Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Laringitis merupakan suatu proses inflamasi pada laring yang dapat

terjadi, baik akut, sub akut maupun kronik. Laringitis akut biasanya terjadi

mendadak dan berlangsung dalam kurun waktu kurang lebih 3 minggu. Bila

gejala telah lebih dari 3 minggu dinamakan laringitis sub akut. Bila gejala

lebih dari kurang lebih 3 bulan dinamakan laringitis kronis. Laringitis kronis

dibagi menjadi dua bagian menurut sebabnya yaitu laringitis akut non spesifik

dan laringitis kronik spesifik.1

Salah satu bentuk laringitis kronis spesifik adalah laringitis tuberkulosis.

Laringitis tuberkulosis adalah proses inflamasi pada mukosa pita suara dan

laring yang terjadi dalam jangka waktu lama yang disebabkan oleh kuman

Mycobacterium tuberculosa.2

Di Indonesia, belum terdapat publikasi data epidemiologi laringitis

tuberkulosis yang mencakup skala nasional. Penelitian di RSUP Dr. Sarjito

Yogyakarta menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 5 tahun (Januari 2000-

Desember 2004) didapatkan 15 pasien dengan diagnosis laringitis

tuberkulosis. Insidensi terbanyak adalah pada kelompok umur 60-69 tahun

(30%).2

Pada laringitis tuberkulosis proses inflamasi akan berlangsung secara

progresif dan dapat menyebabkan kesulitan bernapas. Kesulitan bernafas ini

dapat disertai stridor, baik pada periode inspirasi, ekspirasi atau keduanya.

1
Jika tidak segera diobati, stenosis dapat berkembang, sehingga diperlukan

trakeostomi. Akan tetapi, sering kali setelah diberi pengobatan, tuberkulosis

parunya sembuh tetapi laringitis tuberkulosisnya menetap. Hal ini terjadi

karena struktur mukosa laring yang sangat lekat pada kartilago serta

vaskularisasi yang tidak sebaik di paru, sehingga bila sudah mengeni

kartilago, pengobatannya lebih lama.2

Oleh karena itu, pembahasan mengenai laringitis tuberculosis lebih lanjut

diperlukan agar dapat memberi pengetahuan mengenai cara diagnosis dan

penatalaksanaan yang tepat guna mencegah komplikasi yang akan terjadi.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Laring

Laring adalah bagian dari saluran pernafasan bagian atas yang

merupakan suatu rangkaian tulang rawan yang berbentuk corong dan terletak

setinggi vertebra cervicalis IV – VI, dimana pada anak-anak dan wanita

letaknya relatif lebih tinggi. Laring pada umumnya selalu terbuka, hanya

kadang-kadang saja tertutup bila sedang menelan makanan.3

Batas-batas laring berupa sebelah kranial terdapat aditus laringeus yang

berhubungan dengan hipofaring, di sebelah kaudal dibentuk oleh sisi inferior

kartilago krikoid dan berhubungan dengan trakea, di sebelah posterior

dipisahkan dari vertebra cervicalis oleh otot-otot prevertebral, dinding dan

cavum laringofaring, serta di sebelah anterior ditutupi oleh fascia, jaringan

lemak, dan kulit. Sedangkan di sebelah lateral ditutupi oleh otot-otot

sternokleidomastoideus, infrahyoid, dan lobus kelenjar tiroid.3,4

Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang hyoid

dan beberapa buah tulang rawan. Tulang hyoid berbentuk seperti huruf U,

yang permukaan atasnya dihubungkan dengan lidah, mandibula, dan

tengkorak oleh tendo dan otot-otot. 3,4

Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago epiglotis, kartilago

krikoid, kartilago aritenoid, kartilago kornikulata dan kartilago tiroid.3,4

Pada laring terdapat dua buah sendi, yaitu artikulasi krikotiroid dan

artikulasi krikoaritenoid. Ligamentum yang membentuk susunan laring

3
adalah ligamentum seratokrikoid (anterior, lateral, dan posterior), ligamentum

krikotiroid medial, ligamentum krikotiroid posterior, ligamentum

kornikulofaringal, ligamentum hiotiroid lateral, ligamentum hiotiroid medial,

ligamentum hioepiglotika, ligamentum ventrikularis, ligamentum vokal yang

menghubungkan kartilago aritenoid dengan kartilago tiroid dan ligamentum

tiroepiglotika.3,4

Laring berbentuk piramida triangular terbalik dengan dinding kartilago

tiroidea di sebelah atas dan kartilago krikoidea di sebelah bawahnya. Os

Hyoid dihubungkan dengan laring oleh membrana tiroidea. Tulang ini

merupakan tempat melekatnya otot-otot dan ligamenta serta akan mengalami

osifikasi sempurna pada usia 2 tahun.3,4

Gambar 1. Anatomi Laring4

Anatomi Bagian Laring Dalam

Cavum laring dapat dibagi menjadi sebagai berikut:

1. Supraglotis (vestibulum superior)

Yaitu ruangan diantara permukaan atas pita suara palsu dan inlet laring.

4
2. Glotis (Pars media)

Yaitu ruangan yang terletak antara pita suara palsu dengan pita suara sejati

serta membentuk rongga yang disebut ventrikel laring Morgagni.

3. Infraglotis (pars inferior)

Yaitu ruangan diantara pita suara sejati dengan tepi bawah kartilago

krikoidea.3

Vaskularisasi

Laring mendapat vaskularisasi dari cabang A. Tiroidea Superior dan Inferior

sebagai A. Laringeus Superior dan Inferior

1. Arteri Laringeus Superior

Berjalan bersama ramus interna N. Laringeus Superior menembus

membrana tirohioid menuju ke bawah diantara dinding lateral dan dasar

sinus pyriformis.3

2. Arteri Laringeus Inferior

Berjalan bersama N. Laringeus Inferior masuk ke dalam laring melalui

area Killian Jamieson yaitu celah yang berada di bawah M. Konstriktor

Faringeus Inferior, di dalam laring beranastomose dengan A. Laringeus

Superior dan memperdarahi otot-otot dan mukosa laring.3

5
Gambar 2. Sistem Arteri pada Laring3

Darah vena dialirkan melalui V. Laringeus Superior dan Inferior ke V.

Tiroidea Superior dan Inferior yang kemudian akan bermuara ke V. Jugularis

Interna.3

Gambar 3. Sistem Vena pada Laring3

Persarafan

Laring dipersarafi oleh cabang N. Vagus yaitu Nn. Laringeus Superior dan

Nn. Laringeus Inferior (Nn. Laringeus Rekuren) kiri dan kanan.

1. Nn. Laringeus Superior.

Meninggalkan N. vagus tepat di bawah ganglion nodosum, melengkung ke

depan dan medial di bawah A. karotis interna dan eksterna yang kemudian

akan bercabang dua, yaitu : Cabang Interna ; bersifat sensoris,

mempersarafi vallecula, epiglotis, sinus pyriformis dan mukosa bagian

dalam laring di atas pita suara sejati. Cabang Eksterna ; bersifat motoris,

mempersarafi m. Krikotiroid dan m. Konstriktor inferior.3

2. N. Laringeus Inferior (N. Laringeus Rekuren).

6
Berjalan dalam lekukan diantara trakea dan esofagus, mencapai laring

tepat di belakang artikulasio krikotiroidea. N. laringeus yang kiri

mempunyai perjalanan yang panjang dan dekat dengan Aorta sehingga

mudah terganggu. Merupakan cabang N. vagus setinggi bagian proksimal

A. Subklavia dan berjalan membelok ke atas sepanjang lekukan antara

trakea dan esofagus, selanjutnya akan mencapai laring tepat di belakang

artikulasio krikotiroidea dan memberikan persarafan:

a. Sensoris, mempersarafi daerah sub glotis dan bagian atas trakea

b. Motoris, mempersarafi semua otot laring kecuali M. Krikotiroidea3

Sistem Limfatik

Laring mempunyai tiga sistem penyaluran limfe, yaitu:

1. Daerah bagian atas pita suara sejati, pembuluh limfe berkumpul

membentuk saluran yang menembus membrana tiroidea menuju kelenjar

limfe cervical superior profunda. Limfe ini juga menuju ke superior dan

middle jugular node. 3

2. Daerah bagian bawah pita suara sejati bergabung dengan sistem limfe

trakea, middle jugular node, dan inferior jugular node.3

3. Bagian anterior laring berhubungan dengan kedua sistem tersebut dan

sistem limfe esofagus. Sistem limfe ini penting sehubungan dengan

metastase karsinoma laring dan menentukan terapinya.3

7
Gambar 4. Sistem Limfatik pada Laring3

2.2 Fisiologi Laring

Laring mempunyai 3 (tiga) fungsi dasar yaitu fonasi, respirasi dan proteksi

disamping beberapa fungsi lainnya seperti terlihat pada uraian berikut:5,6,7

1. Fungsi Fonasi

Pembentukan suara merupakan fungsi laring yang paling kompleks. Suara

dibentuk karena adanya aliran udara respirasi yang konstan dan adanya

interaksi antara udara dan pita suara. Nada suara dari laring diperkuat oleh

adanya tekanan udara pernafasan subglotik dan vibrasi laring serta adanya

ruangan resonansi seperti rongga mulut, udara dalam paru-paru, trakea,

faring, dan hidung. Nada dasar yang dihasilkan dapat dimodifikasi dengan

berbagai cara. Otot intrinsik laring berperan penting dalam penyesuaian

tinggi nada dengan mengubah bentuk dan massa ujung-ujung bebas dan

tegangan pita suara sejati.

2. Fungsi Proteksi

Benda asing tidak dapat masuk ke dalam laring dengan adanya reflek otot-

otot yang bersifat adduksi, sehingga rima glotis tertutup. Pada waktu

8
menelan, pernafasan berhenti sejenak akibat adanya rangsangan terhadap

reseptor yang ada pada epiglotis, plika ariepiglotika, plika ventrikularis

dan daerah interaritenoid melalui serabut afferen N. Laringeus Superior.

Sebagai jawabannya, sfingter dan epiglotis menutup. Gerakan laring ke

atas dan ke depan menyebabkan celah proksimal laring tertutup oleh dasar

lidah. Struktur ini mengalihkan makanan ke lateral menjauhi aditus dan

masuk ke sinus piriformis lalu ke introitus esofagus.

3. Fungsi Respirasi

Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk memperbesar

rongga dada dan M. Krikoaritenoideus Posterior terangsang sehingga

kontraksinya menyebabkan rima glotis terbuka. Proses ini dipengaruhi

oleh tekanan parsial CO2 dan O2 arteri serta pH darah. Bila pO2 tinggi

akan menghambat pembukaan rima glotis, sedangkan bila pCO2 tinggi

akan merangsang pembukaan rima glotis. Hiperkapnia dan obstruksi laring

mengakibatkan pembukaan laring secara reflektoris, sedangkan

peningkatan pO2 arterial dan hiperventilasi akan menghambat pembukaan

laring. Tekanan parsial CO2 darah dan pH darah berperan dalam

mengontrol posisi pita suara.

4. Fungsi Sirkulasi

Pembukaan dan penutupan laring menyebabkan penurunan dan peninggian

tekanan intratorakal yang berpengaruh pada venous return. Perangsangan

dinding laring terutama pada bayi dapat menyebabkan bradikardi, kadang-

kadang henti jantung. Hal ini dapat karena adanya reflek kardiovaskuler

dari laring. Reseptor dari reflek ini adalah baroreseptor yang terdapat di

9
aorta. Impuls dikirim melalui N. Laringeus Rekurens dan Ramus

Komunikans N. Laringeus Superior. Bila serabut ini terangsang terutama

bila laring dilatasi, maka terjadi penurunan denyut jantung.

5. Fungsi Fiksasi

Berhubungan dengan mempertahankan tekanan intratorakal agar tetap

tinggi, misalnya batuk, bersin dan mengedan.

6. Fungsi Menelan

Terdapat 3 (tiga) kejadian yang berhubungan dengan laring pada saat

berlangsungnya proses menelan, yaitu: Pada waktu menelan faring bagian

bawah (M. Konstriktor Faringeus Superior, M. Palatofaringeus dan M.

Stilofaringeus) mengalami kontraksi sepanjang kartilago krikoidea dan

kartilago tiroidea, serta menarik laring ke atas menuju basis lidah,

kemudian makanan terdorong ke bawah dan terjadi pembukaan

faringoesofageal. Laring menutup untuk mencegah makanan atau

minuman masuk ke saluran pernafasan dengan jalan menkontraksikan

orifisium dan penutupan laring oleh epiglotis.

Epiglotis menjadi lebih datar membentuk semacam papan penutup aditus

laringeus, sehingga makanan atau minuman terdorong ke lateral menjauhi

aditus laring dan maduk ke sinus piriformis lalu ke hiatus esofagus.

7. Fungsi Batuk

Bentuk plika vokalis palsu memungkinkan laring berfungsi sebagai katup,

sehingga tekanan intratorakal meningkat. Pelepasan tekanan secara

mendadak menimbulkan batuk yang berguna untuk mempertahankan

10
laring dari ekspansi benda asing atau membersihkan sekret yang

merangsang reseptor atau iritasi pada mukosa laring.

8. Fungsi Ekspektorasi

Dengan adanya benda asing pada laring, maka sekresi kelenjar berusaha

mengeluarkan benda asing tersebut.

9. Fungsi Emosi

Perubahan emosi dapat menyebabkan perubahan fungsi laring, misalnya

pada waktu menangis, kesakitan, menggigit dan ketakutan.

2.3 Definisi

Laringitis merupakan suatu proses inflamasi pada laring yang dapat

terjadi, baik secara akut maupun kronik. Laringitis akut biasanya terjadi

mendadak dan berlangsung dalam kurun waktu kurang lebih 3 minggu. Bila

gejala telah lebih dari 3 minggu dinamakan laringitis kronis.8

Radang akut laring pada umumnya merupakan kelanjutan dari

rinofaringitis akut (common cold). Sedangkan laringitis kronik merupakan

radang kronis laring yang dapat disebabkan oleh sinusitis kronis, deviasi

septum yang berat, polip hidung atau bronkitis kronis. Mungkin juga

disebabkan oelh penyalahgunaan suara (vocal abuse) seperti berteriak-teriak

atau biasa berbicara keras.8

Laringitis kronis dibagi menjadi laringitis kronik non spesifik dan

spesifik. Laringitis kronik non spesifik dapat disebabkan oleh faktor eksogen

(rangsangan fisik oleh penyalahgunaan suara, rangsangan kimia, infeksi

kronik saluran napas atas atau bawah, asap rokok) atau faktor endogen

11
(bentuk tubuh, kelainan metabolik). Sedangkan laringitis kronik spesifik

disebabkan tuberkulosis dan luetika.2

Salah satu bentuk laringitis kronis spesifik adalah laringitis tuberkulosis.

Laringitis tuberkulosis adalah proses inflamasi pada mukosa pita suara dan

laring yang terjadi dalam jangka waktu lama yang disebabkan oleh kuman

Mycobacterium tuberculosa.5

2.4 Etiologi

Hampir selalu disebabkan tuberkulosis paru. Setelah diobati biasanya

tuberkulosis paru sembuh namun laringitis tuberkulosisnya menetap, karena

struktur mukosa laring sangat lekat pada kartilago serta vaskularisasi tidak

sebaik paru. Infeksi laring oleh Mycobacterium tuberculosa hampir selalu

sebagai komplikasi tuberkulosis paru aktif, dan ini merupakan penyakit

granulomatosis laring yang paling sering.9

2.5 Patogenesis

Laringitis tuberkulosis umumnya merupakan sekunder dari lesi

tuberkulosis paru aktif, jarang merupakan infeksi primer dari inhalasi basil

tuberkel secara langsung. Secara umum, infeksi kuman ke laring dapat terjadi

melalui udara pernapasan, sputum yang mengandung kuman, atau penyebaran

melalui darah atau limfe.9

Berdasarkan mekanisme terjadinya laringitis tuberkulosis dikategorikan

menjadi 2 mekanisme, yaitu:

1. Laringitis Tuberkulosis Primer

12
Laringitis tuberkulosis primer jarang dilaporkan dalam literatur medis.

Laringitis tuberkulosis primer terjadi jika ditemukan infeksi

Mycobacterium tuberculosa pada laring, tanpa disertai adanya keterlibatan

paru. Rute penyebaran infeksi pada laringitis tuberkulosis primer yang saat

ini diterima adalah invasi langsung dari basil tuberkel melalui inhalasi.12,13

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Shin dkk (2000), menyatakan

bahwa sebanyak 40,6% pasien dengan laringitis tuberkulosis memiliki

paru yang normal.10

2. Laringitis Tuberkulosis Sekunder

Laringitis tuberkulosis sekunder terjadi jika ditemukan infeksi laring

akibat Mycobacterium tuberculosa yang disertai adanya keterlibatan paru.

Laringitis tuberkulosis sekunder merupakan komplikasi dari lesi

tuberkulosis paru aktif. Mekanisme penyebaran infeksi ke laring dapat

berupa penyebaran langsung di sepanjang saluran pernapasan dari infeksi

paru primer berupa sputum yang mengandung kuman maupun penyebaran

melalui sistem darah ataupun limfatik.10

Penyebaran Lewat Sputum (Bronkogen)

Penyebaran infeksi basil tuberkel ke laring melalui mekanisme

bronkogenik merupakan teori yang lazim dipahami. Adanya bronkogen

dalam hal ini, sputum yang mengandung bakteri M. tuberculosis

mendasari patogenesis terjadinya laringitis tuberkulosis. Terjadinya

laringitis tuberkulosis dapat disebabkan oleh tersangkutnya sputum yang

mengandung basil tuberkulosis di laring, terutama pada struktur posterior

13
laring termasuk aritenoid, ruang interaritenoid, pita suara bagian posterior

dan permukaan epiglotis yang menghadap ke laring.2,9

Antigen dari basil TB yang berada di laring dicerna sel dendritik lalu

dibawa ke kelenjar limfe regional dan mempresentasikan antigen M.

Tuberculosis ke sel Th1. Th1 kemudian berproliferasi dan dapat kembali

ke tempat awal infeksi. Restimulasi oleh sel penyaji setempat

menghasilkan produksi IFN  dan mengaktifasi makrofag. Bila eliminasi

mikroorganisme ini gagal akan berlanjut pada inflamasi kronik terjadi

dimana patogen persisten di dalam tubuh, maka terjadi pengalihan respon

imun berupa reaksi hipersensitifitas tipe lambat membentuk granuloma.11

Setelah kontak awal dengan antigen, sel Th disensitisasi, berproliferasi

dan berdiferensiasi menjadi sel DTH (delayed type hypersensitivity)

dimana pengerahan makrofag yang berkelanjutan akan membentuk sel-sel

epitloid berupa sel datia dalam granuloma.11

Tuberkel yang avaskular berisikan daerah perkijuan di tengah

dikelilingi oleh sel epiteloid dan di bagian perifer oleh sel-sel

mononukleus. Kemudian tuberkel-tuberkel ini bersatu membentuk nodul.

Karena letaknya di subepitel, epitel yang melampisinya mungkin hilang

dan sering terjadi ulserasi dengan infeksi sekunder. Proses ini pertama kali

cenderung akan mengenai prosesus vokalis dan epiglotis.1,11

Adanya tuberkel mungkin akan merangsang terjadinya hiperplasia

epitel dan jaringan fibrosis subepitel. Hal ini mungkin bermanifestasi pada

daerah interaritenoid berupa penebalan yang menyerupai pakiderma.

Prosesus vokalis mungkin di tutupi oleh nodul yang menyerupai morbili.

14
Hal ini merupakan manifestasi dari proses perbaikan karena hanya

ditemukan sedikit perkijuan pada lesi.11

Edema jelas pada keadaan lebih lanjut dan mungkin terjadi sebagai

akibat obstruksi jaringan limfe oleh granuloma. Edema dapat timbul di

fossa interaritenoid, kemudian ke aritenoid, plika vokalis, plika

ventrikularis, epiglottis serta terakhir ialah subglotik. Epiglotis dan

jaringan ikat di atas aritenoid merupakan tempat yang paling tampak

edema.1,9,11

Penyebaran Melalui Limfohematogen

Selain mekanisme bronkogenik, penyebaran M. tuberculosis pada

laring dapat juga melalui sistem limfohematogen. Penyebaran melalui

sistem limfohematogen biasanya mengenai laring anterior dan epiglotis.10

2.6 Gambaran Klinis

Secara klinis manifestasi laringitis tuberkulosis terdiri dari 4 stadium yaitu:

1. Stadium Infiltrasi

Mukosa laring bagian posterior mengalami pembengkakan dan hiperemis

pada bagian posterior, kadang-kadang dapat mengenai pita suara. Pada

stadium ini mukosa laring berwarna pucat.2

Kemudian di daerah submukosa terbentuk tuberkel, sehingga mukosa tidak

rata, tampak bintik berwarna kebiruan. Tuberkel makin membesar dan

beberapa tuberkel yang berdekatan bersatu, sehingga mukosa diatasnya

meregang. Pada suatu saat, karena sangat meregang, maka akan pecah dan

terbentuk ulkus.2

15
2. Stadium Ulserasi

Ulkus yang timbul pada akhir stadium infiltrasi membesar. Ulkus ini

dangkal, dasarnya ditutupi perkijuan dan dirasakan sangat nyeri oleh

pasien.2

3. Stadium Perikondritis

Ulkus makin dalam sehingga mengenai kartilago laring terutama kartilago

aritenoid dan epiglottis. Dengan demikian terjadi kerusakan tulang rawan,

sehingga terbentuk nanah yang berbau, proses ini akan melanjut dan

terbentuk sekuester. Pada stadium ini pasien sangat buruk dan dapat

meninggal dunia. Bila pasien dapat bertahan maka proses penyakit

berlanjut dan msuk dalam stadium terakhir yaitu fibrotuberkulosis.2

4. Stadium Fibrotuberkulosis

Pada stadium ini terbentuk fibrotuberkulosis pada dinding posterior, pita

suara dan subglotik.2

Berdasarkan Shin dkk (2000), temuan pada laringitis tuberkulosis dapat

dikategorikan menjadi empat grup, antara lain (a) lesi ulserasi (40,9%), (b)

lesi inflamasi non spesifik (27,3%), (c) lesi polipoid (22,7%), dan (d) lesi

massa ulcerofungative (9,1%).10

16
Gambar 5. Temuan Laringoskopi pada Laringitis Tuberkulosis, A. Lesi

Ulseratif (pada seluruh laring), B. Lesi Granuloma (pada glotis posterior),

C. Lesi Polyploid (pada plika vokalis palsu kanan), D. Lesi Nonspesifik

(pada plika vokalis kanan)10

2.7 Gejala klinis

Tergantung pada stadiumnya, disamping itu terdapat gejala sebagai berikut:


Rasa kering, panas, dan tertekan di daerah laring.


Suara parau yang berlangsung berminggu-miggu, sedangkan pada stadium

lanjut dapat timbul afoni.



Hemoptisis.


Nyeri waktu menelan yang lebih hebat bila dibandingkan dengan nyeri

karena radang lainnya, merupakan tanda yang khas.



Keadaan umum buruk.


Pada pemeriksaan paru (secara klinis dan radiologis) terdapat proses aktif

(biasanya pada stadium eksudatif atau pada pembentukan kaverne).2

17
2.8 Pemeriksaan

Pada pemeriksaan laring dapat terlihat mukosa yang udem, hiperemis dan

difus pada sepertiga posterior laring atau terlihat lesi eksofitik granular yang

menyerupai gambaran suatu karsinoma.12 Auerbach dan Bailey seperti yang

dikutip Chi Wang dkk13 menyatakan lesi yang terjadi pada laring berupa

ulkus yang multipel dan tersebar, serta lesi hipertrofi pada laring.

Kelainan laring pada penderita TB laring menunjukkan gambaran lesi

putih pada mukosa (38,5%), terdapat ulkus (13,50%), massa granulomatosa

(13,50%), peradangan nonspesifik (26,9%), terdapatnya semua gambaran

klinis (53,8%), dan tidak ada pergerakan pita suara (11,5%). Pada kasus

dengan gangguan pergerakan pita suara yang terjadi bilateral diperlukan

tindakan trakeostomi untuk mengatasi obstruksi jalan nafas atas yang

terjadi.14

2.9 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium, radiologis, bakteriologis, histopatologis, serta

pemeriksaan serologis seperti Polimerase Chain Reaction (PCR) dapat

dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis dan menyingkirkan

beberapa diagnosis banding. Biopsi laring tetap menjadi standar baku emas

untuk diagnosis pasti dari TB laring.15

18
Gambaran radiologi berupa infiltrasi pada daerah apikal, lesi

fibrokalsifikasi, terdapat kavitas, adanya gambaran granuloma nodular, atau

terdapat gambaran opak pada lapangan paru15

Gambar 6. Gambar Radiologi Toraks pada Tuberkulosis15

Pemeriksaan bakteriologis merupakan pemeriksaan untuk diagnosis pasti

TB paru, namun tidak semua penderita TB paru mempunyai pemeriksaan

bakteriologis positif. Selain pemeriksaan pada sputum, bilasan bronkus,

jaringan paru, cairan pleura, cairan serebrospinal, urin, feses, dan jaringan

biopsi dapat digunakan untuk pemeriksaan bakteriologis dengan

menggunakan pewarnaan Ziehl Neelson.15

Pada pemeriksaan Biakan kuman Mikobakterium Tuberkulosis pada

sputum memerlukan waktu beberapa hari untuk mendapatkan hasil

pemeriksaan. Hasil positif pada biakan kuman penderita TB memiliki tingkat

keakuratan yang cukup tinggi 84,6%.15

19
Biopsi laring menjadi standar baku emas pada TB laring ataupun

keganasan laring, walaupun pemeriksaan sputum dan Rontgen toraks sudah

cukup membantu. Gambaran mikroskopis pada TB memperlihatkan suatu

kelompok sel epitel numerous dan sel Giant Langhans multipel dengan

menggunakan pewarnaan HE, sedangkan basil tahan asam akan terlihat

dengan pewarnaan Ziehl Nielsen.15

Pemeriksaan uji tuberkulin kurang berarti sebagai alat bantu diagnostik.

Dasar dari pemeriksaan ini adalah timbulnya reaksi hipersensitifitas terhadap

tuberkuloprotein akibat terjadinya suatu proses infeksi di dalam tubuh.15

2.10 Diagnosis

Diagnosis TB laring ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan

laringoskopi, foto polos thorax, pemeriksaan bakteriologi, dan pemeriksaan

histopatologi yang merupakan standar baku emas untuk menegakkan

diagnosis TB laring.15

2.11 Diagnosis Banding

Diagnosis banding laringitis tuberkulosis, antara lain:

1. Laringitis Luetika

Laringitis luetika seringkali memberikan gejala yang sama dengan

laringitis tuberkulosis. Akan tetapi, radang menahun ini jarang ditemukan.

Laringitis luetika terjadi pada stadium tertier dari sifilis, yaitu stadium

pembentukan guma. Apabila gma pecah, maka timbul ulkus. Ulkus

20
inimempunyai sifat yang khas, yaitu sangat dalam, bertepi dengan dasar

yang keras, berwarna merah tua serta mengeluarkan eksudat yang

berwarna kekuningan. Ulkus tidak menyebabkan nyeri dan menjalar

sangat cepat, sehingga bila tidak terbentuk proses ini akan menjadi

perikondritis.15

2. Karsinoma Laring

Karsinoma laring memberikan gejala yang serupa dengan laringitis

tuberkulosa. Serak adalah gejala utama karsinoma laring, namun hubungan

antara serak dengan tumor laring tergantung pada letak tumor.15

2.12 Tata Laksana

Pemberian OAT pada TB ber tujuan menurunkan mata rantai penularan,

mengobati infeksi yang terjadi, mencegah kematian, dan mencegah

kekambuhan atau resistensi terhadap OAT. American Thoracic Society (ATS)

menyatakan prinsip pengobatan TB ekstrapulmonal tidaklah berbeda dengan

TB pulmonal, termasuk pengobatan untuk TB laring. Pada kasus-kasus TB

dengan penyulit terdapat perbedaan dari dosis, waktu pengobatan, dan

kombinasi obat, seperti TB meningitis, TB tulang, yang memiliki penanganan

berbeda. Pemberian terapi selama 6 bulan merupakan standar yang dipakai

untuk pengobatan TB pulmonal dan TB ekstrapulmonal secara umum. Dosis

OAT adalah dosis individual yang sesuai dengan berat badan.15

Evaluasi keteraturan berobat merupakan salah satu faktor yang harus

diperhatikan dalam pengobatan TB. Ketidakteraturan konsumsi obat akan

menyebabkan timbulnya masalah resisten multi obat (Multi Drug

21
Resistance/MDR). Selain tidak teraturnya konsumsi obat, faktor HIV dan

faktor kuman juga dapat menyebabkan MDR 15

Respon pengobatan pada TB laring dapat terjadi dalam 2 minggu. Suara

serak yang terjadi karena hipertrofi dapat mengalami perbaikan, namun

pergerakan pita suara yang terbatas akibat fibrosis dapat bersifat menetap.15

Pemberian kortikosteroid pada kasus-kasus dengan fiksasi pita suara

dapat diberikan untuk mencegah fibrosis yang dapat menyebabkan sumbatan

jalan nafas atas. Berdasarkan Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan TB di

Indonesia, menyatakan kortikosteroid tidak memberikan peranan penting

pada TB laring. Kortikosteroid berperan pada kasus-kasus TB yang disertai

faktor-faktor penyulit, seperti pada TB milier, TB meningitis, TB dengan

efusi pleura, dan TB disertai sepsis dan keadaan umum yang buruk.15

Terapi non medikamentosa dengan mengistirahatkan pita suara,

menghindari iritan yang memicu nyeri tenggorokan, berhenti merokok dan

konsumsi alkohol. Tindakan pembedahan dengan trakeostomi dapat

dilakukan dengan indikasi jika terjadi obstruksi laring.16

2.13 Komplikasi

Penyebaran kuman Mikobakterium Tuberkulosis secara limfogen atau

hematogen dapat terjadi, sehingga dapat menyebabkan timbulnya komplikasi

akibat meluasnya penyebaran fokus primer ke bagian tubuh lain. Komplikasi

di paru dapat berupa kelainan paru yang luas, kavitas, efusi pleura, empiema,

endobronkitis, atelektasis, penyebaran milier, dan bronkiektasis.15

22
Selain komplikasi yang terjadi di paru, komplikasi di laring dapat terjadi,

diantaranya stenosis laring, fiksasi dari krikoaritenoid akibat fibrosis,

subglotis stenosis, gangguan otot laring, dan pararalisis pita suara ketika

krikoaritenoid atau nervus laringeal rekuren mengalami trauma dan

memerlukan tindakan bedah untuk menanggulanginya.15

2.14 Prognosis

Tergantung pada keadaan sosial ekonomi pasien, kebiasaan hidup sehat serta

ketekunan berobat. Bila diagnosa dapat ditegakkan pada stadium dini maka

prognosisnya baik.2

23
BAB III

RINGKASAN

1. Laringitis tuberkulosis adalah proses inflamasi pada mukosa pita suara dan

laring yang terjadi dalam jangka waktu lama yang disebabkan oleh kuman

Mycobacterium tuberculosa.

2. Laringitis tuberkulosis umumnya merupakan sekunder dari lesi tuberkulosis

paru aktif, jarang merupakan infeksi primer dari inhalasi basil tuberkel secara

langsung. Penyebarannya melalui bronkogen dan limfahematogen.

3. Secara klinis, laringitis tuberkulosis terdiri dari 4 stadium, yaitu stadium

infiltrasi, ulserasi, perikondritis dan fibrotuberkulosis.

4. Gejala klinis lainnya berupa rasa kering, panas pada laring, suara parau,

hemoptisis, nyeri waktu menalan, keadaan umum buruk, pada pemeriksaan

paru terdapat proses aktif.

5. Pada pemeriksaan laring dapat terlihat mukosa yang udem, hiperemis dan

difus pada sepertiga posterior laring atau terlihat lesi eksofitik granular yang

menyerupai gambaran suatu karsinoma.

6. Pemeriksaan penunjang dengan laringoskopi, foto polos thorax, pemeriksaan

bakteriologi, dan pemeriksaan histopatologi yang merupakan standar baku

emas untuk menegakkan diagnosis TB laring.

7. Diagnosis banding: laringitis luetika dan karsinoma laring.

24
8. Penatalaksanaan: terapi medikamentosa dengan obat anti tuberkulosa dan

terapi non medikamentosa yaitu dengan istirahatkan pita suara, menjauhi

iritan yang memicu nyeri tenggorokan, berhenti merokok dan konsumsi

alkohol. Tindakan pembedahan dengan trakeostomi dapat dilakukan dengan

indikasi jika terjadi obstruksi laring.

9. Komplikasi: di paru dapat berupa kelainan paru yang luas, kavitas, efusi

pleura, empiema, endobronkitis, atelektasis, penyebaran milier, dan

bronkiektasis. Di laring terjadi stenosis laring, fiksasi dari krikoaritenoid

akibat fibrosis, subglotis stenosis, gangguan otot laring, dan pararalisis pita

suara

10. Prognosis: Tergantung pada keadaan sosial ekonomi pasien, kebiasaan hidup

sehat serta ketekunan berobat. Bila diagnosa dapat ditegakkan pada stadium

dini maka prognosisnya baik.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Ballenger John. Penyakit Granulomatosa Kronik Laring. Dalam: Penyakit


Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala dan Leher Jilid 1.Jakarta: Binarupa
Aksara.2013
2. Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala Leher: Disfonia. Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008. Hal 231-234
3. Ballenger, J.J. Anatomy of the larynx. In : Diseases of the nose, throat,
ear, head and neck. 13th ed. Philadelphia: Lea & Febiger; 1993.
4. Snell, Richard S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran: Anatomi
Laring. Edisi keenam. Jakarta: EGC; 2006. Hal 805-813.
5. Adam GL, Boies LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Pentakit THT, Edisi
keenam. Jakarta: EGC; 1999. Hal 369-377
6. Lee, K.J. Cancer of the Larynx. In; Essential Otolaryngology Head and
Neck Surgery . Eight edition. Connecticut: McGraw-Hill; 2003. Hal 724-
736, 747, 755-760.
7. Woodson, G.E. Upper airway anatomy and function. In : Byron J. Bailey.
Head and Neck Surgery-Otolaryngology. Third edition. Volume 1.
Philadelphia: Lippincot Williams and Wilkins; 2001. Hal 479-486.
8. Mansjoer A, Kapita Selekta Kedokteran, Laringitis, Edisi Ketiga. Jakarta:
Penerbit Media Aesculapius; 2006. Hal 126-127
9. Probst, Rudolf, Gerhard Grevers, Heinrich Iro. Basic Otorhinolaryngology
: Infectious Disease of Larynx and Trachea. New York: Thieme; 2006.
Hal 354-361
10. Shin JE, Nam SY, Yoo SJ, Kim SY. Changing trends in clinical
manifestations of laryngeal tuberculosis. Laryngoscope 2000; 110: 1950-
1953s.
11. Baratawijdaja KG. Imunologi Dasar Edisi 7. Balai penerbit FK UI.
Jakarta. 2006; h. 145, 170-173.
12. Bailey BJ, Johnson JT. Basic science general medicine. Dalam: Head and
Neck Surgery Otolaryngology. Edisi ke-4; 2006. hlm.38.

26
13. Wang CC, Lin CC, Wang CP, Liu SA, Jiang RS. Laryngeal tuberculosis: a
review of 26 cases. Otolaryngology Head And Neck Surgery. 2007; 137:
352-8
14. Qazi II, Masoodi AI, I Derwesh. Tuberculosis of larynx. SAARC Journal
of Tuberculosis, Lung Disease And HIV/AIDS. 2011;8(1):41-3
15. Novialdi, Seres Triola. Tuberkulosis Laring. Bagian Telinga Hidung
Tenggorok Bedah Kepala Leher. Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas.
16. Yvette E Smulders, dkk. Laryngeal tuberculosis presenting as a
supraglottic carcinoma: a case report and review of the literature.
Smulders et al; licensee BioMed Central Ltd. 2009

27

Anda mungkin juga menyukai