Anda di halaman 1dari 12

MODUL SKILL LAB NERVI KRANIALES

BLOK XVII

ANAMNESIS

PEMERIKSAAN FUNGSI SARAF OTAK


PENDAHULUAN
DEFINISI
1. ANAMNESIS: Wawancara yang dilakukan oleh observer(pemeriksa) terhadap penderita
atau orang yang mengetahui mengenai riwayat penyakitnya.
2. SARAF OTAK : Saraf perifer yang berpangkal di otak atau batang otak.
3. KESADARAN : Keadaan yang mencerminkan pengintegrasian terhadap stimulus baik
internal maupun eksternal.

TEKNIK PEMERIKSAAN
1. Pemeriksaan dilakukan sesuai prinsip dasar pemeriksaan klinis ilmu kedokteran yaitu
pemeriksa harus berada di sisi kanan penderita.
2. Pemeriksaan dilakukan sesuai prinsip pemeriksaan neurologi yaitu membandingkan sisi
yang sehat dengan sisi yang sakit.

TUJUAN
TUJUAN UMUM : Mencapai kompetensi dokter umum seperti yang tercantum dalam
kurikulum berbasis kompetensi, khususnya dibidang neurologi.

LEARNING OBJECTIVE
Setelah mengerjakan skill lab neurosensoris ini, mahasiswa mampu :
1. Melakukan anamnesis yang lengkap dan terarah mengenai penyakit saraf.
2. Melakukan pemeriksaan saraf otak I – XII dengan baik.

RANCANGAN ACARA PEMBELAJARAN


WAKTU ( menit ) AKTIVITAS BELAJAR MENGAJAR KETERANGAN
10 menit Pendahuluan Narasumber
30 menit Demonstrasi Narasumber
40 menit Demonstrasi oleh instruktur, mahasiswa Instruktur
melakukan secara bergantian dibimbing mahasiswa
instruktur
70 menit Mahasiswa melakukan sendiri secara bergantian Mahasiswa

SARANA DAN ALAT YANG DIPERLUKAN


1. Anamnesis saraf otak dapat dilakukan tanpa menggunakan alat khusus.
2. Pemeriksaan saraf otak memerlukan bahan( kopi, teh, tembakau ), dan alat berupa senter,
kapas, funduskopi, Snellen chart, jarum, hammer, dan garpu tala.

PROSEDUR:
I. ANAMNESIS
Langkah:
1. Memperkenalkan diri dan melakukan identifikasi penderita
2. Melakukan anamnesis mengenai keluhan utama, berisi gangguan ADL (defisit
neurologis)
3. Melakukan anamnesis insult atau kronologis sesuai dengan keluhan utamanya tiba-tiba
atau perlahan-lahan. Pertanyaan diarahkan kepada kemungkinan topic dan etiologi dari
keluhan utamanya
4. Melakukan anamnesis tentang penyakit yang berhubungan langsung dengan
kemungkinan diagnose topic atau etiologi serta faktor predisposisi
5. Melakukan anamnesis residivitas penyakit yang diderita .
II. PEMERIKSAAN SARAF OTAK
1. Nervus I (Olfaktorius)
a. Persiapan pemeriksaan :
 Yakinkan bahwa jalan nafas melalui hidung baik, tidak ada sumbatan, tidak ada atrofi
mukosa hidung
 Yakinkan penderita sadar penuh, kooperatif, tidak ada gangguan berbahasa
 Persiapkan bahan-bahan yang tidak menguap (kopi, teh, tembakau dll)
 Gunakan bahan-bahan yang telah dikenal penderita sebelumnya.

b. Cara pemeriksaan:
 Kedua mata mata ditutup
 Satu persatu kedua lubang hidung diperiksa, lubang yang sedang tidak diperiksa
ditutup.
 Pasien diminta untuk mengidentifikasi bahan yang dipakai untuk tes (kopi, teh,
tembakau, kulit jeruk, dll)
 Terciumnya bau dengan tepat berarti susunan olfaktorik berfungsi dengan baik
c. Interpretasi pemeriksaan klinis:
 Anosmia = hilangnya daya pembauan total
 Hiperosmia = daya pembauan yang teramat peka
 Hiposmia = daya pembauan yang kurang tajam
 Parosmia = bila tercium yang tidak sesuai dengan bahan yang dicium
 Kakosmia = parosmia yang tidak menyenangkan, misalnya mencium bau pesing,
bacin, busuk
 Fantosmia = persepsi bahwa bau tersebut tidak nyata
 Koprosmia = jenis kakosmia dengan interpretasi seperti bau feses
 Agnosia olfaktorius = ketidakmampuan mengindentifikasi bau yang tercium
 Halusinasi olfaktorius = persepsi terhadap bau yang tidak ada zatnya

2. Nervus II (Optikus)
a. Daya penglihatan
 Persiapan pemeriksaan
o Ruang harus cukup terang
o Yakinkan bahwa tidak ada katarak, radang parut di kornea atau nebula, iritis,
uveitis, glaukoma atau korpus alienum
 Cara pemeriksaan
o Dengan memakai kartu Snellen: penderita diminta membaca huruf pada kartu
Snellen yang diletakkan pada jarak 6 m.
o Dengan kartu Rosenbaum: penderita diminta menyebutkan angka/karakter
E/simbol-simbol pada kartu Rosenbaum yang diletakkan pada jarak pandang baca
normal (30 cm).
o Secara kasar, pemeriksaan visus ini dapat dilakukan tanpa menggunakan kartu,
yaitu dengan membaca telunjuk pemeriksa. Orang normal dapat membaca
hitungan jari pada jarak maksimal 60 m. Bila pasien hanya dapat membaca pada
jarak 1 m saja, berarti visusnya adalah 1/60. Bila tidak bisa mengidentifikasi jari
dari jarak 1 m maka dilanjutkan dengan lambaian tangan, bila penderita bisa
melihat gerakan lambaian tangan berarti visusnya 1/300. Bila penderita tidak bisa
mengidentifikasi lambaian tangan, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan
menggunakan cahaya senter, bila penderita bisa mengidentifikasi cahaya senter
dinyatakan visusnya 1/~, dan bila penderita tidak bisa mengidentifikasi cahaya
senter dinyatakan visusnya NLP (No Light Perception)
o Untuk menentukan gangguan visus terjadi akibat gangguan refraksi digunakan
pin hole.

b. Penglihatan warna
 Persiapan pemeriksaan:
o Disiapkan kartu tes Ischihara atau
o Disiapkan benang wol berbagai warna
 Cara pemeriksaan:
o Pasien diminta untuk mengambil atau menunjuk warna sesuai dengan perintah
pada kartu tes Ischihara

c. Medan penglihatan
 Persiapan pemeriksaan :
o Untuk pemeriksaan medan penglihatan yang sederhana, tanpa menggunakan alat
khusus adalah tes konfrontasi, dengan tangan. Sedangkan yang lainnya
menggunakan alat khusus yaitu perimeter, kampimeter atau Humfrey.
 Cara pemeriksaan
o Dalam klinik dikenal 4 metode tes medan penglihatan:
 tes dengan perimeter
 tes dengan kampimeter
 tes dengan Humfrey
 tes konfrontasi dengan tangan
- pasien diminta koperatif untuk memandang satu titik fiksasi di tengah.
- pemeriksa dengan medan penglihatan yang normal berhadapan sejajar dengan
jarak antara mata pemeriksa dan mata pasien sejauh 50 cm.
- satu persatu mata pasien diperiksa. Bila mata kanan yang diperiksa, mata kiri
ditutup. Begitu pula sebaliknya.
- pemeriksa menggerakkan jarinya dari perifer ke tengah (jarak jari terhadap
kedua pihak harus sama) pada empat arah mata angin yaitu timur laut (45º),
barat laut (135º), barat daya (225º) dan tenggara (315º).
- bila pemeriksa telah melihat, sementara pasien belum, berarti medan
penglihatan pasien menyempit.
d. Pemeriksaan fundus okuli
 diawali dengan melepaskan kacamata pemeriksa dan pasien, jika ada, keculai pada
gangguan refraksi yang parah
 pencahayaan ruangan sedapat mungkin redup
 jika pemeriksa memeriksa fundus mata kanan, maka pemeriksa menggunakan mata
kanan dan tangan kanan untuk memegang ofthalmoskopnya, dan begitu pula sebaliknya.
 Pada jarak 30 cm, pemeriksa mulai mengidentifikasi fundus dengan cara mengarahkan
ofthalmoskop ke pupil penderita dan melihat adanya red refleks.
 Selanjutnya ofthalmoskop didekatkan ke mata pasien dan pemeriksa mulai
mengidentifikasi papil, cup, arteri, vena dan retina

3. Nervus III (Okulomotorius), Nervus IV (Troklear) dan Abduscens (N. VI)


a. Pemeriksaan pupil:
- Langkah pertama yaitu melakukan inspeksi untuk menilai ukuran pupil (normal 3-4
mm pada kondisi pencahayaan normal).
- selanjutnya lakukan inspeksi untuk menilai kesimetrisan pupil
- perhatikan posisi pupil
b. Pemeriksaan refleks pupil
- Refleks cahaya:
o melibatkan komponen aferen N.II dan eferen N.III.
o refleks cahaya diperiksa dengan memberikan stimulus cahaya pada masing-masing
mata secara bergantian. Penilaian diberikan terhadap mata yang disinari (refleks
cahaya langsung) dan terhadap mata yang tidak disinari (refleks cahaya tak
langsung).
o Swinging light test dilakukan dengan cara memberikan stimulus cahaya pada mata
yang sehat selama 3-5 detik sampai respon pupil stabil, selanjutnya cahaya senter
dialihkan dengan cepat ke mata yang sakit Kemudian cahaya senter dialihkan ke
mata yang sehat dan kembali ke mata yang sakit berulang-ulang. . Adanya lesi N.II
pada mata yang sakit akan mengakibatkan seolah-olah mata tersebut menerima
cahaya dengan intensitas rendah, sehingga pupilnya akan berdilatasi dan pada mata
yang sehat akan konstriksi saat mendapat stimulus cahaya. Respon ini juga dikenal
dengan pupil Marcus Gunn atau Relative Afferen Pupillary Defect (RAPD).
- Refleks akomodasi:
o Diperiksa dengan meminta apsien menatap objek jarak jauh terlebih dahulu,
kemudian memindahkan pandangannya pada objek jarak dekat.
o Respon yang timbul berupa konvergensi kedua mata dan konstriksi pupil.

c. Pemeriksaan celah mata/Ptosis:


- Ptosis yaitu penyempitan fisura palpebra karena turunnya kelopak mata akibat
kelemahan/kelumpuhan otot elevator palpebra dan/atau tarsalis superior.
- Cara meyakinkan adanya ptosis:
o Pasien disuruh mengangkat kelopak mata atas secara volunter. Jika ptosis tetap
terlihat dan dahi menunjukkan adanya lipatan kulit maka terbukti ada ptosis.
o Lipatan dahi menunjukkan kontraksi otot frontalis yang selamanya akan timbul bila
kelopak mata diangkat sekuat-kuatnya.
d. Pemeriksaan gerakan bola mata:
- Cara pemeriksaan:
o pasien disuruh untuk mengikuti gerakan tangan pemeriksa ke atas, medial dan ke
bawah (N.III).
o Pasien disuruh mengikuti gerakan jari pemeriksa ke bawah lateral (N. IV)
o Pasien disuruh mengikuti gerakan jari pemeriksa ke lateral (N.VI)
o Perhatikan apakah terdapat keterbatasan gerakan bola mata ke arah tertentu.

e. Pemeriksaan sikap bola mata:


- Diperhatikan kedudukan bola mata, apakah terdapat penyimpangan ke sisi
lateral/temporal (strabismus divergen, lesi N.III) atau penyimpangan ke nasal
(strabismus konvergen, lesi N.IV, N.VI).

4. Nervus V (trigemius)
Nervus trigeminus mempunyai fungsi motorik dan sensorik, terbagi atas 3 (tiga) cabang.
Pemeriksaan fungsi N.V adalah sebagai berikut:
a. Menggigit:
o Pasien disuruh menggigit sekuat-kuatnya
o Selama pasien menggigit, pemeriksa melakukan palpasi pada m. masseter dan
temporalis untuk memeriksa adakah kontraksi
o Bila ada kelumpuhan unilateral, maka serabut motorik n. V yang ipsilateral tak
mampu mengontraksikan m. masseter dan temporalis.
b. Membuka mulut:
o Pemeriksa berdiri di depan pasien dan mengawasi rahang bawah pasien: apakah
simetris atau menyimpang.
o Pada kelumpuhan unilateral, rahang bawah akan menyimpang ke ipsilateral saat
mulut dibuka.
c. Sensibilitas
Sensibilitas wajah diperiksa di 3 daerah berbeda, yaitu atas, tengah dan bawah, karena
masing-masing diinervasi oleh cabang yang berbeda yaitu cabang oftalmikus, maksilaris dan
mandibularis.
 Alat yang digunakan:
o untuk sensasi nyeri superfisial, gunakan jarum
o untuk sensasi halus, gunakan kapas/bulu
o untuk sensasi termis, gunakan air panas/dingin.
 Cara pemeriksaan:
o pasien harus kooperatif
o selama pemeriksaan sensibilitas kedua mata harus ditutup agar pasien tidak tahu
bagian tubuh yang diperiksa
o untuk mempermudah penilaian maka perangsangan dimulai dari proksimal dan
distal sehingga mudah teridentifikasi daerah dengan defisit sensorik dan daerah yang
normal
o selanjutnya perangsangan berjalan terus maju saling mendekat dari yang normal ke
daerah yang defisit dan sebaliknya
o intensitas perangsangan harus diubah-ubah untuk mengetahui ketepatan penilaian
pasien
o mintalah respons yang tegas dari pasien; bila pasien merasa ditusuk/digores maka
pasien harus bilang “ya”
o buatlah peta manifestasi sensorik setelah pemeriksaan selesai.

d. Refleks bersin:
 Alat yang digunakan: kapas yang sudah dipilin
 Cara pemeriksaan:
o mukosa hidung dirangsang / digelitik dengan kapas yang sudah tersedia
o positif: bila timbul bersin secara reflektorik

e. Refleks maseter/ refleks rahang bawah:


o Alat yang digunakan: palu refleks
 Cara periksaan:
o Pasien diminta membuka mulutnya dengan santai, dengan cara selama membuka
mulut mengeluarkan suara “aaaaaa,” sementara itu pemeriksa menempatkan jari
telunjuk tangan kirinya di garis tengah dagu, kemudian dengan palu refleks jari
tersebut diketuk
o Refleks positif berupa kontraksi m. masseter dan m. temporalis bagian depan yang
mengakibatkan penutupan mulut secara tiba-tiba/ berlebihan.
f. Refleks zigomatikus:
 Alat yang digunakan: palu refleks
 Cara pemeriksaan:
o Dilakukan pengetukan pada os. zigomatikus dengan palu reflek
o Pada orang sehat tidak akan didapatkan respons, juga pada lesi nuklearis dan
infranuklearis
o Pada orang dengan lesi supranuklearis n. V akan muncul gerak berupa gerakan
rahang bawah ipsilateral.
g. Trismus
 Amati apakah terdapat spasme otot-otot rahang.
h. Refleks kornea:
 Cara periksa:
o Pasien diminta melirik ke atas atau ke samping supaya mata jangan berkedip bila
kornea hendak disentuh
o Goreskan seutas kapas pada kornea (jangan pada konjungtiva bulbi) pada satu sisi
untuk membangkitkan gerakan reflektorik

5. Nervus VII (Fasialis)


a. Kerutan kulit dahi
 Perhatikan kulit dahi pasien apakah tampak kerutan kulit dahi atau tidak
o Pada kelumpuhan n. VII perifer (hemifasialis), kerutan kulit dahi pada sisi sakit akan
hilang
o Pada kelumpuhan n. VII sentral (hemifasialis), kerutan kulit dahi masih akan
tampak.
b. Kedipan mata
 Perhatikan apakah masih tampak kedipan mata
o Pada sisi yang lumpuh kedipan mata lambat, tidak gesit dan tidak kuat,. disebut
lagoftalmos
o Pada kelumpuhan sentral kedipan mata masih baik.

c. Lipatan nasolabial
 Lipatan nasolabial pada sisi yang lumpuh tampak mendatar.
d. Sudut mulut
 Sudut mulut pada sisi yang lumpuh tampak lebih rendah.
e. Mengerutkan dahi
 Pasien disuruh mengerutkan dahi unilateral dan bilateral. Pada kelumpuhan n. VII
perifer pasien tidak mampu mengerutkan dahinya unilateral dan bilateral
 Pada kelumpuhan n. VII sentral pasien
masih mampu mengerutkan dahinya. Dalam hal ini pemeriksa hendaknya melakukan
palpasi antara kanan dan kiri dan bandingkan sisi mana yang terkuat, akan didapatkan
perbedaan tonus.
f. Mengerutkan alis
 Cara kerjanya sama dengan mengerutkan dahi.
g. Menutup mata
 Pasien disuruh menutup mata
 Pada kelumpuhan perifer mata tidak dapat menutup
 Pada kelumpuhan sentral unilateral mata masih bisa menutup. Dalam hal ini pasien
disuruh menutup mata kuat-kuat, kemudian pemeriksa mencoba membuka mata
pasien yang sedang dipejamkan tersebut, akan didapatkan perbedaan tonus kanan –
kiri.
h. Meringis
 Pasien disuruh meringis. Baik kelumpuhan sentral maupun perifer pada sisi yang
lumpuh tidak dapat diangkat.
i. Bersiul
 Pasien disuruh bersiul. Adanya kelumpuhan n. VII baik unilateral maupun bilateral
menyebabkan pasien tidak dapat bersiul.
j. Tik fasialis (spasmus klonik fasialis)
 Adanya gerakan involunter di mana sudut mulut terangkat dan kelopak mata terpejam
beberapa kali, berlebihan
k. Lakrimasi
 Dapat dinilai dari anamnesis maupun observasi langsung. Adanya paralisis fasialis
perifer menyebabkan hiperlakrimasi.
l. Daya kecap lidah 2/3 depan
 Diperlukan 4 rasa pokok: manis, asin, asam, pahit. Bahan rangsang sebaiknya cairan.
 Pasien diminta menjulurkan lidahnya keluar, satu persatu rasa diteteskan
 Penyebut tidak boleh menyebut rasa dengan bicara, melainkan dengan memberi kode
berupa tulisan yang sudah disiapkan. Hal ini akan mencegah kacaunya identifikasi.
m. Gerakan fasial reflektorik
 Reflek visuopalpebra
o Ancaman colokan pada salah satu mata akan menimbulkan pejaman pada kedua
mata
o Hal ini terjadi pada orang normal.
 Refleks glabela
o Pada orang normal setiap kali glabela diketuk akan menyebabkan kedua mata
berkedip
o Akan tetapi setelah berturut-turut diketuk (3 – 4 kali) kedipan mata tidak akan
timbul lagi
o Sebaliknya pada orang dengan demensia, mata akan berkedip terus seiring dengan
ketukan berturut-turut pada glabela itu.
 Reflek aurikulopalpebra
o Gerak reflek berupa mata, jika terdengar suara keras dan tak terduga
o Dapat dihasilkan melalui tepuk tangan yang keras dan tiba-tiba.
 Tanda Myerson
o Pada orang normal ketukan pada pangkal hidung menyebabkan kedipan mata
hanya sekali saja
o Pada penderita Parkinson menyebabkan kedipan yang gencar.
 Tanda Chovstek
o Dengan palu atau ujung jari tangan, cabang-cabang n. fasialis di depan lubang
telinga kita ketuk
o Tanda Chovstek positif bila timbul reflek berupa kontraksi otot-otot rasialis
sebagai jawaban atas pengetukan pangkal cabang-cabang n. fasialis
o Tanda Chovstek positif khas untuk tetani.

6. Nervus VIII (akustikus)


a. Mendengarkan suara berbisik
 Tes ini kurang akurat tapi cukup informatif
 Kedua telinga dites satu persatu, salah satu telinga harus ditutup
 Pasien diberitahu dulu bahwa dia harus mengucapkan kata yang dikatakan pemeriksa.
Pasien harus menutup matanya agar dia tidak dapat membaca gerakan bibir
pemeriksa. Yang dikatakan pemeriksa adalah kata dan angka secara berselingan,
intensitas suara harus sekeras bisikan sejauh 30 cm dari telinga.
b. Mendengarkan detik arloji
 Tes ini kurang akurat
 Apalagi pada saat ini kebanyakan arloji yang dipakai tidak berdetik
 Arloji yang sesuai untuk tes ini adalah arloji yang mempunyai detik suara jelas.
c. Tes Rinne
 Tes Rinne prinsipnya membandingkan hantaran sura lewat udara dan tulang
 Pada orang normal hantaran suara lewat udara adalah lebih baik dibandingkan lewat
tulang (tes ini positif juga pada tuli sensory neural hearing loss, meskipun
perbandingannya lebih kecil).
 Garpu tala yang sudah digetarkan diletakkan dengan kaki menempel os. Mastoideum
salah satu pasien
 Pasien diminta memberi tanda bila bunyi garpu tala sudah tidak terdengar lagi. Pada
saat itu juga garpu tala dipindahkan ke depan liang telinga pasien
 Bila normal/hantaran udara baik maka bunyi garpu tala masih terdengar minimal 2
kali lebih lama daripada yang terdengar lewat tulang mastoideum tadi
 Bila masih terdengar berarti tes Rinne (+) pada tulang tersebut. Terdapat telinga
normal atau tuli saraf (sensory neural hearing loss).
 Bila sudah tak terdengar lagi alias suar garpu tala lebih baik jika lewat os.
mastoideum daripada lewat lubang telinga berarti tes Rinne (-), yang ditemui pada tuli
hantaran
d. Tes Weber
 Prinsipnya adalah membandingkan antara tulang antara telinga kiri dan kanan, dimana
getaran akan terdengar lebih keras pada tuli hantaran dibandingkan pada telinga
normal dan atau tuli saraf.
 Pasien diminta menggigit garpu tala yang sudah digetarkan atau bisa juga garpu tala
tersebut diletakkan di verteks
 Bila suara terdengar sama keras berarti kedua telinga normal
 Bila salah satu sisi terdengar lebih keras (terjadi lateralisasi) berarti kemungkinan:
 Sisi tersebut merupakan telinga yang sakit pada pasien tuli hantaran/tuli konduktif
sebab hantaran tulang sisi yang sakit diperpanjang
 Sisi tersebut merupakan telinga yang sehat pada pasien tuli unilateral; sebab tulang
sisi yang sakit diperpendek.
e. Tes Schwabach
 Prinsipnya adalah membandingkan hantaran tulang telinga pasien terhadap hantaran
tulang telinga pemeriksa. Dengan catatan hantaran tulang pemeriksa dianggap normal
(standar).
 Garpu tala yang bergetar langsung diletakkan pada planum mastoideum pemeriksa,
sampai tak terdengar lagi, lalu segera dipindah ke planum mastoideum pasien
 Dapat juga dilakukan sebaliknya pasien duluan
 Bila pasien masih mampu mendengar dibandingkan pemeriksa, berarti Schwabach
diperpanjang, terdapat tuli hantaran
 Jika garpu tala diletakkan lebih dulu pada planum mastiodeum penderita baru setelah
tak terdengar olehnya ke telinga pemeriksa; dan bila pemeriksa masih mendengar
berarti Schwabach diperpendek, maka berarti terdapat tuli saraf (SNHL).
7. Nervus IX (glossofaringeus)
a. Arkus faring
 Pasien diminta membuka mulut lebar-lebar dan lidah dikeluarkan sejauh-jauhnya
 Bila tidak bisa maka kita bantu menggunakan spatula lidah untuk menekan lidah;
dengan demikian arkus faring, uvula, dinding belakang faring dapat terlihat jelas
 Adanya paresis/paralisis ipsilateral n. IX dan atau n. X menyebabkan asimetri dan
tampak melengkung ke sisi yang sehat
 Asimetri dapat diperjelas dengan menyuruh pasien bersuara, ujung uvula menunjuk
ke arah yang sehat.

b. Daya kecap lidah (1/3 belakang lidah)


 Cara pemeriksaan sama dengan pengecapan lidah depan, namun menggunakan zat
dengan rasa pahit seperti kina atau kopi.
c. Reflek muntah
 Pembangkitan reflek ini merupakan pemeriksaan penting untuk menilai fungsi kedua
saraf ini
 Sewaktu mulut masih terbuka lebar, sensibilitas orofaring kita periksa dengan
menyentuh dinding posterior faring dengan spatula lidah; akan timbul reflek muntah.
d. Sengau
 Suara yang sengau menunjukkan adanya kelumpuhan unilateral/bilateral n. IX
e. Tersedak
 Merupakan gejala kesukaran menelan yang berat
 Karena epiglotis mengalami paresis sehingga tidak dapat menutup baik, akibatnya
makanan masuk ke laring dan menimbulkan reflek batuk (tersedak).

8. Nervus X (vagus)
a. Denyut nadi
 Cara pemeriksaan sama seperti fisik diagnostik biasa, yaitu palpasi a. radialis.
b. Arkus faring
 Sama dengan pemeriksaan n. IX.

c. Bersuara (fonasi)
 Perhatikan adakah suara serak/lemah
 Bila ya, kemungkinan terdapat paralisis laring yang dipersarafi n. X (n. laringeus
superior dan rekuren).
d. Menelan
 Gangguan menelan merupakan manifestasi gabungan dari gangguan n. IX, X, dan
VII. Karena mekanisme menelan merupakan hasil kerja integral saraf tersebut.

9. Nervus XI (Aksesorius)
a. Memalingkan kepala
 Pasien disuruh memalingkan kepala, sementara pemeriksa memegang rahang pasien
untuk menahan gerakan tersebut
 Bila fungsi muskulusnya baik akan tampak konsistensinya yang keras
 Bila terdapat parese akan nampak kontur yang tidak menonjol;tampak konsistensi
yang keras dan kontur otot yang menonjol tegas
 Tetapi bila terdapat parese kontur otot tidak begitu jelas dan konsistensi otot pun
lemah, timbul asimetri/tortikolis
 Jika terdapat kelumpuhan bilateral, posisi kepala akan anterofleksi (menunduk).

b. Sikap bahu
 Kelumpuhan m. trapezius unilateral dapat diperlihatkan sikap bahu dan skapula
 Bahu sisi yang lumpuh akan lebih rendah dan bagian bawah skapula terletak lebih
dekat ke garis tengah daripada bagian atasnya.
 Pasien diminta mengangkat kedua bahunya, sedangkan pemeriksa menahan elevasi
bahu tersebut; jika gerakan elevasi tersebut lemah dan kontur otot tidak ada berarti
terdapat paresis
 Perhatikan kontur otot bahu, jelas atau tidak; apakah adan gangguan retraksi bahu dan
elevasi humerus.

10. Nervus XII (hipoglosus)


a. Artikulasi
 Pemeriksa dapat memerhatikan / mendengarkan pasien berbicara, apakah ada
disartria. Pada kelumpuhan unilateral disartria lebih jelas terlihat.
b. Menjulurkan lidah
 Pasien diminta menjulurkan lidahnya secara lurus
 Pada kelumpuhan unilateral lidah tidak dapat dikeluarkan secara lurus, tetapi
menyimpang ke sisi yang lumpuh karena terdorong oleh otot yang sehat. Bila
kelumpuhan sentral lidah tersebut masih dapat digerakkan ke kanan dan ke kiri. Bila
kelumpuhan perifer maka lidah tetap menyimpang ke sisi yang lumpuh dan tak dapat
bergerak ke sisi yang sehat.
c. Trofi otot lidah
 Pada kelumpuhan perifer, atrofi otot lebih cepat terjadi, tidak tampak lumpuh, tipis
dan berkeringat
 Pada kelumpuhan sentral atrofi otot tidak tampak (yang unilateral).
g. Fasikulasi lidah
 Fasikulasi merupakan kontraksi otot setempat yang halus, cepat, spontan dan sejenak.

Anda mungkin juga menyukai