Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam menempuh pendidikan khususnya untuk menjadi seorang tenaga
farmasi maupun apoteker, harus melewati yang namanya PKL (Praktek Kerja
Lapangan). PKL (Praktek Kerja Lapangan) ini merupakan suatu tuntutan mata
kuliah dan kewajiban untuk setiap mahasiswa serta dapat menjadi tolak ukur
terhadap semua ilmu yang didapatkan sewaktu di bangku perkuliahan. PKL
(Praktek Kerja Lapangan) juga merupakan suatu proses pembelajaran pada unit
kerja secara nyata, sehingga mahasiswa mendapatkan gambaran dan pengalaman
kerja secara langsung dan menyeluruh.
Bagi setiap mahasiswa belumlah cukup ilmu yang didapatkan di bangku
perkuliahan untuk menunjang pengetahuan dan keterampilan yang hanya sebatas
teori saja. Ilmu yang didapatkan di kampus sangat berbeda dengan yang akan kita
hadapai di dunia kerja yang sesungguhya.
Teori-teori yang kita dapatkan di kampus yang dikemukakan oleh beberapa
ahli terkadang tidak diterapkan dalam dunia kerja serta adapula yang tidak pernah
kita dapatkan di kampus kita dapatkan di tempat kerja untuk menunjang
pekerjaannya.
PKL yang dilakukan oleh mahasiswa yang bergelut dibidang farmasi dalam
hal ini tenaga teknik kefarmasian tentunya berlokasi di apotek. Apotek sendiri ini
juga berdasarkan kepemilikan terbagi atas apotek yang dimiliki oleh suatu instansi
seperti apotek rumah sakit, pemerintah, industri farmasi serta milik perorangan
(individu) sebagai media usaha perdagangan dari beberapa jenis apotek tersebut
tentunya tidak sama pelayanan klinik dan pelayanan non kliniknya. Tetapi pada
dasarnya setiap pengelolaan dan pelayanan farmasi yang ada di rumah sakit lebih
kompleks dibandingkan dengan apotek individu (perorangan).
Pengaturan standar pelayanan kefarmasian bertujuan untuk meningkatkan
mutu pelayanan kefarmasian, menjamin kepastian hukum bagi tenaga
kefarmasian, dan melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang
tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien.

1
Untuk tercapainya pelayanan kefarmasian dan pengelolaan obat yang baik,
seorang farmasis harus terampil, terlatih, dan dapat mengembangkan diri menjadi
tenaga kesehatan yang profesional. Oleh karena itu, dalam tercapainya pemenuhan
keterampilan calon tenaga ahli kesehatan khususnya di bidang farmasi, maka
diselenggarakanlah kegiatan PKL (Praktek Kerja Lapangan) mahasiswa farmasi
Universitas Negeri Gorontalo di rumah sakit, puskesmas, dan apotek. Sehingga
diharapkan dengan adanya kegiatan PKL (Praktek Kerja Lapangan) tersebut,
mahasiswa calon tenaga kefarmasian dapat memahami tugas dan tanggung jawab
sebagai calon tenaga kesehatan khususnya di rumah sakit.
1.2 Maksud dan Tujuan
1.2.1 Maksud
1. Untuk mengetahui pengelolaan perbekalan farmasi di instalasi farmasi
RSUD dr. Zainal Umar Sidiki Kabupaten Gorontalo Utara
2. Untuk mengetahui pelayanan kefarmasian di Apotek RSUD dr. Zainal Umar
Sidiki Kabupaten Gorontalo Utara
1.2.2 Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengetahui pengelolaan perbekalan farmasi di instalasi
farmasi RSUD dr. Zainal Umar Sidiki Kabupaten Gorontalo Utara
2. Mahasiswa dapat mengetahui pelayanan kefarmasian di Apotek RSUD dr.
Zainal Umar Sidiki Kabupaten Gorontalo Utara

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Tentang Rumah Sakit di Indonesia
Rumah sakit adalah institusi kesehatan professional yang pelayanannya
diselenggarakan oleh dokter, perawat, dan tenaga ahli lainya. Di dalam Rumah
Sakit terdapat banyak aktivitas dan kegiatan yang berlangsung secara berkaitan
(Haliman & wulandari 2012).
Di Indonesia, rumah sakit merupakan rujukan pelayanan kesehatan
untuk pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas), terutama untuk
penyembuhan dan pemulihan, sebab rumah sakit mempunyai fungsi utama untuk
menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat penyembuhan dan pemulihan
bagi penderita, yang berarti bahwa pelayanan rumah sakit untuk penderita rawat
jalan dan rawat tinggal hanya bersifat spesialistik atau sub spesialistik, sedangkan
pelayanan yang bersifat nonspesialistik atau pelayanan dasar harus dilakukan
di Puskesmas (Siregar, 2003).
2.1.1 Visi dan Misi Rumah Sakit
Visi rumah sakit merupakan kekuatan dalam memandu rumah sakit untuk
mencapai status masa depan rumah sakit, seperti lingkup dan posisi pasar,
keuntungan, penerimaan masyarakat, reputasi, mutu pelayanan dan
keterampilan tenaga kerja.
Misi merupakan suatu pernyataan yang singkat dan jelas tentang alasan
keberadaan rumah sakit, maksud, atau fungsi yang diinginkan untuk
memenuhi harapan dan kepuasan pasien dan merupakan metode utama untuk
mencapi visi. Maksud utama rumah sakit memiliki suatu pernyataan misi
adalah memberi kejelasan fokus kepada seluruh personel rumah sakit dan
memberikan pengertian bahwa apa yang dilakukan adalah terikat pada maksud
yang lebih besar (Siregar, 2003).
2.1.2 Tugas dan Fungsi Rumah Sakit
Berdasarkan Undang-Undang RI No 44 tahun 2009 pasal 5 tentang Rumah
Sakit dinyatakan bahwa Rumah Sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan
kesehatan perorangan secara paripur na yaitu pelayanan kesehatan yang meliputi

3
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Rumah Sakit Umum mempunyai
fungsi:
a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai
dengan standar pelayanan Rumah Sakit
b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis.
c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam
rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan
d. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi
bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan
memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.
2.1.3 Klasifikasi Rumah Sakit
Menurut Siregar (2004), rumah sakit dapat diklasifikasikan berdasarkan
berbagai kriteria sebagai berikut:
1. Klasifikasi Berdasarkan Kepemilikan
Berdasarkan kepemilikan, rumah sakit terdiri atas rumah sakit pemerintah
yang terdiri dari rumah sakit pemerintah daerah, rumah sakit militer dan rumah
sakit BUMN dan rumah sakit swasta yang dikelola oleh masyarakat. Rumah
sakit umum pemerintah diklasifikasikan menjadi tipe A, B, C, D.
a. Rumah sakit umum kelas A adalah rumah sakit yang mempunyai fasilitas
dan kemampuan pelayanan medik spesialitik dan subspesialitik luas.
b. Rumah sakit umum kelas B adalah rumah sakit yang mempunyai fasilitas
dan kemampuan pelayanan medik sekurang-kurangnya 11 spesialitik dan
subspesialitik terbatas.
c. Rumah sakit umum kelas C adalah rumah sakit yang mempunyai fasilitas
dan kemampuan pelayanan medik spesialitik dasar
d. Rumah sakit umum kelas D rumah sakit yang mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medik medik dasar.
Rumah sakit swasta adalah rumah sakit yang diselenggarakan oleh pihak
swasta (Siregar dan Lia, 2004).

4
2. Klasifikasi Berdasarkan Jenis Pelayanan
Berdasarkan jenis pelayanannya, rumah sakit terdiri atas Rumah Sakit
Umum dan Rumah Sakit Khusus. Rumah sakit umum memberikan pelayanan
kepada berbagai penderita dengan berbagai jenis penyakit,memberi pelayanan
diagnosis dan terapi untuk berbagai kondisi medik seperti penyakit dalam,
bedah, psikiatrik dan lain-lain. Rumah sakit khusus adalah rumah sakit yang
memberikan pelayanan diagnosa dan pengobatan untuk penderita dengan
kondisi medik tertentu, misalnya rumah sakit TBC, ketergantungan obat,
kanker dan lain-lain (Siregar dan Lia, 2004).
3. Klasifikasi Berdasarkan Kapasitas Tempat Tidur
Menurut Siregar (2004), Rumah sakit pada umumnya diklasifikasikan
berdasarkan kapasitas tempat tidur yaitu:
a. Dibawah 50 tempat tidur
b. 50-99 tempat tidur
c. 100-199 tempat tidur
d. 200-299 tempat tidur
e. 300-399 tempat tidur
f. 400-499 tempat tidur
g. 500 tempat tidur atau lebih
4. Klasifikasi Berdasarkan Afiliasi Pendidikan
Berdasarkan afiliasi pendidikan rumah sakit terdiri dari rumah sakit
pendidikan dan rumah sakit non pendidikan. Rumah sakit pendidikan adalah
rumah sakit yang melaksanakan program pelatihan residensi dalam medik,
bedah, pediatrik dan lain-lain. Rumah sakit non kependidikan tidak memiliki
program pelatihan residensi dan tidak ada afiliasi rumah sakit dengan
universitas (Siregar dan Lia, 2004).
5. Klasifikasi Berdasarkan Afiliasi Pendidikan
Berdasarkan afiliasi pendidikan rumah sakit terdiri dari rumah sakit
pendidikan dan rumah sakit non pendidikan. Rumah sakit pendidikan adalah
rumah sakit yang melaksanakan program pelatihan residensi dalam medik,
bedah, pediatrik dan lain-lain. Rumah sakit non kependidikan tidak memiliki

5
program pelatihan residensi dan tidak ada afiliasi rumah sakit dengan
universitas (Siregar dan Lia, 2004).
2.1.4 Struktur Organisasi Rumah Sakit
Berdasarkan Undang-Undang RI no. 44 tahun 2009, setiap Rumah Sakit
harus memiliki organisasi yang efektif, efisien dan akuntabel. Organisasi paling
sedikit terdiri atas Kepala Rumah Sakit atau direktur Rumah Sakit, unsur
pelayanan medis, unsur keperawatan, unsur penunjang medis, komite medis,
satuan pemeriksaan internal, serta administrasi umum dan keuangan.
2.2 Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS)
IFRS adalah suatu departemen atau unit atau bagian di suatu Rumah Sakit
yang berada di bawah pimpinan seorang Apoteker dan dibantu oleh beberapa
orang Apoteker yang memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan kompeten secara profesional, dan merupakan tempat atau fasilitas
penyelenggaraan yang bertanggung jawab atas seluruh pekerjaan serta pelayanan
kefarmasian yang ditujukan untuk keperluan Rumah Sakit itu sendiri (Siregar dan
Amalia, 2004).
2.2.1 Struktur Organisasi Instalasi Rumah Sakit
Berdasarkan Permenkes RI No. 58 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian Rumah Sakit pengorganisasian IFRS harus mencakup
penyelenggaraan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP,
pelayanan farmasi klinis, dan menajemen mutu dan bersifat dinamis dapat direvisi
sesuai kebutuhan dengan tetap menjaga mutu.
2.2.2 Tugas Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Berdasarkan Permenkes RI No.58 Tahun 2014, tugas Instalasi Farmasi
Rumah Sakit meliputi:
a. Menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur dan mengawasi seluruh
kegiatan Pelayanan Kefarmasian yang optimal dan profesional serta sesuai
prosedur dan etik profesi;
b. Melaksanakan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP
yang efektif, aman, bermutu dan efisien;

6
c. Melaksanakan pengkajian dan pemantauan penggunaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan BMHP guna memaksimalkan efek terapi dan keamanan
serta meminimalkan risiko;
d. Melaksanakan Komunikasi, Edukasi dan Informasi (KIE) serta memberikan
rekomendasi kepada Dokter, perawat dan pasien;
e. Berperan aktif dalam Tim Farmasi dan Terapi;
f. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan serta pengembangan pelayanan
kefarmasian;
g. Memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan dan
formularium Rumah Sakit
2.2.3 Lingkup Fungsi IFRS
Lingkup fungsi IFRS terbagi menjadi 2, yaitu fungsi klinik dan non klinik.
Fungsi non klinik pada umumnya tidak memerlukan interaksi dengan tenaga
kesehatan lain atau fungsi manajemen. Lingkup manajemen di Rumah Sakit
terdiri dari perencanaan/perumusan kebutuhan (selection), penetapan produk dan
pemasok, pengadaan (procurement), pembelian, produksi, penyimpanan,
pengemasan, pengemasan kembali, distribusi (distribution), penggunaan (use),
memusnahkan dan administrasi, serta pengendalian keseluruhan perbekalan
kesehatan yang digunakan dan beredar di Rumah Sakit. Proses distribusi menjadi
fungsi farmasi klinik jika dalam sistem distribusi di rumah sakit apoteker
berinteraksi dengan tenaga medis, tenaga kesehatan, dan penderita (Siregar,
2004).
2.2.4 Struktur Organisasi IFRS
Personalia pelayanan farmasi rumah sakit adalah sumber daya manusia yang
melakukan pekerjaan kefarmasian di rumah sakit. IFRS harus dipimpin oleh
seorang apoteker yang secara professional kompeten dan memenuhi persyaratan
hukum. Jabatan kepala IFRS berada setingkat dengan jabatan kepala staf medik
fungsional dalam struktur rumah sakit (Siregar, 2008).
Menurut Kepmenkes RI No. 1197/MENKES/SK/X/2004, IFRS terdiri dari
beberapa personil tenaga kerja yaitu:

7
a. Untuk pekerjaan kefarmasian dibutuhkan tenaga:
1. Apoteker
2. Sarjana Farmasi
3. Asisten Apoteker (AMF, SMF)
b. Untuk pekerjaan administrasi dibutuhkan tenaga:
1.  Operator komputer atau teknisi yang memahami kefarmasian
2. Tenaga administrasi
c. Pembantu Pelaksana
Personalia Pelayanan Farmasi Rumah Sakit adalah sumber daya manusia
yang melakukan pekerjaan kefarmasian di rumah sakit yang termasuk dalam
bagan organisasi rumah sakit dengan persyaratan :
a. Terdaftar di Departemen Kesehatan.
b. Terdaftar di Asosiasi Profesi.
c. Mempunyai izin kerja.
d. Mempunyai Surat Keputusan (SK) penempatan.
Dalam perhitungan beban kerja perlu diperhatikan faktor-faktor yang
mempengaruhi pada kegiatan yang dilakukan, yaitu :
a. Kapasitas tempat tidur dan BOR.
b. Jumlah resep atau formulir per hari.
c. Volume perbekalan farmasi.
d. Idealnya 30 tempat tidur dilayani oleh satu apoteker untuk pelayanan
kefarmasian.
2.3 Sistem Distribusi Obat
Sistem distribusi obat di rumah sakit adalah tatanan jaringan sarana,
personel, prosedur, dan jaminan mutu yang serasi, terpadu dan berorientasi
penderita dalam kegiatan penyampaian sediaan obat beserta informasinya kepada
penderita. Sistem distribusi obat mencakup penghantaran sediaan yang telah
didispensing IFRS ke daerah tempat perawatan penderita dengan keamanan dan
ketepatan obat, ketepatan penderita, ketepatan jadwal, tanggal, waktu dan metode
pemberian, dan ketepatan personel pemberi obat kepada penderita serta keutuhan
mutu obat. Berdasarkan ada atau tidaknya satelit (depo farmasi) sistem distribusi

8
obat dibedakan menjadi dua jenis yaitu sistem pelayanan terpusat (sentralisasi)
dan sistem pelayanan terbagi (desentralisasi).
Secara umum terdapat empat sistem distribusi sediaan farmasi di rumah
sakit, yaitu :
1. Sistem distribusi resep individual.
Resep individual adalah order atau resep yang ditulis dokter untuk tiap
penderita, sedangkan sentralisasi adalah semua order atau resep tersebut yang
disiapkan dan didistribusikan dari IFRS sentral. Sistem distribusi obat resep
individual sentralisasi adalah tatanan kegiatan penghantaran sediaan obat oleh
IFRS sentral sesuai dengan yang ditulis pada order atau resep atas nama pasien
rawat inap tertentu melalui perawat ke ruang penderita tersebut. Dalam sistem
ini, semua obat yang diperlukan untuk pengobatan didispensing dari IFRS.
Resep orisinil oleh perawat dikirim ke IFRS, kemudian order atau resep itu
diproses sesuai kaidah cara dispensing yang baik dan obat disiapkan untuk
didistribusikan kepada penderita tertentu.
2. Sistem distribusi obat persediaan lengkap di ruang.
Sistem distribusi obat persediaan lengkap di ruang merupakan tatanan
kegiatan penghantaran sediaan obat sesuai yang ditulis dokter pada order obat,
yang disiapkan dari persediaan di ruang oleh perawat dan dengan mengambil
dosis atau unit obat dari wadah persediaan yang langsung diberikan kepada
penderita di ruang itu.
3. Sistem distribusi obat kombinasi resep individu dan persediaan di ruang.
Rumah sakit yang menerapkan sistem ini selain menerapkan distribusi resep
atau order individual sentralisasi juga menerapkan distribusi persediaan di
ruangan yang terbatas. Jenis dan jumlah obat yang tersedia di ruangan (daerah
penderita) ditetapkan oleh Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) dengan masukan
dari Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) dan dari pelayanan keperawatan.
Sistem kombinasi biasanya diadakan untuk mengurangi beban kerja IFRS.
Obat yang disediakan di ruangan adalah obat yang obat yang diperlukan oleh
banyak penderita, setiap hari diperlukan, dan biasanya adalah obat yang
harganya relatif murah, mencakup obat resep atau obat bebas.

9
4. Sistem distribusi obat dosis unit.
Pengobatan dosis unit didefinisikan sebagai pengobatan yang pengadaan,
pengemasan, pengawasan, pemberian berupa unit dosis tunggal atau ganda
yang mengandung sejumlah obat yang telah ditentukan atau pemberian yang
sesuai untuk penggunaan satu dosis biasa. Pemberian obat menggunakan
sistem dosis unit ditujukan agar lebih aman dan ekonomis.
Sistem dosis unit dapat berbeda bentuknya bergantung pada kebutuhan,
sumber daya, dan karakteristik dari tiap rumah sakit namun ada empat hal yang
sama dalam pemberian sistem dosis unit:
1. Pengobatan dibuat dan diberikan dalam bentuk dosis unit tunggal atau
ganda.
2. Pengobatan dibuat dalam bentuk siap digunakan.
3. Untuk sebagian obat-obatan, penyediaan obat tidak disediakan setiap saat.
4. Status pengobatan tiap-tiap pasien harus selalu diperhatikan.
Pengobatan harus diberikan hanya dengan permintaan tertulis (resep) yang
diberikan oleh dokter atau orang-orang yang diperbolehkan untuk membuat
resep.
Pengecualian yang diperbolehkan misalnya permintaan obat melalui telepon
atau permintaan langsung harus ditulis langsugn dan ditandatangani oleh
perawat atau farmasis yang telah memiliki izin praktek.Resep harus ditulis
dengan jelas dan mencantumkan hal-hal berikut:
a) Nama dan tempat pasien.
b) Nama obat.
c) Dosis yang diberikan.
d) Rute pemberian.
e) Tanda tangan dokter.
f) Waktu dan tanggal pembuatan resep.
Setiap singkatan yang digunakan di dalam resep harus disepakati bersama
oleh tenaga medis, perawat, apoteker, dan staf rekam medik. Apabila ada
pertanyaan menyangkut resep termasuk interpretasi dari penulisan yang tidak
jelas harus dirujuk atau ditanyakan pada dokter yang memberikan resep.

10
Apoteker harus menerima resep dari dokter sebelum obat dibuat kecuali
dalam keadaan gawat (emergency).
2.3.1 Jenis Sistem Distribusi Obat untuk Penderita Rawat Tinggal
Pada dasarnya ada 4 jenis distribusi obat untuk pasien rawat inap yaitu:
1. Sistem distribusi obat resep individu
Dalam resep ini, semua obat yang diperlukan untuk pengobatan
didispensing dari IFRS. Resep orisinil oleh perawat dikirim ke IFRS, kemudian
resep itu diproses sesuai dengan kaidah “cara dispensing yang baik dan obat
disiapkan untuk didistribusikan kepada penderita tertentu.
a. Sistem distribusi obat persediaan lengkap di ruang (Total floor
Stock)
Dalam sistem distribusi obat persediaan lengkap diruangan, semua obat
yang dibutuhkan penderita tersedia dalam ruangan penyimpanan obat diruang
tersebut, kecuali obat yang jarang digunakan untuk obat yang sangat mahal.
b. Sistem distribusi obat kombinasi resep individual (Individual Prescription)
dan persediaan di ruang (Floor Stock).
Pada sistem ini, rumah sakit menggunakan sistem penulisan resep pesanan
obat secara individual sebagai sarana utama untuk penjualan obat tetapi juga
memanfaatkan floor stock secara terbatas.
c. Sistem distribusi obat unit sentralisasi/desentralisasi (Unit Dose Dispensing/
UDD).
Sistem distribusi obat dosis unit adalah metode dispensing dan pengendalian
obat yang dikoordinasikan Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) dalam rumah
sakit, dimana obat dikandung dalam kemasan unit tunggal, didispensing dalam
bentuk siap konsumsi, dan untuk kebanyakan obat tidak lebih dari 24 jam
persediaan dosis, dihantarkan ke atau tersedia pada ruang perawatan penderita
pada setiap waktu (Siregar, 2003).
Sistem unit dose dispensing mempunyai tujuan perspektif kepedulian
terhadap pasien. Sistem UDD dapat memperkecil terjadinya kesalahan
pengobatan. Obat dibagikan dalam bentuk paket unit dose (dibungkus secara
terpisah untuk masing-masing dosis), biasanya dikemas dalam persediaan 24

11
jam. Sistem UDD ini sangat efisien tetapi memerlukan modal besar untuk
pembelian mesin pembungkus dan lemari pengobatan (Quick, 1997).
Keikutsertaan peran farmasis dalam monitoring terapi selain akan menjamin
optimasi terapi yang diterima pasien juga mengurangi frekuensi timbulnya
medication error karena dengan sistem distribusi ini terjadi interaksi yang lebih
banyak antara dokter, farmasis dan perawat (Hassan, 1986).
Profil pengobatan pasien, apoteker mempunyai tanggung jawab untuk
memonitoring obat pasien yang dirawat inap pada rumah sakit. Permasalahan
dengan clinical errors seperti alergi, interaksi obat dengan obat, interaksi obat
dengan penyakit, lamanya terapi yang tidak sesuai dan ketidaksesuaian obat
harus dihindarkan atau dikoreksi terlebih dahulu (Quick, 1997).
Pada sistem UDD salah satu administrasi yang dilakukan adalah patient
dengan drug profil, Caranya adalah dengan melalui pemantauan kerasionalan
obat yang meliputi ketepatan indikasi, ketepatan dosis, ketepatan pasien,
ketepatan obat, dan waspada terhadap efek samping obat. Dengan adanya
patient drug profil farmasis dapat membantu dokter dalam meningkatkan
keberhasilan pengobatan. Dalam hal ini farmasis berperan dalam memantau
mengevaluasi pemakaian obat dalam hal cara pemakaian, dosis, indikasi, efek
samping obat, dan interaksi obat serta rekapitulasi harga (Siregar, 2004).
2.3.2 Pengelolaan Perbekalan Farmasi
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1197/MENKES/SK/X/2004, pengelolaan perbekalan farmasi merupakan suatu
siklus kegiatan, dimulai dari pemilihan, perencanaan, pengadaan, penerimaan,
penyimpanan, pendistribusian, pengendalian, penghapusan, administrasi dan
pelaporan, serta evaluasi yang diperlukan bagi kegiatan pelayanan.
a. Pemilihan
Merupakan proses kegiatan mulai dari meninjau masalah kesehatan yang
terjadi di rumah sakit, indentifikasi pemilihan terapi, bentuk dan dosis,
menentukan kriteria dan pemilihan dengan memprioritaskan obat esensial,
standarisasi hingga menjaga dan memperbaharui standar obat. Penentuan
seleksi obat merupakan peran aktif apoteker dalam Panitia Farmasi dan Terapi

12
(PFT) untuk menetapkan kualitas dan efektifitas, serta jaminan purna transaksi
pembelian.
b. Perencanaan
Merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah, dan harga
perbekalan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran untuk
menghindari kekosongan obat dengan menggunakan metode yang dapat
dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan.
Terdapat tiga metode perencanaan sediaan farmasi dan alat kesehatan, yaitu:
1. Metode konsumsi, dibuat berdasarkan data konsumsi periode sebelumnya.
2. Metode epidemiologi atau morbiditas, dibuat berdasarkan pola penyakit di
rumah sakit periode sebelumnya maupun pola penyakit di sekitar rumah
sakit yang diperkirakan akan terjadi.
3. Metode kombinasi konsumsi dan epidemiologi (morbiditas).
Pedoman perencanaan berdasarkan dari acuan buku-buku seperti Daftar
Obat Esensial Nasional (DOEN), formularium rumah sakit, standar terapi
rumah sakit, ketentuan setempat yang berlaku yang terdiri dari data catatan
medik, anggaran yang tersedia, penetapan prioritas, siklus penyakit, sisa
persediaan, data pemakaian periode yang lalu dan rencana pengembangan.
Sebelum perencanaan diadakan, perlu dievaluasi terlebih dahulu apakah
perencanaan sudah mendekati benar atau belum. Untuk itu ada beberapa
mekanisme evaluasi, diantaranya :
1. Analisa ABC (Pareto)
Analisis ABC adalah analisis yang digunakan dalam beberapa sistem
persediaan untuk menganalisis pola konsumsi dan jumlah dari total konsumsi
untuk semua item. Analisa ABC merupakan pembagian konsumsi obat dan
pengeluaran untuk perencanaan dengan membagi obat yang dikonsumsi
menjadi tiga kategori, yaitu :
a) Golongan A (always)
10-20 % item obat yang disediakan, tapi dana yang dikeluarkan untuk
pengadaan obat-obat ini sangat besar yaitu mencapai 70-80 % dari keseluruhan
dana.

13
b) Golongan B (better)
20-40% item obat yang disediakan, dana yang dikeluarkan untuk pengadaan
obat-obat ini cukup besar yaitu mencapai 10-15% dari keseluruhan dana.
c) Golongan C (control)
Ketersediaannya sangat banyak yaitu mencapai 60% dari keseluruhan item
obat, namun kebutuhan dana yang dikeluarkan dalam pengadaannya rendah
yaitu hanya 5-10% dari keseluruhan dana.
2. Analisis VEN
Analisa VEN merupakan analisa yang digunakan untuk menetapkan
prioritas pembelian obat serta menentukan tingkat stok aman dan harga
penjualan obat. Kategori obat-obat sistem VEN yaitu :
a) V (Vital) adalah obat- obat yang termasuk dalam potensial life saving drug,
mempunyai efek samping withdrawl secara signifikan (pemberian harus
secara teratur dan penghentiannya tidak tiba-tiba) atau sangat penting dalam
penyediaan pelayanan kesehatan dasar.
b) E (Essensial) adalah obat-obat yang efektif untuk mengurangi kesakitan,
namun demikian sangat signifikan untuk bermacam- macam penyakit tetapi
tidak vital secara absolut (penting tetapi tidak vital), untuk penyediaan
sistem kesehatan dasar.
c) N (Non Essensial) merupakan obat-obat yang digunakan untuk penyakit
minor atau penyakit tertentu yang efikasinya masih diragukan termasuk
terhitung mempunyai biaya tinggi untuk memperoleh keuntungan
terapeutik.
c. Pengadaan
Merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan yang telah
direncanakan dan disetujui, melalui:
1. Pembelian, ada dua metode pembelian yaitu:
a) Secara Tender (oleh Panitia Pembelian Barang Farmasi)
b) Secara Langsung dari pabrik atau distributor atau pedagang besar farmasi
2. Produksi atau pembuatan sediaan farmasi, terbagi menjadi dua yaitu
produksi steril dan non steril

14
3. Sumbangan (Droping)
d. Produksi
Merupakan kegiatan membuat, merubah bentuk, dan pengemasan kembali
sediaan farmasi steril atau non steril untuk memenuhi kebutuhan pelayanan
kesehatan di rumah sakit. Kriteria obat yang diproduksi, antara lain:
1. Sediaan farmasi dengan formula khusus.
2. Sediaan farmasi dengan harga murah.
3. Sediaan farmasi dengan kemasan yang lebih kecil.
4. Sediaan farmasi yang tidak tersedia dipasaran.
5. Sediaan farmasi untuk penelitian.
6. Sediaan nutrisi parenteral.
7. Rekonstruksi sediaan obat kanker.
e. Penerimaan
Merupakan kegiatan untuk menerima perbekalan farmasi yang telah
diadakan sesuai dengan aturan kefarmasian, melalui pembelian langsung,
tender, konsinyasi atau sumbangan. Pedoman dalam penerimaan perbekalan
farmasi, yaitu:
1. Pabrik harus mempunyai sertifikat analisa.
2. Barang harus bersumber dari distributor utama.
3. Harus mempunyai Material Safety Data Sheet (MSDS).
4. Khusus untuk alat kesehatan atau kedokteran harus mempunyai Certificate
of Origin (COO).
5. Expire Date minimal 2 tahun.
f. Penyimpanan
Merupakan kegiatan pengaturan perbekalan farmasi menurut persyaratan
yang ditetapkan, yaitu:
1. Dibedakan menurut bentuk sediaan dan jenisnya.
2. Dibedakan menurut suhu, kestabilan.
3. Mudah meladak atau terbakar.
4. Tahan atau tidaknya terhadap cahaya.

15
Disertai dengan sistem informasi yang selalu menjamin ketersediaan
perbekalan farmasi sesuai kebutuhan.
g. Pendistribusian dan Dispensing Sediaan Farmasi.
2.4 Informasi Umum Obat
Pengertian obat adalah semua bahan tunggal atau campuran yang digunakan
oleh semua makhluk untuk bagian dalam maupun bagian luar, guna mencegah,
meringankan, maupun menyembuhkan penyakit (Syamsuni, 2007).
Obat merupakan semua zat baik kimiawi, hewani, maupun nabati yang
dalam dosis layak dapat menyembuhkan, meringankan, atau mencegah penyakit
berikut gejalanya (Tjay dan Rahardja, 2007).
Penggolongan obat yang menyatakan bahwa penggolongan obat yang
dimaksudkan untuk peningkatan keamanan dan ketepatan penggunaan serta
pengamanan distribusi. Pengertian tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri
Kesehatan RI Nomor 917/Menkes/Per/X/1993.
Penggolongan obat ini terdiri dari: obat bebas, obat bebas terbatas, obat
wajib apotek, obat keras, psikotropika dan narkotika.
a. Obat bebas
Obat golongan ini termasuk obat yang relatif paling aman, dapat diperoleh
tanpa resep dokter, selain di apotek juga dapat diperoleh di warung-warung.
Obat bebas dalam kemasannya ditandai dengan lingkaran berwarna hijau.
Contohnya adalah parasetamol, vitamin c, asetosal (aspirin), antasida daftar
obat esensial (DOEN), dan obat batuk hitam (OBH) (Priyanto, 2010).
b. Obat bebas terbatas
Obat bebas terbatas atau obat yang masuk dalam daftar “W” menurut bahasa
Belanda “W” singkatan dari “Waarschung” artinya peringatan. Jadi maksudnya
obat yang bebas penjualannya disertai dengan tanda peringatan. Menurut
Keputusan Menteri Kesehatan RI yang menetapkan obat-obatan kedalam daftar
obat “W” memberikan pengertian obat bebas terbatas adalah Obat Keras yang
dapat diserahkan kepada pemakainya tanpa resep dokter, bila penyerahannya
memenuhi persyaratan yang sebagaimana telah datur dalam PERMENKES
NOMOR: 919/MENKES/PER/X/1993 pasal 2.

16
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 2380/A/SK/VI/83,
tanda khusus untuk obat bebas terbatas berupa lingkaran warna biru dengan
garis tepi berwarna hitam. Tanda khusus harus diletakan sedemikian rupa
sehingga jelas terlihat dan mudah dikenal. Contohnya obat flu kombinasi
(tablet), chlorpheniramin maleat (CTM), dan mebendazol (Priyanto, 2010).
c. Obat keras
Obat keras atau obat daftar G menurut bahasa Belanda “G” singkatan dari
“Gevaarlijk” artinya berbahaya maksudnya obat dalam golongan ini berbahaya
jika pemakaiannya tidak berdasarkan resep dokter. Menurut Keputusan
Menteri Kesehatan RI yang menetapkan/memasukan obat-obatan kedalam
daftar obat keras, memberikan pengertian obat keras, memberikan pengertian
obat keras adalah obat-obat yang ditetapkan sebagai berikut:
1) Semua obat yang pada bungkus luarnya oleh si pembuat disebutkan bahwa
obat itu hanya boleh diserahkan dengan resep dokter.
2) Semua obat yang dibungkus sedemikian rupa yang nyata-nyata untuk
dipergunakan secara parental, baik degan cara suntikan maupun dengan cara
pemakaian lain dengan jalan merobek rangkaian asli dari jaringan.
3) Semua obat baru, terkecuali apabila oleh Departemen Kesehatan telah
dinyatakan secara tertulis bahwa obat baru itu tidak membahayakan
kesehatan manusia.
4) Semua obat yang tercantum dalam daftar obat keras: obat itu sendiri dalam
substansi dan semua sediaan yang mengandung obat itu, terkecuali apabila
dibelakang nama obat disebutkan ketentuan lain, atau ada pengecualian
Daftar Obat Bebas Terbatas.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 02396/A/SK/VIII/1986
tentang tanda khusus Obat Keras daftar G adalah lingkaran bulatan warna merah
dengan garis tepi berwarna hitam dengan huruf K yang menyentuh garis tepi.
Contoh obat ini adalah amoksilin, asam mefenamat (Priyanto, 2010).

17
BAB III
URAIAN KHUSUS
3.1 Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainal Umar Sidiki
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainal Umar Sidiki yang merupakan Rumah
Sakit yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Gorontalo Utara dengan
nomor izin 21/IORS/BPTSP-PM/0001/II/2020 terus berupaya untuk
meningkatkan sarana dan prasarana serta mutu pelayanan di Rumah Sakit harus
dilakukan secara terencana, terintegrasi dan terus-menerus. Agar dapat berjalan
dengan baik, karena itu rumah sakit perlu mengadakan penataan pelayanan
melalui profil RSUD dr. Zainal umar sidiki sebagai sumber informasi rumah sakit
ini didirikan pada tahun 2011 dengan kapasitas awal tempat tidur adalah 9 buah.
Dimanfaatkan oleh masyarakat pada tanggal 26 april 2014 saat peringatan ke 4
Kabupaten Gorontalo Utara yang peresmian pemanfaatan oleh Gubernur Provinsi
Gorotalo Bapak Drs. Hi. Rusli Habibie.
3.1.1 Luas Wilayah
Luas Lahan Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainal Umar Sidki yaitu
110.000 M2 dan luas Bangunan 207 M2. Secara administratif Rumah Sakit dr.
Zainal Umar Sidiki mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut :
1. Sebelah Utara, berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Tengah dan Kabupaten
Pohuwato;
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Boalemo dan Kabupaten
Gorontalo ;
3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bone Bolango dan Kabupaten
Bolaang Mongondow Provinsi Sulawesi Utara
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Buol Provinsi Sulawesi
Tengah Dan Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo
5. Luas terirotial 8.102,4 Km2 dan Pulau-pulau kecil sejumlah 52 pulau, 11
Kecamatan, Penduduk 132.023
3.1.2 Visi dan Misi
Untuk memenuhi tuntutan masyarakat akan akses pelayanan kesehatan
rujukan, maka pihak Rumah Sakit dr. Zainal Umar Sidiki memiliki komitmen

18
untuk mewujudkan pelayanan maksimal dengan memformulasikan dalam visi,
misi dan filosofi dengan program unggulannya sebagai berikut:
Visi :

”Memberikan Pelayanan Kesehatan Rujukan yang aman dan


memuaskan”

Misi :
“Mewujudkan layanan kesehatan yang aman dan menjadi pilihan seluruh
lapisan masyarakat Kabupaten Gorontalo Utara dengan didasari oleh
profesionalilsme, etika, performa, serta nilai-nilai dasar yang baik .
Mewujudkan layanan kesehatan yang berorientasi pada kepuasan
pelanggan dengan manajemen akomodatif yang menunjang peningkatan
kesejahteraan karyawan.
Mewujudkan layanan kesehatan yang profesional dalam rangka
penyelenggaraan rumah sakit”.
3.2 Tugas Pokok Dan Fungsi
3.2.1 Tugas Pokok
1) Melaksanakan upaya kesehatan secara berdayaguna dan berhasil guna
dengan mengutamakan upaya penyembuhan, pemulihan yang dilakukan
secara serasi, terpadu dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta
melaksanakan upaya rujukan.
2) Melaksanakan pelayanan yang bermutu sesuai standar pelayanan rumah
sakit;
3) Melaksanakan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui
pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai
kebutuhan medis;
4) Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam
rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan;
5) Menyelenggarakan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi
bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan
memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.

19
3.2.2 Fungsi
1) Penyelenggaraan Pelayanan Medik Umum;
2) Penyelenggaraan Pelayanan Medik Spesialis;
3) Penyelenggaraan Pelayanan Medik Sub Spesialistik;
4) Penyelenggaraan Pelayanan Perawatan Intensif;
5) Penyelenggaraan Pelayanan Penunjang Medik dan Non Medik;
6) Penyelenggaraan Pelayanan dan Asuhan Keperawatan;
7) Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian;
8) Penyelenggaraan Pelayanan Gizi;
9) Penyelenggaraan Pelayanan Rujukan;
10) Penyelenggaraan Usaha Pendidikan dan Pelatihan;
11) Penyelenggaraan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan;
12) Penyelenggaraan Kegiatan Ketatausahaan dan;
13) Pelaksanaan tugas-tugas lain yang diberikan Bupati

20

Anda mungkin juga menyukai