Anda di halaman 1dari 3

Pagi itu tidak seperti biasanya, raut muka Tito kelihatan murung, tampak ada kesedihan yang

teramat sangat tercermin disana, canda tawa dan keceriaannya seakan sirna. Kebiasaannya
bersenandung yang setiap saat ia lantunkan pun tak ada, mulutnya terkunci rapat, tak sepatah
katapun sempat terucap dari bibirnya.

Di dapur terlihat ibunda Tito sedang menanak nasi di tungku, sementara ayahnya masih duduk di
depan tungku sambil menghangatkan badan.

"Yah, kasihan tuh si Tito mbok ya diusahakan,” terdengar suara Ibunda Tito sedang berbincang
dengan suaminya.

"Ya mau bagaimana lagi toh bu, ayah juga sudah berusaha kesana kemari tapi tetep ndak ada,” 

"Terus gimana yah, kasihan Tito,”

"Iya, ayah juga ndak tahu, kalau hanya uang sebesar itu kita biasanya juga ndak masalah, tapi
kok saat ini, dimana Tito sedang benar-benar membutuhkan, rasanya semua pintu tertutup ya
bu?”

"Iya ya yah, masa Tito harus berhenti sekolah yah, dia kan anaknya pandai,” 

"Tuh seharian dia keliatan murung terus,” 

"Ya sudah biarin saja, nanti juga dia kembali ceria. Ayah yakin kok Tito pasti akan mau
memahami keadaan kita,” sahut ayah sambil sesekali menyeruput teh pahit bikinan istrinya.

"Tito itu kan anaknya baik, dia selalu cukup mengerti tentang keadaan kita, mana pernah dia
melawan kita kalau sedang dimarahi, iya toh bu ?” Dan ibu Tito hanya mengangguk pelan.

Sementara disamping rumah, Tito masih terlihat diam seribu bahasa. Tangannya terlihat sedang
bermain-main dengan tanah, "uuugh….,” Tito terdengar menghela nafas panjang. "Kalau tahu
akan begini, mending waktu kemarin bude ngajakin ke Jakarta, Tito ikut aja,” gumamnya lirih.

Beberapa waktu yang lalu memang budenya Tito, kirim surat bahwa di kantor tempat ia bekerja
sedang membutuhkan karyawan. 

Tanpa dikomando kejadian beberapa hari yang lalu langsung melintas di dalam pikiran Tito,
waktu itu ia sedang berada di kebun.

"Tiiiittt……,” tiba-tiba terdengar ada orang memanggil namaku, pikir Tito. Saat itu sedang
berada di kebun, rencananya dia mau nebang beberapa pohon bamboo untuk bikin kandang
burung, tiba-tiba muncul di depanku.

"Yee dipanggilin dari tadi kok ndak nyahut ?” 

"Lagian tinggal kesini aja teriak-teriak, kakak kan sudah tahu kalau saya lagi nebang bambu,
brarti ya arahnya kesini,” sahut Tito sedikit kesal, rupanya ia sedang kesulitan narik bambu yang
barusan ditebang, makanya jadi sedikit judes.

"Lagian mau ngapain sih kakak nyusul Tito ?” 

"Ini, tadi bude dari Jakarta kirim surat, katanya sih dikantor tempat bude kerja lagi butuh
karyawan, minimal lulus SMP. Dan bude bilang dia ingat sama kamu kalau tahun ini sudah
lulus,” 

"Gak ah, gak mau, lagian mau kerja apaan wong cuma lulus SMP,” sahut Tito makin bertambah
kesal sambil tangannya terus mencoba menarik bambu yang terjepit di rerumpunan.

"Lagian Tito juga kan masih mau sekolah kak, sudah suruh cari yang lain aja yang mau” 

"Ya sudah, wong kakak cuma disuruh ayah, suruh bilangin Tito kok, dan kalau kamu mau nanti
sore langsung berangkat,” lanjutnya tanpa peduli kalau Tito lagi kesal.

"Brisik ah kak, sudah pergi sana !” sahut Tito semakin sewot.

*******

Sejak kejadian itu tanpa terasa sudah hampir satu bulan, Tito terpaksa tidak bisa melanjutkan
sekolahnya lagi. Hari-harinya ia lalui dengan membantu ayahnya. Seperti hari itu, Tito disuruh
ayah nengokin padi di sawah takut dimakanin burung. Dan seperti biasa dia langsung tertuju
pada saung, tempat dimana dia berteduh kalau pas ke sawah. Diraihnya tali penarik orang-
orangan, perlahan ia mulai menarik talinya sambil sesekali berteriak.

Tiba-tiba ia ingat budenya di Jakarta, dalam pikirannya ia berharap kalau budenya kirim surat
lagi dan mengajaknya ke Jakarta. Kembali rasa sedih menari-nari di dalam lubuk hatinya,
perlahan irama tarikan tali mulai pelan, matanya kelihatan berkaca-kaca dan sebutir air bening ia
biarkan jatuh menetes membasahi pipinya. 

Tito mencoba menahan semua rasa sedih dan juga kecewa seorang diri, ia tidak mau kalau
perasaan-perasaannya yang seperti itu sampai diketahui orang tuanya atau saudara-saudaranya, ia
tidak mau ayah dan ibunya jadi sedih karena merasa bersalah.
"Tito, maafkan ayah ya, gara-gara ayah gak punya uang, Tito jadi gak bisa nerusin sekolah,” kata
ayah di suatu sore, saat Tito menemani ayah nunggu padi disawah.

"Sudahlah Yah, Tito gak apa-apa kok, lagian Tito juga sebetulnya gak mau sekolah di STM,”

Matahari tlah bergulir ke ufuk barat, sinarnya sudah mulai memerah pertanda bahwa sebentar
lagi dia akan pergi keperaduannya untuk istirahat. Tito dan ayahnya juga sudah bersiap-siap
untuk pulang.

"Tit, tuh diatas meja ada surat dari bude !” ibuku langsung menyambut dengan sebuah berita.
Tito langsung saja menyambar surat itu, kemudian dengan perasaan yang campur aduk antara
senang dan sedih perlahan ia buka surat itu, dengan cermat ia membacanya. Dalam surat itu bude
bilang kalau dikantornya sedang membutuhkan karyawan lagi, kalau Tito mau sore ini atau
besok Tito bisa langsung berangkat.

"Yah, bu besok sore Tito mau ke Jakarta nyusul bude, kebetulan ada temen bude yang pulang,
jadi Tito sekalian ikut” kata Djitto kepada orang tuanya, setelah ia selesai membaca surat itu.
Walau tidak membaca suratnya, tapi orang tua Tito sudah bisa menebak isinya dan juga
keinginan Tito.

"O ya sudah kalau memang itu sudah jadi keputusanmu,” sahut ayah Tito sambil memberikan
wejangan yang banyak banget. Maklumlah baru kali ini Tito mau pergi jauh.

*********

Pada keesokan harinya, Tito pun berangkat ke Jakarta menuju ke tempat budenya. Ada perasaan
senang, sedih, bingung dan lain sebagainya bercampur jadi satu. Dan dari raut muka kedua orang
tua Tito juga tersirat rasa sedih juga rasa bersalah yang sangat mendalam. Tepat pukul 17.00
WIB bus berlalu membawa Tito pergi jauh dari orang tua dan keluarganya. Dengan mata
berkaca-kaca ayah Tito melambaikan tangannya merelakan anak lelakinya pergi……”selamat
jalan ya nak, doa kami menyertaimu,” gumam ayah dengan bibir bergetar menahan kesedihan.

"Ayah, Ibu, Kakak dan adikku, maafkan kesalahan Tito selama ini ya, Tito yang kadang nakal
dan bikin kalian kesal, do'ain Tito ya semoga apa yang menjadi cita-cita Tito bisa kesampaian
suatu saat kelak, Selamat Tinggal dan Selamat Datang Cita-cita,” ucapnya lirih dari dalam bus
sana, satu butir, dua butir air matanya mulai berjatuhan membasahi pipinya. Dan bus itu pun
terus melaju ditelan malam yang semakin gelap……….

Anda mungkin juga menyukai