Anda di halaman 1dari 7

“Jum’atku Yang Kelabu”

Cahaya muncul dari lensa lampu di atas meja kamar tua. Ruangan itu
memang kuno, tapi tertata dengan rapi. Lampu klip pada sebuah kamera sengaja
dinyalakan untuk merekam semua kejadian yang akan terjadi. Seduhan kopi panas
yang disajikan untuk pria itu mengeluarkan asap yang menyebar di udara.
Pembicaraan itu seperti acara ngobrol di warung remang-remang malam hari.
“Apa kau sudah siap?”
Ia memandangku sambil mengangkat kening.
“Kau pikir begitu?”
“Kapan pun kau siap, aku akan menunggumu.”
Jari tangannya yang keriput mulai bergerak memukul meja secara
bergantian. Kerutan pipinya memunculkan sebuah senyuman.
“Ehmm... baiklah. Darimana kita mulai?”
“Baiklah. Jadi, siapa namamu?”
“Namaku Halidy, panggil saja aku Ady.”
“Istri?”
“Istriku meninggal karena kecelakaan di Banjarmasin.”
“Aku turut berduka.”
“Mungkin sudah takdir dari-Nya.”
“Maaf, apakah lampu ini mengganggu penglihatanmu?”
“Tidak masalah, aku masih bisa melihat. Apa kau punya rokok?”, tanyanya sambil
melihat ke arahku.
“Tunggu sebentar.”
Kugerakkan diriku untuk mencari apa yang ia inginkan.
“Ini kubawakan satu bungkus rokok, dan ini asbaknya.”
“Terima kasih.”
Sebuah pemantik keluar dari kantong bajunya yang sudah memutih. Pakaian
yang ia kenakan menggambarkan sosok yang sudah berbeda dengan zaman ini.
Rambut yang memutih di kepala menjadi simbol bahwa pria ini telah melewati
berbagai macam cerita kehidupan. Tangannya bergerak menyulutkan sebatang
rokok ke mulut. Lalu...
“Jadi, apa yang kau inginkan?”, tanyanya sambil mengubah posisi duduk.
“Tolong jelaskan bagaimana peristiwa itu bisa terjadi.”
“Aku ini sudah tua, mungkin beberapa peristiwa itu sudah hilang dari pikiranku.”
“Tidak masalah, apa pun yang masih kau ingat.”
“Hari itu sangat membara.”
“Apa yang kau maksud?”
“Hari itu orang-orang berkumpul di lapangan dengan riang gembira. Saat itu, aku
berusia sembilan tahun. Aku melihat banyak sekali bendera kuning bergantungan
di tiang yang menyebar pada jalan menuju lapangan. Aku juga melihat becak
kuning berderet membentuk barisan. Semua orang serasi dengan baju yang sama.
Warna cerah baju itu seimbang dengan lambang pohon lebat ditengahnya.”
“Apa yang kau rasakan saat itu?”
“Saat itu aku merasa senang, karena aku melihat orang-orang di sekelilingku
senang. Waktu itu aku masih kecil. Jadi, perasaanku tergantung pada lingkungan
sekitar. Namun sekarang aku sudah mengerti. Seharusnya semua itu tidak terjadi.”
“Apa kau bisa menjelaskannya dari awal?”
“Hari itu berjalan seperti biasa. Ayah membangunkanku dari tidur agar bersiap
pergi ke masjid. Ia juga membangunkan kakakku di kamarnya. Namun, kakakku
selalu menolak ajakan ayah. Ia selalu berkata, “Jangan ganggu aku. Nanti aku
shalat di rumah!”. Akhirnya, hanya aku dan ayahku pergi ke masjid.”
“Bagaimana dengan ibumu?”
“Ibuku sudah meninggal dua tahun sebelum kejadian itu. Kini kami hanya bertiga.
Ayahlah yang mencukupi semua kebutuhan kami. Walaupun ayah hanya seorang
pedagang baju, beliau masih sanggup menyekolahkan kami berdua.”
“Maaf.” sahutku pelan.
“Iya, tidak apa-apa.”
“Lalu, apa yang terjadi ?”
“Setelah selesai shalat, kami pergi ke warung nasi untuk membeli sarapan. Ayahku
membeli tiga bungkus nasi pecel. Dia tahu kalau aku dan kakakku sangat suka nasi
kuning...”
Raut wajah pria itu berubah. Jarinya meletakkan sisa rokok di asbak. Mulai
terdengar suara isakan tangis. Air menetes dari matanya hingga membasahi pipi.
Ruangan yang hening menjadi pengantar perasaan pria itu kepadaku. Aku dapat
merasakan kesedihan yang mendalam darinya. Ia menarik nafas dalam dan
menghembuskannya, kemudian ia berkata “Maaf, aku teringat pada orang tuaku”
“Aku yang seharusnya minta maaf. Apakah kamu bisa melanjutkannya?” sahutku.
***
Ia mengusap kedua matanya dengan lengan baju. Tatapannya melihat keluar
jendela sambil barkata “Tentu saja aku bisa melanjutkannya.”
“Kapan pun kau siap.”
“Kami duduk menunggu pesanan. Kudengarkan orang-orang yang sedang asyik
mengobrol. Mereka mengatakan bahwa akan diadakan kampanye di lapangan
Kamboja hari ini. Aku penasaran. Di tengah perjalanan menuju rumah, aku
bertanya kepada ayah. “Ayah, apa itu kampanye ?”. Ayahku menjawab, “Itu
adalah acara mencari pendukung sebanyak mungkin untuk memenangkan suatu
pemilihan umum.”. Aku menjawab “aku tidak paham”. Ayahku berkata, “Nanti
kamu paham.”
Tangannya bergerak menuju tangkai gelas yang berisi kopi. Seduhan air itu
masih mengeluarkan asap yang dapat dilihat dari tempat duduk. Akhirnya, gelas itu
sampai ke mulutnya. Serupan kopi dapat kudengar dengan jelas. Setelah serupan
ketiga, ia pun meletakkan gelas itu di atas meja dan kembali melanjutkan ceritanya.
“Saat kami tiba di rumah, waktu sudah menunjukkan jam setengah tujuh.”
“Apa yang kau lakukan di rumah?”
“Kami langsung sarapan. Kakakku memberitahu bahwa ia akan pergi ke kampanye
bersama temannya. Akan tetapi, ayah melarangnya untuk pergi ke kampanye itu.
Kakakku diam. Raut wajahnya mulai berubah. Mungkin, karena mendengar ucapan
ayah. Tangannya langsung bergerak menjatuhkan semua benda yang berada di atas
meja. Cangkir kaca yang berisi air terlempar ke dinding rumah. Ketegangan di
rumah itu memuncak. Sarapan yang seharusnya menjadi tempat bertukar pikiran
antara keluarga berubah menjadi “civil war”. Amarah terlihat di wajahnya. Ia
langsung beranjak ke kamarnya dan mengunci diri. Aku diam membisu melihat
perilaku kakakku terhadap ayah yang tidak wajar.”
“Apa ada yang salah pada kakakmu?”
“Kakakku orang yang sangat baik. Saat belajar, ia sering menemaniku. Bahkan, ia
juga membantuku mengerjakan tugas. Kami juga sering bermain bersama, hingga
ia rela mengumpulkan uang demi membelikanku mainan. Ia juga sangat cerdas,
sampai-sampai menjadi murid teladan disekolahnya. Namun, perilakunya mulai
berubah saat ia masuk bangku SMA. Ia selalu pulang sore hari. Seragam rapi yang
biasa ia kenakan berubah menjadi seragam preman jalanan. Kalau kau melihatnya
pasti berpikir ‘Apakah ini murid teladan?’. Aku pernah melihatnya menyulutkan
rokok di mulut saat ia pulang sekolah. Bahkan, aku juga pernah melihat kakakku
membolos dengan seragamnya di pinggir jalan bersama teman-temannya.”
“Mengapa kakakmu bisa berubah seperti itu?”
“Mungkin ia salah memilih teman, ditambah lagi wafatnya ibu yang meninggalkan
kesedihan sangat mendalam baginya. Kakakku sangat dekat dengan ibu, sedangkan
aku sangat dekat dengan ayah. Namun, ia tetap menjadi orang yang terbaik bagiku.”
“Maaf, bisa kita lanjutkan ceritanya?”, tanyaku penasaran.
Pria itu tertawa ringan dan berkata “Maaf. Boleh minta rokok lagi ?”
“Itu bungkus rokoknya, ada disamping lampu.”, jawabku sambil tersenyum.
“Terima kasih.”
Ia kembali menyulutkan rokok ke mulut. Kepulan asap baru yang keluar
dari mulutnya membangkitkan suasana, seakan-akan mendorongku untuk
mengatakan “apa yang selanjutnya terjadi?”, sebagai penawar rasa ingin tahuku.
Akhirnya, pria itu melanjutkan ceritanya.
“Setelah itu, ayahku pergi ke tokonya dan aku fokus mengerjakan tugas sekolah
yang belum selesai. Hari itu sekolahku diliburkan karena berbagai alasan yang tidak
kumengerti. Kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul sembilan. Kakakku
keluar dari kamarnya dengan pakaian serba kuning. Ikatan selempang merah putih
di kepala menambah kejantanannya.”
“Jadi, kakakmu tetap pergi?”
“Ya, Ia ingin pergi.”
“Lalu?”
“Kakakku pergi ke garasi. Dengan sigap, ia langsung mengganti knalpot
kendaraannya. Ia juga memberikan hiasan kuning pada tunggangannya itu. Aku
diajak untuk ikut pergi bersamanya.”
Pria itu tersenyum sambil mengalihkan pandangan dari kamera. Dari
senyumnya itu, aku sudah dapat berpikir. ‘Pasti ia ikut bersama kakaknya’,
gumamku dalam hati. Aku langsung bertanya...
“Kemana kalian berdua pergi?”
“Bersenang-senang”, jawabnya sambil tertawa ringan.
“Maksudmu?”
“Kami berdua pergi ke lapangan Kamboja. Aku merasa sangat senang. Bunyi
nyaring knalpot kendaraan setia mendampingi kami sampai ketujuan. Aku kagum
melihat banyak sekali bendera kuning yang menyebar di kiri dan kanan.
Sesampainya dilapangan, kami langsung disuguhkan dengan sorakan riuh orang-
orang. Aku tidak paham apa yang mereka sorakkan.”
“Kalau boleh tahu, jam berapa saat itu?”
Mata pria itu mulai tertutup. Kerutan dahinya muncul untuk mencari sesuatu
yang hilang. Kepulan asap yang menyebar di udara telah sirna. Orang tua itu
membuang sisa rokoknya ke dalam asbak. Matanya mulai membuka dan ia
mendapatkan sesuatu yang hilang itu.
“Ooo ya...!!, aku ingat. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh. Saat itu, aku
melihat panitia membawa plastik besar berisi makanan dan membagikan makanan
itu kepada peserta kampanye. Semua orang yang berada disana mendapatkan
bagiannya masing-masing. Aku juga melihat ada seseorang yang berdiri di atas
panggung sambil berteriak. Apapun yang ia teriakkan, semua orang yang berada di
bawah panggung juga ikut berteriak.”
“Apa yang kau lakukan disana?”
“Aku duduk di tepi jalan sambil menikmati santapan yang dibagikan panitia.
Sedangkan kakakku duduk bersama teman-teman gang motornya. Tidak terasa jam
sudah menunjukkan pukul sebelas. Kulihat seseorang berjalan menuju ke arahku.”
“Siapa dia?”
“Ayahku. Ia mengajakku untuk segera pulang. Ayah langsung menyerang kakakku
yang berada di kumpulan gang motornya. Ia berdebat panjang dengan kakak.
Ekspresi berubah pada wajah mereka. Suara keluar dengan nada tinggi hingga
mengagetkan orang-orang sekitar. Suasana sekitar berubah akibat perdebatan
mereka berdua. Akhirnya, ayahku mengayunkan tangannya ke pipi saudaraku itu.”
“Bagaimana dengan dirimu?”
“Ayah membawaku pulang dan meninggalkan kakak di sana. Aku hanya bisa
menangis hingga sampai ke rumah. Ia mengatakan “Jangan jadi seperti kakakmu,
dia anak yang durhaka!!!”. Aku diam seribu kata mendengarkan ucapan ayah.
Tetesan air mulai keluar lagi dari matanya. Namun, kali ini lebih hebat.
Siapapun yang mendengarkan pasti hatinya tersentuh. Secara tidak sadar, aku juga
meneteskan air mata. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
”Cerita ini harus tetap berlangsung” gumamku dalam hati.
“Lalu ?”
“Aku dan ayah pergi ke Masjid M. Noor di jalan Pangeran Samudra untuk shalat
Jum’at. Para jama’ah masjid sangat banyak hingga ada yang shalat di jalan. Selesai
beribadah, aku mendengar suara bising yang sangat mengganggu. Aku langsung
berdiri mencari sumber suara. Dari depan masjid kulihat geng motor melewati jalan
sambil bersorak gembira. Kulihat mereka semua memakai seragam kuning. Padahal
di jalan itu masih ada yang shalat dan berdo’a. Para petugas masjid sudah melarang
mereka untuk melewati jalan itu. Namun, mereka nekad menerobos para petugas.”
“Bagaimana dengan jama’ah lain?”
“Para jama’ah langsung emosi. Mereka semua marah karena merasa terganggu dan
tidak dihormati ketika beribadah. Dari dalam masjid kudengar ada yang berteriak
“Hancurkan mereka!!”. Lantas, para jama’ah langsung berlarian keluar dari dalam
masjid dengan amarah yang membara.”
“Bagaima dengan dirimu?”
“Ayah membawaku pulang dengan cepat. Kulihat raut wajahnya menampakkan
ketakutan. Sesampainya di rumah, ia langsung mengunci pintu dan menghubungi
keluarga kami yang berada di jalan Pangeran Antasari seberang pusat Mitra Plaza.”
“Apa kamu bisa menjelaskan kejadian yang terjadi selanjutnya?”
“Menurut cerita ayahku, orang-orang pergi menyerang kantor DPD partai tersebut.
Mereka semua membawa senjata, seperti mandau, clurit, dan parang. Kerusuhan
tidak dapat dihindari. Kantor itu hancur lebur. Entah kenapa, orang-orang beranjak
pergi menuju sebuah gereja katedral dan membakarnya. Pemadam kebakaran tidak
bisa memadamkan api karena dihalangi oleh massa yang brutal. Mereka
mengancam barang siapa yang berusaha memadamkan api akan dibunuh.”
∗∗∗
Aku menutup mata dengan perlahan sambil membayangkan kejadian itu.
Aku tak habis pikir. “Mengapa peristiwa itu bisa terjadi?”
Wanita yang rela melepaskan seragam kampanye di tengah jalan untuk
menghindari amukan massa. Gedung Junjung Buih berlantai delapan yang hangus.
Karyawan bank yang berusaha menyelamatkan uang nasabah di kalungi clurit.
Pukul 15.00 WITA, Gereja Huria Kristen Batak Protestan dilalap api.
Rumah di belakangnya tidak luput menjadi abu. Api membara. Orang China berlari
kencang karena rumahnya diserang. Mobil yang meledak di jalan. Pasar swalayan
yang dijarah sampai kering. Mereka semua mengatakan, “Ini belum seberapa.”
Hotel para artis yang di ringkus orang-orang brutal. Lapangan yang kucinta
di bakar. Memang hari itu sangat membara. Penduduk kampung mulai gelisah.
Tepat di seberang rumah neneknya, Mitra Plaza menjadi bahan bakar api.
Di sisi lain, mulai berdatangan pasukan Hercules dari udara. Sangat banyak.
Dengan berani mereka melumpuhkan massa. “Serang!!!” begitu kata mereka.
Korban mulai berjatuhan. Koran lokal Minggu pagi memberitakan bahwa sudah
184 orang tidak bernyawa. Diantara mereka menjadi bahan bakar api di pertokoan
Mitra Plaza. Dua orang tewas karena terkena senjata yang terlempar di udara.
Kulihat dirinya mengalihkan pandangan dari kamera. Aku tahu, pasti ia
menahan dirinya untuk tidak mengeluarkan air mata. Mungkin, peristiwa itu hanya
pertama dan terakhir di negeriku ini. Negeri Bhineka Tunggal Ika. Ini yang terakhir.
***
“Bagaimana dengan kakakmu?” diriku bertanya sambil mengusap mata.
Pria itu memandang ke kamera sambil tersenyum. Bibirnya berucap...
“Selamat jalan..., kakak.”

Anda mungkin juga menyukai