Anda di halaman 1dari 7

Skenario 2

Lapor dok, pasiennya tiba-tiba gelisah berat

Seorang pria, 26 tahun, dirujuk ke RSJ Tampan dengan keluhan gelisah sejak 2 hari ini.
Pasien diketahui terkonfirmasi covid-19 dan telah dirawat 4 hari di RSUD Selasih. Pasien
tampak bingung, acuh tak acuh, tidak mengetahui namanya sendiri dan tidak tahu keberadaannya
saat diperiksa. Pasien juga mengatakan melihat banyak anak-anak yang bermain dikamarnya
padahal pasien sendiri di kamar. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital: Tekanan darah
100/60 mmHg, RR 32 x/menit, Nadi 100 x/menit, Suhu tubuh 38 0C. Status mental ; kontak tidak
adekuat, disorientasi, halusinasi visual dan asosiasi longgar.

Terminologi

1. Gelisah
Kegelisahan berasal dari kata ”gelisah”. Gelisah artinya rasa yang tidak tentram
dihati atau selalu merasa khawati, tidak sapat tenang, tidak sabar lagi, cemas dan lain-
lain. Merupakan kondisi kecemasan yg berlebihan, ketakutan, menarik diri sebagai
bentuk patologi psikologis.
Gelisah adalah suatu kondisi yang menggambarkan ketidakmampuan tubuh dan
pikiran untuk beristirahat, rileks, atau berkonsentrasi. Rasa gelisah dapat muncul dengan
atau tanpa sebab. Kegelisahan yang bersifat ekstrem disebut dengan agitasi.

2. Covid-19
Coronavirus (CoV) adalah keluarga besar dari virus yang menyebabkan penyakit,
mulai dari flu biasa hingga penyakit pernapasan yang lebih parah, seperti Middle East
Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS).
Coronavirus adalah virus yang memiliki banyak jenis. Namanya biasanya dibedakan
berdasarkan tingkat keparahan penyakit yang disebabkan dan seberapa jauh
penyebarannya.

3. Bingung
Gangguan ringan pada akal sebagai akibat ketakutan yang luar biasa.

4. Acuh tak acuh


Apatis berarti keadaan seseorang tidak peduli, acuh tak acuh dan segan
berhubungan dengan orang lain dan lingkungannya.

5. Tidak mengetahui namanya sendiri (amnesia)


6. Tidak tahu keberadaannya (diorientasi)
kondisi mental yang berubah di mana seseorang yang mengalami ini tidak
mengetahui waktu atau tempat mereka berada saat itu, bahkan tidak mengenali identitas
dirinya sendiri.
Disorientasi adalah keadaan yang dirasakan seseorang berbeda dengan kebenaran
yang terjadi, sehingga kerap menyebabkan kebingungan dan ilusi.  
kondisi mental yang berubah di mana seseorang yang mengalami ini tidak
mengetahui waktu atau tempat mereka berada saat itu, bahkan tidak mengenali identitas
dirinya sendiri.

7. Kontak tidak adekuat

8. Halusinasi visual
Persepsi atau tanngapan palsu tidak berhubungan dengan stimulus eksternal yang
nyata menghayati gejala gejala yang dihayalkan sebagai hal yang nyata.
Stimulus visual dalam bentuk beragam seperti bentuk pancaran cahaya,gambaran
geometric, gambar kartun, panorama yang luas dan bayangan yang menakutkan.
Stimulus visual dalam bentuk beragam seperti bentuk pancaran cahaya,gambaran
geometric, gambar kartun, panorama yang luas dan bayangan yang menakutkan.

9. Asosiasi longgar
Gangguan pikiran dan pembicaraan dimana ide-ide berpindah dari subjek satu ke
yang lain tanpa alasan jelas. Pembicaraan tidak sadar pada ketidakserasian itu.
Merupakan tanda klasik dari skizofrenia tetapi dapat juga dilihat pada psikosis lain.
Asosiasi longgar yaitu pernyataan atau hal yang dikatakan tidak berhubungan
antar kalimat dengan kalimat lainnya dank lien tidak sadar akan hal tersebut.

Rumusan masalah

1. apa hubungan covid-19 dengan keluhan pasien?


Adanya delirium pada pasien COVID-19 ini pun sebenarnya bukan isu yang baru,
namun, kemungkinan baru dapat dipastikan karena pasien COVID-19 umumnya
menerima berbagai pengobatan yang dapat memberikan efek samping ‘menenangkan’.
Mekanisme timbulnya delirium pada kasus COVID-19 diperkirakan dapat terjadi
melalui tiga mekanisme. Mekanisme yang pertama adalah masuknya SARS-CoV-2 ke
jaringan otak dan selaput otak (meninges) melalui reseptor ACE-2, yang mana, akan
menyebabkan neuron-neurondi otak terinfeksi. Hal tersebut akan mengakibatkan
terjadinya peradangan otak (encephalitis) dan selaput otak (meningitis), yang mana akan
menyebabkan gangguan fungsi otak yang menyebabkan delirium.
Mekanisme yang kedua adalah infeksi SARS-CoV-2 pada paru-paru akan
mengakibatkan gangguan fungsi paru, yang mana menyebabkan terjadinya gangguan
asupan oksigen ke berbagai organ tubuh, termasuk di antaranya otak. Gangguan asupan
oksigen pada otak inilah yang dapat mencetuskan terjadinya delirium.
Mekanisme yang ketiga adalah infeksi SARS-CoV-2 yang meluas dapat
menyebabkan pengentalan darah, yang mengakibatkan sirkulasi oksigen pada bagian
tubuh lain –termasuk otak- menjadi terganggu. Sama seperti pada mekanisme
sebelumnya, hal inilah yang dapat mencetuskan terjadinya delirium.

2. Mengapa pasien bingung, acuh tak acuh?

3. Mengapa pasien tidak mengetahui namanya dan tidak tahu keberadaannya?


Orang dengan delirium tidak dapat berkonsentrasi, sehingga mereka kesulitan
memproses informasi baru dan tidak dapat mengingat kejadian baru-baru ini. Dengan
demikian, mereka tidak mengerti apa yang terjadi di sekitar mereka. Mereka menjadi
disorientasi. Kebingungan tiba-tiba tentang waktu dan sering tentang tempat (di mana
mereka berada) mungkin merupakan tanda awal delirium. Jika delirium parah, orang
mungkin tidak tahu siapa mereka atau orang lain. Pemikiran menjadi kacau, dan orang
dengan delirium mengoceh, terkadang menjadi tidak koheren.
4. mengapa dapat terjadi halusinasi visual pada kasus ini?
Banyak hipotesis telah diajukan untuk menjelaskan asal usul halusinasi visual. Ini
telah diringkas dan dikategorikan oleh Asaad dan Shapiro1: psikofisiologis (yaitu,
sebagai gangguan struktur otak), psikobiokimia (sebagai gangguan neurotransmiter), dan
psikodinamik (sebagai munculnya ketidaksadaran ke dalam kesadaran). Halusinasi visual
dapat merupakan hasil dari ketiga proses tersebut, mengingat interaksi antara gangguan
anatomi otak, kimia otak, pengalaman sebelumnya, dan makna psikodinamik. Sampai
saat ini, tidak ada mekanisme saraf tunggal yang menjelaskan semua jenis halusinasi
visual; namun, kesamaan halusinasi visual yang terkait dengan kondisi yang tampaknya
beragam menunjukkan jalur akhir yang sama. Manford dan Andermann 2 merangkum 3
mekanisme patofisiologis yang dianggap sebagai penyebab halusinasi visual yang
kompleks.
Mekanisme pertama melibatkan iritasi (misalnya, aktivitas kejang) pusat kortikal yang
bertanggung jawab untuk pemrosesan visual. Iritasi korteks visual primer (area Brodmann
17) menyebabkan halusinasi visual dasar sederhana, sedangkan iritasi korteks asosiasi visual
(area Brodmann 18 dan 19) menyebabkan halusinasi visual yang lebih kompleks. Data ini
didukung oleh rekaman elektroensefalografi (EEG) dan eksperimen stimulasi langsung Lesi
yang menyebabkan deafferentation dari sistem visual dapat menyebabkan fenomena
pelepasan kortikal, termasuk halusinasi visual. Input normal dianggap berada di bawah
kendali proses penghambatan yang secara efektif dihilangkan oleh deafferentation. Lebih
lanjut disarankan bahwa neuron yang mengalami deaferen mengalami perubahan biokimia
dan molekuler spesifik yang mengarah pada peningkatan eksitabilitas secara keseluruhan
(mirip dengan hipersensitivitas denervasi yang terlihat pada sindrom tungkai hantu yang
dialami oleh orang yang diamputasi). Banyak lesi dapat menyebabkan hilangnya input ini
dan menghambat fungsi kognitif lainnya. Sebagai catatan, halusinasi visual dapat diinduksi
oleh deprivasi visual yang berkepanjangan. Satu studi melaporkan halusinasi visual pada 10
dari 13 subyek sehat yang ditutup matanya selama 5 hari; temuan ini memberikan dukungan
kuat pada gagasan bahwa hilangnya input visual normal cukup untuk menyebabkan
halusinasi visual. Akhirnya, karena perannya dalam pemeliharaan gairah, sistem aktivasi
retikuler telah terlibat dalam asal-usul halusinasi visual. Lesi pada batang otak telah
menyebabkan halusinasi visual (seperti pada halusinasi peduncular). Selanjutnya, halusinasi
visual umum terjadi pada mereka yang memiliki gangguan tidur tertentu, dan lebih sering
terjadi pada mereka yang mengantuk. Pengamatan bahwa halusinasi visual terjadi lebih
sering pada mereka yang mengantuk (bahkan tanpa adanya patologi tidur yang jelas)
menunjukkan bahwa sistem aktivasi retikuler berperan dalam halusinasi visual, meskipun
mekanisme yang tepat belum ditetapkan.

5. Apa makna status mental pada pasien?


a. Kontak tidak adekuat
b. halusinasi visual: persepsi atau tanngapan palsu tidak berhubungan dengan
stimulus eksternal yang nyata menghayati gejala gejala yang dihayalkan
sebagai hal yang nyata
c. asosiasi longgar: Gangguan pikiran dan pembicaraan dimana ide-ide
berpindah dari subjek satu ke yang lain tanpa alasan jelas. Pembicaraan
tidak sadar pada ketidakserasian itu. Merupakan tanda klasik dari
skizofrenia tetapi dapat juga dilihat pada psikosis lain;

6. Apa diagnosis pasien?


Delirium akut
Delirium et causa inflamasi sistemik
Gejala yang dapat ditemui antara lain gangguan kognitif global berupa gangguan memori
(recent memory= memori jangka pendek), gangguan persepsi (halusinasi, ilusi), atau
gangguan proses piker (disorientasi waktu, tempat,orang). Gejala yang mudah diamati
namun justru terlewatkan adalah bila terdapat komunikasi yang tidak relevan, atau
autonamnesis yang sulit dipahami; kadang-kadang pasien terlihat seperti mengomel terus
atu terdapat ideide pembicaraan yang melompat-lompat. Gejala lain meliputi perubahan
aktifitas psikomotor baik hipoaktif(25%), hiperaktif (25%) maupun campuran keduanya
(35%); sebagian pasien (15%) menunjukkan aktivitas psikomotor normal; gangguan
siklus tidur (siang hari tertidur sedangkan malam hari terjaga). Rudolph dan marcantonio
(2003) memasukkan gejala perubahan aktifitas psikomotor ke dala klelompok perubahan
kesadaran, yakni setiap kondisi kesadaran selain compos mentis, termasuk didalamnya
keadaan hipoaktivitas dan hiperaktivitas.

7. Apa tatalaksana pada kasus ini?

Penatalaksanaan delirium sangat kompleks sehingga di simpulkan seperti tabel dibawah:


a. Pengobatan etiologik harus sedini mungkin dan di samping faal otak dibantu agar
tidak terjadi kerusakan otak yang menetap.
b. Peredaran darah harus diperhatikan (nadi, jantung dan tekanan darah), bila perlu
diberi stimulansia.
Pemberian cairan harus cukup, sebab tidak jarang terjadi dehidrasi. Hati-hati
dengan sedativa dan narkotika (barbiturat, morfin) sebab kadang-kadang tidak
menolong, tetapi dapat menimbulkan efek paradoksal, yaitu klien tidak menjadi
tenang, tetapi bertambah gelisah.
c. Penderita harus dijaga terus, lebih-lebih bila ia sangat gelisah, sebab berbahaya
untuk dirinya sendiri (jatuh, lari dan loncat keluar dari jendela dan sebagainya)
ataupun untuk orang lain.
Dicoba menenangkan pasien dengan kata-kata (biarpun kesadarannya menurun)
atau dengan kompres es. pasien mungkin lebih tenang bila ia dapat melihat orang
atau barang yang ia kenal dari rumah. Sebaiknya kamar jangan terlalu gelap ,
pasien tidak tahan terlalu diisolasi.
d. Terdapat gejala psikiatrik bila sangat mengganggu dapat diberikan neroleptika,
terutama yang mempunyai dosis efektif tinggi.

Anda mungkin juga menyukai