Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN DAN KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

DENGAN MASALAH CHRONIC KIDNEY DISEASE

Dosen Pembimbing : Rizky Meuthia P, M.Kep

OLEH KELOMPOK 16 :

1. NURUL AZIZ (202003087)

2. MULYADI (202003117)

3. RISKA CAHYANTI (202003034)

4. JUHARDINA SRI W. (202003065)

5. RATNA DEWI CAHYANI (202003098)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

STIKes BINA SEHAT PPNI KAB. MOJOKERTO

TA. 2020-2021
BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA

1. Konsep Chronic Kidney Disease

1.1 Pengertian

Gagal ginjal terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah

metabolik tubuh atau melakukan fungsi regulernya. Suatu bahan yang biasanya

dieliminasi diurin menumpuk dalam cairan tubuh akibat gangguan ekskresi renal

dan menyebabkan gangguan fungsi endokrin dan metabolik, cairan, elektrolit,

serta asam basa. (suharyanto & madjid, 2009)

Gagal ginjal kronis terjadi apabila kedua ginjal sudah tidak mampu

mempertahankan lingkungan dalam yang cocok untuk kelangsungan hidup.

Kerusakan pada kedua ginjal ini ireversibel. (Baradero et al., 2009)

National Kidney Foundation (di Amerika Serikat) mendefinisikan gagal

ginjal kronis sebagai adanya kerusakan ginjal atau penurunan laju filtrasi

glomerulus kurang dari 60mL/min/1,73 m2 selama lebih dari 3 bulan (yasmaraet

al., 2017)
7

1.2 Klasifikasi

Gagal Ginjal kronis ini terbagi menjadi 5 tahapan (doenges,dkk, 2018)

1. Kerusakan ginjal dengan nilai GFR normal atau meningkat nilai GFR >90

mL/min/1,73 m

2. Kerusakan ginjal ringan dengan penurunan nilai GFR 60-89 mL/min/1,73 m

3. Kerusakan ginjal sedang dengan penurunan nilai GFR 30-59 mL/min/1,73 m

4. Kerusakan ginjal berat dengan penurunan nilai GFR 15-29 mL/min/1,73 m

5. Gagal ginjal nilai GFR < 15 mL/min/1,73 m

1.3 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinik antara lain (Wijaya & Putri, 2013)

1. Gejala dini: lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan

berkurang, mudah tersinggung, depresi

2. Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal atau

sesak nafas baik waktui ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai lekukan,

pruritis mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat parah.


8

1.4 Patofisiologi

Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus

dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh,

Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang

meningkat disertal reabsorpst walaupn dalam keadaan penurunan GFR/daya

saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai dari

nefron-nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada

yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai poliur dan haus.

Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbut

disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien

menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira

fungsi ginjal telah hilang 80%-90 %. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian

nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu. ( Wijaya

& Putri, 2013)

Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya

diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan

mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah

maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis.

(Wijaya & Putri, 2013).


9

1.5 Patway

Infeksi Gangguan Gangguan kongenital &


Gangguan Obat tr. Urinarius Gangguan Hipertensi
(pielonefritis) tubulus primer herediter
metabolik (DM) imunologis

Nefropati Hilangnya jaringan Kerusakan GFR menurun Iskemia ginjal Gangguan


fungsional ginjal struktur ginjal fungsi ginjal

Gagal ginjal
kronik

Sekresi eritropetin Sekresi air dan zat Retensi cairan Konsentrasi vit D Peningkatan PO4 Penimbunan
ginjal terlarut elektrolit aktif ↓ dan Ca dalam asamdalam cairan
plasma tubuh
Kristalisasi urea
Produksi sel darah Produksi renin Ca + dalam tulang ↓ konsentrasi Ca pH darah ↓
merah menurun terionisasi serum
Akumulasi toksin Angiotensin I plasma ↓ Asidosis
Anemia metabolik
1. Resti kerusakan Angiotensin II osteomalasia kusmaul sign
1. Perubahan integritas kulit
perfusi jaringan 2. Perubahan Peningkatan intoleransi Pola nafas tidak
2. Intoleransi proses pikir tekanan darah aktivitas efektif
aktivitas 3. Perubahan

Gambar 2. 1 Pathway Gagal Ginjal Kronik


1.6 Penatalaksanaan

Pengobatan gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi 2 tahap, yakni tindakan

konservatif, dialisis, dan transplatansi ginjal (Suharyanto & Madjid, 2009)

1. Tindakan konservatif

Tujuan pengobatan pada tahap ini adalah untuk meredakan atau

memperlambat gangguan fungsi ginjal progresif.

1) Pengaturan diet protein, kalium, natrium dan cairan

a) Pembatasan protein

Pembatasan protein tidak hanya mengurangi kadar BUN, tetapi juga

mengurangi asupan kalium dan fosfat, serta mengurangi produksi ion

hidrogen yang berasal dari protein. Pembatasan asupan protein telah

terbukti menormalkan kembali kelainan ini dan memperlambat terjadi

gagal ginjal.

Tabel 2. 1 Pembatasan Protein Berdasarkan Nilai GFR

GFR (ml/menit) Pembatasan protein (g)


10 40
5 25-30
3 atau kurang 20 20

b) Diet rendah kalium

Hiperkalemia biasanya merupakan masalah pada gagal ginjal lanjut

Asupan kalium yang dianjurkan adalah 40-80 mEq/hari.


c) Diet rendah natrium

Diet Na yang dianjurkan adalah 40-90 mEq/hari (1-2 g Na). Asupan

natrium yang terlalu longgar dapat mengakibatkan retensi cairan,

edema perifer, edema paru, hipertensi dan gagal jantung kongestif.

d) Pengaturan cairan

Asupan yang bebas dapat menyebabkan beban sirkulasi menjadi

berlebihan, edema. Sedangkan asupan yang terlalu rendah

mengakibatkan dehidrasi, hipotensi, dan gangguan fungsi ginjal.

Aturan yang dipakai untuk menentukan banyaknya asupan caian

adalah:

Jumlah urin yang dikeluarkan selama 24 jam terakhir + 500 ml

(IWL)

Misalnya : Jika jumlah urin yang dikeluarkan dalam waktu 24 jam

adalah 400ml, maka asupan cairan total dalam sehari adalah 400 + 500

ml = 900ml.

e) Diet rendah fosfat

Diet rendah fosfat dengan pemberian gel yang dapat mengikat fostat

di dalam usus.

f) Pengobatan hiperuriesmia

Obat pilihan untuk mengobati hipeurismia pada penyakit ginjal lanjut

adalah pemberian alopurinol. Obat ini mengurangi kadar asam urat

dengan menghambat sebagian asam urat total yang hasilkan tubuh.


g) Dialisis dan Transplantasi

Dialisis dilakukan apabila kadar kreatinin serum diatas 6 mg/100 ml

pada laki-laki atau 4 mg/100 ml pada wanita, dan GFR kurang dari 4

ml/menit. Dialisis dapat digunakan untuk mempertahankan penderita

dalam keadaan klinis yang optimal sampai tersedia donor ginjal

1.7 Komplikasi

1. Hipertensi

Apabila penderita sedang mengalami terapi hemodialisis, pemberian anti

hipertensi dihentikan karena dapat mengakibatkan hipotensi dan syok yang

diakibatkan oleh keluarnya cairan intravaskular melalui ultrasi, Pemberian

diuretik : furosemid (lasix).

2. Hiperkalemia

Hiperkalemia dapat diobati dengan pemberian glukosa dan insulin ke

dalam sel atau dengan pemberian intravena, yang akan memasukan K

Kalsium Glukonat 10 %.

3. Anemia

Pengobatannya adalah pemberian hormon eritropoeitin, yaitu rekombinan

eritropoeitin (r-EPO) (Eschbatch et al, 1987), selain dengan pemberian

vitamin dan asam folat, besi dan transfusi darah.

4. Asidosis

Asidosis ginjal biasanya tidak diobati kecuali dengan HCO3 plasma turun

dibawah angka 15 mEq/A. Bila asidosis berat akan dikoreksi dengan

pemberian Na HCO3 (Natrium Bikarbonat) parenteral.


1.8 Faktor-faktor yang Mempengaruhi

1. Usia

Hal ini disebabkan karena semakin bertambah usia, semakin

berkurang fungsi ginjal dan berhubungan dengan penurunan kecepatan

ekskresi glomerulus dan memburuknya fungsi tubulus. Penurunan fungsi

ginjal dalam skala kecil merupakan proses normal bagi setiap manusia

seiring bertambahnya usia, namun tidak menyebabkan kelainan atau

menimbulkan gejala karena masih dalam batas-batas wajar yang dapat

ditoleransi ginjal dan tubuh. Namun, akibat ada beberapa faktor risiko

dapat menyebabkan kelainan dimana penurunan fungsi ginjal terjadi

secara cepat atau progresif sehingga menimbulkan berbagai keluhan dari

ringan sampai berat, kondisi ini disebut gagal ginjal kronik (GGK) atau

chronic renal failure (CRF). (Pranandari & Supadmi, 2015)

2. Jenis Kelamin

Secara klinik laki-laki mempunyai risiko mengalami gagal ginjal

kronik 2 kali lebih besar daripada perempuan. Hal ini dimungkinkan

karena perempuan lebih memperhatikan kesehatan dan menjaga pola

hidup sehat dibandingkan laki-laki, sehingga laki-laki lebih mudah terkena

gagal ginjal kronik dibandingkan perempuan. Perempuan lebih patuh

dibandingkan laki-laki dalam menggunakan obat karena perempuan lebih

dapat menjaga diri mereka sendiri serta bisa mengatur tentang pemakaian

obat. (Pranandari & Supadmi, 2015)


3. Riwayat Hipertensi

Secara klinik pasien dengan riwayat penyakit faktor risiko

hipertensi mempunyai risiko mengalami gagal ginjal kronik 3,2 kali lebih

besar dari pada pasien tanpa riwayat penyakit faktor risiko hipertensi.

Peningkatan tekanan darah berhubungan dengan kejadian gagal ginjal

kronik. Hipertensi dapat memperberat kerusakan ginjal telah disepakati

yaitu melalui peningkatan tekanan intraglomeruler yang menimbulkan

gangguan struktural dan gangguan fungsional pada glomerulus. Tekanan

intravaskular yang tinggi dialirkan melalui arteri aferen ke dalam

glomerulus, dimana arteri aferen mengalami konstriksi akibat hipertensi.

(Pranandari & Supadmi, 2015)

Hipertensi pada dasarnya merusak pembuluh darah, tingginya

tekanan darah ini juga dapat membuat pembuluh darah dalam ginjal

tertekan. Akibat peningkatan tekanan intraglomeruler menimbulkan

gangguan struktural dan fungsional pada glomerulus. Hipertensi yang

tidak terkontrol dapat merusak pembuluh darah dan nefron di dalam ginjal.

Nefron yang rusak tidak akan dapat melakukan tugasnya untik menyaring

limbah, natrium, serta kelebihan cairan dalam darah. Kelebihan cairan dan

natrium yang terdapat pada aliran darah akan memberikan tekanan ekstra

pada dinding pembuluh darah, sehingga meningkatkan tekanan darah

hingga taraf yang berlebih. Hipertensi dapat berakibat pada kegagalan

ginjal. (lathifah, 2015)


4. Riwayat Diabetes Mellitus

Hiperglikemia dapat memicu terjadinya kerusakan ginjal, sehingga

menimbulkan perubahan hemodinamik, metabolisme, disfungsi endotel,

aktivasi sel inflamasi, perubahan ekspresi faktor vaskular. Hiperglikemia

melatar belakangi individu dalam perkembangan mikroangiopati Diabetes

Nefropati (DN). Nefropati diabetik dapat menimbulkan berbagai

perubahan pada pembuluh-pembuluh kapiler dan arteri, penebalan selaput

endotelial, trombosis, adalah karakteristik dari mikroangiopati diabetik

dan mulai timbul setelah periode satu atau dua tahun menderita Diabetes

Melitus. Kerusakan- kerusakan tersebut semakin nampak sesuai dengan

lamanya menderita Diabetes Melitus dan tingginya kadar glukosa darah.

Hipoksia dan iskemia jaringan-jaringan tubuh dapat timbul akibat dari

mikroangiopati khususnya terjadi pada retina dan ginjal. Nefropati diabetic

timbul akibat dari kadar glukosa yang tinggi menyebabkan terjadinya

glikosilasi protein membran basalis, sehingga terjadi penebalan selaput

membran basalis, dan terjadi pula penumpukkan zat serupa glikoprotein

membran basalis pada mesangium sehingga lambat laun kapiler-kapiler

glomerulus terdesak, dan aliran darah terganggu yang dapat menyebabkan

glomerulosklerosis dan hipertrofi nefron. Manifestasi mikroangiopati pada

ginjal adalah nefropati diabetik, dimana akan terjadi gangguan faal ginjal

yang kemudian menjadi kegagalan faal ginjal menahun pada penderita

yang telah lama mengidap Diabetes Melitus. (Taruna, 2015)


Pada penyakit diabetes melitus terjadi gangguan pengolahan

glukosa dalam darah oleh tubuh, yang lama–kelamaan dapat menyebabkan

kerusakan pada ginjal dan akhirnya dapat menjadi penyakit ginjal kronik.

Kadar glukosa yang tinggi dalam darah tersebut, bila tidak terkontrol dapat

merusak pembuluh darah ginjal dalam kurun bertahun–tahun sehingga

menurunkan kemampuan ginjal untuk menyaring darah dan membuang

produk sisa di urin. Gangguan ginjal pada penderita diabetes melitus dan

hipertensi bukan karena obat – obatan yang dikonsumsi. Namun karena

kadar gula darah yang kerap tidak terkontrol secara menahun merusak

pembuluh darah ginjal. (lilia & supadmi, 2019)

Pasien yang tidak memiliki riwayat penyakit diabetes melitus yang

pernah diderita ataupun yang tengah diderita pun dapat mengalami gagal

ginjal kronik terbukti dengan tidak tidak terbukti memiliki kemaknaan

hubungan terhadap progresivitas terjadinya gagal ginjal terminal pada

penderita DM. (arsono, 2010)

5. Riwayat Glomerulonefritis

Penyakit ini menyebabkan peradangan pada bagian penyaringan di

ginjal yang menyerang bagian nefron. Peradangan ini menyebabkan

banyak kotoran dari sisa metabolisme yang seharusnya keluar tapi hanya

menumpuk di bagian ginjal. Penyakit ini bisa menjadi faktor penyebab

gagal ginjal dalam waktu yang sangat cepat. (Kalengkongan, Makahaghi,

& Tinungki, 2018)


Glomerulonefritis adalah penyakit parenkin ginjal progesif dan

difus yang sering berakhir dengan gagal ginjal kronik, disebabkan oleh

respon imunologik dan hanya jenis tertentu saja yang secara pasti telah

diketahui etiologinya. Secara garis besar dua mekanisme terjadinya

glomerulonefritis yaitu circulating immune complex dan terbentuknya

deposit kompleks imun secara in-situ. Kerusakan glomerulus tidak

langsung disebabkan oleh imun, berbagai faktor seperti proses inflamasi,

sel inflamasi, mediator inflamasi, dan komponen berperan pada kerusakan

glomerulus.

6. Riwayat Penyakit Infeksi Saluran Kemih

Infeksi saluran kemih merupakan salah satu faktor risiko terjadinya

penyakit ginjal kronik. Terjadinya infeksi saluran kemih disertai dengan

Refluk Vesiko Ureter (RVU) akan memperbesar terbentuknya skar di

ginjal yang akan menyebabkan terjadinya penurunan fungsi ginjal. Orang

dengan riwayat infeksi saluran kemih 5 kali lebih berisiko terkena

penyakit ginjal kronik dibandingkan orang tidak memiliki riwayat infeksi

saluran kemih.(Sila, Intang, & saipuddin, 2014)

Infeksi saluran kemih terjadi akibat bekteri patogenik yang

menyerang satu atau lebih struktur saluran kemih. Infeksi saluran kemih

bermula dari bawah kemudian naik ke ginjal. Infeksi saluran kemih lebih

bersifat amsimtomatik dan karena ginjal terkena baru dapat diketahui

bahwa adanya infeksi saluran kemih bawah. Proses berkembangnya

infeksi saluran kemih menjadi gagal ginjal berlangsung berulang-ulang


selama beberapa tahun. Infeksi saluran kemih yang tidak terkontrol dapat

menyebabkan peradangan pada kandung kemih dan dapat merambat ke

ginjal sehingga dapat menyebabkan kerusakan pada bagian ginjal.

(Baroleh, Ratag, & Langi, 2019)

7. Riwayat Penyakit Batu Saluran Kemih

Penyakit Batu Saluran Kemih (BSK) adalah terbentuknya batu

yang disebabkan oleh pengendapan substansi yang terdapat dalam air

kemih yang jumlahnya berlebihan atau karena faktor lain yang

mempengaruhi daya larut substansi. Obstruksi yang diakibatkan oleh batu

saluran kemih dapat menyebabkan peningkatan tekanan intratubular yang

diikuti oleh vasokonstriksi pembuluh darah hingga mengakibatkan

iskemik pada ginjal. Iskemik pada waktu yang lama dapat menyebabkan

glomeruloskerosis, atrofi tubulus dan fibrosis intertisial. Obstruksi komplit

pada ginjal selama 24 jam akan mengakibatkan kehilangan fungsi nefron

secara permanen sebanyak 15%.(Sila, Intang, & saipuddin, 2014)

8. Riwayat Ginjal polikistik

Penyakit ginjal polikistik adalah penyakit turunan yang disebabkan

oleh kelainan genetik. Ginjal polikistik dapat mengakibatkan gejala gagal

ginjal dan menjadi penyebab gagal ginjal. Hal ini karena penyakit ginjal

polikistik memicu pertumbuhan kista di ginjal yang mampu mengganti

atau menggerogoti bagian ginjal. Kista-kista tersebut semakin membesar

serta menghambat kinerja dan merusak ginjal yang akhirnya memicu

gejala gagal ginjal. Gagal ginjal terjadi ketika ginjal tidak mampu menjaga
kadar cairan dan tekanan darah, serta menyaring kotoran dalam tubuh.

Penyakit ginjal polikistik juga dapat menjadi penyebab gagal ginjal

dengan menimbulkan uremia atau kondisi ginjal tidak dapat membuang

racun tubuh. Kondisi uremia yang semakin parah bisa memicu gagal

ginjal. (RSUD, 2019)

9. Riwayat Penggunaan Obat-obatan

Beberapa jenis obat-obatan diketahui dapat mengakibatkan

penurunan faal ginjal atau kerusakan ginjal dengan berbagai mekanisme.

Obat-obatan tersebut diistilahkan dengan nefrotoksik. Nefrotoksisitas obat

akan timbul berhubungan dengan kadar obat yang tinggi dalam plasma.

Penggunaan obat-obatan dalam jangka waktu tertentu dapat memicu

terjadinya penyakit ginjal, baik itu penyakit ginjal akut maupun penyakit

ginjal kronik. Beberapa obat yang dapat memicu penyakit ginjal

diantaranya aminoglikosida, cisplatin dan amphotericin B, pinisilin,

NSAID, Inhibitor ACE, dan lain-lain. Sesuai dengan fungsi ginjal yaitu

menyaring atau membersihkan darah. Bagian ginjal yang menjalankan

fungsi tersebut adalah nefron. Penggunaan obat-obatan secara berlebihan

dapat meningkatkan kejadian kerusakan ginjal atau nefropati. Nefropati

merupakan kerusakan nefron akibat penggunaan obat-obatan yang bersifat

nefrotoksik. (Sila, Intang, & saipuddin, 2014

Nefropati analgetik merupakan kerusakan nefron akibat

penggunaan analgetik. Penggunaan obat analgetik dan OAINS untuk

menghilangkan rasa nyeri dan menekan radang (bengkak) dengan


mekanisme kerja menekan sintesis prostaglandin. Akibat penghambatan

sintesis prostaglandin menyebabkan vasokonstriksi renal, menurunkan

aliran darah ke ginjal, dan potensial menimbulkan iskemia glomerular.

Obat analgetik dan OAINS juga menginduksi kejadian nefritis interstisial

yang selalu diikuti dengan kerusakan ringan glomerulus dan nefropati

yang akan mempercepat progresifitas kerusakan ginjal, nekrosis papilla,

dan penyakit gagal ginjal kronik. Obat analgetika dan OAINS

menyebabkan nefrosklerosis yang berakibat iskemia glomerular sehingga

menurunkan GFR kompensata dan GFR nonkompensata atau gagal ginjal

kronik yang dalam waktu lama dapat menyebabkan gagal ginjal terminal.

(agustianingsih, padoli, & anugrahni, 2017)


2. Konsep Asuhan Keperawatan Chronic Kidney Disease

2.1 Pengkajian

Pengkajian yang dapat dilakukan pada klien dengan CKD meliputi beberapa

hal, yaitu:

a) Biodata

Tanyakan identitas klien meliputi nama lengkap, tanggal lahir, alamat dan

sebagainya lalu cocokkan dengan label nama untuk memastikan bahwa setiap

rekam medis, catatan, hasil tes dan sebagainya memang milik klien (Gleadle,

2007). Menurut Prabowo & Pranata (2014) pekerjaan dan pola hidup tidak

sehat juga memiliki keterkaitan dengan penyakit CKD karena itu laki-laki

sangat beresiko.

b) Keluhan utama

Pada klien CKD dengan masalah kulit biasanya memiliki keluhan seperti kulit

kering sampai bersisik, kasar, pucat, gatal, mengalami iritasi karena garukan,

edema (Nursalam, & Baticaca, 2009; Muttaqin & Sari, 2011)

c) Riwayat kesehatan sekarang

Klien akan mengeluhkan mengalami penurunan urine output (oliguria) sampai

pada anuria, anoreksia, mual dan muntah, fatigue, napas berbau urea, adanya

perubahan pada kulit. Kondisi ini terjadi karena penumpukan (akumulasi) zat

sisa metabolisme/toksin dalam tubuh karena ginjal mengalami kegagalan

dalam filtrasi (Muttaqin & Sari, 2014; Prabowo & Pranata, 2014).
d) Riwayat penyakit dahulu

Riwayat pemakaian obat-obatan, ada riwayat gagal ginjal akut, ISK, atau

faktor predisposisi seperti diabetes melitus dan hipertensi biasanya sering

dijumpai pada penderita CKD (Muttaqin & Sari, 2011).

e) Riwayat Psikososial

Menurut Muttaqin & Sari (2014) CKD bisa menyebabkan gangguan pada

kondisi psikososial klien seperti adanya gangguan peran pada keluarga karena

sakit, kecemasan karena biaya perawatan dan pengobatan yang banyak,

gangguan konsep diri (gambaran diri).

f) Kebutuhan dasar manusia meliputi:

1) Pola nutrisi: Pada klien CKD terjadi peningkatan BB karena adanya

edema, namun bisa juga terjadi penurunan BB karena kebutuhan

nutrisi yang kurang ditandai dengan adanya anoreksia serta mual atau

muntah (Rendi & Margareth, 2012).

2) Pola eliminasi: Pada klien CKD akan terjadi oliguria atau penurunan

produksi urine kurang dari 30 cc/jam atau 500 cc/24 jam. Bahkan bisa

juga terjadi anuria yaitu tidak bisa mengeluarkan urin selain itu juga

terjadi perubahan warna pada urin seperti kuning pekat, merah dan

coklat (Haryono 2013; Debora, 2017).

3) Pola istirahat dan tidur: Pada klien CKD istirahat dan tidur akan

terganggu karena terdapat gejala nyeri panggul, sakit kepala, kram otot

dan gelisah dan akan memburuk pada malam hari (Haryono, 2013).
4) Pola aktivitas: Pada klien CKD akan terjadi kelemahan otot dan

kelelahan yang ekstrem (Rendi & Margareth, 2012).

5) Personal Hygiene: Pada klien CKD penggunaan sabun yang

mengandung gliserin akan mengakibatkan kulit bertambah kering

(Prabowo & Pranata, 2014).

g) Pemeriksaan pertama yang harus dilakukan sebelum melakukan pemeriksaan

fisik meliputi:

1) Tanda – tanda vital meliputi : Tekanan darah, Nadi, Suhu, Frekuensi

napas dan Keadaan umum pasien

2) Pemeriksaan Fisik (Head To Toe)

a. Kepala

Inspeksi: Pada klien CKD, rambut tampak tipis dan kering,

berubah warna dan mudah rontok, wajah akan tampak pucat, kulit

tampak kering dan kusam (Williams & Wilkins, 2011; Debora

2017).

Palpasi: Rambut akan terasa kasar, kulit terasa kasar (Haryono,

2013)

b. Telinga

Inspeksi: Periksa kesimetrisan dan posisi kedua telinga, produksi

serumen, warna, kebersihan dan kemampuam mendengar. Pada

klien CKD lihat adanya uremic frost (Nursalam & Batticaca, 2009;

Debora, 2017).
Palpasi: Periksa ada tidaknya massa, elastisitas atau nyeri tekan

pada tragus, pada klien CKD kulit akan terasa kasar karena kering

(Nursalam & Batticaca, 2009; Debora, 2017).

c. Mata

Inspeksi: Pada klien CKD akan tampak kalsifikasi (endapan

mineral kalsium fosfat) akibat uremia yang berlarut-larut di daerah

pinggir mata, di sekitar mata akan tampak edema, penglihatan

kabur dan konjungtiva akan terlihat pucat jika ada yang mengalami

anemia berat (Chamberlain’s, 2012;Haryono, 2013; Debora, 2017).

Palpasi: Bola mata akan teraba kenyal dan melenting, pada sekitar

mata akan teraba edema (Chamberlain’s, 2012; Debora, 2017). 30

4)

d. Hidung

Inspreksi: Periksa adanya produksi sekret, ada atau tidak

pernapasan cuping hidung, kesimetrisan kedua lubang hidung,

pada kulit akan telihat kering dan kusam (Chamberlain’s, 2012;

Debora, 2017).

Palpasi: Periksa ada massa dan nyeri tekan pada sinus atau tidak,

ada dislokasi tulang hidung atau tidak, akan terasa kasar

(Chamberlain’s, 2012; Debora, 2017).

e. Mulut
Inspeksi: Pada saat bernapas akan tercium bau ammonia karena

faktor uremik, ulserasi pada gusi, bibir tampak kering (Williams &

Wilkins, 2011).

f. Leher

Inspeksi: Periksa ada massa atau tidak, pembengkakan atau

kekakuan leher, kulit kering, pucat, kusam (Williams & Wilkins,

2011; Debora, 2017).

Palpasi: Periksa adanya pembesaran kelenjar limfe, massa atau

tidak. Periksa posisi trakea ada pergeseran atau tidak, kulit terasa

kasar (Debora, 2017).

g. Dada

- Paru

Inspeksi: Pada klien CKD pergerakan dada akan cepat karena

pola napas juga cepat dan dalam (kusmaul), batuk dengan ada

tidaknya sputum kental dan banyak apabila ada edema paru

batuk akan produktif menghasilkan sputum merah muda dan

encer, pada kulit akan ditemukan kulit kering, uremic frost,

pucat atau perubahan warna kulit dan bersisik (Haryono, 2013;

Prabowo & Pranata, 2014).


Palpasi: Periksa pergerakan dinding dada teraba sama atau

tidak, terdapat nyeri dan edema atau tidak, kulit terasa kasar

dan permukaan tidak rata (Debora2017).

Perkusi: Perkusi pada seluruh lapang paru normalnya resonan

dan pada CKD pekak apabila paru terisi cairan karena edema

(Debora, 2017). Auskultasi: Dengarkan apa ada suara napas

tambahan seperti ronchi, wheezing, pleural friction rub dan

stridor (Debora, 2017).

- Jantung

Inspeksi: Normalnya akan tampak pulsasi pada ICS 5

midklavikula kiri katup mitrialis pada beberapa orang dengan

diameter normal 1-2 cm (Debora, 2017). Palpasi: Normalnya

akan teraba pulsasi pada ICS 5 midkalvikula kiri katup

mitrialis (Debora, 2017).

Perkusi: Normalnya pada area jantung akan terdengar pekak

pada ICS 3- 5 di sebelah kiri sternum (Debora, 2017).

Auskultasi: Pada klien CKD akan terjadi disritmia jantung dan

akan terdengar bunyi jantung murmur (biasanya pada lansia)

pada klien CKD yang memiliki hipertensi (Haryono 2013;

Debora, 2017).

h. Abdomen
Inspeksi: Kulit abdomen akan tampak mengkilap karena asites dan

kulit kering, pucat, bersisik, warna cokelat kekuningan, akan

muncul pruritus (Williams & Wilkins, 2011; Debora, 2017).

Auskultasi: Dengarkan bising usus di keempat kuadran abdomen

(Debora, 2017). 33 Perkusi: Klien dengan CKD akan mengeluh

nyeri pada saat dilakukan pemeriksaan di sudut costo-vertebrae

pada penderita penyakit ginjal (Debora, 2017)

Palpasi: Lakukan palpasi pada daerah terakhir diperiksa yang

terasa nyeri, teraba ada massa atau tidak pada ginjal (Debora,

2017).

i. Kulit dan kuku

Inspeksi: Kuku akan menjadi rapuh dan tipis, kulit menjadi pucat,

kering dan mengelupas, bersisik, akan muncul pruritus, warna

cokelat kekuningan, hiperpigmentasi, memar, uremic frost,

ekimosis, petekie (Nursalam & Batticaca, 2009; Muttaqin & Sari,

2011; Williams & Wilkins, 2011; Chamberlain’s, 2012)

Palpasi: CRT > 3 detik, kulit teraba kasar dan tidak rata (Muttaqin

& Sari, 2011).

j. Genetalia

Inspeksi: Lihat kebersihan genetalia, tampak lesi atau tidak

(Debora, 2017). 11)

k. Ekstermitas
Inspeksi: Pada klien CKD terdapat edema pada kaki karena adanya

gravitasi biasanya ditemukan di betis dan paha pada klien yang

bedrest, kelemahan, kelelahan, kulit kering, hiperpigmentasi,

bersisik (Rendi & Margareth, 2012; Haryono 2013)

Palpasi: Turgor kulit > 3 detik karena edema, kulit teraba kering

dan kasar (Chamberlain’s, 2012).

2.2 Diagnosa Keperawatan

Diagnose yang muncul pada pada klien yang menderita CKD adalah

1.

2.

2.3 Intervensi Keperawatan

Anda mungkin juga menyukai