Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuak Aren

Tuak adalah hasil sadapan yang diambil dari tanaman aren (Arenga

pinnata). Di Indonesia tanaman aren tumbuh dengan baik dan mampu berproduksi

pada daerah dengan tanah yang subur pada ketinggian 500-800 m di atas

permukaan laut. Pada daerah – daerah dengan ketinggian kurang dari 500 m atau

lebih dari 800 m, tanaman aren dapat tumbuh namun dari segi produksi buahnya

kurang maksimal (Jamali, 2009).

Tuak sebagai minuman tradisional telah dikonsumsi secara turun temurun,

sehingga kebiasaan konsumsi tuak sangat sulit dihilangkan dari masyarakat.

Hingga saat ini, tuak masih menjadi kegemaran yang dikonsumsi sebagai

minuman penghangat tubuh dan minuman dalam setiap perayaan adat. Daerah

sebagai penghasil dan pengkonsumsi tuak yang cukup tenar adalah Sumatera

Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali (Ikegami, 1997).

Pada tanaman aren, teknik pemanenan nira dilakukan dengan cara

memotong tandan bunga. Pada wadah penampung yang diletakkan di pohon aren

diisi dengan sabut kelapa atau yang dikenal dengan lau. Penambahan sabut kelapa

ini membuat tuak menjadi warna merah. Fermentasi yang terjadi pada tuak

mengakibatkan adanya perombakan terhadap senyawa – senyawa penyusunnya.

Perombakan salah satunya terjadi pada gula yang selanjutnya berubah menjadi

alkohol, kemudian berubah menjadi asam cuka. Fermentasi yang terjadi dibantu

dengan adanya bakteri Saccharomyces sp, tuak sangat mudah mengalami

fermentasi karena memiliki ragi liar (Muku dan Sukadana, 2009). Komposisi nira

6
7

dari suatu jenis tanaman dipengaruhi beberapa faktor yaitu varietas tanaman, umur

tanaman, kesehatan tanaman, keadaan tanah, iklim, pemupukan, dan pengairan

(Nurhikmawati, 2013). Dalam nira, air merupakan komponen terbesar yakni

sekitar 80-90%.

2.1.1 Gula Reduksi

Gula reduksi merupakan golongan gula (karbohidrat) yang dapat

mereduksi senyawa-senyawa penerima elektron, contohnya adalah glukosa dan

fruktosa (Lehninger, 1982). Ujung dari suatu gula reduksi adalah ujung yang

mengandung gugus aldehida atau keton bebas. Umumnya gula-gula reduksi

mempunyai struktur hemiasetal atau hemiketal. Semua monosakarida (glukosa,

fruktosa, galaktosa) dan disakarida (laktosa, maltosa), kecuali sukrosa dan pati

(polisakarida), termasuk sebagai gula reduksi. Umumnya gula reduksi yang

dihasilkan berhubungan erat dengan aktivitas enzim, yaitu semakin tinggi

aktivitas enzim maka semakin tinggi pula gula reduksi yang dihasilkan.

Glukosa adalah suatu aldoheksosa, disebut juga dekstrosa karena memutar

bidang polarisasi ke kanan. Glukosa dapat terbentuk dari hidrolisis pati, glikogen,

dan maltosa. Glukosa sangat penting bagi kita karena sel tubuh kita

menggunakannya langsung untuk menghasilkan energi (Hawab, 2003). Glukosa

dapat dioksidasi oleh zat pengoksidasi seperti pereaksi Tollens sehingga sering

disebut sebagai gula reduksi. Struktur glukosa diperlihatkan dalam Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Struktur glukosa


8

Fruktosa adalah suatu heksulosa, disebut juga levulosa karena memutar

bidang polarisasi ke kiri. Fruktosa merupakan satu-satunya heksulosa yang

terdapat di alam. Fruktosa merupakan gula termanis, terdapat dalam madu dan

buah-buahan bersama glukosa. Fruktosa dapat terbentuk dari hidrolisis suatu

disakarida yang disebut sukrosa. Fruktosa adalah salah satu gula reduksi. Struktur

fruktosa diperlihatkan dalam Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Struktur fruktosa

Galaktosa merupakan suatu aldoheksosa. Monosakarida ini jarang terdapat

bebas di alam. Umumnya berikatan dengan glukosa dalam bentuk laktosa, yaitu

gula yang terdapat dalam susu. Galaktosa mempunyai rasa kurang manis jika

dibandingkan dengan glukosa dan kurang larut dalam air. Seperti halnya glukosa,

galaktosa juga merupakan gula reduksi. Struktur galaktosa diperlihatkan dalam

Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Struktur galaktosa

Maltosa adalah suatu disakarida yang terbentuk dari dua molekul glukosa.

ikatan yang terjadi ialah antara atom karbon nomor 1 dan atom karbon nomor 4,

oleh karenanya maltosa masih mempunyai gugus –OH glikosidik dan dengan
9

demikian masih mempunyai sifat mereduksi. Maltosa merupakan hasil antara

dalam proses hidrolisis amilum dengan asam maupun dengan enzim (Hawab,

2003). Struktur maltosa diperlihatkan dalam Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Struktur maltosa

Laktosa terdiri atas residu β-galaktosa dan β-glukosa serta membentuk β-

laktosa. Laktosa ada di dalam kandungan susu dan merupakan 2-8 persen bobot

susu keseluruhan (Hawab, 2003). Rumus kimia laktosa adalah C12H22O11. Nama

sistematis laktosa adalah β-D-galaktopiranosil-(1→4)-D-glukosa dengan struktur

seperti Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Struktur laktosa

2.1.2 Alkohol

Alkohol memiliki rumus umum R-OH dimana R merupakan suatu alkil

baik siklik kecuali senyawa aromatis maupun alifatik dan –OH merupakan gugus

hidroksil. Etanol dapat bercampur dengan mudah dalam segala perbandingan

dengan air karena memiliki gugus O-H yang dapat berikatan hidrogen dengan
10

molekul air. Sifat dari ikatan O-H sangat polar ini juga dapat menghasilkan ikatan

hidrogen dengan molekul alkohol lain (Satyajit, 2009). Dalam strukturnya, apabila

semakin banyak cabang akan memiliki titik didih yang semakin rendah. Dari

beberapa jenis alkohol, metanol, etanol, dan propanol memiliki sifat mudah larut

dalam air, sedangkan alkohol jenis butanol sedikit larut dalam air. Hal ini

disebabkan rantai hidrokarbon dalam alkohol bersifat hidrofobik yakni menolak

molekul – molekul air, jadi semakin panjang rantai hidrokarbon maka makin

rendah kelarutan alkohol dalam air karena sifat hidrofobik lebih dominan dari

sifat hidrofilik yang dimiliki gugus hidroksil.

Dalam istilah umum, alkohol digunakan untuk menyebut etanol. Hal ini

karena etanol merupakan komponen dasar pada minuman, bukan methanol

maupun grup alkohol lainnya. Etanol merupakan kelompok senyawa alkohol

yang tersusun atas gugus hidroksil (-OH) dengan 2 atom karbon (C). Dalam

kehidupan sehari hari khususnya di dunia perdagangan etanol merupakan etil

alkohol atau metil karbinol dengan rumus kimia C2H5OH. Etanol disebut juga etil

alkohol dengan rumus kimia C2H5OH atau CH3CH2OH dengan titik didihnya

78,4°C. Etanol memiliki sifat tidak berwarna, bersifat volatil dan dapat bercampur

dengan air dalam segala perbandingan. Adapun struktur etanol seperti dalam

Gambar 2.6.

Gambar 2.6 Struktur etanol


11

Etanol dalam ilmu kimia memiliki beberapa sifat diantaranya :

a. Merupakan pelarut yang baik untuk senyawa organik

b. Mudah menguap dan mudah terbakar diudara sehingga menghasilkan lidah

api (flame) yang berwarna biru muda dan transparan, dan membentuk H2O

dan CO2

c. Bila direaksikan dengan asam halida akan membentuk alkil halida dan air

CH3CH2OH + H-Cl CH3CH2Cl + H2O

d. Bila direaksikan dengan asam karboksilat akan membentuk ester dan air

CH3CH2OH + CH3COOH CH3COOCH2CH3 + H2O

e. Dehidrogenasi etanol menghasilkan asetaldehid

Langkah-langkah dalam proses pembuatan etanol secara garis besar ada

tiga macam yaitu, fermentasi, destilasi, dan dehidrasi.

1. Fermentasi adalah proses produksi energi dalam sel dalam keadaan

anaerobik (tanpa oksigen), secara umum fermentasi adalah salah satu

bentuk respirasi anaerobik akan tetapi terdapat definisi yang lebih

jelas yang dapat didefinisikan, fermentasi sebagai respirasi dalam

lingkungan anaerobatik tanpa akseptor eksternal.

2. Destilasi adalah merupakan suatu metode pemisahan bahan kimia

berdasarkan perbedaan volatilitas bahan. Prisip dasar dari destilasi

adalah memisahkan campuran cairan (dalam hal ini etanol dan air)

dengan memanfaatkan perbedaan titik didih dari kedua zat cair

tersebut. Etanol yang titik didihnya lebih rendah yaitu 78,4ºdan air

100º akan diuapkan dengan cara pemanasan. Air akan tinggal dan
12

etanol akan menguap, uap etanol ini dijadikan cairan lagi dengan cara

mendinginkannya.

3. Proses dehidrasi adalah merupakan proses untuk membuang air

sampai menjadi 99,5%. Etanol 99,5% ini bisa digunakan untuk

menjadi bahan bakar energi alternatif.

2.1.3 Asam Asetat

Asam asetat merupakan senyawa organik yang termasuk golongan asam

karboksilat. Asam asetat merupakan asam monoprotik yang lemah, sehingga

hanya sebagian kecil ion saja yang dapat bergeser ke kiri atau ke kanan. Asam

asetat lebih dikenal sebagai asam cuka dengan rumus molekul CH3COOH adalah

senyawa berbentuk cairan, tidak berwarna, memiliki rasa asam yang tajam dan

larut dalam air, alkohol, gliserol, dan eter. Sifat kelarutan dan kemudahan

bercampur dari asam asetat ini membuatnya digunakan secara luas dalam industri

kimia dan laboratorium (Hartet al., 2003). Asam asetat bersifat mudah menguap

di udara terbuka, mudah terbakar, serta bersifat korosif pada logam. Sifat fisika

asam asetat adalah berbentuk cairan bening tidak berwarna, pH asam, memiliki

titik beku 16,6°C, titik didih 118,1°C , berat molekul 60,05g/mol, dan densitas

pada 25°C sebesar 1,049 kg/L.Struktur asam asetat tersaji dalam Gambar 2.7.

Gambar 2.7 Struktur asam asetat


13

Asam asetat bersifat korosif terhadap banyak logam seperti besi,

magnesium, dan seng, membentuk gas hidrogen dan garam-garam asetat (disebut

logam asetat). Logam asetat juga dapat diperoleh dengan reaksi asam asetat

dengan suatu basa. Contohnya adalah soda kue (Natrium bikarbonat) bereaksi

dengan cuka. Hampir semua garam asetat larut dengan baik dalam air. Contoh

reaksi pembentukan garam asetat:

Mg(s) + 2 CH3COOH(aq) → (CH3COO)2Mg(aq) + H2(g)

NaHCO3(s) + CH3COOH(aq) → CH3COONa(aq) + CO2(g) + H2O(l)

Asam asetat mengalami reaksi-reaksi asam karboksilat, misalnya

menghasilkan garam asetat bila bereaksi dengan alkali, menghasilkan logam

etanoat bila bereaksi dengan logam, dan menghasilkan logam etanoat, air dan

karbondioksida bila bereaksi dengan garam karbonat atau bikarbonat. Reaksi

organik yang paling terkenal dari asam asetat adalah pembentukan etanol melalui

reduksi, pembentukan turunan asam karboksilat seperti asetil klorida atau

anhidrida asetat melalui substitusi nukleofilik.

2.2 Sukrosa

Sukrosa terdiri atas residu ɑ-glukosa dan β-fruktosa yang menghasilkan

bentuk β-sukrosa dengan ikatan glikosida β (1→2). Sukrosa disintesis oleh

jaringan tumbuhan yang berkloroplas melalui proses fotosintesis (Hawab, 2003).

Sukrosa mempunyai sifat sedikit higroskopis dan mudah larut dalam air. Semakin

tinggi suhu, kelarutannya semakin besar. Satu gram sukrosa dapat larut dalam 0,5

ml air pada suhu kamar/ 0,2 ml dalam air mendidih, dalam 170 ml alkohol/ 100

ml metanol. Kristal sukrosa bersifat stabil di udara terbuka dan dalam keadaan

yang langsung berhubungan dengan udara dapat menyerap air sebanyak 1% dari
14

total berat dan akan dilepaskan kembali apabila dipanaskan pada suhu 90ºC

(Sudarmadji et al, 1990). Struktur sukrosa tersaji dalam gambar 2.8

Gambar 2.8 Struktur sukrosa

2.3 Sabut kelapa

Kelapa (Cocos nucifera) merupakan jenis tanaman palma dalam genus

Cocos dari suku aren-arenan atau Areaceae (Hanum, 2015). Buah kelapa terdiri

dari epicarp atau bagian luar yang memiliki permukaan licin, agak keras, dengan

tebal ± 0,7 mm, mesocarp yaitu bagian tengah yang disebut sabut terdiri dari serat

keras dengan tebal 3-5 cm, dan endocarp yaitu tempurung kelapa dengan tebal 3-

6 mm.

Sabut kelapa merupakan salah satu biomassa yang mudah diperoleh dan

merupakan hasil samping pertanian. Komposisi sabut buah kelapa sekitar 35%

dari berat buah kelapa secara keseluruhan. Sabut kelapa terdiri dari serat (fiber)

dan gabus (pitch) yang menghubungkan satu serat dengan serat lainnya. Sabut

kelapa terdiri dari 75% serat dan 25% gabus (Sudiarta et al., 2011). Komposisi

kimia sabut kelapa secara umum terdiri atas selulosa, lignin, pyroligneous acid,

gas, arang, tanin, dan potasium (Hanum, 2015).

Hasil uji komposisi serat sabut berdasarkan SNI dilakukan dengan sarana

riset dan standarisasi tersaji dalam Tabel 2.1.


15

Tabel 2.1 Hasil uji komposisi serat sabut kelapa

Parameter Hasil uji Metode uji


komposisi (%)
Kadar abu 2,02 SNI 14-1031-1989
Kadar lignin 32,48 SNI 14-0492-1990
Kadar sari 3,41 SNI 14-1032-1989
Kadar alfa selulosa 32,64 SNI 14-0444-1989
Kadar total selulosa 55,34 Metode internal BPPK
Kadar pentosan 22,70 SNI 14-1561-1989
Kelarutan dalam NaOH 1% 20,48 SNI 19-1938-1990
Sumber : (Sunario, 2008)

2.4 Analisis Kualitas Tuak Aren

2.4.1 Analisis gula reduksi dengan metode Luff Schoorl

Semua senyawa yang terdapat dalam sampel dipecah menjadi

monosakarida dengan bantuan HCl dan pemanasan. Monosakarida yang terbentuk

selanjutya dianalisis dengan metode Luff-Schoorl. Prinsip dari metode Luff-

Schoorl adalah redukis Cu2+menjadi Cu+ oleh monosakarida. Monosakarida yang

bebas akan mereduksi larutan basa dari garam logam menjadi bentuk oksida

ataupun bentuk basanya. Kelebihan Cu2+ yang tidak tereduksi dapat dikuantifikasi

dengan titrasi iodometri (SNI 01-2891-1992).

Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut :

Karbohidrat kompleks → Gula sederhana (gula reduksi)

Gula reduksi + 2Cu2+ → Cu2O (s)

2Cu2+ (kelebihan) + 4I- → 2CuI2

2CuI2 → 2CuI- + I2

I2 + 2S2O32- → 2I- + S4O62-

(Sudarmadji et al., 1989)

Titrasi yang digunakan dalam metode ini adalah titrasi iodometri. Harga

E° iodium berada pada daerah pertengahan maka sistem iodium dapat digunakan
16

untuk oksidator maupun reduktor. Iodium dapat distandarisasi dengan natrium

thiosulfat (Na2S2O3). Biasanya indikator yang digunakan adalah kanji/amilum.

Sensitivitas warnanya tergantung pada pelarut yang digunakan. Kompleks

iodium-amilum mempunyai kelarutan yang kecil dalam air sehingga biasanya

ditambahkan pada titik akhir titrasi (Khopkar, 2014).

Penentuan gula reduksi dalam suatu bahan dengan metode Luff-Schoorl

tersaji dalam Tabel 2.2

Tabel 2.2 Penentuan gula reduksi dalam suatu bahan

Volume Gula reduksi (mg) Volume Gula reduksi (mg)


tiosulfat tiosulfat
(ml) (ml)
Δ Δ
1 2,4 2,4 13 33,0 2,7
2 4,8 2,4 14 35,7 2,8
3 7,2 2,5 15 38,5 2,8
4 9,7 2,5 16 38,5 2,9
5 12,2 2,5 17 44,2 2,9
6 14,7 2,5 18 47,1 2,9
7 17,2 2,6 19 50,0 3,0
8 19,8 2,6 20 53,0 3,0
9 22,4 2,6 21 56,0 3,1
10 25,0 2,6 22 59,1 3,1
11 27,0 2,7 23 62,2 -
12 30,3 2,7 24 - -
Sumber : (Sudarmadji et al., 1989)

Dalam penentuan kandungan gula reduksi dalam suatu bahan mengacu

pada tabel 2.2 di atas. Volume tiosulfat pada tabel diatas merupakan selisih dari

volume titrasi blanko dengan sampel. Berdasarkan volume tiosulfat yang terdapat

pada tabel maka dapat diketahui jumlah gula reduksi yang dinyatakan dalam

satuan mg, sehingga selanjutnya dapat dihitung kandungan gula reduksi dalam

sampel yang dianalisis pada massa tertentu. Pada tabel diatas juga terdapat Δ

(delta) yang menunjukkan selisih antara massa gula reduksi.


17

Menurut Osborne dan Voogt (1978) metode Luff-Schoorl dapat

diaplikasikan pada produk pangan yang mengandung gula dan memiliki bobot

molekul rendah serta pati alami atau modifikasi. Kemampuan mereduksi gugus

aldehid dan keton digunakan sebagai dasar teori dalam mengkuantisasi gula

sederhana yang telah terbentuk. Namun reaksi reduksi yang terjadi antara gula dan

tembaga sulfat tidak stoikiometri dan tergantung kondisi reaksi. Faktor utama

yang mempengaruhi reaksi adalah waktu pemanasan dan kekuatan reagen.

2.4.2 Analisis kadar etanol dengan Gas Chromatography Flame Ionization

Detector (GC FID)

Gas Chromatography Flame Ionization Detector merupakan kombinasi

antara kromatografi gas dan detektor ionisasi nyala. Kromatografi gas digunakan

untuk pemisahan serta identifikasi semua jenis senyawa organik yang mudah

menguap serta berfungsi analisis kualitatif dan kuantitatif berbagai komponem

dalam campuran (Gandjar, 2007).

Dalam kromatografi gas, fase yang bergerak (mobile phase) adalah sebuah

operator gas, yang biasanya gas murni. Stationary atau fasa diam merupakan tahap

mikroskopis lapisan cair atau polimer yang mendukung gas murni, di dalam bagian

dari sistem pipa-pipa kaca atau logam yang disebut kolom. Instrumen yang

digunakan untuk melakukan kromatografi gas disebut gas chromatograph (atau

aerograph, gas pemisah). Fase gerak akan membawa campuran sampel menuju

kolom. Campuran dalam fase gerak akan berinteraksi dengan fase diam. Suatu

komponen yang terdapat dalam campuran berinteraksi dengan kecepatan yang

berbeda dimana interaksi komponen dengan fase diam dengan waktu yang paling

cepat akan keluar pertama dari kolom dan yang paling lambat akan keluar paling
18

akhir. Waktu retensi (tr) merupakan ukuran waktu mulai injeksi cuplikan hingga

suatu komponen campuran keluar kolom, dengan kata lain waktu yang diperlukan

oleh suatu komponen campuran (solut) untuk keluar dari kolom. Waktu retensi

diukur melalui kromatogram dari menit ke-0 hingga muncul puncak (Hendayana,

2006).

Detektor digunakan sebagai pendeteksi komponen-komponen yang sudah

dipisahkan dari kolom secara terus-menerus, cepat, akurat, dan dapat

melakukannya pada suhu yang lebih tinggi (Hendayana, 2006). Fungsi dari

detektor itu sendiri adalah mengukur kuantitas dalam jumlah kecil, dari komponen

yang dipisahkan yang ada dalam aliran gas pembawa yang meninggalkan kolom.

Hasil pemisahan tersebut keluar dari detektor dan masuk ke alat perekam

(rekorder/integrator) sehingga menghasilkan kromatogram. Detektor yang biasa

diinginkan adalah detektor yang mempunyai sensitifitas yang tinggi, noisenya

rendah, responnya linear, dan dapat memberikan respon dengan setiap senyawa,

tidak sensitif terhadap perubahan temperatur serta kecepatan aliran dan juga tidak

mahal harganya.

Detektor pada Gas Chromatography digunakan untuk memunculkan

sinyal listrik hasil elusi gas pembawa dari kolom. Berbagai jenis detektor dibuat

untuk melakukan deteksi dengan variasi sensitivitas dan selektivitas. Sensitivitas

mengacu pada kuantitas terkecil dari komponen campuran di mana sensitivitas

menghasilkan sinyal yang masih teramati. Sedangkan, selektivitas mengacu pada

jenis senyawa di mana sinyalnya dapat dimunculkan.

Flame Ionization Detector adalah detektor yang paling stabil terutama

karena pengaruh fluktuasi suhu dan aliran gas pembawa. Sensitivitas dari detektor
19

akan berkurang jika sampel yang dianalisis mengandung suatu unsur halogen serta

akan terbentuknya suatu pengotor atau deposit pada detektor. Flame Ionization

Detector biasanya digunakan untuk menganalisis senyawa organik (responnya akan

meningkat sesuai dengan kenaikan dari atom karbon). Komponen dalam jumlah

kecil, dimana senyawa dengan titik didih yang tinggi yang disuntikkannya dalam

konsentrasi rendah.

Prinsip kerja dari Flame Ionization Detector adalah terjadi proses

pembakaran yang ditimbulkan oleh reaksi udara O2 dan H2 . Proses ini akan

menghasilkan energi yang akan mengionisasi komponen-komponen suatu sampel

yang dikeluarkan dari kolom. Molekul – molekul dari komponen tersebut akan

melepaskan elektron dan berubah menjadi ion – ion. Ion positif akan tertarik

menuju elektroda negatif sehingga arusnya akan bertambah. Kemudian melalui

tahanan yang menyebabkan adanya selisih dari tegangan dan disalurkan ke

amplifier menuju alat pencatat (recorder, integrator).

Kromatografi gas selain dapat mengidentifikasi jenis komponen (analisis

kualitatif) juga dapat memberikan informasi kuantitatif. Analisis kuantitatif dengan

kromatografi gas dapat didasarkan pada pendekatan tinggi peak atau area peak serta

standar. Pendekatan tinggi peak diperoleh degan membuat base line pada suatu

peak dan mengukur tinggi garis tegak lurus yang menghubungkan base line dengan

peak. Pendekatan ini berlaku jika luas peak standar dan analit tidak berbeda.

Pendekatan berikutnya adalah area peak, yang dapat diperhitungkan yaitu lebar

peak sehingga lebar peak yang berbeda antara standar dan analit tidak masalah.

Pada kromatografi gas telah dilengkapi dengan komputerisasi yang dapat

menghitung luas peak secara otomatis (Hendayana, 2006).


20

Metode standar internal adalah metode standar murni (single element)

yang dapat digunakan sebagai pembanding. Pada sampel maupun standar

ditambahkan komponen dengan sifat yang hampir sama dengan komponen yang

akan dianalisis. Untuk mengetahui jenis alkohol yang terkandung dalam sampel,

waktu retensi sampel dibandingkan dengan waktu retensi standar (Hendayana,

2006). Rasio luas puncak (atau tinggi) senyawa target dalam sampel serta standar

internal pada sampel dibandingkan dengan rasio serupa yang diperoleh untuk

setiap standar. Senyawa yang digunakan sebagai standar internal harus merupakan

senyawa yang tidak ditemukan dalam sampel yang akan dianalisis dan harus

menghasilkan respon yang tidak ambigu pada sistem detektor kromatografi.

Adapun syarat untuk standar internal yang efektif yaitu, 1) harus menimbulkan

puncak yang terpisah sepenuhnya tetapi harus terelusi dengan komponen –

komponen yang akan diukur; 2) tinggi atau luas puncak harus sama dengan tinggi

atau luas peak dari komponen – komponen yang akan diukur; dan 3) secara

kimiawi harus serupa dengan sampel, tetapi tidak diperoleh dalam sampel aslinya

(Rodriguez, 2001). Perhitungan kadar sampel dalam adalah sebagai berikut :


𝐴 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
Csampel = 𝐴 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑛𝑎𝑙 𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟 × 𝐶 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑛𝑎𝑙 𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟

2.4.3 Analisis asam asetat dengan titrasi asam basa

Titrasi asam – basa pada prinsipnya melibatkan reaksi penetralan ion H+

dari asam oleh ion OH-dari basa, atau sebaliknya. Asam atau basa dalam air,

dalam hal ini asam/basa kuat/lemah dapat terionisasi dalam air.

HA (aq) H+(aq) + A-(aq) (asam lemah)

HX(aq) H+(aq) + X-(aq) (asam kuat)

BOH(aq) B+(aq) + OH-(aq) (basa lemah)


21

XOH(aq) X+(aq) + OH-(aq) (basa kuat)

Zat yang digunakan sebagai penitrasi disebut zat standar atau zat baku. Zat

baku kembali dikelompokkan menjadi zat baku primer dan zat baku sekunder. Zat

baku primer merupakan zat yang memenuhi kriteria yaitu memiliki kemurnian

yang tinggi, stabil dalam waktu lama, serta stabil dalam bentuk larutannya dalam

waktu penyimpanan relatif lama. Beberapa zat baku primer yang umum

digunakan dalam titrasi asam – basa adalah asam oksalat, natrium oksalat, boraks,

dan natrium karbonat. Zat baku sekunder seperti HCl, NaOH, KOH, H2SO4, bila

akan digunakan sebagai penitrasi harus dibakukan dahulu menggunakan penitrasi

larutan zat baku primer. Zat baku sekunder tidak stabil, agak sukar dimurnikan,

dan tidak tahan lama dalam bentuk larutannya, sehingga bila akan digunakan

sebagai standar, maka perlu dibakukan dahulu.

Titik akhir titrasi ini mudah sekali dideteksi baik dengan indikator ataupun

dengan mengikuti perubahan pH dengan pH meter. Keasaman maupun kebasaan

berbagai asam dan basa organik dapat ditingkatkan dengan cara melakukan titrasi

dalam pelarut bukan air. Ini akan memberikan titik akhir yang lebih tajam dan

juga memungkinkan titrasi terhadap asam atau basa yang lebih lemah. Indikator

asam-basa pada umumnya adalah senyawa organik yang bersifat asam atau basa

lemah dan dalam larutan mengalami ionisasi sebagai berikut: HIn H+ + In- (bentuk

asam) (bentuk basa) Bila hanya salah satu bentuk-bentuk itu yang berwarna

tertentu disebut indikator satu warna, misalnya timolftalein (tak berwarna – biru),

fenolftalein (tak berwarna – merah). Bila kedua bentuk itu mempunyai warna

yang berbeda disebut indikator dua warna, misalnya metil orange (merah-orange),
22

metil merah (merah-kuning) dan banyak lainnya. Pada titrasi asam basa indikator

yang dipilih harus dapat berubah warna tepat pada saat titik ekivalen tercapai.

Anda mungkin juga menyukai