Anda di halaman 1dari 60

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA

Ny. I DENGAN DIAGNOSAMEDIS CLOSE FRAKTUR FEMUR


DI RUANG ROE RSUD dr.DORIS SYLVANUS
PALANGKA RAYA

OLEH :
DANDUNG SETIADI
NIM: 2021.01.14901.011

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PROGRAM PROPESI NERS
TAHUN 2021
LEMBAR PERSETUJUAN

i
Laporan ini di susun oleh :
Nama : Dandung Setiadi
NIM : 2021.01.14901.011
Program Studi : Profesi Ners
Judul :Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan
keperawatan pada pada Pasien Ny. I dengan Diagnosa
medis Close Fraktur Femur di Ruang ROE RSUD dr.Doris
Sylvanus Palangka Raya.

Telah melakukan asuhan keperawatan sebagai persyaratan untuk


menyelesaikan Praktik Pra Klinik Keperawatan Program Studi Ners Keperawatan
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Eka Harap Palangka Raya.

Laporan Studi Kasus ini telah disetujui oleh :

Pembimbing Akademik Pembimbing Lahan

Meilitha Carolina, Ners.,M.Kep. Katharina, S.Kep.,Ners.

LEMBAR PENGESAHAN

ii
Laporan ini di susun oleh :
Nama : Dandung Setiadi
NIM : 2021.01.14901.011
Program Studi : Profesi Ners
Judul :Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan
keperawatan pada pada Pasien Ny. I dengan Diagnosa
medis Close Fraktur Femur di Ruang ROE RSUD dr.Doris
Sylvanus Palangka Raya.

Telah melakukan asuhan keperawatan sebagai persyaratan untuk


menyelesaikan Praktik Pra Klinik Keperawatan Program Studi Ners Keperawatan
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Eka Harap Palangka Raya.

Laporan Studi Kasus ini telah disetujui oleh :

Pembimbing Akademik Pembimbing Lahan

Meilitha Carolina, Ners.,M.Kep. Katharina, S.Kep.,Ners.

Mengetahui
Ketua Program Studi Ners

Meilitha Carolina, Ners., M. Kep.

KATA PENGANTAR

iii
Puji syukur penyusun panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa Karena atas
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan pendahuluan yang
Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan keperawatan pada pada Pasien
Ny. I dengan Diagnosa medis Close Fraktur Femur di Ruang ROE RSUD dr.Doris
Sylvanus Palangka Raya”.
Penyusun menyadari tanpa bantuan dari semua pihak maka laporan pendahuluan
ini tidak akan selesai sesuai dengan waktu yang diharapkan. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini pula penyusun mengucapkan banyak terima kasih terutama kepada :
1. Ibu Maria Adelheid Ensia, S.Pd.,M.Kes. selaku Ketua STIKES Eka Harap Palangka
Raya.
2. Ibu Meilitha Carolina, Ners., M.Kep. selaku ketua program studi Sarjana
Keperawatan sekaligus selaku pembimbing akademik yang telah memberikan
bantuan dalam proses praktik lapangan dan penyelesaian laporan pendahuluan dan
asuhan keperawatan ini.
3. Ibu Isna Wiranti S.Kep.,Ners. Selaku Koordinator PPK.
4. Ibu Katharina, S.Kep.,Ners. selaku pembimbing lahan yang telah memberikan
bantuan dalam proses praktik lapangan dan penyelesaian laporan pendahuluan dan
asuhan keperawatan ini.
5. Orang tua kami, keluarga kami, dan orang terdekat yang telah memberikan
bimbingan, motivasi dan bantuan kepada saya dalam hal material.
6. Kepada keluarga Ny.I yang telah bersedia mengizinkan pasien sebagai kelolaan
dalam asuhan keperawatan.
7. Kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan studi kasus ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam penulisan studi
kasus ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua
pihak yang bersifat membangun untuk menyempurnaan penulisan studi kasus ini. Akhir
kata, penulis mengucapkan terima kasih dan semoga laporan studi kasus ini bermanfaat
bagi kita semua.

DAFTAR ISI

iv
SAMPUL DEPAN i
LEMBAR PENGESAHAN i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB 1 PENDAHULUAN i
1.1 Latar Belakang 4
1.1 Rumusan Masalah 4
1.1 Tujuan Penulisan 4
1.1 Manfaat Penulisan 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Penyakit 4
2.1.1 Definisi 4
2.1.2 Anatomi dan Fisiologi 4
2.1.3 Etiologi 6
2.1.4 Klasifikasi 6
2.1.5 Patofisiologi 7
2.1.6 Manifestasi Klinis 10
2.1.7 Komplikasi 10
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang 10
2.1.9 Penatalaksanaan Medis 11
2.2 Manajemen Asuhan Keperawatan 13
2.2.1 Pengkajian 13
2.2.2 Diagnosa Keperawatan 14
2.2.3 Intervensi 16
2.2.4 Implementasi 18
2.2.5 Evaluasi 18
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Anamnesa19
3.2 Pemeriksaan Fisik 20
3.3 Analisa Data 24
3.4 Prioritas Masalah 26
3.5 Rencana Keperawatan 27
3.6 Implentasi dan Evaluasi 29
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

v
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Fraktur merupakan terputus atau rusaknya kontinuitas jaringan tulang yang
disebabkan oleh tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap
oleh tulang. Fraktur dapat disebabkan oleh hantaman langsung, kekuatan yang
meremukkan, gerakkan memuntir yang mendadak atau bahkan karena kontraksi
otot yang ekstrem (Brunner & Suddart, 2016). Fraktur merupakan diskontinuitas
dari jaringan tulang yang disebabkan adanya kekerasan yang timbul secara
mndadak atau fraktur dapat terjadi akibat trauma langsung maupun trauma tidak
langsung (Krisanty,dkk, 2014).
Fraktur femur merupakan hilangnya kontinuitas pada tulang femur atau paha,
fraktur femur terbagi dua macam yaitu fraktur femur tebuka dan fraktur femur
tertutup. Fraktur femur terbuka merupakan hilangnya kontinuitas tulang paha
disertai kerusakan jaringan lunak seperti otot, kulit, jaringan syaraf, dan pembuluh
darah yang dapat disebabkan oleh trauma langsung pada paha. Fraktur femur
tertutup atau patah tulang paha tertutup merupakan hilangnya kontinnuitas tulang
paha tanpa disertai kerusakan jaringan kulit (Muttaqin, 2014).
Fraktur disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan memuntir
yang mendadak, dan kontraksi otot ekstremitas, organ tubuh dapat mengalami
cidera akibat gaya yang disebabkan oleh fraktur atau akibat fragmen tulang
(Brunner dan Suddarth, 2013). Fraktur juga disebabkan oleh kekerasan langsung
yang menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan, dan disebabkan
juga trauma langsung pada kondisi tertentu, seperti degenerasi tulang
(osteoporosis) dan tumor atau keganasan tulang paha yang menyebabkan
faktor patologis, biasanya 1 bersifat Fraktur terbuka dengan garis patah
melintang atau miring, dan kekerasan tidak langsung juga menyebabkan patah
tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan, yang patah biasanya
adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan (Wijaya,
2013).

1
2

Akibat dari fraktur femur ini dapat berdampak terhadap fisik dan psikologis,
sosial, spiritual. Dampak pada fisik nya yaitu terjadi perubahan pada bagian
tubuhnya yang terkena trauma seperti perubahan ukuran pada ekstermitas bahkan
kehilangan ekstermitas yang disebabkan oleh amputasi. Dampak terhadap
psikologis seperti pasien akan merasakan cemas yang diakibatkan oleh rasa nyeri
dari fraktur, perubahan gaya hidup, kehilangan peran baik dalam keluarga
maupun dalam masyarakat, takutnya terjadi kecacatan pada dirinya dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra diri). Dampak sosial dari
fraktur femur pasien akan kehilangan perannya dalam keluarga dan dalam
masyarakat karena harus menjalani perawatan yang waktunya tidak akan sebentar
dan juga perasaan akan ketidakmampuan dalam melakukan kegiatan memenuhi
kebutuhannya sendiri seperti biasanya sedangakan dampak spiritual pada fraktur
femur pasien akan mengalami gangguan kebutuhan spiritual sesuai dengan
keyakinannya baik dalam jumlah ataupun dalam beribadah yang diakibatkan
karena rasa nyeri dan ketidakmampuannya (Mutaqqin, 2012).
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat pada tahun 2012 terdapat
5,6 juta orang meninggal dunia dan 1,3 juta orang menderita Fraktur akibat
kecelakaan lalulintas. Sedangkan pada tahun 2018 angka kematian fraktur akibat
cedera lalulintas terjadi paling tinggi di Venezuela (45.1%), Indonesia pada urutan
ke 8 di Asia dengan angka sebanyak (15.3%) setelah itu Timur Leste dan India
masing-masing (16,6%).
Berdasarkan Riset Kesehatan dasar (RISKESDAS) cedera dijalan raya pada
tahun 2013 sebanyak 42,8% mengala mi penurunan jika dibandingkan pada tahun
2018 yaitu sebanyak 31, 4%. Sedangkan kejadian kecelakaan lalu lintas di
Indonesia terjadi sebanyak 2,2 %, yang mana kecelakaan lalu lintas yang tinggi
terjadi di Sulawesi Utara sebanyak 3,5 % di Sulawesi Selatan sebanyak 3,4 %
Sulawesi Tengah sebanyak 3,3% di Sumatera Barat sebanyak 2,5 % dan paling
rendah terjadi di Jambi sebanyak 1,1% (Riskesdas, 2018).
Asuhan keperawatan merupakan suatu tindakan atau proses dalam praktik
keperawatan yang diberikan secara langsung kepada pasien untuk memenuhi
kebutuhan pasien, sehingga dapat mengatasi masalah yang sedang dihadapinya
dan asuhan keperawatan dilaksanakan berdasarakan kaidah-kaidah ilmu
3

keperawatan (Brunner dan Suddarth, 2016). Fraktur memerlukan pemberian


asuhan keperawatan yang komprehensif. Peran perawat dalam memberikan
asuhan keperawatan terutama ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasar pasien
yang terganggu dan mencegah atau mengurangi komplikasi. Masalah keperawatan
yg biasa terjadi pada pasien fraktur femur yaitu: gangguan rasa aman nyaman,
hambatan mobilitas fisik, resiko infeksi, kerusakan integritas kulit dll. Peran
perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien fraktur yaitu
mengajarkan teknik relakasasi seperti teknik nafas dalam untuk mengurangi rasa
nyeri, mengatur posisi, mengajarkan cara cuci tangan yang baik dan benar untuk
mencegah atau mengurangi terjadinya infeksi, manajemen energi seperti
mengajarkan ROM, kolaborasi dengan tenaga kesehatan lainnya dalam pemberian
obat dan memberikan motivasi kepada klien untuk kesembuhannya (wijaya 2013).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas rumusan masalah pada kasus post
kraniotomi yakni sebagai berikut: Bagaimana asuhan keperawatan Pada Pasien
Ny. I Dengan Diagnosa medis Close Fraktur Femur Di Ruang Roe Rsud Dr.Doris
Sylvanus
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
1) Tujuan umum penyusunan dan penulisan studi kasus ini adalah agar penulis
mampu menggambarkan asuhan keperawatan secara komprehensif yang
meliputi biopsikososial dan spiritual pada Pasien Ny. I dengan Diagnosa
medis Close Fraktur Femur di Ruang ROE RSUD dr.Doris Sylvanus
Palangka Raya.dengan menggunakan proses keperawatan.
1.3.2 Tujuan Khusus
2) Mampu melakukan pengkajian keperawatan pada Pasien Ny. I dengan
Diagnosa medis Close Fraktur Femur di Ruang ROE RSUD dr.Doris
Sylvanus Palangka Raya.
3) Mampu menentukan masalah keperawatan pada pada Pasien Ny. I dengan
Diagnosa medis Close Fraktur Femur di Ruang ROE RSUD dr.Doris
Sylvanus Palangka Raya.
4) Mampu merencanakan asuhan keperawatan pada pada Pasien Ny. I dengan
4

Diagnosa medis Close Fraktur Femur di Ruang ROE RSUD dr.Doris


Sylvanus Palangka Raya.
5) Mampu melaksanakan implementasi keperawatan pada pada Pasien Ny. I
dengan Diagnosa medis Close Fraktur Femur di Ruang ROE RSUD dr.Doris
Sylvanus Palangka Raya.
6) Mampu melakukan evaluasi keperawatan pada pada Pasien Ny. I dengan
Diagnosa medis Close Fraktur Femur di Ruang ROE RSUD dr.Doris
Sylvanus Palangka Raya.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Pada Close Fraktur Femur


2.1.1 Pengertian Fraktur
Fraktur adalah suatu patahan pada kontinuitas struktur tulang. Patahan tadi
mungkin tak lebih dari suatu retakan, suatu pengisutan, biasanya patahan lengkap
dan fragmen ulang bergeser. Kalau kulit diatasnya masih utuh, keadaan ini disebut
fraktur tertutup, kalau kulit atau salah satu dari rongga tubuh tertembus kadaan ini
disebut fraktur terbuka yang cenderung untuk mengalami kontaminasi dan infeksi
(Wijaya, 2013). Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang disebabkan
oleh ruda paksa (Wahid, 2013).
Fraktur femur atau patah tulang paha adalah rusaknya kontinuitas tulang
pangkal paha yang dapat disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, dan
kondisi tertentu, seperi degenarasi tulang atau osteoporosis.
2.1.2 Etiologi Fraktur
Fraktur femur dapat terjadi mulai dari proksimal sampai distal. Untuk
mematahkan batang femur pada orang dewasa, diperlukan gaya yang besar.
Kebanyakan fraktur ini terjadi pada pra muda yang mengalami kecelakaan
bermotor atau jatuh dari ketinggian. Biasanya, klien ini mengalami trauma
multipel. Pada fraktur femur ini klien mengalami syok hipovolemik karena
kehilanagan banyak darah maupun syok neurogenik karena nyeri yang sangat
heba (muttaqn, 2015).
Penyebab fraktur femur menurut (Wahid, 2013) antara lain :
1. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan.
Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang
atau miring.
2. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling
lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.

5
6

3. Kekerasan akibat tarikan otot


Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan
penarikan.
2.1.3 Anatomi Fisiologi

Tulang femur atau tulang paha pada ujung proksimalnya terdapat kaput
femoris yang bulat sesuai dengan mangkok sendi (asetabulum). Kolumna femoris
menghubungkan kaput femoris dengan korpus femoris. Di tengah kaput femoris
terdapat lekuk kecil yang dinamakan fovea kapitalis tempat melekat ligamentum teres
femoralis yang menghubungkan kaput femoris dengan fosa asetbulum. Bagian lateral
dari kolumna femoris terdapat trokhanter mayor dan bagian medial trokhanter minor
keduanya dihubungkan oleh krista interokhanterika. Antara trokhanter mayor dan
kolumna femoris terdapat lekuk yang agak dalam disebut fosa trokhanterika. Pada
dataran belakang tengah os femur terdapat line aspera. Ujung distal femur mempunyai
dua bongkol sendi, kondilus lateralis dan kondilus medialis. Diantara keduanya bagian
belakang terdapat lekukan fosa interkondiloid. Bagian medial dari kondilus medialis
terdapat tonjolan kecil epikondilus medialis femoralis dan sebelah lateral
epikondilus lateralis (Syarifuddin, 2011: 105)
7

Tulang tersusun atas sel, matriks protein dan deposit mineral. Sel- selnya
terdiri atas tiga jenis dasar osteoblas, osteosit, dan osteoklas. Osteoblas berfungsi
dalam pembentukan tulang dengan mensek- resikan matriks tulang. Matriks tersusun
atas 98% kolagen dan 2% substansi dasar (glukosaminoglikan, asam poli sakarida,
dan proteoglikan). Matriks merupakan kerangka dimana garam-garam mineral
anorganik ditimbun. Osteosit adalah sel dewasa yang terlibat dalam pemeliharaan fungsi
tulang dan terletak dalam osteon (unit matriks tulang). Osteoklas adalah sel
multinuclear (berinti banyak) yang berperan dalam penghancuran, resorpsi dan
remodeling tulang.

2.1.4 Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh, namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas
untuk menahan tekanan. Tetapi apabila tekanan eksternal datang lebih besar
daripada tekanan yang diserap tulang, maka terjadilah trauma tulang yang dapat
mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang.
Fraktur atau gangguan pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma
gangguan adanya gaya dalam tubuh, yaitu stress, gangguan fisik, gangguan
metabolik, patologik. Kemampuan otot mendukung tulang turun, baik yang
terbuka maupun yang tertutup. Kerusakan pembuluh darah akan mengakibatkan
pendarahan, maka volume darah menurun. COP menurun maka terjadilah
perubahan perfusi jaringan. Hematoma akan mengeksudasi plasma dan poliferasi
menjadi edema lokal maka penumpukan di dalam tubuh. Fraktur terbuka atau
tertutup akan mengenai serabut saraf yang dapat menimbulkan gangguan rasa
nyaman nyeri. Selain itu dapat mengenai tulang dan dapat terjadi neurovaskuler
yang menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik terganggu. Disamping itu
fraktur terbuka dapat mengenai jaringan lunak yang kemungkinan dapat terjadi
infeksi terkontaminasi dengan udara luar dan kerusakan jaringan lunak akan
mengakibatkan kerusakan integritas kulit.
Jejas yang ditimbulkan karena adanya fraktur menyebabkan rupturnya
pembuluh darah sekitar yang dapat menyebabkan terjadinya pendarahan. Respon
dini terhadap kehilangan darah adalah kompensasi tubuh, sebagai contoh
vaskonstriksi progresif dari kulit, otot dan sirkulasi viseral. Karena adanya cedera,
8

respon terhadap berkurangnya volume darah yang akut adalah peningkatan detak
jantung sebagai usaha untuk menjaga output jantung, pelepasan katekolamin-
katekolamin endogen meningkatkan tahanan pembuluh perifer. Hal ini akan
meningkatkan tekanan darah diastolic dan mengurangi tekanan nadi (pulse
pressure), tetapi hanya sedikit membantu peningkatan perfusi organ. Hormon-
hormon lain yang bersifat vasoaktif juga dilepaskan kedalam sirkulasi sewaktu
terjadinya syhok, termasuk histamin, bradikinin beta-endorpin dan sejumlah besar
prostanoid dan sitokinin-sitokinin lain. Substansi ini berdampak besar pada mikro-
sirkulasi dan permeabilitas pembuluh darah.
Pada syok perdarahan yang masih disini, mekanisme kompensasi sedikit
mengatur pengembalian darah (venous return) dengan cara kontraksi volume
darah didalam sistem venasistemik. Cara yang paling efektif untuk memulihkan
kardiak pada tingkat seluler, sel dengan perfusi dan oksigenasi tidak adekuat tidak
mendapat substrat esensial yang sangat diperlukan untuk metabolisme airobik
normal dan produksi energi. Pada keadaan awal terjadi konpensasi dengan
berpindah ke etabolisme anaerobik, hal mana mengakibatkan pembentukan asam
laktat dan berkembangnya asidosis metabolik bila syoknya berkepanjangan dan
penyampaian substrat untuk pembentukan ATP (adenosin triphosphat) tidak
memadai, maka membran sel tidak dapat lagi mempertahankan integritasnya dan
gradientnya elektrik normal hilang.
Pembengkakan retikulum endokplasmik merupakan tanda ultra struktural
pertama dari hipoksia seluler setelah itu tidak lama lagi akan di ikuti cedera
mitokondrial. Lisosom pecah dan melepaskan enzim yang mencernakan struktur
intra-seluler. Bila proses ini berjalan terus, terjadilah pembengkakan sel. Juga
terjadi penumpukan kalsium intra- seluler. Bila proses ini berjalan terus, terjadilah
cidera seluler yang progresif, penambahan edema jaringan dan kematian sel.
Proses ini memperberat dampak kehilangan darah dan hipoperfusi. Sewaktu
tulang patah perdarahan biasanya terjadi disekitar tempat patah dan kedalam
jaringan lunak sekitar tulang tersebut. Jaringan lunak juga biasanya mengalami
kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul hebat setelah fraktur.
Ditempat patah terbentuk fibrin (hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai
jala-jala untuk melakukan aktifitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang
9

baru imatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direbsorbsi dan sel-sel tulang baru
mengalami remodeling membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluhuh darah
atau penekanan tersebut saraf yang berkaitan dengan pembengkakan yang tidak
ditangani dapat menurunkan asupan darah ekstremitas dan mengakibatkan
kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan dapat mengakibatkan
peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dapat berakibat anoksia jaringan
yang mengakibat kan rusaknya serabut syaraf maupun jaringan otot (wijaya,
2013).
10
11

2.1.5

Klasifikasi fraktur femur


12

Klasifikasi fraktur femur menurut (Rendy dan margareth, 2012) antara lain:
1. Fraktur tertutup (closed)
Fraktur dimana kulit tidak ditembus fragmen tulang, sehingga tempat fraktur
tidak tercemar oleh lingkungan.
2. Fraktur terbuka (open/compoud)
Fraktur dimana kulit dari ekstremitas yang terlibat telah ditembus. Konsep
penting yang perlu diperhatikan adalah apakah terjadi kontaminasi oleh
lingkungan pada tempat terjadinya fraktur terbuka. Fragmen fraktur dapat
menembus kulit pada saat terjadinya cedera, terkontamiasi, kemudia kembali
hampir pada posisi semula.
2.1.6 Manifestasi klinis
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ekstremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna.
Gejala umum fraktur adalah rasa sakit, pembengkakan, dan kelainan bentuk.
1. Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai fragmentulang
dimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur,bagian-bagian yang tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid
seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada struktur lengan atau tungkai
menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang bisa
diketahui dengan membandingkan ekstremitas normal. Ekstremitas tak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas
tulang tempat melengketnya otot.
3. Pada fraktur tulang panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat diatas dan bawah tempat fraktur. Fragmen
sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5-5 cm (1-2 inchi).
4. Saat eksremitas diperiksa dengan tangan,teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan
lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang
lebih berat.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat
13

trauma dan pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi
setelah beberapa jam atau hari setetlah cedera (Wijaya dan Putri, 2013).

Selain itu, menurut Wahid (2013) ada beberapa manifestasi klinis fraktur
femur :
1. Deformitas Daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah
dari tempatnya perubahan keseimbangan dan kontur terjadi seperti:
2. Rotasi pemendekan tulang
3. Penekanan tulang
4. Bengkak muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah dalam
jaringan yang berdekatan dengan fraktur
5. Pada tulang traumatik dan cedera jaringan lunak biasanya disertai nyeri.
Setelah terjadi patah tulang terjadi spasme otot yang menambah rasa nyeri.
Pada fraktur stress, nyeri biasanya timbul pada saat aktifitas dan hilang pada
saat istirahat. Fraktur patologis mungkin tidak disertai nyeri.
6. Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya syaraf atau
pendarahan)
7. Pergerakan abnormal biasanya kreapitas dapat ditemukan pergerakan
persendian lutut yang sulit digerakaan di bagian distal cidera.
2.1.7 Komplikasi
1. Komplikasi dini
Komplikasi dini harus ditangani dengan serius oleh perawat yang
melaksanakan asuhan keperawatan pada klien fraktur femur.
Komplikasi yang biasanya terjadi pada pasien fraktur femur adalah sebagai
berikut:
1) Syok yaitu terjadi perdarahan sebanyak 1-2 liter walaupun fraktur bersifat
tertutup.
2) Emboli lemak sering didapatkan pada penderita muda dengan fraktur femur.
3) Klien perlu menjalani pemeriksaan gas darah.
4) Trauma pembuluh darah besar yaitu ujung fragmen tulang menembus
jaringan lunak dan merusak arteri femoralis sehingga menyebabkan kontusi
dan oklusi atau terpotong sama sekali.
14

5) Trauma saraf yaitu trauma pada pembuluh darah akibat tusukan fragmen
dapat disertai kerusakan saraf yang bervariasi dari neorpraksia sampai aksono
temesis. Trauma saraf dapat terjadi pada nervus isikiadikus atau pada
cabangnya, yaitu nervus tibialis dan nervus peroneus komunis.
6) Trombo-emboli terjadi pada pasien yang menjalani tirah baring lama,
misalnya distraksi di tempat tidur, dapat mengalami komplikasi trombo
emboli.
7) Infeksi terjadi pada fraktur terbuka akibat luka yang terkontaminasi. Infeksi
dapat pula terjadi setelah tindakan operasi (muttaqqin,2008).
2.1.8 Penatalaksanaan Fraktur
Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imbobilisasi dan pengembalian
fungsi serta kekuatan normal dengan rehabilitasi. Reduksi fraktur berarti
mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Metode
untuk mencapai reduksi fraktur adalah dengan reduksi tertutup, traksi, dan reduksi
terbuka. Metode yang di pilih untuk reduksi fraktur bergantung pada sifat
frakturnya.
Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan
fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan
manipulasi dan traksi manual. Selanjutnya, traksi dapat dilakukan untuk
mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan
spasme otot yang terjadi. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka,
dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam
bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku, atau batangan logam dapat digunakan untuk
mempertahankan fragmen tulang dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai
terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi interna dan fiksasi
eksterna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontin,
pin, dan teknik gips. Sedangkan implant logam digunakan untuk fiksasi interna.
Penatalaksanaan keperawatan menurut (Smeltzer, 2015) adalah sebagai
berikut:
1. Penatalaksanaan fraktur tertutup
1) Informasikan pasien mengenai metode pengontrolan edema dan nyeri yang
tepat (mis, meninggikan ekstremitas setinggi jantung, menggunakan
15

analgesik sesuai resep)


2) Ajarkan latihan latihan untuk mempertahankan kesehatan otot yang tidak
terganggu dan memperkuat otot yangdiperlukan untuk berpindah tempat
dan untuk menggunakan alat bantu (mis, tongkat, alat bantu berjalan atau
walker)
3) Ajarkan pasien tentang cara menggunakan alatbantu dengan aman.
4) Alat bantu pasien memodifikasi lingkungan rumah mereka sesuai
kebutuhan dan mencari bantuan personal jika diperlukan
5) Berikan pendidikan kesehatan kepada pasien mengenai perawatan dir,
informasi, medikasi, pemantauan kemungkinan komplikasi, dan perlunya
supervisi layanan kesehatan yang berkelanjutan.
2. Penatalaksanan fraktur terbuka
1) Sasaran penatalaksanan adalah untuk mencegah infeksi luka, jaringan
lunak, dan tulang serta untuk meningkatkan pemulihan tulang dan jaringan
lunak. Pada kasus fraktur terbuka, terdapat resiko osteomielitis, tetanus,
dan gasgangren.
2) Berikan antibiotik IV dengan segera saat pasien tiba dirumah sakit
bersama dengan tetanus toksoid jika diperlukan
3) Lakukan irigasi luka dan debridemen
4) Tinggikan ekstremitas untuk meminimalkan edema
5) Kaji status neourovaskular dengan sering
6) Ukur suhu tubuh pasien dalam interval teratur, dan pantau tanda-tanda
infeksi.
2.2 Asuhan Keperawatan Pada Fraktur Femur
Menurut (Wijaya dan mariza putri, 2013). Proses dalam keperawatan adalah
penerapan pemecahan masalah keperawatan secara ilmiah yang digunakan untuk
mengidentivikasi masalah, merencanakan secara sistematis, dan melaksanakannya
dengan cara mengevaluasi hasil tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.
2.2.1 Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan,
untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien
sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. (wahid, 2013).
16

1. Pengumpulan data
1) Identitas Pasien
Meliputi nama, jenis kelamin, usia, alamat, agama, bahasa yang digunakan, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, nomor register,
tanggal dan jam masuk rumah sakit (MRS), dan diagnostik medis (muttaqin, 2008).
2) Keluhan utama
pada umumnya keluhan utama pada fraktur femur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut bisa kronik tergantung lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri pasien digunakan:
(1) provoking incident: apakah ada peristiwa yang menjadi faktor
presipitasi nyeri.
(2) Quality of pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan
klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
(3) Region: Radiation, relief, apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi
(4) Severity (scale) of pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien,
bisa berdasarkan sakala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh
rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
(5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk
pada malam hari atau siang hari (wahid, 2013).
3) Riwayat kesehatan sekarang
Kaji kronologi terjadinya trauma, yang menyebabkan patah tulang paha,
pertolongan apa yang telah didapatkan, dan dan apakah sudah berobat ke
dukun patah. Dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan,
perawat dapat mengetahui luka yang lain (muttaqin, 2008).
4) Riwayat kesehatan dahulu
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit kelainan
formasi tulang atau biasanya disebut paget dan ini mengganggu proses daur
ulang tulang yang normal di dalam tubuh sehingga menyebabkan fraktur
patologis sehingga tulang sulit menyambung. Selain itu, klien diabetes
dengan luka di kaki sangat beresiko mengalami osteomielitis akut dan
kronis dan penyakit diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
(muttaqin, 2008).
17

5) Riwayat kesehatan keluarga


Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit yang tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes,
osteoporosis yang terjadi pada beberapa keturunan dan kanker tulang yang
cenderung diturunkan secara genetik (muttaqqin, 2008).
6) Pola fungsi kesehatan
Menurut (Wahid, 2013) sebagai berikut :
(1)Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Biasanya partisipan akan mengalami perubahan atau gangguan pada
personal hygine, misalnya kebiasaan mandi terganggu karena geraknya
terbatas, rasa tidak nyaman, ganti pakaian, BAB dan BAK memerlukan
bantuan oranglain, merasa takut akan mengalami kecacatan dan merasa
cemas dalam menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu
penyembuhan tulang karena kurangnya pengetahuan.
(2)Pada pasien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-
harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vitamin C dan lainya untuk
membantu proses penyembuhan tulang dan biasanya pada partisipan yang
mengalami fraktur bisa mengalami penurunan nafsu makan bisa juga tidak
ada perubahan.
(3)Pola eliminasi
Untuk kasus fraktur femur biasanya tidak ada gangguan pada eliminasi,
tetapi walaupun begitu perlu juga kaji frekuensi, konsitensi, warna serta bau
fases pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji
frekuensi kepekatanya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga
dikaji ada kesulitan atau tidak.
(4)Pola istrahat dan tidur
Semua pasien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini
dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur pasien. Selain itu juga
pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan
tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.

(5)Pola aktivitas
18

Biasanya pada pasien fraktur femur timbulnya nyeri, keterbatasan gerak,


maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien
perlu bnayak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah
bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada bentuk
pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerrjaan yang lain.
(6)Pola hubungan dan peran
Pasien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karna
klien harus menjalani rawat inap.
(7) Pola presepsi dan konsep diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakuatan akan
kecacatan akan frakturnya, rasa cemas, rasa ketidak mampuan untuk
melkukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang
salah.
(8) Pola sensori dan kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedangkan pada indera yang lain tidak timbul gangguan. Begitu juga
pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa
nyeri akibat fraktur.
(9) Pola reproduksi seksual
Dampak pada pasien fraktur femur yaitu, pasien tidak bisa melakukan
hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak
serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu perlu dikaji status
perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya.
(10) Pola penanggulangan stres.
Pada pasien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisame
koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
(11) Pola tata nilai dan kepercayaan
Untuk pasien fraktur femur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah
dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan
karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.
19

2. Pemeriksaan fisik
Menurut (wahid, 2013) pemeriksaan fisik dibagi menjadi dua, yaitu
pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan
pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care
karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang
lebih sempit tetapi lebih mendalam.
1) Gambaran umum
Perlu menyebutkan:
(1) Keadaan umum: baik atau buruknya
yang dicatat merupakan tanda-tanda, seperti:
 Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung
pada keadaan klien.
 Kesakitan, keadaan penyakit : akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada
kasus fraktur biasanya akut.
 Tanda-tanda vital tidak normal
(2) Secara sistemik
 Sistem integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri
tekan.
 Kepala
Biasanya diikuti atau tergantung pada gangguan kepala.
 Leher
Biasanya tidak ada pembesaran kelenjar tiroid atau getah bening
 Muka
Biasanya wajah tampak pucat, dan meringis
 Mata
Biasanya konjungtiva anemis atau sklera tidak ikterik
 Telinga
Biasanya simetris kiri dan kanan dan tidak ada masalah pada pendengaran.
 Hidung
Biasanya simetris kiri dan kanan dan tidak ada pernafasan cuping hidung
 Mulut
20

Biasanya mukosa bibir kering, pucat, sianosis


 Thoraks
Inspeksi : Biasanya pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung
pada riwayat penyakit pasien yang berhubungan dengan paru.
Palpasi : Biasanya pergerakan sama atau simetris, fermitus terraba sama.
Perkusi : Biasanya suara ketok sonor, tak ada redup atau suara tambahan
lainya.
Auskultasi : Biasanya suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara
tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
 Jantung
Inspeksi : Biasanya tidak tampak iktus kordis
Palpasi : Biasanya iktus kordis tidak teraba
Auskultasi : Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
 Abdomen
Inspeksi : Biasanya bentuk datar, simetris tidak ada hernia.
Palpasi : Biasanya tugor baik, hepar tidak teraba
Perkusi : Biasanya suara thympani
Auskultasi : Biasanya bising usus normal ± 20 kali/menit
 Ekstremitas atas
Biasanya akral teraba dingin, CRT < 2 detik, turgou kulit baik, pergerakan
baik
 Ekstremitas bawah
Biasanya akral teraba dingin, CRT > 2 detik, turgor kulit jelek, pergerakan
tidak simteris, terdapat lesi dan edema.
2) Gambaran lokal
Harus diperhatikan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai
status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler 5 P yaitu Pain, palor, parestesia,
pulse, pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskukuluskletal adalah:
(1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
 Jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi
penampakan kurang lebih besar uang logam. Diameternya bisa sampai 5cm
21

yang di dalamnya berisi bintik-bintik hitam. Cape au lait itu bisa berbentuk
seperti oval dan di dalamnya bewarna coklat. Ada juga berbentuk daun dan
warna coklatnya lebih coklat dari kulit, di dalamnya juga terbentuk bintik-
bintik dan warnanya jauh lebih coklat lagi. Tanda ini biasanya ditemukan di
badan, pantat, dan kaki.
 Fistulae warna kemrahan atau kebiruan (livide) atau hipergigmentasi.
 Benjolan pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa
(abnormal).
 Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas).
 Posisi jalan
(2) Feel ( palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai
dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan
memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah :
 Perubahan suhu di sekitar trauma (hangat) kelembaban kult. Capillary refill
time Normal 2 detik.
 Apabila ada pembekakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama
disekitar persendian.
 Nyeri tekan( tendernes), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal, tengah,
atau distal).
 Otot : Tonus pada waktu relaksasi atau kontraksi, benjolan yang terdapat
dipermukaan atu melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status
neurevaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu
dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan tehadap dasar atau
permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
 Move ( pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel , kemudian diteruskan dengan
menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada
pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi
keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi di catat dengan ukuran
derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik O (posisi netral) atau dalam
22

ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak


(mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang di lihat adalah gerakan aktif dan pasif
(Wahid, 2013).
3. Pemeriksaan diagnostik
1. pemeriksaan radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi
keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP
atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan
(khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan patologi yang dicari karena adanya
super posisi. Hal yang harus dibaca pada X-ray:
 bayangan jarinagan lunak
 tips tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik
atau juga rotasi.
 Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
 Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos X-ray (plane X-ray) mungkin perlu teknik khususnya seperti:
(1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain
tertutup yang sulit difisualisasi. Pada kasusu ini ditemukan kerusakan struktur
yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain
juga mengalaminya.
(2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah
diruang tulang vetebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
(3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda
paksa.
(4) Computed Tomografi-schanning: menggambarkan potongan secara
transfersal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak
(Wahid, 2013).
2. Pemeriksaan laboratorium
 Kalsium serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahapan penyembuhan
tulang.
 Alkalin fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan
23

osteoblastik dalam membentuk tulang.


 Enzim otot seperti kreatinin kinase, laktat dehidrogenase (LDH-5), aspartat
Amino transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan
tulang (Wahid, 2013).
3. Pemeriksaan lain-lain
 Pemeriksaan mikroorganisme kultur testsensitivitas: Didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
 Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih di indikasikan bila terjdi infeksi.
 Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang dikibatkan faktor.
 Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma
yang berlebihan.
 Indium imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
 MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur (wahid, 2013).
2.2.2 Diagnosa keperawatan
Adapun diagnosis keperawatan yang lazim dijumpai pada klien fraktur
femur adalah sebagai berikut (Nanda, 2015-2017)
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal
3. Defisit perawatan diri : mandi berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal
4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan sirkulasi
5. Resiko infeksi
6. Ansietas berhubungan dengan ancaman pada status terkini
7. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang sumber pengetahuan
24

2.2.3 Rencana keperawatan

Tabel 2.1 Rencana Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan Kateria hasil Tujuan

1 Nyeri akut berhubungan Kontrol nyeri : Manajemen nyeri :


dengan agen cedera fisik 1) Mengenali kapan Aktifitas-aktifitas :
nyeri terjadi secara 1) Lakukan pengkajian nyeri
Definisi : konsisten secara komprehensif
Pengalaman sensori dan menunjukkan 2) Gunakan strategi
Menggambarkan komunikasi terapeutik
emsional tidak
faktor penyebab untuk mengetahui
menyenangkan yang secara konsisten pengalaman nyeri
munsul akibat kerusakan menunjukkan 3) Gali pengetahuan dan
jaringan ktual atau 2) Mengunakn tindakan kepercayaan pasien
potensial atau yang pencegahan secara mengenai nyeri
digambarkan sebagai konsisten 4) Evaluasi pengalaman nyeri
kerusakan (International menunjukkan di masa lalu
3) Menggunakan 5) Berikan informasi
Association for the Study
tindakan mengenai nyeri, seperti
of Pain); awitan yang pengurangan nyeri penyebab nyeri, berapa
tiba-tiba atu lambat dari tanpa analgesik nyeri akan dirasakan, dn
intensitas ringan hiingga secara konsisten antisipasi dari
berat dengan akhir yang menunjukkan ketidaknyamanan akibat
dapat diantisipasi atau 4) Mengenali apa yang prosedur
terkait dengan gejala 6) Ajarkan prinsip-prinsip
diprediksi.
nyeri secara manajemen nyeri
konsisten 7) Dorong pasien untuk
Batasan karakteristik : menunjukkan memonitor nyeri dn
1) Bukti nyeri dengan 5) Melaporka nyeri menangani nyeri dengan
menggunakan standar yang terkontrol tepat
daftar periksa nyeri secara konsisten 8) Ajarkan metode
untuk pasien yang menunjukkan farmakologi untuk
tidak dapat menurunkan nyeri
mengungkapkann ya Tingkat nyeri : 9) Dukung istirahat/tidur yang
2) Diaforesis adekuat untuk membantu
3) Ekspresi wajah nyeri 1) Nyeri yang penurunan nyeri
(mis;mata kurang dilaporkan tidak 10) Dorong pasien untuk
bercahaya, ada mediskusikan pengalaman
nyeri
11) Gunakan pendekatan
multidisplin untuk
25

tampak kacau, 2) Panjangnya episode manajemen nyeri.


gerakan mata nyeri tidak ada
berpencar atau tetap 3) Menggosok area
pada satu focus, yang terkena ampak Pemberian analgesik :
meringis) tidak ada
4) Focus pada diri 4) Mengerang dan Aktifitas-aktifitas :
sendiri menangis tidak ada
5) Keluhan tentang 5) Ekspresi nyeri 1) Tentukan lokais,
intensitas wajah tidak ada karakteristik, lokasidan
menggunakan 6) Dapat beristirahat keparahan nyeri
standar skala nyeri 7) Iritabilitas tidak ada 2) Cek perintah pengobatan
6) Keluhan tentang 8) Mengerinyit tidak ada meliputi obat, dosis, dan
karakterstik nyeri 9) Ketegangan otot frekuensi obat anlagesik
dengan tidak ada yang diberikan
menggunakan 10)Tekanan darah tidak 3) Cek adanya riwayat alergi
standar instrument ada deviasi dari obat
nyeri kisaran normal 4) Pilih analgeisk yang
7) Laporan tentang sesuai ketika lebih dari
perilaku satu yang diberikan
nyeri/perubahan 5) Pilih rute intravena
aktifitas (mis; daripada rute
anggota keluarga, ntramuskular untuk injeksi
pemberi asuhan) pengoatan nyeri yang
8) Mengekspresikan sering
perilaku )mis; 6) Monitor tanda vital
gelisah, merengek, sebelum dan sesudah
menangis, waspada) memberikan analgesic pda
9) Perilaku distraksi pemberian dosis perama
10)Perubahan posisi kali
untuk menghindari 7) Susun harapan yang
rasa nyeri positif mengenal
11)Putus as kefektifan analgesic untuk
12)Sikap melindungi mengoptimalkan respon
area nyeri pasien
13)Sikap tubuh 8) Dokumentasikan respon
melindungi terhadap analgesic dan
adanya efek samping
9) Lakukan tindakan-
tindakan yang menurunkn
efek samping analgesic
10)Ajarkan tetang
penggunaan analgeisk,
strategi untuk menurunkn
efek
26

samping, dan harapan terkait


dengan keterlibatan dalam
keputusan pengurangan nyeri.

Manajemen obat :
Aktifita-aktifitas :

1) Tentukan obat yang


diperlukan dan kelola
menurut resep
2) Tentukan kemampuan
pasien untuk mengobati
diri sendiri dengan cara
yang tepat
3) Monitor efektifitas cara
pmberian obat yang sesuai
4) Monitor pasien
mengenai efek
terapeutik obat
5) Monitor tanda dan
gejal;a toksisitas obat
6) Monitor efek samping
obat
7) Monitor interaksi obat
yng non terapeutik
8) Kaji ulang psien dan
keluarga secara berkala
mengenai jenis dan
jumlah obat yang
dikonsumsi
9) Monitor respon terhadap
perubahan pengobatan
dengan cara yang tepat
10) Pantau kepatuhan
mengenai regimen obat
11) Pertimbangkan faktor-
faktor yang dapat
menghalangi pasien
untuk mengkonsumsi
obat yang di resepkan
27

12) Ajarkan pasien dan


keluarga mengenai
tindakan dan efek
samping dari obat
13) Ajarkan pasien dan
keluarga mengenai
metode pemberian obat
yang sesuai
14) Kaji ulang strategi
bersama pasien dalam
mengelola obat-obatan

Monitor tanda-tanda vital:

Aktifitas-aktifitas :

1) Monitor tekanan darah, nadi,


suhu, dan status pernafasan
2) Monitor tekanan darah,
denyut nadi dan pernafasan
sebelum dan setelah
beraktifitas
3) Monitor dan laporkan tanda
dan gejala hiportemi dan
hipertemia
4) Monitor keberadaan dan
kualitas nadi
5) Monitor terkait dengan nadi
alternatif
6) Monitor irama dan laju
pernafasan
7) Monitor suara paru-paru
8) Monitor pola pernafasan
abnormal
9) Monitor warna kulit, suhu,
dan kelembaban
10) Identifikasi kemungkinan
penyebab perubahan tanda-
tanda vital
28

2 Hambatan mobilitas fisik Pergerakan : Terapi latihan : ambulasi :


berhubungan dengan 1) Keseimbangan tidak
gangguan terganggu Aktifitas-aktivitas:
musculoskeletal 2) Koordiansi tidak
terganggu 1) bantu pasien untuk
Definisi : 3) Cara berjalan tidak menggunakan alas kaki
terganggu yang memfasilitasi pasien
Keterbatasan dalam untuk berjalan dan
gerakan fisik atau satu 4) Gerakan otot tidak
mencegah cedera
atau lebih ekstremitas teranggu
2) bantu pasien untuk duduk
secara mandiri dan 5) Gerakan sendi di sisi tempat tidur untuk
terganggu memfasilitasi penyesuaian
terarah
6) Kinerja pengaturan sikap tubuh
Batasan karakteristik : suhu tidak terganggu 3) bantu pasien untuk
7) Berlari tdak berpindahan
1) Gangguan sikap berjalan terganggu
2) Gerakan lambat 4) terapkan/sediakan alat
8) Melompat tidak bantu (tongat, walker atau
3) Gerakan tidak
terganggu kursi roda)
terkoordinasi
4) Kesulitan membolak- 9) Merangkak tidak 5) bantu pasien dengan
balik posisi terganggu ambulasi awal
5) Keterbatasan rentang 10) Berjalan tidak 6) instruksikan pasien
gerak terganggu mengenai pemindahan dan
6) Ketidaknyamanan 11) Bergerak dengan teknik ambulasi yang aman
7) Penurunan kemampuan mudah tidak 7) monitor pengguaan kruk
dalam melakukan terganggu pasien atau alat bantu
keterampilan motoric berjalan lainnya
kasar 8) banu pasien untuk berdiri
8) Penurunan waktu reaksi dan ambulasi dengan jarak
tertentu
9) batu pasien untuk
membangun pencapaian
yang realistis untuk
ambulasi jarak
10) dorong pasien untuk
bangkit sebanyak dan
sesering yang diinginkan.

Manajemen energi :
Aktifitas-aktifitas :
1) Kaji stats fisiologis pasien
yang
29

menyebabkan kelelahan
Tentukan persepsi psien
mengenai penyebab kelelahan
Pilih intervensi untuk
mengurangi kelelahan baik
secara farmakologis maupun
non farmakologis
Monitori intake/asupan nutrisi
untuk mengetahui sumber
energi
2) Monitor waktu dan lama
istirahat pasien
3) Batasi jumlah dan gangguan
pengunjung
4) Monitor respon oksigen pasien
(misalnya tekanan darah, nadi,
repirasi) saat perawatan
maupun melakukan perawatan
secara mandiri
Bantuan perawatan diri :

Aktifitas-aktifitas :

1) pertimbangkan budaya
pasien ketika meningkatkan
aktivitas perawatan diri
2) pertimbangkan usia pasien
ketika meningkatkan
kativitas perawatan diri
3) monitor kemampuan
perawatan diri secara
mandiri
4) monitor kebutuhan pasien
terkait dengan lat-alat
kebersihan diri
5) berikan lingkungan yang
terapeutik dengan
30

memastikan lingkunga yang


hangat, santai, tertutup
6) berikan bantuan sampai
pasien mampu melakukan
perawatan diri secara
mandiri
7) dorong psien untuk
melakukan aktifitas normal
sehari-hari sampai batas
kemampuan pasien
8) dorong kemampuan pasien,
tapi bantu ketika pasien tak
mampu melakukannya
9) ciptakan rutinitas aktifitas
perawatan diri.
Monitor tanda-tanda vital:

Aktifitas-aktifits :

1) Monitor tekanan darah, nadi,


suhu, dan status pernafasan
2) Monitor tekanan darah, denyut
nadi dan pernafasan sebelum
dan setelah beraktifitas
3) Monitor dan laporkan tanda
dan gejala hiportemi dan
hipertemia
4) Monitor keberadaan dan
kualitas nadi
5) Monitor terkait dengan nadi
alternatif
6) Monitor irama dan laju
pernafasan
7) Monitor suara paru-paru
8) Monitor pola pernafasan
abnormal
9) Monitor warna kulit, suhu, dan
kelembaban
10) Identifikasi kemungkinan
penyebab perubahan tanda-
tanda vital
31

3 Defisit perawatan diri: Perawatan diri : mandi : Manajemen nyeri :


mandi berhubungan dengan 1) mencuci wajah tidak Aktifitas-aktifitas :
gangguan musculoskeletal terganggu 1) Lakukan pengkajian nyeri
Definisi : 2) mencuci badan bagian secara komprehensif
Hambtan kemampuan atas tidak terganggu 2) Gunakan strategi komunikasi
untuk melakukan atau 3) mencuci badan bagian terapeutik untuk mengetahui
menyelesaikan aktivitas bawah tidak terganggu pengalaman nyeri
mandi secara mndiri 4) membersihkan area 3) Gali pengetahuan dan
Batasan karakteristik : perineum tidak terganggu kepercayaan pasien mengenai
1) Ketidakmampuan 5) mengeringkan badan nyeri
membasuh tubuh tidak terganggu 4) Evaluasi pengalaman nyeri di
2) Ketidakmampuan Perawatn diri: masa lalu
mengakses kamar kebersihan : 5) Berikan informasi mengenai
mandi 1) mencuci tangan tidak nyeri, seperti penyebab nyeri,
3) ketidakmampuan terganggu berapa nyeri akan dirasakan,
mengeringkan tubuh 2) membersihakn area dn antisipasi dari
perineum tidak ketidaknyamanan akibat
terganggu prosedur
3) membersihkan telinga 6) Ajarkan prinsip-prinsip
tidak terganggu manajemen nyeri
4) mempertahankan 7) Dorong pasien untuk
kebersihan mulut tidak memonitor nyeri dn
terganggu menangani nyeri dengan tepat
5) megeramas rambut 8) Ajarkan metode farmakologi
tidak terganggu untuk menurunkan nyeri
6) memperhatika kuku jari 9) Dukung istirahat/tidur yang
tangan tidak tergangu adekuat untuk membantu
7) memperhatikan kuku penurunan nyeri
kaki tidak terganggu 10) Dorong pasien untuk
8) mempertahankan mediskusikan pengalaman
kebersihan tubuh tidak nyeri
terganggu 11) Gunakan pendekatan
multidisplin untuk manajemen
nyeri.
32

Bantuan perawatan diri :

Aktifitas-aktifitas :

1) pertimbangkan budaya pasien


ketika meningkatkan aktivitas
perawatan diri
2) pertimbangkan usia pasien
ketika meningkatkan kativitas
perawatan diri monitor
kemampuan perawatan diri
secara mandiri
3) monitor kebutuhan pasien
terkait dengan lat-alat
kebersihan diri
4) berikan lingkungan yang
terapeutik dengan memastikan
lingkunga yang hangat, santai,
tertutup
5) berikan bantuan sampai pasien
mampu melakukan perawatan
diri secara mandiri
6) dorong psien untuk melakukan
aktifitas normal sehari-hari
sampai batas kemampuan
pasien
7) dorong kemampuan pasien,
tapi bantu ketika pasien tak
mampu melakukannya
8) ciptakan rutinitas aktifitas
perawatan diri.
Manajemen energi : Aktifitas-
aktifitas :
a. Kaji stats fisiologis
33

pasien yang menyebabkan


kelelahan
b. Tentukan persepsi psien
mengenai penyebab
kelelahan
c. Pilih intervensi untuk
mengurangi kelelahan
baik secara farmakologis
maupun non
farmakologis
d. Monitori intake/asupan
nutrisi untuk
mengetahui sumber
energi
e. Monitor waktu dan lama
istirahat pasien
f. Batasi jumlah dan
gangguan pengunjung
g. Monitor respon oksigen
pasien (misalnya tekanan
darah, nadi, repirasi) saat
perawatan maupun
melakukan perawatan
secara mandiri

4 Kerusakan integritas kulit Integritas jaringan : Pengecekan kulit :


berhubungan dengan kulit dan membrane Aktifitas-aktifitas :
gangguan sirkulasi mukosa : 1) Periksa kulit dan selaput
1) Suhu kulit tidak lendir terkait dengan
Definisi : Kerusakan pada adanya kemerahan,
terganggu
epidermis dan/atau dermis kehangatn ekstrim, edema
2) Elastisitas tidak
terganggu dan drainage
Batasan karakteristik : 2) Amati warna, kehangatan,
3) Ketebalan tidak
1) Benda asing menusuk bengkak, pulsasi, tekstur,
terganggu
permukaan kulit edema dan ulserasi pada
4) Perfusi jaringan tidak
2) Kerusakan integritas ekstremitas
terganggu
kulit 3) Periksa kondisi luka
5) Pertumbuhan rambut
pada kulit tidak terganggu operasi
6) Integritas kulit tidak 4) Monitor warna dan suhu
terganggu kulit
34

7) Pigmentasi abnormal 5) Monitor kulit dan selaput


tidak ada lendir terhadap area
8) Lesi pada kulit perubahan warna, memar,
tidak ada dan pecah
9) Jaringan parut 6) Monitor kulit untuk adanya
tidak ada ruam dan lecet
10) Pengelupasan kulit 7) Monito sumber tekanan
tidak ada dan gesekan
11) Wajah pucat tidak 8) Monitor infeksi, terutama
ada dari daerah edema
12) Nekrosis tidak ada 9) Lakukan langakh-
13) Pengerasan kulit langkah untuk mencegah
tidak ada kerusakan lebih lanjut
10) Ajarkan anggota
keluarga/pemberi asuhan
mengenai tanda-tanda
kerusakan kulit

Monitor ekstremitas bawah:

Aktifitas-aktifitas :

1) Inspeksi terhadap
kebersihan kulit yang
buruk
2) Inspeksi warna, suhu,
tekstur, pecah-pecah
atau luka pada kulit
3) Dapatkan data mengenai
adanya peruabahn pada
kaki dan riwayat ulser kaki
sebelumnya maupun saat
ini
4) Tentukan status
mobilisasi
5) Kajin adanya klaudikasi
yang berselang-seling,
nyeri saat istirahat atau
nhyeri saat malam
6) Tentukam ambang batas
persepsi vibrasi
7) Kaji refleks tendon
35

dalam (misal, pergelangan


kaki dan lutut
8) Onitor cara berjalan dan
distribusi berat pada kaki
9) Monitor mobilisasi sendi
(misal, dorsofleksi
pergelangan kaki, dan
gerakan sendi subtalar)
10) Identifikasi perawatan
kaki khusus yang
dubutuhkan
11) Konsultasikan pada
dokter terkait reomendasi
untukl dilakukannya
evaluasi dan terapi lebih
lanjut
12) Berikan keluarga dan
pasien informasi
mengenai perawatan
kaki khusus yang
direkomendasikan
13) Tentuakn sumber-
sumber finnasial pasien
terkait dengan pelayanan
perawtan kaki khusus

Kontrol infeksi :

Aktifitas-aktifitas :

1) Bersihkan lingkungan
denga baik setelah
digunakan untuk setiap
pasien
2) Batasi jumlah
pengunjung
3) Anjurkan cara cuci
tangan bagi tenaga
kesehatan
4) Anjurkan pasien mengenai
teknik mencuci tangan
dengan
36

tepat
5) Anjurkan pengunjung untuk
menvuci tangan pada saat
memasuki dan meninggalkan
ruangan pasien
6) Cuci tangan sebelum dan
sesudah kegiatan perawatan
pasien
7) Lakukan tindakan- tindakan
pencegahan yang bersifat
universal
8) Pakai sarung tangan steril
dengan tepat
9) cukur dan siapkan daerah
untuk persiapan prosedur
invasive
10)jaga sistem yang tertutup saat
melakukan monitor
hemodinamik invasive
11)berikan penaganan aseptic dari
semua saluran IV
12)tingkatka intake nutrisi yang
tepat
13)dorong intake cairan yang
sesuai
14)dorong untuk bersitirahat
15)berikan terapi antibiotik yang
sesuai
16)anjurkan pasien meminum
antibiotic seperti yang
diresepkan
17)ajarkan pasien dan keluarga
mengenai tanda dan gejala
infeksi
18)ajarkan pasien dan keluarga
mengeai bagaimana
menghindari infeksi.

5 Resiko infeksi Keparahan infeksi : Perlindungan infeksi :


Definisi : 1) kemerahan tidak ada Aktifitas-aktifitas :
Rentan mengalami invasi 2) vesikel yang tidak 1) monitor adanya tanda dan
gejala infeksi
37

dan multipikasi mengeras permukannya sistemik dan local


organisme patogenik tidak ada 2) monitor kerentanan
yang dapat menganggu 3) demam tidak ada terhadap infeksi
4) ketidakstabilan suhu 3) batasi jumlah pengunjung
keseahatan
tidak ada yang sesuai
5) nyeri tidak ada 4) berikan perawatan kulit
6) malaise tidak ada yang tepat
7) hilang nafsu makan tidak 5) periksa kulit dan selaput
ada lendiruntuk adanya
8) kolonisasi kultur area kemerahan, kehangatan
luka tidak ada ekstrim, atau drainase
6) tingaktkan asupan
nutrisi yang cukup
7) anjurkan asupan cairan
yang tepat
8) anjurkan istirahat
9) pantau adanya peruabhan
tingak energy atau malaise
10) anjurkan peningkatan
mobilitas dan latihan
yang tepat
11) ajarkan
pasien dan keluarga
mengenai perbedan
virus dan bakteri
12) Ajarkan pasien dan
keluarga mengenai tanda
dan gejala infeksi
13) Ajarkan pasien dan
keluarga bagaimana cara
menghindari nfeksi

Kontrol infeksi :
Aktifitas-aktifitas :

1) Bersihkan lingkungan
denga baik setelah
digunakan untuk setiap
pasien
2) Batasi jumlah
pengunjung
3) Anjurkan cara cuci
tangan bagi tenaga
38

kesehatan
4) Anjurkan pasien mengenai
teknik mencuci tangan dengan
tepat
5) Anjurkan pengunjung untuk
menvuci tangan pada saat
memasuki dan meninggalkan
ruangan pasien
6) Cuci tangan sebelum dan
sesudah kegiatan perawatan
pasien
7) Lakukan tindakan- tindakan
pencegahan yang bersifat
universal
8) Pakai sarung tangan steril
dengan tepat
9) cukur dan siapkan daerah
untuk persiapan prosedur
invasive
10) jaga sistem yang tertutup
saat melakukan monitor
hemodinamik invasive
11) berikan penaganan
aseptic dari semua saluran IV
12) tingkatka intake nutrisi
yang tepat
13) dorong intake cairan yang
sesuai
14) dorong untuk bersitirahat
15) berikan terapi antibiotik
yang sesuai
16) anjurkan pasien
meminum antibiotic seperti
yang diresepkan
17) ajarkan pasien dan
keluarga mengenai tanda dan
gejala infeksi
18) ajarkan pasien dan
keluarga mengeai bagaimana
menghindari
infeksi
39

Pengecekan kulit :
Aktifitas-aktifitas :
1) Periksa kulit dan selaput
lendir terkait dengan
adanya kemerahan,
kehangatn ekstrim, edema
dan drainage
2) Amati warna, kehangatan,
bengkak, pulsasi, tekstur,
edema dan ulserasi pada
ekstremitas
3) Periksa kondisi luka
operasi
4) Monitor warna dan suhu
kulit
5) Monitor kulit dan selaput
lendir terhadap area
perubahan warna, memar,
dan pecah
6) Monitor kulit untuk
adanya ruam dan lecet
7) Monito sumber tekanan
dan gesekan
8) Monitor infeksi,
terutama dari daerah
edema
9) Lakukan langakh-
langkah untuk
mencegah kerusakan
lebih lanjut
10) Ajarkan anggota
keluarga/pemberi asuhan
mengenai tanda- tanda
kerusakan kulit

Monitor tanda-tanda vital:

Aktifitas-aktifitas :

1) Monitor tekanan darah, nadi,


suhu, dan status pernafasan
40

2) Monitor tekanan darah, denyut


nadi dan pernafasan sebelum
dan setelah beraktifitas
3) Monitor dan laporkan tanda
dan gejala hiportemi dan
hipertemia
4) Monitor keberadaan dan
kualitas nadi
5) Monitor terkait dengan nadi
alternatif
6) Monitor irama dan laju
pernafasan
7) Monitor suara paru-paru
8) Monitor pola pernafasan
abnormal

2.3 Konsep Dasar Mobilisasi


2.3.1 Definisi
Menurut Mubarak dkk, (2015:307). Mobilisasi adalah kemampuan seseorang
untuk bergerak secara bebas, mudah, dan teratur yang bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehat. Mobilitas atau mobilisasi adalah kemampuan individu untuk
bergerak secara bebas, mudah dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan
aktivitas guna mempertahankan kesehatannya (Risnanto & Isnani, 2014). Hambatan
mobilitas fisik merupakan terbatasnya pergerakan fisik tubuh, satu atau lebih
ekstremitas secara mandiri dan terarah [ CITATION Her14 \l 1057 ]. Mobilitas atau
mobilisasi adalah kemampuan individu untuk bergerak secara bebas, mudah dan
teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan aktivitas guna mempertahankan
kesehatannya (Risnanto & Isnani, 2014). Hambatan mobilitas fisik merupakan
terbatasnya pergerakan fisik tubuh, satu atau lebih ekstremitas secara mandiri dan
terarah [ CITATION Her14 \l 1057 ].
41

2.3.2 Klasifikasi
1. Jenis Mobilitas
1) Mobilitas penuh.
Merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara penuh dan bebas
sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan menjalankan peran sehari- hari.
Mobilitas penuh ini merupakan saraf motorik volunter dan sensorik untuk dapat
mengontrol seluruh area tubuh seseorang.
2) Mobilitas sebagian.
Merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak dengan batasan jelas dan
tidak mampu bergerak secara bebas karena di pengaruhi oleh gangguan saraf
motorik dan saraf sensorik pada area tubuhnya. Hal ini dapat dijumpai pada
kasus cedera atau patah tulang dengan pemasangan traksi. Pasien paraplegi
dapat mengalami mobilitas sebagian pada ekstremitas bawah karena kehilngan
kontrol mekanik dan sensorik.
Mobilitas sebagian di bagi menjadi 2 jenis, yaitu :
(1) Mobilitas sebagian temporer, merupakan kemampuan individu untuk
bergerak dengan batasan yang sifatnya sementara. Hal tersebut dapat
disebabakan oleh trauma reversibel pada sistem muskuloskeletal,
contohnya adalah adanya dislokasi sendi dan tulang.
(2) Mobilitas sebagian permanen, merupakan kemampuan individu untuk
bergerak dengan batasan yang sifatnya menetap. Hal tersebut disebabkan
oleh rusaknya sistem saraf yang refersibel. Contohnya terjadinya hemiplegi
karena stroke, paraplegi karena cedera tulang belakang, poliomelitis karena
terganggunya sistem saraf motorik dan sensoris.
2. Rentang Gerak dalam mobilisasi
Dalam mobilisasi terdapat tiga rentang gerak yaitu :
1) Rentang gerak pasif
Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-otot dan
persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif misalnya perawat
mengangkat dan menggerakkan kaki pasien.
42

2) Rentang gerak aktif


Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi dengan cara
menggunakan otot-ototnya secara aktif misalnya berbaring pasien
menggerakkan kakinya.
3) Rentang gerak fungsional
Berguna untuk memperkuat otot-otot dan sendi dengan melakukan aktifitas
yang diperlukan (Carpenito, 2000).
3. Jenis Immobilitas :
Menurut Mubarak (2008) secara umum ada beberapa macam keadaan imobilitas
antara lain :
1) Imobilitas fisik : kondisi ketika seseorang mengalami keterbatasan fisik yang
disebabkan oleh faktor lingkungan maupun kondisi orang tersebut.
2) Imobilitas intelektual : kondisi ini dapat disebabkan oleh kurangnya
pengetahuan untuk dapat berfungsi sebagaimana mestinya, misalnya pada kasus
kerusakan otak.
3) Imobilitas emosional : kondisi ini bisa terjadi akibat proses pembedahan atau
kehilangan seseorang yang dicintai.
4) Imobilitas sosial : kondisi ini bisa menyebabkan perubahan interaksi sosial
yang sering terjadi akibat penyakit.
2.3.3 Tujuan Mobilisasi
Menurut Mubarak dkk, (2015:308) tujuan mobilisasi adalah memenuhi
kebutuhan dasar (termasuk melakukan aktivitas hidup sehari hari dan aktivitas
rekreasi), mempertahankan diri (melindungi diri dari trauma), mempertahankan
konsep diri, mengekspresikan emosi dengan gerakan tangan nonverbal. Menurut
Brunner & Suddarth 2002 dalam buku Mubarak dkk, (2015:308), tujuan mobilisasi
ROM adalah sebagai berikut:
1 Mempertahankan fungsi tubuh dan mencegah kemunduran serta mengembalikan
rentan gerak aktivitas tertentu sehingga penderita dapat kembali normal atau
setidak-tidaknya dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari.
2 Memperlancar peredaran darah
3 Membantu pernapasan menjadi lebih kuat
43

4 Mempertahankan tonus otot, memelihara, dan meningkatkan pergerakan dari


persendian
5 Memperlancar eliminasi alvi dan urine
6 Melatih atau ambulasi

2.3.4 Jenis Mobilisasi


Menurut Hidayat dan Uiyah (2012:109) ada 2 jenis mobilisasi yaitu:
2.3.4.1 Mobilisasi penuh
Mobilisasi penuh merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara
penuh, bebas tanpa pembatasan jelas yang dapat mempertahankan untuk berinteraksi
sosial dan menjalankan peran sehari-harinya.
2.3.4.2 Mobilisasi sebagian
Mobilisasi sebagian merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak dengan
batasan jelas, tidak mampu bergerak secara bebas, hal tersebut dapat dipengaruhi oleh
gangguan saraf motorik dan sensorik pada area tubuh seseorang. Mobilisasi sebagian
ini ada dua jenis, yaitu :
1. Mobilisasi sebagian temporer. Mobilisasi sebagian temporer merupakan
kemampuan individu untuk bergerak dengan batasan bersifat sementara, hal
tersebut dapat disebabkan adanya trauma reversible pada sistem muskuloskeletal.
2. Mobilisasi sebagian permanen. Mobilisasi sebagian permanen merupakan
kemampuan individu untuk bergerak dengan batasan bersifat menetap, hal
tersebut disebabkan karena rusaknya sistem saraf yang reversible sebagai contoh
terjadinya paraplegia karena injuri tulang belakang, pada poliomyelitis karena
terganggunya system saraf motorik dan sensorik.
2.3.5 Manfaat dan Prinsip Mekanik Tubuh
Apabila dilakukan dengan baik dan benar, mekanik atau gerak tubuh sangat
bermanfaat bagi seseorang. Menurut ( Sutanto & Fitriana, 2017:40) manfaat tersebut
antara lain:
1. Gerak tubuh yang dilakukan secara teratur dapat membuat tubuh menjadi segar.
2. Gerak tubuh yang teratur dapat memperbaiki tonus otot dan sikap tubuh,
mengontrol berat badan, mengurangi stress, serta dapat meningkatkan relaksasi.
Gerak tubuh akan merangsang peredaran darah ke otot dan organ tubuh yang lain
sehingga dapat meningkatkan kelenturan tubuh.
44

3. Gerak tubuh pada anak dapat merangsang pertumbuhan badan.


Dalam kaitannya dengan aktivitas keperawatan, menurut ( Sutanto & Fitriana,
2017:40) prinsip mengenai mekanik atau gerakan tubuh diantaranya sebagai berikut :
menggunakan gerakan tubuh secara tepat dan benar dapat meningkatkan fungsi
muskuloskeletal, serta mencegah terjadinya penyakit dan kecelakaan dengan
demikian akan meningkatkan kesehatan tubuh, mekanik tubuh yang baik dapat
memberikan penampilan serta fungsi tubuh yang baik, mekanik tubuh yang baik
dapat dicapai melalui pengetahuan sebagai pedoman dalam bertindak dan mekanik
tubuh berkaitan dengan berbagai usaha pencegahan cedera atau cacat pada system
muskuloskeletal.
2.3.6 Faktor Yang Mempengaruhi Mobilisasi
Menurut Mubarak dkk (2015:308), mobilitas seseorang dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya :
2.3.6.1 Gaya hidup
Mobilitas seseorang dipengaruhi oleh latar belakang budaya, nilainilai yang
dianut, serta lingkungan ia tinggal (masyarakat). Sebagai contoh : wanita jawa, tabu
bagi mereka melakukan aktivitas yang berat. Orang yang memiliki budaya sering
berjalan jauh memiliki kemampuan mobilitas yang kuat. Sebaliknya, ada orang yang
mengalami gangguan mobilitas (sakit) karena adat dan budaya tertentu dilarang untuk
beraktivitas.
2.3.6.2 Ketidakmampuan
Kelemahan fisik dan mental akan menghalangi seseorang untuk melakukan
aktivitas hidup sehari-hari. Secara umum, ketidakmampuan terbagi menjadi dua
macam, yakni ketidakmampuan primer disebabkan oleh penyakit atau trauma.
Sementara ketidakmampuan sekunder terjadi akibat dapak dari ketidakmampuan
primer (misal kelemahan otot dan tirah baring). Penyakit-penyakit tertentu dan
kondisi cedera akan berpengaruh terhadap mobilitas
2.3.6.3 Tingkat energi
Energi dibutuhkan untuk banyak hal, salah satunya mobilisasi. Dalam hal ini,
energi yang dimiliki masing-masing individu bervariasi. Agar seseorang dapat
melakukan mobilitas dengan baik, dibutuhkan energi yang cukup. Disamping itu, ada
45

kecenderungan seseorang untuk menghindari stressor guna mempertahankan


kesehatan fisik dan psikologis.
2.3.6.4 Usia
Usia berpengaruh terhadap kemampuan seseorang dalam melakukan
mobilisasi. Karena terdapat perbedaan kemampuan mobilitas pada tingkat usia yang
berbeda. Hal ini dikarenakan kemampuan atau kematangan fungsi alat gerak sejalan
dengan perkembangan usia.
2.3.7 Tahap Mobilisasi
Mobilisasi pasca operasi yaitu proses aktivitas yang dilakukan pasca
pembedahan dimulai dari latihan ringan di atas tempat tidur (latihan pernafasan,
latihan batuk efektif, dan menggerakkan tungkai) sampai dengan pasien bisa turun
dari tempat tidur, berjalan ke kamar mandi, dan berjalan keluar kamar (Smeltzer,
2001).
Skala ADL (Acthyfiti Dayli Living)
0: Pasien mampu berdiri
1: Pasien memerlukan bantuan/ peralatan minimal
2:Pasien memerlukan bantuan sedang/ dengan pengawasan
3: Pasien memerlukan bantuan khusus dan memerlukan alat
4 : Tergantung secara total pada pemberian asuhan

2.4 Konsep Dasar Gangguan Mobilitas Fisik


2.4.1 Definisi
Gangguan mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu
atau lebih ekstremitas secara mandiri (SDKI, 2016:124). Berdasarkan uraian di atas,
seseorang yang mengalami masalah gangguan kebutuhan mobilitas fisik akan
mengalami sulit untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Hal tersebut menandakan
bahwa bagian ekstremitas sangat penting dalam melakukan kegiatan sehari-hari.
2.4.2 Penyebab
1. Kerusakan integritas struktur tulang
2. Perubahan metabolisme
3. Ketidakbugaran fisik
4. Penurunan kendali otot
5. Penurunan massa otot
46

6. Penurunan kekuatan otot


7. Keterlambatan perkembangan
8. Kekakuan sendi
9. Kontraktur
10. Malnutrisi
11. Gangguan muskuloskeletal
12. Gangguan neuromuskular
13. Indeks massa tubuh di atas persentil ke 75 sesuai usia
14. Efek agen farmakologis
15. Program pembatasan gerak
16. Nyeri
17. Kurang terpapar informasi tentang aktivitas fisik
18. Kecemasan
19. Gangguan kognitif
20. Keengganan melakukan pergerakan
21. Gangguan sensori persepsi (SDKI, 2016:124)
2.4.3 Tanda dan Gejala
2.4.3.1 Tanda dan Gejala Minor
1. Subjektif yaitu mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas.
2. Objektif yaitu kekuatan otot menurun, rentang gerak (ROM) menurun.
2.4.3.2 Tanda dan Gejala Mayor
1. Subjektif yaitu enggan melakukan pergerakan, nyeri saat bergerak. Dan merasa
cemas saat bergerak
2. Objektif yaitu sendi kaku., gerakan tidak terkoordinasi, gerakan terbatas. dan fisik
lemah. (SDKI, 2016:124)
2.4.4 Kondisi Klinis Terkait
1. Stroke
2. Cedera Medula Spinalis
3. Trauma
4. Fraktur
5. Osteoarthritis
6. Osteomalasia
47

7. Keganasan (SDKI, 2016:125)


2.4.5 Dampak Gangguan Mobilitas Fisik
Imobilitas dalam tubuh dapat memengaruhi sistem tubuh, seperti perubahan
pada metabolisme tubuh, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, gangguan dalam
kebutuhan nutrisi, gangguan fungsi gastrointestinal, perubahan sistem pernafasan,
perubahan kardiovaskular, perubahan sistem muskuloskeletal, perubahan kulit,
perubahan eliminasi (buang air besar dan kecil), dan perubahan perilaku (Widuri,
2010).
2.4.5.1 Perubahan Metabolisme
Secara umum imobilitas dapat mengganggu metabolisme secara normal,
mengingat imobilitas dapat menyebabkan turunnya kecepatan metabolisme dalam
tubuh. Hal tersebut dapat dijumpai pada menurunnya basal metabolism rate ( BMR )
yang menyebabkan berkurangnya energi untuk perbaikan sel-sel tubuh, sehingga
dapat memengaruhi gangguan oksigenasi sel. Perubahan metabolisme imobilitas
dapat mengakibatkan proses anabolisme menurun dan katabolisme meningkat.
Keadaan ini dapat berisiko meningkatkan gangguan metabolisme. Proses imobilitas
dapat juga menyebabkan penurunan ekskresi urine dan pengingkatan nitrogen. Hal
tersebut dapat ditemukan pada pasien yang mengalami imobilitas pada hari kelima
dan keenam. Beberapa dampak perubahan metabolisme, di antaranya adalah
pengurangan jumlah metablisme, atropi kelenjar dan katabolisme protein,
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, deminetralisasi tulang, gangguan dalam
mengubah zat gizi, dan gangguan gastrointestinal
2.4.5.2 Ketidakseimbangan Cairan dan Elektrolit
Terjadinya ketidakseimbangan cairan dan elektrolit sebagai dampak dari
imobilitas akan mengakibatkan persediaan protein menurun dan konsentrasi protein
serum berkurang sehingga dapat mengganggu kebutuhan cairan tubuh. Di samping
itu, berkurangnya perpindahan cairan dari intravaskular ke interstisial dapat
menyebabkan edema sehingga terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.
Imobilitas juga dapat menyebabkan demineralisasi tulang akibat menurunnya
aktivitas otot, sedangkan meningkatnya demineralisasi tulang dapat mengakibatkan
reabsorbsi kalium.
48

2.4.5.3 Gangguan Pengubahan Zat Gizi


Terjadinya gangguan zat gizi disebabkan oleh menurunnya pemasukan protein dan
kalori dapat mengakibatkan pengubahan zat-zat makanan pada tingkat sel menurun, di mana
sel tidak lagi menerima glukosa, asam amino, lemak, dan oksigen dalam jumlah yang cukup
untuk melaksanakan aktivitas metabolisme.
2.4.5.4 Gangguan Fungsi Gastrointestinal
Imobilitas dapat menyebabkan gangguan fungsi gastrointestinal. Hal ini disebabkan
karena imobilitas dapat menurunkan hasil makanan yang dicerna, sehingga penurunan jumlah
masukan yang cukup dapat menyebabkan keluhan, seperti perut kembung, mual, dan nyeri
lambung yang dapat menyebabkan gangguan proses eliminasi.
2.4.5.5 Perubahan Sistem Pernapasan
Imobilitas menyebabkan terjadinya perubahan sistem pernapasan. Akibat imobilitas,
kadar haemoglobin menurun, ekspansi paru menurun, dan terjadinya lemah otot yang dapat
menyebabkan proses metabolisme terganggu. Terjadinya penurunan kadar haemoglobin
dapat menyebabkan penurunan aliran oksigen dari alveoli ke jaringan, sehingga
mengakibatkan anemia. Penurunan ekspansi paru dapat terjadi karena tekanan yang
meningkat oleh permukaan paru.
2.4.5.6 Perubahan Kardiovaskular
Perubahan sistem kardiovaskular akibat imobilitas antara lain dapat berapa hipotensi
ortostatik, meningkatnya kerja jantung, dan terjadinya pembentukan trombus. Terjadinya
hipotensi ortostatik dapat disebabkan oleh menurunnya kemampuan saraf otonom. Pada
posisi yang tetap dan lama, refleks neurovaskular akan menurun dan menyebabkan
vasokontrriksi, kemudian darah terkumpul pada vena bagian bawah sehingga aliran darah ke
sistem sirkulasi pusat terhambat. Meningkatnya kerja jantung dapat disebabkan karena
imobilitas dengan posisi horizontal. Dalam keadaan normal, darah yang terkumpul pada
ekstermitas bawah bergerak dan meningkatkan aliran vena kembali ke jantung dan akhirnya
jantung akan meningkatkan kerjanya. Terjadinya trombus juga disebabkan oleh vena statsi
yang merupakan hasil penurunan kontrasi muskular sehingga meningkatkan arus balik vena.
2.4.5.7 Perubahan Sistem Muskuloskeletal
Perubahan yang terjadi dalam sistem muskuloskeletal sebagai dampak dari imobilitas
adalah sebagai berkut:
1. Gangguan Muskular . Menurunnya massa otot sebagai dampak imobilitas dapat
menyebabkan turunya kekuatan otot secara langsung. Menurunnya fungsi
kapasitas otot ditandai dengan menurunnya stabilitas. Kondisi berkurangnya
49

massa otot dapat menyebabkan atropi pada otot. Sebagai contoh, otot betis
seseorang yang telah dirawat lebih dari enam minggu ukurannya akan lebih kecil
selain menunjukkan tanda lemah atau lesu.
2. Gangguan Skeletal. Adanya imobilitas juga dapat menyebabkan gangguan skletal,
misalnya akan mudah terjadinya kontraktur sendi dan osteoporosis. Kontraktur
merupakan kondisi yang abnormal dengan kriteria adanya fleksi dan fiksasi yang
disebabkan atropi dan memendeknya otot. Terjadinya kontraktur dapat
menyebabkan sendi dalam kedudukan yang tidak berfungsi.
2.4.5.8 Perubahan Sistem Integumen
Perubahan sistem integumen yang terjadi berupa penurunan elastisitas kulit
karena menurunannya sirkulasi darah akibat imobilitas dan terjadinya iskemia serta
nekrosis jaringan superfisial dengan adanya luka dekubitus sebagai akibat tekanan
kulit yang kuat dan sirkulasi yang menurun ke jaringan.
2.4.5.9 Perubahan Eliminasi
Perubahan dalam eliminasi misalnya penurunan jumlah urine yang mungkin
disebabkan oleh kurangnya asupan dan penurunan curah jantung sehingga aliran
darah renal dan urine berkurang.
2.4.5.10 Perubahan Perilaku
Perubahan perilaku sebagai akibat imobilitas, antara lain lain timbulnya rasa
bermusuhan, bingung, cemas, emosional tinggi, depresi, perubahan siklus tidur dan
menurunnya koping mekanisme. Terjadinya perubahan perilaku tersebut merupakan
dampk imobilitas karena selama proses imobilitas seseorang akan mengalami
perubahan peran, konsep diri, kecemasan, dan lain-lain (Widuri, 2010).
2.4.6 Komplikasi
Komplikasi Menurut Garrison (dalam Bakara D.M & Warsito S, 2016)
gangguan mobilitas fisik dapat menimbulkan komplikasi, yaitu abnormalitas tonus,
orthostatic hypotension, deep vein thrombosis, serta kontraktur. Selain itu,
komplikasi yang dapat terjadi adalah pembekuan darah yang mudah terbentuk pada
kaki yang lumpuh menyebabkan penimbunan cairan daan pembengkaan. Kemudian,
juga menyebabkan embolisme paru yaitu sebuah bekuan yang terbentuk dalam satu
arteri yang mengalir ke paru. Selanjutnya yaitu dekubitus. Bagian yang biasa
mengalami memar adalah pinggul, pantat, sendi kaki dan tumit. Bila memar ini tidak
50

dirawat akan menjadi infeksi. Atrofi dan kekakuan sendi juga menjadi salah satu
komplikasi dari gangguan mobilitas fisik. Hal itu disebabkan karena kurang gerak
dan mobilisasi. Komplikasi lainnya, seperti disritmia, peningkatan tekanan intra
cranial, kontraktur, gagal nafas, dan kematian (Andra, Wijaya, Putri , 2013).
2.4.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien dengan masalah gangguan
mobilitas fisik yaitu dengan memberikan latihan rentang gerak. Latihan rentang gerak
yang dapat diberikan salah satunya yaitu dengan latihan Range of Motion (ROM)
yang merupakan latihan gerak sendi dimana pasien akan menggerakkan masing-
masing persendiannya sesuai gerakan normal baik secara pasif maupun aktif. Range
of Motion (ROM) pasif diberikan pada pasien dengan kelemahan otot lengan maupun
otot kaki berupa latihan pada tulang maupun sendi dikarenakan pasien tidak dapat
melakukannya sendiri yang tentu saja pasien membutuhkan bantuan dari perawat
ataupun keluarga. Kemudian, untuk Range of Motion (ROM) aktif sendiri merupakan
latihan yang dilakukan sendiri oleh pasien tanpa membutuhkan bantuan dari perawat
ataupun keluarga. Tujuan Range of Motion (ROM) itu sendiri, yaitu mempertahankan
atau memelihara kekuatan otot, memelihara mobilitas persendian, merangsang
sirkulasi darah, mencegah kelainan bentuk (Potter & Perry, 2012).
Saputra (2013) berpendapat bahwa penatalaksanaan untuk gangguan mobilitas
fisik, antara lain :
1. Pengaturan posisi tubuh sesuai dengan kebutuhan pasien, seperti memiringkan
pasien, posisi fowler, posisi sims, posisi trendelenburg, posisi genupectoral, posisi
dorsal recumbent, dan posisi litotomi.
2. .Ambulasi dini. Salah satu tindakan yang dapat meningkatkan kekuatan dan
ketahanan otot serta meningkatkan fungsi kardiovaskular. Tindakan ini bisa
dilakukan dengan cara melatih posisi duduk di tempat tidur, turun dari tempat
tidur, bergerak ke kursi roda, dan yang lainnya.
3. Melakukan aktivitas sehari-hari. Melakukan aktivitas sehari-hari dilakukan untuk
melatih kekuatan, ketahanan, dan kemampuan sendi agar mudah bergerak, serta
mingkatkan fungsi kardiovaskular.
4. Latihan Range of Motion (ROM) aktif atau pasif.
51

2.5 Konsep Asuhan Keperawatan Gangguan Mobilitas Fisik


2.5.1 Pengkajian
Pengkajian muskuloskeletal dapat bersifat umum atau sudah terfokus untuk
masalah yang lebih spesifik. Pengkajian dapat meliputi evaluasi status fungsional
klien, kemampuan melakukan aktivitas sehari-hari dan kemampuan memenuhi
kebutuhan diri secara mandiri. Pengkajian ini mengevaluasi kegiatan olahraga klien
dan aktivitas rekereasi klien yang dapat mempromosikan kesehatan muskuloskeletal
klien (Black & Hawks, 2014).
2.5.2 Diagnosa
Diagnosa keperawatan Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017) gangguan
mobilitas fisik masuk dalam kategori fisiologis. Kategori fisiologis sendiri terdiri dari
beberapa subkatergori, antara lain respirasi, sirkulasi, nutrisi dan cairan, eliminasi,
aktivitas dan istirahat, neurosensori, serta reproduksi dan seksualitas. Gangguan
mobilitas fisik masuk dalam subkategori aktivitas dan istirahat bersama dengan
masalah keperawatan disorganisasi perilaku bayi, gangguan pola tidur, intoleransi
aktivitas, keletihan, kesiapan peningkatan tidur, risiko disorganisasi perilaku bayi,
dan risiko intoleransi aktivitas. Kemudian, gangguan mobilitas fisik memiliki 21
etiologi, antara lain gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
integritas struktur tulang, perubahan metabolisme, ketidakbugaran fisik, penurunan
kendali otot, penurunan massa otot. penurunan kekuatan otot, keterlambatan
perkembangan, kekauan sendi, kontraktur, malnutrisi, gangguan muskuloskeletal,
gangguan neuromuskular, indeks massa tubuh di atas presentil ke-75 sesuai usia, efek
agen farmakologis, program pembatasan gerak, nyeri, kurang terpapar informasi
tentang aktivitas fisik, kecemasan, gangguan kognitif, keengganan melakukan
pergerakan, gangguan sensoripersepsi.
Selain diagnosa-diagnosa di atas, NANDA-I (2018) memiliki diagnosa
mengenai mobilitas fisik, yaitu hambatan mobilitas fisik. Hambatan mobilitas fisik
masuk dalam domain 4, yaitu aktivitas atau istirahat yang terdiri atas beberapa kelas,
antara lain tidur atau istirahat, aktivitas atau olahraga, keseimbangan energi, respons
kardiovaskuler atau pulmonal, serta perawatan diri. Dari beberapa kelas tersebut,
hambatan mobilitas fisik masuk dalam kelas aktivitas atau olahraga bersama dengan
masalah keperawatan lainnya, yaitu risiko sindrom disuse, hambatan mobilitas di
52

tempat tidur, hambatan mobilitas berkursi roda, hambatan duduk, hambatan berdiri,
hambatan kemampuan berpindah, dan hambatan berjalan. Selanjutnya, hambatan
mobilitas fisik memiliki 18 etiologi, yaitu hambatan mobilitas fisik berhubungan
dengan intoleran aktivitas, ansietas, indeks masa tubuh di atas persentil ke-75 sesuai
usia, kepercayaan budaya tentang aktivitas yang tepat, penurunan kekuatan otot,
penurunan kendali otot, penurunan massa otot, penurunan ketahanan tubuh, dengan
depresi, dengan disuse, kurang dukungan lingkungan, kurang pengetahuan tentang
nilai aktivitas fisik, kaku sendi, malnutrisi, nyeri, fisik tidak bugar, keengganan
memulai pergerakan, gaya hidup kurang gerak.
2.5.3 Rencana Keperawatan
Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteria hasil ) Intervensi Rasional
1. Gangguan Setelah diberikan tindakan SIKI, I.05173, Hal, 30 1. Mengetahui keluhan sehingga mobilisasi
mobilitas fisik keperawatan selama 3x24 terganggu
berhubungan dengan jam diharapkan mobilitas Dukungan Mobilisasi: 2. Mengetahui seberapa jauh toleransi
Keenggan melakukan fisik meningkat SLKI, 1) Identifikasi adanya nyeri atau keluhan pergerakan
pergerakan dibuktikan L.05042 dengan kriteria hasil fisik 3. Menilai keadaan umum selama melakukan
dengan Gerakan terbatas : 2) Identifikasi toleransi fisik melakukan mobilisasi
dan enggan melakukan 1. Kekuataan otot pergerakan 4. Melatih keluarga dalam membantu mobilisasi
pergerakan. meningkat dengan skor 3) Monitor keadaan umum selama pasien
SDKI.D.0054, HAL.124 5 melakukan mobilisasi 5. Memberikan pemahaman tentang mobilisasi
2. Rentang gerak (ROM) 4) Libatkan keluarga untuk membantu pada pasien dan keluarga dan membantu
meningkat dengan skor pasien dalam peningkatkan Mobilisasi proses penyembuhan
5 5) Jelaskan tujuan dari prosedur mobilisasi 6. Melatih mobilisasi sederhana
3. Pergerakan ekstermitas 6) Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus
miningkat dengan skor dilakukan (duduk di tempat tidur, mika
5 miki)
4. Gerakan terbatas
menuruun dengan skor
5
54

2.5.3.1 Intervensi
Observasi :
1. Identifikasi adanya keluhan fisik lainnya saat melakukan aktivitas.
2. Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan.
3. Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai mobilisasi
4. Monitor kondisi umum selama melakukan mobilisasi
Terapeutik :
1. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu (mis. pagar tempat tidur)
2. Fasilitasi melakukan pergerakan,jika perlu
3. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan pergerakan
Edukasi :
1. Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
2. Anjurkan melakukan mobilisasi dini
3. Anjurkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan (mis. duduk di tempat
tidur, duduk di sisi tempat tidur, pindah dari tempat tidur ke kursi) (SIKI
I.05173, 2018)
2.5.4 Implementasi
Lakukan, informasikan, dan tuliskan, adalah frase tindakan implementasi.
Melakukan asuhan keperawatan dengan dan untuk klien. Menginformasikan hasil
dengan cara berkomunikasi dengan klien dan anggota tim layanan kesehatan lain,
secara individual atau dalam konferensi perencanaan. Menuliskan informasi
dengan cara mendokumentasikannya sehingga penyedia layanan kesehatan
selanjutnya dapat melakukan tindakan dengan tujuan dan pemahaman. Selalu
ingat bahwa komunikasi dan dokumentasi yang adekuat akan memfasilitasi
kontinuitas asuhan (Rosdahl dan Kowalski, 2017)
2.5.5 Evaluasi
Evaluasi adalah pengukuran keefektifan pengkajian, diagnosis, perencanaan,
dan implementasi. Klien adalah fokus evaluasi. Langkah-langkah dalam
mengevaluasi asuhan keperawatan adalah, menganalisis respon klien,
mengidentifikasi faktor yang berkontribusi terhadap keberhasilan atau kegagalan,
dan perencanaan untuk asuhan di masa depan.
55

Menurut Dinarti, dkk, (2013), evaluasi asuhan keperawatan


didokumentasikan dalam bentuk SOAP (subyektif, obyektif, assesment, planning).
Komponen SOAP yaitu S (subyektif) dimana perawat menemukan keluhan klien
yang masih dirasakan setelah dilakukan tindakan. O (obyektif) adalah data yang
berdasarkan hasil pengukuran atau observasi klien secara langsung dan dirasakan
setelah selesai tindakan keperawatan. A (assesment) adalah kesimpulan dari data
subyektif dan obyektif (biasanya ditulis dalam bentuk masalah keperawatan), P
(planning) adalah perencanaan keperawatan yang akan dilanjutkan, dihentikan,
dimodifikasi atau ditambah dengan rencana kegiatan yang sudah ditentukan
sebelumnya.

Anda mungkin juga menyukai