
17 Kontrak Perjanjian Dibuat Pihak Elektronik
elektronik Sistem Melalui
18 Pengirim Subjek Mengirimkan Elekronik
Informasi
Dokumen
19 Penerima Subjek Menerima Elektronik
Informasi
Dokumen
20 Nama domain Alamat Digunakan Negara Unik
Internet Berkomunikasi Orang
Kode Melalui Badan
Karakter Penyelenggara
Lokasi

21 Orang Orang
Perseorangan
Warga Negara
Warga asing
Badan
22 Badan usaha Perusahaan Berbadan
Perseorangan Hukum
Persekutuan Bebas
23 Pemerintah Ditunjuk Menteri
Pejabat
Presiden

Ruang lingkup yang dicakupi oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 untuk
subjek atau objek meliputi komponon: Alamat, alat, angka, aritmatika, arti, data,
dokumen, EDI (electronic data interchange), email (electronic mail), foto, gambar,
huruf, identitas, informasi, interaksi, internet, jaringan, karakter, kegiatan, kode, kode
akses, kombinasi, komputer, kunci, logika, lokasi, makna, media, penyelenggara,
penyimpanan, perangkat, perforasi, perjanjian, peta, prosedur, rancangan, sertifikat,
simbol, sistem, suara, subjek, tanda, tanda tangan, teknik, telecopy, telegram, teleks,
tindakan, tulisan. Sedangkan kata kerja (predikat) untuk melakukan atau tindakan
hukum berkaitan dengan perkataan: Menganalisis, mengaudit, mengakses, memberikan,
menggunakan, mengirimkan, mengeluarkan, melaksanakan, melakukan, melalui,
memiliki, mengumpulkan, memuat, mengolah, memahami, memproses, menerima,
menyebarkan, menyiapkan, mempersiapkan, menyimpan, menampilkan, menunjukkan,
mengumumkan, dibuat, dipercaya, digunakan, diteruskan, dikirim, diolah, diterima,
disimpan, dilihat, didengar, pemanfaatan, terhubung, diselenggarakan, dikeluarkan,
dibentuk, diakui, disahkan, diawasi, dilekatkan, ditunjuk, berfungsi, berkomunikasi,

17
terasosiasi, dan terkait. Ruang lingkup aktor terlibat dalam penggunaan teknologi
informasi adalah orang peribadi (perorangan), perusahaan, persekutuan, warga negara
atau bukan warga negara, badan atau lembaga, pemerintah, pejabat, menteri, atau
presiden, atau pihak lain yang terkait, seperti ditunjukkan pada Tabel 2.

Selain penyelesaian melalui penguraian berdasarkan taksonomi ataupun


ontologi, perumusan keterlibatan teknologi informasi dalam pengembangan wawasan
hukum dapat melibatkan berbagai persoalan penerapan hukum. Sebagai contoh, ketika
sekumpulan kasus hukum telah diadopsi dari seorang hakim, keputusan-keputusan
dapat dibandingkan sejalan dengan perundangan-undangan yang berlaku. Dalam hal ini,
akan melibatkan beberapa data atau informasi tentang tertuduh, kasus hukum, dan lama
hukuman. Jika hakim A memutuskan rata-rata hukuman untuk kasus korupsi lebih
rendah dari hakim B, maka persentasi penerapan hukuman dapat diukur sebagai ukuran
kecurigaan bahwa hakim A memutuskan secara curang, metode yang melibatkan
pengukuran berdasarkan teknologi informasi ini dikenali sebagai penemuan kembali
informasi, yang pada dasarnya bagian dari bidang pengelolaan pengetahuan.

5. Isu atau Persoalan Hukum Terkini

Seperti yang telah diuraikan berdasarkan ontologi taksonomi, hukum teknologi


informasi akan terus berkembang dan memerlukan perhatian dan kajian yang terus
menerus. Beberapa isu seperti privasi, sensor, hak cipta, pencemaran nama baik dan
fitnah, rahasia umum, publikasi cabul atau pornografi, contempt of court: hukum swasta
termasuk perjanjian kontrak di media massa, undang-undang media massa internasional,
merupakan masalah-masalah yang terus berkembang sejalan dengan perkembangan
teknologi informasi. Pada sisi yang berbeda, selain institusi hukum, dunia pendidikan
berkaitan erat dan memerlukan hukum teknologi informasi sejalan dengan implementasi
teknologi informasi tentang pendidikan (seperti e-learning atau open courseware
(OCW)), di mana kadangkala penerapan teknologi informasi dapat melanggar hak asasi
manusia. Berbagai konsensi telah dibuat untuk negara-negara berkembang dalam
bantuan pendidikan termasuk bantuan pemahaman tentang hukum dan peradaban yang
berkaitan dengan teknologi informasi, yang dilandasi kepada projek masa depan
kemanusiaan, namun demikian penerapan hukum teknologi informasi secara seragam
kepada berbagai kebudayaan yang berbeda, akan mengakibatkan kepunahan sebagian
budaya, sebagaimana akibat televisi terhadap berbagai kebudayaan tua atau terasing
(Kennedy & Doyle, 2008; Valcke & Dumortier, 2012).

Hukum pasar umum telah mempengaruhi kekayaan intelektual dan media massa
(Kemp, 2008). Kasus OCW telah meminta perhatian banyak kajian berkaitan dengan
hak intelektual dalam sistem OCW: berbagai karya ilmiah pengajaran dan bahan ajar
akan bebas diakses secara terbuka tanpa kendali dari berbagai lokasi, sebaliknya OCW
begitu penting ditinjau dari sudut perlunya melakukan klaim awal terhadap penemuan
atau penciptaan teori, metode ataupun teknologi baru yang terkait. Selain itu, kasus
plagiat akan dimungkinkan untuk dihindari, sebagai akibat dari publikasi dilakukan
melewati jarak, waktu dan banyak tempat tanpa memerlukan biaya yang mahal. Namun,
secara perundang-undangan hal-hal demikian perlu pengaturan yang jelas, yang tidak
menyebabkan pertentangan kepentingan disebabkan oleh teknologi informasi.

18
Undang-undang tentang teknologi informasi perlu mengatur hukum dan
lembaga yang mempengaruhi dan mengendalikan iklan nasional dan manca negara
(Chaudri & Bristows, 2004), termasuk penerbitan hukum telekomunikasi internasional
dan nasional. Pada era globalisasi, informasi terus mengalir memasuki setiap lorong
kehidupan dan rumah-rumah masyarakat tanpa ada batas, setiap bagian kehidupan akan
bercampur baur tanpa ada penghalang, termasuk kemungkinan kontaminasi pemikiran
dan pola hidup yang dianut oleh sesuatu bangsa. Lagi pula, hukum ruang angkasa
dengan bagian-bagian relevan akan berkaitan langsung dengan teknologi informasi.
Sarana komunikasi seperti satelit menjadi pendukung utama distribusi informasi,
demikian juga pengetahuan yang mungkin terdapat pada satu sumber. Oleh karena itu,
penertiban ruang angkasa suatu negara perlu diatur penggunaannya demi untuk
kepentingan negara dan bangsa sebagaimana telah diamanatkan oleh UUD 1945.

Lagi pula, konvensi internasional mengenai kebebasan informasi dan aliran


informasi yang bebas, semestinya mempertimbangkan batas-batas budaya dan
kebangsaan. Konvensi internasional dan perundang-undangan nasional yang ditujukan
untuk penerimaan secara semesta standard kehidupan baik untuk komunikasi ataupun
hak cipta misalnya, kemungkinan akan mengakibatkan pelanggaran normatif alamiah
kehidupan sesuatu bangsa atau negara (Connolly & Ravindra, 2006). Sejauh ini dapat
dilihat bahwa kehidupan sosial sehari-hari seakan-akan langsung terkonversikan ke
dalam dunia maya. Hampir setiap orang dalam dunia ini hidup dalam dua ruang berbeda
sekaligus, dunia riil dan dunia internet. Apa yang terjadi dalam dunia fisik, akan
terekam langsung dalam dunia maya: Misalnya, surat, tanda tangan, uang dan
sebagainya yang secara fisik dapat dibuktikan keberadaannya, juga tergantikan dalam
dunia maya sebagai surat bersertifikasi, tanda tangan elektronik, uang elekronik, dan
sebagainya. Bagaimanapun, hal ini tidak selalu membawa kemudahan saja, tetapi
kadangkala membawa masalah yang harus diselesaikan dengan baik melalui kendali
perundang-undangan.

Saat ini, komputasi awan (cloud computing) telah menjadi proses operasi baku
dibanyak tempat (Gray, 2013): Sistem komunikasi dan infrastruktur dasar Internet
secara tidak langsung telah menggeser paradima makna hukum yang ada tentang
teknologi informasi. Teknologi yang berkaitan (teknologi awan) menawarkan potensi
luar biasa bagi pengguna dalam hal kenyamanan, kemudahan untuk memperoleh hal-hal
terbarukan dan sebagainya. Namun begitu, isu ini menyajikan tantangan hukum yang
signifikan. Undang-undang dibuat didasarkan pada gagasan teritorial, akibatnya hukum
akan berjuang untuk menanggapi perilaku penggunaan teknologi informasi di mana
garis-garis pada peta tidak relevan lagi. Misalnya, hukum kontrak, kesalahan dan
regulasi nasional semua mungkin berlaku untuk klaim pelanggaran privasi dalam
kaitannya dengan bahan-bahan yang diunggah ke awan, namun secara yuridiksi didekati
dengan cara yang berbeda (Hooper et al., 2013). Perusahaan multinasional seperti
Google, Amazon, Apple, Facebook, dan Microsoft memiliki dan mengoperasikan
infrastruktur komputasi awan di Internet serta mempengaruhi budaya, tetapi pada
umumnya melibatkan data privasi (Pagallo, 2013).

Saat ini, semua transaksi dapat dilakukan secepat pikiran orang yang
melakukannya. Negara-negara berdaulat tidak lagi secara efektif mengatur sistem
telekomunikasi dalam batas kenegaraan tanpa kepatuan diam-diam dari semua
perusahaan atau orang yang terlibat dalam komputasi awan (Adrian, 2013). Lagi pula,
sistem sharing telah menyebabkan mesin cari di Internet dengan kewajibannya

19
mendistribusikan informasi menangkap tanpa batas data atau informasi dari berbagai
tempat yang mungkin terhubung, dan kemudian dengan mudah dapat diakses oleh
banyak orang. Sebagai contoh, skandal yang melibatkan penjualan dan pembuatan
peralatan medis implan payudara dengan informasi yang menyesatkan dapat
meyakinkan banyak orang dengan teknologi informasi, tetapi jaminan terhadap peribadi
yang termakan korban tidak dilakukan oleh negara-negara yang terlibat. Oleh karena
itu, akan selalu yuridiksi didekati dengan cara yang berbeda, dan ini berpotensi
menciptakan kebingungan yang signifikan. Berdasarkan itu, perlu kerjasama dan
perjanjian internasional tentang hukum yang diberlakukan.

6. Penutup

Secara baku, suatu hukum berkaitan dengan peribadi, sosial, perusahaan,


organisasi, badan khusus, dan pemerintah, yang secara umum terbagi dua kutub yaitu
privasi dan publik. Demikian juga dengan penciptaan dan penggunaan teknologi
informasi berhubungan dengan dua kutub yang saling bertentangan. Hal-hal ini menjadi
isu utama daripada hukum teknologi informasi. Selain itu, perkembangan teknologi
informasi yang pesat menjadikan hukum tentang ini menjadi lebih kompleks untuk
didekati dan dikaji, perlu kiranya pertukaran informasi yang jelas dan pusat kajian yang
berkaitan dengan pengembangan peraturan dan ketentuan yang terkait dengan teknologi
informasi berdasarkan perspektif hukum, dan hukum ditinjau dari perspektif teknologi
informasi.

Referensi

Adrian, A. 2013. How much privacy do clouds provide? An Australian perspective.


Computer Law & Security Review 29: 48-57.
Alatas, V., Cameron, L., Chaudhuri, A., Erkal, N., Gangadharan, L. 2009. Subject pool
effects in a corruption experiment: A comparison of Indonesian public servants
and Indonesian students. Exp Econ 12: 113-132.
Alonso, I. A., Verdún, J. C., dan Caro, E. T. 2010. Information technology to help drive
business innovation and growth. Innovation in Computing Science and Software
Engineering: 527-531.
Barton, P., Nissanka, V., Waterhouse, F. F. 2003. Cyber-crime – criminal offence or
civil wrong? Computer Law & Security Report 19(5): 401-405.
Beall, J. 2012. Predatory publishers are corrupting open access. Nature 489: 179.
Best, S. 2006. Genetic science, animal exploitation, and the challenge for democracy. AI
& Soc 20: 6-21.
Brynjolfsson, E. dan Hitt, L. 1996. Paradox lost? Firm-level evidence on the returns to
information systems spending. Management Science 42(4): 541-558.
Celentani, M., dan Ganuza, J.-J. 2002. Organized vs. competitive corruption. Annals of
Operation Research 109: 293-315.
Chaudri, A. dan Bristows. 2004. Metatags and banner advertisements – do they infringe
trade mark rights? Computer Law & Security Report 20(5): 402-404.
Chmura, T., Kaiser, J., Pitz, T. 2007. Simulating complex social behavior with the
genetic action tree kernel. Comput. Math. Organ. Theory 13: 355-377.
Clarke, R. 2006. Google’s gauntlets – Challenges to ‘old world corps’, consumers and
the law. Computer Law & Security Report 22: 288-298.

20
Connolly, C., dan Ravindra, P. 2006. Firs UN Convention on eCommerce finalized.
Coputer Law & Security Report 22: 31-38.
Cummings, M. K. 2003/2004. The double-edged sword of secrecy in military weapon
development. IEEE Technology and society Magazine, Winter: 4-12.
Dai, Q., Kauffman, R. J. dan March. S. T. 2007. Valuing information technology
infrastructures: A growth options approach. Inf. Technol. Manage 8: 1-17.
Denicolò & Mariotti, 2000. Nash bargaining theory, nonconvex problems and social
welfare orderings. Theory and Decision 48: 351-358.
Etzkowitz, H., Webster, A., Gebhardt, C., Terra, B. R. C. 2000. The future of the
university and the university of the future: evolution of ivory tower to
entrepreneurial paradigm. Research Policy 29: 313-330.
Gray, A. 2013. Conflict of laws and the cloud. Computer Law & Security Review 29:
58-65.
Gray P. N. 1997. Artificial Legal Intelligence. Darmouth: Aldershot.
Halilem, N., Amara, N., dan Landry, R. 2011. Is the academic Ivory Tower becoming a
managed structure? A nested analysis of the variance in activities of researchers
from natural sciences and engineering in Canada. Scientometrics 86: 431-448.
Hooper, C., Martini, B., Choo, K.-K. R. 2013. Cloud computing and its implications for
cybercrime investigations in Australia. Computer Law & Security Review 29: 152-
163.
Karami pour, R. 2003. Suitable training with information age. The Growth of
Educational Technology 20: 45.
Kemp, R. 2008. MIFID (the markets in financial instruments directive) and technology.
Computer Law & Security Report 24: 151-162.
Kennedy, G., dan Doyle, S. 2008. A snapshot of legal developments and industry issues
relevant to information technology, media and telecommunications law in key
jurisdictions across the Asia Pasific – Co-ordinated by Lovells and contributed to
by other leading law firms in the region. Computer Law & Security Report 24:
401-406.
Kennedy, G. 2013. Asia-Pasific news. Computer Law & Security Review 29: 729-735.
King, N. J., Jessen, P. W. 2010a. Profiling the mobile customer – Is industry self-
regulation adequate to protect consumer privacy when behavioural advertisers
target mobila phones Part I. Computer Law & Security Review 26: 455-478.
King, N. J., Jessen, P. W. 2010b. Profiling the mobile customer – Is industry self-
regulation adequate to protect consumer privacy when behavioural advertisers
target mobila phones? Part II. Computer Law & Security Review 26: 595-612.
Kleve, P., Mulder, R. D., dan Noortwijk, K. van. 2011. The definition of ICT crime.
Computer Law & Security Review 27: 162-167.
Koops, B.-J., dan Brenner, S. W. (eds.). 2006. Cybercrime and Jurisdiction – A global
survey. TMC Asser Press.
Kuznar, L. A. dan Frederick, W. 2007. Simulating the effect of nepotism on political
risk taking and social unrest. Comput. Math. Organiz. Theor. 13: 29-37.
Lloyd, J. I. 2000. Information Technology Law. Soft-Cover: Butterworths.
Lucas, P. 2011. Usefulness of simulating social phenomena: Evidence. AI & Soc, 26:
355-362.
Mbatha, B. 2009. Web-based technologies as a double-edged sword in improving work
productivity and creativity in government department in South Africa: The case of
Zululand District Municipality. IEEE Proceeding of International Conference on
Computers & Industrial Engineering: 1914-1921.

21
Melville, N., Kraemer, K., dan Gurbaxani, V. 2004. Information technology and
organiational performance: An integrative model of IT business value. MIS
Quarterly 28(2): 283-322.
Nasution, M. K. M. (Mahyuddin). 2001. Basis sains dan teknologi sebagai basis
perekonomian. Suara USU, edisi 24 – April.
Nasution, M. K. M. (Mahyuddin). 2005a. Pandangan terhadap rancangan undang-
undang hukum pidana tentang informasi elektronika dan domain. Al-Khawarizmi:
Journal of Computer Science, Vol. 1(2): 63-70.
Nasution, M. K. M. (Mahyuddin). 2005b. Hak dan kewajiban berkarya dalam bidang
informatika dan telematika. Indonesia Media Law & Policy Centre (IMPLC),
Doc. No. 0015/IMPLC/Mdn/IX/05.
Nasution, M. K. M. (Mahyuddin). 2005c. Hak akses komputer dan sistem elektronik
dalam rancangan Undang-Undang Hukum Pidana. Al-Khawarizmi: Journal of
Computer Science, Vol. 1(3): 77-83.
Nasution, M. K. M. (Mahyuddin). 2006a. Kriptosistem menggunakan grup anyaman.
Al-Khawarizmi: Journal of Computer Science, Vol. 2(1): 13-18.
Nasution, M. K. M. (Mahyuddin). 2006b. Data dan pengetahuan: suatu tinjauan. Al-
Khawarizmi: Journal of Computer Science, Vol. 2(2): 1-11.
Nasution, M. K. M. (Mahyuddin). 2006c. Tinjauan terhadap kriptosistem menggunakan
grup anyaman. SEMIRATA, Universitas Andalas: Padang.
Nasution, M. K. M., Elfida, M., dan Mahfudz, S. 2010. Diskoveri pengetahuan: suatu
kritik. Prosiding Seminar Nasional Ilmu Komputer: 309-318.
Nasution, M. K. M. dan Noah, S. A. M. 2010. Superficial method for extracting social
network for academics using web snippets. Rough Set and Knowledge
Technology, LNCS-LNAI Vol. 6401: 483-490.
Nasution, M. K. M. 2011. Kolmogorov complexity: Clustering and similarity. Bulletin
of Mathematics 3(1): 1-16.
Nasution, M. K. M. dan Noah, S. A. M. 2012. Information retrieval model: A social
network extraction perspective. IEEE Proceedings of International on
Information Retrieval & Knowledge Management (CAMP’12).
Nasution, M. K. M. dan Elfida, M. 2013. Terrorist network: Towards an analysis.
Cornell University Library.
Nasution, M. K. M. (Mahyuddin). 2013. Superficial Method for Ekstracting Academic
Social Network from the Web. Ph.D Thesis, Universiti Kebangsaan Malaysia
(UKM): Bangi, Malaysia.
Nasution, M. K. M. 2013. Teknologi pengetahuan. Dies Fasilkom-TI USU: Medan.
Pagallo, U. 2013. Robots in the cloud with privacy: A new threat to data protection?
Computer Law & Security Review 29: 501-508.
Roberge, L., Long, S., Hassett, P., dan Burnham, D. 2002. Technology and the changing
practice of law: An entrée to previously inaccessible information via TRAC.
Artificial Intelligence and Law 10: 261-282.
Sandström, U dan Hällsten, M. 2008. Persistent nepotism in peer-review.
Scientometrics, 74(2): 175-189.
Saraf, B., dan Kazi, A. U. S. 2013. An analysis of traditional rules applied by Australian
courts to establish personal juridiction and their application in e-commerce.
Computer Law & Security Review 29: 403-412.
Seipel, P. 1997. Computing law. Perspectives on a new legal discipline. Stockholm:
Liber Förlag.
Shangmeng, L., Yanlei, S., Jingjing, H., Junliang, C. 2010. The design and
implementation of multimedia conference terminal system on 3G mobile phone.

22
IEEE Proceedings of International Conference on E-Business and E-Government:
141-144.
Steimann, F. 2001. On the use and usefulness of fuzzy sets in medical AI. Artificial
Intelligence in Medicine 21: 131-137.
Turner, M. 2009. The regular article tracking developments at the national level in key
European countries in the area of IT and communications – co-ordinated by
Helbert Smith LLP and contributed to by firms across Europe. Computer Law &
Security Review 25: 101-105.
Valcke, P., & Dumortier, J. 2012. Computer, law & security review – special issue trust
in the information society – ICRI 20th anniversary conference – “Trust in the
information society – in search of trust generating mechanisms for the network
society. Computer Law & Security Review 28: 504-512.
Yannopoulos G. N. 1998. Modelling the Legal Decision Process for Information
Technology Applications in Law. The Hague: Kluwer Law International.
Zarlis, M. dan Nasution, M. K. M. 2006. Sekolah dan teknologi informasi. Harian
Waspada: 20 Desember.
Zhan, J., Oommen, B. J., dan Crisostomo, J. 2009. Anomaly detection in dynamic social
systems using weak estimators. IEEE International Conference on Computational
Science and Engineering: 19-25.

23
Judul ETIKA SIBER DAN SIGNIFIKANSI MORAL DUNIA MAYA
CYBER ETHICS AND MORAL SIGNIFICATION IN
CYBERSPACE
Tahun 1999
Penulis Ahmad Rudy Fardiyan

Reviewer Ahmad Nur Fajar

Tanggal 04 Agustus 2021


Tujuan artikel jurnal Tujuan dari jurnal ini untuk menerapkan etika yang menjelaskan tentang
moral, hukum, dan isu sosial dalam pengembangan dan penggunaan
teknologi siber.
Inti dari jurnal Etika Siber (Cyberethics) termasuk dalam kajian etika terapan atau etika
khusus. Menurut Richard A. Spinello (2004), etika siber di definisikan
sebagai penerapan etika yang menjelaskan tentang moral, hukum, dan
isu sosial dalam pengembangan dan penggunaan teknologi siber. Yang
mana teknologi siber itu ia definisikan pula sebagai sebuah spektrum
besar yang membentang dari perangkat komputer hingga sekelompok
jaringan komputasi informasi dan komunikasi. Dengan demikian etika
siber atau etika internet tidak sekedar membahas tentang tata cara
penggunaan internet yang baik, aman, dan santun – yang mana hal
tersebut tergolong ke dalam etiket internet – namun lebih jauh lagi, etika
internet mengkaji permasalahanpermasalahan moral, hukum, dan isu-isu
sosial yang berhubungan dengan penggunaan komputer dan jaringan
internet sebagai penunjang interaksi antar manusia. Dunia siber ini
mempunyai karakteristik yang berbeda dengan dunia riil. Karekteristik
tersebut dijelaskan oleh Dysson (1994)3 sebagai berikut:
1. Beroperasi secara virtual
2. Dunia siber (dunia maya) selalu berubah dengan cepat
3. Dunia siber tidak mengenal batas teritorial (borderless)
4. Orang yang hidup dalam dunia siber dapat melakukan aktivitasnya
tanpa harus menunjukkan identitas aslinya (anonim).
5. Informasi di dalamnya bersifat publik.

Karakteristik dunia siber yang khas ini memberi peluang terhadap


munculnya perilaku atau tindakan yang pada dunia riil tidak atau sulit
bisa terwujud. Hal ini bisa disebabkan adanya batas-batas fisik
(geografis, bangunan, dan lain-lain) dan situasi perjumpaan yang konkret
(face to face dan/atau kehadiran orang lain secara riil).
Kesimpulan Etika internet atau etika siber (cyberethics) merupakan adopsi dari
konsep etika tradisional yang di terapkan pada konteks penggunaan dan
pengembangan teknologi komputer dan jaringan internet. Teknologi
siber ini menciptakan sebuah “dunia” baru yang di dalamnya manusia
bisa berinteraksi, berserikat, berbisnis, dan banyak lagi aktivitas lainnya.
Judul ETIKA KOMUNIKASI DALAM MENGGUNAKAN MEDIA
SOSIAL ( INSTAGRAM )
Tahun 2009
Penulis jurnal Rerin Maulinda, S. Pd, M.Pd.
Suyatno, S.Pd, M.Pd.
Reviewer Ahmad Nur Fajar
Tanggal 05 Agustus 2021
Tujuan jurnal Tujuan dari jurnal ini untuk menata cara pergaulan, aturan
perilaku, adat kebiasaan manusia dalam bermasyarakat dan
menentukan nilai baik dalam sosial media.
Inti dari jurnal Komunikasi merupakan keterampilan paling penting dalam
hidup kita. Seperti halnya bernafas, banyak orang beranggapan
bahwa Komunikasi sebagai sesuatu yang otomatis terjadi,
sehingga orang tidak tertantang untuk belajar berkomunikasi
secara efektif dan beretika. Hal yang paling penting dalam
komunikasi, bukan sekadar pada apa yang dikatakan, tetapi pada
karakter kita dan bagaimana kita mentransfer pesan serta
menerima pesan. Komunikasi harus dibangun dari diri kita yang
paling dalam sebagai fondasi integritas yang kuat. Komunikasi
melibatkan interaksi antar anggota masyarakat. Dalam interaksi
diperlukan norma-norma atau aturan-aturan yang berfungsi untuk
pengendalian yang tujuannya adalah untuk tercapainya
Ketertiban dalam masyarakat. Salah satu, upaya mewujudkan
tertibnya masyarakat adalah adanya etika komunikasi yakni
kajian tentang baik buruknya suatu tindakan komunikasi yang
dilakukan manusia, suatu pengetahuan rasional yang mengajak
manusia agar dapat berkomunikasi dengan baik.
Kesimpulan Berdasarkan pemaparan di atas, adapun kesimpulan yang ada
bahwasanya etika komunikasi dalam menggunakan media sosial,
khususnya Instagram sangatlah diperlukan. Hal ini dapat
meminimalkan sesuatu negatif dari tanggapan dan cara pandang
seseorang pembaca atau masyaratat.
Judul HUKUM PROGRESIF DAN PERKEMBANGAN
TEKNOLOGI KECERDASAN BUATAN
Jurnal Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia
Tahun 2013
Penulis Qur’ani Dewi Kusumawardani
Reviewer Ahmad Nur Fajar
Tanggal 04 Agustus 2021
Tujuan artikel jurnal Tujuan jurnal ini adalah untuk mengetahui perkembangan
teknologi kecerdasan buatan di berbagai bidang.
Intii dari jurnal Pada tahun 1936, matematikawan Inggris Alan Turing
mengusulkan konsep mesin Turing yaitu sebuah model
perhitungan yang memicu pengembangan informatika dan
komputer. Pada tahun 1950, Turing menerbitkan sebuah tulisan
yaitu berjudul mesin komputer dan kecerdasan. Hal ini pun
disebut sebagai asal muasal dari pemikiran kecerdasan buatan
modern yaitu kapasitas mesin yang dapat menampilkan kapasitas
seperti manusia seperti pola pikir berisi penalaran, pembelajaran,
perencanaan dan kreativitas. Riset PwC menempatkan
kecerdasan buatan sebagai “game changer” karena potensi nilai
ekonomi yang akan diberikan kepada ekonomi global mencapai
$15,7 triliun di tahun 2030 mendatang.
kesimpulan Teknologi kecerdasan buatan adalah bagian sentral dari
transformasi digital pada Revolusi Industri 4.0 yaitu ketika
teknologi big data memicu pembelajaran mesin (machine
learning) maka teknologi kecerdasan buatan akan semakin maju
dan memiliki dampak pada segala bidang kehidupan.
Judul PERSPEKTIF HUKUM TEKNOLOGI INFORMASI
Tahun 2013
Penulis Mahyuddin K. M.Nasution
Opim Salim Sitompul
Sawaluddin Nasution
Reviewer Ahmad Nur Fajar
Tanggal 04 Agustus 2021
Tujuan artikel Tujuan artikel ini adalah untuk mengetahui kemungkinan terjadinya
jurnal transformasi organisasi atau perusahaan, yang memperbolehkan
sebarang organisasi untuk menurunkan biaya dan meningkatkan
efisiensi.
Inti dari jurnal Tantangan yang berasal dari penggunaan dan penerapan teknologi
informasi adalah akan terjadinya perubahan perilaku baik secara
peribadi maupun sosial (Clarke, 2006). Perubahan paling jelas
disebabkan oleh teknologi informasi adalah perubahan aliran informasi.
Aliran informasi pada awalnya (secara klasik) mengalir dari sumber
terpusat seperti perpustakaan, pemancar radio, pemancar televisi, atau
penerbit, kepada audiens: pendengar atau pembaca (Nasution, 2013). Isu
dasar tentang kejahatan dan pelanggaran hukum adalah apabila ada
kerugian, dan ada pihak yang dirugikan. Kerugian dapat berkaitan
dengan peribadi, komunitas, sosial masyarakat tertentu atau lingkungan
alam, atau bahkan melibatkan negara, kadangkala menyentuh isu
mayoritas dan minoritas dalam struktur sosial. Dari perspektif teknologi
informasi, hukum untuk teknologi informasi sudah berumur lama. Jika
diamati, jelas terdapat perbedaan antara dua disiplin ilmu ini: Hukum
kembali berabad-abad jika tidak ribuan tahun ke masa lalu, sementara
teknologi informasi baru muncul pada kedua abad terakhir.
Kesimpulan Secara baku, suatu hukum berkaitan dengan peribadi, sosial, perusahaan,
organisasi, badan khusus, dan pemerintah, yang secara umum terbagi
dua kutub yaitu privasi dan publik.

Anda mungkin juga menyukai