Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH MODUL NUSANTARA

SEJARAH PERAHU PINISI

Disusun Oleh :
EKA PUTRI INDAH ARISANDI
611910008

UNVIVERSITAS MA CHUNG
2021
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan
sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah
curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan
syafaatnya di akhirat nanti.
Kami ucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu berupa
sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penyusun mampu untuk menyelesaikan pembuatan
makalah sebagai tugas dari mata kuliah Modul Nusantara dengan judul “Sejarah Perahu Pinisi”.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada Dosen kami yang
telah membimbing dalam menulis makalah ini.
Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan kritik serta saran
dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih
baik lagi. Penulis juga menekankan bahwa makalah ini tidak bertujuan untuk menyudutkan salah
satu pihak dan murni semata-mata untuk mengkaji mengenai isu yang berkembang di tengah
masyarakat tersebut. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon
maaf yang sebesar-besarnya.

Pasuruan, 10 Oktober 2021

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Sebuah simbol adalah instrument berpikir (an instrument of tought). Manusia memilki
kemampuan menggunakan simbol dan simbolisasi menjadi kebutuhan dasar manusia. Langer
menjelaskan bahwa arti (meaning) adalah hubungan yang kompleks di antara simbol, objek dan
person. Arti (meaning) terdiri dua aspek logika dan psikolog. Aspek logika berhubungan antara
simbol dan petunjuk (referent) atau disebut sebagai denotation. Sedangkan psikolog, adalah
hubungan antara simbol dan person yang disebut juga dengan connotation.
Simbol adalah bentuk yang menandai sesuatu yang lain diluar dari perwujudaan bentuk
simbolik itu sendiri. Simbol yang tertuliskan sebagai bunga, misalnya mengacu dan mengemban
gambaran fakta yang di sebut bunga sebagai sesuatu yang ada di luar bentuk simbolik itu sendiri.
Dalam konsep Pierce simbol diartikan sebagai sebagai tanda yang mengacu pada objek tertentu di
luar tanda itu sendiri, hubungan antara simbol dengan penanda dengan sesuatu yang ditandakan
(petanda) sifatnya konvensional. Berdasarkan konvensi itu itu pula masyarakat pemakainya
menafsirkan ciri hubungan antara simbol dengan objek yang diacu dan menafsirkan tandanya.
Dalam komunikasi (bahasa) simbol sering diistilahkan sebagai lambang. Lambang adalah
sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan kelompok
orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku nonverbal, dan objek yang maknanya
disepakati bersama, misalnya memasang bendera di halaman rumah untuk menyatakan
penghormatan atau kecintaan kepada negara.
Apa saja bisa dijadikan lambang, bergantung pada kesepakatan bersama. Kata- kata (lisan
atau tulisan), isyarat tubuh, makanan dan cara makan, temapat tinggal, jabatan, olahraga, hobi,
peristiwa, tumbuhan, gedung, alat (artefak), angka, bunyi, waktu dan sebagainya.
Secara umum sebuah lambang mempunyai makna yang penting dan sangat berarti, lambang
merupakan sebuah identitas eksistensi bagi suatu negara, daerah bahkan bisa menjadi simbol dari
identitas suatu organisasi dan perusahaan. Lambang bukanlah sekedar simbol keindahan tanpa
makna akan tetapi ia adalah perwujudan dari kehendak, harapan dan cita-cita yang diinginkan.
Misalnya, lambang negara Republik Indonesia yakni Burung Garuda yang merupakan lambang
negara yang berkehendak untuk mewujudkan sebuah cita-cita luhur bangsa Indonesia menuju
sebuah tahapan kehidupan yang lebih baik dan semakin baik di masa yang akan datang.
Lambang negara bukanlah sekadar warna dan gambar dalam budaya Indonesia. Ia adalah
cerminan semangat dan jiwa spiritualitas bangsa Indonesia. Merah putih melambangkan sebuah
kejayaan bangsa, serta Bhinneka Tunggal Ika melambangkan keragaman atas budaya serta
keyakinan religius. Begitu pun Lambang bagi suatu daerah memiliki arti yang teramat dalam. Dari
suatu lambang dapat diketahui karakteristik suatu daerah dan juga kehidupan masyarakatnya.
Begitu bermaknanya arti sebuah lambang, maka untuk membuatnya pun tidak segampang
membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan orang-orang yang pandai untuk membuat suatu lambang
dan arti dari lambang yang dibuat tersebut.
Seperti juga lambang kota Makassar yang menyertai, perisai putih sebagai dasar
melambangkan kesucian. Perahu yang kelima layarnya sedang terkembang melambangkan bahwa
kota Makassar sejak dahulu kala adalah salah satu pusat pelayaran di Indonesia. Buah padi dan
kelapa melambangkan kemakmuran. Benteng yang terbayang di belakang perisai melambangkan
kejayaan kota Makassar dan Warna Merah Putih dan Jingga sepanjang tepi perisai melambangkan
kesatuan dan kebesaran Bangsa Indonesia. Sedangkan, Tulisan “Sekali Layar Terkembang, Pantang
Biduk Surut Ke Pantai”, menunjukan semangat kepribadian yang pantang mundur.
Dalam konteks lambang suatu daerah juga mempunyai makna yang sama, Seperti Lambang
Kepala Anoa bertanduk kucing pada Lambang Kabupaten Bantaeng. Anoa adalah jenis hewan yang
hidup khususnya dilereng Gunung Lompobattang, yang menggambarkan watak dari masyarakat
Kabupaten Bantaeng yaitu tidak berkenan dijajah, sedang apabila kemerdekaannya diganggu, ia
tetap melawan dengan menggunakan segala daya dan alat yang ada padanya perlambang sumber
kekuatan dan sumber inspirasi yang diarahkan kepada tegaknya kebenaran dan keadilan.
Lambang perahu pinisi yang terdapat didalam logo kabupaten bulukumba memiliki makna
bahwa Perahu Pinisi sebagai salah satu ciri khas dari masyarakat Bulukumba, karena kabupaten
bulukumba merupakan satu-satunya daerah yang menghasilkan karya industri perahu pinisi di
daerah sulawesi selatan dan sudah terbukti kehebatannya mengarungi samudera pasifik. Selain
perahu jenis pinisi nama Bulukumba terus mencuat dengan hadirnya perahu-perahu jenis
padewekkang, lambo, maupun perahu jenis lepa-lepa yang merupakan kreatifitas masyarakat
bulukumba.
Lambang Kabupaten Bulukumba mencerminkan keadaan, watak, dan kondisi masyarakat
bulukumba itu sendiri. Misalnya pada lambang kabupaten bulukumba terdapat bagian yang dari
lambnag tersebut berbentuk perahu pinisi yang mencerminkan bahwa sebahagian masyarakat
Bulukumba adalah pelaut dan menandakan bahwa Bulukumba termasuk daerah maritim. Lambang
kabupaten Bulukumba dibuat oleh Pertiwi Yusuf berdasarkan keadaan, watak, dan kondisi
masyarakat kabupaten Bulukumba lalu disepakati pemerintah kabupaten Bulukumba. Bulukumba
resmi menjadi Bulkumba pada tanggal 4 februari 1960 dan pada saat itu perahu pinisi diabadikan
sebagai lambamg daerah kabupaten Bulukumba.
Dari penjelasan mengenai makna dan lambang negara atau kota yang terkenal dengan
simbolnya masing-masing. Simbol perahu pinisi dalam kabupaten Bulukumba terdapat pada
lambang kabupaten dimana perahu tersebut berwarna putih dan terlihat sedang berlayar.
Untuk itu dalam rangka menjawab rasa penasaran mengenai makna perahu pinisi dalam
lambang kabupaten Bulukumba penulis mengangkatnya dalam makalah dengan judul Sejarah
Perahu Pinisi.
1.2 MAKSUD DAN TUJUAN
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menuntaskan tugas mata kuliah Modul
Nusantara. Selain itu, di harapkan makalah ini menjadi tulisan yang bermanfaat dan menjadi
referensi bagi semua orang yang membacanya, juga bertujuan untuk dijadikan bahan presentasi
sehingga mahasiswa lainpun bisa merasakan ilmu yang terdapat dari makalah ini.

1.3 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah dapat dirumuskan bahwa yang menjadi pokok
permasalahan dalam makalah ini adalah “Bagaimana sejarah dari perahu pinisi” dari pokok
permasalahan tersebut,maka dapat di rumuskan beberapa sub masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana sejarah dari perahu pinisi?
2. Bagaimana ritual pembangunan kapal pinisi?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 SEJARAH PERAHU PINISI
Kapal kayu Pinisi telah digunakan di Indonesia sejak beberapa abad yang lalu,
diperkirakan[3] kapal pinisi sudah ada sebelum tahun 1500an. Menurut naskah Lontarak I Babad La
Lagaligo pada abad ke 14, Pinisi pertama kali diciptakan oleh Sawerigading, Putera Mahkota
Kerajaan Luwu untuk berlayar menuju negeri Tiongkok mau meminang Putri Tiongkok yang
bernama We Cudai.
Sawerigading sukses ke negeri Tiongkok dan memperisteri Puteri We Cudai. Setelah
beberapa lama tinggal di negeri Tiongkok, Sawerigading kembali kekampung halamannya dengan
menggunakan Pinisinya ke Luwu. Menjelang masuk perairan Luwu kapal diterjang gelombang
besar dan Pinisi terbelah tiga yang terdampar di desa Ara, Tanah Lemo dan Bira. Masyarakat ketiga
desa tersebut kemudian merakit pecahan kapal tersebut menjadi perahu yang kemudian dinamakan
Pinisi. Orang Ara adalah pembuat badan kapal, di Tana Lemo kapal tersebut dirakit dan orang Bira
yang merancang kapal tersebut menjadi Pinisi dan ketujuh layar tersebut lahir dari pemikiran orang-
orang Bira.
Konon, nama Pinisi ini diambil dari nama seseorang yang bernama Pinisi itu sendiri. Suatu
ketika beliau berlayar melewati pesisir pantai Bira. Beliau melihat rentetan kapal sekitar laut sana,
beliau kemudian menegur salah seorang nahkoda kapal tersebut bahwasanya layar yang
digunakannya masih perlu diperbaiki. Sejak saat itu orang Bira berfikir dan mendesain layar
sedemikian rupa dan berkesudahan bermodel layar Pinisi yang seperti sekarang ini. Atas teguran
orang tersebut maka orang-orang Bira memberi layar itu dengan nama Pinisi.
2.2 RITUAL PEMBANGUNAN KAPAL PINISI
Upacara kurban untuk pembuatan perahu pinisi adalah salah satu dimana kemegahan pinisi
dilahirkan.Para pembuat perahu tradisional ini, yakni: orang-orang Ara, Tana Lemo dan Bira, yang
secara turun temurun mewarisi tradisi kelautan nenek moyangnya. Upacara ritual juga masih
mewarnai babak pembuatan perahu ini, Hari elok untuk mencari kayu biasanya jatuh pada hari ke
lima dan ketujuh pada bulan yang berlanjut. Angka 5 (naparilimai dalle’na) yang berarti rezeki
sudah ditangan. Sedangkan angka 7 (natujuangngi dalle’na) berarti selalu bisa rezeki. Setelah bisa
hari elok, lalu kepala tukang yang disebut "punggawa" memimpin pencarian.
Sebelum pohon ditebang, dilakukan upacara untuk mengusir roh penghuni kayu tersebut.
Seekor ayam dibentuk menjadi sebagai korban untuk dipersembahkan kepada roh. Jenis pohon yang
ditebang itu disesuaikan dengan fungsi kayu tersebut. Pemotongan kayu untuk papan selalu
disesuaikan dengan arah urat kayu agar kekuatannya terjamm. Setelah semua bahan kayu
mencukupi, barulah dikumpulkan untuk dikeringkan.Pembuatan perahu pinisi di Tanah Beru.
Peletakan lunas juga menggunakan upacara khusus. Waktu pemotongan, lunas ditaruh
menghadap Timur Laut. Balok lunas anggota depan merupakan lambang lelaki. Sedang balok lunas
anggota belakangan didefinisikan sebagai lambang wanita. Setelah dimantrai, anggota yang akan
dipotong ditandai dengan pahat. Pemotongan yang dilakukan dengan gergaji harus dilakukan
sekaligus tanpa boleh tamat. Sebab itu, pemotongan harus dilakukan oleh orang yang berkekuatan
kuat.
Ujung lunas yang sudah terpotong tidak boleh menyentuh tanah. Bila balok anggota depan
sudah putus, potongan itu harus dilarikan untuk dibuang ke laut. Potongan itu menjadi benda
penolak bala dan dibentuk menjadi kiasan Sebagai suami yang siap melaut untuk mencari nafkah.
Sedangkan potongan balok lunas anggota belakangan disimpan di rumah, dikiaskan sebagai istri
pelaut yang dengan setia menunggu suami pulang dan membawa rezeki.
Pemasangan papan pengapit lunas, ditemani dengan upacara Kalebiseang.
Upacara Anjarreki yaitu untuk penguatan lunas, disusul dengan penyusunan papan dari bawah
dengan ukuran lebar yang terkecil sampai keatas dengan ukuran yang terlebar. Jumlah seluruh
papan dasar untuk perahu pinisi adalah 126 lembar. Setelah papan teras tersusun, diteruskan dengan
pemasangan buritan tempat meletak kendali anggota bawah.
Apabila badan perahu sudah berkesudahan dikerjakan, dilanjutkan dengan
pekerjaan a’panisi, yaitu memasukkan majun pada selang papan. Untuk merekat sambungan papan
agar kuat, digunakan sejenis kulit pohon barruk. Selanjutnya, dilakukan allepa, yaitu mendempul.
Bahan dempul terbuat dari campuran kapur dan minyak kelapa. Campuran tersebut diaduk Selama
12 jam, dikerjakan sedikitnya 6 orang. Untuk kapal 100 ton, diperlukan 20 kg dempul badan kapal.
Sentuhan terakhir adalah menggosok dempul dengan kulit pepaya.
Babak terakhir lahir pinisi adalan peluncurannya. Upacara selamatan disediakan lagi.
Peluncuran kapal diawali dengan upacara adat Appasili yaitu ritual yang mempunyai tujuan untuk
menolak bala. Kelengkapan upacara berupa seikat dedaunan yang terdiri dari daun sidinging,
sinrolo, taha tinappasa, taha siri, dan panno-panno yang diikat bersama pimping. Dedaunan diisi ke
dalam air dan kemudian dipercikkan dengan metode dikibas-kibaskan ke sekeliling perahu. Untuk
perahu dengan bobot kurang dan 100 ton, biasanya dipotong seekor kambing. Sedangkan untuk
kapal 100 ton keatas, dipotong seekor sapi,setelah dipotong kaki depan kambing atau sapi dipotong
anggota lutut kebawah di gantung di anjungan sedangkan kaki belakangan di gantung di buritan
phinisi ruang lingkupnya memudahkan saat peluncurannya seperti jalannya hewan secara normal.
Selanjutnya ada upacara Ammossi yaitu upacara pemberian pusat pada pertengahan lunas perahu
dan setelah itu perahu ditarik ke laut. Pemberian pusat ini merupakan istilah yang didasarkan pada
kepercayaan bahwa perahu ialah 'anak' punggawa atau Panrita Lopi sehingga dengan demikian
berdasarkan kepercayaan maka upacara ammossi merupakan lambang pemotongan tali pusar bayi
yang baru lahir. Ketika pinisi sudah mengapung di laut, barulah dipasang layar dan dua tiang.
Layarnya berjumlah tujuh. Kapal yang diluncurkan biasanya sudah siap dengan awaknya.
Peluncuran kapal dilaksanakan pada waktu air pasang dan matahari sedang naik. Punggawa alias
kepala tukang, sebagai pelaksana utama upacara tersebut, duduk di sebelah kiri lunas. Doa atau
tepatnya mantra pun diucapkan.

BAB III
PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan
Pembuatan perahu pinisi adalah suatu kearifan lokal yang unik bagi masyarakat Bugis-
Makassar khususnya masyarakat Desa Ara. Sejarah pembuatan perahu pinisi di Desa Ara
Kabupaten Bulukumba bermula dari cerita mitos terdamparnya perahu yang ditumpangi oleh
Sawerigading yang terdampar di Ara sebagian di Lemolemo, layar dan tali temali terdampar di Bira.
Potensi Desa Ara sebagai tempat pembuatan perahu didukung oleh keadaan geografisnya yang
terletak dipinggir pantai bagian timur Kabupaten Bulukumba. Perkembangan pembuatan perahu di
Desa Ara mencakup perubahan peralatan, bahan produksi, dan cara kerja, terutama yang terjadi
antara sebelum dan sesudah tahun 1970-an. Perkembangan manajemen pada industri pembuatan
perahu juga dapat dilihat dengan indikator perkembangan organisasi produksi, perekrutan pekerja
dan sistem imbalan kerja. Meningkatnya produksi perahu pinisi mempunyai dampak pada
masyarakat Desa Ara, yakni dampak pada bidang ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan. Dampak
di bidang ekonomi yakni sebagai sumber penghasilan bagi masyarakat Desa Ara baik bagi
pengusaha pembuat perahu maupun para pekerja. Hal lainnya adalah terbukanya lapangan
pekerjaan baru bagi masyarakat lain diluar para pembuat perahu.
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, B. (1992). Perspekti dan Tantangan Gelangan Kapal Kapal Rakyat di Daerah Bulukumba.
Ara, K. D. (2017). Data Desa Ara Kecamatan Bontobahari Kabupaten Bulukumba.
Munawir, A. A. (2014). Motorisasi Perahu Pinisi di Tanah Beru Kabupaten Bulukumba (1975-
1985). Makassar.

Anda mungkin juga menyukai