FARMASI FISIKA
“SISTEM DISPERSI”
Disusun oleh :
DOSEN PEMBIMBING :
ULLY CHAIRUNNISA M.FARM,APT
SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI (STIFARM)
PADANG
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas Berkat
dan Rahmatnya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan benar. Isi makalah
ini, penulis mengangkat tentang “SISTEM DISPERSI”.
Semoga dengan pembahasan makalah ini dapat berguna bagi kita dan mampu
memberikan sudut pandang baru bagi pembaca. Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih
kepada teman-teman yang telah membantu penulis dengan memberikan dorongan dan saran
untuk menyusun makalah ini sehingga diselesaikan dengan baik. Dan juga makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan, apabila ada kekurangan atau kesalahan kata dalam penulisan, penulis
mohon maaf yang sebesar-besarnya dan bersedia menerima kritik dan saran yang membangun
dari pembaca demi memperbaiki makalah ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................................ii
BAB I :PENDAHULUAN
1.3 Tujuan.......................................................................................................................1
BAB II : PEMBAHASAN
2.5 Grafik sudut deviasi terhadap Sudut Datang pada Prisma ...........................................10
3.2 Saran..................................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................iii
BAB 1
PENDAHULUAN
Pengertian Sistem Dispersi merupakan sebuah pencampuran pada satu zat dengan zat lain
yang ketika akan dicampur, mengalami pemerataan antara zat dalam zat lain. Zat yang
terdispersi disebut sebagai tahap dispersi, sedangkan pada sebuah tempat mereka yakni dapat
terdispersi disebut medium dispersi. Sebagai contoh, pati yang ditempatkan di air panas
mengalami sistem dispersi.
Di sini air adalah sebuah media pendispersi, sedangkan pati berfungsi sebagai agen
pendispersi. Sebuah sistem dispersi yakni dapat diartikan dengan larutan atau campuran dari dua
zat yang berbeda, tetapi memiliki bentuk yang sama. Ciri khas dari sistem dispersi adalah adanya
pelarut dan zat terlarut.
Contoh lain, jika susu, gula, dan pasir diletakkan di satu tempat dan diisi dengan air lalu
diaduk, 3 sebuah sistem dispersi ditemukan. Gula, susu, dan pasir adalah fase dispersi,
sedangkan air adalah untuk medium pendispersi.
Mengacu kepada rumusan masalah yang dijelaskan diatas, adapun yang menjadi tujuan
penulisan makalah ini adalah
1
BAB 1
2
2. Memberikan pemahaman tentang jenis-jenis sistem dispersi
PEMBAHASAN
Sistem Dispersi merupakan sebuah pencampuran pada satu zat dengan zat lain yang
ketika akan dicampur, mengalami pemerataan antara zat dalam zat lain. Zat yang terdispersi
disebut sebagai tahap dispersi, sedangkan pada sebuah tempat mereka yakni dapat terdispersi
disebut medium dispersi. Sebagai contoh, pati yang ditempatkan di air panas mengalami sistem
dispersi.
Di sini air adalah sebuah media pendispersi, sedangkan pati berfungsi sebagai agen
pendispersi. Sebuah sistem dispersi yakni dapat diartikan dengan larutan atau campuran dari dua
zat yang berbeda, tetapi memiliki bentuk yang sama. Ciri khas dari sistem dispersi adalah adanya
pelarut dan zat terlarut.
Contoh lain, jika susu, gula, dan pasir diletakkan di satu tempat dan diisi dengan air lalu
diaduk, 3 sebuah sistem dispersi ditemukan. Gula, susu, dan pasir adalah fase dispersi,
sedangkan air adalah untuk medium pendispersi.
Dispersi ini ialah kejadian atau peristiwa penguraian cahaya putih (polikromatik) itu
menjadi komponen-komponennya disebabkan karna pembiasan. Komponen warna yang
terbentuk diantaranya merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu.
Dispersi tersebut juga dapat atau bisa terjadi oleh karna terdapat suatu perbedaan deviasi
untuk tiap-tiap panjang dari suatu gelombang, yang disebabkan oleh karna adanya perbedaan
kelajuan tiap-tiap gelombang disaat melalui suatu medium pembias. Gambar dibawah ini akan
menunjukkan dispersi sinar putih yang melalui sebuah prisma.
2
2.2 Teori Dasar
Sistem dispersi dapat diartikan sebagai suatu sistem yang salah satu zatnya adalah fase
terdispersi ke dalam zat atau fase pendispersi, dalam berbagai bentuk sediaan farmasi. Sistem dispersi
cairan merupakan sistem yang paling kompleks. Sistem koloid terdiri dari 2 fase, yaitu : fase
terdispersi dengan ukuran tertentu dalam medium pendispersi sedangkan medium yang
digunakan untuk mendispersikan disebut medium dispersi (Andayani,2011)
Berdasarkan ukuran partikelnya, sistem dispersi dibagi menjadi 3 bagian, yaitu :
1. Larutan
Merupakan sistem dispersi yang ukuran partikelnya sangat kecil, sehingga tidak dapat
dibedakan (diamati) antara partikel pendispersi dengan partikel terdispersi menggunakan miroskop
tingkat pembesaran yang tinggi (mikroskop ultra)
2. Koloid
Merupakan sistem dispers dengan uuran partikel yang lebih besar dari larutan tetapi lebih kecil dari
suspensi
3. Suspensi
Merupakan sistem dispersi dengan ukuran partikel yang berukuran relatif besar tersebar merata
dalam medium pendispersinya (Hendriyani,2010)
Partikel-partikel yang tersebar dalam rentan kloridal mempunyai luas permukaan
yang sangat besar sekali jika dibandingkan dengan luas permukaan dari partikel yang lebih besar
dalam volume setara (Martin,2008)
Emulsi adalah sistem yang secara termodinamikanya tidak stabil, yang terdiri dari paling
sedikit dua fase cair yang tidak tercampur, salah satunya terdispersi dalam bentuk tetes (fase
terdispersi) dalam fase cair lainnya (Fase continu) distabilkan oleh sudut pengemulsi. Suspensi
adalah sediaan yang mengandung bahan obat padat dalam bentuk halus dan tidak larut, terdispersi
dalam cairan pembawa (Aulton,2003)
Stabilitas emulsi farmasetis mempunyai ciri besar kolaesensi dari fase dalam bebas
kriming, tetap baik dari segi penampilan, bau, warna, dan sifat fisis lainnya. Berdasarkan
pertimbangan tersebut maka ketidakstabilan emulsi dapat digolongkan atas :
a. Flokulasi dan kriming
b. Koalenensi dan pecah
c. Perubahan fisis dan kimia
d. Invensi fase
3
(Aulton,2003)
Beberapa faktor yang mempengaruhi stabilitas suspensi ialah :
1. Ukuran partikel
Ukuran partikel erat hubungannya dengan luas penampang partikel tersebut sertadaya tekan ke atas
cairan suspensi itu. Hubungan antara ukuran partikel merupakan perbandingan terbalik dengan
luas penampangnya. Sedangkan antara luas penampang dengan daya tekan keatas merupakan
hubungan linier. Artinya semakin besar ukuran partikel semakin kecil luas penampangnya
(dalam volume yang sama). Sedangkan semakin besar luas penampang partikel daya tekan keatas
cairan akan semakin memperlambat gerakan partikel untuk mengendap, sehingga untuk
memperlambat gerakan tersebut dapat dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel.
2. Kekentalan (viskositas)
Kekentalan suatu cairan mempengaruhi pula kecepatan aliran dari cairan tersebut, makin
kental suatu cairan kecepatan alirnya makin turun (kecil). Kecepatan aliran dari cairan tersebut akan
mempengaruhi pula gerakan turunnya partikel yang terdapat didalamnya. Dengan demikian
dengan menambah viskositas cairan, gerakan turun dari partikel yang dikandungnya akan
diperlambat. Tetapi perlu diingat bahwa kekentala suspensi tidak boleh terlalu tinggi agar
sediaan mudah dikocok dan dituang.
3. Jumlah partikel (konsentrasi)
Apabila didalam suatu ruangan berisi partikel dalam jumlah besar, maka partikel tersebut akan
susah melakukan gerakan yang bebas karena sering terjadi benturan antara partikel tersebut.
Benturan itu akan menyebabkan terbentuknya endapan dari zat tersebut, oleh karena itu semakin
besar konsentras partikel, makin besar kemungkinan terjadinya endapan partikel dalam waktu
yang singkat.
4. Sifat / muatan partikel
Dalam suatu suspensi kemungkinan besar terdiri dari beberapa macam campuran bahan yang sifatnya
tidak selalu sama. Dengan demikian ada kemungkinan terjadi interaksi antar bahan tersebut yang
menghasilkan bahan yang sukar larut dalam cairan tersebut. Karena sifat bahan tersebut
merupakan sifat alam, maka tidak dapat mempengaruhinya.
(Syamsyuni,2006)
4
2.3 Pembiasan Cahaya pada Prisma
Prisma ini ialah suatu benda bening atau transparan yang terbuat dari sebuah gelas yang
dibatasi oleh adanya 2 bidang permukaan yang membentuk sebuah sudut tertentu yang memiliki
fungsi yakni untuk menguraikan (sebagai pembias) sinar yang mengenainya.
Permukaan tersebut disebut dengan bidang pembias, serta sudut yang dibentuk oleh ke 2 bidang
pembias disebut sudut pembias (β). Cahaya yang melewati prisma tersebut akan mengalami 2
kali pembiasan, yakni saat memasuki prisma serta meninggalkan prisma.
Apabila suatu sinar itu datang mulamula serta juga sinar bias akhir diperpanjang, maka
keduanya hal itu akan berpotongan di suatu titik serta juga membentuk sudut yang disebut
dengan sebutan sudut deviasi.
Jadi, sudut deviasi (δ) ini merupakan suatu sudut yang dibentuk oleh perpanjangan sinar datang
mula-mula itu dengan sinar yang meniggalkan bidang pembias atau juga pemantul. Gambar
dibawah ini menunjukkan sudut deviasi pada pembiasan prisma.
Pelangi ini adalah contoh dispersi cahaya oleh butiram-butiran air hujan. Butiran butiran
air hujan tersebut kemudian memantulkan cahaya matahari ke arah kita sehingga setelah itu
terurai menjadi pelangi
5
Pada segiempat ABCE itu berlaku hubungan:
β + ∠ABC = 180o
Pada segitiga ABC berlaku hubungan:
r1 + i2 +∠ABC = 180o
β + ∠ABC = r1 + i2 +∠ABC
β = r1 + i2..........................................................................(1)
dengan:
δ = 180o–∠ADC
δ = 180o–[180o+(r1 + i2)–(i1 + r2)]
δ = (i1+r2)–(r1+i2)
Diketahui = r1 + i2 (persamaan (1), maka besar sudut deviasi yang terjadi di prisma ialah
: δ = (i1+r2)–β...........................................................(2)
6
dengan:δ = sudut deviasi
7
2.1 Grafik-sudut-deviasi-terhadap-sudut-datang-pada-prisma
Gambar dibawah ini Grafik sudut deviasi terhadap sudut datang pada prisma.
Disudut deviasi ini berharga minimum (δ = 0) apabila sudut datang pertama (i1) itu sama dengan
sudut bias kedua (r2).
Secara matematis bisa atau dapat dituliskan syarat terjadinya deviasi minimum (δm) ialah i1 = r2
serta r1 = i2, sehingga persamaan (2) itu bisa atau dapat dituliskan kembali di dalam bentuk:
δm = (i1 + i1) – β
δm = 2i1 – β
i1 = (δ+β) / 2 .,…..................................(3)
Selain dari itu, deviasi minimum ini juga dapat atau bisa terjadi apabila r1 = i2, maka dari
persaman (1) diperoleh ialah:
β = r1 + r1 = 2r1
8
r1 = 1/2 β ……………………………………………………… (4)
Bila dihubungkan dengan Hukum Snellius diperoleh:
n1.sin i1 = n2.sin r1
(sin i1/sin i1) = (n2/n1)
9
Masukkan terlebih dahulu i1 dari persamaan (3) serta r1 dari persamaan (4) sehingga:
Sistem dispersi adalah sebuah campuran dalam sebuah zat pelarut dan terlarut. Dalam
sebuah sistem dispersi, pada jumlah zat terlarut lebih sedikit dari pada pelarut. Zat terlarut
disebut sebagai tahapan terdispersi, sedangkan pelarut disebut media pendispersi.
Sebuah sistem dispersi dengan demikian merupakan campuran dari fase terdispersi
dengan media pendispersi yang dicampur dengan cara seragam. Sistem dispersi dibagi menjadi
tiga kelompok, diantaranya ialah sebagai berikut:
1. Dispersi Kasar (Suspensi)
10
Dispersi kasar juga dapat disebut suspensi. Suspensi adalah sebuah campuran heterogen
antara tahap terdispersi dan medium pendispersi. Perbedaan yang jelas dapat dibuat antara fase
terdispersi dan media pendispersi.
11
Dalam sebuah fase terhadap terdispersi biasanya dalam bentuk padatan, sedangkan pada
medium pendispersinya berbentuk cair. Fase terdispersi memiliki ukuran partikel lebih dari 10
hingga 5 cm, sehingga dapat melihat sedimen.
Contoh terhadap campuran air dan pasir. Dalam sebuah campuran air dan pasir, fase
terdispersi (pasir) dan media pendispersi (air) dapat dibedakan karena pasir mengendap di bagian
bawah wadah.
Ciri-ciri Suspensi :
Keruh, partikel terdispersi ini bisa atau dapat diamati langsung dengan mata.
2. Dispersi Koloid
Dispersi koloid adalah sebuah sistem dispersi antara dispersi halus dan kasar. Campuran
dalam sebuah fase terdispersi dengan media pendispersi dalam koloid tampak homogen.
Faktanya, dalam dispersi koloid adalah campuran heterogen. Ini menjadi jelas ketika dispersi
koloid yang dapat diamati dengan menggunakan ultramoskop.
Koloid adalah sistem dispersi. Sistem dispersi atau sistem sebaran adalah suatu sistem
yang menunjukkan bahwa suatu zat terbagi (terdispersi) dalam zat lain. Zat yang terbagi atau
didispersikan disebut fase terdispersi fase intern, atau fase diskontinu. Sedangkan zat yang
1
2
digunakan untuk mendispersikan disebut sebagai fase pendispersi, fase ekstern, atau fase kontinu
(martin, 1993).
1
3
Contoh dispersi koloid adalah agar. Dalam sebuah partikel-partikel fase terdispersi dalam
koloid memiliki diameter antara 10-7 hingga 10-5 cm, sehingga pada sebuah fase terdispersi
yakni dapat larut dalam nampak homogen dan medium pendispersi.
Ciri-ciri Koloid :
Keruh – jernih, partikel terdispersi hanya bisa atau dapat diamati dengan menggunakan
mikroskop ultra.
Apabila didiamkan itu sukar terpisah (relatif stabil).
14
Padat Padat Sol padat Kuningan, kaca
warna, intan hitam,
Perunggu
Cair Emulsi padat Keju, mentega
Gas Buih padat Kerupuk, batu apung,
Biskuit
15
Padat Cair Sol Cat, tinta, pati dalam
Dispersi halus juga disebut sebagai solusi nyata atau dispersi molekuler. Dalam larutan
nyata, campuran homogen terbentuk karena fase larva terdispersi terhadap media pendispersi.
Campuran homogen ini juga disebut larutan. Dalam fase terdispersi, solusinya dapat berupa
padat atau cair, sedangkan medium pendispersinya adalah cair. Contoh larutan teh dalam air.
Diameter partikel fase didispersikan dalam larutan < 10 hingga 7 cm, sehingga larutan tampak
dalam fase homogen dan tunggal.
Dalam sistem ini, adanya campuran pada sebuah zat dalam sebuah zat pelarut dan
terlarut. Berbagai jenis zat dibutuhkan dengan semua makhluk hidup di dunia. misalnya padat,
cair, atau gas.
16
Ciri-ciri Larutan :
17
2.5 Penerapan farmasetika dari koloid
Beberapa jenis obat (zat aktif) tertentu ternyata mempunyai sifat terapetik yang tidak
biasa atau meningkat apabila diformulasian menjadi bentuk koloid. Contohnya, perak klorida
kooidal, perak iodida,perak protein merupakan antibakteri yang efektif dan tidak menyebabkan
18
iritasi. Sifat ini dimiliki oleh garam-garam perak dalam bentuk ion. Selain itu, tembaga koloidal
digunakan dalm pengobatan kanker, emas koloidal sebagai zat pendiagnosis paresis, serta air
raksa dalam bentuk koloid digunakan untuk sifilis (martin, swarbrick, dan cammarata, 2008).
1) Tipe koloid
Sistem koloid dimana fase terdispersinya mempunyai daya adsorbsi relatif lebih besar
disebut koloid liofil yang bersifat lebih stabil. Sedangkan jika partikel terdispersinya mempunyai
daya adsorbsi relatif lebih lemah disebut koloid liofob yang bersifat kurang stabil. Sol
liofil/liofob mudah terkoagulasi dengan sedikit penambahan larutan elektrolit.
a. Koloid liofil (suka pelarut).
Koloid dimana terdapat gaya tarik menarik yang cukup besar antara fase terdispersi
dengan medium pendispersi. Contoh, disperse kanji, sabun, dan Deterjen (ratna dkk, 2009)
Koloid liofilik atau koloid yang suka dengan pelarut atau medium pendispersinya. Karena
afinitasnya (kesukaanya) terhadap medium pendispersi, bahan-bahan tersebut membentuk
dispersi koloid, atau sol, dengan relatif mudah. Jadi, sol koloidal liofilik biasanya diperoleh
hanya dengan melarutkan bahan dalam pelarut yang digunakan. Sebagai contoh, disolusi gom
atau gelatin dalam air atau seluloid dalam amil asetat akan membentuk suatu sol (martin,
swarbrick, dan cammarata, 2008).
b. Koloid liofob (tidak suka pelarut)
Koloid dimana terdapat gaya tarik menarik antara fase terdispersi dengan medium
pendispersi yang cukup lemah atau bahkan tidak ada sama sekali.
Contoh, dispersi emas, belerang dalam air.
Koloid liofobik umumnya tersusun dari partikel-partikel anorganik yang terdispersi dalam air.
Untuk mendapatkan koloid liofobik diperlukan metode khusus, seperti metode dispersi atau
metode kondensasi.
Metode dispersi
Pada metode ini, partikel-partikel kasar akan direduksi ukurannya. Dispersi dapat dicapai
dengan menggunakan generator ultrasonikyang berintensitas tinggi yang bekerja pada frekuensi
lebih dari 20.000 putaran per menit. Dapat juga digunakan proses penggilingan (milling dan
grinding) pada metode ini, walaupun efisiensinya rendah. Alat yang digunakan yaitu penggiling
koloid (colloid mill), di mana bahan diiris antara dua set lempeng yang berdekatan, hanya
19
mengurangi sebagian kecil dari total partikel ukuran partikel koloid.
20
Metode kondensasi
21
22
c. Koloid gabungan
Koloid gabungan atau koloid amfifilik merupakan golongan ke tiga dari penggolongan
koloid. Molekul-molekul atau ion-ion tertentu disebut amfifil atau zat aktif permukaan. Amfifil
atau zat aktif permukaan ini berciri mempunyai dua daerah yang berbeda yang melawan afinitas
larutan dalam molekul atau ion yang sama. Jika ada dalam suatu medium cair dengan konsentrasi
rendah, amfifil berada terpisah dan mempunyai ukuran seperti subkoloid. Jika konsentgrasi
ditingkatkan, terjadi agregasi pada suatu jangkauan konsentrasi yang sangat sempit Amfifil
mungkin anionic, kationik, nonionik, atau amfolitik. Hal ini menyebabkan mudahnya terjadi
koloid gabungan.
(a) misel bola dalam air; (b) misel dalam media nonair; (c) misel laminar, terbentuk pada
konsentrasi tinggi, dalam air
d. Efek faraday-tyndall
Efek tyndall merupakan satu bentuk sifat optik yang dimiliki oleh sistem koloid.
Pada tahun 1869, tyndall menemukan bahwa apabila suatu berkas cahaya dilewatkan
pada sistem koloid maka berkas cahaya tadi akan tampak. Tetapi apabila berkas cahaya
yang sama dilewatkan pada dilewatkan pada larutan sejati, berkas cahaya tadi tidak akan
tampak. Singkat kata efek tyndall merupakan efek penghamburan cahaya oleh sistem
koloid (martin, 1993).
23
Efek tyndall dapat dideteksi menggunakan ultramikroskop yang dikembangkan
oleh zsigmondy. Dengan alat ini, dapat diuji titik-titik cahaya yang menimbulkan kerucut
tyndall. Namun, penggunaan ultramikroskop sekarang sudah berkurang karena alat ini
sering kali tidak dapat digunakan untuk melihat koloid liofilik. Maka mulailah digunakan
mikroskop elektron untuk mengamati ukuran, bentuk, dan struktur partikel-partikel
koloid (martin, 1993).
e. Pemendaran cahaya (light scattering)
Sifat ini berdasarkan efek tyndall dan merupakan metode yang paling banyak
digunakan untuk menentukan berat molekul koloid. Sifat ini juga digunakan untuk
mengetahui bentuk dan ukuran partikel. Pemendaran dapat diuraikan dalam batasan
kekeruhan, t, yaitu penurunan fraksional intensitas karena pemendaran ketika cahaya
melewati 1 cm larutan. Pada suatu konsentrasi fase terdispers tertentu, kekeruhan
sebanding dengan berat molekul kooidal liofilik. Karena kebanyakan koloidal liofilik
mempunyai turbiditas yang rendah, maka relatif lebih mudah mengukur cahaya yang
terpendar pada suatu sudut tertentu terhadap berkas sinar (martin, 1993).
Kekeruhan dapat dihitung dari intensitas cahaya yang tersebar dengan syarat
dimensi partikel kecil dibandingkan dengan panjang gelombang yang digunakan. Berat
molekul koloid bisa didapatkan dari persamaan berikut:
c
H =
34 N
Gerak brown
24
partikel. Jika medium pendispersi viskositasnya meningkat, yaitu dengan penambahan
gliserin atau suatu zat serupa, maka akan menurunkan dan akhirnya menghentikan
25
gerakan brown. Dan kecepatan partikel meningkat dengan berkurangnya ukuran partikel (martin,
1993).
Difusi
Partikel akan berdifusi secara spontan dari tempat yang berkonsentrasi tinggi ke
rendah, sampai konsentrasinya seimbang.
Berdasarkan hukum pertama fick : jumlah zat dq yang berdifusi dalam waktu dt
melewati bidang seluas s adalah berbanding lurus dengan perubahan konsentrasi dc
terhadap jarak yang dilalui dx. D: koefisien difusi yaitu jumlah zat yang berdifusi per
satuan waktu melewati satu satuan luas jika dx/dt ( disebut konsentrasi gradien) sama
dengan satu. D mempunyai dimensi luas per satuan waktu. Partikel koloidal berbentuk
sferis, maka persamaan sutherland- einstein atau stokes-einstein:(martin, 1993).
Viskositas
Viskositas dispersi koloid dipengaruhi oleh bentuk partikel fase dispersi. Koloid bulat
(sferokoloid) membentuk dispersi dengan viskositas relatif rendah sedangkan koloid
linier bersifat lebih kental. Jika koloid linier didispersikan dalam pelarut yang
26
afinitasnya rendah terhadap koloid tersebut maka bentuknya cenderung dianggap bulat
dan viskositasnya menurun (martin, 1993).
Hubungan viskositas dengan jenis koloid yaitu :
27
Kecepatan sedimentasi juga dipengaruhi oleh adanya gaya brown sehingga untuk
membentuk sedimentasi memerlukan gaya yang lebih besar. Yaitu dengan
menggunakan ultrasentifuge. Persamaan dimodifikasi menjadi:
28
hidrokarbon dari misel tersebut, sedangkan molekul polar cenderung teradsorpsi pada
permukaan misel. Molekul polar- non polar akan cendrung meluruskan diri dalam posisi
di tengah di dalam molekul-molekul surfaktan membentuk misel (martin, 1993).
29
Faktor-faktor yang mempengaruhi solubilisasi (martin, 1993) :
o Kimiawi surfaktan: Rantai alkil lipofilik lebih panjang akan lebih mensolubilisasi
obat hidrofobik. Surfaktan ionik: peningkatan jari-jari inti hidrokarbon
meningkatkan solubilisasi.
o Ph, Merubah kesetimbangan antara solubilisat terion dan takterion.
o Titik krafft, Suhu yang menunjukkan terjadinya kelarutan surfaktan = kmk (cmc)
o Titik keruh (cloud point)
Suhu yang menunjukkan terjadinya kekeruhan (pengkabutan) yang tiba-
tiba. Jika suhu dinaikkan terjadi surfaktan memisah sebagai presipitat atau kalau
konsentrasi tinggi sebagai suatu gel.
2.11 Stabilitas Koloid
Sifat fisika dispersi koloid yang paling penting adalah kecenderungan partikel untuk
berkumpul. Pertemuan antara partikel yang di dispersi pada media cair sering terjadi dan stabilitas
dispersi ditentukan oleh interaksi antara partikel selama pertemuan.
Penyebab utama pengumpulan tersebut adalah gaya tarik-menarik Van der waals
antarpartikel, sedangkan pengumpulan perlawanan stabilitas merupakan akibat dari interaksi si antara
lapisan ganda bermuatan listrik yang sama dan daya tarik menarik partikel pelarut. Daya tarik
menarik partikel pelarut menaikkan sebagian besar stabilitas dengan cara mekanis, di mana dapat
dipertimbangkan pada hubungan muatan energi bebas desolvasi positif yang menyertai pengumpulan
partikel. Adsorpsi zat polimer pada permukaan partikel biasanya akan menaikkan stabilitas melalui
peningkatan daya tarik menarik partikel pelarut dan oleh mekanisme entropi, tetapi mempengaruhi
pengumpulan dengan mekanisme penghubung .
30
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Sistem Dispersi merupakan sebuah pencampuran pada satu zat dengan zat lain yang
ketika akan dicampur, mengalami pemerataan antara zat dalam zat lain. Zat yang terdispersi
disebut sebagai tahap dispersi, sedangkan pada sebuah tempat mereka yakni dapat terdispersi
disebut medium dispersi. Sebagai contoh, pati yang ditempatkan di air panas mengalami sistem
dispersi.
Di sini air adalah sebuah media pendispersi, sedangkan pati berfungsi sebagai agen
pendispersi. Sebuah sistem dispersi yakni dapat diartikan dengan larutan atau campuran dari dua
zat yang berbeda, tetapi memiliki bentuk yang sama. Ciri khas dari sistem dispersi adalah adanya
pelarut dan zat terlarut.
Contoh lain, jika susu, gula, dan pasir diletakkan di satu tempat dan diisi dengan air lalu
diaduk, 3 sebuah sistem dispersi ditemukan. Gula, susu, dan pasir adalah fase dispersi,
sedangkan air adalah untuk medium pendispersi.
3.2 SARAN
Semoga makalah ini dapat diterima dan bermanfaat bagi yang membaca. Dan dapat
menambah wawasan bagi pembaca.
31
Jurnal Farmasi Higea, Vol. 8, No. 1, 2016
ABSTRACT
Study of solid dispersions of ibuprofen-manitol by solvent method had been researched.
Solid dispersions made in 4 ratio formula, F1; F2; F3 and F4 with ibuprofen-manitol ratio 3: 1, 2:
2, 1: 3, and 0.5: 3.5. Evaluation of solid dispersions of Ibuprofen - Manitol include x-ray
diffraction (XRD), FT-IR spectroscopy, scanning electron microscopy (SEM), assay and
dissolution test. Results of X-ray diffraction solid dispersion system showed a decrease in
intensity of the degree of crystalline ibuprofen. SEM characterization results indicated ibuprofen
morphological changes towards more amorphous.
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian tentang studi sistem dispersi padat ibuprofen-mannitol dengan metode
pelarutan. Sistem dispersi padat dibuat dalam 4 formula, F1; F2; F3 dan F4 dengan perbandingan
ibuprofen-mannitol berturut-turut 3:1, 2:2, 1:3, dan 0,5:3,5. Evaluasi sistem dispersi padat
ibuprofen-mannitol meliputi difraksi sinar-X (XRD), spektroskopi FT-IR, Scanning Electron
Microscope (SEM), pentapan kadar dan uji disolusi. Hasil difraksi sinar-X sistem dispersi padat
menunjukkan adanya penurunan intensitas derajat kristalin dari ibuprofen. Hasil karakterisasi
SEM menunjukkan perubahan morfologi ibuprofen kearah yang lebih amorf. Hasil statistik
efisiensi disolusi menggunakan uji ANOVA diperoleh nilai sig. 0,000 (<0,05) menunjukkan
bahwa adanya pengaruh jumlah mannitol terhadap laju disolusi ibuprofen.
75
Jurnal Farmasi Higea, Vol. 8, No. 1, 2016
76
Ibuprofen atau asam 2 - (p- Berdasarkan hal di atas, maka pada
isobutilfenil) asam propionat merupakan penelitian ini suatu sistem dispersi padat
salah satu obat antiinflamasi non steroid ibuprofen - manitol dikembangkan dengan
yang digunakan secara luas oleh masyarakat. menggunakan metode pelarutan Sebagai
Ibuprofen praktis tidak larut dalam air. Hal pembanding digunakan campuran fisik
ini akan mempengaruhi ketersediaan ibuprofen – manitol. Sistem dispersi padat
hayatinya. Pada penelitiaan sebelumnya ibuprofen dalam manitol diharapkan dapat
telah banyak dilakukan pembuatan dispersi meningkatkan kelarutan dan laju disolusi
padat ibuprofen menggunakan polimer ibuprofen.
HPMC, PEG 6000, PVP K90, PVP K30,
UREA, serta kombinasinya, dan didapati METODE PENELITIAN
hasil bahwa dengan penambahan polimer a. Alat dan bahan
tersebut dapat memperbaiki kelarutan dari Peralatan gelas standar laboratorium,
ibuprofen (Hasnain & Nayak, 2012; Timbangan digital analitik (Precisa & B
Retnowati & Setyawan, 2010; Xu, et al., 220A), Difraktometer sinar-X (Rigaku,
2007).
Untuk meningkatkan kelarutan
ibuprofen dalam air dapat dilakukan dengan
menggunakan sistem dispersi padat.
Ibuprofen dibuat dalam bentuk dispersi
padat dengan menggunakan pembawa yang
bersifat hidrofil. Salah satu polimer yang
bersifat hidrofil adalah manitol (Rowe, et
al., 2012).
Manitol dengan pemerian, serbuk
hablur atau granul mengalir bebas, putih,
tidak berbau, rasa manis. Kelarutan mudah
larut dalam air, larut dalam larutan basa,
sukar larut dalam piridina, sangat sukar larut
dalam etanol, praktis tidak larut dalam eter
(Rowe, et al., 2012).
Japan), alat uji disolusi (Copley, Scientific dengan ayakan mesh 70, disimpan dalam
Type NE4-COPD), Spektrofotometer UV desikator.
– VIS (Shimadzu 1800), Scanning
Electron Microscopy atau SEM (Hitachi - Pembuatan Serbuk Dispersi Padat
S-3400N), Desikator vakum, Masing-masing formula ditimbang
Spektrofotometer Infra Red (Thermo sesuai dengan komposisi. Sistem dispersi
Scientific), Desikator, ayakan, dan alat- padat ibuprofen – manitol dibuat dengan
alat yang menunjang penelitian. metoda pelarutan berdasarkan perbandingan
Bahan baku ibuprofen (Hubei Granules komposisi formula di atas. Serbuk ibuprofen
Biocause Pharmaceutical CO.,LTD), dimasukkan ke dalam cawan penguap dan
manitol (Merck), metanol (Merck), etanol dilarutkan dalam etanol 96 %, sampai
(Merck), kalium dihidrogen (Merck), terbentuk larutan jernih. Manitol dilarutkan
natrium hidroksida (Merck) dan aquadest dalam aquadest hingga membentuk cairan
(Novalindo). jernih . Ke dalam larutan ibuprofen
2 Manitol 1 2 3 3.5
Total 4 4 4 4
(a) (b)
(c) (d)
(e) (f)
(g)
Gambar 8. (a) ibuprofen (b) manitol (c) Campuran Fisika (d) formula 1 (e) formula 2
(f) formula 3 (g) formula 4
Gambar 8. menunjukan permukaan
melalui metode pelarutan yang dapat
dispersi padat ibuprofen – manitol
mempengaruhi morfologi kristal masing-
dengan metode pelarutan perbesaran 250
masing zat. Dimana habit ibuprofen tunggal
kali terlihat secara jelas bahwa, hasil SEM
sudah berbeda dengan habit ibuprofen dalam
ini sekaligus menunjukkan bahwa terjadi
sistem dispersi padat ibuprofen – manitol.
interaksi fisika antara ibuprofen dan manitol
Analisis pola Difraksi Sinar X (XRD)
Gambar 9. Overlay difraktrogram sinar x ibuprofen, campuran fisik dan serbuk dispersi padat.
60 % Frekuensi
50
40
30
20
10
0 5 10 15 20 25
-10
Diameter rata-rata (μm)
ZA CF F1 F2 F3 F4
% Frekuensi Kumulatif
120
ZA
100
% Frekuensi kumulatif
80
CF
60
F1
40
F2
20
F3
0
0510152025
-20
Diameter rata-rata (μm) F4
Gambar 11. Kurva % frekuensi kumulatif distribusi ukuran partikel
B. Uji Disolusi
KURVA DISOLUSI
90
80
70
% TERDISOLUSI
ZA
60
CF
50
F1
40
F2
30
F3
20
F4
10
0
0510 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
Waktu (menit)
Gambar 12. Kurva disolusi ibuprofen, campuran fisik, dan dispersi padat.
Pada penentuan profil disolusi dari sampai 4. Persen terdisolusi dari keempat
serbuk dispersi padat, campuran fisika dan formula dispersi padat pada menit ke 60 rata
ibuprofen menunjukkan bahwa pada serbuk – rata adalah sebagai berikut: DP F 1: 74,972
campuran fisika dan dispersi padat terjadi %, DP F 2 : 79,779 % dan DP F 3 : 80,448 %,
peningkatan laju disolusi dari semua DP F 4 : 81,102 % .
formula. Peningkatan laju disolusi tersebut
dikarenakan pengaruh dari penambahan H. Analisis Data
manitol pada uji disolusi, ini terlihat bahwa Analisis statistik dari efisiensi disolusi
pada sistem dispersi padat terjadi ibuprofen - manitol dilakukan dengan uji
peningkatan laju disolusi dari formula 1 ANOVA satu arah menggunakan SPSS 17.
Hasil perhitungan ANOVA menunjukkan campuran fisika dan dispersi padat itu
bahwa nilai F hitung = 8218,694 dengan adalah berbeda nyata.
Sig. = 0,000 (< 0,05), yang berarti Ho Hasil uji lanjut dengan uji duncan
ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa rata- menunjukkan bahwa rata- rata efisiensi
rata efisiensi disolusi dari ibuprofen, disolusi terbagi atas 6 subset, dari hasil uji
lanjut dengan uji Duncan menyatakan bahwa
terdapat perbedaan efisiensi disolusi yang
signifikan antara ibuprofen, campuran fisik
dan dipersi padat, yang berarti bahwa
penambahan manitol memberikan pengaruh
terhadap laju disolusi dari ibuprofen.
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang dilakukan
dapat diambil kesimpulan bahwa sistem
dispersi padat ibuprofen-manitol
menggunakan metode pelarutan dapat
meningkatkan laju disolusi dari ibuprofen:
1. Evaluasi sifat fisikokimia pada serbuk
sistem dispersi padat dan campuran fisik
meliputi: analisis pola difraksi sinar - X,
analisis spektroskopi FT - IR, dan SEM.
Secara umum diperoleh bahwa serbuk
sistem dispersi padat dapat
memperbaiki sifat - sifat fisikokimia
ibuprofen. Hasnain, M. S., Nayak, A, K,. (2012),
2. Pembentukan sistem dispersi padat Solubility And Dissolution
ibuprofen - manitol yang dibuat dengan Enhanchement Of Ibuprofen By Solid
metode pelarutan dapat meningkatkan Dispersion Technique Using PEG
laju disolusi ibuprofen. Ditunjukkan 6000 - PVP K30 Combination
oleh persentase kadar ibuprofen yang Carrier. Chemistry Bulgarian Journal
terdisolusi pada menit ke-60 untuk F 1, Science Education, 21, (1),
F 2, F 3, F 4 berturut-turut adalah 118-132.
74,972 %; 79,779 %,; 80,448 % dan
81,102 %. Formula terbaik ditunjukkan Octavia, M, D., Halim, A., Zaini, E. (2015),
oleh dispersi padat formula 4 dengan Preparation Of Simvastatin-Β-
persentase terdisolusi tertinggi Cyclodextrin Inclusion Using Co-
81,102%. Evaporation Technique, Journal Of
Chemical And Pharmaceutical
DAFTAR PUSTAKA Research, 7, (2), 740-747.
ABSTACT
ABSTRAK
Asam mefenamat merupakan obat Anti Inflamasi Non Steroid (NSAID) dan obat
analgetik-antipiretik. Salah satu permasalahan yang dimiliki oleh Asam mefenamat adalah
173
Jurnal Farmasi Higea, Vol. 7, No. 2, 2015
praktis tidak larut dalam air. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
polivinilpirolidon K-30 terhadap laju disolusi Asam mefenamat melalui proses sistem dispersi
padat. Dispersi padat dibuat dengan menggunakan metoda pelarutan menggunakan polimer
yang mudah larut yaitu Polivinilpirolidon K-30. Dispersi padat dibuat dengan perbandingan
1:1, 1:3, 1:5, sebagai pembanding dibuat campuran fisika 1:1, 1:3, 1:5. Hasil Dispersi padat
yang terbentuk dikarakterisasi menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM), Difraksi
sinar X, Spektroskopi IR, Differential Thermal Analysis (DTA) Pembuatan dispersi padat
asam mefenamat – polivinilpirolidon K-30 dapat meningkatkan laju disolusi dari asam
mefenamat yang ditunjukkan dengan meningkatnya disolusi dispersi padat asam mefenamat
yang terlihat pada formula 1:3 menunjukkan disolusi yang sangat meningkat secara
signifikan, dibandingkan dengan campuran fisik dan asam mefenamat murni. Dari data yang
diperoleh, pembuatan dispersi padat Asam mefenamat-PVP-30 tidak menyebabkan terjadinya
reaksi kimia, yang seperti ditunjukkan pada spektrofotometri IR dan DTA. Dimana pada FT
IR tidak terbentuk gugus fungsi baru dan pada DTA tidak terjadi kenaikan atau penurunan
berat molekul.
174
yang diabsorbsi menjadi kecil (Shargel. et memungkinkan terjadinya kompleksasi dan
al., 2005). terbentuknya polimorfi yang lebih mudah
Kelarutan bahan obat sering kali larut (Syukri & Mulyanti, 2007). Asam
menjadi persyaratan utama untuk mefenamat adalah turunan antranilat, yang
memperoleh kerja terapeutik yang optimal. digunakan sebagai analgesik, yang memiliki
Banyak bahan obat yang memiliki kelarutan yang kecil dalam air (Gunawan,
kelarutan yang kecil dalam air atau 2007). Polivinilpirolidon merupakan
dinyatakan sebagai praktis tidak larut pembawa inert yang larut dalam air dan
sehingga konsentrasi terapi tidak tercapai. telah banyak digunakan sebagai pembawa
Berbagai upaya telah dilakukan supaya dalam pelarut dalam dispersi padat (Syukri
kelarutan obat dapat ditingkatkan. Salah & Mulyanti, 2007; Ahire, et al., 2010).
satunya dengan metoda sistem dispersi Tujuan dari penelitian ini adalah akan
padat (Voight, 1994; Shankar. et al., 2013). mencoba memformulasi Asam mefenamat
Dispersi padat merupakan dispersi yang agak sukar larut air dalam bentuk
dari satu atau lebih bahan aktif dalam dispersi padat menggunakan
pembawa inert atau matriks pada keadaan
padat. Dispersi padat diklasifikasikan
dalam enam tipe yaitu campuran eutektik
sederhana, larutan padat, larutan dan
suspensi gelas, pengendapan amorf dalam
pembawa kristal, pembentukan senyawa
kompleks dan kombinasi dari lima tipe di
atas. Pembuatan dispersi padat dapat
dilakukan dengan beberapa metode, antara
lain: metode peleburan (melting method),
metode pelarutan (solvent method), dan
metode campuran (melting-solvent method)
(Chiou & Riegelman, 1971).
Dalam dispersi padat, bahan yang
sukar larut akan didispersikan ke dalam
suatu matrik yang mudah larut sehingga
akan mengurangi ukuran partikel dan
pembawa Polivinilpirolidon (PVP K-30) mefenamat – PVP K-30 dibuat dengan
yang bersifat hidrofil dengan metoda metoda pelarutan. Timbang masing
pelarutan, sehingga diharapkan laju formula sesuai dengan komposisi. Serbuk
disolusi asam mefenamat dalam sediaan Asam mefenamat dan PVP K-30 masing –
akan lebih baik. masing dilarutkan dengan pelarut etanol
96% di dalam beker glass. Lalu campurkan
METODE PENELITIAN larutan PVP K-30 secara perlahan-lahan ke
dalam larutan Asam mefenamat sambil
Alat dan bahan diaduk. Kemudian campuran larutan tadi
Alat – alat yang digunakan adalah diuapkan dan dikeringkan dalam oven pada
Timbangan digital analitik (KERN ABJ), suhu 40-50OC sampai kering. Padatan yang
difraktometer sinar-X (Rigaku, Japan), dihasilkan dikerok dan digerus dalam
Spektrofotometer FT-IR (Thermo mortir, kemudian dilewatkan pada ayakan
Scientific), Spektrofotometer UV-Vis mesh 60 dan simpan dalam desikator.
(Thermo Scientific), alat uji disolusi
(Dissolution Teststation, SR8PLUS),
Scanning Electron Microscopy atau SEM
(Jeol, Japan), Differential Thermal
Analysis atau DTA (Shimadzu TG 60,
Simultaneous DTA-TG Aparatus), alat-
alat gelas lainnya yang menunjang
pelaksanaan penelitian.
Sedangkan bahan yang digunakan
Asam Mefenamat (PT Indofarma),
Polivinilpirolidon K-30 (PT Indofarma),
etanol, Natrium hidroksida 0,1 N, dapar
fospat pH 7,2 dan aqua destilat.
Gambar 2. Panjang gelombang (λ)analisis dalam Dapar fosfat pH 7,4 286 nm.
Gambar 3. (a) Asam mefenamat murni perbesaran 500x (b) PVP K-30 perbesaran 500x (c)
Campuran fisik perbesaran 500x (d) Dispersi Padat perbesaran 500x.
Gambar 3. menunjukkan analisis menunjukkan partikel yang menyatu antara
mikroskopik dengan Scanning Electron Asam Mefenamat – PVP K-30. Kokristal.
Microscopy Dispersi padat Asam Sedangkan pada campuran fisik Asam
Mefenamat – PVP-30 metode pelarutan Mefenamat-PVP K-30, masih dapat
dan campuran fisik Asam Mefenamat-PVP dibedakan antara Asam Mefenamat – PVP
K-30. Dispersi padat Asam Mefenamat – K-30.
PVP K-30 hasil Dispersi Padat
50
0
-50
-100
-150
-200
Gambar 4. Termogram DTA a).Asam Mefenamat, b).PVP K-30, c).Dispersi padat Asam
mefenamat – PVP K-30, dan d),Campuran fisik Asam mefenamat – PVP K-30.
Perubahan termal interaksi antara mefenamat dan PVP K-30). Energi yang
kristal Asam mefenamat dan PVP K-30 dibutuhkan semakin besar. Termogram
ditunjukkan gambar 4. Dimana suhu DTA dari Dispersi padat metode pelarutan
peleburan terdapat antara kedua zat (Asam menunjukkan dua puncak endotermik.
Gambar 4. (a) X-ray Asam mefenamat, (b) X-ray PVP K-30 (c) X-ray dispersi padat Asam
mefenamat – PVP K-30 1:1, dispersi padat 1:3 dan dispersi padat 1:5 (d)
campuran fisik Asam mefenamat – PVP K-30.
Untuk verifikasi Dispersi padat komponen akan teramati pada
antara Asam mefenamat dan PVP K-30, difraktogram sinar-X yang berbeda dari
maka dilakukan analisis difraksi sinar-X. campuran fisik,. Gambar 4,
Difraksi sinar-X merupakan metode yang memperlihatkan munculnya puncak baru
bagus untuk mengkarakterisasi interaksi atau terbentuknya fase kristal baru.
padatan antara dua komponen (Tarsk dan Dimana terbentuknya puncak baru pada
Jones, 2005). Jika terbentuk fase kristalin daerah 2Theta CF 1:1 % kristalin 63,8%,
baru dari hasil Dispersi padat antara kedua DP 1:1 % kristalin 23,7%.
Gambar 5. (a) FT-IR Asam mefenamat (b) FT-IR PVP K-30 (c) FT-IR campuran fisik
Asam mefenamat PVP K-30 1:1 (d) FT-IR disperse padat Asam mefenamat
–PVP K-30 1:1
Pada spektrum infra merah Dispersi menunjukkan bahwa pada Dispersi padat
padat hanya terjadi perubahan bilangan Asam mefenamat – PVP K-30 tidak terjadi
pada karbonil yang berbeda. Indikasi ini reaksi kimia, karena tidak ada terbentuk
gugus yang baru. 1. Bahwa pembuatan dispersi padat asam
mefenamat – polivinilpirolidon K-30
KESIMPULAN dapat meningkatkan laju disolusi dari
asam mefenamat yang ditunjukkan
Berdasarkan penelitian yang dengan meningkatnya disolusi dispersi
dilakukan terhadap pembuatan dispersi padat asam mefenamat yang terlihat
padat asam mefenamat–PVP K-30 dengan pada formula 1:3 menunjukkan disolusi
metode pelarutan, dapat diambil yang sangat meningkat secara
kesimpulan : signifikan, dibandingkan dengan
campuran fisik dan asam mefenamat
murni.
2. Dari data yang diperoleh, pembuatan
dispersi padat Asam mefenamat-PVP-
30 tidak menyebabkan terjadinya
reaksi kimia, yang seperti ditunjukkan
pada spektrofotometri IR dan DTA. R. (2011). Dissolution
Dimana pada FT IR tidak terbentuk enhancement of poorly soluble
gugus fungsi baru dan pada DTA tidak carbamazepine by using polymeric
terjadi kenaikan atau penurunan berat solid dispersions. International
molekul. Journal of Pharmaceutical
Sciences and Research (IJPSR), 2,
49-57.
DAFTAR PUSTAKA Shargel, L., Wu-Pong, S., & Yu, A. B.C.
(2005). Biofarmasetika dan
Ahire, B. R., Rane, B, R., Bakliwal, S, R., Farmakokinetika Terapan. (Edisi 2).
& Pawar, S. P. (2010). Solubility Penerjemah : Fasich. Surabaya :
enhancement of poorly water Universitas Airlangga Press.
soluble drug by solid dispersion Shankar, K. R., & Chowdary, K. P. R.
rechniques. International Journal (2013). Formulation development of
of Pharm Tech Research (Pham avirenz tablet employing β
Tech), 2(3), vol 2. cyclodextrin, soluplus and pvp k30
Chiou, W. L. & Riegelman, S. (1971).
Pharmaceutical Applications of
Solid Dispersion System. Jurnal of
Pharmaceutical Science, 60 (9),
1281 – 1302.
Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. (1995). Farmakope
Indonesia. (Edisi IV). Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Gunawan, S. G. (2007). Farmakologi dan
Terapi. (Edisi V). Jakarta: Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Kibria, G., Roni, M, A., Dipu, M, H.,
Rahman, H., Rony, Md, R., & Jalil,
: factorial study. International
Research journal
of
pharmaceutical and applied
sciences (IRJPAS), 3(4), 110-115.
Syukri, Y dan Mulyanti, E. (2007).
Pengembangan Formulasi Tablet
Prednison Secara Kempa
Langsung Dengan Teknik Dispersi
Padat. Jurnal Farmasi Indonesia, 3
(3) :
149-154.
Tarsk, A. V., dan Jones, W.(2005).
Crystal Engineering of Organic
Cocrystal by the Solid-State
Grinding Approach. Top Curr
Chem., 254 (1)
41-70.
Voight, R. (1994). Buku Teknologi
Farmasi. (Edisi V). Penerjemah :
Soendani Noerono. Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada.
Watson, D. G. (2010). Analisis Farmasi.
(Edisi 2). Penerjemah: Winny R.
Syarief. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran.
Wismogroho, S. A. & Widayatno, W. B.
(2012). Pengembangan Alat
Differential Thermal Analysis
untuk Analisa Termal Material
Ca(OH)2. Jurnal Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi, 30
(1) 7-12.
Farmaka
Volume 14 Nomor 3 37
ABSTRAK
Biovaibilitas dari suatu obat merupakan faktor penting dalam mempengaruhi kelarutan suatu obat
yang rendah, kelarutan obat ini juga yang akan mempengaruhi kecepatan absorbsi dari suatu obat
didalam tubuh. Oleh karena itu dalam pengembangan formulasi suatu obat untuk meningkatkan
laju disolusi, bioavaibilitas serta kelarutan yang rendah dapat menggunakan dispersi padat
dengan metode preparasi nya adalah metode peleburan atau fusi, metode penguapan pelarut,
metode supercritical anti-solvent precipitation (SAS), dan metode kneading. Metode pnentuan
tipe dispersi padat dengan menggunakan metode penetapan pola difraksi sinar x, analisis
spektroskopi FTIR, analisis thermal dengan Differential Scanning Calorimetry, dan penetapan
laju disolusi.
ABSTRACT
Biovaibilitas of a drug is an important factor in influencing the low solubility of the drug,
solubility also will affect the speed of absorption of a drug in the body. Therefore, in the
development of a formulation of a drug to increase the dissolution rate, bioavailability and low
solubility can use solid dispersions by the method of preparation it is a method of melting or
fusion, solvent evaporation method, the method of supercritical anti-solvent precipitation (SAS),
and a method of kneading. The method of determining the type of solid dispersion by using a
determination method of x-ray diffraction pattern, FTIR spectroscopic analysis, thermal analysis
by Differential Scanning Calorimetry, and the determination of the rate of dissolution.
Farmaka
Volume 14 Nomor 3 38
[1]. Banyak metode yang dapat digunakan metode dispersi padat karena mudah dari
untuk meningkatkan kelarutan obat, salah segi persiapan optimasi dan
satunya adalah dengan menggunakan reproduksibilitas.[3,11-14].
metode dispersi padat. Dispersi padat DEFINISI DISPERSI PADAT
merupakan metode yang menggunakan suatu Sekiguchi dan Obi, pertama sekali
polimer pembawa, dimana zat aktif dari obat memanfaatkan dispersi padat untuk
terdispersi pada polimer dalam keadaan meningkatkan kelarutan dan absorbsi obat
padat. Obat yang memiliki kelarutan rendah secara peroral yang memiliki kelarutan
apabila didispersikan kedalam suatu polimer buruk atau kecil didalam air, menurut
yang mudah larut akan menghasilkan ukuran mereka pembentukan campuran bahan aktif
partikel lebih kecil yang dapat meningkatkan obat yang kelarutan nya buruk dalam air
kelarutannya [3]. Secara klinis, cara terbaik dengan pembawa yang mudah larut dala air
pemberian obat adalah obat mencapai onset dapat memperbaiki kelarutan dan absorbs
yang cepat, hal ini biasanya dilakukan obat [3] Produk yang terbentuk dengan
dengan pemberian secara iv (intravena), mengubah kombinasi pembawa obat yang
namun obat mencapai onset yang cepat tidak cair menjadi keadaan padat [15] Teknik
selalu diperlukan, keadaan seperti ini dispersi padat telah digunakan secara luas
diperlukan hanya pada saat kondisi kritis. unruk meningkatkan kelarutan dan disolusi
Secara umum pemberian obat yang paliang suatu obat yang memiliki daya melarut
umum dan mudah dilakukan adalah secara rendah.[13] Apabila obat dikonversi ke
perolal, namun peroral ini juga memiliki bentuk amorf dan bentuk yang satu sistem
beberapa masalah yaitu beberapa obat dengan polimer hal ini dapat diklasifikasikan
pemberian secara oral memiliki sebagai solusi padat, sedangkan apabila obat
bioavaibilitas dan kelarutan yang rendah , didispersikan sebagai mikrokristalin yaitu
sehingga dibuat strategi untuk mengatasi membentuk sistem dua fasa biasanya disebut
masalah ini adalah pembentukan prodrug sebagai dispersi padat [16,17]
[4], Kompleksasi [5], mikrokapsulasi [6], KLASIFIKASI SISTEM DISPERSI
penggunaan surfaktan, lemak, mikronisasi, PADAT
pembentukan garam, nanopartikel, [3] dalam review artikel mereka, dispersi
siklodekstrin dan dispersi padat.[7-10] padat diklasifikasikan kedalam enam
Namun dari semua strategi ini yang paling kategori berdasarkan mekanisme kecepatan
menjanjikan adalah dengan menggunakan pelepasan zat aktif.
Tabel 1.Tipe dari dispersi padat
generasi pertama [18]
Farmaka
Volume 14 Nomor 3 40
IV.
media ka
V.
media ka
VI.
media ka
Farmaka
Volume 14 Nomor 3 42
Tipe diagram fase larutan padat Tipe diagram fase larutan padat
continiu dari sistem biner, A dan diskontiniu dari sistem biner, A dan B, ᾳ
B menunjukkan hubungan antara dan β adalah daerah pembentukan larutan
kelarutan yang rendah pada suhu padat.
yang rendah juga.
Polietilengikol [3,15,31,32-42]
Polimetakrilat [43-48]
Polimer produk alam Hidroxipropil metilselulosa [49-54]
(turunan selulosa dan
turunan pati)
Etilselulosa [51,55-57]
Hidroxipropil-selulosa [58-61]
Siklodextrin [41,62-55]
Farmaka
Volume 14 Nomor 3 45
Pada generasi ketiga sistem dispersi turunannya, kolesterol dan berbagai ester
polimer amorf dan surfaktan. Contoh 1. Hasil dari dispersi padat adalah
adalah inulin [19], inutec SP1 [45] compritol meningkatkan luas permukaan, dan
888 ATO [66], gelucir 44/14 [67-69], meningkatkan laju disolusi sehingga
menghasilkan produk yang memiliki [78-79]. Proses pemisahan fase pada produk
adhesi selama proses produksi dispersi mengakibatkan penurunan kelarutan dan laju
tahun terakhir ini, mengenai berbagai suhu kamar dan disimpan pada alat desikator
macam metode yang digunakan dalam yag mengandung silica gel selama 21 hari.
sistem dispersi padat untuk meningkatkan Setelah camuran beku , campuran diayak
kelarutan dan biovaibilitas dari suatu obat. dengan ayakan mesh 60 (250 µm).
(2006-2016). Jurnal penelitian diutakan selanjutnya dilakukan uji disolusi dan uji
jurnal internasional yang telah terakreditasi. perolehan kembali dari setiap masing masing
Pencarian data yang digunakan adalah serbuk. Penambahan natrium lauril sulfat
dengan jurnal yang diinginkan kemudian pada Ketropen dan PEG memiliki disolusi
memasukakn rentang tahun dari 2006-2016, yang baik. [81] .Namun metode ini memiliki
kelemahan yaitu banyak obat obatan atau dalamwadah dan dibiarkan kering di suhu
zat aktif obat mungkin dapat terurai atau kamar. Dengan perbandingan Gliburide PEG
menguap pada saat proses fusi atau suhu 6000 (1:1), PEG 4000: PEG 6000 (1:1), PEG
[21] cukup stabil namun mungkin sebagian sukar larut dalam air sehigga dapat
dapat terurai oleh dehidrasi mendekati titik meningkatkan bioavaibilitas dari Glyburide.
leleh nya, permasalahan ini dapat diatasi [93]. Metode pelarutan ini juga digunakan
dengan pemanasan dilakukan dalam wadah pada formulasi sediaan Tacrolimus, dengan
tertutup.[3] Untuk mengatasi kelemahan tiga polimer larut air yang bebeda beda yaitu
metode ini dibuat modifikasi yaitu dengan PEG 6000, PVP, dan HPMC. Ketiga
h
a
s
i
l
Farmaka
Volume 14 Nomor 3 50
0
F C
T :
I P
R e
n
K c
a a
r m
b u
a r
m a
a n
z k
e i
p m
i i
n a
K
s a
a r
j b
a a
m
B a
z
: e
p
P i
V n
P d
e
K n
3 g
Farmaka
Volume 14 Nomor 3 51
a P
n K
3
P 0
V d
P e
n
k g
3 a
0 n
R
D o
t
: a
v
K a
a p
r o
b r
a E : Karbamazepin dan
m PVP K30 dengan
a metode Superkritikal
z (SCP)
e
Hasil ini 4. Metode
p
menunjukan Kneading
i
bahwa dengan Metode ini
n
metode digunakan dalam
superkritikal ini penelitian
d
memberikan niali meningkatkan laju
a
FTIR yang bagus disolusi
n
dibanding metode Meloxicam yang
yang lainnya.
P
[95] .
V
Farmaka
Volume 14 Nomor 3 52
memiiki
kelarutan rendah
didalam air,
dengan
menggunakan
poloxamer 188
menunjukkan
hasil yang baik
yaitu mampu
meningkatkan
laju disolusi
Meloxicam
dengan
menggunakan
metode
Kneading.
[96] .
Farmaka
Volume 14 Nomor 3 53
Difraktogram sinar X Povidon K-30, Difraktogram sinar X dispersi padat bagian bawah
dispersi padat (DP) 1:9 ; 2:8 ; 3:7 dan Kolramfenikol dan bagian atas urea murni
isoxsuprini HCl
[98]
Farmaka
Volume 14 Nomor 3 57
Spektrum serapan FTIR Povidon K-30, dispersi padat (DP) 1:9 ; 2:8 ; 3:7 dan
isoxsuprini HCl
3. Metode analisis Thermal dengan Differential Scanning Calorimetry
Farmaka
Volume 14 Nomor 3 59
padat (DP) 1:9 ; 2:8 ; 3:7 dan isoxsuprini HCl sistem biner
dispersions.
Pharm Acta
Helv. 1986; 61:69-88.
12. FDA. Waiver of in vivo
Bioavailability and
Bioequivalence Studies for
Immediate-
Release Solid Oral Dosage Forms
based on a Biopharmaceutics
Classification System.
2000. Available
at:http://www.fda.gov/downl
oads/Drugs/GuidanceCompli
anceRegulatoryInf
ormation/Guidances/ucm070
246.pdf [Accessed
on:June 2, 2016].
13. Leuner, C., Dressman, J., 2000.
Improving drug solubility for
oral delivery
using solid
dispersions. Eur. J. Pharm.
Biopharm.
50,47–60.
14. Uddin R., Saffoon N., Huda N.H.,
Jhanker Y.M. Effect of Water Soluble
Polymers on Dissolution Enhancement
of Ibuprofen Solid Dispersion
Prepared by Fusion
Method. Stamford Journal of
16. Goldberg A.H., Gibaldi M., Kanig, 20. Simonelli A.P., Mehta S.C., Higuchi W.I.
discussion of the literature. J 21. Karavas E., Ktistis G., Xenakis A.,
Drug Delivery. 2007; 14(1): 33- 22. van Drooge D.J., Braeckmans K.,
18. Dhirendra K., Lewis S., Udupa N., Smedt S.C., Frijlink H.W.
131: 1121–1129.
Chuchome T.,
Physicochemical
Panichayupakaranant P.
characterization and
Increased dissolution of
Dispersions. World Academy 34. Yao W.-W., Bai T.-C., Sun J.-P, Zhu
Dissolution. etail/590452
and Technology. 2011; 45. Goddeeris C., Willems T., Houthoofd K.,
42. Ceballos A., Cirri M., Maestrelli F., Van den Mooter G. Dissolution
43. Huang J., Wigent R.J., Bentzley 46. Wiranidchapong C., Tucker I.G.,
controlled drug delivery: Effect of drug 47. Sriamornsak P., Kontong S.,
2009. 317
439(1-2): 58-67 58. Tanaka N., Imai K., Okimoto K., Ueda
55. Desai J., Alexander K., Riga A. S., Tokunaga Y., Ibuki R., et al.
56. Verreck G., Decorte A., Heymans K., Contr Release. 2006; 112(1):
et al. The effect of 59. Tanaka N., Imai K., Okimoto K., Ueda
http://en.cnki.com.cn/Article_ characterization of
Farmaco.2005; 1175.
70. Tran H.T., Park J.B., Hong K.H., Choi T. Solid Dispersion Matrix Tablet
Pharm. 2011; 415(1- 2):838. 75. Janssens S., Denivelle S., Rombaut P.,
71. Majerik V., Charbit G., Badens E., Van den Mooter G. Influence of
supercritical antisolvent in
72. Newa M., Bhandari K.H., Oh D.H., Kim blends. Eur J Pharm
formulation. Int J Pharm. 2009; 88. Seo A., Holm P., Kristensen H.G.,
M.J.,Hadgraft J., Roberts M.S. 89. Dittgen M., Fricke S., Gerecke H.,
antibiotik turunan makrolida dan salah satu dalam air, sehingga absorpsinya setelah
senyawa antibiotik yang paling populer pemberian oral sangat rendah, yang akan
165
Pembentukan Sistem Dispersi Padat Amorf Azitromisin Dihidrat dengan… | Zaini, dkk.
Sistem dispersi padat azitromisin dan diambil dengan alat SEM pada perbesaran
fase amorf atau amorf sebagian. Fase amorf penurunan intensitas puncak-puncak difraksi
suatu senyawa padat merupakan bentuk dari azitromisin dihidrat secara signifikan.
yang kaya energi (high energetic forms), yang Semakin banyak perbandingan jumlah polimer
memiliki kelarutan dan laju disolusi yang hidrofilik HPMC, maka penurunan derajat
lebih tinggi dari fase kristalinnya [5,6]. kristalinitas fase kristalin azitromisin dihidrat
Difraktogram sinar-X azitromisin dihidrat juga semakin besar. Hasil analisa difraksi
murni, campuran fisika dan sistem dispersi sinar-X serbuk menunjukkan senyawa obat
padat dengan HPMC ditampilkan pada padat azitromisin dihidrat terdispersi secara
Gambar 1. keberadaan sejumlah puncak- homogen dalam bentuk fase amorf pada
puncak difraksi yang khas pada 2 theta: pembawa inert polimer HPMC. Pada fase
16,58º; 18,70º, 19,73º; dan 20,77º amorf, molekul-molekul senyawa obat
menunjukkan azitromisin dihidrat merupakan tersusun secara acak dalam kisi kisi kristalin,
fase padat yang bersifat sangat kristalin. dan ikatan kisi-kisi kristal lemah. Oleh
Difraktogram polimer HPMC menunjukkan karenanya, fase amorf memiliki kelarutan dan
pola halo amorf yang khas untuk padatan laju disolusi yang lebih tinggi dibandingkan
polimerik dan tidak puncak-puncak difraksi fase kristalin [10].
yang khas dan tajam. Pada difraktogram Analisa mikroskopik dengan Scanning
campuran fisika azitromisin dihidrat dan Electron Microscope untuk melihat morfologi
HPMC 1:1, masih terlihat jelas puncak-puncak dan ukuran partikel sistem dispersi padat
difraksi khas dari azitromisin dihidrat, disajikan pada Gambar 2. Serbuk azitromisin
meskipun dengan intensitas yang lebih rendah. dihidrat murni terlihat berupa padatan kristal
Pola difraktogram sistem dispersi padat balok dengan permukaan bersih. Sedangkan
azitromisin dihidrat–HPMC, terlihat dengan polimer HPMC berupa partikel dengan habit
jelas seperti serat serat
yang memanjang dengan distribusi ukuran teknik yang handal untuk mendeteksi adanya
partikel yang seragam. Mikrofoto SEM serbuk interaksi antara senyawa obat dengan
campuran fisika merupakan gabungan habit pembawa pada sistem dispersi padat. Adanya
kristal azitromisin dihidrat dan HPMC, puncak transmitan yang baru atau terjadi
sehingga secara jelas masih bisa dibedakan pergeseran posisi puncak transmitan pada
masing-masingnya. Mikrofoto SEM sistem bilangan gelombang tertentu, seringkali
dispersi padat (Gambar 2D-F), menunjukkan mengindikasikan adanya interaksi seperti
penurunan distribusi ukuran partikel serbuk ikatan hidrogen [11]. Gambar
secara bermakna, habit kristal senyawa
azitromisin tidak bisa lagi dibedakan dari
polimer HPMC. Secara umum partikel fase
kristalin azitromisin dihidrat terdispersi secara
homogen dalam pembawa polimerik HPMC.
Analisa spekroskopi FT-IR merupakan
klorida 0,1 N dan suhu dipertahankan pada HPMC dalam medium yang dapat
37±0,5°C. Berdasarkan hasil profil laju meningkatkan daya keterbasahan azitromisin
disolusi, sistem dispersi padat azitromisin dihidrat. Pada sistem dispersi padat azitromisin
dihidrat-HPMC pada berbagai perbandingan dihidrat dalam polimer HPMC, zat aktif
polimer menunjukkan laju disolusi yang lebih terdispersi secara homogen dalam ukuran
tinggi secara bermakna dibandingkan partikel yang halus dan bentuk amorf.
azitromisin murni dan campuran fisika. Fenomena ini yang sangat berkontribusi
Azitromisin dihidrat murni pada menit ke terhadap peningkatan laju disolusi azitromisin
60 hanya terdisolusi 59,38 %, sedangkan dihidrat dalam sistem dispersi padat. Hasil
campuran fisika pada menit ke 60 telah
terdisolusi 75,33 %. Sistem dispersi padat
azitromisin-HPMC (perbandingan 2:1; 1:1;
dan 1:2) pada menit ke 60 secara berturut turut
terdisolusi 87,53; 92,20 dan 102,12 %. Laju
disolusi campuran fisika lebih tinggi dari
azitromisin dihidrat murni disebabkan oleh
adanya efek solubilisasi polimer hidrofilik
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
http://ladytulipe.wordpress.com/2009/01/04/emulsi/
Anief, m., (1999). Sistem dispersi, formulasi suspensi dan emulsi. Yogyakarta :
gadjah mada university press.
Anief. 2000. Ilmu meracik obat, teori dan praktek. Jogjakarta : ugm press kopeliovich,
d.2013.Classification of dispersion. Available online at
Http://www.substech.com/dokuwiki/doku.php?
Id=classification_of_dispersions
Aulton. 2003. Pharmaceites the sciences of dosage form design. New York :
Chudill living
Henrayani. 2010. Dispersi. Available online at
http://kimia.upi.edu/utama/bahan-ajar-
kuliah-web/2010/70085/materi.html
Martin, a., swarbrick, j., dan cammarata, a. 2008. Farmasi fisik: dasar-dasar kimia
fisika dalam ilmu farmasetika. Ui press. Jakarta.
Ratna dkk. 2009. Koloid liofil dan koloid liofob. Tersedia di http://www.chem- is-
try.org/materi_kimia/kimia-smk/kelas_x/koloid-liofil-dan-koloid-liofob/