Anda di halaman 1dari 132

MAKALAH

FARMASI FISIKA
“SISTEM DISPERSI”

Disusun oleh :

LISA MAISYARAH 20011099

MIFTAHUR RAHMI 20011111

RAHMA WINDA 20011147

REDISHA FADHILA AZZAHRA 20011155

YANI SYAH PUTRI 20011211

PUTRI TRISDA UTAMI 19011138

DIDI SURATNO 1801160

NANDA JAYA PRATAMA 1801009

SAFITRI WULAN DARI 1701069

MIRA RAHMA OKTAVIA 21012137

DOSEN PEMBIMBING :
ULLY CHAIRUNNISA M.FARM,APT
SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI (STIFARM)
PADANG
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas Berkat
dan Rahmatnya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan benar. Isi makalah
ini, penulis mengangkat tentang “SISTEM DISPERSI”.

Penyusunan makalah berjudul “SISTEM DISPERSI” ini berisikan tentang pengertian


pengertian sistem dispersi, jenis-jenis sistem dispersi beserta ciri-cirinya, klasifikasi sistem
dispersi, dan beserta contohnya serta rumus-rumus yang digunakan akan dibahas dalam makalh
ini.

Semoga dengan pembahasan makalah ini dapat berguna bagi kita dan mampu
memberikan sudut pandang baru bagi pembaca. Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih
kepada teman-teman yang telah membantu penulis dengan memberikan dorongan dan saran
untuk menyusun makalah ini sehingga diselesaikan dengan baik. Dan juga makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan, apabila ada kekurangan atau kesalahan kata dalam penulisan, penulis
mohon maaf yang sebesar-besarnya dan bersedia menerima kritik dan saran yang membangun
dari pembaca demi memperbaiki makalah ini.

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................i

DAFTAR ISI.........................................................................................................................ii

BAB I :PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang..........................................................................................................1

1.2 Rumus Masalah.........................................................................................................1

1.3 Tujuan.......................................................................................................................1

BAB II : PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Dispersi........................................................................................................ 2

2.2 Teori Dasar .....................................................................................................................4

2.3 Pembiasan Cahaya pada to yg Prisma ............................................................................6

2.4 Contoh Materi Fisika .....................................................................................................7

2.5 Grafik sudut deviasi terhadap Sudut Datang pada Prisma ...........................................10

2.6 Klasifikasi 11 Sistem Dispersi .....................................................................................11

2.7 Jenis-jenis Koloid .........................................................................................................16

2.8 Perbedaan Jenis Sistem Dispersi ..................................................................................18

2.9 Penerapan Farmasetika dari Koloid .............................................................................19

2.10 Sifat Listrik Koloid Elektroforesis .............................................................................29

2.11 Stabilitas Koloid......................................................................................................... 31

BAB III: PENUTUP


3.1 Kesimpulan.......................................................................................................32

3.2 Saran..................................................................................................................32

Jurnal Tentang Sistem Dispersi ..........................................................................................33

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pengertian Sistem Dispersi merupakan sebuah pencampuran pada satu zat dengan zat lain
yang ketika akan dicampur, mengalami pemerataan antara zat dalam zat lain. Zat yang
terdispersi disebut sebagai tahap dispersi, sedangkan pada sebuah tempat mereka yakni dapat
terdispersi disebut medium dispersi. Sebagai contoh, pati yang ditempatkan di air panas
mengalami sistem dispersi.

Di sini air adalah sebuah media pendispersi, sedangkan pati berfungsi sebagai agen
pendispersi. Sebuah sistem dispersi yakni dapat diartikan dengan larutan atau campuran dari dua
zat yang berbeda, tetapi memiliki bentuk yang sama. Ciri khas dari sistem dispersi adalah adanya
pelarut dan zat terlarut.

Contoh lain, jika susu, gula, dan pasir diletakkan di satu tempat dan diisi dengan air lalu
diaduk, 3 sebuah sistem dispersi ditemukan. Gula, susu, dan pasir adalah fase dispersi,
sedangkan air adalah untuk medium pendispersi.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian sistem dispersi?

2. Apa saja jenis-jenis sistem dispersi?

3. Bagaimana penggunaan perumusan dalam sistem dispersi?

1.3 Tujuan Penulisan

Mengacu kepada rumusan masalah yang dijelaskan diatas, adapun yang menjadi tujuan
penulisan makalah ini adalah

1. Memberikan pemahaman tentang pengertian sistem dispersi

1
BAB 1

2
2. Memberikan pemahaman tentang jenis-jenis sistem dispersi

3. Memberikan panduan tentang penggunaan perumusan dalam sistem dispersi.


BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Sistem Dispersi

Sistem Dispersi merupakan sebuah pencampuran pada satu zat dengan zat lain yang
ketika akan dicampur, mengalami pemerataan antara zat dalam zat lain. Zat yang terdispersi
disebut sebagai tahap dispersi, sedangkan pada sebuah tempat mereka yakni dapat terdispersi
disebut medium dispersi. Sebagai contoh, pati yang ditempatkan di air panas mengalami sistem
dispersi.
Di sini air adalah sebuah media pendispersi, sedangkan pati berfungsi sebagai agen
pendispersi. Sebuah sistem dispersi yakni dapat diartikan dengan larutan atau campuran dari dua
zat yang berbeda, tetapi memiliki bentuk yang sama. Ciri khas dari sistem dispersi adalah adanya
pelarut dan zat terlarut.
Contoh lain, jika susu, gula, dan pasir diletakkan di satu tempat dan diisi dengan air lalu
diaduk, 3 sebuah sistem dispersi ditemukan. Gula, susu, dan pasir adalah fase dispersi,
sedangkan air adalah untuk medium pendispersi.
Dispersi ini ialah kejadian atau peristiwa penguraian cahaya putih (polikromatik) itu
menjadi komponen-komponennya disebabkan karna pembiasan. Komponen warna yang
terbentuk diantaranya merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu.
Dispersi tersebut juga dapat atau bisa terjadi oleh karna terdapat suatu perbedaan deviasi
untuk tiap-tiap panjang dari suatu gelombang, yang disebabkan oleh karna adanya perbedaan
kelajuan tiap-tiap gelombang disaat melalui suatu medium pembias. Gambar dibawah ini akan
menunjukkan dispersi sinar putih yang melalui sebuah prisma.

2
2.2 Teori Dasar
Sistem dispersi dapat diartikan sebagai suatu sistem yang salah satu zatnya adalah fase
terdispersi ke dalam zat atau fase pendispersi, dalam berbagai bentuk sediaan farmasi. Sistem dispersi
cairan merupakan sistem yang paling kompleks. Sistem koloid terdiri dari 2 fase, yaitu : fase
terdispersi dengan ukuran tertentu dalam medium pendispersi sedangkan medium yang
digunakan untuk mendispersikan disebut medium dispersi (Andayani,2011)
Berdasarkan ukuran partikelnya, sistem dispersi dibagi menjadi 3 bagian, yaitu :
1. Larutan
Merupakan sistem dispersi yang ukuran partikelnya sangat kecil, sehingga tidak dapat
dibedakan (diamati) antara partikel pendispersi dengan partikel terdispersi menggunakan miroskop
tingkat pembesaran yang tinggi (mikroskop ultra)
2. Koloid
Merupakan sistem dispers dengan uuran partikel yang lebih besar dari larutan tetapi lebih kecil dari
suspensi
3. Suspensi
Merupakan sistem dispersi dengan ukuran partikel yang berukuran relatif besar tersebar merata
dalam medium pendispersinya (Hendriyani,2010)
Partikel-partikel yang tersebar dalam rentan kloridal mempunyai luas permukaan
yang sangat besar sekali jika dibandingkan dengan luas permukaan dari partikel yang lebih besar
dalam volume setara (Martin,2008)
Emulsi adalah sistem yang secara termodinamikanya tidak stabil, yang terdiri dari paling
sedikit dua fase cair yang tidak tercampur, salah satunya terdispersi dalam bentuk tetes (fase
terdispersi) dalam fase cair lainnya (Fase continu) distabilkan oleh sudut pengemulsi. Suspensi
adalah sediaan yang mengandung bahan obat padat dalam bentuk halus dan tidak larut, terdispersi
dalam cairan pembawa (Aulton,2003)
Stabilitas emulsi farmasetis mempunyai ciri besar kolaesensi dari fase dalam bebas
kriming, tetap baik dari segi penampilan, bau, warna, dan sifat fisis lainnya. Berdasarkan
pertimbangan tersebut maka ketidakstabilan emulsi dapat digolongkan atas :
a. Flokulasi dan kriming
b. Koalenensi dan pecah
c. Perubahan fisis dan kimia
d. Invensi fase
3
(Aulton,2003)
Beberapa faktor yang mempengaruhi stabilitas suspensi ialah :
1. Ukuran partikel
Ukuran partikel erat hubungannya dengan luas penampang partikel tersebut sertadaya tekan ke atas
cairan suspensi itu. Hubungan antara ukuran partikel merupakan perbandingan terbalik dengan
luas penampangnya. Sedangkan antara luas penampang dengan daya tekan keatas merupakan
hubungan linier. Artinya semakin besar ukuran partikel semakin kecil luas penampangnya
(dalam volume yang sama). Sedangkan semakin besar luas penampang partikel daya tekan keatas
cairan akan semakin memperlambat gerakan partikel untuk mengendap, sehingga untuk
memperlambat gerakan tersebut dapat dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel.
2. Kekentalan (viskositas)
Kekentalan suatu cairan mempengaruhi pula kecepatan aliran dari cairan tersebut, makin
kental suatu cairan kecepatan alirnya makin turun (kecil). Kecepatan aliran dari cairan tersebut akan
mempengaruhi pula gerakan turunnya partikel yang terdapat didalamnya. Dengan demikian
dengan menambah viskositas cairan, gerakan turun dari partikel yang dikandungnya akan
diperlambat. Tetapi perlu diingat bahwa kekentala suspensi tidak boleh terlalu tinggi agar
sediaan mudah dikocok dan dituang.
3. Jumlah partikel (konsentrasi)
Apabila didalam suatu ruangan berisi partikel dalam jumlah besar, maka partikel tersebut akan
susah melakukan gerakan yang bebas karena sering terjadi benturan antara partikel tersebut.
Benturan itu akan menyebabkan terbentuknya endapan dari zat tersebut, oleh karena itu semakin
besar konsentras partikel, makin besar kemungkinan terjadinya endapan partikel dalam waktu
yang singkat.
4. Sifat / muatan partikel
Dalam suatu suspensi kemungkinan besar terdiri dari beberapa macam campuran bahan yang sifatnya
tidak selalu sama. Dengan demikian ada kemungkinan terjadi interaksi antar bahan tersebut yang
menghasilkan bahan yang sukar larut dalam cairan tersebut. Karena sifat bahan tersebut
merupakan sifat alam, maka tidak dapat mempengaruhinya.
(Syamsyuni,2006)

4
2.3 Pembiasan Cahaya pada Prisma

Prisma ini ialah suatu benda bening atau transparan yang terbuat dari sebuah gelas yang
dibatasi oleh adanya 2 bidang permukaan yang membentuk sebuah sudut tertentu yang memiliki
fungsi yakni untuk menguraikan (sebagai pembias) sinar yang mengenainya.
Permukaan tersebut disebut dengan bidang pembias, serta sudut yang dibentuk oleh ke 2 bidang
pembias disebut sudut pembias (β). Cahaya yang melewati prisma tersebut akan mengalami 2
kali pembiasan, yakni saat memasuki prisma serta meninggalkan prisma.
Apabila suatu sinar itu datang mulamula serta juga sinar bias akhir diperpanjang, maka
keduanya hal itu akan berpotongan di suatu titik serta juga membentuk sudut yang disebut
dengan sebutan sudut deviasi.
Jadi, sudut deviasi (δ) ini merupakan suatu sudut yang dibentuk oleh perpanjangan sinar datang
mula-mula itu dengan sinar yang meniggalkan bidang pembias atau juga pemantul. Gambar
dibawah ini menunjukkan sudut deviasi pada pembiasan prisma.

2.4 Contoh Materi fisika

Pelangi ini adalah contoh dispersi cahaya oleh butiram-butiran air hujan. Butiran butiran
air hujan tersebut kemudian memantulkan cahaya matahari ke arah kita sehingga setelah itu
terurai menjadi pelangi

5
Pada segiempat ABCE itu berlaku hubungan:

β + ∠ABC = 180o
Pada segitiga ABC berlaku hubungan:
r1 + i2 +∠ABC = 180o

sehingga diperoleh hubungan:

β + ∠ABC = r1 + i2 +∠ABC

β = r1 + i2..........................................................................(1)

dengan:

β = sudut pembias prisma

i2 = sudut datang pada permukaan 2


r1 = sudut bias pada permukaan 1
Terdapat segitiga ACD,∠ADC +∠CAD +∠ACD = 180o itu dengan ∠CAD = i1–r1 dan
∠ACD = r2–i2, sehingga berlaku hubungan ialah :

∠ADC+(i1 – r1)+(r2 – i2)= 180o∠ADC = 180o + (r1+i2) – i1+r2)

Jadi, sudut deviasi ( δ ) ini ialah :

δ = 180o–∠ADC
δ = 180o–[180o+(r1 + i2)–(i1 + r2)]
δ = (i1+r2)–(r1+i2)

Diketahui = r1 + i2 (persamaan (1), maka besar sudut deviasi yang terjadi di prisma ialah
: δ = (i1+r2)–β...........................................................(2)

6
dengan:δ = sudut deviasi

i1 = sudut datang mula-mula


r2 = sudut bias kedua
β = sudut pembias

7
2.1 Grafik-sudut-deviasi-terhadap-sudut-datang-pada-prisma

Gambar dibawah ini Grafik sudut deviasi terhadap sudut datang pada prisma.

Disudut deviasi ini berharga minimum (δ = 0) apabila sudut datang pertama (i1) itu sama dengan
sudut bias kedua (r2).

Secara matematis bisa atau dapat dituliskan syarat terjadinya deviasi minimum (δm) ialah i1 = r2
serta r1 = i2, sehingga persamaan (2) itu bisa atau dapat dituliskan kembali di dalam bentuk:

δm = (i1 + i1) – β
δm = 2i1 – β
i1 = (δ+β) / 2 .,…..................................(3)

Selain dari itu, deviasi minimum ini juga dapat atau bisa terjadi apabila r1 = i2, maka dari
persaman (1) diperoleh ialah:

β = r1 + r1 = 2r1

8
r1 = 1/2 β ……………………………………………………… (4)
Bila dihubungkan dengan Hukum Snellius diperoleh:

n1.sin i1 = n2.sin r1
(sin i1/sin i1) = (n2/n1)

9
Masukkan terlebih dahulu i1 dari persamaan (3) serta r1 dari persamaan (4) sehingga:

Apabila n1 = udara, maka n1 = 1, sehingga kemudian persamaan di atas


menjadi: δm = (n2 − n1) β…............................................(6)
dengan:

n1 = indeks bias medium


n2 = indeks bias prisma
β = sudut pembias (puncak) prisma
δm = sudut deviasi minimum

2.2 Klasifikasi sistem dispersi

Sistem dispersi adalah sebuah campuran dalam sebuah zat pelarut dan terlarut. Dalam
sebuah sistem dispersi, pada jumlah zat terlarut lebih sedikit dari pada pelarut. Zat terlarut
disebut sebagai tahapan terdispersi, sedangkan pelarut disebut media pendispersi.
Sebuah sistem dispersi dengan demikian merupakan campuran dari fase terdispersi
dengan media pendispersi yang dicampur dengan cara seragam. Sistem dispersi dibagi menjadi
tiga kelompok, diantaranya ialah sebagai berikut:
1. Dispersi Kasar (Suspensi)

10
Dispersi kasar juga dapat disebut suspensi. Suspensi adalah sebuah campuran heterogen
antara tahap terdispersi dan medium pendispersi. Perbedaan yang jelas dapat dibuat antara fase
terdispersi dan media pendispersi.

11
Dalam sebuah fase terhadap terdispersi biasanya dalam bentuk padatan, sedangkan pada
medium pendispersinya berbentuk cair. Fase terdispersi memiliki ukuran partikel lebih dari 10
hingga 5 cm, sehingga dapat melihat sedimen.
Contoh terhadap campuran air dan pasir. Dalam sebuah campuran air dan pasir, fase
terdispersi (pasir) dan media pendispersi (air) dapat dibedakan karena pasir mengendap di bagian
bawah wadah.

Ciri-ciri Suspensi :

 Ukuran partikel >100 nm.

 Keruh, partikel terdispersi ini bisa atau dapat diamati langsung dengan mata.

 Mudah terpisah (mengendap).

 Dapat dipisahkan yakni dengan cara filtrasi atau penyaringan.

2. Dispersi Koloid

Dispersi koloid adalah sebuah sistem dispersi antara dispersi halus dan kasar. Campuran
dalam sebuah fase terdispersi dengan media pendispersi dalam koloid tampak homogen.
Faktanya, dalam dispersi koloid adalah campuran heterogen. Ini menjadi jelas ketika dispersi
koloid yang dapat diamati dengan menggunakan ultramoskop.
Koloid adalah sistem dispersi. Sistem dispersi atau sistem sebaran adalah suatu sistem
yang menunjukkan bahwa suatu zat terbagi (terdispersi) dalam zat lain. Zat yang terbagi atau
didispersikan disebut fase terdispersi fase intern, atau fase diskontinu. Sedangkan zat yang

1
2
digunakan untuk mendispersikan disebut sebagai fase pendispersi, fase ekstern, atau fase kontinu
(martin, 1993).

1
3
Contoh dispersi koloid adalah agar. Dalam sebuah partikel-partikel fase terdispersi dalam
koloid memiliki diameter antara 10-7 hingga 10-5 cm, sehingga pada sebuah fase terdispersi
yakni dapat larut dalam nampak homogen dan medium pendispersi.

Ciri-ciri Koloid :

 Ukuran 1-100 nm.

 Keruh – jernih, partikel terdispersi hanya bisa atau dapat diamati dengan menggunakan
mikroskop ultra.
 Apabila didiamkan itu sukar terpisah (relatif stabil).

 Tidak bisa disaring.

2.3 Jenis- Jenis Koloid

Fase Terdispersi Medium Pendispersi Jenis (Nama Koloid) Contoh

14
Padat Padat Sol padat Kuningan, kaca
warna, intan hitam,
Perunggu
Cair Emulsi padat Keju, mentega
Gas Buih padat Kerupuk, batu apung,

Biskuit

15
Padat Cair Sol Cat, tinta, pati dalam

air, sol emas


Cair Emulsi mayones, santan,
Susu, saos, minyak
ikan
Gas Buih ombak, busa sabun,

Krim, pasta, ombak


Padat Gas Aerosol padat Debu, asap
Cair Aerosol cair kabut, Awan, embun

3. Dispersi Halus (Larutan)

Dispersi halus juga disebut sebagai solusi nyata atau dispersi molekuler. Dalam larutan
nyata, campuran homogen terbentuk karena fase larva terdispersi terhadap media pendispersi.
Campuran homogen ini juga disebut larutan. Dalam fase terdispersi, solusinya dapat berupa
padat atau cair, sedangkan medium pendispersinya adalah cair. Contoh larutan teh dalam air.
Diameter partikel fase didispersikan dalam larutan < 10 hingga 7 cm, sehingga larutan tampak
dalam fase homogen dan tunggal.

Dalam sistem ini, adanya campuran pada sebuah zat dalam sebuah zat pelarut dan
terlarut. Berbagai jenis zat dibutuhkan dengan semua makhluk hidup di dunia. misalnya padat,
cair, atau gas.

16
Ciri-ciri Larutan :

 Ukuran partikel <100 nm.

 Jernih, partikel terdispersi tidak bisa diamati dengan mikroskop ultra.

 Jika didiamkan tidak terpisah (sangat stabil).

 Tidak bisa atau dapat disaring (tidak bbisa dipisahkan

2.4 Perbedaan Jenis Sistem Dispersi

No Dispersi Kasar Dispersi Halus Dispersi Koloid


1. Heterogen Homogen Tampak homogen
2. Dua fase Satu fase Dua fase (dilihat dengan mikrsokop ultra)
3. Keruh ada endapan Jernih Keruh tanpa endapan
4. Dapat disaring Tidak dapat disaring Dapat disaring (dengan kertas saring ultra)
5. Tidak stabil stabil Stabil
Dispersi halus atau koloid adalah sistem dua fase yang ketercampurannya berada di
antara homogen dan heterogen, agak keruh, serta memiliki diameter partikel 10-7 cm sampai 10-
5 cm. Partikel koloid tidak dapat dilihat dengan mikroskop biasa, tetapi dapat dilihat dengan
mikroskop ultra, mudah diendapkan, Dan tidak dapat melewati kertas saring biasa maupun
membran semipermeabel.

Bentuk koloid (martin, swarbrick, dan cammarata, 2008).

17
2.5 Penerapan farmasetika dari koloid

Beberapa jenis obat (zat aktif) tertentu ternyata mempunyai sifat terapetik yang tidak
biasa atau meningkat apabila diformulasian menjadi bentuk koloid. Contohnya, perak klorida
kooidal, perak iodida,perak protein merupakan antibakteri yang efektif dan tidak menyebabkan

18
iritasi. Sifat ini dimiliki oleh garam-garam perak dalam bentuk ion. Selain itu, tembaga koloidal
digunakan dalm pengobatan kanker, emas koloidal sebagai zat pendiagnosis paresis, serta air
raksa dalam bentuk koloid digunakan untuk sifilis (martin, swarbrick, dan cammarata, 2008).
1) Tipe koloid

Sistem koloid dimana fase terdispersinya mempunyai daya adsorbsi relatif lebih besar
disebut koloid liofil yang bersifat lebih stabil. Sedangkan jika partikel terdispersinya mempunyai
daya adsorbsi relatif lebih lemah disebut koloid liofob yang bersifat kurang stabil. Sol
liofil/liofob mudah terkoagulasi dengan sedikit penambahan larutan elektrolit.
a. Koloid liofil (suka pelarut).

Koloid dimana terdapat gaya tarik menarik yang cukup besar antara fase terdispersi
dengan medium pendispersi. Contoh, disperse kanji, sabun, dan Deterjen (ratna dkk, 2009)
Koloid liofilik atau koloid yang suka dengan pelarut atau medium pendispersinya. Karena
afinitasnya (kesukaanya) terhadap medium pendispersi, bahan-bahan tersebut membentuk
dispersi koloid, atau sol, dengan relatif mudah. Jadi, sol koloidal liofilik biasanya diperoleh
hanya dengan melarutkan bahan dalam pelarut yang digunakan. Sebagai contoh, disolusi gom
atau gelatin dalam air atau seluloid dalam amil asetat akan membentuk suatu sol (martin,
swarbrick, dan cammarata, 2008).
b. Koloid liofob (tidak suka pelarut)

Koloid dimana terdapat gaya tarik menarik antara fase terdispersi dengan medium
pendispersi yang cukup lemah atau bahkan tidak ada sama sekali.
Contoh, dispersi emas, belerang dalam air.

Koloid liofobik umumnya tersusun dari partikel-partikel anorganik yang terdispersi dalam air.
Untuk mendapatkan koloid liofobik diperlukan metode khusus, seperti metode dispersi atau
metode kondensasi.
 Metode dispersi

Pada metode ini, partikel-partikel kasar akan direduksi ukurannya. Dispersi dapat dicapai
dengan menggunakan generator ultrasonikyang berintensitas tinggi yang bekerja pada frekuensi
lebih dari 20.000 putaran per menit. Dapat juga digunakan proses penggilingan (milling dan
grinding) pada metode ini, walaupun efisiensinya rendah. Alat yang digunakan yaitu penggiling
koloid (colloid mill), di mana bahan diiris antara dua set lempeng yang berdekatan, hanya
19
mengurangi sebagian kecil dari total partikel ukuran partikel koloid.

20
 Metode kondensasi

Pada metode ini, bahan-bahan berdimensi subkoloid diagregasi menjadi partikel-partikel


yang berada pada daerah ukuran koloid. Syarat terbentuknya koloid liofobik dengan cara
kondensasi adalah adanya keadaan lewat jenuh dengan derajat yang tinggi diikuti dengan
pembentukan dan pertubuhan inti. Keadaan lewat jenuh juga dapat dicapai dengan penggantian
pelarut atau mengurangi temperatur.
Metode kondensasi yang lain bergantung pada suatu reaksi kmia seperti reduksi, oksidasi,
hidrolisis, atau penguraian rangkap. Oksidasi hidrogen sulfide menghasilkan pembentukan atom
belerang dan suatu sol belerang. Jika larutan fecl3 ditambahkan ke dalam air dengan volume
besar, akan terjadi hidrolisis dengan pembentukan suatu sol besi (iii) oksida hidrat
Berikut ini adalah tabel perbedaan dari sol liofilik dan sol liofobik:

21
22
c. Koloid gabungan

Koloid gabungan atau koloid amfifilik merupakan golongan ke tiga dari penggolongan
koloid. Molekul-molekul atau ion-ion tertentu disebut amfifil atau zat aktif permukaan. Amfifil
atau zat aktif permukaan ini berciri mempunyai dua daerah yang berbeda yang melawan afinitas
larutan dalam molekul atau ion yang sama. Jika ada dalam suatu medium cair dengan konsentrasi
rendah, amfifil berada terpisah dan mempunyai ukuran seperti subkoloid. Jika konsentgrasi
ditingkatkan, terjadi agregasi pada suatu jangkauan konsentrasi yang sangat sempit Amfifil
mungkin anionic, kationik, nonionik, atau amfolitik. Hal ini menyebabkan mudahnya terjadi
koloid gabungan.

(a) misel bola dalam air; (b) misel dalam media nonair; (c) misel laminar, terbentuk pada
konsentrasi tinggi, dalam air

d. Efek faraday-tyndall

Efek tyndall merupakan satu bentuk sifat optik yang dimiliki oleh sistem koloid.

Pada tahun 1869, tyndall menemukan bahwa apabila suatu berkas cahaya dilewatkan
pada sistem koloid maka berkas cahaya tadi akan tampak. Tetapi apabila berkas cahaya
yang sama dilewatkan pada dilewatkan pada larutan sejati, berkas cahaya tadi tidak akan
tampak. Singkat kata efek tyndall merupakan efek penghamburan cahaya oleh sistem
koloid (martin, 1993).

23
Efek tyndall dapat dideteksi menggunakan ultramikroskop yang dikembangkan
oleh zsigmondy. Dengan alat ini, dapat diuji titik-titik cahaya yang menimbulkan kerucut
tyndall. Namun, penggunaan ultramikroskop sekarang sudah berkurang karena alat ini
sering kali tidak dapat digunakan untuk melihat koloid liofilik. Maka mulailah digunakan
mikroskop elektron untuk mengamati ukuran, bentuk, dan struktur partikel-partikel
koloid (martin, 1993).
e. Pemendaran cahaya (light scattering)

Sifat ini berdasarkan efek tyndall dan merupakan metode yang paling banyak
digunakan untuk menentukan berat molekul koloid. Sifat ini juga digunakan untuk
mengetahui bentuk dan ukuran partikel. Pemendaran dapat diuraikan dalam batasan
kekeruhan, t, yaitu penurunan fraksional intensitas karena pemendaran ketika cahaya
melewati 1 cm larutan. Pada suatu konsentrasi fase terdispers tertentu, kekeruhan
sebanding dengan berat molekul kooidal liofilik. Karena kebanyakan koloidal liofilik
mempunyai turbiditas yang rendah, maka relatif lebih mudah mengukur cahaya yang
terpendar pada suatu sudut tertentu terhadap berkas sinar (martin, 1993).
Kekeruhan dapat dihitung dari intensitas cahaya yang tersebar dengan syarat
dimensi partikel kecil dibandingkan dengan panjang gelombang yang digunakan. Berat
molekul koloid bisa didapatkan dari persamaan berikut:
c

-rata bobot molekul,


dan b suatu tetapan interaksi, h adalah tetapan sistem tertentu dan setara dengan:

H =
34 N

f. Sifat kinetis koloid

 Gerak brown

Robert brown (1827) menyatakan bahwa pergerakan partikel koloid sebesar 5 μm


yang tidak beraturan dijelaskan sebagai hasil pemboman partikel oleh medium
pendispersi. Gerak ini dipengaruhi oleh viskositas dari medium pendispersi dan ukuran

24
partikel. Jika medium pendispersi viskositasnya meningkat, yaitu dengan penambahan
gliserin atau suatu zat serupa, maka akan menurunkan dan akhirnya menghentikan

25
gerakan brown. Dan kecepatan partikel meningkat dengan berkurangnya ukuran partikel (martin,
1993).

 Difusi

Partikel akan berdifusi secara spontan dari tempat yang berkonsentrasi tinggi ke
rendah, sampai konsentrasinya seimbang.

Berdasarkan hukum pertama fick : jumlah zat dq yang berdifusi dalam waktu dt
melewati bidang seluas s adalah berbanding lurus dengan perubahan konsentrasi dc
terhadap jarak yang dilalui dx. D: koefisien difusi yaitu jumlah zat yang berdifusi per
satuan waktu melewati satu satuan luas jika dx/dt ( disebut konsentrasi gradien) sama
dengan satu. D mempunyai dimensi luas per satuan waktu. Partikel koloidal berbentuk
sferis, maka persamaan sutherland- einstein atau stokes-einstein:(martin, 1993).

 Viskositas

Viskositas dispersi koloid dipengaruhi oleh bentuk partikel fase dispersi. Koloid bulat
(sferokoloid) membentuk dispersi dengan viskositas relatif rendah sedangkan koloid
linier bersifat lebih kental. Jika koloid linier didispersikan dalam pelarut yang
26
afinitasnya rendah terhadap koloid tersebut maka bentuknya cenderung dianggap bulat
dan viskositasnya menurun (martin, 1993).
Hubungan viskositas dengan jenis koloid yaitu :

o Pada koloid hidrofilik, partikel fase dispersnya tersolvatasi dengan


Molekul solven maka dengan adanya kenaikan kadar akan menyebabkan
kenaikan viskositas secara nyata sehingga cps besar.
o Pada koloid hidrofobik, dimana fase dispersnya tidak tersolvatasi oleh molekul
solven sehingga kadar tidak mempengaruhi vskositasnya (martin, 1993).
 Sedimentasi

Kecepatan sedimentasi v dari partikel-partikel bulat yang mempunyai kerapatan ρ


dalam medium yang berkerapatan. Viskositas diberikan oleh hukum stokes:

27
Kecepatan sedimentasi juga dipengaruhi oleh adanya gaya brown sehingga untuk
membentuk sedimentasi memerlukan gaya yang lebih besar. Yaitu dengan
menggunakan ultrasentifuge. Persamaan dimodifikasi menjadi:

Dimana 2x adalah percepatan sudut (martin, 1993).

2.6 Sifat listrik koloid elektroforesis

Elektroforesis adalah peristiwa mengalirnya partikel-partikel koloid menuju


elektroda, bergeraknya partikel koloid ke dalam satu elektroda menunjukkan bahwa
partikel-partikel koloid bermuatan listrik. Gejala ini dapat diamati dengan
menggunakan alat sel elektroforesis seperti pada gambar.

Berkaitan dengan pergerakan partikel bermuatan melewati cairan dibawah


pengaruh perbedaan potensial. Suatu sel elektroforesis disi dengan dua elektroda dan
mengandung dispersi partikel. Jika digunakan potensial di seberang elektroda, partikel-
partikel berpindah ke arah elektroda yang bermuatan berlawanan. Laju perpindahan
partikel diamati dengan bantuan ultramikroskop dan merupakan fungsi muatan pada
partikel tersebut. Sebagai bidang shear partikel ditempatkan Pada pinggir lapisan yang
terikat kuat, potensial yang menentukan laju adalah potensial zeta (martin, 1993).
g. Solubilisasi
Kemampuan dari misel untuk meningkatkan kelarutan zat yang secara normal
tidak larut, atau hanya sedikit larut, dalam medium dispersi yang digunakan. Tempat
molekul mengalami penglarutan dalam suatu misel berhubungan dengan keseimbangan
antara sifat olar dan non polar dari molekul tersebut. Lawrence menyatakan bahwa
molekul non polar dalam sistem air dari zat aktif permukaan ionic terletak pada inti

28
hidrokarbon dari misel tersebut, sedangkan molekul polar cenderung teradsorpsi pada
permukaan misel. Molekul polar- non polar akan cendrung meluruskan diri dalam posisi
di tengah di dalam molekul-molekul surfaktan membentuk misel (martin, 1993).

29
Faktor-faktor yang mempengaruhi solubilisasi (martin, 1993) :
o Kimiawi surfaktan: Rantai alkil lipofilik lebih panjang akan lebih mensolubilisasi
obat hidrofobik. Surfaktan ionik: peningkatan jari-jari inti hidrokarbon
meningkatkan solubilisasi.
o Ph, Merubah kesetimbangan antara solubilisat terion dan takterion.
o Titik krafft, Suhu yang menunjukkan terjadinya kelarutan surfaktan = kmk (cmc)
o Titik keruh (cloud point)
Suhu yang menunjukkan terjadinya kekeruhan (pengkabutan) yang tiba-
tiba. Jika suhu dinaikkan terjadi surfaktan memisah sebagai presipitat atau kalau
konsentrasi tinggi sebagai suatu gel.
2.11 Stabilitas Koloid

Sifat fisika dispersi koloid yang paling penting adalah kecenderungan partikel untuk
berkumpul. Pertemuan antara partikel yang di dispersi pada media cair sering terjadi dan stabilitas
dispersi ditentukan oleh interaksi antara partikel selama pertemuan.

Penyebab utama pengumpulan tersebut adalah gaya tarik-menarik Van der waals
antarpartikel, sedangkan pengumpulan perlawanan stabilitas merupakan akibat dari interaksi si antara
lapisan ganda bermuatan listrik yang sama dan daya tarik menarik partikel pelarut. Daya tarik
menarik partikel pelarut menaikkan sebagian besar stabilitas dengan cara mekanis, di mana dapat
dipertimbangkan pada hubungan muatan energi bebas desolvasi positif yang menyertai pengumpulan
partikel. Adsorpsi zat polimer pada permukaan partikel biasanya akan menaikkan stabilitas melalui
peningkatan daya tarik menarik partikel pelarut dan oleh mekanisme entropi, tetapi mempengaruhi
pengumpulan dengan mekanisme penghubung .

30
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Sistem Dispersi merupakan sebuah pencampuran pada satu zat dengan zat lain yang
ketika akan dicampur, mengalami pemerataan antara zat dalam zat lain. Zat yang terdispersi
disebut sebagai tahap dispersi, sedangkan pada sebuah tempat mereka yakni dapat terdispersi
disebut medium dispersi. Sebagai contoh, pati yang ditempatkan di air panas mengalami sistem
dispersi.

Di sini air adalah sebuah media pendispersi, sedangkan pati berfungsi sebagai agen
pendispersi. Sebuah sistem dispersi yakni dapat diartikan dengan larutan atau campuran dari dua
zat yang berbeda, tetapi memiliki bentuk yang sama. Ciri khas dari sistem dispersi adalah adanya
pelarut dan zat terlarut.

Contoh lain, jika susu, gula, dan pasir diletakkan di satu tempat dan diisi dengan air lalu
diaduk, 3 sebuah sistem dispersi ditemukan. Gula, susu, dan pasir adalah fase dispersi,
sedangkan air adalah untuk medium pendispersi.

3.2 SARAN

Semoga makalah ini dapat diterima dan bermanfaat bagi yang membaca. Dan dapat
menambah wawasan bagi pembaca.

31
Jurnal Farmasi Higea, Vol. 8, No. 1, 2016

STUDI SISTEM DISPERSI PADAT IBUPROFEN – MANITOL DENGAN METODE


PELARUTAN

Rina Wahyuni2), Salman Umar1), Zulfareda Putri2)


1)
Fakultas Farmasi Universitas Andalas Padang
2)
Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi (STIFARM) Padang

ABSTRACT
Study of solid dispersions of ibuprofen-manitol by solvent method had been researched.
Solid dispersions made in 4 ratio formula, F1; F2; F3 and F4 with ibuprofen-manitol ratio 3: 1, 2:
2, 1: 3, and 0.5: 3.5. Evaluation of solid dispersions of Ibuprofen - Manitol include x-ray
diffraction (XRD), FT-IR spectroscopy, scanning electron microscopy (SEM), assay and
dissolution test. Results of X-ray diffraction solid dispersion system showed a decrease in
intensity of the degree of crystalline ibuprofen. SEM characterization results indicated ibuprofen
morphological changes towards more amorphous.

Keywords : Ibuprofen, Manitol, Solid Dispersion, Solvent Method

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang studi sistem dispersi padat ibuprofen-mannitol dengan metode
pelarutan. Sistem dispersi padat dibuat dalam 4 formula, F1; F2; F3 dan F4 dengan perbandingan
ibuprofen-mannitol berturut-turut 3:1, 2:2, 1:3, dan 0,5:3,5. Evaluasi sistem dispersi padat
ibuprofen-mannitol meliputi difraksi sinar-X (XRD), spektroskopi FT-IR, Scanning Electron
Microscope (SEM), pentapan kadar dan uji disolusi. Hasil difraksi sinar-X sistem dispersi padat
menunjukkan adanya penurunan intensitas derajat kristalin dari ibuprofen. Hasil karakterisasi
SEM menunjukkan perubahan morfologi ibuprofen kearah yang lebih amorf. Hasil statistik
efisiensi disolusi menggunakan uji ANOVA diperoleh nilai sig. 0,000 (<0,05) menunjukkan
bahwa adanya pengaruh jumlah mannitol terhadap laju disolusi ibuprofen.

Kata Kunci : Ibuprofen, Manitol, Dispersi Padat, Metode Pelarutan

75
Jurnal Farmasi Higea, Vol. 8, No. 1, 2016

PENDAHULUAN teknologi sistem dispersi padat (Voight,


Absorbsi obat merupakan faktor 1994).
yang sangat penting dalam memilih cara Sistem dispersi padat adalah suatu
pemberian obat yang tepat dan dalam sistem dispersi satu atau lebih zat aktif
merancang bentuk sediaan yang paling dalam pembawa inert atau matriks pada
bagus, yang pada akhirnya menentukan keadaan padat yang dibuat dengan metoda
keberhasilan terapi obat (Ansel, 2008). pelarutan (solvent method), metoda
Proses absorbsi yang terjadi sangat peleburan (melting method), dan metoda
ditentukan oleh sifat fisiko kimia dari satu campuran (melting-solvent method). Sistem
molekul obat, seperti kelarutan obat. Obat- dispersi padat merupakan teknologi dengan
obat yang memiliki kelarutan kecil di dalam metoda sederhana yang dapat meningkatkan
air akan menyebabkan jumlah obat yang kecepatan melarut zat-zat yang sukar larut,
diabsorbsi menjadi kecil (Shargel & peningkatan laju disolusi dan
Andrew, 1999). Oleh karena itu, perlu bioavaibilitasnya (Chiou & Riegelman,
adanya suatu metoda yang dapat 1971; Sameer, et al., 2011). Dengan
meningkatkan kelarutan dan laju disolusi pengkajian bioavaibilitas diharapkan obat-
senyawa obat di dalam tubuh salah satu obat dalam bentuk sediaan padat yang
diantaranya adalah dengan menggunakan diberikan secara oral mendapatkan efek
sistemik (Ansel, 2008).

76
Ibuprofen atau asam 2 - (p- Berdasarkan hal di atas, maka pada
isobutilfenil) asam propionat merupakan penelitian ini suatu sistem dispersi padat
salah satu obat antiinflamasi non steroid ibuprofen - manitol dikembangkan dengan
yang digunakan secara luas oleh masyarakat. menggunakan metode pelarutan Sebagai
Ibuprofen praktis tidak larut dalam air. Hal pembanding digunakan campuran fisik
ini akan mempengaruhi ketersediaan ibuprofen – manitol. Sistem dispersi padat
hayatinya. Pada penelitiaan sebelumnya ibuprofen dalam manitol diharapkan dapat
telah banyak dilakukan pembuatan dispersi meningkatkan kelarutan dan laju disolusi
padat ibuprofen menggunakan polimer ibuprofen.
HPMC, PEG 6000, PVP K90, PVP K30,
UREA, serta kombinasinya, dan didapati METODE PENELITIAN
hasil bahwa dengan penambahan polimer a. Alat dan bahan
tersebut dapat memperbaiki kelarutan dari Peralatan gelas standar laboratorium,
ibuprofen (Hasnain & Nayak, 2012; Timbangan digital analitik (Precisa & B
Retnowati & Setyawan, 2010; Xu, et al., 220A), Difraktometer sinar-X (Rigaku,
2007).
Untuk meningkatkan kelarutan
ibuprofen dalam air dapat dilakukan dengan
menggunakan sistem dispersi padat.
Ibuprofen dibuat dalam bentuk dispersi
padat dengan menggunakan pembawa yang
bersifat hidrofil. Salah satu polimer yang
bersifat hidrofil adalah manitol (Rowe, et
al., 2012).
Manitol dengan pemerian, serbuk
hablur atau granul mengalir bebas, putih,
tidak berbau, rasa manis. Kelarutan mudah
larut dalam air, larut dalam larutan basa,
sukar larut dalam piridina, sangat sukar larut
dalam etanol, praktis tidak larut dalam eter
(Rowe, et al., 2012).
Japan), alat uji disolusi (Copley, Scientific dengan ayakan mesh 70, disimpan dalam
Type NE4-COPD), Spektrofotometer UV desikator.
– VIS (Shimadzu 1800), Scanning
Electron Microscopy atau SEM (Hitachi - Pembuatan Serbuk Dispersi Padat
S-3400N), Desikator vakum, Masing-masing formula ditimbang
Spektrofotometer Infra Red (Thermo sesuai dengan komposisi. Sistem dispersi
Scientific), Desikator, ayakan, dan alat- padat ibuprofen – manitol dibuat dengan
alat yang menunjang penelitian. metoda pelarutan berdasarkan perbandingan
Bahan baku ibuprofen (Hubei Granules komposisi formula di atas. Serbuk ibuprofen
Biocause Pharmaceutical CO.,LTD), dimasukkan ke dalam cawan penguap dan
manitol (Merck), metanol (Merck), etanol dilarutkan dalam etanol 96 %, sampai
(Merck), kalium dihidrogen (Merck), terbentuk larutan jernih. Manitol dilarutkan
natrium hidroksida (Merck) dan aquadest dalam aquadest hingga membentuk cairan
(Novalindo). jernih . Ke dalam larutan ibuprofen

b. Pembuatan Serbuk Sistem Dispersi


Padat dan Campuran Fisik
Ibuprofen
– Manitol

Tabel I. Perbandingan formula serbuk


dispersi padat
F1 F2 F3 F4
No Bahan
(g) (g) (g) (g)
1 Ibuprofen 3 2 1 0.5

2 Manitol 1 2 3 3.5

Total 4 4 4 4

- Pembuatan serbuk campuran fisika


Ibuprofen dan manitol dicampur dan
di
homogenkan selama beberapa menit
dengan perbandingan 1:1 kemudian diayak
ditambahkan larutan manitol secara melalui penggunaan mikroskop elektron.
perlahan-lahan sambil di aduk. Kemudian Analisa SEM dilakukan terhadap senyawa
campuran larutan yang dihasilkan diuapkan ibuprofen murni dan sediaan dispersi padat
dan dikeringkan dalam desikator sampai ibuprofen. Sampel dilapisi dengan lapisan tipis
kering. Padatan yang dihasilkan dikerok dan dari palladium-emas sebelum dianalisis. SEM
digerus dalam mortir, kemudian dilewatkan bekerja menggunakan kecepatan sinar 3kV.
pada ayakan mesh 70 dan disimpan di dalam
desikator.(Sekharan, et al., 2014 ; Octavia, Analisa pola difraksi sinar X (XRD)
et al., 2015). Pola XRD bubuk diselusuri
menggunakan difraksi sinar-x untuk sampel-
c. Evaluasi Serbuk Sistem Dispersi Padat sampel, menggunakan radiasi Ni-disaring Cu-
Dan Campuran Fisik Ibuprofen - K, voltase 40kV, arus 30mA radiasi disebar
Manitol dalam wilayah kristal sampel, yang diukur
Analisa Spektrofotometer Inframerah dengan goniometer vertikal. Pola-
Uji dilakukan terhadap sampel yang telah
disiapkan dengan metoda cakram KBr, dan
telah dianalisa pada bilangan gelombang
antara 4000 – 450 cm-1 dengan
spektrofotometer FT-IR (Xu, et al., 2007;
British Pharmacopoeia, 2009). Sampel
digerus sampai menjadi serbuk dengan KBr,
lalu dipindahkan ke cetakan die dan sampel
tersebut kemudian dikempa kedalam suatu
cakram pada kondisi hampa udara (Watson,
2009).

Analisa Scanning Electron Microscopy


(SEM)
Tujuan dari penggunaan Scanning
Electron Microscope adalah untuk
memperoleh karakterisasi topografi farmasi
pola diperoleh dengan menggunakan lebar kemudian dikocok homogen dalam labu
tahapan 0,04° dengan resolusi detektor ukur 1000 mL. Medium disolusi diukur
pada 2α (sudut difraksi) antara 10° dan 80° dengan pHmeter sampai pH 7,2, kemudian
pada temperatur ruangan (Chiou & dicukupkan dengan aquadest bebas CO2
Riegelman, 1971; Hasnain, et al., 2012). hingga 1000 mL.
Kemudiaan dibandingkan dengan
ibuprofen murni. - Penentuan panjang gelombang
maksimum ibuprofen dalam medium
Analisa Distribusi Ukuran Partikel disolusi dapar fosfat pH 7,2
Mikroskop sebelum digunakan Larutan induk ibuprofen dibuat dengan
dikalibrasi terlebih dahulu dengan melarutkan 50 mg ibuprofen dalam 100 mL
mikrometer pentas. Lalu sejumlah serbuk larutan dapar fosfat pH 7,2 di dalam labu
didispersikan dalam parafin cair dan ukur 100 mL dan didapatkan larutan
diteteskan pada gelas objek. Kemudian induk dengan konsentrasi 500 µg/mL.
diletakkan di bawah mikroskop, amati Larutan induk dipipet 18 mL dimasukkan
ukuran partikel serbuk dan hitung jumlah
partikelnya sebanyak 1000 partikel
(Swarbrick & Boylan, 1991).

d. Penentuan profil disolusi dari


campuran fisik dan serbuk dispersi
padat
- Pembuatan larutan dapar fosfat pH 7,2
Kalium dihidrogen posfat ditimbang
sebanyak 27,218 g dilarutkan dalam
aquadest bebas CO2 dalam labu ukur 1000
mL. NaOH 0,2 N ditimbang sebanyak 8 g
dilarutkan dalam aquadest bebas CO2
dalam labu ukur 1000 mL, dari larutan
kalium dihidrogen posfat 0,2 M 1000 mL
diambil 250 mL dan dari larutan NaOH
0,2 N 1000 mL diambil 173,5 mL
kedalam labu ukur 25 mL dilarutkan dengan
larutan dapar fosfat pH 7,2 cukupkan sampai Kemudian serbuk dispersi padat setara
tanda batas labu ukur sehingga diperoleh dengan 200 mg dimasukkan kedalam wadah
larutan dengan konsentrasi 360 µg/mL. keranjang dan diputar dengan kecepatan 100
Serapan maksimum ibuprofen dalam larutan RPM (Almeida, et al., 2012). Larutan
dapar diukur pada panjang gelombang 200 - disolusi di pipet 5 mL pada menit ke 5, 10,
400 nm, diperoleh panjang gelombang 15, 30, 45, dan 60 (Retnowati & Setyawan,
maksimum ibuprofen 264,2 nm. 2010). Pada setiap pemipetan diganti dengan
medium disolusi (volume dan suhu yang
- Pembuatan kurva kalibrasi ibuprofen sama pada saat pemipetan). Serapan larutan
dalam medium dapar fosfat pH 7,2 yang telah dipipet dari medium disolusi
Dari larutan induk dilakukan pengenceran diukur pada panjang gelombang serapan
ibuprofen dalam dapar fosfat pH 7,2 dengan maksimum. Kadar ibuprofen yang
konsentrasi 120; 200; 240; 280; 320 dan 360 terdisolusi pada setiap waktu dapat dihitung
μg/mL ibuprofen. dengan menggunakan kurva kalibrasi.

- Uji disolusi e. Analisis Data


Penentuan profil disolusi ibuprofen Data yang diperoleh diolah secara
berdasarkan USP XXXII menggunakan alat statistik. Analisa yang dilakukan yaitu
disolusi tipe I dengan metode keranjang menggunakan uji ANOVA satu arah dan uji
(rotating basket apparatus) dengan medium lanjutan Duncan.
larutan dapar fosfat pH 7,2 sebanyak 900
mL dan suhu diatur 37o C ± 0,5oC.

HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Evaluasi serbuk dispersi padat
Spektrofotometer IR
Gambar 1. Spektrum ibuprofen
Gambar 2. Spektrum manitol

Gambar 3. Spektrum campuran Fisika


Gambar 4. Spektrum formula 1
Gambar 5. Spektrum formula 2

Gambar 6. Spekrum formula 3

Gambar 7. Spektrum formula 4

Gambar 1 Menunjukkan spektrum manitol menunjukkan puncak yang lebar


inframerah ibuprofen, terlihat adanya gugus menunjukkan adanya gugus fungsi O-H. Pada
fungsi C-H, C=O dan C-C. Spektrum FT-IR campuran fisik menunjukkan adanya gugus
fungsi dari ibuprofen, juga terdapat puncak dari ibuprofen yang lebih dominan adanya
yang menunjukkan adanya gugus fungsi puncak yang lebar pada bilangan gelombang
manitol, sedangkan pada dispersi padat 819,75 cm-1. Puncak-puncak yang muncul
menunjukkan adanya gugus fungsi identik dengan gugus fungsi yang dimiliki
ibuprofen, hanya saja terjadi sedikit
pergeseran bilangan gelombang karena
interaksi fisika dari kedua komponen
penyusun yang menunjukkan bahwa tidak
terdapat interaksi kimia antara ibuprofen dan
manitol.
Scanning Electrone Microscopy (SEM)

(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)

(g)

Gambar 8. (a) ibuprofen (b) manitol (c) Campuran Fisika (d) formula 1 (e) formula 2
(f) formula 3 (g) formula 4
Gambar 8. menunjukan permukaan
melalui metode pelarutan yang dapat
dispersi padat ibuprofen – manitol
mempengaruhi morfologi kristal masing-
dengan metode pelarutan perbesaran 250
masing zat. Dimana habit ibuprofen tunggal
kali terlihat secara jelas bahwa, hasil SEM
sudah berbeda dengan habit ibuprofen dalam
ini sekaligus menunjukkan bahwa terjadi
sistem dispersi padat ibuprofen – manitol.
interaksi fisika antara ibuprofen dan manitol
Analisis pola Difraksi Sinar X (XRD)

Gambar 9. Overlay difraktrogram sinar x ibuprofen, campuran fisik dan serbuk dispersi padat.

Analisis difraksi sinar - X digunakan derajat kristalinitas senyawa padat obat


untuk mengevaluasi pengaruh perubahan ibuprofen pada serbuk dispersi padat. Analisa
difraksi sinar - X serbuk merupakan metode difraktogram sinar - X yang berbeda dari
yang handal untuk karakterisasi interaksi campuran fisika kedua komponen. Analisis
padatan antara dua komponen padat, apakah difraksi sinar - X ini juga digunakan untuk
terbentuk fase kristalin baru atau tidak. Jika mengevaluasi pengaruh pelarutan terhadap
terbentuk fase kristalin baru dari hasil fase padat dan perubahan derajat kristalinitas
interaksi antar kedua komponen maka akan senyawa padat obat ibuprofen setelah
teramati secara nyata dari dibentuk dispersi padat yang dibuat dengan
metode pelarutan. Senyawa ibuprofen murni
menunjukkan padatan kristalin karena
difraktogram menunjukkan puncak
interferensi yang khas dan tajam pada sudut
2Theta: 22,31º yaitu 18.948. Difraktogram 2theta: 22,33 yaitu 2883. Pada dispersi padat
manitol juga menunjukkan karakteristik
kristalin yang terlihat jelas pada sudut
2Theta: (19,51º, dan 36,1001º) yaitu
8634,62 dan 7353,86.
Pada difraktogram campuran fisika
puncak kristalin ibuprofen terlihat jelas pada
sudut 2theta: 22,33º. Difraktogram ini juga
menunjukkan terjadinya perubahan derajat
kristalinitas ibuprofen yaitu menjadi
5996,41. Hasil difraktogram ini
menunjukkan terjadinya tumpang tindih
sesama difraktogram ibuprofen dan manitol.
Difraktogram serbuk ibuprofen hasil
dispersi padat dengan gabungan manitol
menunjukkan penurunan intensitas puncak -
puncak interferensi fase kristalin ibuprofen.
Pada dispersi padat formula 1 dengan
perbandingan 3:1 dapat dilihat pada
difraktogram menunjukkan penurunan
puncak interferensi yang tidak terlalu jauh
dari campuran fisik, dari hasil difraktogram
dispersi padat formula 1 terlihat puncak
kristalin ibuprofen pada sudut 2theta: 22,33º
yaitu 3871,84, difraktogram ini juga
menunjukkan terjadinya penurunan derajat
kristalinitas ibuprofen terutama pada sudut 2
theta: 19,51º yaitu 3327,4. Sedangkan
dispersi padat formula 2 dengan
perbandingan 2:2 terlihat penurunan derajat
kristalin ibuprofen terutama pada sudut
formula 3 dengan perbandingan 1:3
terlihat penurunan derajat kristalin
ibuprofen terutama pada sudut 2theta:
22,33 yaitu 2226,4, begitupun dengan
formula 4 juga terjadi penurunan kristalin
pada sudut yang sama yaitu 1353. Hal ini
menunjukkan semakin banyak manitol
yang dimasukkan atau ditambahkan maka
perubahan derajat kristalin ibuprofen
semakin turun.

Analisa distribusi ukuran partikel


Penentuan distribusi ukuran
partikel menggunakan mikroskop yang
dihubungkan dengan perangkat digital
optilab dan laptop. Pemeriksaan distribusi
ukuran partikel ini dilakukan dengan
menghitung partikel sebanyak 1000 buah
yang bertujuan untuk mendapatkan hasil
yang lebih spesifik (Swarbick & Boylan,
1991). Terlihat jelas bahwa serbuk dispersi
padat memiliki ukuran partikel yang lebih
kecil dibandingkan dengan campuran
fisika. Akan tetapi, campuran fisika
memiliki ukuran partikel yang lebih kecil
dibandingkan dengan ibuprofen murni.
Hal ini disebabkan karena ibuprofen dan
manitol dalam pembuatan serbuk dispersi
padat terhomogen secara molekular
kemudian mengalami penggabungan dan
membentuk ukuran partikel yang lebih
kecil dibandingkan dengan pembuatan
campuran fisika.
% Frekuensi

60 % Frekuensi

50

40

30

20

10

0 5 10 15 20 25
-10
Diameter rata-rata (μm)

ZA CF F1 F2 F3 F4

Gambar 10. Kurva % frekuensi distribusi ukuran partikel

% Frekuensi Kumulatif
120

ZA
100
% Frekuensi kumulatif

80
CF

60
F1

40

F2
20

F3
0
0510152025
-20
Diameter rata-rata (μm) F4
Gambar 11. Kurva % frekuensi kumulatif distribusi ukuran partikel
B. Uji Disolusi
KURVA DISOLUSI

90
80
70
% TERDISOLUSI
ZA
60
CF
50
F1
40
F2
30
F3
20
F4
10
0

0510 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60

Waktu (menit)

Gambar 12. Kurva disolusi ibuprofen, campuran fisik, dan dispersi padat.

Pada penentuan profil disolusi dari sampai 4. Persen terdisolusi dari keempat
serbuk dispersi padat, campuran fisika dan formula dispersi padat pada menit ke 60 rata
ibuprofen menunjukkan bahwa pada serbuk – rata adalah sebagai berikut: DP F 1: 74,972
campuran fisika dan dispersi padat terjadi %, DP F 2 : 79,779 % dan DP F 3 : 80,448 %,
peningkatan laju disolusi dari semua DP F 4 : 81,102 % .
formula. Peningkatan laju disolusi tersebut
dikarenakan pengaruh dari penambahan H. Analisis Data
manitol pada uji disolusi, ini terlihat bahwa Analisis statistik dari efisiensi disolusi
pada sistem dispersi padat terjadi ibuprofen - manitol dilakukan dengan uji
peningkatan laju disolusi dari formula 1 ANOVA satu arah menggunakan SPSS 17.
Hasil perhitungan ANOVA menunjukkan campuran fisika dan dispersi padat itu
bahwa nilai F hitung = 8218,694 dengan adalah berbeda nyata.
Sig. = 0,000 (< 0,05), yang berarti Ho Hasil uji lanjut dengan uji duncan
ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa rata- menunjukkan bahwa rata- rata efisiensi
rata efisiensi disolusi dari ibuprofen, disolusi terbagi atas 6 subset, dari hasil uji
lanjut dengan uji Duncan menyatakan bahwa
terdapat perbedaan efisiensi disolusi yang
signifikan antara ibuprofen, campuran fisik
dan dipersi padat, yang berarti bahwa
penambahan manitol memberikan pengaruh
terhadap laju disolusi dari ibuprofen.

KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang dilakukan
dapat diambil kesimpulan bahwa sistem
dispersi padat ibuprofen-manitol
menggunakan metode pelarutan dapat
meningkatkan laju disolusi dari ibuprofen:
1. Evaluasi sifat fisikokimia pada serbuk
sistem dispersi padat dan campuran fisik
meliputi: analisis pola difraksi sinar - X,
analisis spektroskopi FT - IR, dan SEM.
Secara umum diperoleh bahwa serbuk
sistem dispersi padat dapat
memperbaiki sifat - sifat fisikokimia
ibuprofen. Hasnain, M. S., Nayak, A, K,. (2012),
2. Pembentukan sistem dispersi padat Solubility And Dissolution
ibuprofen - manitol yang dibuat dengan Enhanchement Of Ibuprofen By Solid
metode pelarutan dapat meningkatkan Dispersion Technique Using PEG
laju disolusi ibuprofen. Ditunjukkan 6000 - PVP K30 Combination
oleh persentase kadar ibuprofen yang Carrier. Chemistry Bulgarian Journal
terdisolusi pada menit ke-60 untuk F 1, Science Education, 21, (1),
F 2, F 3, F 4 berturut-turut adalah 118-132.
74,972 %; 79,779 %,; 80,448 % dan
81,102 %. Formula terbaik ditunjukkan Octavia, M, D., Halim, A., Zaini, E. (2015),
oleh dispersi padat formula 4 dengan Preparation Of Simvastatin-Β-
persentase terdisolusi tertinggi Cyclodextrin Inclusion Using Co-
81,102%. Evaporation Technique, Journal Of
Chemical And Pharmaceutical
DAFTAR PUSTAKA Research, 7, (2), 740-747.

Almeida, H., Amaral, M. H., & Laboa, P.


(2012). Comparatitive Study Of
Sustained-Release Lipid
Microparticles And Solid
Dispersion Containing Ibuprofen.
Brazilian Journal
Of
Pharmaceutical Sciences, 48, (3),
530-536.

Ansel, H. C. (2008). Pengantar Bentuk


Sediaan Farmasi (Edisi IV).
Penerjemah: F. Ibrahim. Jakarta:
Universitas Indonesia.
Retnowati, D., Setyawan, D., (2010). (Edisi II). Penerjemah: Fasich dan
Peningkatan Disolusi Ibuprofen Siti Sjamsiah. Surabaya: Airlangga
Dengan Sistem Dispersi Padat University Press.
Ibuprofen-PVP K90, Majalah
Farmasi Airlangga., 88, (1), 24- Swarbick, J., & Boylan, J. C. (1991).
28. Encyclopedia of Pharmaceutical
Technology (Volume 5). New York
Rowe, R. C., Sheskey, P.J & Quinn, M.E. and Bassel: Marcell Dekker Inc.
(2012). Handbook
of The Department Of Health. (2009). British
th
Pharmaceutical Excipients (7 Pharmacopoeiea. London: The
ed). London: Pharmaceutical Stationery Office.
Press and American Pharmacist
Association.

Sameerr, S., Raviraj S, B., & Lalit, Y.


(2011), A Review On Solid
Dispersion, Int. J. Pharm & Life
Sciences. 2, (9), 1078-1095.

Sekharan, T, R., Muthumari, M., Gopal,


L., & Esakiyammal, A. (2014),
Dissolution Improvement Of
Etodolac Using Manitol By Solid
Dispersion Method, World
Journal Of Pharmacy And
Pharmaceutical Sciences. 3, (8),
1206-1216.

Shargel, L & Andrew, B. (1999).


Biofarmasetika

Dan Farmakokinetika Terapan


Voight, R. (1994). Buku Pelajaran
Teknologi Farmasi, (Edisi V),
Penerjemah Soewandi Noerono,
Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.

Watson, D. G. (2009). Analisis Farmasi


Buku Ajar. (Edisi 2). Penerjemah:
Winny R. Syarief. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran ECG

Whalley, W. B., & Langway, C. C. (1979).


A Scanning Electron Microscopy
Examination Of Subglacial Quartz
Grains From Camp Century Core.
Journal of Galciology. 25,(91),
171-207.

Xu, L., Li, S. M., & Sunada, H. (2007).


Preparation And Evaluation Of
Ibuprofen Solid Dispersion Systems
With Kollidon Particles Using A
Pulse Combustion Dryer System.
Chem Pharm Bull, 55, (11), 1545-
1550.
Jurnal Farmasi Higea, Vol. 7, No. 2, 2015

STUDI SISTEM DISPERSI PADAT ASAM MEFENAMAT MENGGUNAKAN


POLIVINILPIROLIDON K-30

Maria Dona Octavia2), Erizal Zaini1), Vina Oktavia2)


1)
Fakultas Farmasi, Universitas Andalas (UNAND), Padang
2)
Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi (STIFARM), Padang

ABSTACT

Mefenamic acid was categorized as Non-Steroidal Anti-Inflamatory Drugs (NSAIDs)


which has useful as analgesic, anti inflammatory, and antypiretic effect but it has poor
solubility in water. The aim of this study was to increase the dissolution rate of mefenamic
acid in a solid dispersion system which made by solvent method. Solid dispersion and
physical mixture prepared with ratio 1:1, 1:3, and 1:5. Solid dispersion was prepared by
solvent method Preparation of solid dispersion mefenamat acid – PVP-K30 in formula 1:3
was increased of dissolution significantly. Characterization of Solid dispersion Mefenamic
Acid with Polyvinylpyrrolidone used Scanning Electron Microscopy (SEM), X-Ray,
Spectroscopy IR, Differentyal Thermal Analysis (DTA). The result of X-ray diffraction
characterization the dissolution Mefenamic Acid-Polyvinylpyrrolidone in which the intensity
is visible. The characterization with DTA showed a change in the peak of Mefenamic Acid
where the endoterm, the characterization using infrared spectroscopy shows no functional
group interaction between Mefenamic Acid and Polyvinylpyrrolidone.

Keywords: Solid dispersion, mefenamic acid, polyvinylpyrrolidone

ABSTRAK

Asam mefenamat merupakan obat Anti Inflamasi Non Steroid (NSAID) dan obat
analgetik-antipiretik. Salah satu permasalahan yang dimiliki oleh Asam mefenamat adalah
173
Jurnal Farmasi Higea, Vol. 7, No. 2, 2015

praktis tidak larut dalam air. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
polivinilpirolidon K-30 terhadap laju disolusi Asam mefenamat melalui proses sistem dispersi
padat. Dispersi padat dibuat dengan menggunakan metoda pelarutan menggunakan polimer
yang mudah larut yaitu Polivinilpirolidon K-30. Dispersi padat dibuat dengan perbandingan
1:1, 1:3, 1:5, sebagai pembanding dibuat campuran fisika 1:1, 1:3, 1:5. Hasil Dispersi padat
yang terbentuk dikarakterisasi menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM), Difraksi
sinar X, Spektroskopi IR, Differential Thermal Analysis (DTA) Pembuatan dispersi padat
asam mefenamat – polivinilpirolidon K-30 dapat meningkatkan laju disolusi dari asam
mefenamat yang ditunjukkan dengan meningkatnya disolusi dispersi padat asam mefenamat
yang terlihat pada formula 1:3 menunjukkan disolusi yang sangat meningkat secara
signifikan, dibandingkan dengan campuran fisik dan asam mefenamat murni. Dari data yang
diperoleh, pembuatan dispersi padat Asam mefenamat-PVP-30 tidak menyebabkan terjadinya
reaksi kimia, yang seperti ditunjukkan pada spektrofotometri IR dan DTA. Dimana pada FT
IR tidak terbentuk gugus fungsi baru dan pada DTA tidak terjadi kenaikan atau penurunan
berat molekul.

Kata kunci : Dispersi padat, asam mefenamat, polivinilpirolidon K-30

PENDAHULUAN sirkulasi sistemik untuk selanjutnya


diedarkan ke seluruh tubuh. Proses
Suatu produk obat dalam bentuk absorbsi yang terjadi sangat ditentukan
padat mengalami suatu rangkaian proses di oleh sifat fisikokimia dari suatu molekul
dalam tubuh, dimulai dari proses obat, seperti kecepatan disolusi. Untuk
desintegrasi, proses disolusi atau pelarutan, obat yang memiliki kelarutan kecil di
proses absorbsi melewati membran sel di dalam air akan menyebabkan jumlah obat
saluran pencernaan sampai menuju

174
yang diabsorbsi menjadi kecil (Shargel. et memungkinkan terjadinya kompleksasi dan
al., 2005). terbentuknya polimorfi yang lebih mudah
Kelarutan bahan obat sering kali larut (Syukri & Mulyanti, 2007). Asam
menjadi persyaratan utama untuk mefenamat adalah turunan antranilat, yang
memperoleh kerja terapeutik yang optimal. digunakan sebagai analgesik, yang memiliki
Banyak bahan obat yang memiliki kelarutan yang kecil dalam air (Gunawan,
kelarutan yang kecil dalam air atau 2007). Polivinilpirolidon merupakan
dinyatakan sebagai praktis tidak larut pembawa inert yang larut dalam air dan
sehingga konsentrasi terapi tidak tercapai. telah banyak digunakan sebagai pembawa
Berbagai upaya telah dilakukan supaya dalam pelarut dalam dispersi padat (Syukri
kelarutan obat dapat ditingkatkan. Salah & Mulyanti, 2007; Ahire, et al., 2010).
satunya dengan metoda sistem dispersi Tujuan dari penelitian ini adalah akan
padat (Voight, 1994; Shankar. et al., 2013). mencoba memformulasi Asam mefenamat
Dispersi padat merupakan dispersi yang agak sukar larut air dalam bentuk
dari satu atau lebih bahan aktif dalam dispersi padat menggunakan
pembawa inert atau matriks pada keadaan
padat. Dispersi padat diklasifikasikan
dalam enam tipe yaitu campuran eutektik
sederhana, larutan padat, larutan dan
suspensi gelas, pengendapan amorf dalam
pembawa kristal, pembentukan senyawa
kompleks dan kombinasi dari lima tipe di
atas. Pembuatan dispersi padat dapat
dilakukan dengan beberapa metode, antara
lain: metode peleburan (melting method),
metode pelarutan (solvent method), dan
metode campuran (melting-solvent method)
(Chiou & Riegelman, 1971).
Dalam dispersi padat, bahan yang
sukar larut akan didispersikan ke dalam
suatu matrik yang mudah larut sehingga
akan mengurangi ukuran partikel dan
pembawa Polivinilpirolidon (PVP K-30) mefenamat – PVP K-30 dibuat dengan
yang bersifat hidrofil dengan metoda metoda pelarutan. Timbang masing
pelarutan, sehingga diharapkan laju formula sesuai dengan komposisi. Serbuk
disolusi asam mefenamat dalam sediaan Asam mefenamat dan PVP K-30 masing –
akan lebih baik. masing dilarutkan dengan pelarut etanol
96% di dalam beker glass. Lalu campurkan
METODE PENELITIAN larutan PVP K-30 secara perlahan-lahan ke
dalam larutan Asam mefenamat sambil
Alat dan bahan diaduk. Kemudian campuran larutan tadi
Alat – alat yang digunakan adalah diuapkan dan dikeringkan dalam oven pada
Timbangan digital analitik (KERN ABJ), suhu 40-50OC sampai kering. Padatan yang
difraktometer sinar-X (Rigaku, Japan), dihasilkan dikerok dan digerus dalam
Spektrofotometer FT-IR (Thermo mortir, kemudian dilewatkan pada ayakan
Scientific), Spektrofotometer UV-Vis mesh 60 dan simpan dalam desikator.
(Thermo Scientific), alat uji disolusi
(Dissolution Teststation, SR8PLUS),
Scanning Electron Microscopy atau SEM
(Jeol, Japan), Differential Thermal
Analysis atau DTA (Shimadzu TG 60,
Simultaneous DTA-TG Aparatus), alat-
alat gelas lainnya yang menunjang
pelaksanaan penelitian.
Sedangkan bahan yang digunakan
Asam Mefenamat (PT Indofarma),
Polivinilpirolidon K-30 (PT Indofarma),
etanol, Natrium hidroksida 0,1 N, dapar
fospat pH 7,2 dan aqua destilat.

Pembuatan Dispersi Padat Asam


Mefenamat-PVP K-30.
Dispersi padat Asam mefenamat –
PVP K-30 dibuat dengan perbandingan
1:l, 1:3, 1:5. Dispersi padat Asam
Pembuatan campuran fisik Asam Mefenamat.
Mefenamat-PVP K-30. Timbang 100 mg asam mefenamat
Campuran fisik Asam Mefenamat – dimasukkan dalam labu ukur 100 ml,
PVP K-30 dibuat dengan cara Timbang kemudian larutkan dengan larutan NaOH
masing-masing formula, lalu gerus masing- 0,1 N sampai tanda batas (konsentrasi 1000
masing bahan secara terpisah terlebih ppm), kocok hingga homogen. Pipet
dahulu. Lalu campur dan dihomogenkan larutan 10 ml masukkan dalam labu ukur
secara ringan selama 10 menit. Simpan 100 ml, cukupkan volume sampai tanda
dalam desikator. batas dengan NaOH 0,1 N (konsentrasi 100
ppm). Lakukan lagi pengenceran dengan
Penetapan kadar Asam Mefenamat konsentrasi 6 ; 8 ; 10 ; 12 ; 14 μg/ml.
Dalam Sampel. Masing – masing larutan tersebut diukur
Penentuan panjang gelombang serapan serapannya pada panjang gelombang
maksimum Asam Mefenamat dalam NaOH maksimum asam mefenamat.
0,1 N.
Sebanyak 100 mg asam
mefenamat ditimbang, dilarutkan dengan
NaOH 0,1 N dalam labu ukur 100 ml,
kemudian dicukupkan volume sampai
tanda batas dengan NaOH 0,1 N
(konsentrasi 1000 ppm). Dipipet 10 ml
larutan tersebut, dimasukkan kedalam labu
ukur 100 ml, cukupkan volume sampai
tanda batas dengan NaOH 0,1 N
(konsentrasi 100 ppm). Kemudian dipipet
lagi 1,5 ml dimasukkan kedalam labu ukur
25 ml, cukupkan volume sampai tanda
batas. Selanjutnya diukur panjang
gelombang maksimumnya dengan
spektrofotometer UV-VIS.

Pembuatan kurva kalibrasi Asam


Penetapan kadar Asam Mefenamat sebelum dianalisis. SEM bekerja
Dispersi padat dan campuran fisik. menggunakan kecepatan sinar 5kV
Masing-masing formula (Hardikar, et al., 2013).
ditimbang setara dengan 50 mg asam
mefenamat (100 mg), kemudian Differential Thermal Analysis (DTA).
dilarutkan dengan NaOH 0,1 N dalam Differential Thermal Analysis
labu 100 ml, cukupkan volume sampai (DTA) merupakan salah satu jenis metode
tanda batas dengan NaOH 0,1 N analisa termal material yang berbasis pada
(konsentrasi 1000 ppm). Pipet 10 ml pengukuran perbedaan suhu antara
larutan tersebut, masukkan kedalam labu referensi inert dengan sampel ketika suhu
ukur 100 ml, cukupkan volume dengan lingkungan berubah dengan laju
NaOH 0,1 N sampai tanda batas pemanasan konstan. Ketika struktur kristal
(konsentrasi larutan 100 ppm). Kemudian atau ikatan kimia dari suatu material
dipipet lagi 1 ml dimasukkan kedalam berubah, perubahan tersebut akan berimbas
labu ukur 50 ml, cukupkan volume kepada perubahan penyerapan atau
sampai tanda batas. Ukur serapan pada pelepasan panas yang mengakibatkan
panjang gelombang serapan maksimum. perubahan suhu material yang tidak linier
Pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali
pengulangan. Konsentrasi asam
mefenamat dalam serbuk ditentukan
menggunakan kurva kalibrasi.

Karakterisasi Dispersi Padat dan


Campuran fisik Asam Mefenamat –
PVP K-30.
Scanning Electron Microscopy (SEM)
Analisa SEM dilakukan terhadap
senyawa Asam mefenamat murni,
campuran fisik asam mefenamat-PVP
K-
30 dan sediaan dispersi padat Asam
mefenamat-PVP K-30. Sampel dilapisi
dengan lapisan tipis dari palladium-emas
atau tidak sebanding dengan referensi cakram KBr, dan telah dianalisa pada
inert. Dengan menganalisa data rekam panjang gelombang antara 3500 – 400 cm-1
perubahan tersebut, dapat diketahui suhu dengan spektrofotometer FTIR (Kibria, et
dimana suatu struktur kristal atau ikatan al., 2011). Sampel digerus sampai menjadi
kimia berubah, perhitungan kinetik energi, serbuk dengan KBr, lalu dipindahkan
enthalpi energi dan lain – lain kecetakan die dan sampel tersebut
(Wismogroho dan Widayanto, 2012). kemudian dikempa kedalam suatu cakram
pada kondisi hampa udara (Watson,2009).
Difraksi Sinar-X
Pola-pola XRD bubuk diselusuri HASIL DAN PEMBAHASAN
menggunakan difraksi sinar-x untuk
sampel-sampel, menggunakan radiasi Ni- a. Penentuan panjang gelombang
disaring Cu-K, voltase 40kV, arus 30mA (λ)analisis
radiasi disebar dalam wilayah kristal Panjang gelombang (λ)analisis
sampel, yang diukur dengan goniometer
ditentukan dengan cara melarutkan 100 mg
vertikal. Pola-pola diperoleh dengan
Asam Mefenamat dengan NaOH 0,1 N
menggunakan lebar tahapan 0,04° dengan
dalam labu 100 ml (konsentrasi 1000
resolusi detektor pada 2α (sudut difraksi)
ppm). Dipipet 10 ml larutan tersebut,
antara 10° dan 80° pada temperatur
dimasukkan kedalam labu 100 ml,
ruangan (Chiou & Riegelman, 1971).
cukupkan volume sampai tanda batas
dengan NaOH 0,1 N (konsentrasi 100
Spektrofotometer FT-IR.
ppm). Kemudian dipipet lagi 1,5 ml
Uji dilakukan terhadap sampel
dimasukkan kedalam labu ukur 25 ml,
sistem dispersi padat dan campuran fisik
cukupkan volume sampai tanda batas.
asam mefenamat dengan Polivinilpirolidon
Selanjutnya diukur panjang gelombang
yang telah disiapkan dengan metode
(λ)analisis yaitu 285,31 nm.
Gambar 1. Panjang gelombang (λ)analisis dalam NaOH 0,1 N 285,31
nm.

Pengukuran serapan untuk b. Penetapan kadar Asam Mefenamat


pembuatan kurva kalibrasi pada kurva dalam sampel
serapan derivat pertama dalam pelarut Hasil uji penetapan kembali
NaOH 0,1 N menghasilkan persamaan memberikan hasil Dispersi Padat 1:1
regresi linear y = 0,039x + 0,029 dengan 116,49%, 1:3 107,60%, dan 1:5 104,01%.
nilai koefisien korelasi 0,996. Campuran Fisik 1:1 106,75%, 1:3 109,23%
dan 1:5 106,83%. Sesuai persyaratan yang asam mefenamat ditimbang, dilarutkan
tertera dalam Farmakope Indonesia edisi dengan dapar pospat pH 7,4 dalam labu
IV, kadar Asam Mefenamat adalah 98,0% ukur 100 ml, kemudian dicukupkan
sampai 109,23%. Dpat disimpulkan bahwa volume sampai tanda batas (konsentrasi
kadar Asam Mefenamat dalam serbuk 500 ppm). Dipipet 10 ml larutan tersebut,
Dispersi Pdat dan Campuran Fisik telah dimasukkan kedalam labu ukur 100 ml,
memenuhi persyaratan dalam Farmakope cukupkan volume sampai tanda batas
Indonesia edisi IV (Departemen Kesehatan (konsentrasi 50 ppm). Di pipet lagi 9 ml
RI, 1995). masukkan ke dalam labu ukur 25 ml,
dicukupkan volumenya sampai tanda batas
c. Uji disolusi (konsentrasi 18 ppm). Selanjutnya diukur
Panjang gelombang panjang gelombang (λ)analisis yaitu 286
(λ)analisis ditentukan nm.
dengan cara melarutkan 50 mg

Gambar 2. Panjang gelombang (λ)analisis dalam Dapar fosfat pH 7,4 286 nm.

Pengukuran serapan untuk Dapar fosfat pH 7,4 menghasilkan


pembuatan kurva kalibrasi pada kurva persamaan regresi linear y = 0,039x +
serapan derivat pertama dalam pelarut 0,027 dengan nilai koefisien korelasi 0,99.
d. Scanning Electrone Microscopy (SEM)

Gambar 3. (a) Asam mefenamat murni perbesaran 500x (b) PVP K-30 perbesaran 500x (c)
Campuran fisik perbesaran 500x (d) Dispersi Padat perbesaran 500x.
Gambar 3. menunjukkan analisis menunjukkan partikel yang menyatu antara
mikroskopik dengan Scanning Electron Asam Mefenamat – PVP K-30. Kokristal.
Microscopy Dispersi padat Asam Sedangkan pada campuran fisik Asam
Mefenamat – PVP-30 metode pelarutan Mefenamat-PVP K-30, masih dapat
dan campuran fisik Asam Mefenamat-PVP dibedakan antara Asam Mefenamat – PVP
K-30. Dispersi padat Asam Mefenamat – K-30.
PVP K-30 hasil Dispersi Padat

e. Analisis Differential Thermal Analisis (DTA)

50
0
-50
-100
-150
-200

0 200 400 600


Temperatur (°C)

Gambar 4. Termogram DTA a).Asam Mefenamat, b).PVP K-30, c).Dispersi padat Asam
mefenamat – PVP K-30, dan d),Campuran fisik Asam mefenamat – PVP K-30.

Perubahan termal interaksi antara mefenamat dan PVP K-30). Energi yang
kristal Asam mefenamat dan PVP K-30 dibutuhkan semakin besar. Termogram
ditunjukkan gambar 4. Dimana suhu DTA dari Dispersi padat metode pelarutan
peleburan terdapat antara kedua zat (Asam menunjukkan dua puncak endotermik.
Gambar 4. (a) X-ray Asam mefenamat, (b) X-ray PVP K-30 (c) X-ray dispersi padat Asam
mefenamat – PVP K-30 1:1, dispersi padat 1:3 dan dispersi padat 1:5 (d)
campuran fisik Asam mefenamat – PVP K-30.
Untuk verifikasi Dispersi padat komponen akan teramati pada
antara Asam mefenamat dan PVP K-30, difraktogram sinar-X yang berbeda dari
maka dilakukan analisis difraksi sinar-X. campuran fisik,. Gambar 4,
Difraksi sinar-X merupakan metode yang memperlihatkan munculnya puncak baru
bagus untuk mengkarakterisasi interaksi atau terbentuknya fase kristal baru.
padatan antara dua komponen (Tarsk dan Dimana terbentuknya puncak baru pada
Jones, 2005). Jika terbentuk fase kristalin daerah 2Theta CF 1:1 % kristalin 63,8%,
baru dari hasil Dispersi padat antara kedua DP 1:1 % kristalin 23,7%.

Gambar 5. (a) FT-IR Asam mefenamat (b) FT-IR PVP K-30 (c) FT-IR campuran fisik
Asam mefenamat PVP K-30 1:1 (d) FT-IR disperse padat Asam mefenamat
–PVP K-30 1:1

Pada spektrum infra merah Dispersi menunjukkan bahwa pada Dispersi padat
padat hanya terjadi perubahan bilangan Asam mefenamat – PVP K-30 tidak terjadi
pada karbonil yang berbeda. Indikasi ini reaksi kimia, karena tidak ada terbentuk
gugus yang baru. 1. Bahwa pembuatan dispersi padat asam
mefenamat – polivinilpirolidon K-30
KESIMPULAN dapat meningkatkan laju disolusi dari
asam mefenamat yang ditunjukkan
Berdasarkan penelitian yang dengan meningkatnya disolusi dispersi
dilakukan terhadap pembuatan dispersi padat asam mefenamat yang terlihat
padat asam mefenamat–PVP K-30 dengan pada formula 1:3 menunjukkan disolusi
metode pelarutan, dapat diambil yang sangat meningkat secara
kesimpulan : signifikan, dibandingkan dengan
campuran fisik dan asam mefenamat
murni.
2. Dari data yang diperoleh, pembuatan
dispersi padat Asam mefenamat-PVP-
30 tidak menyebabkan terjadinya
reaksi kimia, yang seperti ditunjukkan
pada spektrofotometri IR dan DTA. R. (2011). Dissolution
Dimana pada FT IR tidak terbentuk enhancement of poorly soluble
gugus fungsi baru dan pada DTA tidak carbamazepine by using polymeric
terjadi kenaikan atau penurunan berat solid dispersions. International
molekul. Journal of Pharmaceutical
Sciences and Research (IJPSR), 2,
49-57.
DAFTAR PUSTAKA Shargel, L., Wu-Pong, S., & Yu, A. B.C.
(2005). Biofarmasetika dan
Ahire, B. R., Rane, B, R., Bakliwal, S, R., Farmakokinetika Terapan. (Edisi 2).
& Pawar, S. P. (2010). Solubility Penerjemah : Fasich. Surabaya :
enhancement of poorly water Universitas Airlangga Press.
soluble drug by solid dispersion Shankar, K. R., & Chowdary, K. P. R.
rechniques. International Journal (2013). Formulation development of
of Pharm Tech Research (Pham avirenz tablet employing β
Tech), 2(3), vol 2. cyclodextrin, soluplus and pvp k30
Chiou, W. L. & Riegelman, S. (1971).
Pharmaceutical Applications of
Solid Dispersion System. Jurnal of
Pharmaceutical Science, 60 (9),
1281 – 1302.
Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. (1995). Farmakope
Indonesia. (Edisi IV). Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Gunawan, S. G. (2007). Farmakologi dan
Terapi. (Edisi V). Jakarta: Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Kibria, G., Roni, M, A., Dipu, M, H.,
Rahman, H., Rony, Md, R., & Jalil,
: factorial study. International
Research journal
of
pharmaceutical and applied
sciences (IRJPAS), 3(4), 110-115.
Syukri, Y dan Mulyanti, E. (2007).
Pengembangan Formulasi Tablet
Prednison Secara Kempa
Langsung Dengan Teknik Dispersi
Padat. Jurnal Farmasi Indonesia, 3
(3) :
149-154.
Tarsk, A. V., dan Jones, W.(2005).
Crystal Engineering of Organic
Cocrystal by the Solid-State
Grinding Approach. Top Curr
Chem., 254 (1)
41-70.
Voight, R. (1994). Buku Teknologi
Farmasi. (Edisi V). Penerjemah :
Soendani Noerono. Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada.
Watson, D. G. (2010). Analisis Farmasi.
(Edisi 2). Penerjemah: Winny R.
Syarief. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran.
Wismogroho, S. A. & Widayatno, W. B.
(2012). Pengembangan Alat
Differential Thermal Analysis
untuk Analisa Termal Material
Ca(OH)2. Jurnal Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi, 30
(1) 7-12.
Farmaka
Volume 14 Nomor 3 37

PERBEDAAN METODE PEMBUATAN OBAT


DENGAN SISTEM DISPERSI PADAT : REVIEW ARTIKEL

Yulina Saragih, Iyan Sofian

Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran


Jl. Raya Bandung Sumedang Km.21 Jatinangor 45363
Telp. 022 7996200, Fax 022 779 6200
e-mail:yulinasaragih1@gmail.com

ABSTRAK

Biovaibilitas dari suatu obat merupakan faktor penting dalam mempengaruhi kelarutan suatu obat
yang rendah, kelarutan obat ini juga yang akan mempengaruhi kecepatan absorbsi dari suatu obat
didalam tubuh. Oleh karena itu dalam pengembangan formulasi suatu obat untuk meningkatkan
laju disolusi, bioavaibilitas serta kelarutan yang rendah dapat menggunakan dispersi padat
dengan metode preparasi nya adalah metode peleburan atau fusi, metode penguapan pelarut,
metode supercritical anti-solvent precipitation (SAS), dan metode kneading. Metode pnentuan
tipe dispersi padat dengan menggunakan metode penetapan pola difraksi sinar x, analisis
spektroskopi FTIR, analisis thermal dengan Differential Scanning Calorimetry, dan penetapan
laju disolusi.

Kata Kunci : Biovaibilitas, Kelarutan, Matriks, Dispersi Padat

ABSTRACT

Biovaibilitas of a drug is an important factor in influencing the low solubility of the drug,
solubility also will affect the speed of absorption of a drug in the body. Therefore, in the
development of a formulation of a drug to increase the dissolution rate, bioavailability and low
solubility can use solid dispersions by the method of preparation it is a method of melting or
fusion, solvent evaporation method, the method of supercritical anti-solvent precipitation (SAS),
and a method of kneading. The method of determining the type of solid dispersion by using a
determination method of x-ray diffraction pattern, FTIR spectroscopic analysis, thermal analysis
by Differential Scanning Calorimetry, and the determination of the rate of dissolution.
Farmaka
Volume 14 Nomor 3 38

Keywords: Biovaibilitas, solubility, Matrix, Solid Dispersion

PENDAHULUAN disolusi rendah ini juga merupakan akibat


Biovaibilitas dari suatu obat dari biovaibilitas yang rendah juga [2]. Oleh
merupakan faktor penting dalam karena itu dalam pengembangan formulasi
mempengaruhi kelarutan suatu obat yang suatu obat untuk meningkatkan laju disolusi,
rendah, kelarutan obat ini juga yang akan bioavaibilitas serta kelarutan yang rendah
mempengaruhi kecepatan absorbsi dari suatu dapat dilakukan dengan memperkecil atau
obat didalam tubuh.[1] Daya absorbsi yang mengurangi ukuran partikel yang dapat
rendah didalam tubuh dapat disebabkan oleh memperbesar luas permukaan sehingga
laju disolusi rendah yang dimiliki suatu obat, dapat meningkatkan daya larut suatu obat.
Farmaka
Volume 14 Nomor 3 39

[1]. Banyak metode yang dapat digunakan metode dispersi padat karena mudah dari
untuk meningkatkan kelarutan obat, salah segi persiapan optimasi dan
satunya adalah dengan menggunakan reproduksibilitas.[3,11-14].
metode dispersi padat. Dispersi padat DEFINISI DISPERSI PADAT
merupakan metode yang menggunakan suatu Sekiguchi dan Obi, pertama sekali
polimer pembawa, dimana zat aktif dari obat memanfaatkan dispersi padat untuk
terdispersi pada polimer dalam keadaan meningkatkan kelarutan dan absorbsi obat
padat. Obat yang memiliki kelarutan rendah secara peroral yang memiliki kelarutan
apabila didispersikan kedalam suatu polimer buruk atau kecil didalam air, menurut
yang mudah larut akan menghasilkan ukuran mereka pembentukan campuran bahan aktif
partikel lebih kecil yang dapat meningkatkan obat yang kelarutan nya buruk dalam air
kelarutannya [3]. Secara klinis, cara terbaik dengan pembawa yang mudah larut dala air
pemberian obat adalah obat mencapai onset dapat memperbaiki kelarutan dan absorbs
yang cepat, hal ini biasanya dilakukan obat [3] Produk yang terbentuk dengan
dengan pemberian secara iv (intravena), mengubah kombinasi pembawa obat yang
namun obat mencapai onset yang cepat tidak cair menjadi keadaan padat [15] Teknik
selalu diperlukan, keadaan seperti ini dispersi padat telah digunakan secara luas
diperlukan hanya pada saat kondisi kritis. unruk meningkatkan kelarutan dan disolusi
Secara umum pemberian obat yang paliang suatu obat yang memiliki daya melarut
umum dan mudah dilakukan adalah secara rendah.[13] Apabila obat dikonversi ke
perolal, namun peroral ini juga memiliki bentuk amorf dan bentuk yang satu sistem
beberapa masalah yaitu beberapa obat dengan polimer hal ini dapat diklasifikasikan
pemberian secara oral memiliki sebagai solusi padat, sedangkan apabila obat
bioavaibilitas dan kelarutan yang rendah , didispersikan sebagai mikrokristalin yaitu
sehingga dibuat strategi untuk mengatasi membentuk sistem dua fasa biasanya disebut
masalah ini adalah pembentukan prodrug sebagai dispersi padat [16,17]
[4], Kompleksasi [5], mikrokapsulasi [6], KLASIFIKASI SISTEM DISPERSI
penggunaan surfaktan, lemak, mikronisasi, PADAT
pembentukan garam, nanopartikel, [3] dalam review artikel mereka, dispersi
siklodekstrin dan dispersi padat.[7-10] padat diklasifikasikan kedalam enam
Namun dari semua strategi ini yang paling kategori berdasarkan mekanisme kecepatan
menjanjikan adalah dengan menggunakan pelepasan zat aktif.
Tabel 1.Tipe dari dispersi padat
generasi pertama [18]
Farmaka
Volume 14 Nomor 3 40

Tipe dispersi Matriks Obat


padat
I. Pencampuran Kristal Obat dalam bentuk
Eutektik terdispersi dalam
nya.
II.Pengendapan Kristal Obat dalam bentuk
Amorf pada terdispersi didalam
Matriks
kristalin
III. Larutan padat Kristal Obat berukuran
Farmaka
Volume 14 Nomor 3 41

Larutan padat besar tersdispersi keseluruhan dengan komposisi,namun


kontiniu didalam matriks tanpa dipersiapkan
Larutan padat Kristal Obat berukuran molekul Sebagian larut, terbentuk 2
diskontiniu besar tersdispersi keseluruhan dua fase,obat terdispersi
didalam matriks secara molecular
Larutan padat Kristal Obat berukuran molekul Molekuler obat(Zat 1 atau
substitusi besar tersdispersi keseluruhan terlarut) hilang sebesar 2
didalam matriks 15% dari diameter
matriks(pelarut). Dalam
kasus obat dan matriks Tipe disp
yang tersubstitusi bisa padat
Larutan
kontiniu atau diskontiniu. berisi cai

IV.
media ka

V.
media ka

VI.
media ka
Farmaka
Volume 14 Nomor 3 42

Tipe diagram fase larutan padat Tipe diagram fase larutan padat
continiu dari sistem biner, A dan diskontiniu dari sistem biner, A dan B, ᾳ
B menunjukkan hubungan antara dan β adalah daerah pembentukan larutan
kelarutan yang rendah pada suhu padat.
yang rendah juga.

menunjukkan pembentukan larutan menunjukan pembentukan larutan


padat substitusi Lingkaran hitam padat interstitial. Lingkaran hitam
menunnjukkan atom atau molekul menunnjukkan atom atau molekul
yang terlarut, sementara lingkaran yang terlarut, sementara lingkaran
terbuka (putih) menunjukkan atom terbuka (putih) menunjukkan atom
atau molekul pelarut. atau molekul pelarut.
Farmaka
Volume 14 Nomor 3 43

Hubungan Volume dengan suhu antara Diagram metode DTA thermal


suspensi media kaca, media cair,dan suspense dari larutan continiu
padat.

Diagram hubungan pengendapan. Pengendapan fase padat, β, dan larutan padat


terhadap suhu (yang ditunjukan tanda panah

Tabel 2. Perbedaan jenis polimer yang digunakan generasi kedua


Tipe polimer Polimer Sumber

Polimer sintetis penuh Polivinilpirolidon (Povidon) [17, 19-32]


Farmaka
Volume 14 Nomor 3 44

Polietilengikol [3,15,31,32-42]
Polimetakrilat [43-48]
Polimer produk alam Hidroxipropil metilselulosa [49-54]
(turunan selulosa dan
turunan pati)
Etilselulosa [51,55-57]
Hidroxipropil-selulosa [58-61]
Siklodextrin [41,62-55]
Farmaka
Volume 14 Nomor 3 45

Pada generasi ketiga sistem dispersi turunannya, kolesterol dan berbagai ester

padat disusun dengan menggunakan kolesterol, dan asam organik.

pembawa yang memiliki aktivitas KEUNTUNGAN SISTEM DISPERSI

dipermukaan atau memiliki sifat sebagai PADAT

pengemulsi. Dispersi padat ini berisi [76] mengidentifikasikan keuntungan dari

surfaktan sebagai pembawa, campuran dispersi padat yaitu :

polimer amorf dan surfaktan. Contoh 1. Hasil dari dispersi padat adalah

pembawa pada generasi ketiga dispersi padat mengurangi ukuran partikel,

adalah inulin [19], inutec SP1 [45] compritol meningkatkan luas permukaan, dan

888 ATO [66], gelucir 44/14 [67-69], meningkatkan laju disolusi sehingga

poloxamer 188 [17,70], poloxamer 407


[71,72], Campuran polisorbat 80 dan PEG
[73], HPMC-Polioksietilen terhidrogenasi
minyak jarak dan HPMC poloxomer [49],
HPMC-PEG [74,75]. Dispersi padat generasi
ketiga ini dimaksudkan untuk mencapai
tingkat bioavaibilitas yang tinggi dari obat
yang memiliki kelarutan yang buruk dan
menstabilkan dispersi padat atau
menghindari rekrirtalisasi.[76]. Menurut [13]
beberapa pembawa yang biasanya digunakan
dalam penyusunan dispersi padat yaitu
Polietilenglikol,hidroksipropilselulosa, gelita
colagel, urea, gula, tween 80, produk
hidrolisis kolagen, pentaeritritol, fosfolipid,
kitosan, sorbitol,polivinilpirolidon,polivini
lakohol,crospovidone,polvinylpyrrolidone-
polivinilasetat kopolimer, carboxy
methylethyl cellulose,hidroksi propil metil
selulosa phthalate, poliakrilat dan
polimetakrilat, Emulsifers termasuk sodium
lauryl sulfat, alkali-surfaktan,
dodecylsulphate, garam empedu dan
Farmaka
Volume 14 Nomor 3 46

menghasilkan produk yang memiliki [78-79]. Proses pemisahan fase pada produk

Bioavaibilitas yang tinggi. yang dikonversi menjadi bentuk Kristal

2. Dapat meningkatkan kemampuan selama proses penyimpanan dapat

adhesi selama proses produksi dispersi mengakibatkan penurunan kelarutan dan laju

padat, peningkatan kemampuan disolusi. [ 76,80].

keterbasahan dibantu dengan pembawa METODE

yang digunakan dalam dispersi padat. Dalam review ini menggunakan


3. Partikel pada dispersi padat memiliki berbagai jurnal penelitian yang telah
porositas yang tinggu, sehingga akan didokumentasikan dan telah di publish baik
mempercepat profil pelepasan obat. secara nasional maupun internasional dari 10
Peningkatan porositas ini tergantung
pada sifat pembawa yang digunakan
dalam dispersi padat.
4. Obat dalam dispersi padat dapat
ditingkatkan kelarutannya
KERUGIAN SISTEM DISPERSI PADAT
Menurut [77], beberapa masalah
dalam pengaplikasian sistem dispersi padat
yang melibatkan dari metode persiapan,
reproduksibilitas sifat fisikokimia,
perumusan ke bentuk sediaan, skala up
dalam proses manufaktur dan sifat fisika
kimia obat yang berhubungan dengan
stabilitas obat. Dispersi padat tidak
digunakan secara luas pada produk
komersial karena masalah kristalisasi
bentuk amorf selama proses
pengolahan(secara mekanik) atau
penyimpanan (suhu dan batas kelembapan).
[23,68,76,78]. Kelembapan mungkin dapat
meningkatkan mobilitas obat dan
mempromosikan kristalisasi obat sehingga
dapat menghambat stabilitas dalam
penyimpanan obat obatan berbentuk amorf
Farmaka
Volume 14 Nomor 3 47

tahun terakhir ini, mengenai berbagai suhu kamar dan disimpan pada alat desikator

macam metode yang digunakan dalam yag mengandung silica gel selama 21 hari.

sistem dispersi padat untuk meningkatkan Setelah camuran beku , campuran diayak

kelarutan dan biovaibilitas dari suatu obat. dengan ayakan mesh 60 (250 µm).

(2006-2016). Jurnal penelitian diutakan selanjutnya dilakukan uji disolusi dan uji

jurnal internasional yang telah terakreditasi. perolehan kembali dari setiap masing masing

Pencarian data yang digunakan adalah serbuk. Penambahan natrium lauril sulfat

memasukkan kata kunci yang relevan sebesar 2% dengan perbandingan komposisi

dengan jurnal yang diinginkan kemudian pada Ketropen dan PEG memiliki disolusi

memasukakn rentang tahun dari 2006-2016, yang baik. [81] .Namun metode ini memiliki

dan sebagian besar mensitasi dari beberapa


jurnal yang di inginkan. Jumlah studi yang
digunakan dalam review jurnal ini sebanyak
25 jurnal.
HASIL DAN PEMBAHASAN
METODE PREPARASI DISPERSI
PADAT
Terdapat dua metode dalam
mempersiapkan disperse padat, yaitu metode
mencair (peleburan) dan metode penguapan
pelarut. [18,76 ].
1. Metode Peleburan
Metode peleburan atau metode Fusi dari
dispersi padat dilakukan untuk mempercepat
pelepasan obat. Metode peleburan ini
dipakai pada penelitian pembuatan disperse
padat Ketopren PEG 4000, dengan
perbandingan ketopren dan PEG yaitu 2:1,
1:1, 1:2, 1:3, dan 1:4. Zat dengan
perbandingan ini dicampur dan dilebur
diatas penangas air hingga semua zat
melebur dan tercampur merata. Setelah
campuran melebur merata dibekukan pada
Farmaka
Volume 14 Nomor 3 48

kelemahan yaitu banyak obat obatan atau dalamwadah dan dibiarkan kering di suhu

zat aktif obat mungkin dapat terurai atau kamar. Dengan perbandingan Gliburide PEG

menguap pada saat proses fusi atau suhu 6000 (1:1), PEG 4000: PEG 6000 (1:1), PEG

tinggi contohnya asam suksinat yang 4000: Glyburide (0,1:10). Dengan

digunakan sebagai pembawa menggunakan metode ini dapat

Gri88fulvin meningkatkan kelarutan dari Glyburide yang

[21] cukup stabil namun mungkin sebagian sukar larut dalam air sehigga dapat

dapat terurai oleh dehidrasi mendekati titik meningkatkan bioavaibilitas dari Glyburide.

leleh nya, permasalahan ini dapat diatasi [93]. Metode pelarutan ini juga digunakan

dengan pemanasan dilakukan dalam wadah pada formulasi sediaan Tacrolimus, dengan

tertutup.[3] Untuk mengatasi kelemahan tiga polimer larut air yang bebeda beda yaitu

metode ini dibuat modifikasi yaitu dengan PEG 6000, PVP, dan HPMC. Ketiga

tahap ekstruksi panas [56,82]tahap polimer ini digunakan sebagai pembawa

Meltrex SDF (Formulasi Dispersi Padat). 5 g

® [83,84,], injection molding [85], Meleleh


aglomerasi [86-88], hot-spin melebur [89-
91].
2. Metode Penguapan Pelarutan
Metode penguapan pelarut merupakan
cara sederhana dalam mempersiapkan
disperse padat, yaitu dengan melarutkan zat
aktif obat dengan pembawa kedalam
pelarut yang mudah menguap. [92].
Metode penguapan pelarutan dapat
meningkatkan kelarutan
Glyburide dengan dispersi padat melalui
teknik liofilisasi. Glyburide dan
pembawa ditimbang kemudian
dilarutkan dalam jumlah tertentu
klorofom didalam labu ukur, kemudian
diuapkan di rotary evaporator. Kemudian
dispersi padat PEG 4000, PEG 6000 dan
Campuran keduanya dipindahkan ke
Farmaka
Volume 14 Nomor 3 49

tacrolimus dan 5g dari masing masing (Hydroxypropylmethyl cellulose), hasil yang


polimer yang larut dalam air ditimbang diperoleh bahwa metode ini mampu
kemudian dilarutkan dalam campuran 50 ml meningkatkan kelarutan dari felodipin yang
etanol dan 25 ml diklorometana. Kemudian mempunyai daya larut buruk dalam air, dan
pelarut campuran ini diuapkan dengan meningkatkan laju disolusi dari felodipin
menggunakan vakum 40 ◦C, berdasarkan bila dibandingkan dengan metode pelarutan
studi stabilitas menunjukkan bahwa dengan konvensional , metode ini jauh lebih baik
metode pelarutan menggunakn polimer karena menunjukkan hasil yang signifikan
HPMC dapat meningkatkan kelarutan dari baik. [49] . Selain ini dalam penelitian [95]
tacrolimus. [94] menggunakan metode ini juga dengan
3. Metode supercritical anti-solvent menggunakan matriks PVP K30, hasil yang
precipitation (SAS) diperoleh adalah bahwa metode dengan
Metode ini digunakan dalam peningkatan matriks PVP K30 ini dapat meningkatkan
sifat fisikokimia dari zat aktif Felodipin kelarutan dan stabilitas dari Karbamazepin.
dalam sistem dispersi padat, dengan Hasil keduanya dapat dilihat sebagai berikut.
menggunakan matriks
HPMC

h
a
s
i
l
Farmaka
Volume 14 Nomor 3 50

0
F C
T :
I P
R e
n
K c
a a
r m
b u
a r
m a
a n
z k
e i
p m
i i
n a
K
s a
a r
j b
a a
m
B a
z
: e
p
P i
V n
P d
e
K n
3 g
Farmaka
Volume 14 Nomor 3 51

a P
n K
3
P 0
V d
P e
n
k g
3 a
0 n
R
D o
t
: a
v
K a
a p
r o
b r
a E : Karbamazepin dan
m PVP K30 dengan
a metode Superkritikal
z (SCP)
e
Hasil ini 4. Metode
p
menunjukan Kneading
i
bahwa dengan Metode ini
n
metode digunakan dalam
superkritikal ini penelitian
d
memberikan niali meningkatkan laju
a
FTIR yang bagus disolusi
n
dibanding metode Meloxicam yang
yang lainnya.
P
[95] .
V
Farmaka
Volume 14 Nomor 3 52

memiiki
kelarutan rendah
didalam air,
dengan
menggunakan
poloxamer 188
menunjukkan
hasil yang baik
yaitu mampu
meningkatkan
laju disolusi
Meloxicam
dengan
menggunakan
metode
Kneading.
[96] .
Farmaka
Volume 14 Nomor 3 53

Pengaruh peningkatan konsentrasi poloxamer 188 mampu


meningkatkan disolusi dari meloxicam [96]

Dalam penelitian [97] , dengan sebagainya . namun keempat metode ini


menggunakan metode ini dapat dengan matriks yang sesuai mampu
meningkatkan laju disolusi valdecoxib meningkatkan laju disolusi dan kelarutan dari
dengan menggunakan matriks PVP K30 suatu obat yang memiliki biovaibiltas dan
dengan variasi sistem biner. kelarutan yang rendah.
Persen kelarutan dari valdecoxib dalam
variasi sitem biner, menunjukkan kelarutan
yang meningkat dengan variasi sistem biner.

Dari keempat metode ini masing masing


mempunyai kelebihan dan kekurangannya,
untuk memilih salah satu dari metode ini
harus memperhatikan sifat fisikokimia dari
zat aktif suatu obat , apakah zat aktif tersebut
tahan terhadap panas, tekanan, dan lain
Farmaka
Volume 14 Nomor 3 54

Kelebihan dan kekurangan dari


masing masing metode ini
adalah sebagai berikut :
Farmaka
Volume 14 Nomor 3 55

NO METODE KELEBIHAN KEKURANGAN


1. Metode Peleburan atau Metode ini lebih - Metode ini hanya dapat
Fusi sederhana dan digunakan untuk obat dan
ekonomis pembawa yang bersifat
kompatibel dan bercampur
dengan baik pada suhu tinggi
atau suhu pemanasan.
- Kemungkinan dapat terjadi
proses pemisahan fase
selama proses pendinginan
sehingga terbentuk Kristal
dimana seharusnya dalam
proses pendinginan dispersi
padat menghasilkan bentuk
amorf.
-Obat dan pembawa yang
tidak tahan terhadap suhu
tinggi akan terurai selama
proses peleburan.
2. Metode Pelarutan Metode ini -Metode ini harus
dengan suhumenggunakan dosis rendah
yang -Apabila obat dan pembawa
diperlukan memiliki perbedaan
mampu kepolaran yang berbeda sulit
mencegah untuk dijadikan larutan
terurainya walaupun bisa ditangani
obat maupundengan menambahkan
pembawa solubilizzers atau surfaktan
dengan suhunamun terkadang jumlahnya
relative sering terurai.
rendah pada
penguapan
pelarut
organik.
3 Metode Cairan Metode ini tidak -Bergantung pada formulasi
Superkritikal toksik dan tidak dan parameter proses
mahal
[71].
Farmaka
Volume 14 Nomor 3 56

METODE MENENTUKAN TIPE SISTEM DISPERSI PADAT

1. Metode Penetapan pola difraksi Sinar X

Difraktogram sinar X Povidon K-30, Difraktogram sinar X dispersi padat bagian bawah
dispersi padat (DP) 1:9 ; 2:8 ; 3:7 dan Kolramfenikol dan bagian atas urea murni
isoxsuprini HCl
[98]
Farmaka
Volume 14 Nomor 3 57

Difraktogram sinar X dispersi padat


dari 5% gri88fulvin-95Z Polietilen
glikol 6000, spectrum atas sampel
tidak bubuk, yang bawah sampel
bubuk.
[3]

Difraktogram sinar X dispersi padat


bagian atas gri88fdvin saja dan
bagian bawah bubuk PEG 6000
Farmaka
Volume 14 Nomor 3 58

2. Metode Analisis Spektroskopi FTIR

Spektrum serapan FTIR Povidon K-30, dispersi padat (DP) 1:9 ; 2:8 ; 3:7 dan
isoxsuprini HCl
3. Metode analisis Thermal dengan Differential Scanning Calorimetry
Farmaka
Volume 14 Nomor 3 59

Thermograms DTA khas yang


Thermogram DSC Povidon K-30, sesuai dengan hipotesis
dispersi
Farmaka
Volume 14 Nomor 3 60

padat (DP) 1:9 ; 2:8 ; 3:7 dan isoxsuprini HCl sistem biner

4. Metode penentuan Disolusi

laju disolusi terhadap derajat


Grafik uji disolusi dispersi padat dan kristalinitas indornethaciiz
campuran fisik pada menit ke 45 di indometasin-polietilen glikol 6000

[98] dan [3]

KESIMPULAN enhancement of gliclazide


Sistem dispersi padat dapat digunakan using in situ
sebagai solusi dalam meningkatkan micronization by solvent change
biovaibilitas dan kelarutan dari suatu obat method. Powder
yang memiliki daya larut kecil, dengan Tech. 187: 222-300.
menggunakan matriks atau pembawa yang 2. Shargel. L, & Andrew B.C.YU.
sesuai, metode preparasi sistem dispersi (2005). Biofarmasetika dan
padat yang sesuai serta metode penentuan Farmakoterapi Terapan
tipe disprsi padat yang diinginkan. Surabaya: Airlangga Press.
3. Chiou, W.L., Riegelman, S., (1971).
DAFTAR PUSTAKA Pharmaceutical applications of
solid dispersion systems. J.
1. Varshosaz J., et al., (2008).Dissolution Pharm. Sci. 60, 1281–1302.
4. Murtha J.L., Ando H.Y.(1994).
Farmaka
Volume 14 Nomor 3 61

Synthesis of the 6. Adeyeye C.M., Price J.C. (1994).


cholesteryl ester prodrugs Development and evaluation
cholesteryl ibuprofen of sustained-release ibuprofen- wax
and cholesteryl flufenamate microspheres-II. In vitro
and their formulation into dissolution
phospholipid studies.
microemulsions. J Pharm Sci.; Pharm Res. 11(4): 575–579.
83: 1222–1228. 7. Shakhtshneider T.P., VasiltchenkoM.A.,
5. Ghorab M.K., Adeyeye M.C. (2001) Politov A.A.,
Enhancement of ibuprofen Boldyrev V.V. (1996) The
dissolution via wet granulation mechanochemical preparation
with beta- cyclodextrin. of solid disperse systems of
Pharm Dev Technol. 6(3): ibuprofen- polyethylene glycol. Int J
305–314. Pharm. 130: 25-32.
8. Craig D.Q.M. The mechanisms of
drug release from solid
dispersions in water-soluble
polymers.
Int J Pharm. 2002; 231(2): 131-144.
9. Gao P., Morozowich W. Development
of
supersaturatable selfemulsifying
drug delivery system
formulations for improving
the oral absorption of poorly soluble
drugs. Expert Opin
Drug Deliv. 2006; 3(1): 97-110.
10. Tang J., Sun J., He Z.G. Self-
emulsifying drug delivery
systems: strategy for improving oral
delivery of poorly soluble drugs.
Current Drug Therapy. 2007; 2(1):
85-93.
11. Ford J.L. The current status of solid
Farmaka
Volume 14 Nomor 3 62

dispersions.
Pharm Acta
Helv. 1986; 61:69-88.
12. FDA. Waiver of in vivo
Bioavailability and
Bioequivalence Studies for
Immediate-
Release Solid Oral Dosage Forms
based on a Biopharmaceutics
Classification System.
2000. Available
at:http://www.fda.gov/downl
oads/Drugs/GuidanceCompli
anceRegulatoryInf
ormation/Guidances/ucm070
246.pdf [Accessed
on:June 2, 2016].
13. Leuner, C., Dressman, J., 2000.
Improving drug solubility for
oral delivery
using solid
dispersions. Eur. J. Pharm.
Biopharm.
50,47–60.
14. Uddin R., Saffoon N., Huda N.H.,
Jhanker Y.M. Effect of Water Soluble
Polymers on Dissolution Enhancement
of Ibuprofen Solid Dispersion
Prepared by Fusion
Method. Stamford Journal of

Pharmaceutical Sciences. 2010;


3(1): 63-67
Farmaka
Volume 14 Nomor 3 63

15. Corrigan, O.I. Retardation of drugs in glassy solid dispersions at the

polymeric carrier dissolution nano-meter scale, using

by dispersed drugs: factors differential scanning calorimetry

influencing the dissolution of solid and gravimetric water

dispersions containing vapour

polyethylene glycols. Drug Dev sorption techniques. Int J

Ind Pharm. 1986; Pharm. 2006a; 310(1-

12(11- 13): 1777–1793. 2): 220–229.

16. Goldberg A.H., Gibaldi M., Kanig, 20. Simonelli A.P., Mehta S.C., Higuchi W.I.

J.L. Increasing dissolution Dissolution rates of high energy

rates and gastrointestinal absorption of polyvinylpyrrolidone (PVP)-

drugs via solid solutions and eutectic sulfathiazole coprecipitates. J Pharm

mixtures. Sci. 1969; 58:

I-theoretical considerations and 538–549

discussion of the literature. J 21. Karavas E., Ktistis G., Xenakis A.,

Pharm Sci. 1965; Georgarakis E. Effect of hydrogen

54:1145– 1148. bonding interactions onthe

17. Chokshi R.J., Zia H., Sandhu H.K., release mechanism of

Shah N.H., Malick W.A.Improving the felodipine from

Dissolution Rate of nanodispersions with

Poorly Water Soluble Drug by Solid polyvinylpyrrolidone.

Dispersion and Solid Solution Eur J Pharm Biopharm.2006;

—Pros and Cons. 63(2): 103–114.

Drug Delivery. 2007; 14(1): 33- 22. van Drooge D.J., Braeckmans K.,

45. Hinrichs W.L.J., Reniant K., de

18. Dhirendra K., Lewis S., Udupa N., Smedt S.C., Frijlink H.W.

Atin K. Solid Characterization of the Mode of

Dispersions: A Review. Pak J Pharm Incorporation of

Sci. 2009; Lipophilic Compounds in Solid

22 (2): 234-246. Dispersions at the Nanoscale Using

19. van Drooge D.J., Hinrichs W.L., Fluorescence Resonance

Visser M.R., Frijlink Energy Transfer (FRET).

H.W. Characterization of the MacromolRapid

molecular distribution of Commun. 2006b; 27(14): 1149–1155.


Farmaka
Volume 14 Nomor 3 64

23. Pokharkar V.B., Mandpe L.P., Estimation of physical stability of


Padamwar M.P., Ambike amorphous solid dispersion
A.A., Mahadik K.R., Paradkar A. using differential scanning
Development, characterization calorimetry.
and stabilization of J Therm Anal Calorim. 2006; 85(3):
amorphous form of a low 689–692.
Tg 27. Newa M., Bhandari K.H., Lee D.X.,
drug. Powder Technol. 2006; Sung J.H., Kim J.A., YooB.K. et al.
167(1): Enhanced Dissolution of
20–25. Ibuprofen Using Solid
24. Hasegawa S., Hamaura T., Furuyama Dispersion with Polyethylene
N., Kusai Glycol 20000. Drug Dev Ind
A., Pharm.
Yonemochi E., Terada K. Effects of 2008a; 34(10): 1013- 1021.
water content in 28. Ito A., Watanabe T., Yada S.,
physical mixture and heating Hamaura T.,
temperature on Nakagami H., Higashi K. et al.
crystallinity of troglitazone-PVP K30 Prediction of
solid recrystallization behavior of
dispersions prepared by closed
melting
method. Int J Pharm. 2005; 302(1-2):
103– 112.
25. Lloyd G.R., Craig D.Q., Smith A. A
calorimetric investigation into the
interaction between
paracetamol and polyethlene
glycol 4000 in physical mixes
and solid
dispersions. Eur J Pharm
Biopharm. 1999; 48(1):
59–65.
26. Yoshihashi Y., Iijima H., Yonemochi
E., Terada K.
Farmaka
Volume 14 Nomor 3 65

troglitazone/polyvinylpyrroli Dispersions in Polymer Blends.

done solid Drug Dev Ind Pharm. 2008; 34(3):

dispersion by solid-state NMR. Int J 336-346.

Pharm. 2010; 383(1- 32. Shinde V.R., Shelake M.R., Shetty

2): 18- S.S., Chavan-Patil A.B., Pore1

23. Y.V., Late S.G.

29. Kubo Y., Yagi N., Sekikawa H. Enhanced solubility and

Stability of dissolution rate of lamotrigine

Probucol- Polyvinylpyrrolidone by inclusion complexation and

Solid Dispersion solid dispersion technique. J Pharm

Systems, YAKUGAKU ZASSHI. Pharmacol.

2011; 2008; 60(9):

131: 1121–1129.

629-634. 33. Guyot M., Fawaz F., Bildet J., Bonini

30. Kaewnopparat N., Kaewnopparat S., F.,

Jangwang A., Maneenaun D., Lagueny A. -M.

Chuchome T.,
Physicochemical
Panichayupakaranant P.
characterization and

Increased dissolution of

Solubility,Dissolution and norfloxacin/cyclodextrin

Physicochemical Studies of inclusion compounds

Curcumin- and PEG solid dispersions. Int J

Polyvinylpyrrolidone K-30 Solid Pharm. 1995; 123(1): 53–63.

Dispersions. World Academy 34. Yao W.-W., Bai T.-C., Sun J.-P, Zhu

of C.-W., Hu J., Zhang H.-L.

Science,Engineering and Thermodynamic properties

Technology. for the system of silybin

2009; 55:229- 234 and poly(ethylene glycol)

31. Papageorgiou G.Z., Bikiaris D., 6000. Thermochim Acta. 2005;

Kanaze F.I., Karavas E., Stergiou A., 437(1-

Georgarakis E. Tailoring the Release 2): 17– 20.

Rates of Fluconazole Using 35. Chiou W.L., Riegelman S.

Solid Preparation and


Farmaka
Volume 14 Nomor 3 66

Dissolution Characteristics of and absolute


Several Fast- bioavailability assessment. Int J
Release Solid Dispersions of Pharm.
Griseofulvin.J Pharm Sci. 1969; 2000; 205(1-2): 65-78
58(12): 1505–1510. 39. Dhumal R.S., Biradar S.V., Aher S.,
36. Newa M., Bhandari K.H., Lee D.X., Paradkar A.R.
Sung J.H., Kim J.A., Cefuroxime axetil solid dispersion
Yoo B.K. et al. Enhanced with
Dissolution polyglycolizedglycerides for
of Ibuprofen Using Solid improved stability and
Dispersion with Polyethylene bioavailability. J Pharm
Glycol 20000. Drug Dev Ind Pharmacol. 2009; 61(6): 743–751.
Pharm. 2008a; 34(10): 1013- 1021. 40. Newa M., Bhandari K.H., Li D.X.,
37. Yao R., Liu L., Deng S., Ren W. Kim J.O., Yoo D.S., Kim J.- A. et
Preparation of al. Preparation and Evaluation of
Carboxymethylchitosan Immediate Release
Nanoparticles Ibuprofen Solid
with Acid-SensitiveBond Based Dispersions Using Polyethylene
on Solid Dispersion of 10- Glycol 4000. Biol Pharm
Hydroxycamptothecin. Bull. 2008b; 31(5): 939-
ISRN Pharmaceutics. 2011; 945.
Article ID 624704. 41. Preetham A.C., Satish C.S.
Available at: Formulation of a
Poorly Water- Soluble Drug
http://www.isrn.com/journals/
Sirolimus in
pharmaceutics/2011/624704/
[Accessed on: May
31, 2016].
38. Khoo S.-M., Porter C.J.H., Charman
W.N. The formulation of
Halofantrine as either non-
solubilising PEG 6000 or
solubilising lipid based
solid dispersions: Physical stability
Farmaka
Volume 14 Nomor 3 67

Solid Dispersions to Improve Sol/ArticleStandard/Article/d

Dissolution. etail/590452

Journal of Dispersion Science [Accessed on: June 5,2016].

and Technology. 2011; 45. Goddeeris C., Willems T., Houthoofd K.,

32(6): 778-783. Martens J.A.,

42. Ceballos A., Cirri M., Maestrelli F., Van den Mooter G. Dissolution

Corti G., Mura P. Influence of enhancement of the anti-HIV

formulation and process drug UC 781 by formulation in a

variables on in vitro release of ternary solid dispersion

theophylline from directly- with TPGS 1000 and Eudragit E100.

compressed Eudragit matrix Eur J

tablets. IL Farmaco. 2005; Pharm Biopharm. 2008; 70(3): 861-

60(11-12): 913–918. 868.

43. Huang J., Wigent R.J., Bentzley 46. Wiranidchapong C., Tucker I.G.,

C.M., Schwartz J.B. Nifedipine solid Rades T., Kulvanich

dispersion in microparticles of P. Miscibility and interactions

ammonio methacrylate copolymer between 17β-estradiol and Eudragit® RS

and ethylcellulose in solid dispersion. J

binary blend for Pharm Sci. 2008; 97(11): 4879–4888.

controlled drug delivery: Effect of drug 47. Sriamornsak P., Kontong S.,

loading on Weerapol Y., Nunthanid

release kinetics. Int J Pharm. J., Sungthongjeen S., Limmatvapirat S.

2006; 319(1-2): 44–54. Manufacture of Ternary Solid

44. Nollenberger K., Gryczke A., Morita T., Dispersions Composed of

Ishii T. Using Polymers to Nifedipine, Eudragit® E and

Enhance Solubility of Poorly Soluble Adsorbent. Advanced

Drugs. Pharmaceutical Technology. Materials Research. 2011;

2009. 317

Available at: – 319: 185-188.

http://pharmtech.findpharma. 48. Sahoo J., Murthy P. N., Biswal S., Manik.

com/pharmtech/Ingredients/U Formulation of Sustained-Release

sing-Polymersto- Dosage Form of

Enhance- Solubility-of- Verapamil

Poorly- Hydrochloride by Solid Dispersion


Farmaka
Volume 14 Nomor 3 68

Technique Using Eudragit Selection and animal bioavailability


RLPO or Kollidon®SR. AAPS studies of an
PharmSciTech. 2009; 10(1): 27- itraconazole amorphous solid
33. dispersion. J Pharm Sci.
49. Won D.H., Kim M.S., Lee S., Park 2010; 99(9): 3901–
J.S., Hwang S.J. Improved 3922.
physicochemical characteristics 53. Dobaria N.B., Mashru R.C., Badhan
of felodipine solid dispersion A.C., Thakkar A.R. A Novel
particles by supercritical anti- Intravaginal Delivery System for
solvent precipitation process. Itraconazole: In Vitro and In Vivo
Int J Pharm. 2005; 301(1-2): 199– Evaluation. Curr DrugDeliv. 2009;
208. 6(2): 151- 158.
50. Konno H., Taylor L.S. Influence of 54. Bikiaris D., Papageorgiou G.Z.,
different polymers on the crystallization Stergiou A., Pavlidou E., Karavas E.,
tendency of Kanaze F. et al.
molecularly dispersed amorphous Physicochemical
felodipine. studies on solid dispersions of poorly
J Pharm Sci. 2006; 95(12): 2692– water- soluble drugs:
2705. Evaluation of capabilities and
51. Ohara T., Kitamura S., Kitagawa T., limitations
Terada K. Dissolution mechanism of
poorly water- soluble drug from
extended release solid dispersion
system
with
ethylcellulose
and
hydroxypropylmethylcelluloe .Int J
Pharm. 2005; 302(1- 2): 95–102.
52. Engers D., Teng J., Jimenez-Novoa J.,
Gent P., Hossack S., Campbell C. et
al. A solid- state
approach to enable early
development compounds:
Farmaka
Volume 14 Nomor 3 69

of thermalanalysis techniques. 02015. htm

Thermochimica Acta. 2005; [Accessed on: May31, 2016].

439(1-2): 58-67 58. Tanaka N., Imai K., Okimoto K., Ueda

55. Desai J., Alexander K., Riga A. S., Tokunaga Y., Ibuki R., et al.

Characterization of polymeric Development of novel sustained-

dispersions of release system,

dimenhydrinate in ethyl disintegrationcontrolled

cellulose for controlled release. matrix tablet (DCMT) with

Int solid dispersion granules of nilvadipine

J Pharm. 2006; 308(1-2): 115–123. (II): In vivo evaluation. J

56. Verreck G., Decorte A., Heymans K., Contr Release. 2006; 112(1):

Adriaensen J., Cleeren D., Jacobs A. 51–56.

et al. The effect of 59. Tanaka N., Imai K., Okimoto K., Ueda

pressurized carbon dioxide as a S., Tokunaga Y., Ohike A. et al.

temporary plasticizer andfoaming Development of novel sustained-

agent on the hot stage extrusion release system,

process and disintegrationcontrolled matrix tablet

extrudate properties of solid (DCMT) with solid dispersion

dispersions of itraconazole granules ofnilvadipine. J Contr

with PVP-VA 64. Release. 2005; 108 (2-3): 386–

Eur J Pharm Sci. 2005; 26(3-4): 395.

349–358. 60. Tiwari G., Tiwari R., Srivastava B.,

57. Ying L., Jiang C., Meihua H., Rai A.K.

Xueying Y., Xiangtao Development and optimization of

W. Preparation and in Vitro multi-unit solid dispersion systems of

Release Evaluation of poorly water soluble

Isoniazid Solid Dispersion. drug. Research J Pharm and

Chinese Journal of Modern Tech. 2008; 1(4): 444-

Applied Pharmacy. 449

2011. Issue 61. Park Y.-J., Ryu D.-S., Li D.X., Quan

02. Abstract available Q.Z., Oh D.H., Kim

at: J.O. et al. Physicochemical

http://en.cnki.com.cn/Article_ characterization of

en/CJFDTOTALXDYD2011 tacrolimus-loaded solid dispersion


Farmaka
Volume 14 Nomor 3 70

with sodium incorporation of superdisintegrants.


carboxylmethyl Eur J Pharm Biopharm.
cellulose and sodium 2009; 73(1): 154-161.
lauryl sulfate. Arch Pharm 66. Li F.Q., Hu J.H., Deng J.X., Su H.,
Res. 2009; 32(6): 893-898. Xu S., Liu
62. García-Zubiri I.X., González-Gaitano J.Y. In vitro controlled release of
G., Isasi J.R. Thermal stability of sodium ferulate from Compritol 888
solid dispersions of ATO-based matrix
naphthalene tablets. Int
derivatives with J Pharm. 2006; 324(2): 152–157.
[beta]- cyclodextrin and 67. Karataş A., Yüksel N., Baykara T.
[beta]- cyclodextrin Improved solubility and dissolution
polymers. Thermochim rate of piroxicam using gelucire
Acta. 2006;444 (1): 57–64. 44/14 and labrasol. Farmaco. 2005;
63. Rodier E., Lochard H., Sauceau M., 60(9): 777–782.
Letourneau J.J., Freiss B., Fages J. A 68. Chauhan B., Shimpi S., Paradkar A.
three step supercritical Preparation and evaluation
process to improve the dissolution rate of glibenclamide- polyglycolized
of Eflucimibe. Eur J
Pharm Sci. 2005; 26(2):
184– 193.
64. Rahman Z., Zidan A.S., Khan M.A.
Risperidone solid dispersion for orally
disintegrating
tablet: Its formulation
design and non-
destructive methods of
evaluation. Int J
Pharm. 2010; 400(1-2): 49- 58.
65. Srinarong P., Faber J.H., Visser M.R.,
Hinrichs W.L.J.,
Frijlink H.W. Strongly enhanced
dissolution rate of fenofibrate
solid dispersion tablets by
Farmaka
Volume 14 Nomor 3 71

glycerides solid dispersions with Bateman S.,

silicon dioxide by spray drying Serajuddin A.T. Development of

technique. Eur J Pharm Sci. 2005; clinical dosage forms

26(2): 219– 230. for a poorly water soluble drug I:

69. Karataş A., Yüksel N., Baykara T. Application of polyethylene

Improved solubility and dissolution glycol- polysorbate 80

rate of piroxicam using solid dispersion carrier system.

gelucire 44/14 and labrasol. J Pharm Sci. 2004; 93(5): 1165–

Farmaco.2005; 1175.

60(9): 777–782. 74. Mesnukul A., Yodkhum K., Phaechamud

70. Tran H.T., Park J.B., Hong K.H., Choi T. Solid Dispersion Matrix Tablet

H.G., Han H.K., Lee J. et al. Comprising

Preparation and characterization of pH- Indomethacin- PEG-HPMC

independent sustained release tablet Fabricatedwith Fusion

containing solid dispersion and Mold Technique. Indian J

granules of a Pharm Sci. 2009; 71(4):

poorly water-soluble drug. Int J 413–420.

Pharm. 2011; 415(1- 2):838. 75. Janssens S., Denivelle S., Rombaut P.,

71. Majerik V., Charbit G., Badens E., Van den Mooter G. Influence of

Horváth G., Szokonya polyethylene glycol chain length

L.,Bosc N. et al. Bioavailability on compatibility and release

enhancement of an active characteristics of ternary solid

substance by dispersions of itraconazole

supercritical antisolvent in

precipitation. J Supercrit polyethyleneglycol/hydroxyp

Fluids. 2007; 40(1): 101–110. ropylmethylcellulose 2910 E5

72. Newa M., Bhandari K.H., Oh D.H., Kim blends. Eur J Pharm

Y.R., Sung J.H., Kim J.O. et al.


Sci.2008;
Enhanced dissolution of
35(3): 203-210.
ibuprofen using solid dispersion
76. Vasconcelos T., Sarmento B., Costa P.
with poloxamer 407. Arch Pharm
Solid dispersions as strategy to
Res. 2008c; 31(11): 1497-
improve oral bioavailability
1507.
of poor
73. Dannenfelser R.M., He H., Joshi Y.,
Farmaka
Volume 14 Nomor 3 72

water soluble drugs. Drug ketoprofen dalam sistem dispersi


Discov Today. 2007; 12 (23/24): padat ketoprofen-PEG 4000. Dalam
1068-1075. Maj. Farm. Indones. Fak. Farm.
77. Serajuddin A.T.M. Solid Dispersion of UJAY Dan ITB Hlm 57–62.
Poorly Water- Soluble Drugs: 82. Henrist D., Lefebvre R.A., RemonJ.P.
Early Promises, Bioavailability of starch based hot
Subsequent Problems, and Recent stage extrusion
Breakthroughs. J Pharm formulations. Int J Pharm. 1999; 187(2):185-
Sci. 1999; 88(10): 1058-1066. 91.
78. Vasanthavada M., Tong W.Q., Joshi Y., 83. Roth W., Setnik B., Zietsch M., Burst
Kislalioglu M.S. Phase A., Breitenbach J., Sellers E. et al.
behavior of amorphous Ethanol effects on
molecular dispersions I: Determination drug
of the degree and mechanism of
solid solubility. Pharm Res. 2004;
21(9): 1598–1606.
79. Johari G.P., Kim S., Shanker R.M.
Dielectric studies of molecular
motions in amorphous solid
and ultraviscous acetaminophen. J
Pharm Sci. 2005;
94(10): 2207–2223.
80. Wang X., Michoel A., Van den
Mooter G.
Solid state characteristics of ternary
solid dispersions composed
of PVP VA64, Myrj 52 and
itraconazole. Int J Pharm. 2005; 303(1-
2): 54–61.
81. Alatas, F., Nurono, S., Asyarie, S.,
2006.
Pengaruh konsentrasi PEG 4000
terhadap laju
disolusi
Farmaka
Volume 14 Nomor 3 73

release from Verapamil Meltrex®, Pharm Res. 2002;

an innovative melt extruded 19(11): 1663– 1672.

formulation. Int J Pharm. 2009; 88. Seo A., Holm P., Kristensen H.G.,

368(1-2): 72-75. Schaefer T. The

84. Breitenbach J., Lewis J. (2003). Two preparation of

concepts, one agglomerates containing

technology:controlled release and solid dispersions of diazepam

solid dispersion with by melt agglomeration in a high shear

meltrex. In: mixer. Int J Pharm. 2003; 259(1-

Rathbone 2): 161–171.

M.J.,Hadgraft J., Roberts M.S. 89. Dittgen M., Fricke S., Gerecke H.,

(Ed.) Modified Release Drug Osterwald H. Hot spin mixing: a new

Delivery Technology (pp. technology to manufacture solid

125– dispersions- part 1: testosterone.

134). USA: Marcel Dekker


Pharmazie. 1995a; 50: 225- 226.
85. Wacker S., Soliva M., Speiser P.
90. Dittgen M., Fricke S., Gerecke H.,
Injection molding as a suitable
Osterwald H. Hot spin mixing: a new
process for manufacturing solid
technology to manufacture solid
dispersions or solutions,
dispersions- part 3: progesterone.
Pharmazeutische
Industrie. 1991; 53: 853-856. Pharmazie. 1995c; 50: 507- 508.
86. Johansen A., Schaefer T., Kristensen 91. Dittgen M., GraÈser T., Kaufmann
H.G. Evaluation of melt G., Gerecke H., Osterwald
agglomeration properties H., Oettel M. Hot spin mixing: a
of polyethylene glycols using a mixer new technology to
torque rheometer. Int J manufacture solid dispersions- part 2:
Pharm. 1999; dienogest. Pharmazie.
183(2):155-64. 1995b; 50: 50- 51.
87. Gupta M.K., Tseng Y.C., Goldman D., 92. Tachibana T., Nakamura A. A method
Bogner R.H. for preparing an aqueous colloidal
Hydrogen bonding with adsorbent dispersion of organic materials by
during storage governs drug using water-soluble polymers:
dissolution from dispersion of beta- carotene by
solid- dispersion granules. polyvinylpyrrolidone. Colloid &
Farmaka
Volume 14 Nomor 3 74

Polymer Science. 1965; 97. Modi, A., Tayade, P., 2006.


203(2):130-133. Enhancement of dissolution profile
93. Betageri, G.V., Makarla, K.R. 1995, by solid dispersion (kneading)
Enhancement technique. AAPS Pharmscitech 7, E87–
of Dissolution of Glyburide by E92.
Solid Dispersion and 98. Taslim, T., Halim, A., Suardi, M.,
Lyophilization Techniques. Int. 2010. STUDI SISTEM
J. Pharm, 126: DISPERSI PADAT ISOXSUPRINE
155-160 HCL POVIDON K-30. J. Sains Dan
94. Yamashita, K., Nakate, T., Okimoto, Teknol. Farm. 15
K., Ohike,
A., Tokunaga, Y., Ibuki, R., Higaki,
K., Kimura, T., 2003.
Establishment of new preparation
method for solid dispersion
formulation of tacrolimus. Int.
J.
Pharm. 267,79–91.
95. Sethia, S., Squillante, E., 2004. Solid
dispersion of
carbamazepine in PVP K30 by
conventional solvent evaporation and
supercritical methods.
Int. J.
Pharm. 272, 1– 10.
96. Ghareeb, M.M., Abdulrasool, A.A.,
Hussein, A.A.,
Noordin, M.I., 2009. Kneading
technique
for preparation of binary solid
dispersion of meloxicam with
poloxamer 188. Aaps
Pharmscitech 10,
1206–1215.
Jurnal Sains Farmasi & Klinis, 3
(2), 165-171

Jurnal Sains Farmasi & Klinis


(p- ISSN: 2407-7062 | e-ISSN: 2442-5435)

diterbitkan oleh Ikatan Apoteker


Indonesia - Sumatera Barat homepage:
http://jsfkonline.org

Pembentukan Sistem Dispersi Padat Amorf Azitromisin DiThidrat dengan


Hikroksipropil Metilselulosa (HPMC)

{Preparation of amorphous solid dispersion of azithromycin dihydrate


with hydroxypropyl methylcellulose (HPMC)}

Erizal Zaini1*, Netty Novitasari2 & Maria Dona Octavia2


1
Fakultas Farmasi Universitas Andalas
2
Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi (STIFARM) Padang
Keyword ABSTRACT: The aim of present study is to develop solid dispersion system
s: Azithromycin of azithromycin dihydrate with hydroxypropyl methylcellulose E5 LV
dihydrate; (HPMC) for improving the dissolution rate of azithromycin dihydrate.
hydroxypropyl Amorphous solid dispersions were prepared by solvent method at 1:1; 1:2 and
methylcellulose; 2:1 (w/w) drug to polymer ratios. Solid state properties of amorphous solid
amorphous solid dispersion were evaluated by X-ray powder diffraction (XRPD), scanning
dispersion; electron microscopy and spectroscopy FT-IR. Furthermore, the dissolution rate
dissolution profile was investigated by type II USP dissolution apparatus. Based on X-ray
rate. powder diffractometry analysis, azithromycin dihydrate was transformed
partially from the crystalline phase to the amorphous state as confirmed by
significant reduction of the crystalline peaks intensity. FT-IR spectroscopy
analysis revealed the absence of chemical interaction between azithromycin
dihydrate and HPMC. The dissolution rate of azithromycin dihydrate from
amorphous solid dispersion was substantially higher than azithromycin
dihydrate intact and its physical mixture. The dissolution rate of azithromycin
dihydrate increased with an increasing drug to polymer ratio.
Kata ABSTRAK: Tujuan penelitian ini untuk mengembangkan sistem dispersi
kunci: padat azitromisin dihidrat dengan pembawa hidroksipropil metilselulosa
azitromisin E5 LV agar laju disolusi azitromisin dihidrat meningkat. Dispersi padat
dihidrat; amorf dibuat dengan metode pelarutan pada perbandingan obat : polimer
hidroksipro 1:1; 1:2 and 2:1. Sifat padatan dispersi padat amorf dievaluasi dengan
pil analisa difraksi sinar-X, mikroskopik SEM dan spekroskopi FT-IR. Lebih
metilselulosa; lanjut, profil laju disolusi dilakukan dengan alat uji disolusi tipe II
dispersi padat USP. Menurut analisa difraksi sinar-X, azitromisin dihidrat mengalami
amorf; laju transformasi sebagian dari fase kristalin ke fase amorf, yang diindikasikan
disolusi. dengan penururan secara signifikan puncak-puncak difraksi pada
difraktogram. Analisis spektroskopi FT-IR membuktikan tidak terjadi
interaksi secara kimiawi antara obat dan pembawa. Laju disolusi
azitromisin dihidrat dari sistem dispersi padat amorf lebih tinggi
dibandingkan azitromisin dihidrat murni dan campuran fisika. Laju
disolusi azitromisin dihidrat meningkat dengan peningkatan rasio obat :
polimer.

PENDAHULUAN mengobati infeksi pada bronkus, infeksi


kulit dan peradangan pada tonsil. Namun

Azitromisin merupakan senyawa azitromisin memiliki kelarutan yang rendah

antibiotik turunan makrolida dan salah satu dalam air, sehingga absorpsinya setelah

senyawa antibiotik yang paling populer pemberian oral sangat rendah, yang akan

digunakan di dunia. Senyawa antibiotik mempengaruhi efektivitas terapetiknya.

diberikan secara oral untuk Berdasarkan sistem klasifikasi


biofarmasetika,

*Corresponding Author: Erizal Zaini (Fakultas Article History:


Farmasi Universitas Andalas, Kampus Received: 01 May 2017 Accepted: 08 May
Limau Manis, Kec. Pauh, Kota Padang, 2017
Sumbar 21563). email: Published: 21 May 2017 Available online: 30
erizal@ffarmasi.unand.ac.id May 2017

165
Pembentukan Sistem Dispersi Padat Amorf Azitromisin Dihidrat dengan… | Zaini, dkk.

profil laju disolusi dalam medium disolusi.


obat ini masuk kategori kelas II, yaitu obat
dengan kelarutan rendah dan permeabilitas METODE PENELITIAN
tinggi. Proses absorpsi obat ini dalam saluran
cerna akan dibatasi oleh tahap disolusi.
Bahan
Peningkatan laju disolusi obat kelas ini akan
Azitromisin dihidrat diperoleh dari Baoji
secara bermakna meningkatkan ketersediaan
Guakang Bio-Technology Co.Ltd, China.
hayati dalam plasma [1,2].
Hidroksipropil metilselulosa (HPMC E5LV)
Beberapa teknik telah dilakukan untuk
diperoleh dari Wuhan Senwayer Century
memperbaiki kelarutan dan laju disolusi
Chemical Co.Ltd., China. Etanol 96%
senyawa obat yang sukar larut dalam air,
diperoleh
diantaranya, pengurangan ukuran partikel
(micronization), pembentukan fase
multikomponen kristal dan desain sistem
dispersi padat [3,4,5]. Secara umum sistem
dispersi padat merupakan, dispersi senyawa
aktif farmasi dalam bentuk molekular, fase
amorf atau partikel halus dalam pembawa inert
yang berada dalam keadaan padat. Polimer
hidrofilik lazim digunakan sebagai pembawa
dalam sistem dispersi padat antara lain; PVP
K-30, PEG 3000 dan 6000 serta polimer
turunan selulosa (HPC dan HPMC) [6,7].
Tujuan dari penelitian ini, adalah
mendesain pembentukan sistem dispersi padat
azitromisin dihidrat dengan polimer
hikroksipropil metilselulosa dengan metode
pelarutan. Perbandingan obat dengan polimer
dibuat 1:2; 1:1 dan 2:1. Serbuk sistem dispersi
padat dikarakterisasi sifat padatannya dengan
analisa difraksi sinar-X serbuk, mikroskopik
dengan Scanning Electron Microscope (SEM)
dan spekroscopi FT-IR. Peningkatan laju
disolusi azitromisin dihidrat dari sistem
dispersi padat dievaluasi dengan penentuan

166 Jurnal Sains Farmasi & Klinis | Vol. 03 No. 02 | Mei


2017
Pembentukan Sistem Dispersi Padat Amorf Azitromisin Dihidrat dengan… | Zaini, dkk.
Pengamatan morfologi partikel dilakukan
dari PT.Bratachem. Asam klorida dan dengan alat SEM (HITACHI type S-3400N,
metanol diperoleh dari Merck, Germany. Japan). Serbuk disalut dengan lapisan tipis
gold palladium pada kondisi vakum.
Pembuatan sistem dispersi padat Kemudian sampel serbuk discan dan mikrofoto

Sistem dispersi padat azitromisin dan diambil dengan alat SEM pada perbesaran

HPMC dengan perbandingan 1:2; 1:1 dan yang tepat.

2:1 b/b dibuat dengan metode pelarutan.


Azitromisin dan polimer dilarutkan dalam Analisis spektroskopi FT-IR

etanol 96 % dengan bantuan pengaduk Spektrum inframerah azitromisin, sistem


magnetik. Kemudian larutan diuapkan
dalam oven vakum pada suhu 40-50 °C
sampai kering dan massa yang terbentuk
digerus dan dilewatkan melalui ayakan mesh
70. Dan disimpan dalam desikator. Sebagai
pembanding juga dibuat campuran fisika
azitromisin dan HPMC pada perbandingan
1:1, dengan pencampuran ringan
menggunakan spatula.

Analisis difraksi sinar-X serbuk

Perubahan sifat padatan sistem dispersi


padat diamati dengan analisa difraksi sinar-X
serbuk, dengan menggunakan diffraktometer
sinar-X (X’Pert XRD Powder type PW 30/40
PANalytical, The Netherlands). Serbuk
sistem dispersi padat, azitromisin dan
campuran fisika diletakkan dalam sampel
holder serta diratakan untuk mencegah
orientasi partikel serbuk. Analisis dilakukan
pada sudut difraksi 2 theta 5-50°. Kondisi
pengukuran sebagai berikut; logam target Cu,
Kα filter, voltase 45 kV dan arus 40 mA.

Analisis morfologi partikel dengan Scanning


Electron Microscope (SEM)
166 Jurnal Sains Farmasi & Klinis | Vol. 03 No. 02 | Mei
2017
Pembentukan Sistem Dispersi Padat Amorf Azitromisin Dihidrat dengan… | Zaini, dkk.

dispersi padat dan campuran fisika diperoleh


dengan alat Spektrofotometer FT-IR (Thermo HASIL DAN DISKUSI
Scientific, USA). Sample didispersikan dalam
serbuk kalium bromida dan dikompressi
Senyawa obat yang sukar larut dalam air
menjadi pellet. Spektrum sampel direkam pada
seringkali mengalami masalah absorpsi dalam
bilangan gelombang 400-4000 cm-1.
medium saluran cerna. Hampir 40 % lebih
senyawa aktif obat memiliki sifat kelarutan
Profil laju disolusi
yang rendah dalam air dan lebih kurang 80-90
Penentuan profil laju disolusi azitromisin % kandidat bahan aktif obat baik yang berasal
dilakukan dengan menggunakan alat disolusi dari alam maupun sintetis yang sedang dalam
USP tipe II (Copley, Scientific Type NE4- tahap riset dan pengembangan di industri
COPD, UK). Medium yang digunakan larutan farmasi juga mengalami permasalahan
0,1 N asam klorida sebanyak 900 mL. kelarutan dalam air yang rendah [8,9].
Kecepatan pengadukan diatur pada 75 putaran Kelarutan dan laju disolusi senyawa obat padat
per menit. Suhu medium disolusi akan mempengaruhi proses absorbsi dalam
dipertahankan pada 37±0,5°C. Sampel yang medium saluran cerna dan pada akhirnya akan
setara dengan 250 mg azitromisin dihidrat menyebabkan ketersediaan hayati molekul
dimasukkan dalam labu disolusi. Kadar obat dalam sirkulasi sistemik akan menurun.
azitromisin yang terlarut pada menit ke 5, 10, Beberapa pendekatan dapat dilakukan untuk
15, 30, 45, dan 60 ditentukan secara meningkatkan kelarutan dan laju disolusi
spektrofotometri UV-Vis pada panjang diantaranya dengan modifikasi sifat padatan
gelombang serapan maksimum 208,4 nm. senyawa obat padat dengan teknik sistem
Pengujian dilakukan sebanyak tiga kali dispersi padat. Pada sistem dispersi padat fase
pengulangan. kristalin obat akan dirubah menjadi

Jurnal Sains Farmasi & Klinis | Vol. 03 No. 02 | Mei 167


2017
Pembentukan Sistem Dispersi Padat Amorf Azitromisin Dihidrat dengan… | Zaini, dkk.

Gambar 1. Difraktogram sinar-X serbuk A) azitromisin dihidrat murni, B) HPMC E5LV,


C) campuran fisika, D) dispersi padat 1:1, E) dispersi padat 1:2 dan F) dispersi padat 2:1.

Jurnal Sains Farmasi & Klinis | Vol. 03 No. 02 | Mei 167


2017
Pembentukan Sistem Dispersi Padat Amorf Azitromisin Dihidrat dengan… | Zaini, dkk.

fase amorf atau amorf sebagian. Fase amorf penurunan intensitas puncak-puncak difraksi
suatu senyawa padat merupakan bentuk dari azitromisin dihidrat secara signifikan.
yang kaya energi (high energetic forms), yang Semakin banyak perbandingan jumlah polimer
memiliki kelarutan dan laju disolusi yang hidrofilik HPMC, maka penurunan derajat
lebih tinggi dari fase kristalinnya [5,6]. kristalinitas fase kristalin azitromisin dihidrat
Difraktogram sinar-X azitromisin dihidrat juga semakin besar. Hasil analisa difraksi
murni, campuran fisika dan sistem dispersi sinar-X serbuk menunjukkan senyawa obat
padat dengan HPMC ditampilkan pada padat azitromisin dihidrat terdispersi secara
Gambar 1. keberadaan sejumlah puncak- homogen dalam bentuk fase amorf pada
puncak difraksi yang khas pada 2 theta: pembawa inert polimer HPMC. Pada fase
16,58º; 18,70º, 19,73º; dan 20,77º amorf, molekul-molekul senyawa obat
menunjukkan azitromisin dihidrat merupakan tersusun secara acak dalam kisi kisi kristalin,
fase padat yang bersifat sangat kristalin. dan ikatan kisi-kisi kristal lemah. Oleh
Difraktogram polimer HPMC menunjukkan karenanya, fase amorf memiliki kelarutan dan
pola halo amorf yang khas untuk padatan laju disolusi yang lebih tinggi dibandingkan
polimerik dan tidak puncak-puncak difraksi fase kristalin [10].
yang khas dan tajam. Pada difraktogram Analisa mikroskopik dengan Scanning
campuran fisika azitromisin dihidrat dan Electron Microscope untuk melihat morfologi
HPMC 1:1, masih terlihat jelas puncak-puncak dan ukuran partikel sistem dispersi padat
difraksi khas dari azitromisin dihidrat, disajikan pada Gambar 2. Serbuk azitromisin
meskipun dengan intensitas yang lebih rendah. dihidrat murni terlihat berupa padatan kristal
Pola difraktogram sistem dispersi padat balok dengan permukaan bersih. Sedangkan
azitromisin dihidrat–HPMC, terlihat dengan polimer HPMC berupa partikel dengan habit
jelas seperti serat serat

168 Jurnal Sains Farmasi & Klinis | Vol. 03 No. 02 | Mei


2017
Pembentukan Sistem Dispersi Padat Amorf Azitromisin Dihidrat dengan… | Zaini, dkk.

Gambar 2. Mikrofoto SEM serbuk: A) azitromisin dihidrat murni, B) HPMC E5LV, C)


campuran fisika, D) dispersi padat 1:1, E) dispersi padat 1:2 dan F) dispersi padat 2:1.
Perbesaran foto 100 x.

168 Jurnal Sains Farmasi & Klinis | Vol. 03 No. 02 | Mei


2017
Pembentukan Sistem Dispersi Padat Amorf Azitromisin Dihidrat dengan… | Zaini, dkk.

Gambar 3. Spektrum FT-IR: A) azitromisin dihidrat murni, B) HPMC E5LV, C) campuran


fisika, D) dispersi padat 1:1, E) dispersi padat 1:2 dan F) dispersi padat 2:1.

yang memanjang dengan distribusi ukuran teknik yang handal untuk mendeteksi adanya
partikel yang seragam. Mikrofoto SEM serbuk interaksi antara senyawa obat dengan
campuran fisika merupakan gabungan habit pembawa pada sistem dispersi padat. Adanya
kristal azitromisin dihidrat dan HPMC, puncak transmitan yang baru atau terjadi
sehingga secara jelas masih bisa dibedakan pergeseran posisi puncak transmitan pada
masing-masingnya. Mikrofoto SEM sistem bilangan gelombang tertentu, seringkali
dispersi padat (Gambar 2D-F), menunjukkan mengindikasikan adanya interaksi seperti
penurunan distribusi ukuran partikel serbuk ikatan hidrogen [11]. Gambar
secara bermakna, habit kristal senyawa
azitromisin tidak bisa lagi dibedakan dari
polimer HPMC. Secara umum partikel fase
kristalin azitromisin dihidrat terdispersi secara
homogen dalam pembawa polimerik HPMC.
Analisa spekroskopi FT-IR merupakan

Jurnal Sains Farmasi & Klinis | Vol. 03 No. 02 | Mei 169


2017
Pembentukan Sistem Dispersi Padat Amorf Azitromisin Dihidrat dengan… | Zaini, dkk.
3 menampilkan spektrum FT-IR azitromisin
dihidrat, HPMC, campuran fisika dan sistem
dispersi padat. Spektrum azitromisin dihidrat
murni menunjukkan pola transmitan yang
khas yaitu, regangan gugus fungsi C=O pada
bilangan gelombang 1720,58 cm-1, regangan
asimetrik gugus fungsi C-O-C pada bilangan
gelombang 1378,88 cm-1; dan regangan
simetrik gugus fungsi C-O-C 1343,95 cm-1
[1]. Spektrum FT-IR campuran fisika dan
sistem dispersi padat memiliki pola yang
sama, hanya merupakan superimposisi dari
kedua transmitan senyawa azitromisin dan
HPMC. Pola spektrum pada daerah sidik
jari (finger print) juga identik. Hal ini
membeuktikan tidak terjadi interaksi secara
kimiawi antara senyawa azitromisin dihidrat
dan polimer HPMC [12].
Profil disolusi serbuk azitromisin dihidrat
murni, campuran fisika dan serbuk sistem
dispersi padat ditampilkan pada Gambar 4.
Studi laju disolusi dilakukan pada medium
larutan asam

Jurnal Sains Farmasi & Klinis | Vol. 03 No. 02 | Mei 169


2017
Pembentukan Sistem Dispersi Padat Amorf Azitromisin Dihidrat dengan… | Zaini, dkk.

Gambar 4. Profil laju disolusi serbuk A) azitromisin murni, B) campuran fisika, C)


dispersi padat 2 :1, D) dispersi padat 1:1 dan E) dispersi padat 1:2.

klorida 0,1 N dan suhu dipertahankan pada HPMC dalam medium yang dapat
37±0,5°C. Berdasarkan hasil profil laju meningkatkan daya keterbasahan azitromisin
disolusi, sistem dispersi padat azitromisin dihidrat. Pada sistem dispersi padat azitromisin
dihidrat-HPMC pada berbagai perbandingan dihidrat dalam polimer HPMC, zat aktif
polimer menunjukkan laju disolusi yang lebih terdispersi secara homogen dalam ukuran
tinggi secara bermakna dibandingkan partikel yang halus dan bentuk amorf.
azitromisin murni dan campuran fisika. Fenomena ini yang sangat berkontribusi
Azitromisin dihidrat murni pada menit ke terhadap peningkatan laju disolusi azitromisin
60 hanya terdisolusi 59,38 %, sedangkan dihidrat dalam sistem dispersi padat. Hasil
campuran fisika pada menit ke 60 telah
terdisolusi 75,33 %. Sistem dispersi padat
azitromisin-HPMC (perbandingan 2:1; 1:1;
dan 1:2) pada menit ke 60 secara berturut turut
terdisolusi 87,53; 92,20 dan 102,12 %. Laju
disolusi campuran fisika lebih tinggi dari
azitromisin dihidrat murni disebabkan oleh
adanya efek solubilisasi polimer hidrofilik

170 Jurnal Sains Farmasi & Klinis | Vol. 03 No. 02 | Mei


2017
Pembentukan Sistem Dispersi Padat Amorf Azitromisin Dihidrat dengan… | Zaini, dkk.
penelitian ini konsisten dengan beberapa
studi sebelumnya bahwa desain dan
formulasi sistem dispersi padat secara
signifikan meningkatkan laju disolusi dan
kelarutan [5,13,14]. mekanisme yang terlibat
dalam peningkatan laju disolusi senyawa
obat yang sukar larut air dari sistem
dispersi padat adalah melalui pengurangan
ukuran partikel senyawa aktif obat,
penurunan derajat kristalinitas (pembentukan
fase amorf dan amorf sebagian) dan
peningkatan daya keterbasahan senyawa
obat yang bersifat hidrofobik [6,7,10].

KESIMPULAN

Dari Hasil penelitian dapat disimpulkan


bahwa, pembentukan sistem dispersi padat
azitromisin dihidrat dalam pembawa
HPMC dapat merubah derajat kristalinitas
azitromisin. Sistem dispersi padat dengan
pembawa polimer HPMC dapat sebagai
alternatif menarik untuk meningkatkan laju
disolusi azitromisin dihidrat dalam medium
disolusi.

170 Jurnal Sains Farmasi & Klinis | Vol. 03 No. 02 | Mei


2017
Pembentukan Sistem Dispersi Padat Amorf Azitromisin Dihidrat dengan… | Zaini, dkk.

DAFTAR PUSTAKA

1. Adeli, E., & Mortazavi, S. A. (2014). Design, formulation and


evaluation of Azithromycin binary solid dispersions using
Kolliphor series for the solubility and in vitro dissolution rate
enhancement. Journal of Pharmaceutical Investigation, 44(2),
119-131.
2. Adeli, E. (2014). A comparative evaluation between utilizing
SAS supercritical fluid technique and solvent evaporation
method in preparation of Azithromycin solid dispersions for
dissolution rate enhancement. The Journal of Supercritical
Fluids, 87, 9-21.
3. Vogt, M., Kunath, K., & Dressman, J. B. (2008). Dissolution
enhancement of fenofibrate by micronization, cogrinding and
spray-drying: comparison with commercial preparations.
European Journal of Pharmaceutics and Biopharmaceutics,
68(2), 283-288.
4. Dwichandra Putra, O., Yonemochi, E., & Uekusa, H. (2016).
Isostructural Multicomponent Gliclazide Crystals with
Improved Solubility. Crystal Growth & Design, 16(11), 6568-
6573.
5. Fitriani, L., Haqi, A., & Zaini, E. (2016). Preparation and
characterization of solid dispersion freeze-dried efavirenz฀
polyvinylpyrrolidone K-30. Journal of Advanced Pharmaceutical
Technology & Research, 7(3), 105.
6. Chiou, W. L., & Riegelman, S. (1971). Pharmaceutical
applications of solid dispersion systems. Journal of
pharmaceutical sciences, 60(9), 1281-1302.

Jurnal Sains Farmasi & Klinis | Vol. 03 No. 02 | Mei 171


2017
Pembentukan Sistem Dispersi Padat Amorf Azitromisin Dihidrat dengan… | Zaini, dkk.

Jurnal Sains Farmasi & Klinis | Vol. 03 No. 02 | Mei 171


2017
Pembentukan Sistem Dispersi Padat Amorf Azitromisin Dihidrat dengan… | Zaini, dkk.

Jurnal Sains Farmasi & Klinis | Vol. 03 No. 02 | Mei 171


2017
DAFTAR PUSTAKA

Amalia, lala. 2009. Emulsi. Tersedia online di

http://ladytulipe.wordpress.com/2009/01/04/emulsi/

Andayani. 2011. Pengertian dispersi. Available online at


Http://id.shucang.com/exact-
sciences/physics/210891.pengertian_dispersi

Anief, m., (1999). Sistem dispersi, formulasi suspensi dan emulsi. Yogyakarta :
gadjah mada university press.

Anief. 2000. Ilmu meracik obat, teori dan praktek. Jogjakarta : ugm press kopeliovich,
d.2013.Classification of dispersion. Available online at
Http://www.substech.com/dokuwiki/doku.php?
Id=classification_of_dispersions
Aulton. 2003. Pharmaceites the sciences of dosage form design. New York :
Chudill living
Henrayani. 2010. Dispersi. Available online at
http://kimia.upi.edu/utama/bahan-ajar-
kuliah-web/2010/70085/materi.html

Martin, a., swarbrick, j., dan cammarata, a. 2008. Farmasi fisik: dasar-dasar kimia
fisika dalam ilmu farmasetika. Ui press. Jakarta.

Nuranimahabah. 2009, koloid suspense larutan (kimia). Tersedia online di


http://nuranimahabbah.wordpress.com/2009/05/16/koloid-suspensi- larutan-
kimia/

Ratna dkk. 2009. Koloid liofil dan koloid liofob. Tersedia di http://www.chem- is-
try.org/materi_kimia/kimia-smk/kelas_x/koloid-liofil-dan-koloid-liofob/

Sumardjo, d. 2006. Pengantar kimia. Egc. Jakarta.


Syamsyuni. 2006. Ilmu Resep. Jakarta : EGC

Wikipedia. 2014. Dispersion (chemistry). Available online at


http://en.wikipedia.org/wiki/dispersion_(chemistry)

Anda mungkin juga menyukai