Anda di halaman 1dari 7

Pendahuluan

Saat ini dunia sedang di hadapkan dengan permasalahan besar yang menyebabkan
kerugian, mulai dari ekonomi maupun kehilangan nyawa. Permasalahan besar yang di hadapi
dunia termasuk Indonesia mampu menghancurkan sendi-sendi masyarakat bahkan Negara .
Masalah besar yang di hadapi Indonesia sekarang menjadi agenda besar Negara, Covid-19
bukanhanya menjadi isu kesehatan, tapi juga menjadi isu ekonomi, sosial bahkan politik.
Penyebaran yang terpapar covid-19 meningkat setiap harinya. Dalam mengatasi covid-19 baik
Negara maju dan Negara berkembang seperti Indonesia mengalami kegagalan dalam membuat
kebijkan dalam penganan covid-19. Bahkan Negara Amerika sebagai Negara adidaya tercatat
sebagai Negara tertinggi terkena covid-19.
Penyebaran covid-19 yang awalnya terjadi di kota Wuhan, Provinsi Hubei, China. Yang
kemudian pada januari 2020 mulai terkonfirmasi menyebar di luar china yaitu mulai dari
taahilan, jepang hingga pada akhirnya World Health Organisasion (WHO), wabah ini menjadi
darurat kesehatan global. Kasus Konfirmasi pertama covid-19 pada tanggal 3 Maret dengan
mengkonfirmasi 2 orang positif covid-19. Sampai saat ini Indonesia menjadi salah satu negara
penyumbang angka positif dan meninggal di dunia bahkan menjadi angka terbesar di Asia
Tenggara. Yang pada awalnya WHO sudah menegur pemerintah Indoensia yang terkesan
lamban dalam mennganai wabah covid-19. Bahkan pada februari 2020 WHO telah mendeteksi
bahwa belum adanya konfirmasi yang terkena covid-19, namun dalam hal ini karna ketidak
sediaan alat untuk mendeksi wabah ini salah satu yang menyebkan masuknya Covid-19 di
Indoensia.
Begitu masifnya gempuran covid-19 menghadapkan Negara Indonesia berbagai macam
permasalahan. Mulai dari simpang siurnya informasi yang di terima oleh masyarakat mengenai
covid-19, tidak susuainya konfirmasi positif covid-19 antara pusat daerah, karantina wilayah,
PHK besar-besaran, penentuan kedaruratan daerah , vaksinasi dan lain sebagainnya. Hal ini bisa
jadi yang mengindikasikan adanya yang salah dengan kabijkan pemerintah dalam penanganan
covid-19.
Kebijakan ataupun imbauan tersebut di antaranya yaitu berperilaku hidup bersih dan
sehat, social distancing yang kemudian berubah menjadi physical distancing, gerakan di rumah
saja dengan bekerja dari rumah serta belajar dan beribadah dilakukan di rumah, menambah dan
merealokasi APBN, memprioritaskan anggaran di bidang kesehatan, relaksasi kredit, insentif
perpajakan, bantuan sosial, pengendalian transportasi, dan Pembatasan Sosial Berskala Besar
(PSBB). Namun demikian, terdapat inkonsistensi dan ketidaktegasan pemerintah dari beberapa
kebijakan ataupun imbauan yang ditetapkannya, terutama terkait boleh tidaknya ojek online
mengangkut penumpang dan larangan mudik. Dalam situasi pandemi seperti saat ini, pilihan dan
kecepatan penerapan kebijakan untuk mengatasi wabah dan dampaknya menjadi sangat penting.
Terlebih lagi, konsistensi dan ketegasan pemerintah dalam menetapkan kebijakan ataupun
memberi imbauan tersebut. Tulisan ini akan membahas mengenai kebijakan ataupun imbauan
yang dianggap tidak konsisten dan tidak tegas dalam memerangi wabah Covid-19. Kemudian
akan dibahas pula mengapa hal ini bisa terjadi dan bagaimana solusinya. Kementerian
Perhubungan telah menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No. 18 Tahun
2020 tentang Pengendalian Transportasi dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19.
Permenhub tersebut termasuk mengatur mengenai pengendalian transportasi penumpang pada
wilayah yang telah ditetapkan sebagai PSBB seperti Jabodetabek. Dalam salah satu aturannya
ditegaskan bahwa sepeda motor dalam hal tertentu untuk tujuan melayani kepentingan
masyarakat dan untuk kepentingan pribadi dapat mengangkut penumpang, dengan ketentuan
harus memenuhi protokol kesehatan yaitu aktivitas lain yang diperbolehkan selama PSBB,
melakukan disinfeksi kendaraan, menggunakan masker dan sarung tangan, serta tidak sedang
mengalami suhu badan di atas normal atau sakit. Permasalahannya, aturan ini bertentangan
dengan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 9 Tahun 2020 tentang Pedoman
Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19. Dalam
Permenkes tersebut ditegaskan bahwa layanan ekspedisi barang, termasuk sarana angkutan roda
dua berbasis aplikasi dibatasi hanya untuk mengangkut barang dan tidak untuk penumpang.
Inkonsistensi aturan ini tentunya menimbulkan polemik dan kebingungan di masyarakat, aturan
mana yang harus diikuti atau dipatuhi. Di satu sisi, aparat penegak hukum yang mengatur lalu
lintas juga akan bingung, aturan mana yang harus ditegakkan, dan bagaimana teknis pelaksanaan
penegakan aturannya jika ojek online diperbolehkan mengangkut penumpang. Ketidakseragaman
aturan mengenai boleh tidaknya ojek online mengangkut penumpang seperti menunjukkan tidak
adanya sinergi dan koordinasi yang baik di antara kedua kementerian tersebut.
Inkonsistensi dan lemahnya koordinasi di antara lembaga-lembaga pemerintahan dalam
penanganan COVID-19 telah menghasilkan reaksi negatif publik di media sosial terhadap kinerja
pemerintah. Hal ini diperburuk dengan ketidakpatuhan sebagian masyarakat, karena alasan yang
berbeda-beda, yang tidak mematuhi protokol kesehatan untuk meminimalisasi resiko penyebaran
COVID-19. Dua masalah tersebut telah memantik kekecewaan sebagian tenaga medis yang
melihat bahwa kerja keras mereka tidak diikuti dengan komitmen, kedisiplinan, dan konsistensi
pemerintah dan sebagian masyarakat untuk mengatasi penyebaran virus. Kepercayaan publik
terhadap pemerintah memainkan peran penting agar kebijakan yang diambil terkait dengan
penanganan COVID-19 mendapatkan dukungan yang luas. Konsistensi dalam prinsip dasar dan
sinkronisasi antar kebijakan dalam penanganan COVID-19 serta dukungan publik yang kuat
dibayangkan akan membantu meningkatkan efektivitas dalam menekan dan memutus rantai
penyebaran COVID-19. Sebaliknya, inkonsistensi dan kegagalan dalam sinkronisasi antar
kebijakan dan antar elemen pemerintahan tidak hanya memperlama masa pandemi, namun
berpotensi memperdalam krisis ekonomi dan Kesehatan. Penindakan terhadap kerumunan massa
yang mengabaikan protokol Kesehatan pencegahan covid-19 masih dinilai terhambat oleh
inkonsistensi kebijakan pemerintah, kemauan politik dalam penanganan pandemic ini pun masih
di pertanyakan kerumunan massa mewarnai penangan pandemic virus covid-19 di Indonesia
dalam beberapa waktu terakhir. Diketahu selama pandemic ini pemerintah kerap melahirkan
kebijakan yang dipandang kontradiksi pada pencegahan covid-19.
Kebijakan mengenai penanganan Covid-19 di Jakarta di anggap masih inkosisten, hal ini
terjadi ketetapan atau peraturan menegnai covid-19 tidak ada kesesuain antara kementrian,
sehingga perturan yang di buat cenderung terus mengubah, tampa melihat kebijakan itu berhasil
atau tidak. Sebut saja kemarin di Jakarta, bahwa yang awalnya pemerintah mengijinkan angkutan
umum untuk beroperasi dengan ketentuan mengangkut penumpung dengan kriteria tertuntu
(7/5/2020). karna sebelum itu pemerintah menghentikan pengoprasian angkutan umum di
jabodetabek hal ini tentu menimbulkan kontroversi. Sehingga Ichasanuddin menuding,
pemerintah merumuskan kebijakan selama pandemi covid-19 tidak berdasarkan kebutuhan riil
masyarakat. (Sumber : https://megapolitan.kompas.com/read/2020/05/07/13143911/pemerintah-
dinilai-inkonsisten-hadapi-covid-19?page=all ). Sehingga pemkot jakarta harus bisa mengatahui
data rill yang ada di lapangan, buhan hanya saja mengeluarkan kebijan yang menimbulkan
kebijkan tersebut di anggap inkonsistem karna kebijakan selalu di ubah terus-menerus yang
berdampak pada ketidak percayaan masyarakat terhadap pemerintah, serta menyebakan
permasalahan akan lambat terselesaikan.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan diskriptif
kualitatif. Penelitian Kualitatif menurut Denzin dan Lincoln adalah penelitian dengan latar ilmiah
dengan tujuan untuk menafsirkan fenomena yang ada dengan beberapa metode (Anggito &
Setiawan, 2018).
Pada penelitian ini menggunakan sekunder yang berkaitan dengan Inkonsistem kebijakan
pemerintah mengenai covid-19 di kota jakarta. Merupakan data yang diperoleh secara tidak
langsung yang sifatnya melengkapi data primer seperti, koran dan penelitian terdahulu yang
berkaitan dengan permasalahan peneliti Inkonsistem pemerintah terkait peraturan covid di
jakarta. Data sekunder diperoleh melalui kajian pustaka, buku, website pemerintah, media
elektronik, Perundang-Undangan, serta jurnal.
Teknik pengumpulan data yang di gunakan dalam penelitian ini dengan interaktif dan non
interaktirf yaitu, obsefasi dengan melihat langsung Inkonsistem kebijakan pemerintah mengenai
pananganan covid-19 di kota Jakarta, dokumentasi menggunaakan teori dan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan tentang kebijakan peraturan penanganan covid-19. Analis
dengan melalui tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu: reduksi data, penyajian
data, penarikan kesimpulan/verifikasi (Miles & Huberman, 2015).

Hasil dan Pembahasan


Tingginya tingkat penularan Covid-19 dan persebarannya yang begitu cepat mengharuskan
pemerintah dengan segera mengambil langkah strategis dengan menetapkan kebijakan-kebijakan
antisipatif untuk mengatasi wabah dan dampak yang ditimbulkannya. Beberapa kebijakan
ataupun imbauan telah ditetapkan pemerintah secara berkesinambungan sejak mewabahnya
Covid-19 di Indonesia sampai dengan saat ini. Kerumitan dan kelembagaan, serta struktur
organisasi yang berlampis-lapis sering kali di tidak diperhatikan pada saat wabah. Menurut
McConnel Gagalnya sinergi dan koordinasi antar elemen dalam merespon ancaman pandemi
akan dibayar mahal dengan krisis kemanusian yang mendalam (Mas'udi & Winanti, 2020).
Terdapatnya inkonsisten kebijakan yang terjadi pada kota Jakarta dalam menangani covid-19
menyebabkan di buatnya kebijakan-kebijakan baru, yang tujuannya sama yaitu untuk memutus
penyebaran penularan covid-19 di Indonesia.
Inkonsistensi dan lemahnya koordinasi di antara Lembaga – Lembaga pemerintahan dalam
menangani pandemic Covid – 19 telah mengahasilkan reaksi negative public di media sosial
terhadap kinerja pemerintah. Hal ini diperburuk dengan ketidakpatuhan Sebagian masyarakat,
karena alasan yang berbeda – beda, yang tidak mematuhi protocol Kesehatan untuk
meminimalisasi resiko penyebaran Covid – 19. Dua masalah tersebut telah memantikkan
kekecewaan Sebagian tenaga medis yang melihat bahwa kerja keras mereka tidak diikuti dengan
komitmen, kedisiplinan, dan konsistensi pemerintah dan Sebagian masyarakat untuk mengatasi
penyebaran virus. Kekecewaan tenaga medis yang di ekspresikan melalui media sosial di bulan
Mei 2020 diamplifikasi oleh public melalui tagar #indonesiaterserah dan #tererahindonesia.
Muncul dan trendingnya #IndonesiaTerserah dan #TerserahIndonesia di media sosial twitter
dilatarbelakangi oleh berbagai isu. Kekecewaan tenaga Kesehatan dan netizen terhadap
kebijakan pemerintah menjadil salah satu pemicunya #IndonesiaTerserah menjadi trending topik
worldwide di media sosial twitter.
Kecepatan dan konsisten kebijakan pemerintah dalam menghadapi pandemic Covid – 19
menjadi ujung tombak keberhasilan negara – negara dunia mengendalikan dan menekan
penyebaran virus Covid – 19 ini. Memperhatikan wabah ini tidak peduli dengan kerumitan dan
kelembagaan dan struktur pemerintah yang berlapis – lapis. Menurut McConnel, Gagalnya
sinergi dan koordinasi antar elemen dalam merespon ancaman pandemic akan dibayar mahal
dengan krisis kemanusian yang mendalam (Mas’udi, W., & Winanti, 2020). Apalagi musuh yang
rumit membuat negara – negara dituntut tidak gagap menggambil kebijakan yang strategis.
Diawal pandemi ini pemerintah mengalami kegundahan dalam menentukan kebijakan apakah
akan melakukan Lockdown seperti yang dilakukan negara - negara dunia lainnya yang menelan
anggaran yang cukup besar atau melalukan tes massal seluruh rakyat Indonesia yang sama -
sama menelan anggaran yang besar atau membiarkan saja Covid -19 mematikan rakyatnya.
Kemudian diambillah kebijakan “pengindonesiaan” Lockdownyang sekarang kita kenal
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang mana kebijakan ini di hulu ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat melalui Keputusan Menteri Kesehatan dan dihilirnya dilakukan oleh
pemerintah Daerah. Aturan PSBB tercatat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2020
dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 yang didalamnya mengamanatkan
pembatasan meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan,
pembatasan pada fasilitas umum, pembatasan acara budaya, pembatasan transportasi umum.
Langkah konkrit social distancing yang dilakukan Pemerintah selanjutnya adalah
meliburkan siswa, mahasiswa dan pekerja dan menggantinya dengan belajar dari rumah, bekerja
dari rumah, dan beribadah di rumah. Meskipun kegiatan ini tidak dapat diartikan sebagai
kebebasan tanpa batas (Abidah et al., 2020). Anjuran untuk melakukan social distancing ini
dilakukan karena pemerintah memahami bahwa penyebaran virus covid 19 bersifat droplet dari
percikan saat batuk maupun bersin karena memiliki gejala seperti flu dan infeksi pernafasan (de
Groot-Mijnes et al., 2005). Sehingga pemerintah kemudian memberikan himbauan kepada
seluruh masyarakat untuk menggunakan masker dalam kondisi sakit maupun sehat. Hal ini
dilakukan guna menghindari puncak epidemi yang dapat membanjiri layanan kesehatan,
sehingga jumlah kasus positif Covid 19 tidak jauh melebihi kapasitas perawatan kesehatan yang
ada (Hollingsworth et al., 2011). Sesuai dengan yang dikemukakan oleh James E.Anderson
(1979) bahwa kebijakan publik adalah kewenangan yang dapat ditetapkan oleh pemerintah
(Taufiqurokhman, 2014). Sehingga Pemerintah lah yang memiliki wewenang untuk mengambil
kebijakan apapun terkait penanganan pandemi Covid 19. Seperti yang kita ketahui, Indonesia
menjadi salah satu negara yang belum menerapkan karantina nasional bagi masyarakat dalam
menghadapi pandemi ini. Salah satu penyebabnya adalah kajian mengenai masalah
perkekonomian yang harus difikirkan secara matang. Pemerintah tidak memberlakukan
lockdown, namun cara pemerintah menanggapi situasi ini adalah dengan mengeluarkan
kebijakan yang dianggap mampu menstabilkan perekonomian. Nalar rasional yang digunakan
oleh pemerintah tentu saja sah dilakukan sebagai Rational decision making process.
Pada dasarnya kebijakan karantina wilayah tertuang dalam UU no 6 Tahun 2018 tentang
Kekarantinaan Kesehatan. Dalam pasal 9 disebutkan bahwa karantina dilakukan dengan tujuan
untuk menjaga masyarakat agar terhindar dari penyakit dan atau penyebab resiko kesehatan
masyarakat lainnya. Dalam kebijakan karantina, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah akan
memastikan masyarakat tetap sehat serta bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan
masyarakat. Kebijakan lockdown maupun social distancing dapat menjadi solusi yang tepat
untuk menangani virus covid 19 (Mukharom & Aravik, 2020). Sebab kebijakan ini dianggap
dapat meminimalisir penyebaran virus covid 19 (Yunus & Rezki, 2020). Namun nyatanya tidak
semua memiliki persepsi dan nalar yang sama dalam melihat kebijakan penanganan covid di
Indonesia, sehingga ada yang taat dan banyak yang tidak. Wabah ini menjadi momentum untuk
melakukan telah dan perbaikan pada pelaksanaan tata kelola klinis yang baik (Djasri, 2020).
Harus diakui bahwa penyebaran Covid 19 di Indonesia menjadi tantangan bagi Pemerintah untuk
menunjukkan eksistensinya dalam memastikan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat secara
bersamaan. Berbagai kebijakan pemerintah diukur efektivitasnya, masyarakat dinilai
ketaatannya. Harmonisasi keduanya menjadi penentu keberhasilan penanganan Covid 19 di
Indonesia. Tipe kebijakan akan berpengaruh terhadap aktor-aktor pelaksana, dan hubungan antar
aktor tersebut memberi pengaruh langsung terhadap keberhasilan proses kebijakan (Muadi et al.,
2016). Keberhasilan kebijakan tentu tidak dapat ditentukan oleh satu pihak saja, melainkan juga
ditentukan oleh respon masyarakat terhadap kebijakan. Peran mereka dalam sejumlah situasi
kebijakan sangat penting, tetapi mereka tidak memiliki kewenangan legal untuk membuat
kebijakan yang mengikat. Sehingga mereka disebut sebagai peserta non pemerintahan
(nongovernmental participants) (Abdu Nugraha, 2018).

Anda mungkin juga menyukai