Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

KEPERAWATAN KRITIS

Pemeriksaan neurologis, Refleks dan GCS

Disusun Oleh:

NOVIA MELTA SARI

1710105058

Keperawatan VII B

Dosen pembimbing : Ns. Rebbi Permata Sari, M.Kep

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ALIFAH PADANG

TAHUN AJARAN

2020/2021
A. Pemeriksaan Neurologis
1. Pengertian pemeriksaan Neurologis

Pemeriksaan neurologis adalah suatu proses yang membutuhkan ketelitian dan


pengalaman yang terdiri dari sejumlah pemeriksaan pada fungsi yang sangat
spesifik. Meskipun pemeriksaan neurologis sering terbatas pada pemeriksaan
yang sederhana, namun pemeriksaan ini sangat penting dilakukan oleh pemeriksa,
sehingga mampu melakukan pemeriksaan neurologis dengan teliti dengan melihat
riwayat penyakit dan keadaan fisik lainnya. Banyak fungsi neurologik paisen yang
dapat dikaji selama pengkajian riwayat dan pengkajian riwayat fisik rutin. Salah
satuya adalah mempelajari tentang pola bicara, status mental, gaya berjalan, cara
berdiri, kekuatan motorik,dan koordinasinya. Aktivitas sederhana yang dapat
memberikan informasi banyak bagi orang yang melakukan pengkajian adalah saat
berjabat tangan dengan pasien (Smeltzer dan Bare, 2002).

2. Alat Yang Digunakan Dalam Pemeriksaan Neurologis


a. Refleks hammer
b. Garputala
c. Kapas dan lidi dan bahan-bahan yang berasa asin, manis atau asam seperti
garam,
d. Penlight atau senter kecil
e. Opthalmoskop
f. Peniti atau jarum dan Semangkuk air panas dan dingin
g. Spatel lidah
h. Bahan-bahan beraroma tajam seperti kopi, vanilla atau parfum

3. Pemeriksaan Fisik Tingkat Kesadaran

Dalam melakukan pengkajian tingkat kesadaran, harus dibedakan dengan


kondisi klien sedang tidur. Bila tidur dapat terbangun pada perangsangan ringan/
sedang, sementara klien koma tak ada reaksi terhadap berbagai bentuk
rangsangan. Bila klien menunjukkan gangguan tingkat kesadaran (pada umumnya
dijumpai pada penderita gawat darurat) terdapat beberapa pemeriksaan tingkat
kesadaran. Untuk pemeriksaan tingkat kesadaran yang cepat (di primary survey)
dapat menggunakan pemeriksaan dengan Alert, Respond to voice, respond to pain
dan unresponsive (AVPU).
4. Prosedur Pemeriksaan Fisik Nervus Cranialis

Nervus atau saraf kranial termasuk dalam sistem saraf perifer. Sistem saraf
perifer terdiri dari dua yaitu saraf kranial yang berasal dari otak dan saraf spinal
yang berasal dari medula spinalis. Dua belas pasang saraf kranial yang tersusun
angka romawi, muncul dari berbagai batang otak. Saraf kranial tersusun dari
serabut saraf sensorik dan motorik.

Pemeriksaan saraf merupakan salah satu dari rangkaian pemeriksaan


neurologis yang terdiri dari;
a. Status mental,
b. Tingkat kesadaran,
c. Fungsi saraf kranial,
d. Fungsi motorik,
e. Refleks,
f. Koordinasi dan gaya berjalan dan
g. Fungsi sensorik

Agar pemeriksaan saraf kranial dapat memberikan informasi yang diperlukan,


diusahakan kerjasama yang baik antara pemeriksa dan penderita selama
pemeriksaan. Penderita seringkali diminta kesediaannya untuk melakukan suatu
tindakan yang mungkin oleh penderita dianggap tidak masuk akal atau
menggelikan. Sebelum mulai diperiksa, kegelisahan penderita harus dihilangkan
dan penderita harus diberi penjelasan mengenai pentingnya pemeriksaan untuk
dapat menegakkan diagnosis.

Memberikan penjelasan mengenai lamanya pemeriksaan, cara yang dilakukan


dan nyeri yang mungkin timbul dapat membantu memupuk kepercayaan penderita
pada pemeriksa. Penderita diminta untuk menjawab semua pertanyaan sejelas
mungkin dan mengikuti semua petunjuk sebaik mungkin.

Suatu anamnesis lengkap dan teliti ditambah dengan pemeriksaan fisik akan
dapat mendiagnosis sekitar 80% kasus. Walaupun terdapat beragam prosedur
diagnostik modern tetapi tidak ada yang dapat menggantikan anamnesis dan
pemeriksaan fisik.
Saraf-saraf kranial langsung berasal dari otak dan meninggalkan tengkorak
melalui lubang-lubang pada tulang yang dinamakan foramina, terdapat 12 pasang
saraf kranial yang dinyatakan dengan nama atau dengan angka romawi. Saraf-
saraf tersebut adalah olfaktorius (I), optikus (II), Okulomotorius (III), troklearis
(IV), trigeminus (V), abdusens (VI), fasialis (VII), vestibula koklearis (VIII),
glossofaringeus (IX), vagus (X), asesorius (XI), hipoglosus (XII). Saraf kranial I,
II, VII merupakan saraf sensorik murni, saraf kranial III, IV, XI dan XII
merupakan saraf motorik, tetapi juga mengandung serabut proprioseptif dari otot-
otot yang dipersarafinya. Saraf kranial V, VII, X merupakan saraf campuran, saraf
kranial III, VII dan X juga mengandung beberapa serabut saraf dari cabang
parasimpatis sistem saraf otonom.
a. Nervus Olfaktori (N. I):

Fungsi: saraf sensorik, untuk penciuman


Cara Pemeriksaan, pasien memejamkan mata, pasien disuruh membedakan
bau yang dirasakan (kopi, teh,dll)
b. Nervus Optikus (N. II)

Fungsi: saraf sensorik, untuk penglihatan


Cara Pemeriksaan: Dengan snelend card, dan periksa lapang pandang
c. Nervus Okulomotoris (N. III)
Fungsi: saraf motorik, untuk mengangkat kelopak mata keatas, kontriksi pupil,
dan sebagian gerakan ekstraokuler
Cara Pemeriksaan: Tes putaran bola mata, menggerakan konjungtiva, refleks
pupil dan inspeksi kelopak mata
d. Nervus Trochlearis (N. IV)

Fungsi: saraf motorik, gerakan mata kebawah dan kedalam


Cara Pemeriksaan: Sama seperti nervus III
e. Nervus Trigeminus (N. V)
Fungsi: saraf motorik, gerakan mengunya, sensai wajah, lidah dan gigi, refleks
korenea dan refleks kedip
Cara Pemeriksaan: menggerakan rahang kesemua sisi, pasien memejamkan
mata, sentuh dengan kapas pada dahi atau pipi. menyentuh permukaan kornea
dengan kapas.
f. Nervus Abdusen (N. VI)

Fungsi: saraf motorik, deviasi mata ke lateral


Cara pemeriksaan: sama seperti nervus III
g. Nervus Fasialis (N. VII)

Fungsi: saraf motorik, untuk ekspresi wajah

Cara pemeriksaan: senyum, bersiul, mengngkat alis mata, menutup kelopak


mata dengan tahanan, menjulurkan lida untuk membedakan gula dan garam
h. Nervus Verstibulocochlearis (N. VIII)

Fungsi: saraf sensorik, untuk pendengran dan keseimbangan


Cara pemeriksaan: test webber dan rinne
i. Nervus Glosofaringeus (N. IX)

Fungsi: saraf sensorik dan motorik, untuk sensasi rasa


Cara pemeriksaan: membedakan rasa manis dan asam
j. Nervus Vagus (N. X)

Fungsi: saraf sensorik dan motorik, refleks muntah dan menelan


Cara pemeriksaan: menyentuh faring posterior, pasien menelan saliva, disuruh
mengucap ah…
k. Nervus Asesoris (N. XI)

Fungsi: saraf motorik, untuk menggerakan bahu


cara pemeriksaan: suruh pasien untuk menggerakan bahu dan lakukan tahanan
sambil pasien melawan tahanan tersebut.
l. Nervus Hipoglosus

Fugsi: saraf motorik, untuk gerakan lidah


cara pemeriksaan: pasien disuruh menjulurkan lidah dan menggerakan dari
sisi ke sisi.

B. Pemeriksaan Refleks

a. Refleks patologis

Refleks patologik adalah refleks-refleks yang tidak dapat dibangkitkan pada


orang-rang yang sehat, kecuali pada bayi dan anak kecil. Kebanyakan merupakan
gerakan reflektorik defendif atau postural yang pada orang dewasa yang sehat
terkelola dan ditekan oleh akifitas susunan piramidalis. Anak kecil umur antara 4
– 6 tahun masih belum memiliki susunan piramidal yang sudah bermielinisasi
penuh, sehingga aktifitas susunan piramidalnya masih belum sepmpirna. Maka
dari itu gerakan reflektorik yang dinilai sebagai refleks patologik pada orang
dewasa tidak selamanya patologik jika dijumpai pada anakanak kecil, tetapi pada
orang dewasa refleks patologikselalu merupakan tanda lesi UMN. Refleks-refleks
patologik itu sebagian bersifat refleks dalam dan sebagian lainnya bersifat refleks
superfisialis. Reaksi yang diperlihatkan oleh refleks patologik itu sebagian besar
adalah sama, akan tetapi mendapatkan julukan yang bermacam-macam karena
cara membangkitkannya berbeda-beda.

Secara umum, refleks patologis merupakan refleks primitif yang muncul pada
orang dewasa akibat inhibisi kontrol lower motor neuron (LMN). Beberapa
refleks patologis yang penting secara klinis, antara lain:
a. Refleks Babinski atau refleks plantar

b. Refleks Chaddock

c. Refleks Oppenheim

d. Refleks Gordon

e. Refleks Schaefer

f. Refleks Hoffman dan Tromner

g. Refleks Rossolimo dan Mendel-Bechterew

Refleks patologis pada ekstremitas bawah, seperti refleks Babinski,


merupakan tanda patologis yang paling relevan secara klinis dan mudah
dilakukan. Sedangkan refleks patologis pada ekstremitas atas kurang relevan
secara klinis dan jarang dilakukan.

Teknik pemeriksaan yang dilakukan untuk membangkitkan refleks patologis


berbeda-beda, tergantung dari refleks patologis yang akan diperiksa. Namun,
reaksi yang diperlihatkan oleh refleks patologis cenderung sama. Misalnya, pada
pemeriksaan refleks plantaris yang dikenal juga sebagai refleks Babinski, respons
positif pada pemeriksaan ini ditandai oleh gerakan dorsofleksi ibu jari yang
disertai dengan abduksi jari-jari lainnya.

Teknik pemeriksaan refleks patologis dapat dilakukan dengan menggunakan


tangan pemeriksa dan palu refleks, terutama ujung bagian bawah palu refleks.
Pemeriksaan ini tidak bersifat invasif, sehingga tidak ada kontraindikasi absolut
untuk pemeriksaan ini.

b. Refleks fisiologis

Pemeriksaan refleks fisiologis merupakan suatu prosedur diagnostik yang rutin


dilakukan untuk menilai mengevaluasi fungsi sensorimotor pada tubuh.
Pemeriksaan ini tergabung pada pemeriksaan neurologi lengkap. Pemeriksaan
yang dilakukan untuk menemukan lesi pada lower motor neuron (LMN) seperti
cauda equina syndrome atau Guillain-Barre syndrome. Maupun lesi pada Upper
motor neuron (UMN) seperti traumatic brain injury maupun stroke. Pemeriksaan
ini merupakan pemeriksaan yang sederhana, namun dapat memberikan informasi
untuk membantu menegakkan diagnosa adanya gangguan pada sistem saraf.

Pada gangguan saraf, hasil pemeriksaan refleks dapat memberikan hasil


normal, meningkat (hiperrefleks), menurun (hiporefleks) atau tidak ada refleks
sama sekali. Jika hasil pemeriksaan menunjukan refleks menurun, perlu dicurigai
bahwa terjadi gangguan pada lengkung refleks (serabut saraf sensorik, materi abu-
abu pada sumsum tulang belakang, maupun serabut saraf motorik).

Serabut saraf motorik (sel tanduk anterior dan akson motoriknya yang melalui
akar ventral dan saraf tepi) disebut sebagai LMN yang dapat memberi hasil
penurunan refleks. Sementara itu, lengkung motorik yang menurun dari korteks
serebral dan batang otak disebut sebagai UMN yang menghasilkan adanya
peningkatan refleks di sumsum tulang belakang dengan mengurangi hambatan
tonik pada segmen sumsum tulang belakang.

Teknik pemeriksaan refleks fisiologis dapat dilakukan kurang lebih dengan


pemeriksaan fisik lainnya yaitu diawali dengan melakukan anamnesis, dan
dilanjutkan dengan melakukan pemeriksaan fisik termasuk didalamnya
pemeriksaan saraf, apabila dicurigai adanya gangguan pada sistem saraf.
Pemeriksaan refleks fisiologis rutin dilakukan pada pasien yang dicurigai
menderita gangguan pada sistem saraf, terutama untuk menentukan tingkat
kerusakan pada sistem saraf.[9] Pemeriksaan ini juga sering dilakukan bersama
dengan pemeriksaan neurologi lainnya seperti pemeriksaan saraf kranial dan
refleks patologis.
C. Pemeriksaan GCS

Kesadaran adalah pengolahan input tersebut sehingga menghasilkan pola-pola


output susunan saraf pusat menentukan kualitas kesadaran.Input susunan saraf pusat
dapat dibedakan jadi 2 yaitu :

1. Spesifik : berasal dari semua lintasan aferen impuls protopatik,propioseptif,dan


perasaan panca indera.Lintasan ini menghubungkan satu titik pada tubuh dengan
suatu titik pada kortek perseptif primer.

2. Non spesifik : merupakan sebagian dari impuls aferen spesifik yang disalurkan
melalui aferen non spesifik,menghantarkan setiap impuls dari titik manapun dalam
tubuh ke titik-titik pada seluruh kedua kortek serebri.

Tingkat kesadaran sangat penting pada pasien cedera kepala.Glasgow coma Scale
sudah digunakan secara luas untuk menentukan tingkat kesadaran penderita.Glasgow
Coma Scale meliputi :

a. Eye / Mata

Spontan membuka mata 4

Membuka mata dengan perintah(suara) 3

Membuka mata dengan rangsang nyeri 2

Tidak membuka mata dengan rangsang apapun 1

b. Verbal

Berorientasi baik 5

Bingung (bisa membentuk kalimat tapi arti keseluruhan kacau) 4

Bisa membentuk kata tapi tidak bisa membentuk kalimat 3

Bisa mengeluarkan suara yang tidak memiliki arti 2

Tidak bersuara 1

c. Motorik

Menurut perintah 6

Dapat melokalisir rangsang nyeri 5

Menolak rangsangan nyeri pada anggota gerak (withdrawal) 4

Menjauhi rangsang nyeri 3

Ekstensi spontan 2
Tak ada gerakan 1

Kriteria :

kesadaran baik/normal : GCS 15

Koma : GCS < 7

Prosedur tindakan

a. Pasien dibaringkan di atas tempat tidur

b. Nilai status pasien,adakah kelainan gawat yang harus ditangani terlebih


dahulu/tidak.

c. Periksa kesadaran pasien dengan GCS (dewasa)

d. GCS :

a) Eye :

- Saat dokter mendatangi pasien,pasien spontan membuka mata dan


memandang dokter : skor 4.

- pasien membuka mata saat namanya dipanggil atau diperintahkan


untuk membuka mata oleh dokter : skor 3.

- pasien membuka mata saat dirangsang nyeri (cubitan) : skor 2.

- pasien tidak membuka mata dengan pemberian rangsang apapun: skor


1.

b) Verbal :

- Pasien berbicara secara normal dan dapat menjawab pertanyaan dokter


dengan benar (pasien menyadari bahwa ia ada di rumah
sakit,menyebutkan namanya,alamatnya,dll) : skor 5.

- pasien dapat berbicara normal tapi tampak bingung,pasien tidak tahu


secara pasti apa yang telah terjadi pada dirinya,dan memberikan
jawaban yang salah saat ditanya oleh dokter : skor 4.

- pasien mengucapkan kata “jangan/stop” saat diberi rangsang nyeri,tapi


tidak bisa menyelesaikan seluruh kalimat,dan tidak bisa menjawab
seluruh pertanyaan dari dokter : skor 3.

- pasien tidak bisa menjawab pertanyaan sama sekali,dan hanya


mengeluarkan suara yang tidak membentuk kata (bergumam) : skor 2.
- pasien tidak mengeluarkan suara walau diberi rangsang nyeri
(cubitan) : skor 1.

c) Motoric :

- pasien dapat mengikuti perintah dokter,misalkan “Tunjukkan pada


saya 2 jari!” : skor 6.

- pasien tidak dapat menuruti perintah,tapi saat diberi rangsang nyeri


(penekanan ujung jari/penekanan strenum dengan jari-jari tangan
terkepal) pasien dapat melokalisir nyeri : skor 5.

- pasien berusaha menolak rangsang nyeri : skor 4.

- saat diberi rangsang nyeri,kedua tangan pasien menggenggam dan di


kedua sisi tubuh di bagian atas sternum (posisi dekortikasi) : skor 3.

- saat diberi rangsang nyeri,pasien meletakkan kedua tangannya secara


lurus dan kaku di kedua sisi tubuh (posisi deserebrasi) : skor 2.

- pasien tidak bergerak walaupun diberi rangsang nyeri : skor 1.


DAFTAR PUSTAKA

Tambunan, S,Elviana. Kasim, Deswani. 2011. Panduan Pemeriksaan Fisik Bagi


Mahasiswa Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika

S, F. R. (2012, juni). PEMERIKSAAN FISIK SISTEM NEURO. Retrieved from A great


WordPress.com

Campbell WW, Barohn RJ. Pathologic Reflexes. DeJong’sThe Neurol. Exam. Eighth edi,
Philadelphia: Wolters Kluwer; 2020, hal. 1134–64.

Hallett M. The Neurologic Examination: Scientific Basis for Clinical Diagnosis. Oxford
University Press; 2016.

Simon RP, Aminoff MJ, Greenberg DA. Motor Disorders. Clin. Neurol. 10e, New York,
NY: McGraw-Hill Education; 2017.

Ropper AH, Samuels MA, Klein JP, Prasad S. Approach to the Patient With Neurologic
Disease. Adams Victor’s Princ. Neurol. 11e, New York, NY: McGraw-Hill
Education; 2019.

Anda mungkin juga menyukai