Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN KASUS

MOLA HIDATIDOSA
Disusun untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Madya

Disusun oleh:
Rahmadani Alfitra Santri 22004101052
Salsabilla Sahara 22004101053
Frida Amalia Pramono 22004101055

Dosen Pembimbing:
dr. Musrah Muzakkar, Sp.OG

LABORATORIUM OBSTETRI GINEKOLOGI


KEPANITERAAN KLINIK MADYA
RSUD MARDI WALUYO BLITAR
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Mola hidatidosa termasuk dalam penyakit trofoblas gestasional,yang berasal dari plasenta
dan dapat mengalami metastasis (Harahap, 2014). Mola hidatidosa dapat terjadi akibat
abnormalitas sitogenik, ekspresi gen/ protein, dan faktor nutrisional (Andrijono, 2007). Mola
hidatidosa dikategorikan menjadi komplit dan parsial (ncbi), dengan insidensi mola di
Amerika Utara, Australia, Selandia Baru, dan Eropa 0.57-1.1 per 1000 kehamilan,
sedangkan negara dengan frekuensi mola tertinggi ialah Meksiko, Iran, Indonesia (Alazzam,
et al., 2010). Sedangkan studi di Asia Tenggara dan Jepang menunjukkan insidensi yang
tinggi yaitu 2 dari 1000 kehamilan (Berkowitz, 2002; Lurain, 2010). Negara-negara dengan
frekuensi mola hidatidosa tertinggi ialah Meksiko, Iran, dan Indonesia (Alazzam, et al.,
2010).
Dalam banyak kasus, mola hidatidosa berasal dari trofoblas dengan dua kromosom
paternal, dapat terjadi melalui fertilisasi single spermatozoon dan abnormal enucleated
oocyte yang selanjutnya genotipnya berkembang menjadi ganda, atau dalam kasus yang
sangat jarang, mola terbentuk dari sel dengan dua spermatozoa yang berbeda. Kariotipe
mola komplit biasanya 46 XX, atau 46 XY yang beresiko untuk terjadinya aborsi pada
kehamilan muda (Fisher, et al., 2000). Terdapat perbedaan histologi, morfologi, dan
gambaran klinis antara mola hidatidosa komplit dan parsial. Mola hidatidosa komplit,
diploid pada kariotipe 46-XX paternal. Secara klinis tidak terdapat embrio pada atau fetus,
namun embrio/ fetus mungkin ad ajika kehamilan kembar. Mola hidatidosa parsial
umumnya kariotipe triploid (kromosom 69), faktor paternal dan maternal (Andrijono, 2007).
Frekuensi mola diketahui lebih tinggi pada beberapa negara di dunia. Beberapa faktor
resiko yang dapat meningkatkan prevalensi mola hidatidosa di antaranya: usia kehamilan ibu
yang ekstrim (lebih dari 35 tahun, atau kurang dai 20 tahun), riwayat mola sebelumnya,
riwayat abortus spontan atau infertilitas, faktor makanan, dan merokok (Ghassemzadeh,
2021). Patofisiologi mola hidatidosa masih belum jelas, analisa kromosom jaringan mola
menunjukkan beberapa kemungkinan yang terjadi pada proses fertilisasi. Fertilisasi mola
terjadi akibat ketiadaan kromosom pada ovum. Diduga mola hidatidosa merupakan
kelanjutan dari ‘blighted’ ovum (Hidayat, 2021).
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana penegakkan diagnosa, penatalaksanaan, serta prognosis mola hidatidosa?

1.3 Tujuan
Untuk mengetahui penegakkan diagnose, penatalaksanaan, serta prognosis mola hidatidosa.

1.4 Manfaat
Sebagai bekal klinisi dalam menegakkan diagnose, melakukan penatalaksanaan yang tepat,
serta menentukan prognosis mola hidatidosa.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi

Molar pregnancy atau yang dikenal dengan mola hidatidosa merupakan bagian dari

Gestational Thropoblatic Disease (GTD) terjadi pada kehamilan dengan potensi keganasan

yang ditandai dengan proliferasi abnormal trofoblas. Trofoblas sendiri merupakan bagian

dari tepi sel-sel telur yang kelak terbentuk menjadi ari-ari janin atau merupakan suatu hasil

yang gagal (Sukarni dan Wahyu, 2013). Pada mola hidatidosa tidak ditemukan

pertumbuhan janin dimana hampir seluruh vili korialis mengalami perubahan berupa

degenerasi hidrofobik sehingga terlihat seperti sekumpulan buah anggur (Abdulrasool,

2018).

Mola hidatidosa dibagi menjadi 2 jenis yaitu: komplit dan parsialis. Mola hidatidosa

komplit merupakan penyimpangan pertumbuhan dan perkembangan kehamilan yang tidak

disertai janin dan seluruh vili korialis mengalami perubahan hidrofobik. Sedangkan mola

hidatidosa parsialis merupakan pertumbuhan dan perkembangan vili korialis yang sebagian

berjalan normal sehingga janin dapat tumuh dan berkembang bahkan sampai aterm

(Arantika, 2017).

2.2 Etiologi

Faktor langsung penyebab hamil anggur ini hingga saat ini belum diketahui pasti,tetapi

ada beberapa faktor yang diduga sebagai penyebabnya, yaitu: faktor nutrisi genetik akibat

kualitas sperma yang buruk atau gangguan pada sel telur sehingga janin akan mati dan

tidak berkembang, faktor kekurangan vitamin A, darah tinggi dan faktor gizi buruk. Selain

itu juga faktor usia kehamilan dimana wanita dengan usia kehamilan dibawah 20 tahun
atau diatas 40 tahun juga rawan terjadi, faktor ibu sering hamil, gangguan peredarahan

darah dalam rahim dan kelainan rahim akibat banyak mengkonsumsi makanan rendah

protein, asam folat, dan karoten (Ratnawati, 2018).

2.3 Patofisiologi

Pada konsepsi normal, setiap sel tubuh manusia mengandung 23 pasang kromosom,

dimana salah satu masing-masing pasangan dari ibu dan yang lainnya dari ayah. Dalam

konsepsi normal, sperma tunggal dengan 23 kromosom membuahi sel telur dengan 23

kromosom, sehingga akan dihasilkan 46 kromosom (Edmonds, 2012).

Gambar 1.Skema Konsepsi Normal

Pada Mola Hidatidosa parsial (MHP), dua sperma membuahi sel telur, menciptakan 69

kromosom, jika dibandingkan 46 kromosom pada konsepsi normal hal ini disebut triploid.

Dengan materi genetik yang terlalu banyak, kehamilan akan berkembang secara abnormal,

dengan plasenta tumbuh melampaui bayi. Janin dapat terbentuk pada kehamilan ini,akan

tetapi janin tumbuh secara abnormal dan tidak dapat bertahan hidup (Edmonds, 2012).

Gambar 2.Skema Kehamilan Mola Hidatidosa Parsial (MHP)


Mola Hidatidosa Komplit (MHK) terjadi ketika salah satu (atau bahkan dua) sperma

membuahi sel telur yang tidak memiliki materi genetik. Bahkan jika kromosom ayah dilipat

gandakan untuk menyusun 46 kromosom, materi

genetik yang ada terlalu sedikit. Biasanya sel telur yang dibuahi mati pada saat itu juga.

Tetapi dalam kasus yang jarang sel tersebut terimplantasi pada uterus. Jika hal itu terjadi,

embrio tidak tumbuh, hanya sel trofoblas yang tumbuh untuk mengisi rahim dengan

jaringan mola (Edmonds, 2012).

Gambar 3.Skema Kehamilan Molahidatidosa Komplit (MHK)

Selain itu ada menurut teori dari Hertig et al, mengatakan bahwa pada mola

hidatidosa akan terjadi insufisiensi perdarahan darah akibat matinya embrio pada minggu

ke 3-5 (missed abortion). Hal ini akan menyebabkan terjadi penimbunan cairan dalam

jaringan mesenkim vili dan terbentuklah kista-kista kecil yang makin lama makin besar

hingga pada akhirnya terbentuklah gelembung mola. Sedangkan proliferasi trofoblas

merupakan akibat dari tekanan vili yang oedemateus tadi (Martaadisoebrata, 2005).

2.4 Diagnosa

Gambaran Klinis

Gambaran klinis pasien mola hidatidosa menurut Abadi et al, 2008 adalah sebagai berikut:

a. Tanda-tanda kehamilan muda disertai dengan perdarahan, perdarahan bisa berupa


bercak merah kecoklatan sampai perdarahan berat berwarna merah segar. Perdarahan

juga bisa berulang-ulang sehingga dapat menimbulkan anemia.

b. Keluhan subjektif ataupun objektif pada kehamilan muda yang lebih hebat dari

biasanya misalnya hyperemesis, sampai tanda-tanda toksemia.

c. Tidak dirasakan tanda-tanda gerakan janin maupun “ballottement”

d. Ukuran uterus membesar melebihi usia kehamilan

e. Kista lutein yang dapat bilateral

f. Keluar gelembung mola bersama dengan perdarahan.

Gambaran Laboratorium

a. β-hCG urin tinggi lebih dari 100.000 mIU/ml

b. β-hCG serum di atas 40.000 mIU/ml (Manuaba, 2007).

Sejak sel trofoblas (yang memproduksi hCG) mengalami hiperplastik pada MH, adanya

MHK dicirikan oleh peningkatan hCG yang nyata. Tingkat hCG lebih besar dari 100.000

mIU per mililiter sebelum evakuasi yang diamati pada 30 dari 74 pasien dengan MHK

(41%) dalam satu seri dan 70 dari 153 pasien dengan MHK (46%) (Berkowitz RS, 2009).

Dibandingkan dengan MHK, MHP dicirikan oleh kurang menonjolnya hiperplasia

trofoblastik. Dengan demikian, pasien dengan mola parsial jarang disertai dengan

peningkatan hCG yang tinggi. Dilaporkan tingkat hCG serum yang lebih besar dari 100.000

mIU per mililiter pada presentasi hanya 2 dari 30 pasien dengan mola parsial. Demikian

pula, hanya 1 dari 17 pasien dengan mola parsial (Berkowitz RS, 2009).

Gambaran USG

Gambaran USG mola hidatidosa parsial dan komplit sebagai berikut:

a. Mola Hidatidosa Parsial


Pada pemeriksaan ultrasonografi, MHP dicirikan dengan pembesaran plasenta, lebih

tebal 4 cm dari insersi corda pada trimester kedua dan terdiri dari banyak area kista

(swiss cheese appearance). Diagnosis MHP lebih sulit daripada MHK, dengan

pemeriksaan ini hanya 29% yang dapat dideteksi dalam penelitian skala besar

(Wladimiroff W, 2009). Selain itu juga menunjukkan adanya perubahan vesikular fokal

di dalam plasenta dan janin dengan kantung gestasional (bawah) (Berkowitz RS, 2009).

Gambar 4. Pemeriksaan USG MHP

b. Mola Hidatidosa Komplit

Pada pemeriksaan utrasonografi terlihat sebuah uterus yang terisi oleh kista multipel

dan area ekogenik yang bervariasi ukuran dan bentuknya (snow-storm appearance)

tanpa adanya embrio dan fetus. Dengan menggunakan pemeriksaan ini, 79% MHK

dapat dideteksi (Wladimiroff W, 2009). Selain itu juga menunjukkan perubahan

vesikular menyebar di dalam plasenta dan kantung gestasional tidak ada (Berkowitz RS,

2009).
Gambar 4. Pemeriksaan USG MHK

Gambaran Histopatologi

a. Mola Hidatidosa Parsial

Pada gambaran histologi tampak bagian vili yang avaskuler, terjadi pembengkakan

hidatidosa yang berjalan lambat, sementara vili yang vaskuler dari sirkulasi darah fetus.

Plasenta yang masih berfungsi tidak mengalami perubahan (Sudiono J, 2001).

Gambar 6. Gambaran histologi MHP (Berek, 2007)

b. Mola Hidatidosa Komplit

Gambaran histologi pada MHK akan tampak degenerasi hidrofobik dan pembengkakan

stroma vilus, tidak adanya pembuluh darah di vilus yang membengkak, proliferasi epitel

tropoblas dengan derajat bervariasi serta tidak adanya janin dan amnion.
Gambar 7. Gambaran histologi MHK (Berek, 2007).

2.5 Tatalaksana

Mola hidatidosa harus dilakukan tatalaksana sesegera mungkin setelah diagnosis

ditegakkan. Apabila ada kelainan yang menyertai seperti tirotoksikosis dapat dilakukan

stabilisasi dahulu dengan melakukan perbaikan keadaan umum penderita. Terapi MH

terdiri dari 4 tahap yaitu :

1. Memperbaiki keadaan umum

a. Koreksi dehidrasi

b. Transfusi darah bila anemia berat

c. Bila ada gejala preeklampsia dan hiperemesis gravidarum diobati sesuai dengan

protokol.

d. Penatalaksanaan hipertiroidisme.

Jika gejala tirotoksikosis berat, terapi dengan obat-obatan antitiroid, ß-bloker, dan

perawatan suportif (pemberian cairan, perawatan respirasi) penting untuk

menghindari presipitasi krisis tiroid selama evaluasi (Martadisoebrata, 2005).

Tujuan terapi adalah untuk mencegah pelepasan T4 yang terus menerus dan

menghambat konversi menjadi T3 untuk memblok aksi perifer hormon tiroid dan
untuk mengobati faktor-faktor presipitasi. Agen agen antitiroid dapat menurunkan

level T3 dan T4 serum dengan cepat seperti sodium ipodoat (orografin, suatu

kontras yang mengandung iodine) yang merupakan terapi pilihan dalam mencegah

krisis tiroid setelah hipertiroidisme yang diinduksi kehamilan mola karena Ca

mengurangi konsentrasi T3 dan T4 dengan cepat. Apabila sodium ipodoat tidak

tersedia, PTU harus digunakan dan dikombinasikan dengan iodida. PTU berbeda

dengan metimazol, menghambat konversi T4 menjadi T3 di perifer dan karenanya

lebih disukai daripada metimazol. Loading dose 300-600 mg PTU diikuti oleh 150-

300 mg setiap 6 jam (perrektal atau melalui NGT). Kalium iodida oral (3-5 tetes, 3x

sehari, 35 mg iodida/tetes) atau iodine lugol (30-60 tetes/hari dibagi dala 4 dosis, 8

mg iodida/tetes) atau natrium iodida intravena (0,25-0,5 g tiap 8-12 jam)

menginduksi penurunan level T3 dan T4 yang cepat (Martadisoebrata, 2005). ß-

bloker digunakan untuk mengontrol takikardi dan gejala lain yang diaktivasi saraf

simpatis. Propanolol dimulai pada dosis 1-2 mg tiap 5 menit secara intravena (dosis

maksimum 6 mg) diikuti dengan propanolol oral pada dosis 20-40 mg tiap 4-6 jam

(Martadisoebrata, 2005).

2. Pengeluaran jaringan mola

Bila sudah terjadi evakuasi spontan lakukan kuretase untuk memastikan kavum

uteri sudah kosong. Bila belum lakukan evakuasi dengan kuret hisap. Bila serviks masih

tertutup dapat didilatasi dengan dilator nomor 9 atau 10. Setelah seluruh jaringan

dievakuasi dengan kuret hisap dilanjutkan kuret tajam dengan hati-hati untuk

memastikan kavum uteri kosong. Penggunaan uterotonika tidak dianjurkan selama


proses evakuasi dengan kuret hisap atau kuret tajam. Untuk menghentikan perdarahan,

uterotonika diberikan setelah evakuasi. Induksi dengan medikamentosa seperti

prostaglandin dan oksitosin tidak dianjurkan karena meningkatkan emboli trofoblas

(Martadisoebrata, 2005). Teknik evakuasi MH ada 2 cara yaitu :

a. Kuretase

1). Dilakukan setelah keadaan umum diperbaiki dan setelah pemeriksaan-persiapan

selesai (pemeriksaan darah rutin, kadar β hCG serta foto thoraks), kecuali bila jaringan

mola sudah keluar spontan.

2). Bila kanalis servikalis belum terbuka, maka dilakukan pemasangan laminaria dan

kuretase dilakukan 24 jam kemudian.

3). Sebelum kuretase terlebih dahulu siapkan darah 500 cc dan pasang infus dengan

tetesan oksitosin 10 IU dalam 500 cc Dextrose 5%.

4). Kuretase dilakukan sebanyak 2x dengan interval minimal 1 minggu.

5). Seluruh jaringan hasil kerokan dikirim ke laboratorium Patologi Anatomi.

b. Histerektom

Tindakan ini dilakukan pada wanita dengan:

- Usia > 35 tahun

- Anak hidup > 3 orang (Martadisoebrata, 2005).

3. Terapi profilaksis dengan sitostatika

Diberikan pada kasus mola dengan resiko tinggi akan terjadi keganasan misalnya pada

usia tua dan paritas tinggi yang menolak untuk dilakukan histerektomi atau kasus mola

dengan hasil histopatologi yang mencurigakan. Caranya :


a. Methotrexate (MTX) 20 mg/hari i.m, asam folat 10 mg 3dd1 dan Cursil 35 mg 2dd1,

selama 5 hari berturut-turut. Profilaksis dengan tablet MTX, dianggap tidak

bermanfaat. Asam folat adalah antidote dari MTX, Cursil berfungsi sebagai

hepatoprotektor.

b. Actinomycin D 1 flakon sehari, selama 5 hari berturut-turut. Tidak perlu antidote

maupun hepatoprotektor.

Indikasi pemberian kemoterapi pada penderita pasca MH adalah sebagai berikut :

a. Kadar hCG yang tinggi > 4 minggu pascaevakuasi (serum >20.000 IU/liter, urine

>30.000 IU/24 jam).

b. Kadar hCG yang meningkat progresif pasca evakuasi

c. Kadar hCG berapapun juga yang terdeteksi pada 4 bulan pasca evakuasi.

d. Kadar hCG berapapun juga yang disertai tanda-tanda metastasis otak, renal, hepar,

traktus gastrointestinal, atau paru-paru. (Saleh, 2005). Ada pendapat yang

mengatakan, bahwa bila setelah diberikan profilaksis sitostatika terjadi juga

keganasan, pengobatannya lebih sukar. Oleh karena itu, banyak pakar yang tidak

setuju dengan pemberian profilaksis ini. Disamping alasan di atas, merekan

mengatakan juga bahwa sitostatika itu sering memberikan efek samping yang

membahayakan. Dengan follow up yang baik, kita dapat membuat diagnosis

keganasan secara dini sehingga kemoterapi yang diberikan secara kuratif, akan

dapat mengobatinya secara efektif (Martaadisoebrata, 2005).

4. Penatalaksanaan pasca evakuasi

Tujuan follow up ada dua yaitu:


a. Untuk melihat apakah proses involusi berjalan secara normal, baik anatomis,

laboratoris maupun fungsional, seperti involusi uterus, turunnya kadar Β-hCG dan

kembalinya fungsi haid.

b. Untuk menentukan adanya transformasi keganasan, terutama pada tingkat yang

sangat dini.

Pada umumnya para pakar sepakat bahwa lama follow up berlangsung selama satu

tahun, tetapi ada juga yang sampai dua tahun. Dalam tiga bulan pertama pascaevakuasi,

penderita diminta datang untuk kontrol setiap dua minggu. Kemudian, tiga bulan

berikutnya, setiap satu bulan. Selanjutnya dalam enam bulan trakhir, tiap dua bulan.

Selama follow up, hal-hal yang perlu dicatat adalah

a. Keluhan, terutama perdarahan, batuk atau sesak nafas

b. Pemeriksaan ginekologis, terutama adanya tanda-tanda sub-involusi

c. Kadar Β-hCG , terutama bila ditemukan ada tanda-tandadistorsi dari kurva regresi

yang normal.

Bila dalam tiga kali pemeriksaan berturut-turut, ditemukan salah satu dari tanda-tanda di

atas, penderita harus dirawat kembali, untuk pemeriksaan yang lebih intensif, seperti

USG, foto toraks dan lain-lain. Follow up dihentikan bila sebelum satu tahun wanita

sudah hamil normal lagi, atau bila setelah setahun, tidak ada keluhan, uterus dan kadar

Β-hCG dalam batas normal, serta fungsi haid sudah normal kembali. Selama follow up,

kepada wanita dianjurkan untuk tidak hamil dahulu, karena dapat menimbulkan salah

interpretasi. Salah satu ciri adanya keganasan adalah meningginya kembali kadar Β-hCG

, sedangkan pada kehamilan, Β-hCG yang tadinya normal, akan meninggi lagi. Dalam

keadaan seperti ini, kadang-kadang kita ragu apakah kenaikan kadar Β hCG ini
disebabkan oleh kehamilan baru atau oleh proses keganasan (Martadisoebrata, 2005).

Jenis kontrasepsi yang dianjurkan adalah kondom, atau kalau Β hCG sudah normal, atau

haid sudah normal kembali, dapat menggunakan pil kombinasi. Bila pil antihamil

diberikan sebelum Β-hCG normal, kemungkinan terjadinya keganasan lebih besar.

Jangan menggunakan IUD atau preparat progesteron jangka panjang, seperti

DepoProvera atau Norplant, karena kedua-duanya dapat menyebabkan gangguan

perdarahan, yang bisa menyerupai salah satu tanda adanya transformasi keganasan

(Martaadisoebrata, 2005).

2.6 Komplikasi

Komplikasi pada mola hidatidosa menurut Abadi et al, 2008 adalah sebagai berikut:

a. Perdarahan: dapat terjadi spontan dengan keluarnya gelembung atau pada waktu

evakuasi

b. Perforasi: spontan atau karena tindakan

c. Emboli sel trofoblas: penderita sesak mendadak, kematian tinggi

d. Keganasan (terjadi korio karsinoma)

e. Tirotoksikosis (jarang)

2.7 Prognosis

Setelah dilakukan evakuasi mola secara lengkap, sebagian besar penderita MHK akan

sehat kembali, kecuali 15%-4% yang mungkin akan mengalami keganasan (TTG). Umumnya

yang menjadi ganas adalah mereka yang termasuk golongan resiko tinggi, seperti :

a. Usia di atas 35 tahun

b. Besar uterus di atas 30 minggu


c. Kadar Β-hCG di atas 105 mIU/ml

d. Gambaran PA mencurigakan

Saat ini, sudah hampir tidak ada kematian karena MHK. Dibanding MHK, prognosis

MHP jauh lebih baik. Hal itu disebabkan oleh tidak adanya penyulit dan derajat

keganasannya rendah (4%). Walaupun demikian, dalam kepustakaan ditemukan laporan

tentang kasus MHP yang disertai metastasis ke tempat lain . penderita MHP harus di follow

up sama ketatnya seperti MHK (Martaadisoebrata, 2005).


BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


 Nama: Ny. Yusilia Roiyana
 Tgl. Lahir: 16 Maret 1997 (24 tahun)
 Alamat: Dsn. Kates, Rejotangan-Tulungagung
 Suku/ Warga Negara: Jawa/ Indonesia
 Agama: Islam
 Status: Menikah
 Pekerjaan: Karyawan
 Pendidikan Terakhir: SMK
 Tanggal MRS: 17 Maret 2021
 No. RM: 593106

3.2 Anamnesis
 Keluhan Utama: pasien datang ke UGD dengan pengantar SpOG dengan
mola hidatidosa untuk melakukan curretage
 Keluhan penyerta: Selama hamil, pasien lebih sensitif terhadap bau.
 Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien datang ke UGD dengan pengantar dari dr.
Djamil, Sp.OG G1P0A0 UK 22-23 minggu dengan mola hidatidosa, hasil
USG 15 Februari menunjukkan mola hidatidosa.
 Riwayat Penyakit Dahulu: tidak ada data
 Riwayat Penyakit Keluarga: tidak ada data
 Riwayat kehamilan:
Pasien hamil pertama, HPHT: 10 Oktober 2020 minggu 22-23, rutin ANC
sebanyak 2 kali di bidan puskesmas. Pada ANC trimester pertama pasien
mengeluh lemas dan pusing, kehamilan pasien dikatakan normal. ANC
trimester kedua UK 18 minggu dilakukan USG di SpOG pada 15 Februari
2021 dengan hasil mola hidatidosa, kemudian pasien datang ke UGD RSUD
Mardi Waluyo Blitar pada 17 Maret 2021 untuk dilakukan kuretase.
 Riwayat Pernikahan:
Pasien menikah 1 kali pada usia 22 tahun, suami: Andre, usia suami: 23
tahun, pekerjaan: sopir.
 Riwayat Menstruasi:
Menarche: SD
Haid teratur
Tidak ada nyeri haid
 Riwayat Kontrasepsi:
Tidak mengunakan kontrasepsi
 Riwayat Alergi:
Tidak ada alergi
 Riwayat Kebiasaan:
Pasien makan teratur, makanan yang dimakan: ayam, telur, sayur, dll.

3.3 Pemeriksaan Fisik (Saat MRS, 17/03/2021 pukul 19.48)


 Keadaan umum: compos mentis
 GCS: E4V5M6
 Tanda-tanda Vital:
 Tensi: 115/80 mmHg
 Nadi: 85x/menit
 RR: 20x/menit
 Suhu: 36.80C
 Antropometri:
 BB: 55kg
 TB: 153cm
 BMI: 23.8 kg/m2 (normoweight)
 Head to Toe
 Kepala:
Bentuk normocephalic, wajah simetris, tidak ada luka, macula (-), papula
(-), nodul (-)
 Mata:
Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), edema palpebra (-/-),
cowong (-/-), pupil isokor diameter 3 mm, reflek cahaya (+/+), radang
(-/-), eksoftalmus (-/-)
 Hidung
Nafas cuping hidung (-), secret (-/-), epistaksis (-/-), deformitas (-/-)
 Mulut
Bibir pucat (-), bibir kering (-), lidah kotor (-), tremor (-), gusi
berdarah (-), sariawan (-), lidah terasa pahit (-), mukosa kering (-)
 Telinga
Posisi dan bentuk normal, deformitas (-), nyeri tekan mastoid (-/-),
secret (-/-), pendengaran dalam batas normal
 Tenggorokan
Hiperemi (-), Tonsil membesar (-/-)
 Toraks : bentuk Simetris, retraksi supraklavikula (-), retraksi interkostal,
retraksi subkostal (-)
1) Cor :
I : sianosis (-), tidak terlihat iktus kordis
P : Ictus cordis teraba kuat angkat
P:
Batas kiri atas : ICS II para sternal line sinistra
Batas kanan atas : ICS II para sternal line dekstra
Batas kiri bawah : ICS V midclavicular line sinistra
Batas kanan bawah : ICS IV para sternal linea dekstra
A : BJ I-II tunggal, regular, bising (-)
2) Pulmo : statis (depan dan belakang)
I : pengembangan dada simetris , benjolan (-), luka (-)
P : nyeri tekan (-), krepitasi (-)
P:
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor
A : vesikuler +/+ normal, suara tambahan (-)
 Ektremitas:
Atas : deformitas (-/-), akral dingin (-/-), edema (-/-), ulkus (-/-), tremor
(-/-)
Bawah : deformitas (-/-), akral dingin (-/-), edema(-/-), ulkus (-/-), tremor
(-/-)
 Review of System:
 Gastrointestinal:
n/v:-
bab tidak ada keluhan
 Urinari:
Bak lancar, tidak ada keluhan
 Respiratori:
Tidak ada sesak, batuk, dll
 Neurosensori:
Tidak ada pusing, kesemutan, dll
 Cardio:
Tidak berdebar, nyeri dada, dll
 Abdomen:
TFU: 2 jari di bawah pusat
 VT:
 Vulvovaginal: fluxus (-), lendir (+), fluor: tidak ada data
 Porsio: licin, menutup, nyeri goyang (-)
 Corpus Uteri: uterus membesar, antefleksi UK 22-23 minggu
 Adneksa D/S: massa (-), nyeri (-)
 Sfingter pain (–)
 Cavum Douglass: massa (-)
3.4 Pemeriksaan Penunjang
 EKG
dBN
 Foto Thoraks
Jantung: ukuran dan bentuk normal
Paru: bronchovascular pattern tidak meningkat, tidak tampak infiltrate/ nodul
Sinus phrenicocostalis kanan kiri tajam
Hemidiafragma kanan kiri baik
Tulang intak
Kesan: normal
 Darah lengkap
Hb: 13.2 g/dl
Leukosit: 12.200
Trombosit: 340.000
PCV: 41.2%
Diff count: -/-/11/61/24/4
MCV: 78.7 fl
MCH: 25.2 pg
MCHC: 32%
Eritrosit: 5.240.000
PPT: 9.9 detik
APTT: 33.6 detik
Golongan Darah: O Rhesus: +
SGOT: 20
SGPT: 10
Creatinin: 0.95 mg/dl
BUN: 8 mg/dl
Ureum: 17 mg/dl
Asam Urat: 4.6
TSH/TSHS: 1.34 u/ml
T3 total: 1.42 ug/dl
fT4: 12.07 pmol/L
 USG post curettage (19/03/2021)
Hasil: ukuran masih tampak membesar, antefleksi, echoparenkim homogen,
tampak cavum uteri menutup dengan endometrial line yang baik, tak tampak
gambaran debris. Kesan tak tampak gambaran debris intracavum uteri.
 βHCG:
tidak dilakukan
 Rapid test Covid
IgG: negatif
IgM: negatif
3.5 Assesment
Diagnosa: G1P0 UK 22-23 minggu + mola hidatidosa
3.6 Planning
Pasien dipindahkan ke flamboyan
Puasa
Infus RL 1000cc
Pasang laminaria 24 jam
Pro kuretase tanggal 18 maret 2021 pukul 11.00
Drip oksitosin 20mg dalam NS (pukul 11.52 WIB)
USG post curretage

3.7 Follow up (post kuretase)

Subjective Objective Assessment Planning


(17/03/2021) pukul Keadaan umum: G1P0 UK 22-23 Infus RL
22.30 Bidan cukup minggu + mola Pasang laminaria
Tidak ada keluhan Fluksus – hidatidosa Curettage besok jam
suhu: 36.70C 11.00
RR: 20x/menit USG post curettage
Tensi: 115/80mmHg
HR: 85x/menit
Antropometri
BB: 55kg
TB: 153cm
(18/03/2021) pukul Kesan umum: cukup Post curettage hari Diet TKTP
11.30 Thoraks: ke-0 gravida mola Mobilisasi bertahap
Tidak ada keluhan cardiopulmonal dBN IUFD RL drip
Abdomen: TFU oksitosin 20 IU 28
Genitalia eksterna: tpm s.d 12.00 pm
flux – min Amoxicillin
3x500mg
T: 104/68mmHg Asam mefenamat
SpO2: 95% 3x500mg
HR: 92x/menit
RR: 20x/menit
T: 35.80C
(18/03/2021) pukul Keadaan umum: P0000Ab010 post Melanjutkan terapi
20.00 cukup curettage mola hari Diet TKTP
Keluar darah suhu: 36.70C 0 Mobilisasi bertahap
sedikit, nyeri perut T: 110/70 mmHg Infus RL+ oksitosin
seperti kram Fluksus + sedikit 20 IU 28 tpm s.d 12
jam post curettage
Amoxicillin
3x500mg
Asam mefenamat
3x500mg
Besok USG post
curettage
(19/03/2021) pukul Keadaan umum: P0000Ab010 post Melanjutkan terapi
07.00 cukup curettage mola 1 Diet TKTP
0
Keluar darah sedikit Suhu: 36.5 C Mobilisasi bertahap
Tensi: 120/70mmHg Infus RL+ oksitosin
Fluksus sedikit 20 IU 28 tpm s.d 12
jam post curettage
Amoxicillin
3x500mg
Asam mefenamat
3x500mg
Hari ini USG post
curettage
(19/03/2021) pukul  Vital Sign: P0000 Ab010 post KRS
09.30  Tensi: curettage Amoxicillin
Saat ini tidak ada 110/60mmHg USG post kuretase 3x500mg
nyeri perut  HR: (19/03/21) dengan Asam mefenamat
76x/menit hasil: ukuran masih 3x500mg
 RR: 20x/menit tampak membesar,
 Suhu: 36.30C antefleksi,
 Head to Toe echoparenkim
 Kepala: homogen, tampak
Normocephal cavum uteri
Konjungtiva menutup dengan
anemis -/- endometrial line
Sklera ikterik -/- yang baik, tak
Nafas cuping tampak gambaran
hidung tidak debris
ditemukan Kesan tak tampak
 Review of gambaran debris
System: intracavum uteri.
Gastrointestinal:
n/v:-
bab tidak ada
keluhan
Urinari:
Bak lancar, tidak
ada keluhan
Respiratori:
Tidak ada sesak,
batuk, dll
Neurosensori:
Tidak ada
pusing,
kesemutan, dll
Cardio:
Tidak berdebar,
nyeri dada, dll

Laporan Operasi
 Pasien ditidurkan terlentang di atas meja operasi dengan sub arachnoid blok
 Desinfeksi dan demarkasi lapangan operasi
 Dipasang speculum bawah, porsio dijepit dengan tenaculum arah jam 10
 Sonde 14cm uterus antefleksi
 Dilakukan kuretase dengan sendok kuret no. 5, didapatkan jaringan mola ±100 gram,
kesan sudah bersih
 Evaluasi perdarahan aktif, tidak ada
 Kuretase selesai
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. Resume

Ny. Y pasien G1P0A0 berusia 22 tahun, datang ke IGD RS Mardi Waluyo pada 17

maret 2021 dengan pengantar dr. Djamil, Sp.OG dengan mola hidatidosa untuk dilakukan

curettage. Pasien mengaku tidak adanya keluhan selama kehamilan. Pasien diketahui hamil

pertama, dengan usia kehamilan 22-23 minggu. Selama kehamilan pasien mengaku tidak

adanya keluhan, pasien rutin melakukan ANC di bidan. Pada trimester pertama pasien

mengeluhkan lemas dan pusing serta lebih sensitive terhadap bau. Pada ANC kedua dengan

bidan, diketahui bahwa pasien suspek mola hidatidosa setelah dilakukan USG pada 15

februari 2021. Riwayat menstruasi pasien teratur dan tidak adanya nyeri haid pada saat

menstruasi, pasien mengaku tidak mengunakan kontrasepsi. Pasien sebelumnya tidak pernah

mengalami sakit yang sama, dan riwayat penyakit keluarga tidak pernah mengalami sakit

yang serupa. Pasien mengaku tidak memiliki alergi serta makan teratur terutama sering

mengkonsumsi telur dan ayam.

Pada pemeriksaan fisik awal diketahui keadaan umum pasien compos mentis, dengan

GCS 456, tekanan darah 115/80 mmHg, nadi 85x/menit, regular, Suhu 35.8ºC, RR

20x/menit, regular, dengan berat badan 55 kg dan tinggi badan 153 cm. Pada pemeriksaan

Vagina Toucher didapatkan tampak adanya lender pada vulvovaginal, portio menutup, serta

tidak ada nyeri sfingter. Didapatkan pada bagian abdomen tinggi fundus uteri 2 jari dibawah

pusat.

Pada pemeriksaan penunjang dilakukan pemeriksaan EKG, foto thorax dan pemeriksaan

darah lengkap. Pada pemeriksaan didapatkan hasil EKG dan foto thorax dalam batas normal.

Lab darah lengkap untuk mengetahui kadar fTSH, fT4, T3, T4 dalam batas normal. Hasil
USG dengan pengantar dr. Djamil, Sp.OG tampak gambaran snow strome appearance tanpa

adanya embrio dan fetus.

4.2. Penegakan Diagnosis

Berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, didapatkan

diagnosa pasien yaitu G1P0 UK 22-23 minggu + molahidatidosa komplit. Diagnosa

ditegakkannya G1P0 UK 22-23 minggu, dikarenakn adanya tanda kehamilan pada pasien

yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan plano test dan USG kehamilan. Tanda kehamilan

yang muncul berupa tanda kehamilan tidak pasti, dengan adanya perubahan fisiologis dan

hormonal seperti amenore, pusing, rasa mula dan muntah, serta rasa lelah yang berlebihan

(Sarwono,2010). Pada pemeriksaan fisik pasien, tinggi fundus uteri yaitu menunjukkan 2 jari

dibawah umbilicus. Mola hidatidosa komplit ditemukan dengan adanya pemeriksaan USG,

saat pasien memeriksakan kehamilan, tampak uterus terisi kista multiple dan area ekogenik

dengan gambaran snow strome appearance tanpa adanya embrio dan fetus.

Pada pasien dilakukan pemeriksaan hormone tiroid dengan hasil fTSH, fT4, T3, T4 (+).

Pemeriksaan ini dilakuakan mengingat salah satu komplikasi yang dapat terjadi pada kasus

mola hidatidosa adalah tirotoksikosis, karena terdapat tiroid like hormone yaitu peninggian

kadar β-hCG yang akan merangsang pelepasan T3 dan T4 (Elfriska, 2011). Pemeriksaan ini

dilakukan mengingat β hCG merupakan analog reseptor dari thyrotrophic hormone (TSH),

dimana kadar β hCG yang tinggi dapat menginduksi hipertiroid sekunder. Dimana bila

hipertiroid ini terjadi maka akan mempengaruhi tingkat prognosis (Nguyen NMP, 2014)

4.3. Terapi

Terapi yang diberikan kepada pasien mencakup terapi farmakologi dan terapi non

farmakologi. Terapi non farmakologi pada pasien berupa tindakan curettage, dan diet TKTP
post curettage. Sedangkan terapi farmakologi yang diberikan dengan pemberian antibiotic

amoxcicilin 3 x 500 mg dan asam mefenamat 3x 500 mg. Planning monitoring berupa vital

sign, keadaan umum, dan hasi USG. Planning edukasi yaitu penjelasan mengenai penyakit

kepada pasien, tindakan yang akan dilakukan, terapi farmakologi yang diberikan, diet TKTP

dan control ke dokter.

Terapi awal yang diberikan yaitu pasien dipuasakan, agar perut dalam keadaaan kosong

sehingga curettage dapat dilakukan dengan maksimal, hal ini juga untuk mencegah

terjadinya aspirasi dan regurgitasi. Pasien diberikan cairan maintenance untuk menjaga

keadaan umum pasien tetap baik sebelum dilakukan tindakan curettage. Dalam hal ini

pemasangan infus pada pasien dimaksudkan untuk rehidrasi atau terapi suportif. Karena

tidak adanya perdarahan maka diberikan cairan maintenance dengan jumlah cairan 40– 50

ml/kgBB, kebutuhan cairan pasien juga dapat ditambahkan melalui intake cairan peoral post

curettage.

Pemasangan laminaria biasanya dilakukan tepat sebelum proses pembersihan jaringan

untuk merangsang jalan lahir dan rahim terbuka sempurna. Pemasangan laminaria bertujuan

mempermudah alat untuk membersihkan rahim masuk ke dalam tanpa harus membuat luka

pada jalan lahir. Pemberian drip oksitosin dalam NS bertujuan untuk mengurangi resiko

perdarahan, pemberian oksitosin harus dimulai pada awal prosedur atau setelah sejumlah

jaringan disingkirkan. Pemberian antibiotik amoxcicilin pada pasien berperan baik sebagai

profilaksis maupun terapi post kuretase. Hal ini digunakan untuk mencegah infeksi

nosokomial dari tindakan. Pemberian asam mefenamat yang merupakan golongan analgesic

atau anti nyeri bertujuan untuk menurangi rasa nyeri pada pasien post curettage.
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Mola hidatidosa merupakan bagian dari. Gestational Thropoblatic Disease (GTD)
terjadi pada kehamilan dengan potensi keganasan yang ditandai dengan proliferasi
abnormal trofoblas. Trofoblas sendiri merupakan bagian dari tepi sel-sel telur yang
kelak terbentuk menjadi ari-ari janin atau merupakan suatu hasil yang gagal. Mola
hidatidosa dibagi menjadi 2 jenis yaitu: komplit dan parsialis. Mola hidatidosa
komplit merupakan penyimpangan pertumbuhan dan perkembangan kehamilan yang
tidak disertai janin dan seluruh vili korialis mengalami perubahan hidrofobik.
Sedangkan mola hidatidosa parsialis merupakan pertumbuhan dan perkembangan vili
korialis yang sebagian berjalan normal sehingga janin dapat tumuh dan berkembang
bahkan sampai aterm. Faktor yang diduga sebagai penyebabnya yaitu faktor nutrisi,
genetic, ataupun kualitas sperma, atau gangguan ovum, defisiensi vitamin A.
hipertensi dan faktor gizi buruk. Usia kehamilan terlalu muda atau terlalu tua juga
diduga memengaruhi. Gejala klinis mola di antaranya tanda-tanda kehamilan muda
disertai dengan perdarahan, hyperemesis, tidak ditemukan tanda-tanda Gerakan janin,
ukuran uterus melebihi usia kehamilan, dan kleuar gelembung mola Bersama
perdarahan. Gambaran laboratorium β-Hcg urin >100.000 mIU/ml, sedangkan β-Hcg
serum >40.000 mIU/ml, gambaran USG berupa swiss cheese appearance pada mola
parsial, dan snow storm appearance pada mola komplit. Tatalaksana mola dilakukan
dengan memperbaiki keadaan umum penderita, kemudian koreksi jika ada
hipertiroid, lalu pengeluaran jaringan mola dengan kuretase. Pada kasus ini pasien
tidak mengalami perdarahan, diagnosa mola ditegakkan dengan USG Ketika ANC
yang didapatkan gambaran snow storm appearance. Tatalaksana dilakukan kuretase
dengan sonde, dan dilakukan pemantauan keadan umum pasien. Keadaan umum
pasien baik, kemudian pasien dipulangkan satu hari setelah kuretase.

5.2 Saran
Melakukan pemeriksaan kadar β-hCG secara berkala untuk evaluasi dan
menentukan prognosis serta indikasi penggunaan kemoterapi.
DAFTAR PUSTAKA
Alazzam, M., et al., 2010. Gestational trophoblastic neoplasia, an ancient disease:
new light and potential therapeutic targets. Anticancer Agents Med Chem., 10,
hal.176- 85

Berkowitz, R., 2002. Gestational trophoblastic disease. In: Berek J, editor. Novak's
gynecology. 13 ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins.

Lurain, J., 2010. Gestational trophoblastic disease I: epidemiology, pathology,


clinical presentation and diagnosis of gestational trophoblastic desease. Am J Obstet
Gynecol., hal.531-39.

Fisher, R.A., et al., 2000. Repetitive complete hydatidiform mole can be biparental in
origin and either male or female. Human Reproduction, 15, hal.594–598.

Harahap, Ida L., Tirthaningsih., 2021. Mola Hidatidosa. Surabaya: FKUA/ RSUD Dr.
Soetomo

Andrijono. 2007. Gestational Trophoblastic Neoplasia. Jakarta: Divisi Onkologi


Departemen Obstetri Ginekologi,

Hidayat, Rahmat. 2021. Mola hidatidosa from Pathophysiology to clinical: Literature


Review. Palembang: FK UNSRI. J. Biomedical 7(1)

Ghassemzadeh S, Kang M. 2021. Hydatidiform Mole. [Updated 2021 Jan 16]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-.

Abadi, A., Abdullah, M., Nadir, D., Gumiar, E., (2008). Pedoman Diagnosis dan
Terapi Bagian/SMF Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan. Surabaya: Rumah
Sakit Umum Dokter Soetomo, hal. 49-52.

Abdulrasool, G., & Nandini, A. (2018). Case report: Molecular confirmation of 2.


dispermy in a complete hydatiform mole. Pathology, 50, S99.

Arantika, H. d. (2017). Patologi Kehamilan. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.

Berek JS, Novak E. (2007). Berek and Novak’s Gynecology 14th ed. Lippincott
Williams & Wilkins. USA. pp.1581-1589.

Berkowitz RS, Goldstein DP. (2009). Molar Pregnancy. The new England Journal of
medicine, 360;16, pp.1639-1643.
Edmonds, D. K. (2012). Dewhurst's Textbook of Obstetrics & Gynaecology (8th
Edition ed.). UK: Wiley-Blackwell.

Martadisoebrata. (2005). Buku Pedoman Pengelolaan Penyakit Trofoblas


Gestasional. EGC. Jakarta. pp. 7-41.
Ratnawati, A. (2018). Asuhan Keperawatan Maternitas. Yogyakarta: Pustaka Baru
Press.

Saleh ZA. (2005). Kanker Ginekologi : Klasifikasi dan Petunjuk Pelaksanaan Praktis
ed 3. Departemen Obstetri dan Ginekologi FK UNSRI/RSMH. Palembang

Sudiono J. (2001). Penuntun Praktikum Patologi Anatomi. EGC. Jakarta. pp. 9-10.

Sukarni, I dan Wahyu, P. (2013). Buku Ajar Keperawatan Maternitas, Yogyakarta:


Nuha Medika.

Wladimiroff W. (2009). Ultrasound in Obstetrics and Gynaecology. Elsevier Health


Sciences, USA, pp. 71-72.

Nguyen NMP, Slim R. Genetics and epigenetics of recurrent hydatidiform moles:


Basic science and genetic counselling. Curr Obstet Gynecol Rep [Internet]. 2014

Anda mungkin juga menyukai