Anda di halaman 1dari 13

BAB I

HAKIKAT SOSIOLINGUISTIK

Bahasa sebagai alat komunikasi dan interaksi yang hanya dimiliki manusia, tidak
hanya dapat dikaji secara internal tetapi juga secara eksternal. Artinya pengkajian
bahasa tidak hanya dapat dilakukan dengan menganalisis struktur fonologis,
morfologis maupun sintaksisnya, melainkan dapat pula dikaji dengan hal-hal atau
faktor-faktor yang berada di luar bahasa yang berkaitan dengan pemakaian bahasa itu
oleh para penuturnya di dalam kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan.
Pengkajian secara eksternal inilah yang menghasilkan rumusan-rumusan yang
berkaitan dengan kegunaan dan penggunaan bahasa tersebut dalam segala kegiatan
manusia di dalam masyarakat. Pengkajian secara eksternal ini tidak hanya melibatkan
teori dan prosedur linguistik saja, tetapi juga melibatkan teori dan prosedur disiplin
lain yang berkaitan dengan penggunaan bahasa itu, sehingga wujudnya berupa ilmu
antardisiplin yang namanya merupakan gabungan dari disiplin ilmu-ilmu yang
bergabung itu, umpamanya sosiolinguistik.
Sosiolinguistik merupakan gabungan antara disiplin sosiologi dan disiplin
linguistik dengan bahasa sebagai objek kajiannya. Namun satu hal yang harus
digarisbawahi bahwasanya bahasa sebagai objek kajian sosiolinguistik tidak dilihat
maupun didekati sebagai bahasa, melainkan dilihat dan didekati sebagai sarana
interaksi atau komunikasi di dalam masyarakat manusia.

A. Pengertian Sosiolinguistik
Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan linguistik, dua
bidang ilmu empiris yang mempunyai kaitan sangat erat. Sosiologi sendiri dapat
diartikan sebagai kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia di dalam
masyarakat, dan mengenai lembaga-lembaga dan proses sosial yang ada di dalam
masyarakat.
Sosiologi berusaha mengetahui bagaimana masyarakat itu terjadi, berlangsung dan
tetap ada. Sedangkan linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa atau
bidang ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari
bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu di dalam masyarakat.
De Saussure (1961) pada awal abad ke-20 menyebutkan bahwa bahasa adalah salah
satu lembaga kemasyarakatan yang sama dengan lembaga kemasyarakatan yang lain
seperti perkawinan, pewarisan harta peninggalan dan sebagainya.
Pada pertengahan abad ini para pakar di bidang bahasa merasa perlu adanya
perhatian yang lebih terhadap dimensi kemasyarakatan bahasa, karena ternyata
dimensi kemasyarakatan bukan hanya memberi “makna” kepada bahasa, tetapi juga
menyebabkan terjadinya ragam-ragam bahasa yang tidak hanya menunjukkan adanya
perbedaan sosial dalam masyarakat tetapi juga memberi indikasi mengenai situasi
berbahasa serta mencerminkan tujuan, topik, kaidah dan modus-modus penggunaan
bahasa.
Berbeda dengan De Saussure, dalam bukunya Sign, Language and Behaviour,
Charles Morris (1946) membicarakan bahasa sebagai sistem lambang, membedakan
adanya tiga kajian bahasa berkenaan dengan fokus perhatian yang diberikan. Jika
perhatian difokuskan pada hubungan antara lambang dengan maknanya disebut
semantik; jika fokus perhatian diarahkan pada hubungan lambang disebut sintaksis;
dan kalau fokus perhatian diarahkan pada hubungan antara lambang dengan
penuturnya disebut pragmatik yang tidak lain daripada sosiolinguistik.
Bahasa sebagai objek dalam sosiolinguistik tidak didekati sebagai bahasa
sebagaimana dilakukan oleh linguistik umum, melainkan didekati sebagai sarana
interaksi atau komunikasi di dalam masyarakat manusia. Setiap kegiatan
kemasyarakatan manusia selalu berhubungan dengan bahasa. Oleh karena itu,
bagaimana pun rumusan mengenai sosiolinguistik yang diberikan para pakar tidak
akan terlepas dari persoalan hubungan bahasa dengan kegiatan-kegiatan atau aspek-
aspek kemasyarakatan. Perhatikan beberapa rumusan mengenai sosiolinguistik dari
beberapa pakar berikut:
1. Sosiolinguistik lazim didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari ciri dan
berbagai variasi bahasa, serta hubungan di antara para bahasawan denan ciri
funngsi variasi bahasa itu di dalam suatu masyarakat bahasa (Kridalaksana
1984:94)
2. Pengkajian bahasa dengan dimensi kemasyarakatan... disebut sosiolinguistik
(Nababan 1984:2)
3. Sosiolinguistics is the study of the characteristics of language variaties, the
characteristics of their function, and the characteristics of their speakers as these
three constantly interact, change and change one another within a speech
community (sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi-
fungsi variasi bahasa, dan pemakaian bahasa karena ketiga unsur ini selalu
berinteraksi, berubah dan saling mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat
tutur (J.A. Fishman 1972:4)
4. Sociolinguistyiek is de studie van taal en taalgebruik in de kontext van maatschapij
en kultuur (sosiolinguistik adalah kajian mengenai bahasa dan pemakaiannya
dalam konteks sosial dan kebudayaan (Rene Apple, Gerad Hubert, Greus Meijer
1876:10)
5. Sociolinguistiek is subdisiplin van de taalkunde, die bestudert welke social
factoren een rol spelen in het taalgebruik er welke taal spelt in het special vekeer
(sosiolinguistik adalah subdisiplin ilmu bahasa yabg mempelajari faktor-faktor
sosial yang berperan dalam penggunaan bahasa dan pergaulan sosial (G. E. Booij,
J.G. Kersten, dan H.J. Verkuyl 1975: 139).
6. Sociolinguistics is the study of language in operation, it’s purpose is to investigate
how the convention of the language use relate to other aspect of social behaviour
(sosiolinguistik adalah kajian bahasa dalam penggunaannya, dengan tujuan untuk
meneliti bagaimana konvensi pemakaian bahasa berhubungan dengan aspek-aspek
lain dari tingkah laku sosial (C. Criper dan H.G. Widdowson dalam J.P.B. Allen
dan S. Piet Corder (ed.) 1975: 156).
7. Sociolinguistics is a developing subfield of linguistics which takes speech variation
as it’s focus, viewing variation of it social context. Sociolinguistics is concerned
with the correlation between such social factors and linguistics variation
(sosiolinguistik adalah pengembangan subbidang linguistik yang memfokuskan
penelitian pada variasi ujaran, serta mengkajianya dalam suatu konteks sosial.
Sosiolinguistik meneliti korelasi antara faktor-faktor sosial itu dengan variasi
bahasa (Nancy Parrot Hickerson 1980: 81).
Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistik yang bersifat interdisipliner dengan ilmu
sosiologi, dengan objek penelitian hubungan antara bahasa dengan faktor-faktor sosial
di dalam suatu masyarakat tutur.
Selain istilah sosiolinguistik ada juga digunakan istilah sosiologi bahasa. Banyak
orang menganggap kedua istilah itu sama: tetapi banyak pula yang menganggapnya
berbeda. Ada yang mengatakan digunakannya istilah sosiolinguistik karena
penelitiannya dimasukkan dari bidang linguistik; sedangkan istilah sosiologi bahasa
digunakan kalau penelitiannya itu dimasuki dari bidang sosiologi (Nababan 1884: 3,
juga Bright 1992: vol 4:9).
J.A. Fishman, pakar sosiolinguik mengatakan kajian sosiolinguistik lebih bersifat
kualitatif, sedangkan kajian sosiologi bahasa bersifat kuantitatif. Artinya kajian
sosiolinguistik sendiri lebih bertumpu pada hubungan dengan perincian-perincian
penggunaaan bahasa yang sebenarnya, seperti deskripsi pola-pola pemakaian bahasa/
dialek dalam budaya tertentu yang dilakukan penutur, topik dan latar pembicaraan.
Sedangkan sosiologi bahasa lebih berhubungan dengan faktor-faktor sosial yang
saling bertimbal balik dengan bahasa/ dialek.

B. Sosiolinguistik dan Disiplin Ilmu Lain


1. Sosioliguistik dengan Linguistik
Sosiolinguistik merupakan ilmu yang mengkaji linguistik yang dihubungkan
dengan faktor sosiologi. Dengan demikian, sosiolinguistik tidak meninggalkan
linguistik. Hal yang dikaji dalam linguistik (ilmu yang mengkaji bahasa sebagai
fenomena yang inedependen) dijadikan dasar bagi sosiolinguistik untuk
menunjukkan perbedaan penggunaan bahasa yang dikaitkan dengan faktor sosial.
Hal yang dikaji dalam linguistik, meliputi apa yang ditelaah De Saussure, kaum
Bloomfieldien (Bloomfield, Charles Fries, dan Hocket) serta kaum Neo
Bloomfieldien dengan deepstructure dan surface structure-nya, dipandang oleh
sosiolinguis sebagai bentuk bahasa dasar yang ketika dikaitkan dengan pemakai
dan pemakaian bahasa akan mengalami perubahan dan perbedaan.
Kajian mengenai fonologi, morfologi, struktur kalimat, dan semantik leksikal
dalam linguistik dipakai oleh sosiolinguistik untuk mengungkap struktur bahasa
yang digunakan oleh tiap-tiap kelompok tutur sesuai dengan konteksnya.
Karenanya, tidaklah mungkin seorang sosiolinguis dapat mengkaji bahasa dengan
tanpa dilandasi pengetahuan mengenai linguistik murni itu.
Sosiolinguistik mengkaji wujud bahasa yang beragam karena dipengaruhi oleh
faktor di luar bahasa (sosial), yang dengan demikian makna sebuah tuturan juga
ditentukan oleh faktor di luar bahasa. Untuk dapat mengungkap wujud dan makna
bahasa sangat diperlukan pengetahuan tentang linguistik murni (struktur bahasa),
supaya kajian yang dilakukan tidak meninggalkan objek bahasa itu sendiri.
2. Sosiolinguistik dengan Sosiologi
Sosiolinguistik memandang bahasa sebagai dasar kajian (lihat kembali
hubungan antara sosiolinguistik dan linguistik) dan memandang struktur sosial
sebagai faktor penentu variabel. Keduanya dipandang sebagai gegenseitige
einbettung dan gegenseitige determination, dan hubungan antara keduanya
ditentukan oleh persyaratan manusia, organisasi pikiran manusia (dalam bentuk
argumen lahiriah), serta tuntutan intrinsik dari sebuah bidang yang sistematis,
kuat,dan efektif (Hymes,1966).
Apa yang terdapat dalam sosiologi, yang berupa fakta-fakta sosial ditransfer ke
dalam sosiolinguistik, sehingga munculah keyakinan bahwa bahasa berhubungan
dengan strata sosial. Meskipun demikian, hubungan antara sosiolinguistik dan
sosiologi sebenarnya bersifat timbal-balik (simbiosis mutualisme).
Hubungan sosiologi – sosiolinguistik:
a. Kemajuan teori sosiologi seperti kelompok politik, mobilisasi massa,
interferensi antarkelompok digunakan dalam sosiolinguistik
b. Metodologi dalam sosiologi seperti angket, wawancara, pengamatan terlibat
digunakan juga sebagai metode dalam sosiolinguistik
c. Istilah-istilah sosiologi seperti funktion, rolle, dan soziale dimension juga
digunakan dalam sosiolinguistik;
d. Fakta-fakta sosial dalam sosiologi ditransfer ke dalam sosiolinguistik yang
meliputi transfer terhadap fungsi bahasa secara keseluruhan dan terhadap
struktur bahasa itu sendiri.
Dengan memperhatikan fakta-fakta sosial ini, sosiolinguistik pun
mempertimbangkan situasi berbahasa, siapa yang berbicara, di mana, dan
sebagainya,, karena bagaimanapun sosiolinguistik muncul karena adanya bantuan
sosiologi.
Hubungan sosiolinguistik – sosiologi
a. Data sosiolinguistik yang memberikan ciri-ciri kehidupan sosial, menjadi
barometer untuk sosiologi;
b. Aspek sikap berbahasa mempengaruhi budaya material dan spiritual suatu
masyarakat;
c. Bahasa yang diteliti secara sosiolinguistik adalah alat utama dari
perkembanagan pengetahuan mengenai sosiologi.
Dengan kata lain, sosiolinguistik membantu sosiologi dalam mengklasifikasi
strata sosial, seperti yang ditunjukkan oleh Labov dalam penelitiannya mengenai
tuturan dalam masyarakat Amerika dalam tingkat sosial yang berbeda.

3. Hubungan Sosiolinguistik dengan Pragmatik


Pragmatik merupakan ilmu bahasa yang mempelajari tujuan dan dampak
berbahasa yang dikaitkan dengan konteks, atau penggunaan bahasa yang
disesuaikan dengan topik pembicaraan, tujuan, partisipan, tempat, dan sarana.
Sebagaimana sosiolinguistik, pragmatik juga beranggapan bahwa bahasa (tuturan)
tidaklah monostyle.
Pragmatik memandang bahasa sebagai alat komunikasi yang keberadaannya
(baik bentuk maupun maknanya) ditentukan oleh penutur dan ditentukan dan
keberagamannya ditentukan oleh topik, tempat, sarana, dan waktu. Fakta-fakta ini
dimanfaatkan oleh sosiolinguistik untuk menjelaskan variasi-variasi bahasa atau
ragam bahasa.
Pragmatik sangat menekankan aspek tujuan dalam berkomunikasi, seperti yang
dikemukakan oleh Searle dalam tindak tuturnya. Bahasa akan berbeda karena
adanya tujuan yang berbeda. Hal-hal ini pun dimanfaatkan oleh sosiolinguistik
dengan menekankan variasi bahasa karena (berdasarkan) fungsi bahasa tersebut.
Penggunaan bahasa dalam pragmatik juga sangat mempertimbangkan faktor
interlokutor, yakni orang-orang yang terlibat dalam proses berkomunikasi dan
berinteraksi. Karenanya, kode (meminjam istilah sosiolinguistik) yang digunakan
pun berbeda.
Dalam sosiolinguistik, aspek interlokutor ini dikembangkan lebih jauh dengan
faktor sosial atau dialek sosial seperti tingkat sosial ekonomi, tingkat pendidikan,
usia, jenis kelamin, hubungan sosial, dan sebagainya. Semisal tuturan “3 X 4
berapa?” akan memiliki makna dan jawaban yang berbeda.
Pragmatik memandang, perbedaan itu disebabkan faktor tempat, tujuan, dan
penutur. Sosiolinguistik memandangnya dari sudut register. Meskipun demikian,
keduanya memerlukan “pengetahuan bersama” atau common ground untuk sampai
kepada pemahaman yang sebenarnya.
4. Hubungan Sosiolinguistik dan Antropologi
Antropologi merupakan ilmu tentang manusia, khususnya tentang asal-usul,
aneka warna bentuk fisik, adat-istiadat, dan kepercayaan pada masa lampau.
Antropologi memandang bahwa dalam budaya terkandung aspek bahasa. Dengan
demikian apabila di daerah terdapat persamaan bahasa berarti mempunyai
kekerabatan budaya yang dekat. Berarti pula, kesamaan bahasa menandai
kesamaan budaya, dan bahasa dipakai dalam proses pembentukan budaya seperti
mantra, pantun berbalas, debat, musyawarah, dan upacara-upacara adat.
Antropologi membicarakan bahasa secara garis besar guna menjelaskan aspek
budaya.
Sosiolinguistik berusaha untuk memanfaatkan penggolongan masyarakatmelalui
budaya yang dilakukan antropologi serta memandangnya sebagai faktor
pemengaruh bahasa. Sosiolinguistik berusaha menguji ulang data linguistik yang
ditemukan antropologi itu. Pandangan hidup (yang tercermin dalam perilaku)
dipakai sebagai faktor penyebab variasi bahasa terutama aspek kosakata dan
struktur. Hal ini tampak antara lain dalam hipotesis Sapir-Whorf. Antropologi
mendekati objek secara naturalistik.
Antropologi berusaha memasuki “setting” penelitian dengan rapport sebelum
mengadakan observasi partisipatoris. Metode ini dimanfaatkan oleh sosiolinguistik
guna menemukan data bahasa secara akurat sekaligus menemukan faktor
pemengaruhnya secara terperinci. Di dalam Atropologi terdapat prinsip
perkembangan dan perubahan. Prinsip ini ditransfer ke dalam sosiolinguistik
sehingga muncullah istilah kronolek, tempolek, serta istilah-istilah tabu dalam
sosiolinguistik.
Antropologi juga memberikan konsep tentang struktur kebudayaan dan
transformai kebudayaan kepada sosiolinguistik. Hal itu ditunjukkan dengan
munculnya istilah grandfather (karena adanya konsep dan penghargaan kepada
kakek sebagai orang tua yang mempunyai sifat dan kedudukan yang agung), serta
simbok (sebagai orang tua yang dapat melengkapi dan memberi kesempurnaan atau
tombok).
Kebudayaan dalam antropologi disampaikan lewat bahasa, yang karenanya
harus ada kemampuan komunikatif. Prinsip ini pun diambil oleh sosiolinguistik.
Demikian pula, pengetahuan tentang budaya diperoleh bersamaan dengan
pemerolehan bahasa, seperti sapaan, penggunaan bahasa sesuai konteks. Melalui
ini pun dapat diketahui bagaimana budaya itu hidup dalam suatu masyarakat
lengkap dengan nilai-nilai filosofi yang berkembang di dalamnya.
Bahasa dalam antropologi digunakan untuk pengungkap budaya. Dengan
demikian, apa yang dipandang penting, pastilah akan ditonjolkan. Dalam suatu
masyarakat ditemukan berbagai istilah, sesuai dengan tingkat budayanya. Di Mesir
misalnya, terdapat 500 kosakata untuk singa, 200 kata untuk ular, 80 kata untuk
madu, dan 4644 kata untuk unta. Demikian pula, dalam budaya Jawa yang
menonjolkan rasa (hingga ada istilah rumangsa bisa lan bisa rumangsa) memiliki
cukup banyak kosakata ajektiva afektif, seperti sedih, susah, ngenes, nelangsa,
miris, wedi, gila.

5. Hubungan Sosiolinguistik dengan Psikologi


Pada masa Chomsky, linguistik mulai dikaitkan dengan psikologi dan
dipandang sebagai ilmu yang tidak independen. Lebih jauh Chomsky mengatakan
(1974) bahwa linguistik bukanlah ilmu yang berdiri sendiri. Linguistik merupakan
bagian dari psikologi dalam cara berpikir manusia. Chomsky melihat bahasa
sebagai dua unsur yang bersatu, yakni competence dan performance. Competence
merupakan unsur dalam bahasa (deep structure) dan menempatkan bahasa dari segi
kejiwaan penutur, sedangkan competence merupakan unsur yang terlihat dari
parole. Dengan demikian, Chomsky memandang bahwa bahasa bukanlah gejala
tunggal. namun dipengaruhi oleh faktor kejiwaan penuturnya.
Chomsky juga mulai merambah wilayah makna walaupun akhirnya mengakui
bahwa wilayah makna merupakan wilayah yang paling sulit dalam kajian
linguistik. Apa yang dikemukakan Chomsky tentang struktur dalam dan struktur
luar digunakan oleh sosiolinguistik sebagai pedoman bahwa tuturan yang tampak
sebenarnya hanyalah perwujudan dari segi kejiwaan penuturnya. Lebih lanjut
sosiolinguistik membuka diri untuk menelaah perbedaan bentuk tuturan itu.
Kaitan antara competence dan performance terlihat dari penggunaan bahasa
penutur. Orang dikatakan mempunyai kompetensi dan performansi yang baik
apabila dapat menggunakan berbagai variasi bahasa sesuai dengan situasi. Orang
yang berperformansi baik tentulah memiliki kompetensi yang baik, dan
memungkinkan penggunaan kode luas (elaborated code). Sebaliknya, orang yang
kompetensinya rendah, akan muncul kode terbatas (restricted code).
Dalam psikologi perkembangan terdapat fase perkembangan yang dimulai
menangis (tangis bertujuan: lapar, dingin, takut), tengkurap, duduk, merangkak,
dan berjalan. Kesemuanya diikuti atau sejalan dengan perkembangan
kebahasaannya. Dalam sosiolinguistik, hal ini diadopsi sebagai variasi bahasa
dilihat dari segi usia penutur, (orang mempelajari bahasa sesuai dengan tingkat
perkembangannya). Karenanya dikenal juga variasi bahasa remaja dan manula.
Dari sudut psikologi, laki-laki memiliki kejiwaan yang secara umum berbeda
dengan wanita. Karenanya, apa yang mereka tuturkan juga tidak sama.
Sosiolinguistik mentransfer konsep ini, sehingga muncullah istilah variasi bahasa
berdasarkan genus atau jenis kelamin.

C. Kegunaan Sosiolinguistik
Setiap bidang ilmu tentu mempunyai kegunaan dalam kehidupan praktis. Begitu
juga dengan sosiolinguistik. Kegunaan sosiolinguistik bagi kehidupan praktis sangat
banyak, sebab bahasa sebagai alat komunikasi verbal manusia, tentunya mempunyai
aturan-aturan tertentu. Dalam penggunaannya sosiolinguistik memberikan
pengetahuan bagaimana cara menggunakan bahasa.
Sosiolinguistik menjelaskan bagaimana menggunakan bahasa itu dalam aspek atau
segi sosial tertentu seperti dirumuskan Fishman (1967:15) bahwa yang dipersoalkan
dalam sosiolinguistik adalah, “who speak what language, to whom, when, and to what
end”. Dari rumusan Fishman itu dapat kita jabarkan manfaat atau kegunaan
sosiolinguistik bagi kehidupan praktis.
1. Pengetahuan sosiolinguistik dapat kita manfaatkan dalam berkomunikasi
atau berinteraksi.
Sosiolinguistik akan mendapatkan pedoman kepada kita dalam berkomunikasi
dengan menunjukkan bahasa, ragam bahasa atau gaya bahasa apa yang harus kita
gunakan jika kita berbicara dengan orang tertentu. Jika kita adalah anak dalam
suatu keluarga tentu kita harus menggunakan ragam/gaya bahasa yang berbeda jika
lawan bicara kita adalah ayah, ibu, kakak, atau adik. Jika kita seorang murid, tentu
kita harus menggunakan ragam atau gaya bahasa yang berbeda pula terhadap guru,
terhadap teman kelas, atau terhadap sesama murid yang kelasnya lebih tinggi.
Sosiolinguistik juga akan menunjukkan bagaimana kita harus berbicara bila kita
berada di dalam mesjid, di ruang perpustakaan, di taman, di pasar, atau juga di
lapangan sepak bola.
Dalam pengajaran bahasa di sekolah, sosiolinguistik juga mempunyai peranan
besar. Coba kita lihat. Kajian bahasa secara internal, seperti sudah dibicarakan
diatas, akan menghasilkan perian-perian bahasa secara objektif deskriptif, dalam
wujud berbentuk sebuah buka tata bahasa. Kalau kajian secara internal itu
dilakukan secara deskriptif, dia akan menghasilkan sebuah buku tata bahasa
deskriptif. Kalau kajian itu dilakukan secara normatif, dia akan menghasilkan
sebuah buku tata bahasa normatif.
2. Kedua buku tata bahasa itu mempunyai hasil perian yang berbeda.
Lalu, kalau digunakan dalam penggunaan bahasa, juga akan mempunyai
persoalan yang berbeda. Kalau dalam pengajaran digunakan buku tata bahasa
deskriptif, maka kesulitannya adalah bahwa ragam bahasa yang harus diajarkan
adalah ragam bahasa baku, padahal dalam buku tersebut terekam juga hasil perian
ragam nonbaku. Sebagai contoh konkret, silahkan lihat buku Pembentukan Kata
dalam Bahasa Indonesia karya kridalaksana (1989).
Tanpa bantuan atau penjelasan sosiolinguistik buku tersebut tidak dapat
digunakan dalam pendidikan formal, sebab prefiks Nasal nge-, n-, m-, dan ny-,
serta sufiks –in terekam juga sebagai khazanah afiks bahasa Indonesia. Sebaliknya,
buku Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia karya Sultan Takdir Alisjahbana (1981,
cetakan ke-43) yang sangat bersifat normatif itu juga tidak dapat digunakandalam
pendidikan formal tanpa bantuan sosiolinguistik, sebab norma-norma yang
digunakan sudah “ketinggalan zaman” dari norma ragam bahasa Indonesia baku
yang berlaku dewasa ini.
Contoh, kata ekspres harus ditulis experes, kata struktur, harus ditulis setruktur,
dan kata ulang sebaik2nya harus ditulis sebaik-baiknya. Alasannya, karena
menurut norma (lama) bahasa Indonesia tidak ada pola suku kata KKVK dan
KKKVK, sedangkan untuk pengulangan sudah lazim digunakan angka 2; yang
lainnya, huruf x lebih hemat dari pada gabungan huruf ks.
Buku-buku tata bahasa, sebagai hasil ujian internal terhadap bahasa, biasanya
hanya menyajikan kaidah-kaidah bahasa tanpa mengaitkannya dengan kaidah-
kaidah penggunaan bahasa.

D. Masalah-Masalah Sosiolinguistik
Konferensi sosiolinguistik pertama yang berlangsung di University of California,
Los Angeles, tahun 1964, telah merumuskan adanya tujuh dimensi dalam penelitian
sosiolinguistik. Ketujuh dimensi yang merupakan masalah dalam sosiolinguistik itu
adalah (1) identitas sosial dari penutur, (2) identitas sosial dari pendengar yang terlibat
dalam proses komunikasi, (3) lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi, (4)
analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial, (5) penelitian sosial yang
berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran, (6) tingkatan variasi dan
ragam linguistik, dan (7) penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik (lihat
Dittmar 1976:128).
1. Identitas sosial dari penutur
Dapat diketahui dari pertanyaan apa dan siapa penutur tersebut, dan bagaimana
hubungannya dengen lawan tuturnya. Maka, identitas penutur dapat berupa
anggota keluarga (ayah, ibu, kakak, adik, paman, dan sebagainya), dapat berupa
teman karib, atasan atau bawahan (di tempat kerja), guru, murid, tetangga, pejabat,
orang yang dituakan, dan sebagainya. Identitas penutur itu dapat mempengaruhi
pilihan kode dalam bertutur.
2. Identitas sosial dari pendengar tentu harus dilihat dari pihak penutur.
Maka, identitas pendengar itupun dapat berupa anggota keluarga (ayah, ibu,
kakak, adik, paman, dan sebagainya), dapat berupa teman karib, atasan atau
bawahan (di tempat kerja), guru, murid, tetangga, pejabat, orang yang dituakan,
dan sebagainya. Identitas pendengar atau para pendengar juga akan mempengaruhi
pilihan kode dalam bertutur.
3. Lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi
Dapat berupa ruang keluarga di dalam sebuah rumah tangga, di dalam mesjid,
di lapangan sepak bola, di ruang kuliah, di perpustakaan, atau di pinggir jalan.
Tempat peristiwa tutur terjadi dapat pula mempengaruhi pilihan kode dan gaya
dalam bertutur.
Misalnya, di ruang perpustakaan tentunya kita harus berbicara dengan suara yang
tidak keras, di lapangan sepak bola kita boleh berbicara keras-keras, malah diruang
yang bising dengan suara mesin-mesin kita harus berbicara dengan suara keras,
sebab kalau tidak keras tentu tidak dapat didengar oleh lawan bicara kita.
4. Analisis diakronik dan sinkronik dari dialek-dialek sosial
Berupa deskripsi pola-pola dialek-dialek sosial itu, baik dari berlaku pada masa
tertentu atau yang berlaku pada masa yang tidak terbatas. Dialek sosial ini
digunakan para penutur sehubungan dengan kedudukan mereka sebagai anggota
kelas-kelas sosial tertentu di dalam masyarakat.
5. Penilaian sosial yang berbeda oleh penutur terhadap bentuk-bentuk perilaku
ujaran.
Setiap penutur tentunya mempunyai kelas sosial tertentu di dalam masyarakat.
Maka, berdasarkan kelas sosialnya itu, dia mempunyai penilaian tersendiri, yang
tentunya sama, atau jadi berbeda, tidak akan terlalu jauh dari kelas sosialnya,
terhadap bentuk-bentuk perilaku ujaran yang berlangsung
6. Tingkatan variasi atau linguistik,
Bahwa sehubungan dengan heterogennya anggota suatu masyarakat tutur,
adanya berbagai fungsi sosial dan politik bahasa, serta adanya tingkatan
kesempurnaan kode, maka alat komunikasi, manusia yang disebut bahasa itu
menjadi sangat bervariasi. Setiap variasi, entah namanya dialek, varietas, atau
ragam, mempunyai fungsi sosialnya masing-masing.
7. Penerapan paraktis dari penelitian sosiolinguistik,
Merupakan topik yang membicarakan kegunaan penelitian sosiolinguistik untuk
mengatasi masalah-masalah praktis dalam masyarakat. Misalnya, masalah
pengajaran bahasa, pembukuan bahasa, penerjemahan, mengatasi konflik sosial
akibat konflik bahasa, dan sebagainya.

Berdasarkan penulisan makalah, dapat disimpulkan tentang sosiolinguistik, sebagai


berikut:
1. Sosiolinguistik
adalah cabang ilmu linguistik yang bersifat interdisipliner dengan ilmu sosiologi,
dengan objek penelitian hubungan antara bahasa dengan faktor-faktor sosial di dalam
suatu masyarakat tutur
2. Sosiolinguistik memiliki hubungan dengan beberapa disiplin ilmu lainnya yaitu:
a. Sosiolinguistik dengan linguistik,
b. Sosiolinguistik dengan sosiologi,
c. Sosiolinguistik dengan pragmatik,
d. Sosiolinguistik dengan antropologi,
e. Sosiolinguistik dengan psikologi.
3. Kegunaan sosiolinguistik bagi kehidupan praktis sangat banyak, dalam
penggunaannya sosiolinguistik memberikan pengetahuan bagaimana cara
menggunakan bahasa dalam aspek atau segi sosial tertentu.
4. Ada tujuh dimensi yang merupakan masalah dalam sosiolinguistik yaitu
a. Identitas sosial dari penutur,
b. Identitas sosial dari pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi,
c. Lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi,
d. Analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial,
e. Penelitian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran, ‘
f. Tingkatan variasi dan ragam linguistik, dan
g. Penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2011. Kaitan Sosiolinguistik dan Disiplin Ilmu Lain. http://staff.uny.ac.id.
Chaer, Agustina. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Anda mungkin juga menyukai