Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH PATOLOGI KLINIK

“DIABETES MELLITUS PADA KUCING”

DISUSUN
OLEH:
Maghfirah Islamiah Ahmad C031181311
Femmy Gelia C031181313
Nabila Azzah J C031181516
Ahmad Syahrir Ridho Sukriansyah C031181515
Alfianti Hamzah C031181512
Nurul Azizah Awaliyah Rahman C031181518
Anggi Aprianti C031181519

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN FAKULTAS


KEDOKTERAN UNIVERSITAS
HASANUDDIN MAKASSAR
2021
-
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
natikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik
itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah PATOLOGI KLINIK dengan judul
“DIABETES MELLITUS PADA KUCING”

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik
serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah
yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis
mohon maaf yang sebesar-besarnya.Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
khususnya kepada dosen kami yang telah membimbing dalam menulis makalah ini.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Makassar, 19 oktober 2021

penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI............................................................................................................................i
BAB 1 PENDAHULUAN
1. Latar belakang............................................................................................................1
2. Rumusan Masalah......................................................................................................2
3. Tujuan..........................................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. ETIOLOGI..................................................................................................................3
B. TANDA KLINIS.........................................................................................................3
C. PATOGENESA...........................................................................................................3
D. PREDISPOSISI...........................................................................................................4
E. DIAGNOSA.................................................................................................................4
F. DIAGNOSA BANDING.............................................................................................5
G. PENGOBATAN DAN PENCEGAHAN...................................................................5
H. CONTOH STUDI KHASUS......................................................................................6
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN...........................................................................................................9
B. SARAN.........................................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA

i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Kucing termasuk hewan mamalia karnivora karena secara garis besar kucing
merupakan hewan bertulang belakang, berdarah panas dan menyusui atau memiliki
kelenjar mamae. Kucing pada umumnya dipelihara oleh pemilik sebagai hewan
kesayangan. Dewasa ini, banyak ras kucing yang dijadikan sebagai hewan kesayangan.
Manajemen kesehatan kucing merupakan salah satu manajemen pemeliharaan yang harus
diperhatikan oleh pemilik. Manusia sebagai pemilik kucing diharapkan dapat mengetahui
pencegahan maupun perawatan berbagai macam penyakit pada kucing agar tidak
mengganggu kesehatan lingkungan. Kucing memiliki penyakit yang seringkali tidak dapat
terdeteksi oleh pemilik karena penyakit pada kucing tidak seperti penyakit pada manusia
yang umumnya memiliki gejala-gejala yang terlihat (Purnomo et al., 2017).
Kucing adalah salah satu hewan yang popular di kalangan masyarakat, bentuk
fisik yang lucu dan tingkah yang menggemaskan merupakan salah satu alasan yang
membuat banyak orang menyukai hewan peliharaan yang satu ini. Kepopulerannya
membuat jumlah peminat kucing di Indonesia sangatlah besar, namun hal ini tidak
diimbangi dengan pengetahuan pemeliharanya dan ketersediaan dokter hewan yang
mencukupi. Di sisi lain, kemajuan teknologi komputer saat ini dapat dimanfaatkan untuk
mengatasi masalah ketersediaan dokter hewan tersebut, yaitu dengan cara
mengembangkan sistem pakar agar pemelihara kucing yang tidak mengetahui tentang
penyakit pada kucing dapat mendeteksi sedini mungkin penyakit yang diderita pada
kucing serta mengetahui cara penanganannya (Nurdiawan dan pangestu, 2018).
Pada umumnya pola pemeliharaan kucing kampung dan kucing ras berbeda.
Kucing kampung biasanya dibiarkan bebas berkeliaran di lingkungannya. Kucing
kampung tidak terlalu sulit dalam perawatannya, lebih mandiri dalam mencari pakan dan
sudah terbiasa bebas. Sebaliknya kucing ras memerlukan pemeliharaan intensif, karena
kucing ras sangat sensitif dalam hal perubahan lingkungan, pakan, dan pemeliharaan.
Meskipun biaya pemeliharaan kucing relatif mahal, namun pemilik hewan peliharaan
tetap bersedia menghabiskan banyak uang untuk memenuhi kebutuhan dan kesehatan
hewan peliharaannya (Wolf et al., 2008).
Kucing sering terserang penyakit, baik penyakit infeksius maupun penyakit
metabolisme. Salah satu penyakit metabolisme yang dapat menyerang kucing ialah
diabetes. Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit yang melibatkan pankreas, yang
menghasilkan hormon insulin dan glukagon (Nugroho, 2006). Penyakit diabetes mellitus
merupakan penyakit kronis yang terjadi karena kelenjar pankreas tidak dapat
memproduksi insulin secara adekuat yang ditandai dengan hiperglikemia, dan intoleransi
glukosa (Yunita dan Kurniawaty, 2016).
Sejalan dengan perkembangan zaman, pemberian pakan dan pola pemeliharaan
juga berubah. Kucing diberi pakan siap saji, camilan dari pemilik seperti coklat, sehingga
berpengaruh sebagai pemicu diabetes mellitus. Kejadian diabetes pada kucing di Inggris
dilaporkan sangat tinggi yaitu 1 ekor dari 200 ekor populasi kucing. Faktor pemicu DM
pada kucing dilaporkan karena terjadinya obesitas, kurangnya latihan (terutama pada
kucing rumah), dan umur terutama pada kucing yang lebih tua (McCann et al., 2007).
Walaupun DM dapat terjadi pada semua usia, jenis kelamin, maupun jenis kucing, namun
kejadiannya lebih sering terjadi pada kucing yang lebih tua dengan umur 10-13 tahun,
kucing jantan yang dikastrasi, obesitas dan kurang latihan, serta faktor genetik kucing
1
jenis burma lima kali lebih beresiko apabila dibandingkan dengan kucing jenis yang lain
(Lederer et al., 2003).
Pengetahuan kebutuhan nurtisi hewan dan cara pemeliharaannya masih kurang,
sehingga berpeluang terjadinya peningkatan kasus diabetes mellitus pada kucing.
Berdasarkan paparan di atas, perlu dilakukan pengamatan terhadap manifestasi klinis
kasus diabetes mellitus pada kucing

B. Rumusan Masalah
1. Apa etiologi diabetes mellitus pada kucing ?
2. Apa tanda klinis diabetes mellitus pada kucing?
3. Apa pathogenesa diabetes mellitus pada kucing?
4. Apa predisposisi diabetes mellitus pada kucing?
5. Apa diagnosa diabetes mellitus pada kucing?
6. Apa diagnose banding diabetes mellitus pada kucing?
7. Bagaimana pengobatan dan pencegahan diabetes mellitus pada kucing?
8. Bagaiamana contoh studi khasus diabetes mellitus pada kucing?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui etiologi diabetes mellitus pada kucing
2. Untuk mengetahui tanda klinis diabetes mellitus pada kucing
3. Untuk mengetahui patogenesa diabetes mellitus pada kucing
4. Untuk mengetahui predisposisi diabetes mellitus pada kucing
5. Untuk mengetahui diagnosa diabetes mellitus pada kucing
6. Untuk mengetahui diagnose banding diabetes mellitus pada kucing
7. Untuk mengetahui pengobatan dan pencegahan diabetes mellitus pada kucing
8. Untuk mengetahui contoh studi khasus diabetes mellitus pada kucing

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Etiologi
Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan hiperglikemia dan
intoleransi glukosa yang terjadi karena kelenjar pankreas tidak dapat memproduksi insulin
secara adekuat yang atau karena tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang diproduksi
secara efektif atau kedua-duanya. Diabetes Melitus diklasifikasikan menjadi diabetes melitus
tipe I yang dikenal sebagai insulin-dependent atau childhoodonset diabetes, ditandai dengan
kurangnya produksi insulin dan diabetes melitus tipe II yang dikenal dengan non-insulin
dependent atau adult onset diabetes, disebabkan ketidakmampuan tubuh menggunakan insulin
secara efektif yang kemudian mengakibatkan kelebihan berat badan dan kurang aktivitas fisik
(Yunita dan Kurniawaty, 2016).
Diabetes mellitus (DM) pada kucing memiliki angka kejadian 11,6 kasus per 10.000
kucing. Kebanyakan kucing menderita jenis diabetes melitus yang mirip dengan diabetes tipe
II pada manusia yang ditandai dengan defisiensi relatif sekresi insulin dikombinasikan dengan
resistensi insulin, dalam kontras dengan defisiensi sel beta primer tipe I diabetes. Kesamaan
antara diabetes tipe II pada kucing dan orang-orang termasuk faktor risiko umum, seperti
obesitas, usia, dan kurangnya aktivitas fisik, serta hal serupa temuan patofisiologis, termasuk
deposisi amyloid. Faktor risiko lain yang terkait dengan peningkatan risiko diabetes melitus
pada kucing antara lain jenis kelamin jantan, sterilisasi, kurungan di dalam ruangan, dan
pengobatan tertentu. Obesitas adalah masalah kesehatan global yang terus berkembang juga
untuk banyak kucing yang sering menghabiskan sebagai hidup hewan peliharaan dalam
ruangan, diberi makan makanan komersial, sering berlimpah, dengan kelebihan berat badan
sebagai konsekuensi umum. Obesitas berhubungan dengan aktivitas fisik diyakini sebagai
kontributor utama resistensi insulin terkait dengan diabetes pada kucing dan manusia (Ohlund
et al., 2017).
B. Tanda klinis
Tanda-tanda klinis dari diabetes melitus termasuk poliuria dan polidipsia (PU/PD), lesu,
penurunan berat badan dan polifagia. Umumnya dapat pula ditandai kelemahan, sikap
plantigrade, depresi dan anoreksia, namun masih jarang terlihat (Sparkes et al., 2015). Selain
itu, pasien diabetes melitus juga ditandai dengan poliuria, polidipsia, polifagia, obesitas dan
terdapat luka yang tidak kunjung sembuh (Fitriani et al., 2016).
C. Patogenesa
1. Pathogebesis diabetes melitus akibat akromegali
Meskipun obesitas adalah penyebab paling umum dari resistensi insulin yang mengarah
pada peningkatan kebutuhan insulin dan diabetes mellitus, penyebab lain telah
didokumentasikan. Salah satunya adalah akromegali, yang merupakan hasil dari
peningkatan sekresi hormon pertumbuhan oleh tumor hipofisis. Diabetes yang disebabkan
oleh akromegali biasanya melibatkan kucing dengan resistensi insulin yang ekstrim dan,

3
karenanya, kebutuhan dosis terhadap insulin sangat tinggi. Apa yang saat ini tidak
dipahami adalah apakah atau bagaimana akromegali (dan penyakit endokrin lainnya yang
menyebabkan resistensi insulin dan terkait dengan jenis diabetes spesifik lainnya)
berkontribusi pada kegagalan sel b. Kucing acromegalic memiliki bukti hiperplasia sel b
dan setelah pengangkatan tumor berhasil, beberapa kucing menunjukkan tanda-tanda
hipoglkemia sementara, yang bisa parah dan mengancam jiwa (Rand, 2013).
2. Patogenesis Diabetes Terkait Pankreatitis
Pankreatitis menyebabkan diabetes sebagai akibat dari kerusakan inflamasi yang
meluas dan fibrosis di seluruh pankreas bagian eksokrin, yang kebetulan juga
menghancurkan pankreas endokrin. Kesulitan dalam mendiagnosis pankreatitis pada
kucing diperburuk oleh terbatasnya penelitian pada entitas klinis ini. Pankreatitis pada
kucing sangat terkait dengan penyakit radang usus dan cholangiohepatitis. Gangguan ini
adalah penyakit inflamasi kronis yang diperkirakan menyebabkan peningkatan dan
penurunan resistensi insulin serta kebutuhan insulin yang sangat bervariasi, kehilangan
nafsu makan dan ketosis yang intermiten, dan penurunan berat badan. Hasilnya adalah
kucing diabetes yang sulit diatur dengan baik karena perubahan kebutuhan insulin dan
munculnya tanda-tanda berkala seperti ketidakmampuan yang terkait dengan penyakit
yang mendasarinya (Rand, 2013).
D. Predisposisi
Data histologis, klinis, dan laboratorium menunjukkan bahwa bentuk diabetes yang paling
sering pada kucing adalah analog dengan diabetes tipe 2 pada manusia. Kecuali fakta bahwa
ketergantungan insulin dan ketosis lebih sering terjadi, diabetes kucing memiliki banyak
karakteristik yang sama dengan penyakit manusia. Pada kucing dan manusia, fungsi sel beta
terganggu dan sekresi insulin sebagai respons terhadap beban glukosa menjadi abnormal. Pada
kedua spesies, temuan histologis yang khas adalah deposisi amiloid di pulau pankreas.
Kebanyakan kucing (72%) berusia 7 tahun atau lebih ketika tanda-tanda klinis berkembang,
yang sesuai dengan puncak insiden pada manusia yang lebih tua. Di Amerika Utara, kucing
jantan memiliki risiko 1,5 kali lebih besar terkena diabetes dibandingkan kucing betina.
Obesitas telah didokumentasikan menjadi faktor risiko yang signifikan dalam perkembangan
diabetes kucing dan manusia, meskipun banyak kucing tidak kelebihan berat badan pada saat
diagnosis. Untuk faktor genetik pada beberapa laporan terdapat kasus dimana diabetes
menurun antar kucing burma di australia namun tidak ditemukan kasus serupa di Amerika
sehingga perlu penelitian lebih lanjut (Lutz dan Rand, 1995).
E. Diagnosa
Diagnosis Tanda-tanda klinis diabetes pada kucing adalah poliuria, polidipsia, dan
penurunan berat badan. Glikosuria terjadi ketika konsentrasi glukosa darah melebihi kapasitas
proksimal tubulus untuk menyerap kembali glukosa dari filtrat glomerulus (~14-16 mmol/L
4
[250-290 mg/dL]), dan dieresis osmotik yang dihasilkan menyebabkan poliuria dan polidipsia
kompensasi (Gottlieb dan Jacquie, 2018).
Menurut Gottlieb dan Jacquie. (2018) cara mendiagnosa penyakit diabetes dapat
dilakukan dengan cara sebagai berikut :
 Skrining dan konsentrasi glukosa darah
Diagnosis dibuat berdasarkan konsentrasi glukosa darah; namun, saat ini, tidak
ada titik potong rendah yang diterima secara umum untuk diabetes pada kucing, dengan
nilai 180–288 mg/dL (10–16 mmol/L) dilaporkan sebagai diagnostik.35,36 Konsentrasi
glukosa darah puasa pada kucing adalah ~ 3,0–6,5 mmol/L (117 mg/dL) bila diukur
menggunakan pengukur glukosa portabel yang dikalibrasi untuk darah kucing setelah
rawat inap semalaman dan menahan makanan selama 18–24 jam.37,38 Skrining glukosa
darah (diukur saat masuk ke ruang konsultasi) memiliki titik potong yang dilaporkan atas
166 mg/dL (9,2 mmol/L), menunjukkan potensi efek stres pada diagnosis diabetes pada
kucing.
 Hiperglikemia dan kucing yang sakit
Pada kucing sakit yang dirawat di rumah sakit, yang mengalami diabetes yang
menyebabkan peningkatan konsentrasi glukosa darah. Jika hiperglikemia (216 mg/dL;
>12 mmol/L) menetap selama lebih dari 4-6 jam, terapi insulin dosis rendah (misalnya,
0,5-1 U/kucing atau 0,2 U/kg q 12 jam) harus diberikan. Insulin eksogen menurunkan
glukosa darah dan membantu mengatasi efek buruk hiperglikemia pada fungsi sel .
Konsentrasi glukosa harus dipantau secara ketat dan insulin disesuaikan.
 Fruktosamin
Diproduksi oleh reaksi nonenzimatik antara glukosa dan gugus amino protein
plasma. Hal ini berguna untuk mengukur kontrol glikemik untuk kucing di mana
pemantauan glukosa darah di rumah atau di rumah sakit tidak memungkinkan, meskipun
kegunaannya untuk membantu diagnosis diabetes bervariasi. Pada kucing, konsentrasi
fruktosamin mungkin mencerminkan konsentrasi glukosa darah rata-rata untuk minggu
sebelumnya, dan hanya perubahan >33 mol/L pada kucing individu yang memiliki
signifikansi.41 Konsentrasi fruktosamin dapat sangat bervariasi antar individu kucing
untuk konsentrasi glukosa darah tertentu.
F. Diagnose banding
Diagnosis diabetes mellitus (DM) tipe II pada kucing relatif sederhana dan umumnya
didasarkan pada pengamatan kadar glukosa darah tinggi yang berkelanjutan pada dua atau
lebih kesempatan. Diagnosis banding meliputi endokrinopati primer lainnya, seperti
hipersomatotropisme (akromegali), hipertiroidisme dan hiperadrenokortikisme (sindrom
Cushing), diikuti oleh sindrom maldigesti dan malabsorpsi, kegagalan organ (ginjal dan
jantung), DM iatrogenik dan pankreatitis yang diinduksi oleh keadaan toksik, bakteri, virus
dan penyakit parasit (Burlacu dan Gheorghe, 2015).
G. Pengobatan dan pencegahan
Pengobatan utama untuk DM klinis pada anjing dan kucing adalah insulin bersama
dengan modifikasi diet. Tujuannya termasuk mengendalikan BG di bawah ambang ginjal
selama periode 24 jam mungkin, yang akan memperbaiki tanda klinis DM, dan menghindari
5
hipoglikemia yang bermakna secara klinis. Perawatan untuk Kucing Pada kucing, remisi
diabetes adalah tujuan yang masuk akal.4 Keberhasilan pengelolaan DM pada kucing terdiri
dari tanda-tanda klinis minimal atau tidak ada, persepsi pemilik kualitas hidup yang baik dan
pengobatan yang baik. respon, penghindaran atau perbaikan komplikasi DM, (khususnya,
ketoasidosis diabetik dan neuropati perifer), dan penghindaran hipoglikemia. Prediktor remisi
diabetes pada kucing termasuk mencapai kontrol glikemik yang sangat baik dalam waktu 6
bulan diagnosis, menggunakan pemantauan rumah intensif, penghentian obat antagonis
insulin, dan penggunaan insulin glargine (Lantus) atau detemir (Levemir) bersama dengan
karbohidrat rendah diet.4 Kucing yang sakit secara klinis, diabetes, ketotik harus dirawat di
rumah sakit untuk memulai terapi agresif. Jika perawatan 24 jam tidak memungkinkan, pasien
harus dirujuk ke gawat darurat atau rumah sakit khusus. Terapi tambahan untuk kucing
diabetes harus mencakup lingkungan pengayaan menggunakan alat makan kreatif seperti
puzzle makanan, terutama untuk kucing gemuk. Obat hipoglikemik oral juga bukan
direkomendasikan atau dianggap tepat untuk penggunaan jangka panjang. Penggunaannya
dianggap sementara dan hanya jika dikombinasikan dengan modifikasi diet jika pemiliknya
menolak terapi insulin atau sedang mempertimbangkan euthanasia untuk hewan
peliharaannya. Pendekatan awal untuk manajemen kucing diabetes adalah untuk memulai
terapi insulin dengan glargine (Lantus) atau protamine zinc insulin (PZI; Prozinc) dengan
dosis awal 1-2 unit (U) per kucing q12 jam Keputusan untuk memantau BG pada hari pertama
insulin pengobatan adalah pada kebijaksanaan dokter hewan. Tujuan pemantauan hari pertama
adalah semata-mata untuk mengidentifikasi hipoglikemia. Dosis insulin tidak boleh
ditingkatkan berdasarkan evaluasi BG hari pertama. Jika pemantauan dipilih, ukur BG q 2-4
jam untuk kucing di PZI dan q 3-4 jam bagi mereka yang menggunakan glargine selama 10-12
jam setelah pemberian insulin. Turunkan dosis insulin hingga 50% jika BG <150 mg/dL setiap
saat siang hari. Perlakukan kucing diabetes sebagai pasien rawat jalan setelah yang pertama
hari pemantauan, jika terpilih, dan berencana untuk mengevaluasi kembali dalam 7–14 hari
terlepas dari apakah nilai BG dipantau pada hari pertama. Segera evaluasi ulang jika tanda-
tanda klinis menunjukkan hipoglikemia atau jika kelesuan, anoreksia, atau muntah dicatat.
Lihat Algoritma, “Pemantauan kadar glukosa darah pada anjing dan kucing diabetes”, "Produk
Insulin" untuk informasi lebih lanjut tentang pemantauan dan dosis (Behrend et al., 2018).
H. Contoh studi khasus
Signalment: Kucing jantan domestik bernama Boris berumur 2 tahun, warna rambut kuning
dan putih.
History: Mengalami poliuria, polidipsia, polifagia, obesitas dan terdapat luka yang tidak
kunjung sembuh. Pemilik menyatakan bahwa kucing tersebut sering diberikan makanan
seperti coklat dan es krim.
Pada hari pertama dilakukan treatment dan uji laboratorium. Treatment dengan pemberian
Atropin 0,5 ml dan penjahitan pada luka abses. Uji laboratorium dengan melakukan uji darah
lengkap dan uji kadar glukosa darah (Fitriani et al., 2016).
No Krikteria Pemeriksaan Data Normal Hasil Pemeriksaan Interpretasi
1 WBC (White Blood Cell) 5,5-19,5 L 103³/mm³ 0,6 L 10³/mm³ Rendah
2 Lymphocytes 20-55% 0,6% Rendah

6
3 RBC (Red Blood Cell) 5,0-15,0 L 10⁶ /mm³ 4,98 L 106 /mm³ Rendah
4 HCT (Hematocrite) 25.0-45.0 L % 23,4 L % Rendah
5 PLT (Platelet) 200-500 L 10³ /mm³ 88 L 10³ /mm³ Rendah
6 HGB (Hemoglobin) 8-15 g/dl 8.8 g/dl Normal
7 Glukosa 90-120 mg/dl 194 mg/dl Tinggi
Tabel 1. Uji darah dan glukosa darah pada hari pertama (Fitriani et al., 2016).
Pada hari kelima dilakukan pengecekkan pada luka, ditemukan adanya satu jahitan yang
terlepas dan keadaan luka telah mengering. Pasien diberikan antibiotika (amoksisilin) dan
deksametason. Pasien diberikan antibiotika (amoksisilin) dan deksametason. Amoksisilin
merupakan antibiotik bakterisidal. Sedangkan pemberian dexamethasol bermanfaat untuk
mencegah terjadinya peradangan karena luka (Fitriani et al., 2016).
Hari ke-10 pasien mengalami muntah, anoreksia, serta luka basah. Muntah dan anoreksia
merupakan gejala yang terjadi setelah DM menjadi penyakit sistemik (McCann et al., 2007).
Treatment yang dilakukan adalah dengan pemberian infuse Ringer Laktat (RL) dan vitamin.
Pemberian vitamin berfungsi untuk meningkatkan ketahanan tubuh, sedangkan pemberian
infus RL berfungsi sebagai cairan pengganti pada pasien yang mengalami kekurangan cairan
akibat muntah (Fitriani et al., 2016).
Pada hari ke-11 sampai hari ke-15, pasien masih dalam kondisi lemas, anoreksia, luka
menjadi terbuka. Suhu tubuh pasien mencapai 40.5 0C pada hari ke-12. Sedangkan suhu
normal tubuh pada kucing adalah 37,8-39,2 oC. Suhu tubuh turun pada hari ke 13 menjadi 38
0C. Kuku pada kaki kiri bagian depan mengalami pembengkakan pada hari ke-14. Treatment
yang dilakukan adalah dengan pemberian infuse RL, Oxytetrasiclin, vitamin, dan duradril
(Fitriani et al., 2016).
No Kriteria Pemeriksaan Data Normal Hasil Pemeriksaan Iterpretasi
1 WBC (White Blood Cell) 5,5-19,5 L 103³/mm³ 3 L 103 /mm³ Rendah
2 Lymphocytes 20-55% 74% Tinggi
3 RBC (Red Blood Cell) 5,0-15,0 L 10⁶ /mm³ 4,98 L 10⁶ /mm³ Rendah
4 HCT (Hematocrite) 25.0-45.0 L % 32.5 L% Normal
5 PLT (Platelet) 200-500 L 10³/mm³ 109 L 10³ /mm³ Rendah
6 HGB (Hemoglobin) 8-15 g/dl 10.1 g/dl Normal
Tabel 2. Hasil uji darah lengkap hari ke-13 (Fitriani et al., 2016).
Rendahnya produksi sel darah putih dapat disebabkan karena pemberian antibiotika, serta
adanya infeksi virus. Apabila pada luka terdapat kelebihan beban bakteri yang menyebabkan
infeksi, maka tubuh akan bereaksi dengan meningkatkan produksi limfosit dan terjadinya
demam. Penurunan jumlah eritrosit dan hematokrit dapat dijumpai pada kejadian malnutrisi.
Malnutrisi terjadi akibat pasien mengalami anoreksia sehingga tidak adanya asupan nutrisi
yang masuk dalam tubuh pasien (Fitriani et al., 2016).
Pada hari ke-16 luka pada kaki kiri bagian depan semakin membesar dan berwarna biru,
temperatur tubuh 38,8 0C. Pasien masih dalam keadaan lemas dan anoreksia, serta ditemukan
adanya luka baru pada bagian abdomen. Kemudian pada hari ke-17 pasien sudah mulai makan
namun harus disuap, luka pada kaki kiri bagian depan masih berwarna biru, luka pada bagian
pantat terbuka dan mengering, luka pada bagian abdomen telah mengering, gusi pucat dan
berwarna kekuningan, kulit bagian abdomen juga berwarna kekuningan. Setelah dilakukan uji

7
fungsi hati, didapatkan hasil ALT: 35.648 U/L (normal: 28-76 U/L), dan AST tinggi yaitu
67.74 U/L (Normal: 5-55 U/L). Gusi pucat dan berwarna kekuningan, serta kulit bagian
abdomen juga berwarna kekuningan dapat disebabkan kadar enzim AST meningkat.
Peningkatan kadar enzim AST terjadi akibat kerusakan hati yang parah yang disertai nekrosis
sehingga enzim dari mitokondria juga ikut keluar sel. Pada hari ke-18 sampai hari ke-20
pasien masih dalam kondisi yang sama, namun luka pada kaki bagian depan mengelupas dan
berbau serta luka menyebar sampai pada bagian radius ulna (Fitriani et al., 2016).
Pada hari ke-21 pasien masih anoreksia dan kondisinya menjadi sangat lemah. Pasien
mengalami hipersalivasi, luka kaki pada bagian depan terdapat keropeng berwarna hitam dan
keras, nafas menjadi berat, feses berlendir, dan temperatur tubuh meningkat menjadi 39,8 0C.
Pada hari ke-22 luka pada kaki depan mengering serta ditemukan adanya luka baru di kaki kiri
bagian belakang. Temperatur tubuh pasien turun menjadi 38,4 0C pada hari ke-24. Mata
pasien berair dan kotor, keropeng pada kaki bagian depan terkelupas, namun luka pada daerah
yang lain terbuka dan basah, turgor kulit tidak normal, dan mata menjadi cekung .
Pada hari ke-26 sampai hari ke-30, temperatur tubuh pasien meningkat menjadi 39,4 0C.
Luka pada kaki depan pasien terbuka dan berarir, kulit terbuka, mata menjadi cekung dan
kering. Kesembuhan luka pada pasien diabetik akibat proses persembuhan luka terjadi sangat
lambat, sehingga akan terbentuk luka ulkus terutama pada bagian ekstrimitas/ neuropati perifer
atau sering disebut kaki diabetic. Keterlambatan penyembuhan luka disebabkan karena infeksi,
suplai darah yang buruk, nekrosis, eksudat dan adanya benda asing pada luka. Pada penderita
diabetes persembuhan luka terhambat akibat banyak faktor antara lain hambatan sirkulasi
darah dan oksigen akibat peningkatan kadar gula darah, sehingga terjadi penurunan sintesis
kolagen dan fibronektin(Fitriani et al., 2016).
Pada hari berikutnya, pasien sudah mulai minum banyak lagi, tetapi luka pasien bertambah
merah, serta berat badan turun menjadi 3 kg. Penurunan berat badan pada penderita DM
disebabkan adanya pemecahan asam amino (proteolysis) dalam otot sehingga cadangan
protein dalam otot berkurang sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan berat badan.
Pasien mati sebelum diberikan penyuntikan insulin, karena insulin untuk kucing belum
terdapat di Indonesia dan harus diimport dari luar negeri. Injeksi insulin merupakan salah satu
terapi pada kejadian DM. Namun untuk terapi insulin pada kucing harus diperhatkan, karena
kucing dapat memberikan respon yang bervariasi terhadap insulin eksogen (Fitriani et al.,
2016).
Kesimpulan:
Pada kasus ini kucing mengalami DM akibat pemberian pakan yang tidak semestinya
seperti coklat dan es krim, serta asupan nutriasi yang tidak seimbang sehingga menyebabkan
terjadinya obesitas (Fitriani et al., 2016).

8
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan hiperglikemia
dan intoleransi glukosa yang terjadi karena kelenjar pankreas tidak dapat memproduksi insulin
secara adekuat yang atau karena tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang diproduksi
secara efektif atau kedua-duanya. Diabetes Melitus diklasifikasikan menjadi diabetes melitus
tipe I yang dikenal sebagai insulin-dependent atau childhoodonset diabetes, ditandai dengan
kurangnya produksi insulin dan diabetes melitus tipe II yang dikenal dengan non-insulin
dependent atau adult onset diabetes, disebabkan ketidakmampuan tubuh menggunakan insulin
secara efektif yang kemudian mengakibatkan kelebihan berat badan dan kurang aktivitas fisik.
Umumnya penyakit ini ditandai kelemahan, sikap plantigrade, depresi dan anoreksia, namun
masih jarang terlihat. Selain itu, pasien diabetes melitus juga ditandai dengan poliuria,
polidipsia, polifagia, obesitas dan terdapat luka yang tidak kunjung sembuh.
B. SARAN
Penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah
ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak
kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

9
DAFTAR PUSTAKA
Burlacu, Madalina rosca dan Gheorghe Solcan. 2015. Feline Diabetes Mellitus and Differential
Diagnosis We Need to Consider. Vet.medicaine. 72 (2) : 237-241.
Behrend E., Holford A, Lathan P, Rucinsky R dan Schuiman R. 2018. 2018 AAHA Diabetes
Management Guidelines for Dogs and Cats. JAAHA. 54(1): 1-21.Fitriani, A, I Nyoman
Suartha dan Sri Kayati Widyastuti. 2016. Kasus Diabetes Mellitus pada Kucing Lokal.
Indonesia Medicus Veterinus. 5 (5): 407-414.
Fitriani, A., Suartha I.N dan Widyastuti S.K. 2016. Kasus Diabetes Mellitus Pada Kucing Lokal.
Indonesia Medicus Veterinus. 5(5) : 407-414.
Gottlieb, Susan dan Jacquie Rand 2018. Managing feline diabetes: current perspectives.
Veterinary Medicine: Research and Reports. 9 : 33-42.
Lederer R, Rand JS, Hughes I, Fleeman LM. 2003. Chronic or recurring medical problems,
dental disease, repeated corticosteroids treatment and lower physical activity are
associated with diabetes in pets. Journal of Veterinary Internal Medicine.17:433-455.
Lutz Ta Dan Rand Js. 1995. Pathogenesis Of Feline Diabetes Mellitus. Veterinary Clinics Of
North America: Small Animal Practice. 2(3): 527-552.
McCann TM, Simpson KE, Shaw DJ, Butt JA, Gunn-moore DA. 2007. Feline diabetes mellitus
in the UK: the prevalence within an insured cat population and a questionnaire-based
putative risk factor analysis. Journal of Feline Medicine and Surgery. 9(4):289-299
Nurdiawan,Odi Dan Liyanda Pangestu. 2018. Penerapan Sistem Pakar Dalam Upaya
Meminimalisir Resiko Penularan Penyakit Kucing. Infotekjar Jurnal Nasional
Informatika Dan Teknologi Jaringan.3(1): 65-73.
Nugroho AE. 2006. Hewan Percobaan Diabetes Mellitus: Patologi dan Mekanisme Aksi
Diabetogenik. Biodiversitas. 7(4):378-382
Ohlund, M, A. Egenvall, T. Fall, H. Hansson-Hamlin, H. Rocklinsberg dan B.S. Holst. 2017.
Environmental Risk Factors for Diabetes Mellitus in Cats. Journal of Veterinary Internal
Medicine. 31 (1): 29-35.
Purnomo,Dwi., Beni Irawan, dan Yulrio Brianorman. 2017. Sistem Pakar Diagnosa Penyakit
Pada Kucing Menggunakan Metode Dempster-Shafer Berbasis Android. Jurnal Coding
Sistem Komputer Untan. 05(1): 45-55.
Rand JS. 2013. Pathogenesis of Feline Diabetes. Vet Clin Small Anim. 43 (2013): 221–231.
Sparkes, AH, Martha Cannon, David Church, Linda Fleeman, Andrea Harvey, Margarethe
Hoenig, Mark E Peterson, Claudia E Reusch, Samantha Taylor dan Rosenberg. 2015.
ISFM Consensus Guidelines on the Practical Management of Diabetes Mellitus in Cats.
Journal of Feline Medicine and Surgery. 17 (3): 235-250.
Wolf C, Lloyd J, Black J. 2008. An examination of US consumer pet-related and veterinary
service expenditures, 1980–2005. JAVMA. 233(3): 404–413.
Yunita B, Kurniawaty E. 2016. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Diabetes
Melitus Tipe II. Majority. 2(5): 27-31.

10

Anda mungkin juga menyukai