APENDISITIS
DISUSUN OLEH:
TAHUN 2020-2021
BAB I
PENDAHULUAN
1. Definisi
Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai
cacing (apendiks). Usus buntu adalah sebenarnya sekum (cecum). Infeksi ini
bisa mengakibatkan peradangan akut sehingga memerukan tindakan bedah
segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya. (Nurarif, 2015)
Apendiks adalah ogan tambahan kecil yang menyerupai jari, melekat pada
sekum tepat di bawah katub ileosekal. Peradangan pada apendiks (umbai
cacing) diakibatkan infeksi oleh bakteri. Apabila sisa makanan masuk ke
dalam apendiks, makanan tersebut akan busuk dan sulit dikeluarkan.
Akibatnya, apendiks akan mengalami peradangan. (Firmansyah, 2009)
Jadi kesimpulannya, apendisitis adalah peradangan pada apendiks (umbai
cacing) pada kuadran kanan bawah yang disebabkan oleh infeksi, bakteri,
ataupun sisa makan yang tertinggal di bagian apendiks yang dapat
menyebabkan peradangan.
2. Etiologi
Apendisitis disebabkan oleh bakteri dan faktor pencetusnya disebabkan
oleh sumbatan lumen apendiks. Selain itu fekalith (tinja/batu), tumor
apendiks, biji-bijian dan cacing askaris yang dapat menyebabkan sumbatan
dan juga erosi mukosa apendiks karena parasit
3. Manifestasi Klinis
Tanda-tanda umum untuk apendisitis yang diakui antara lain:
a. Nyeri kuadran kanan bawah
b. Demam ringan
c. Mual dan muntah
d. Anoreksia
e. Malaise
f. Nyeri tekan lokal pada titik Mc. Burney
g. Spasme otot
h. Konstipasi dan diare (Brunner & Suddart, 1997)
4. Anatomi fisiologi
Usus Halus
Intestinum tenue (usus kecil) taerdiri dari duodenum, jejunum dan ileum.
Duodenum mulai dari pylorus sampai flexura duodeno jejunalis dan beralih
menjadi jejunum. Panjangnya kurang lebih 25 cm. Dan berbentuk seperti
huruf C yang mengelilingi caput pancreas. Jejunum adalah lanjutan dari
duodenum mulai dari flexura duodejejunalis dan ileum berakhir pada
muaraanya pada cecum. Panjang seluruh jejunum dan ileum kurang lebih 6-7
meter dengan 2/5 bagian merupakan jejunum dan 3/5 bagian ileum. Kelokan
jejunum dan ileum mengisi hampir semua bagian dari kompartmen infracolica
di dalam cavum peritonei, dikelilingi oleh usus besar, serta ditutupi didepan
oleh tirai omentum majus. Didalam duodenum makanan dicerna dengan
bantuan enzim pencernaan menjadi molekul yang lebih sederhana. Pada
duodenum sudah terjadi penyerapan (absorbsi) asam amino yang berlansung
cepat selanjutnya makanan melewati yeyenum (sekitar 7 meter) menuju ileum.
Didalam ileum terjadi penyerapan sari makanan hasil pencernaan. Dinding
dalam dari ileum berlipat-lipat yang disebut dengan jonjot (villi). Villi
berfungsi untuk memperluas bidang penyerapan sari makanan. Sari makanan
yang larut dalam air (seperti glukosa, asam amino, vit B dan C) diserap oleh
darah dalam pembuluh kapiler kemudian diedarkan keseluruh sel. (Widjaja, H.
I. 2007)
Usus Besar
Usus Besar besar terdiri dari kolon, sekum, apendiks, dan rektum. Sekum
membentuk kantung buntu di bawah taut antara usus halus dan usus besar di
katup ileusekum. Tonjolan kecil mirip jari-jari di dasar sekum adalah
apendiks, jaringan limfoid yang mengandung limfosit. Kolon yang
membentuk sebagian besar usus besar, tidak bergelung-gelung seperti usus
halus, tetapi terdiri tiga bagian yang relatif lurus-kolon asendens, kolon
transversus, dan kolon desendens. Bagian akhir kolon desendens berbenuk
huruf S. Yaitu kolon sigmoid (sigmoid berarti “berbentuk S”), dan kemudian
berbentuk lurus yang disebut rektum (rectum beararti “lurus”). Lapisan otot
polos longitudinal di sebelah luar tidak menutupi usus besar secara penuh.
Lapisan ini hanya terdiri dari tiga pita otot yang longitudinal, jelas, dan
terpisah, yaitu taenia koli, yang berjalan di sepanjang usus besar. Lapisan-
lapisan dibawahnya berkumpul dalam kantunng atau sakus yang disebut
haustra, mirip seprti bahan rok yang berkumpul di pinggang yang lebih
sempit. Hausta bukan hanya sebagai tempat berkumpul permanen yang pasif;
lokasi austa secara aktif berubah-ubah akibat kontraksi lapisa otot polos
sirkuler. (Sherwood, lauralee. 1996).
Sekum
Sekum terletak didaerah iliaka kanan dan menempel pada otot iliopsoas.
Dari sini kolon naik melalui daerah sebelah kanan lumbal dan disebut kolon
asendens. Di bawah hati berbelok pada tempat yang disebut flexura hepatika,
lalu berjalan melalui tepi daerah epigastrik dan umbilikal sebagai kolon
transversus. Dibawah limpa ia membelok sebagai flexsura sinistra atau flexura
lienalis dan kemudian berjalan melalui daerah kanan lumbal sebagai kolon
desendens. Dan didaerah kanan iliaka terdapat belokan yang disebut sebagai
flexura sigmois dan bentuk kolon sigmoideus atau kolon pelvis, dan kemudian
masuk pelvis besar dan menjadi rektum. (Pearce, Evelyn.C. 2006)
Apendiks
Apendiks memiliki panjang yang bervariasi namun pada orang dewasa
sekitar 5-15 cm. Pangkal apendiks keluar dari aspek posteromedial sekum;
akan tetapi, arah apendiks itu sendiri sangat bervariasi. Apendiks merupakan
organ yang belum diketahui fungsinya tetapi menghasilkan lender 1-2 ml per
hari yang normalnya dicurahkan kedalam lumen dan selanjutnya mengalir
kesekum. Hambatan aliran lendir dimuara apendiks tampaknya berperan
dalam pathogenesis apendiks. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh
GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat di sepanjang
saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat
efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian,
pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi system imun tubuh karena
jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika dibandingkan dengan
jumlahnya di saluran cerna dan diseluruh tubuh (Pieter, 2005). Jaringan
limfoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2 minggu setelah
lahir. Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat dewasa
dan kemudian berkurang mengikuti umur. Setelah umur 60 tahun, tidak
ada jaringan limfoid lagi di apendiks dan terjadi penghancuran lumen
apendiks komplit. Immunoglobulin sekretorius dihasilkan sebagai bagian
dari jaringan limfoid yang berhubungan dengan usus untuk melindungi
lingkungan anterior. Apendiks bermanfaat tetapi tidak diperlukan (Schwartz,
2000).
Apendiks pada setiap orang memiliki letak posisi yang berbeda-beda,
salah satu faktor penyebab adalah bawaah sejak lahir yang membuat letak
posisi apendiks berbeda. Pada sebagian besar orang apendiks terletak pada
posisi retrosekal namun sering juga ditemukan posisi lain. Apendiks memiliki
gambaran karakteristik berikut:
Memiliki mesentrium kecil yang menurun di belakang ileum terminalis.
Satu-satunya pasokan darah apendiks, arteri apendikularis (salah satu cabang
ileokolika), berjalan dalam mesentrium. Pada kasus apendisitis, akhirnya
terjadi trombosis arteri apendikularis. Bila terjadi hal ini, komplikasi gangren
dan perforasi apendiks tidak terelakan. Apendiks memiliki lumen yang relatif
lebar pada bayi dan perlahan-lahan menyempit dengan bertambahnya usia,
seringkali menghilang pada manula.
5. Patofisologi
Fekalith, bakteri, cacing ascaris, produksi lendir berlebih, dan tumor
merupakan beberapa etiologi dari apendisitis. Semua faktor tersebut
menyebabkan adanya obstruksi pada lumen apendiks. Faktor predisposisi
yaitu, adanya benda asing (biji –bijian, konstipasi, diare).
Obstruksi tersebut menyebabkan terjadinya inflamasi, distensi dan dilatasi
pada dinding apendiks, tekanan intraluminal meningkat. Tekanan intraluminal
yang meningkat menimbulkan aliran cairan limfe dan darah terhambat dan
tekanan intraluminal meningkat, bisa mengakibatkan munculnya rasa mual
dan ingin muntah. Kemudian berlanjut nafsu makan berkurang dan
menyebabkan anorexia, akibatnya ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
tubuh. Stimulasi kemudian dihantarkan ke spinal cord ke cortex cerebri dan di
sampaikan ke nosiseptor. Nyeri akan dipersepsikan.
Bakteri masuk dan jika bakteri berkembang semakin banyak dan merusak
mukosa apendiks (menginfeksi) maka akan mengakibatkan terjadinya
apendisitis supuratif akut (ditandai adanya abses yang banyak berwarna
kuning). Apabila kerusakan vaskular yang cepat mengakibatkan terjadinya
ruptur, perforasi (apendisitis perforasi) maka bakteri akan tersebar secara
meluas ke seluruh area abdomen sehingga dapat menyebabkan peritonitis
maka tindakan pembedahannya adalah laparaskopi. Anastesi yang sering
digunakan adalah meperidin, morfin. Juga mengakibatkan cemas, gangguan
pola tidur, dan intoleransi aktivitas (Pre-operasi) dan nyeri, luka insisi, serta
intoleransi Aktivitas (Post-operasi). Pembedahan pasien dengan apendisitis
adalah apendektomi. Anastesi yang sering digunakan adalah anastesi umum
yaitu pethidin, diazepam.
6. Pathway
Edema Anorexia
Anxietas
Nyeri Akut
7. Klasifikasi
Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi tiga yaitu, apendisitis simple,
apendisitis gangrenosa dan apendisitis perforata.
a. Apendisitis Simple
b. Apendisitis Gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai
terganggu terutama bagian ante mesentrial yang peredarannya paling
minimal, hingga terjadi infrak dan ganggren.
c. Apendisitis Perforata
Ada fekalit didalam lumen, umur (orang tua atau anak muda) dan
keterlambatan diagnosa merupakan faktor yang berperan dalam
terjadinya perforasi apendiks karena dinding apendiks mengalami
ganggren, rasa sakit yang bertambah, demam tinggi, rasa nyeri yang
menyebar dan jumlah leukosi yang tinggi merupakan tanda
kemungkinan terjadinya perforasi.
8. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering adalah perforasi apendisitis. Perforasi usus
buntu dapat mengakibatkan periappendiceal abses (pengumpulan nanah yang
terinfeksi) atau peritonitis difus (infeksi selaput perut dan panggul). Alasan
utama untuk perforasi appendiceal adalah keterlambatan dalam diagnosis dan
perawatan. Secara umum, semakin lama waktu tunda antara diagnosis dan
operasi, semakin besar kemungkinan perforasi. Risiko perforasi 36 jam setelah
onset gejala setidaknya 15%. Oleh karena itu, setelah didiagnosa radang usus
buntu, operasi harus dilakukan tanpa menunda-nunda. Komplikasi jarang
terjadi pada apendisitis adalah penyumbatan usus.
Penyumbatan terjadi ketika peradangan usus buntu sekitarnya
menyebabkan otot usus untuk berhenti bekerja, dan ini mencegah isi usus
yang lewat. Jika penyumbatan usus di atas mulai mengisi dengan cairan dan
gas, distensi perut, mual dan muntah dapat terjadi. Kemudian mungkin perlu
untuk mengeluarkan isi usus melalui pipa melewati hidung dan kerongkongan
dan ke dalam perut dan usus. Sebuah komplikasi apendisitis yang lebih
ditakuti adalah sepsis, suatu kondisi dimana bakteri menginfeksi masuk ke
darah dan perjalanan ke bagian tubuh lainnya. Kebanyakan komplikasi setelah
apendektomi adalah: infeksi luka, abses residual, sumbatan usus akut, ileus
paralitik, dan fistula tinja eksternal (Hugh A.F. Dudley, 1992).
9. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan fisik
Inspeksi: akan tampak adanya pembekakan (swelling) rongga perut
dimana dinding perut tampak mengencang (distensi).
Palpasi: didaerah perut kanan bawah (pada tittik Mc Burney) bila
ditekan akan terasa nyeri dan bila tekanan di lepas juga akan terasa
nyeri (blumberg sign) yang mana merupakan kunci dari diagnosis
apendisitis akut.
Dengan tindakan tungkai kanan dan paha ditekuk kuat/ tungkai
diangkat tingg-tinggi, maka rasa nyeri diperut semakin parah (psoas
sign).
Kecurigaan adanya peradangan usus buntu semakin bertambah bila
pemeriksaan dubur dan vagina menimbulkan rasa nyeri juga.
Suhu dubur (rectal) yang lebih tinggi dari suhu ketiak (axilla), lebih
menunjang lagi adanya radang usus buntu.
Pada apendiks terletak pada retro sekal maka uji psoas akan positif dan
tanda perangsangan peritonium tidak begitu jelas, sedangkan bila
apendiks terletak di rongga pelvis maka obturator sign akan positif dan
tanda peransangan peritonium akan lebih menonjol.
b. Pemeriksaan laboratorium
Peningkatan sel darah putih (leukosit) hingga sekitar 10.000-18.000/mm 3.
Jika terjadi peningkatan lebih dari itu, maka kemungkinan apendiks sudah
mengalami perforasi (pecah). (Nanda, 2015)
c. Pemeriksaan radiologi
Foto polos perut dapat memperlihatkan adanya fekalit.
Ultrasonografi (USG)
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan
USG, terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan
USG dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti
kehamilan ektopik, adnecitis dan sebagainya.
CT scan
Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendicitis. Selain itu juga
dapat menunjukkan komplikasi dari appendicitis seperti bila terjadi
abses.
Kasus kronik dapat dilakukan rontgen foto abdomen, USG abdomen,
apendikogram. (Nanda, 2015)
3. Pola Eliminasi
- Buang air kecil (BAK)
Adanya gangguan
- Buang air besar (BAB)
Sebagian pasien mengalami diare, namun bisa juga mengalami
konstipasi.
4. Pola aktivitas dan latihan
Pasien mengalami gangguan aktivitas, berjalan seperti menunduk
karena menahan nyeri. Lebih sering duduk atau berbaring, aktivitas
berjalan sangat terbatas. Pasien merasa lemas, lesu dan tidak enak
badan.
5. Pola istirahat dan tidur
Pasien mengalami gangguan istirahat karena pasien dengan apendisitis
mengalami nyeri dan merasa cemas sehingga tidak dapat istrahat
dengan nyaman.
B. Diagnosa keperawatan
1. Nyeri akut b.d agen cidera biologis
2. Resiko kehilangan volume cairan b.d anorexia
3. Anxietas b.d akan dilakukan tindakan operasi
C. Analisa Data
DO:
- Pasien terlihat
lemah
- Kesadaran
Composmetis
- TD = 122/82
mmHg
- N = 70x/menit
- S = 36,9°C
- RR = 20 x/menit
- SpO2 = 99%
2 DO: Fekalit, bolus ascaris, benda Resiko
- Mengeluh mual dan asing, dan jaringan parut ketidakseimbangan
muntah. cairan b.d anorexia
- Mengeluh tidak ada terjadinya inflamasi, distensi dan
nafsu makan. dilatasi pada dinding apendiks
- Mengeluh lelah.
aliran cairan limfe dan darah
DS: terhambat
-Kulit tampak kering
-Klien tampak pucat tekanan intraluminal meningkat
Anorexia
Baughman, D. C., dan JoAnn C. H. 1996. Keperawatan Medikal- Bedah. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Black, J. M., & Hawks, J. H. 2014. Keperawatan Medikal Bedah (8th ed., Ser. 2). Singapore,:
Elsevier.
Faiz, omar dan Moffat, david. 2004. At a Glance Series ANATOMI. Jakarta: Erlangga.
Firmansyah, Riki dkk. 2009. Mudah dan Aktif Belajar Biologi. Pusat Perbukuan Departemen
Pendidikan Nasional.
Leveno, Kenneth J. dkk. 2003. Obstetri Williams: Panduan Ringkas, Ed.21. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC
Nurarif, A. H., & H. K. (Eds.). 2015. NANDA (1st ed., Ser. 1). Jogjakarta, Indonesia:
MediAction.
Sherwood, lauralee. 1996. FISIOLOGI MANUSIA: DARI SEL KE SISTEM, Ed 2. Jakarta:
Buku Kedokteran EGC.
Taber, Ben-zion. 1994. Kapita Selekta Kedaruratan Obstetri dan Ginekologi. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran