1
Sasaran Belajar
1.1 Memahami dan Menjelaskan Anatomi Saluran Pernafasan Atas
a. Makroskopis
Respirasi adalah keseluruhan proses yang melaksanakan pemindahan pasif oksigen dari
atmosfer ke jaringan untuk menunjang metabolisme sel, serta pemindahan pasif terus
menerus karbondioksida yang dihasilkan oleh metabolisme dari jaringan ke atmosfer.
Sistem pernapasan berperan dalam homeostasis dengan mempertukarkan O2 dan CO2
antara atmosfer dan darah. Darah mengangkut O2 dan CO2 antara sistem pernapasan dan
jaringan.
Sistem respirasi:
1. Saluran napas bagian atas, pada bagian ini udara yang masuk ke tubuh
dihangatkan, disaring, dan dilembabkan.
2. Saluran napas bagian bawah, bagian ini menghantarkan udara yang masuk
dari saluran bagian atas ke alveoli. Alveoli, terjadi pertukaran gas antara O2
dan CO2. Sirkulasi paru, pembuluh darah arteri menuju paru, sedangkan
pembuluh darah vena meninggalkan paru.
Paru terdiri dari:
o Saluran napas bagian bawah
o Alveoli
o Sirkulasi paru
Rongga pleura, terbentuk dari dua selaput serosa yang meliputi dinding dalam
rongga dada yang disebut pleura parietalis, dan yang meliputi paru atau pleura
visceralis.
Rongga dan dinding dada, merupakan pompa muskuloskeletal yang mengatur
pertukaran gas dalam proses respirasi.
2
HIDUNG
Organ pertama yang berfungsi dalam saluran pernapasan. Terdiri dari tulang, tulang
rawan hyalin, otot lurik dan jaringan ikat.
Ada 2 bagian dari hidung, yaitu:
1. Eksternal : bagian menonjol dari wajah, disangga oleh os. Nasi dan tulang rawan
kartilago
2. Internal : permukaan yang bermukosa berupa rongga (vestibulum nasi) yang
disekat antara kanan-kiri oleh septum nasi
Terdapat vestibulum nasi yang terdapat silia kasar yang berfungsi sebagai saringan udara.
Bagian dalam rongga hidung ada yang berbentuk terowongan yang disebut cavum nasi
mulai dari nares anterior sampai ke nares posterior (choana) lalu ke nasofaring. Sekat
antara kedua rongga hidung dibatasi dinding yang berasal dari tulang dan mucusa yaitu
septum nasi yang dibentuk oleh:
1. Cartilago septi naso
2. Os vomer
3. Laminar perpendicularis os ethmoidalis
Dinding superior rongga hidung sempit, dibentuk lamina cribroformis ethmoidalis yang
memisahkan rongga tengkorak dengan rongga hidung. Dinding inferior dibentuk oleh os
maxilla dan os palatinum. Ada 2 cara pemeriksaan hidung yaitu rhinoscopy anterior dan
posterior. Pada anterior, di cavum nasi di sisi lateral terdapat concha nasalis yang
terbentuk dari tulang tipis dan ditutupi mukosa yang mengeluarkan lendir di medial
terlihat dinding septum nasi. Pada posterior, dapat terlihat nasofaring, choanae, bagian
ujung belakang conchae nasalis media dan inferior, juga terlihat OPTA yang
berhubungan dengan telinga.
Udara yang dihirup melalui hidung akan mengalami 3 hal:
1. Dihangatkan
2. Disaring
3. Dilembabkan
Ketiga hal di atas merupakan fungsi utama dari selaput lendir respirasi, yang terdiri atas
Pseudostrafied Ciliated Columnar Epithelium yang berfungsi menggerakkan parikel-
partikel halus ke arah faring sedangkan partikel yang besar akan disaring oleh bulu
hidung, sel goblet dan kelenjar serosa yang berfungsi melembabkan udara yang masuk,
pembuluh darah yang berfungsi menghangatkan udara. Ketiga hal tersebut dibantu
dengan concha.
Selain itu, fungsi hidung yang penting adalah menyalurkan udara ke saluran napas
berikutnya, dan sebagai alat pembau.
Terdapat 3 buah concha nasalis, yaitu:
1. Concha nasalis superior
2. Concha nasalis inferior
3. Concha nasalis media
Di antara concha nasalis superior dan media terdapat meatus nasalis superior. Antara
concha media dan inferior terdapat meatus nasalis media. Antara concha nasalis inferior
dan dinding atas maxilla terdapat meatus nasalis inferior. Fungsi chonca untuk
meningkatkan luas permukaan epitel respirasi dan untuk turbulensi udara dimana udara
lebih banyak kontak dengan permukaan mukosa.
Sinus-sinus yang berhubungan dengan cavum nasi disebut sinus paranasalis :
1. Sinus sphenoidalis mengeluarkan sekresinya melaluli meatus superior
2. Sinus frontalis ke meatus media
3. Sinus maxillaris ke meatus media
4. Sinus ethmoidalis ke meatus superior dan media
Di sudut mata terdapat hubungan antara hidung dan mata melalui ductus nasolacrimalis
tempat keluarnya air mata ke hidung melalui meatus inferior. Di nasofaring terdapat
hubungan antara hidung dan rongga telinga melalui OPTA(Osteum Pharyngeum Tuba
Auditiva) eustachii. Alurnya bernama torus tobarius.
Persarafan Hidung
Persarafan sensorik dan sekremotorik hidung :
1. Depan dan atas cavum nasi mendapat persarafan sensoris dari cabang
nervus opthalmicus.
2. Bagian lainnya termasuk mucusa hidung cavum nasi dipersarafi ganglion
sfenopalatinum. Nasofaring dan concha nasalis mendapat persarafan
sensorik dari cabang ganglion pterygopalatinum.
Nervus olfactorius memberikan sel-sel reseptor untuk penciuman. Proses penciuman:
pusat penciuman pada gyrus frontalis, menembus lamina cribrosa ethmoidalis ke traktur
olfactorius, bulbus olfactorius, serabut N.olfactorius pada mucusa atas depan cavum nasi.
Vaskularisasi Hidung
Ketiga pembuluh tersebut membentuk anyaman kapiler pembuluh darah yang dinamakan
Plexus Keisselbach. Plexus ini mudah pecah oleh trauma/ infeksi sehingga sering menjadi
sumber epistaksis pada anak. Bila Plexus Kisselbach pecah, maka akan terjadi epistaksis.
Epistaksis ada 2 macam, yaitu:
a. Epistaksis anterior
Dapat berasal dari Plexus Kisselbach, yang merupakan sumber perdarahan
parilng sering dijumpai pada anak-anak. Dapat juga berasal dari arteri
ethmoidalis anterior. Perdarahan dapat berhenti sendiri atau spontan dan dapat
dikendalikan dengan tindakan sederhana.
b. Epistaksis posterior
Berasal dari arteri sphenopalatina, dan arteri ethmoidalis posterior. Perdarahan
cenderung lebih berat dan jarang berhenti sendiri, sehingga dapat menyebabkan
anemia, hipovolemia, dan syok. Sering ditemukan pada pasien dengan penyakit
kardiovaskular.
FARING
Pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak sampai persambungannya dengan
esophagus pada ketinggian tulang rawan Krikoid. Maka letaknya di belakang larynx
(larynx-pharyngeal). Faring terbagi menjadi 3, yaitu:
a. Nasofaring terdapat Pharyngeal Tonsil dan Tuba Eustachius
b. Orofaring merupakan pertemuan rongga mulut dengan faring, terdapat
pangkal lidah, gabungan sistem respirasi dan pencernaan
c. Laringofaring, terjadi persilangan antara aliran dara dan aliran makanan
LARING
Daerah yang dimulai dari aditus laryngis sampai batas bawah cartilago cricoid. Rangka
laring terbentuk dari tulang rawan dan tulang. Laring adalah bagian terbawah dari saluran
napas atas.
a. Berbentuk tulang adalah os hyoid
b. Berbentuk tulang rawan adalah: tyroid 1 buah, arytenoid 2 buah, epiglotis 1 buah.
Pada arytenoid bagian ujung ada ulang rawan kecil cartilago cornuculata dan
cuneiforme.
Tulang rawan dan ototnya berasal dari mesenkim lengkung faring ke-4 dan ke-6.
Mesenkim berproliferasi dengan cepat, aditus laringis berubah bentuk dari celah sagital
menjadi lubang bentuk T. Mesenkim kedua lengkung faring menjadi kartilago tiroidea,
krikoidea serta antenoidea. Epitel laring berproliferasi dengan cepat. Vakuolisasi dan
rekanalisasi terbentuk sepasang resesus lateral, berdiferensiasi menjadi pita suara palsu
dan sejati.
Os hyoid : Mempunyai 2 buah cornu, cornu majus dan minus. Berfungsi
untuk perlekatan otot mulut dan cartilao thyroid
Cartilago thyroid : Terletak di bagian depan dan dapat diraba tonjolan yang disebut
promines’s laryngis atau lebih disebut jakun pada laki-laki. Jaringan ikatnya ad
Cartilago arytenoid : Mempunyai bentuk seperti burung penguin. Ada cartilago
corniculata dan cuneiforme. Kedua arytenoid dihubungkan M.arytenoideus transversus.
Epiglotis : Tulang rawan berbentuk sendok. Melekat di antara cartilago
arytenoid. Berfungsi untuk membuka dan menutup aditus laryngis. Saat menelan
epiglotis menutup aditus laryngis supaya makanan tidak masuk ke laring.
Cartilago cricoid : Batas bawah adalah cincin pertama trakea. Berhubungan dengan
thyroid dengan lig.cricothyroid dan M.cricothyroideus medial lateral.
Otot-otot laring:
1. Otot ekstrnsik laring
2. M.cricothyroid
3. M.thyroepigloticus
4. Otot intrinsik laring
5. M.cricoarytenoid posterior yang membuka plica vocalis. Jika terdapat gangguan
pada otot ini maka bisa menyebabkan orang tercekik dan meninggal karena rima
glottidis tertutup. Otot ini disebut juga safety muscle of larynx.
6. M.cricoarytenoid lateralis yang menutup plica vocalis dan menutup rima glottidis
7. M.arytenoid transversus dan obliqus
8. M.vocalis
9. M.aryepiglotica
10. M.thyroarytenoid
Dalam cavum laryngis terdapat:
Plica vocalis, yaitu pita suara asli sedangkan plica vestibularis adalah pita suara palsu.
Antara plica vocalis kiri dan kanan terdapat rima glottidis sedangkan antara plica
vestibularis terdapat rima vestibuli. Persyarafan daerah laring adalah serabut nervus
vagus dengan cabang ke laring sebgai N.laryngis superius dan N.recurrent.
b. Mikroskopik
Secara fungsional, saluran pernafasan dibagi menjadi dua, yaitu bagian konduksi (bagian
yang mentransport udara) dan bagian respiratori (tempat pertukaran gas). Bagian
konduksi meliputi saluran pernafasan atas dan saluran pernafasan bawah, sementara
bagian respiratori meliputi bronchiolus respiratori, ductus alveolaris, sacus alveolaris dan
alveoli.
Bagian Konduksi
Saluran pernafasan atas
Vestibulum nasi
Cavitas nasalis memiliki sepasang ruangan yang dipisahkan oleh septum nasi;
udara yang melewati cavitas ini dilembabkan dan dihangatkan sebelum masuk ke
paru-paru. Terdapat 3 jenis epitel yang ada pada cavitas nasalis, yaitu:
1. regio vestibularis dilapisi oleh sel epitel gepeng berlapis,
2. regio mucosa nasal dilapisi oleh epitel respiratori, dan
3. mucosa olfactorius dilapisi oleh epitel olfactori yang terspesialisasi.
Membrana Mucosa Nasalis
Pada kasus infeksi saluran pernfasan atas, ataupun karena reaksi alergi, dapat
terjadi inflamasi pada mucosa hidung (terutama concha inferior), sehingga
menghambat udara yang masuk melalui cavitas nasalis. Kondisi ini disebut
rhinitis. (Cui, 2011)
Epiglotis
Laring merupakan jalur pendek yang menghubungkan faring dengan trake; fungsi
utamanya adalah untuk menghasilkan suara dan untuk mencegah
makanan/minuman masuk ke trakea. Bangunan yang terdapat di laring antara lain
epiglottis, pita suara, dan sembilan kartilago yang terletak pada dindingnya
(termasuk juga cartilago thyroidea atau ‘jakun’). Epiglottis dilapisi oleh dua jenis
sel epitel, yaitu sel epitel gepeng berlapis (pada bagian lingual) dan sel epitel
respiratori (pada bagian laringeal).
Trakea
Trakea merupakan penampang
yang fleksibel, fungsinya adalah untuk menghubungkan laring dengan bro(1)
Mucosa melapisi bagian dalam dari trakea, dan terdiri dari epitel respiratori serta
lamina propia. (2) pada submucosa terdapat jaringan penyambung yang lebih padat
dari lamina propia. (3) Tulang rawan hyaline memiliki bentuk yang sangat khas,
yaitu seperti huruf C (beberapa hewan, misalnya tikus, memiliki tulang rawan
hyaline berbentuk O), dan jumlahnya adalah sebanyak 16-20 cincin sepanjang
trakea. (4) Adventitia terdiri dari jaringan penyambung, yang melapisi bagian luar
dari tulang rawan dan menghubungkan trakea ke jaringan sekitarnya.
Fungsi pernapasan:
a. Mengeluarkan air dan panas dari tubuh
b. Proses pengambilan O2 dan pengeluaran CO2 dalam paru
c. Meningkatkan aliran balik vena
d. Mengeluarkan dan memodifikasikan prostaglandin
Ketiga hal di atas merupakan fungsi utama dari selaput lendir respirasi, yang terdiri atas
Psedostrafied Ciliated Columnar Epitelium yang berfungsi menggerakkan partikel-
partikel halus ke arah faring sedangkan partikel yang besar akan disaring oleh bulu
hidung, sel golbet dan kelenjar serous yang berfungsi melembabkan udara yang masuk,
pembuluh darah yang berfungsi menghangatkan udara. Ketiga hal tersebut dibantu
dengan concha.
Fungsi chonca :
a. Meningkatkan luas permukaan epitel respirasi
b. Turbulensi udara dimana udara lebih banyak kontak dengan permukaan mukosa
Kelainan pada salah satu tahap respirasi eksternal dapat mempengaruhi kadar gas cairan
intestinal dan juga aktivitas sel. Contohnya Hipoksia (kurangnya level oksigen pada
tingkat sel) yang mempengaruhi aktivitas sel sekitarnya. Jika suplai oksigen benar-benar
terhalang ( anoxia). Dapat mengakibatkan mati.
Ventilasi pulmonal, merupakan proses pergerakan aliran udara keluar masuk saluran
pernafasan. Yang tujuan utamanya mengatur kecukupan pergerakan ventikular alveolar
udara keluar-masuk aveoli.
Pada saat mulai bernafas, tekanan dalam dan luar cavum toraks adalah sama, (tidak ada
pergerakan udara keluar-masuk paru).
Pada saat cavum toraks membesar, paru melebar untuk mengisi udara tambahan, yang
menjadikan peningkatan volume dan penurunan tekanan di dalam paru.
Aliran udara masuk kedalam paru pada saat tersebut, dikarenakan tekanan di dalam paru
lebbih kecil daripada tekanan luar paru.
Udara terus masuk kedalam paru sampai volume berhenti meningkat dan pekanan
internalsama dengan tekanan eksternal.
Ketika volum cavum toraks menurun, tekanan dalam paru akan meningkat, dan udara
terhembus keluar system pernafasan.
2.2 Mekanisme
Fungsi utama respirasi adalah memperoleh O2 untuk digunakan oleh sel tubuh dan
mengeluarkan CO2 yang diproduksi oleh sel. Respirasi selain mempunyai fungsi utama
tersebut, juga memiliki fungsi non respiratorik, sebagai berikut:
1. Sistem respirasi merupakan rute untuk mengeluarkan air dan mengeliminasi
panas.
2. Sistem respirasi meningkatkan aliran balik vena.
3. Sistem respirasi membantu mempertahankan kesimbangan asam-basa normal
dengan mengubah jumlah CO2 penghasil H+ yang dikeluakan.
4. Sistem respirasi memungkinkan kita untuk berbicara, bernyanyi, dan
vokalisasi lain.
5. Sistem respirasi merupakan sistem pertahanan terhadap benda asing yang
terhirup.
6. Sistem respirasi mengeluarkan, memodifikasi, mengaktifkan, atau
menginaktifkan berbagai bahan yang mengalir melewati sirkulasi paru.
7. Hidung, bagian dari sistem respirasi, berfungsi sebagai organ penciuman.
Untuk melaksanakan fungsi tersebut, respirasi terbagi dua, yaitu respirasi internal dan
respirasi eksternal.
1. Respirasi internal atau seluler, merujuk pada proses-proses metabolik
intrasel yang dilaksanakan di dalam mitokondria, yang menggunakan O2 dan
menghasilkan CO2 selagi mengambil energi dari molekul nutrien.
2. Respirasi eksternal, merujuk ke seluruh rangkaian kejadian dalam pertukaran
O2 dan CO2 antara lingkungan eksternal dan sel tubuh.
Karena
udara mengalir mengikuti penurunan gradient tekanan, tekanan intra-alveolus harus
lebih kecil daripada tekanan atmosfer agar udara mengalir masuk ke dalam paru
sewatu inspirasi (menarik napas) dan harus lebih besar daripada tekanan atmosfer
agar udara mengalir keluar paru sewaktu ekspirasi (menghembuskan napas).
Otot inspirasi utama adalah otot diafragma, yang dipersarafi oleh saraf frenikus.
Ketika berkontraksi (pada stimulasi saraf frenikus). Diafragma turun dan
memperbesar volum rongga toraks dengan meningkatkan ukuran vertical (atas ke
bawah). Selama pernapasan tenang, diafragma menurun sekitar 1 cm selama
inspirasi. Dinding abdomen, jika melemas, menonjol keluar sewaktu inspirasi
karena diafragma yang turun menekan ini abdomen ke bawah dan depan. Tujuh
puluh persen pembesaran rongga tiraks sewaktu inspirasi tenang dilakukan oleh
kontraksi diafragma.
Sewaktu inspirasi, tekanan intrapleura turun menjadi 754 mmHg karenaparu yang
sangat teregang cenderung menarik paru lebih jauh lagi dari dinding dada.
Sewaktu kontraksi aktif otot ekspirasi semakin mengurangi volume rongga toraks,
volume paru juga menjadi semakin berkurang karena paru tidak harus teregang
lebih banyak untuk mengisi rongga toraks yang lebih kecil; yaitu, paru dibolehkan
mengempis ke volume yang lebih kecil. Perbedaan antara tekanan intra-alveolus
dan atmosfer kini menjadi lebih besar daripada ketika ekspirasi pasif sehingga
lebih banyak udara keluar menuruni gradient tekanan sebelum tercapai
keseimbangan. Dengan cara ini pengosongan paru menjadi lebih tuntas
dibandingkan dengan ekspirasi tenang pasif
2.2 Etiologi
Rhinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik
dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada
ekspresi rhinitis alergi. Penyebab tersering adalah allergen inhalan pada dewasa dan
ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alegi lain seperti
urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rhinitis alergi dapat berbeda tergantung
dari klasifikasi.
Rhinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rhinitis alergi
perennial diantaranya debu tungau (Dermatophagoides farinae dan
Dermatophagoides pteronyssinus), jamur, binatang peliharaan, dan binatang pengerat.
Faktor resiko terpaparnya debu tungau biasanya karpet, sprei, suhu tinggi, dan
kelembaban udara. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah
beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang
kuat atau merangsang dan perubahan cuaca.
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
a. Allergen inhalan yang masuk bersama dengan udara pernafasan misalnya,
debu rumah, tungau, serpihan epitel bulu binatang, serta jamur.
b. Allergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya
susu, telur, coklat, ikan, dan udang.
c. Allergen injektan yang masuk melalui suntikan atau tusukan misalnya
penisilin atau sengatan lebah.
d. Allergen kontaktan yang masuk melalui kontak dengan kulit atau
jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.
2.3 Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu
immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase
allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam
dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit
yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap
alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan
membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II
membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex)
yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan
melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk
berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti
IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga
sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di
sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel
mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini
disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa
yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan
mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan
basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed
Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed
Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien
C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-
4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan
lain- lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak
berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam
setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel
inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung
serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony
Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala
hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator
inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic
Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase
(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik
dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca
dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat
non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil
seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
3. Respon tersier
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1,
atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi
sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi
tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan
jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis
alergi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008)
2. Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu
bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi
hidung. Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang
pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering
digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic salute).
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan sitologi hidung tidak memastikan diagnosis, tetapi berguna sebagai
pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak (5 sel/lapang
pandang) menunjukkan kemungkinan alergi. Hitung jenis eosinofil dalam darah tepi
dapat normal atau meningkat. Pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilai
normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu penyakit. Lebih bermakna
adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan cara RAST (Radioimmuno Sorbent Test)
atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Test). Uji kulit alergen penyebab dapat
dicari secara invivo.
Ada dua macam tes kulit yaitu tes kulit epidermal dan tes kulit intradermal. Tes
epidermal berupa tes kulit gores (scratch) dengan menggunakan alat penggores dan
tes kulit tusuk (skin prick test). Tes intradermal yaitu tes dengan pengenceran tunggal
(single dilution) dan pengenceran ganda (Skin Endpoint Titration – SET). SET
dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai
konsentrasi. Selain dapat mengetahui alergen penyebab, juga dapat menentukan
derajat alergi serta dosis inisial untuk imunoterapi. Selain itu, dapat pula dilakukan tes
provokasi hidung dengan memberikan alergen langsung ke mukosa hidung. Untuk
alergi makanan, dapat pula dilakukan diet eliminasi dan provokasi atau
Intracutaneous Provocative Food Test (IPFT).
Tatalaksana terapi
1. Non-farmakologi:
a. Hindari pencetus (alergen)
b. Amati benda-benda apa yang menjadi pencetus(debu, serbuk sari, bulu
binatang, dll)
c. Jika perlu, pastikan dengan skin test
d. Jaga kebersihan rumah, jendela ditutup, hindari kegiatan berkebun. Jika harus
berkebun, gunakan masker wajah
2. Farmakologi :
Jika tidak bisa menghindari pencetus, gunakan obat-obat anti alergi seperti:
1) Anti histamine oral, antagonis H-1 (difenhidaramin, prometasin, loratadin,
setisirin, fexofenadin)
2) Agonis alfa adrenergic, sebagai dekongestan hidung oral dengan atau
tanpa kombinasi anti histamine
3) Kortikosteroid topikal, bila gejala sumbatan tidak dapat diobati dengan obat lain
(beklometason, budesonid, flunisolid, triamsinolon).
4) Sodium kromoglikat topikal, bekerja menstabilkan mastosit sehingga pelepasan
mediator kimia dihambat.
5) Antikolinergik topikal, mengatasi rhinorea karena inhibisi reseptor
kolinergik pada permukaan sel efektor (ipratropium bromida).
6) Anti leukotrine (zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA
rekombinan merupakan obat-obatan baru untuk rhinitis alergi.
Jika tidak berhasil, atau obat-obatan tadi menyebabkan efek samping yang tidak
bisa diterima, lakukan imunoterapi dengan terapi desensitasi
Penggolongan AH1
AH generasi 1
Contoh : Etanolamin
Etilenedamin
Piperazin
Alkilamin
Derivat fenotiazin
Keterangan AH1
- sedasi ringan-berat
- antimietik dan komposisi obat flu
- antimotion sickness
Efek samping
Vertigo, tinitus, lelah, penat, inkoordinasi, insomnia, tremor, mulut kering,
disuria, palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat, lemah pada tangan.
Dekongestan Nasal
1) Golongan simpatomimetik
2) Beraksi pada reseptor adrenergik pada mukosa hidung untuk
menyebabkan
3) Vasokonstriksi, menciutkan mukosa yang membengkak,dan
memperbaiki pernafasan
4) Penggunaan dekongestan topikal tidak menyebabkan atau sedikit sekali
menyebabkan absorpsi sistemik
5) Penggunaan agen topikal yang lama (lebih dari 3-5 hari)dapat
menyebabkan rhinitis medikamentosa, di mana hidung kembali
tersumbat akibat vasodilatasi perifer maka batasi penggunaan
6) Contoh Obat : nafazolin,tetrahidrozolin,oksimetazolin dan
xilometazolin
Dekongestan oral
1) Secara umum tidak dianjurkan karena efek klinis masih diragukan dan
punya banyak efek samping
Contoh obat: Efedrin,fenilpropanolamin dan fenilefrin
2) Indeks terapi sempitresiko hipertensi
3) Efedrin= Adalah alkaloid yang terdapat dalam tumbuhan efedra.
Efektif pada pemberian oral, masa kerja panjang, efek sentralnya kuat.
Bekerja pada reseptor alfa, beta 1 dan beta 2.
Efek kardiovaskular : Tekanan sistolik dan diastolik meningkat, tekanan
nadi membesar. Terjadi peningkatan tekanan darah karena
vasokontriksi dan stimulasi jantung. Terjadi bronkorelaksasi yang
relatif lama.
Efek sentral : Insomnia, sering terjadi pada pengobatan kronik yang dapat
diatasi dengan pemberian sedatif.
a). Fenilpropanolamin
Dekongestan nasal yang efektif pada pemberian oral. Selain
menimbulkan konstriksi pembuluh darah mukosa hidung, juga
menimbulkan konstriksi pembuluh darah lain sehingga dapat
meningkatkan tekanan darah dan menimbulkan stimulasi jantung.
Harus digunakan sangat hati-hati pada pasien hipertensi dan pada pria
dengan hipertrofi prostat. Kombinasi obat ini dengan penghambat
MAO adalah kontra indikasi. Obat ini jika digunakan dalam dosis besar
(>75 mg/hari) pada orang yang obesitas akan meningkatkan kejadian
stroke, sehingga hanya boleh digunakan dalam dosis maksimal 75
mg/hari sebagai dekongestan.
Dosis. Dewasa : 25 mg/4 jam
Anak-anak 6-12 tahun : 12,5 mg/4 jam
Anak-anak 2-5 tahun : 6,25 mg/4 jam
b). Fenilefrin
Adalah agonis selektif reseptor alfa 1 dan hanya sedikit mempengaruhi
reseptor beta. Hanya sedikit mempengaruhi jantung secara langsung
dan tidak merelaksasi bronkus. Menyebabkan konstriksi pembuluh
darah kulit dan daerah splanknikus sehingga menaikkan tekanan darah.
Sodium kromolin
a. Suatu penstabil sel mast sehingga mencegah degranulasi sel mast dan
pelepasan mediator, termasuk histamin.
b. Tersedia dalam bentuk semprotan hidung untuk mencegah dan mengobati
rhinitis alergi.
c. Efek sampingnya : iritasi lokal (bersin dan rasa perih pada membran
mukosa hidung
d. Dosisnya untuk pasien di atas 6 tahun adalah 1 semprotan pada setiap
lubang hidung 3-4 kali sehari pada interval yang teratur.
Ipratropium bromida
a. Merupakan agen antikolinergik berbentuk semprotan hidung
b. Bermanfaat pada rhinitis alergi yang persisten atau perennial
c. Memiliki sifat anti sekretori jika digunakan secara lokal dan bermanfaat
untuk mengurangi hidung berair yang terjadi pada rhinitis alergi.
d. tersedia dalam bentuk larutan dengan kadar 0,03%,diberikan dalam 2
semprotan (42 mg) 2- 3 kali sehari.
e. Efek sampingnya ringan, meliputi sakit kepala, epistaxis,dan hidung terasa
kering.
Operatif
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka
inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kateurisasi
memakai AgNO3 25 % atau troklor asetat (Roland, McCluggage,Sciinneider, 2001).
Polip mukoid jinak pada hidung sering kali dihubungkan dengan alergi hidung . dapat
terjadi pada anak-anak namun lebih sering ditemukan pada orang dewasa . karena
menyumbat jalan napas , polip seringkali dirasakan sangat mengganggu . setelah lesi
penyumbat diidentifikasi sebagai polip jinak , maka lesi tersebut dapat diangkat .
Pasien harus di peringatkan , bahwa polip dapat kembali kambuh bilamana ada
alergi , sehingga polip perlu berkali-kali diangkat selama hidup . polip umumnya
berasal dari sinus .
Imunoterapi (Desensitisasi)
1. Bersifat kausatif
2. Imunoterapi merupakan proses yang lambat dan bertahap dengan menginjeksikan
alergen yang diketahui memicu reaksi alergi pada pasien dengan dosis yang
semakin meningkat.
3. Tujuannya adalah agar pasien mencapai peningkatan toleransi terhadap alergen,
sampai dia tidak lagi menunjukkan reaksi alergi jika terpapar oleh senyawa
tersebut
Namun imunoterapi terbilang mahal dan butuh waktu lama dan membutuhkan komitmen
yang besar dari pasien
2.7 Prognosis
Secara umum, pasien dengan rinitis alergi tanpa komplikasi yang respon dengan
pengobatan memiliki prognosis baik. Pada pasien yang diketahui alergi terhadap
serbuk sari, maka kemungkinan rinitis pasien ini dapat terjadi musiman. Prognosis
sulit diprediksi pada anak-anak dengan penyakit sinusitis dan telinga yang berulang.
Prognosis yang terjadi dapat dipengaruhi banyak faktor termasuk status kekebalan
tubuh maupun anomali anatomi. Perjalanan penyakit rinitis alergi dapat bertambah
berat pada usia dewasa muda dan tetap bertahan hingga dekade lima dan enam.
Setelah masa tersebut, gejala klinik akan jarang ditemukan karena menurunnya sistem
kekebalan tubuh. Penderita rinitis alergi mempunyai resiko berlanjut menjadi asma
(3). Rinitis alergi dan asma merupakan penyakit inflamasi yang sering timbul
bersamaan. Dokter perlu mengevaluasi adanya riwayat asma pada pasien dengan
rinitis alergi yang menetap. Evaluasi dapat dilakukan melalui pemeriksaan sinar X,
pemeriksaan adanya sumbatan saluran nafas sebelum dan sesudah pemberian
bronkodilator.
Bukti epidemiologis adanya hubungan antara rinitis dan asma adalah 1) prevalensi
asma meningkat pada rinitis alergi dan non alergi; 2) rinitis hampir selalu dijumpai
pada asma; 3) rinitis merupakan faktor resiko terjadinya asma; dan, 4) pada persisten
rinitis terjadi peningkatan hipereaktivitas bronkus non spesifik.
c) Membasuh wajah dan kedua tangan hingga kedua siku memiliki manfaat yang
sangat besar dalam menghilangkan keringat dari permukaan kulit, Air wudhu
juga berfungsi membersihkan kulit dari kandungan minyak yang tertahan di
kelenjar kulit.
Manfaat Wudhu
Rasul SAW pernah bersabda, "Sempurnakan wudhu, lakukan istinsyaq
(memasukkan air ke hidung), kecuali jika kamu berpuasa." Selain itu, wudhu juga
memiliki beberapa manfaat lain
M
DAFTAR PUSTAKA
Huriyati E, Hafiz A. Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi yang Disertai Asma
Bronkial. Padang: Bagian Ilmu Kesehatan THT Bedah Kepala dan Leher FK Universitas
Andalas.
Sherwood, L. 2014. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC
Soepardi EA, et all. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala
& Leher Edisi 7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. (p: 106 – 111).