Anda di halaman 1dari 19

Bahan Belaja Bedah Orthopedi

Cara membaca rontgent tulang

- Rule of 2 
o 2 views  foto dari proyeksi yang berbeda agar mendapatkan gambaran 3 dimensi
o 2 sides  dibandingkan dengan sisi yang normal untuk menentukan kelainan
o 2 joints  harus terlihat 2 sendi
o 2 occasion/visits  dilakukan untuk evaluasi dari terapi yang sudah diberikan
o 2 abnormalities  cari abnormalitas lain yang biasanya berhubungan
o 2 records  interpretasi ditulis
o 2 opinions  opini dari sejawat lain
o 2 specialists
o 2 examination  selain xray, bisa menggunakan modalitas lain untuk menegakkan
diagnose
- Step how to read imaging correctly :
1. Cek identitas pasien
2. Cek marker
3. Cek kondisi gambar secara keseluruhan  apakah cukup, terlalu opaque atau terlalu lusen
4. Cek dari luar ke dalam atau dalam ke luar
a. Soft tissue  apakah intak? Ada swelling? Ada udara?
b. nama tulang apa yang mengalami kelainan
c. Aspek mana?  proksimal, media, distal
d. Bentuk fraktur  linier, spiral, greenstick, torus, oblik, transverse, butterfly
e. Displacement  dinilai dengan singkatan LARA
i. Lengthening/shortening  overlapping jadi shortening
ii. Aposisi  ketika terjadi perubahan letak pada fragmen tulang sehingga
terjadi perubahan kontak antara fragmen tulang proksimal dengan distal.
Aposisi dinyatakan dalam presentasi, misal jika tidak ada kontak sama sekali
 aposisi 0%, atau aposisi komplit, kalo parsial misal aposisi 80%
iii. Rotasi  perputaran pada fragmen tulang pada aksis longitudinalnya
iv. Alignment  adanya kemiringan fragmen tulang, sehingga terjadi
perubahan pada aksis longitudinalnya. Jika aksis longitudinal fragmen
proksimal dan distal membentuk sudut, disebut sebagai angulasi,
dinyatakan dalam derajat
f. Densitas tulang secara umum
g. Joint  apakah ada penyempitan atau pelebaran celah sendi, apakah facies
artikularis licin, erosi, atau ada osteofit?

Posisi yang diperlukan pada pemeriksaan radiologi tulang

Keluhan tersering pada kasus orthopedi :

 Nyeri  tentukan lokasi, diffuse atau terlokalisir, referred pain, somatic pain, atau visceral pain
 Weakness  bisa dikarenakan masalah neurologis atau rupture tendon
 Instabilitas  pasien mengeluhkan kadang ada rasa terlepas dari bahu atau panggulnya pada
saat sedang melakukan suatu Gerakan
 Kaku  bedakan kaku dikarenakan nyeri, atau memang benar kaku. Kaku biasanya dikeluhkan
sebagai stiffnes post in activity, jadi kakunya muncul setelah ekstremitas tidak digerakkan untuk
beberapa waktu
 Swelling 
 Deformitas  otot mengecil, atau bagian tubuh yang bengkok
 Loss of function  ketidak mampuan untuk melakukan pekerjaan sehari hari dan sangat
mengganggu kualitas hidup

Px Fisik : Look, Feel, Move

Tampakan Khas saat LOOK

Kasus Orthopedi

Infeksi/Inflamasi
1. Osteomyelitis
2. Rheumatoid arthritis
3. Gout arthritis

Trauma

Fraktur terbuka dan tertutup


 REDUKSI
o Reduksi tertutup  indikasi : fraktur tertutup, fraktur undisplaced atau minimal
displaced
o Reduksi terbuka  indikasi : jika reduksi tertutup gagal, fraktur terbuka, fraktur yang
displacenya parah, fraktur multiple, fraktur patologis, fraktur avulsi
 Retention/fiksasi
o OREF
 Indikasi :
 Fraktur terbuka derajat 3
 Fraktur dengan kerusakan soft tissue yang luas
 Fraktur dengan gg vascular
 Fraktur dengan infeksi +
 Fraktur pelvis
 Fraktur multiple
 Jenis :
 Cast/splintage
 Traction  dilakukan jika terdapat # unstable (spiral/oblique#),
shortening
Jenis : skin traction (max beban 5 kilo), skeletal traction (biasanya
untuk # pada ekstremitas bawah seperti pelvis, femur, knee), grac=vity
traction (contohnya pada USlab untuk # humerus)
 Fiksasi eksternal
o ORIF
 Indikasi : # unstable, # kominutif, # avulsi, # yang direduksi terbuka
 Harus dipastikan tidak ada infeksi
 Risiko adanya biofilm bakteri pada fiksasi jenis ini

1. Fraktur Clavicula
2. Dislokasi Bahu
3. Fraktur Humeri
a. #distal humeri
ada 3 tipe, yaitu tipe A, B, C
1. Tipe A  ekstraartikular atau Supracondylaris #
 Sering pada anak-anak
 Pada anak-anak, sering terjadi displacement dari distal fragmen kea rah
posterior  karena posisi jatuh hiperekstensi. Jarang ke anterior 
posisi jatuh fleksi siku.
 Jika terjadi pada dewasa, biasanya karena High Energy Trauma 
unstable dan displaced
 Tx : paling bagus dengan open reduction + fiksasi interna
2. Tipe B  intraartikulat unicondylar
 Unstable, displaced, dan adanya kerusakan pada soft tissue
 Penting : perhatikan status NVD (n. ulnaris)
 Tx : pada displaced #  open reduction + internal fixation, pada
undisplaced bisa menggunakan back slab splintage dengan posisi elbow
menekuk 90 derajat + armsling
3. Tipe C  intraarticular bicondylar
 Unstable, displaced, dan adanya kerusakan pada soft tissue
 Penting : perhatikan status NVD (n. ulnaris)
 open reduction + internal fixation, pada undisplaced bisa menggunakan
back slab splintage dengan posisi elbow menekuk 90 derajat + armsling

komplikasi :

1. akut  nerve injury  paling sering n. ulnaris, bisa juga vascular injury
2. late 
a. stiffness  dapat mengurangi ROM Cuma 0-30 derajat, bisa dikarenakan
intrinstik (adhesi intraarticular, kontrakutr capsule) atau eksterinsik
(heterotropik ossification, nerve entrapement)
b. penting adanya mobilisasi post operatif untuk mencegah stiffeness
c.
4. Dislokasi Elbow
5. Fraktur dan dislokasi forearm
6. Disorder of Rotator Cuff
7. Fraktur Supracondylar Humeri pada Anak

Degeneratif

1. OA

Tumor

1. Osteosarcoma
2. Ewing Sarcoma

Pediatri

1. Greenstick & torus fracture


2. Supracondylar fracture
 Pada anak-anak, sering terjadi displacement dari distal fragmen kea rah posterior 
karena posisi jatuh hiperekstensi. Jarang ke anterior  posisi jatuh fleksi siku.
 Untuk mengukur displacement dari fragmen digunakan Baumann’s angle  sudut yang
dibentuk oleh 2 garis, 1 garis lurus dari humerus, 1 garis lurus setinggi capitellum.
Normalnya 64-81 derajat


 Manifestasi klinis :
i. Deformitas bentuk S pada grade III dan IV
ii. Cari adanya tanda ischemia otot  5P
iii. Karena ada displacement ke anterior  bisa mencederai a brachialis atau
nervus medianus
 Treatemnet :
i. Grade I  undisplaced  imobilisasi dengan cast atau splint dengan posisi siku
fleksi 90 derajat dan rotasi netral selama 3 minggu. 5-7 hari setelah imobilisasi,
evaluasi dengan Xray untuk liat ada displacement atau tidak
ii. Grade 2  ada displacement ringan + soft tissue swelling  dilakukan closed
reduction dulu dengan tractioin countertraction, setelah itu dilakukan
imbobilisasi dengan backslab splint + arm sling dengan posisi siku fleksi 120
derajat, pronasi,setelah itu dicek pulsasi arterinya. lalu selama 3 minggu ditaruh
di dalam baju, setelah 3 minggu bisa dliuar baju dan mulai movement therapy.
iii. Grade 3  dilakukan open reduction jika closed reduction tidak berhasil, fraktur
terbuka, atau fraktur berhubungan dengan vascular damage
 Komplikasi
i. Akut  vascular damage  terutama pada asteri brachialis. Cek adanya tanda
kompartement syndrome atau limb ischemia’
ii. Late  malunion  dalam bentuk cubiti varus atau valgus. Biasanya
dikarenakan uncorrected angulation atau reduksi yang salah. Bisa juga ada
kekakuan dan jarang sekali ada ossifikasi heterotropik
3.

KOngenital

1. CTEV
2. Osteopetrosis
3. Osteogenesis imperfecta
4. Syndactyly dll
5. Phocomelia dll

Metabolik

1. Rickettsia

Emergency di Orthopedi

Penanganan 

Primary Survey

- Airway + C spine
- Breathing + Oksigenasi
- Circulation  pada emergency orthopedi seperti adanya laserasi soft tissue atau
open fracture di daerah pelvis dan femur sangat berisiko untuk terjadi pendarahan
hebat.
o Resusitasi cairan + crossmatch untuk persiapan transfuse
o Direct pressure pada titik pendarahan
o Tourniquet  bisa dilakukan namun risiko ischemia limb besar
- Disability
- Exposure
- Imobilisasi fraktur atau dislokasi dapat mengurangi pendarahan, menghasilkan
efek tamponade, re-align ekstremitas, mencegah kerusakan soft tissue dan
fragmen tulang lebih lanjut.
o Reduksi misal : Dilakukan closed reduction terlebih dahulu, baru open reduction jika
closed reduction tidak berhasil.
Closed reduction bisa dilakukan dengan 3 fold manuver :
1. Traksi in line
2. Disimpaksi
3. Reduksi

o Splinting  Misal : memasang pelvic binder/pelvic sling pada #pelvis. Pada dislokasi,
setelah dilakukan reduksi dilakukan splinting sebagai imobilisasi dengan posisi
anatomis. Jika belum dilakukan reduksi, splinting diberikan pada posisi ketika
ditemukan

Secondary Survey  AMPLE (untuk riwayat), GSS (gerak, sensorik, sirkulasi)

1. Alergi
2. Medikasi  minum obat-obatan yang membuat kantuk, atau obat penenang, dibawah
pengaruh alkohol
3. Post medical history  riwayat trauma sebelumnya, riwayat operasi, riwayat penyakit kejiwaan
4. Last meal
5. Event leading to injury 
a. Mekanisme injuri 
i. memakai kendaraan apa,
ii. posisi duduk saat pre kecelakaan (misal nanti ketabrak dari samping bisa ada #
pada bagain perlvis),
iii. posisi pasien setelah kecelakaan  tetap berada di tempat duduk atau
terlempar keluar.
iv. Apakah pasien ditabrak oleh suatu objek?  jika terlempar, bisa saja terjadi
contusion atau degloving injury
v. memakai pengaman seperti seat belt atau airbag,
vi. cara pemakaian seat belt benar atau tidak (bisa terjadi # lumbal dan laserasi
pada pemakaian lap seatbelt yang tidak benar posisinya),
vii. model seatbelt yang 1 strap atau 3 point safety (pada pemakaian 3 strap bisa
ada seat belt injury, # clavicula),
viii. adanya kerusakan internal pada kendaraan (misal kerusakan di steer,
dashboard, atau kaca depan  meningkatkan kemungkinan cedera pada bagian
sternum, klavikula, dan pelvis
ix. kerusakan eksternal pada kendaraan
x. ada ledakan atau tidak
xi. pada tabrakan pejalan kaki  paling sering bumper injury
6. Pemeriksaan Fisik Head to toe  fungsinya untuk identifikasi adanya life threatening injury, limb
threatening injury, dan review sistematis untuk cedera lain
a. Dilakukan dengan mengekspose seluruh tubuh pasien
b. Prinsip : Gerak (menilai musculoskeletal), Sensory (menilai neuromuscular), Sirkulasi
c. Pemeriksaan kepala : ada jejas, ada krepitasi, adanya tanda # basis cranii (battle sign,
racoon’s eye, keluar darah dari hidung atau telinga yang bercampur dengan CSF  halo
sign)
d. Pemeriksaan leher : jejas, krepitasi
e. Thorax
f. Abdomen
g. Ekstremitas :
i. Look and ask  perhatikan adanya jejas, rubor, tumor, function lessa,
deformitas (LARA)
1. Tanda 5P (pain, pallor, pulseless, paresthesia, paralysis)  tanda acute
limb ischemia
2. tanda kompartemen syndrome
3.
ii. Feel  nyeri tekan, hangat/dingin (tanda hipoperfusi), krepitasi, pulse pada
bagian distal injury, sensory pada bagian distal injury (adanya hypoesthesia
mengindikasikan adanya injury pada inervasi perifer atau medulla spinalis)
iii. Move  Gerakan pasif (indikasi inervasi motoris masih baik), Gerakan aktif,
adanya pengurangan ROM atau tidak bisa digerakkan sama sekali (indikasi
adanya ruptur ligament
iv. Sirkulasi  cek pulse, jika kesulitan karena adanya hipotensi bisa menggunakan
doppler  nilai ABI (ankle brachial index), jika tekanan sistol antara ankle dan
brachial <0,9  indikasi adanya limb ischemia

1. Life threatening
a. Major pelvic ring injury
- Anatomi :
o Pelvic ring  terdiri dari 2 tulang, yaitu sacrum dan coxae 2 pasang.
Kedua tulang dijaga stabilitasnya oleh persendian sinartrosis (simfisis
pubis dan sacroiliac joint), dan ligamentum yang memfiksasi.
ligamentum yang memfiksasi antara lain : lig. Sacroiliaca ante dan
posterior, lig. Iliolumbar, lig. Sacrotuberosum, lig. Sacrospinosum, lig.
Superior pubic dan lig. Arcuate pubic.
- Mengapa life threatening? Karena pada kavum pelvis terdapat struktu pembulu
darah yang besar seperti a. iliaca communis, interna dan eksterna, serta ada
plexus lumbosacralis (paling sering L5-S1). Selain itu beberapa organ dalam yang
dpaat juga terdampak injury yaitu bladder (ruptre buli intraperitoneal atau
ekstraperitoneal), rupture urethra. Organ organ yang memiliki penggantung
cenderung lebih stabil terjadap adanya pelvix injury.
- Pemeriksaan fisik (secondary survey) dilakukan sekali, teliti dan hati hati
karena pemeriksaan berulang berisiko untuk pembentukan clot
o Inspeksi : lihat adanya jejas, pada area abdomen, genital  butterfly
hematoma
 Lihat jejas di area perineum, genital
 Adanya meatal bleeding
 Fraktur terbuka pada area perineum, genital
 Ketiga point di atas  curiga adanya pelvic ring injury
o Palpasi : cek stabilitas panggul HANYA BOLEH DILAKUKAN PADA PASIEN
STABIL (no obvious pelvic injury, no hypotension)
Lakukan maneuver compression distraction  tangan menekan SIAS
pasien dari anterior keaarah caudolateral. + jika ada nyeri, terdapat
rotasi interna lalu eksterna dari femur  ada instabilitas dari pelvis
Lakukan side lying compression  untuk lihat instabilitas dari sacroilicac
joint.

Palpasi juga bagian ilium posterior dan tuberclenya sambal


menggerakkan hemipelvis
LAKUKAN PX SEKALI SAJA  karena dapat menyebabkan pendarahan
leboh berat

nyeri tekan, bengkak pada area suprapubic  curiga adanya rupture


buli, adanya jejas pada area abdomen dan ada nyeri tekan  tanda
adanya intraperitoneal bleeding

o Rectal touche  untuk assess kekuatan spinchter, posisi prostat (high


riding prostat indikasi adanya urethral injury
o Vaginal examination  buat liat ada fraktur pelvis atau nggak
o Gluteal examination
o Pemasangan NGT atau OGT untuk dekompresi
o Pemasangan kateter urin  untuk monitoring UO
 Tidak boleh dilakukan pada meatal bleeding, high riding
prostate, dan perineal hematoma
o Pasang pelvic binder  hanya lepaskan pada saat akan dilakukan X-Ray
- Pemeriksaan penunjang
o X ray  tidak diwajibkan pada pasien dengan hemodinamik yang tidak
stabil
AP view  perhatikan 5 tempat utama yaitu art sacroiliaca (adanya
diastasis), simfisis pubis (adanya diastasis), ilium (#), tear drop, foramen
obturator (# pada ramus sup atau inf pubis)
i. Inlet  untuk menilai art sacriiliaca dan sacrum
ii. Outlet  true AP, bisa lihat sacrum dan simfisis pubis
iii. Judet view (obturator and iliac oblique view)  untuk
menilai anterior column acetabulum (obturator view),
dan untuk menilai poste dan anter wall acetabulum
(iliac view). Ada 6 yang harus dinilai untuk melihat #
acetabuli yaitu :
a. Anterior wall
b. Posterior wall
c. Atap acetabuli
d. Ileopectinea line
e. Ileoischi line
f. Tear drop  crista yang mengelilingi facies
lunata acetabulum

- Classification  young and Burges classification (u/ mengetahui mekanisem


injury) dan Tiles class (u/ mengetahui kestabilan #)
- Terapi : Pemasangan pelvic binder di trochanter mayor, tidak lebih dari 24 jam
karena dapat menyebabkan pressured area .setelah 24 jam, pelvic binder
dilepas dan dicek pressure areanya. Jika tidak apa apa bisa dipakaikan lagi.
Pelvic binder  berfungsi untuk mengurangi volume dari pelvis  mencegah
pendarahan lebih lanjut
- Terapi u/ urogenital injury :
o FAST  untuk melihat adanya cairan intraperitoneal dan bisa juga
deteksi tamponade cordis. Cek di 4 titik yaitu hepatorenal,
splenorenal, epigaster, dan suprapubic.
o DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage)  aspirasi cairan dari peritoneum.
Caranya bisa lewat supraumbilical approach (pada orang curiga fraktur
pelvis untuk menghindari hematom), atau infraumbilical approach
(pada pasien hamil besar)
Kontraindikasi : morbid obesity, sirosis hepatis,koagulopati, dan
riwayat operasi abdomen sebelumnya
(+) jika ditemukan RBC >100.000, WBC >500, atau adanya bakteri
tercat dengan Gram.
Laparotomi  jika ditemukan darah, empedu, atau serat serat
makanan
Jika tidak bisa diaspirasi, lavage dilakukan dengan 1000cc cairan
isotonis hangat (pada anak 10cc/kgBB)
o Untuk urethral injury  pasang kateter urin atau pungsi suprapubic
kateter
o Jika pada kateter suprapubic ada darah + urin  lakukan cystogram
retrograde
o Jika ada darah saja  lakukan urethrogram retrogram
o Jika ada urine leak dari bladder  rupture bladder  berikan antibiotic,
debridement dan fiksasi
o Bladder rupture intraperitoneal  butuh laparotomy emergency
o Bladder rupture ekstraperitoneal  konservatif
b. Crush syndrome
- Etiologic : adanya muscle injury (biasanya pada otot besar seperti femoral
muscle dan calf muscle), menyebabkan adanya ischemia, dan akhirnya kematian
sel otot yang melepaskan myoglobin. Rhabdomyolisis ini dapat menyebabkan
adanya AKI
- Tanda dan gejala :
o Urin berwarna hitam cokelat
o Asidosis metabolic  nafas kussmaul
o Hiperkalemia  adanya Tall T pada EKG
o Hiperkalsemia
o Gejala DIC
- Terapi :
o Pemberian cairan optimal  memberikan efek dilusi terhadap
myoglobin, adanya diuresis osmotic dan intravaskulat volume expansion
 kerja ginjal menjadi tak berat
o Pemberian cairan hingga mencapai UO pasien 100ml/jam hingga
myoglobin bersih
-
2. Limb threatening
a. Open #
- Diagnosis open # ditegakkan dari anamnesis dan px fisik  didapatkan luka
terbuka >1 pada segmen ekstremitas yang sama dengan/tanpa kerusakan otot,
kontaminasi, dan fraktur yang signifikan
- Luka terbuka yang satu segmen dengan lokasi fraktur  dianggap open #
sampai tidak terbukti open #
- Luka terbuka dengan lokasi dekat dengan persendian  dianggap terhubung
dengan bagian dalam sendi
- Terapi :
o ABC  pastikan clear
o Imobilisasi
o Pemberian antibiotic  cephalosporin gen 1 + aminoglikosida (cefazolin
+ gentamisin)
o Pemberian profilaksis anti tetanus –> ATS + TIG

b. Vascular injury dan Traumatic amputation


- Etiologi : bisa dikarenakan trauma itu sendiri (dislokasi dari sendi, open #) atau
akibat dari imobilisasi (cast splinting dengan sirkular bandage)
- Penegakkan diagnosis
o Anamnesis : onset  golden hour limb adalah 6 jam, adanya nyeri atau
rasa kebas pada ekstremitas distal dari injury
o Px fisik :
 Cari adanya tanda 5P  pain, pallor, pulselessness, paresthesia,
paralysis
 WPK >3 detik
 ABI <0,9  dengan doppler atau manset biasa
o Terapi :
 ABC dipastikan clear
 Jika terdapat pendarahan yang tidak terkontrol dengan direct
pressure  lakukan turniket. Turniket bisa sebagai tindakan life
saving dan atau limb saving, namun terdapat risiko terjadinya
amputasi
 Jika gangguan vascular karena adanya dislokasi  bisa dicoba
reduksi terlebih dahulu. Jika tidak bisa  cukup diimobilisasi
dengan cast splinting
 Setelah pemasangan splint, jangan lupa cek vaskularisasi
dengan pulse dan WPK
 Jika terdapat bagian tubuh yang teramputasi, masukkan bagian
tubuh tersebut dicuci dengan RL  dibungkus dengan kassa
yang sudah direndam larutan penicillin 100ribu U dalam 50 mL
RL  dibungkus dengan handuk steril  dibungkus plastic 
ditaruh di dalam pendingin
 Replantasi bisa dilakukan  jika bagian yang terlepas tersebut
di bawah siku atau di bawah lutut
 amputasi  dapat dilakukan sebagai tindakan life saving pada
pasien yang setelah diresusitasi namun hemodinamiknya masih
belum stabil
c. Compartement syndrome
- Etiologic : adanya kenaikan tekanan pada kompartemen osteofaacial yang
menyebabkan adanya ischemia pada otot otot ekstremitas. kenaikan dari
tekanan ini bisa dikarenakan
o Memang tekanan pada intramuscularnya misal : diakibatkan adanya
revaskularisasi setelah terjadinya ischemia
o Berkurangnya space di dalam kompartemen misal : dikarenakan cast
splinting yang terlalu ketat
- Anatomi :
o Ekstremitas atas paling sering bagian antebrachia

-

o Compartement anterior cruris  paling sering terkena compartement


- Patofisologi :
o Muscle perfusion pressure (delta P)= diastole – intramuscle pressure.
Jika terjadi penurunan diastole atau terjadi kenaikan dari intramuscle
pressurenya, bisa menyebabkan berkurangnya MPP.
o Tekanna intramuscle atau tekanan intracompartemen normalnya 0-8
mmHg. Kenaikan tekanan intrakompartemen 10-30 mmHg 
compartement syndrome.
o Delta P <30  compartement syndrome
o adanya tekanan intrakompartemen yang meningkat atau
berkurangnya space di dalam kompartemen pertama menyebabkan
vena terbendung  terjadi peningkatan permeabilitas kapiler 
eksudasi  semakin meningkatkan tekanan intrakompartemen 
perfusi arteri berkurang  kerusakan pada inervasi
- gejala dan tanda  6P
o pain  out proportion pain, nyeri saat meregangkan otot, nyeri
seperti terbakar dan deep
o pressure  membutuhkan alat tertentu untuk cek, >30 mmHg
o pallor  jarang sebenarnya, tapi salah satu tanda adanya vascular
compromised.
o Paresthesia  seiring dengan berjalan waktu, awalnya numb pada
localized area  meluas. bisa dilakukan px sensoris sesuai myotom
dan dermatome
o Pulselessness  pulsasi menurun atau hilang, tanda adanya late stage
o Paralysis  sudah sangat terlambat
- Faktor risiko :
o Fraktur tibia dan antebrachia
o Tight cast
o Adanya peningkatan permeabilitas pembulu darah akibat adanya
reperfusi
o Adanya eksternal pressure dan localize dalam jangka waktu lama misal
: pada posisi lithotomi dapat menyebabkan tekanan pada n. peroneal
o Burn
o Crush injury pada otot
o Excessive exercise
o Laki laki usia >30 tahun
- Terapi 
o Longgarkan atau lepaskan sirkular dressing pada area tersebut
o Jika setelah 30-60 menit tidak ada perbaikan  fasciotomy
d. Neurologic Injury Secindary to Fracture and Disloc

e. Non trauma  acute hematogenous osteomyelitis, septic arthritis

Anda mungkin juga menyukai