Anda di halaman 1dari 12

ANALISA KEBIJAKAN

PEMANFAATAN DANA KAPITASI JKN PADA FKTP

DISUSUN OLEH KELOMPOK 5

Nama Anggota NPM


Devi Dwi Rahayu 01180000014
Fitranta Egi Wijaya 01180000032
Ikrila 01180000021
Melizha Handayani 01180000019
Nyimas Syifa Maulidia 01180000024

PROGRAM STUDI SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INDONESIA MAJU
JAKARTA, 2021
PENDAHULUAN
Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan menjadi hal yang sangat penting
dalam kehidupan. Undang-undang No. 36 Tahun 2009 menegaskan bahwa setiap orang
mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses sumber daya perawatan kesehatan
dan menerima perawatan kesehatan yang aman, berkualitas tinggi, dan terjangkau. Menurut
laporan WHO tahun 2010, jaminan kesehatan bertujuan untuk: memastikan bahwa setiap
orang memiliki akses ke layanan kesehatan yang dibutuhkan (upaya motivasi, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif) yang berkualitas tinggi dan efektif, dan untuk memastikan bahwa
semua layanan kesehatan dapat mencakup orang-orang yang mengalami kesulitan
keuangan (1). Menurut Komite Nasional di Indonesia, dana kapitasi untuk pembayaran
pelayanan kesehatan berasal dari iuran peserta JKN yang merupakan bagian dari
mekanisme pembayaran kapitasi.
Negara wajib menjamin kesehatan penduduknya sebagaimana tercantum dalam
Pasal 34 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Setiap warga negara berhak mendapatkan fasilitas kesehatan sebagaimana diatur dalam
Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir
dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Sistem Jaminan Sosial Nasional diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2004 yang menegaskan bahwa Sistem Jaminan Sosial Nasional dimaksudkan untuk
memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar setiap peserta dan/atau anggota keluarga untuk
hidup layak. Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah suatu proses bagi beberapa lembaga
penyelenggara jaminan sosial untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. Jaminan
kesehatan merupakan salah satu skema jaminan sosial (2). Sedangkan defisini JKN
berdasarkan Perpres No. 32 Tahun 2014 adalah jaminan dalam bentuk perlindungan
kesehatan yang ditujukan untuk memastikan peserta mendapatkan manfaat pemeliharaan
kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial, dibentuk badan penyelenggara jaminan sosial yang berbentuk badan
hukum untuk mewujudkan sistem jaminan sosial nasional dan amanat ketentuan Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2004. BPJS Kesehatan salah satunya, dan menyelenggarakan
skema jaminan kesehatan. Sejak BPJS Kesehatan beroperasi pada 2014, Kementerian
Kesehatan, Kementerian Pertahanan, TNI, Polri, dan PT Jamsostek tidak lagi
menyelenggarakan program sejenis Jaminan Kesehatan.
BPJS membayar fasilitas kesehatan berdasarkan pelayanan yang diberikan kepada
peserta, hal tersebut diterapkan agar BPJS dapat membayar fasilitas kesehatan secara
efektif dan efisien. Anggaran tersebut mencakup jasa medis, biaya perawatan dan
penunjang, serta biaya obat-obatan yang rinciannya diatur oleh pimpinan rumah sakit.
Menurut Komite Nasional di Indonesia, dana kapitasi untuk pembayaran pelayanan
kesehatan berasal dari iuran peserta JKN yang merupakan bagian dari mekanisme
pembayaran kapitasi. Sistem pembayaran perawatan kesehatan individu adalah swasta,
kecuali orang miskin diganti oleh pemerintah(3).
BPJS Kesehatan melakukan pembayaran kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama (FKTP) berdasarkan kapitasi. Pembayaran secara kapitasi adalah metode
pembayaran yang diberikan untuk jasa pelayanan kesehatan berdasarkan jumlah per
peserta, per periode waktu untuk pelayanan yang telah ditentukan. DalamPermenkes
Nomor 21 Tahun 2016 Pasal 1 (3), dana kapitasi adalah besaran pembayaran per bulan
dimuka kepada FKTP berdasarkan jumlah peserta terdaftar tanpa memperhitungkan jenis
dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan(4).
Dana kapitasi merupakan hal yang sangat penting karena diperlukan untuk kegiatan
operasional pelayanan kesehatan, sehingga dana kapitasi perlu dikelola dan dimanfaatkan
dengan baik agar tujuan penyelenggaraan jaminan sosial dapat tercapai secara maksimal.
Kajian ini membahas mengenai pemanfaatan dana kapitasi JKNpada FKTP dengan model
analisis kebijakan yang digunakan yaitu pendekatan Walt dan Gilson yang terdiri dari aspek
konten, konteks, proses, dan aktor kebijakan(5).

ANALISIS KEBIJAKAN
Kesehatan merupakan salah satu masalah yang dihadapi oleh setiap negara, tidak
terkecuali negara berkembang seperti Indonesia. Untuk menyelesaikan atau mengatasi
permasalahan kesehatan yang ada, maka dibuatlah suatu kebijakan oleh pemerintah untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Negara memiliki kewajiban untuk mengembangkan
sistem jaminan sosial bagi warga negaranya untuk mencegah munculnya ketidakadilan
dalam hal mendapatkan pelayanan kesehatan.Dalam hal ini tentu BPJS sebagai badan
penyelenggara JKN menghadapi berbagai tantangan, salah satunya yaitu dalam pengelolaan
dan pemanfaatan dana kapitasi sebagai model pembayaran FKTP.
Pada kesempatan ini, kebijakan kesehatan yang dianalisa oleh penulis yaitu
mengenai kebijakan pemanfaatan dana kapitasi JKN pada Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama (FKTP).

KONTEN KEBIJAKAN
Kebijakan pemanfaatan dana kapitasi JKN pada FKTP tercantum pada Peraturan
Presiden Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Kapitasi serta
tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2016 tentang Penggunaan
Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional untuk Jasa Pelayanan Kesehatan dan Dukungan
Biaya Operasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah.
Selain itu, kebijakan dana kapitasi untuk FKTP juga tercantum dalam Permenkes No. 28
dan No. 59 Tahun 2014.
Pada Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2014, diatur mengenai pengelolaan dan
pemanfaatan dana kapitasi JKN pada FKTP milik daerah yang belum menerapkan pola
pengelolaan keuangan BLUD. Dalam Perpres ini telah diatur secara jelas dan rinci
mengenai pemanfaatan dana kapitasi JKN dan tugas dari Kepala FKTP, SKPD Dinas
Kesehatan, Bendahara Dana Kapitasi JKN pada FKTP, serta Aparat Pengawasan Intern
Pemerintah Kabupaten/Kota.
Pembayaran dana kapitasi berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar di FKTP dan
sesuai data dari BPJS Kesehatan, kemudian dibayarkan langsung oleh BPJS Kesehatan
kepada bendahara dana kapitasi JKN pada FKTP. Dalam Perpres ini juga diatur bahwa
Kepala FKTP diwajibkan menyampaikan rencana pendapatan dan belanja dana kapitasi
JKN tahun berjalan kepada Kepala SKPD Dinas Kesehatan. Jika dana kapitasi yang
didapatkan dari BPJS Kesehatan tidak digunakan seluruhnya oleh FKTP pada tahun
anggaran, dana tersebut digunakan pada tahun anggaran berikutnya. Dalam Perpres juga
menegaskan bahwa Kepala SKPD Dinas Kesehatan dan Kepala FKTP melakukan
pengawasan secara berjenjang terhadap penerimaan dan pemanfaatan dana kapitasi oleh
Bendahara Dana Kapitasi JKN pada FKTP(6).
Puskesmas Non BLUD harus mengajukan surat rekomendasi kepada Dinas
Kesehatan dan/ atau keuangan daerah untuk menggunakan dana kapitasi dari rekening
Puskesmas. Proses ini membutuhkan waktu kurang lebih 1 minggu sehingga akan lebih
baik jika BPJS Kesehatan dapat mempertimbangkan waktu pencairan dana kapitasi lebih
awal (sebelum tanggal 15) atau di awal bulan, sehingga dana kapitasi dapat segera
digunakan lebih optimal dalam pemberian pelayanan kesehatan.
Ketentuan penggunaan dana kapitasi JKN untuk jasa pelayanan kesehatan dan
dukungan biaya operasional pada FKTP milik pemerintah daerah diatur dalamPermenkes
Nomor 21 Tahun 2016. Dalam peraturan tersebut tercantum bahwa alokasi untuk
pembayaran jasa pelayanan kesehatan untuk tiap FKTP ditetapkan sekurang-kurangnya
60% dari penerimaan dana kapitasi. Alokasi dana kapitasi untuk pembayaran jasa
pelayanan kesehatan ditetapkan dengan mempertimbangkan jenis ketenagaan dan/atau
jabatan serta kehadiran. Sedangkan penggunaan dana kapitasi untuk dukungan biaya
operasional pelayanan kesehatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan dana kapitasi yang tidak digunakan seluruhnya pada tahun
anggaran berkenaan, dimanfaatkan untuk tahun anggaran berikutnya(4). Dalam Permenkes
ini juga tercantum detail pemanfaatan dan belanja kegiatan dari dana kapitasi.
Pada kenyataannya, transparansi dana kapitasi yang dibayarkan BPJS Kesehatan
masih belum atau tidak sesuai dengan jumlah kuota kepesertaan yang ada di sejumlah
Puskesmas. Penggunaan dana kapitasi kurang mengakomodir kebutuhan puskesmas
sehingga kualitas layanan puskesmas juga belum terlihat secara nyata. Masalah lain yang
terjadi yaitu kekurangan pembayaran dana kapitasi nakes oleh BPJS Kesehatan ditahun
sebelumnya dibayarkan ditahun berjalan sehingga perhitungan kapitasi setiap tahunnya
menjadi membingungkan, sehingga tidak jelas dalam hal penerimaannya (7).Tingginya
variasi kapitasi POPB di Puskesmas Non BLUD menunjukkan tidak banyak Puskesmas
Non BLUD yang mendapatkan kapitasi POPB maksimal seperti yang diterima Puskesmas
BLUD. Hal tersebut berkaitan dengan ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM)
kesehatan, sarana prasarana, lingkup pelayanan, dan komitmen pelayanan (8).
Secara keseluruhan, pemanfaatan dana kapitasi JKN telah dimanfaatkan FKTP
sesuai dengan peraturan yang berlaku. Namun yang menjadi permasalahan adalah jumlah
dana kapitasi yang diberikan oleh JKN belum sesuai dengan keadaan di FKTP serta adanya
kasusfraud yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Fraud merupakan
suatu tindakan kecurangan yang tidak hanya berupa korupsi tetapi juga mencakup
penyalahgunaan aset dan pemalsuan pernyataan (9). Menurut penelitian Tomi Setiaji
(2015) tentang resiko kecurangan pengelolaan dana kapitasi adalah tekanan. Pada
umumnya tekanan muncul karena masalah finansial atau kebutuhan yang tidak terduga,
tekanan dari lingkungan kerja seperti kurang dihargainya atas prestasi atau kinerja, gaji
tidak sesuai yang diharpkan dan tidak merasa cukup dengan pekerjaan (10)

KONTEKS
Faktor Situasional
Program Jaminan Kesehatan Nasional mulai berjalan di Indonesia pada tahun 2014.
Dengan peningkatan jumlah peserta JKN dan fasilitas kesehatan banyak resiko kecurangan
(fraud) yang semakin nampak di Indonesia. Resiko kecurangan dapat terjadi karena adanya
ketidakseimbangan antara sistem layanan kesehatan dan beban layanan kesehatan, penyedia
layanan tidak memberi insentif yang memadai, kekurangan pasokan peralatan medis,
kurangnya transparansi dalam fasilitasi kesehatan dan faktor budaya serta minimnya
pengawaan (10). Menurut Rahma (2019), dampak yang muncul dari tindakan kecurangan
yaitu dapat mempengaruhi pada aspek citra nama baik, mutu layanan dan finansial pada
fasilitas pelayanan kesehatan (11).
Menurut Permenkes No. 36 tahun 2015,fraud JKN yaitu tindakan yang dilakukan
dengan sengaja oleh petugas BPJS Kesehatan, peserta, pemberi pelayanan kesehatan,
penyedia obat dan alat kesehatan untuk memperoleh keuntungan finansial dari program
jaminan kesehatan melalui tindakan kecurangan yang tidak sesuai dengan ketentuan.
Adapun bentuk fraud JKN pada FKTP diantaranya memanfaatkan dana kapitasi tidak
sesuai dengan ketentuanperatuan perundang-undangan,memanipulasi klaim pada pelayanan
yang dibayar secara non-kapitasi, menarik biaya dari peserta yang seharusnya telah
dijamin dalam biaya kapitasi dan atau non-kapitasi sesuai dengan standar tarif yang
ditetapkan, melakukan rujukan pasien yang tidak sesuai dengan tujuan untuk
memperoleh keuntungan tertentu dan atau tindakankecurangan JKN lainnya (12).
Berdasarkan Report to the Nations (RTTN) Association of Certified
FraudExaminers(ACFE) 2018, kerugianakibatkecurangan pada pelayanan kesehatan
mencapai5%dari total biaya pelayanan kesehatan. Pada tahun 2015, terdeteksi kecurangan
sekitar 175 ribu klaim dari pelayanan kesehatan ke BPJS dengan nilai Rp.400 miliar dan
hingga saat ini sudah ada 1 juta klaim yang terdeteksi. Dalam melakukan pemantauan
terhadap 2 puskesmas di 14 provinsi dari bulan Maret-Agustus 2017 ditemukan 13 potensi
fraud yang terjadi di Puskesmas. Pada tahun 2017, terdapat dugaan korupsi dana kapitasi
Puskesmas oleh Bupati dan Kadinkes Jombang, Jawa Timur (11).

Faktor Struktural
Berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 mengenai KPK, penyalahgunaan dana kapitasi
dapat dikategorikan sebagai bencana kesehatan. Hal tersebut mengakibatkan masyarakat
tidak mendapatkan hak-haknya dalam pelayanan kesehatan. Penyebab penyalahgunaan
dana kapitasi sering dinilai karena tidak adanya alat pengawasan, pengendalian, dan
pengelolaan dana kapitasi oleh pemerintah daerah. Perpres No. 32 tahun 2014 dinilai dapat
dimanfaatkan kepala daerah untuk memainkan dana kapitasi. Sebagaimana diketahui,
alokasi untuk pembayaran jasa kesehatan hanya ditentukan 60% sebagai alokasi syarat
minimal dan 40%-nya digunakan untuk biaya operasional FKTP (13).
Perlu adanya pencegahan kerugian JKN akibat fraud agar pelaksanaan program
dapat berjalan efektif dan efisien. Pencegahan dapat dilakukan dengan melibatkan peran
masyarakat melalui proses pengaduan ke pimpinan fasilitas kesehatan, Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dan atau Provinsi. Pengaduan harus dilengkapi data identitas pengadu,
kemudian nama dan alamat instansi yang diduga melakukan tindakan kecurangan dan
alasan pengaduan. Selanjutnya dalam Permenkes No. 36 Tahun 2015 telah diatur mengenai
sistem pencegahan tindak kecurangan (fraud) (14). Selain itu advokasi perlu dilakukan oleh
badan penyelenggara jaminan kesehatan dalam upaya untuk memaksimalkan pemanfaatan
dana kapitasi oleh FKTP sehingga dapat meminimalkan kecurangan yang mungkin timbul.

Faktor Budaya
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa fraud merupakan tindakan yang tidak etis
dan memberikan dampak negatif. Namun, tidak semua orang menganggap fraud bernilai
negatif dan seharusnya tidak dilakukan. Banyak pelaku fraud beranggapan bahwa fraud
adalah tindakan yang sah dan wajar untuk dilakukan. Menurut penelitian Syahrina (2016),
fraud dapat terjadi karena dua faktor budaya yaitu budaya cari untung dan budaya cari
aman (15).

Faktor Internasional
Pada kurun waktu 2014 – 2019, dilakukan kegiatan-kegiatan sosialisasi dan
publikasi ilmiahmenuju universal coverage, monitoring dampak sosialisasi, monitoring dan
pengawasanpenyelenggaraan jaminan kesehatan oleh DJSN dan pelaksanaan pengawasan
keuangan olehBPK/akuntan publik/OJK(16). Pemerintah di banyak negara menyediakan
asuransi kesehatan untuk populasi khusus sebagai sarana untuk memberi keamanan
kesehatan bagi mereka. Khususnya di negara maju yang tergabung dalam Organization for
Economic Co-operation and Development (OECD), secara khusus telah mengadopsi sistem
welfare state, yang menyediakan skema jaminan sosial terpadu bagi masyarakat mereka,
termasuk perlindungan dalam jaminan layanan kesehatan atau Social Health Insurance
(Asuransi Kesehatan Sosial). Dengan AKS, peserta mendapatkan perawatan di rumah sakit
gratis bersama dengan obat-obatan, bahan habis pakai dan peralatan bedah yang
dikeluarkan atau dipinjamkan. Peserta hanya membayar sebagian kecil biaya administrasi
saja. Namun, jika pasien memilih untuk dirawat di rumah sakit menggunakan asuransi
biaya pribadi, atau meminta layanan dengan standar kualitas lebih tinggi, pasien dapat
menagih sebagian biaya tersebut ke lembaga AKS pemerintah. Sebagian besar sistem
jaminan kesehatan negara maju (seperti MedicAid di Amerika, NHS—National Health
Service di Inggris, dan Medicare di Australia) sangat bergantung pada keuangan yang
dibiayai pajak, sehingga pembiayaan AKS ini biasanya terkoneksi dengan sistem
perpajakan (khususnya pajak penghasilan), walaupun ada juga beberapa negara yang
mengaturnya secara terpisah. Sebaliknya, di negara berkembang membiayai pengeluaran
perawatan kesehatan masyarakat bersumber dari pajak yang sedikit sehingga ada beban
yang tidak adil bagi masyarakat miskin. Meskipun ada upaya untuk memberikan subsidi
namun seringkali gagal. Hal ini dapat dimengerti karena sebagian besar negara berkembang
tidak memiliki pendapatan yang cukup dari perpajakan umum (17).

Proses Kebijakan
Pengembangan kebijakan biasanya secara top-down, dimana Departemen Kesehatan
memiliki kewenangan dalam penyiapan kebijakan. Kemudian implementasi dan strateginya
secarabottom-up(18).Pada tahun 2000, pemerintah mulai membuat rencana sistem jaminan
kesehatan nasional yang terintegrasi. Bappenas yang bertugas menyusun tim untuk
mempersiapkan rencana ini. Sebagai permulaan pada tahun 2003, tim berhasil menyusun
draft Undang-Undang Nomor 40 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang
kemudian disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tahun 2004. Undang-Undang
ini mengamanatkan bahwa jaminan sosial adalah sesuatu yang wajib tersedia bagi seluruh
masyarakat Indonesia, termasuk di dalamnya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui
suatu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang diawasi oleh Dewan Jaminan
Sosial Nasional (DJSN). Undang-Undang ini merupakan kebijakan baru di bidang jaminan
sosial di Indonesia yang bertujuan untuk menggantikan dan mengintegrasikan program-
program jaminan sosial yang ada sebelumnya seperti Askes, Asabri, dan Jamsostek.
Penyempurnaan dan pelaksanaan dari konsep jaminan sosial tersebut kemudian
direalisasikan tujuh tahun kemudian melalui pembentukan badan penyelanggara teknis
yang tertuang dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial, dimana BPJS ini terdiri atas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
BPJS Kesehatan bertugas untuk melaksanakan program Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) yang implementasinya dimulai pada tanggal 1 Januari tahun 2014. Secara
operasional, pelaksanaan JKN dituangkan dalam berbagai Peraturan Pemerintah dan
Peraturan Presiden, antara lain Peraturan Pemerintah No.101 Tahun 2012 tentang Penerima
Bantuan Iuran (PBI), Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan
dan Peta Jalan JKN (Roadmap Jaminan Kesehatan Nasional), dan Peraturan Menteri
Kesehatan RI Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan
Kesehatan Nasional (17).

Pelaku (Aktor) Kebijakan


Dalam proses pembuatan, sosialisasi, dan penerapan kebijakan Pengelolaan dan
Pemanfaatan Dana Kapitasi JKN pada FKTP, pelaku penyusunan kebijakan ini yaitu
pemangku kepentingan di pemerintahan daerah, pelaksana kegiatan di fasilitas kesehatan
tingkat pertama, serta BPJS dan BLUD yang juga sangat berperan dalam sosialisasi
program dan pendanaan.

REKOMENDASI
Sebagai rekomendasi untuk pengendalian tindakan fraud diperlukan peran
masyarakat atau pihak-pihak yang mengetahui adanya kejadian fraud hendaknya dapat
membuat pelaporan yang dapat disampaikan kepada kepala fasilitas kesehatan maupun
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Upaya lain yang dapat dilakukan yaitu memberikan
sanksi seperti teguran lisan, teguran tertulis, dan pengembalian kerugian akibat Kecurangan
JKN kepada pihak yang dirugikan.
Selain itu, pemerintah daerah diharapkan dapat mendata seluruh penduduk melalui
Dinas Kependudukan agar semua masyarakat dapat menikmati layanan BPJS, khususnya
masyarakat miskin. Kemudian, peningkatan sarana dan prasarana di setiap FKTP dan
Rumah Sakit serta perlunya pengawasan dalam pemanfaatan dana kapitasi. Hal ini guna
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.

PENUTUP
Analisa kebijakan ini menunjukkan bahwa pemanfaatan dana kapitasi JKN telah
dimanfaatkan sebagian besar FKTP sesuai dengan peraturan. Namun terdapat sejumlah
kasus fraud seperti pemanfaatan dana yang belum sesuai peraturan maupun manipulasi
bukti pertanggungjawaban dana kapitasi. Hal ini akhirnya mengakibatkan masyarakat tidak
dapat menerima haknya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang maksimal. Integritas
dan tanggung jawab yang tinggi dari stakeholder yang terlibat tentu akan membantu
mengurangi potensi fraud sehingga dana kapitasi JKN dapat dimanfaatkan FKTP sesuai
peraturan yang berlaku.

KEPUSTAKAAN
1. Hasan AG, Adisasmito WBB. Analisis Kebijakan Pemanfaatan Dana Kapitasi JKN
pada FKTP Puskesmas di Kabupaten Bogor Tahun 2016. J Kebijak Kesehat Indones.
2017;6(3):127.
2. Undang Undang RI No.40 Tahun 2004. Undang Undang RI No.40 Tahun 2004.
Tentang Sist jaminan Sos Nas. 2004;1–16.
3. Kemenkes.RI. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Infodatin. 2014;
4. Permenkes RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun
2016. 2016.
5. Imron M. Interaksional Simbolik Aktor Governance dalam Kebijakan Pertambangan
di Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu Banyuwangi. 2016;1–14.
6. Presiden RI. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2014. 2014.
7. Neti DF, Waris L, Yulianti A. Penganggaran dan Penerimaan Dana Kapitasi
Program JKN di Daerah Terpencil Kabupaten Kepulauan Mentawai. J Penelit dan
Pengemb Pelayanan Kesehat. 2017;1(2):92–101.
8. Kurniawan MF, Siswoyo BE, Mansyur F, Aisyah W, Revelino D, Gadistina W.
Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Kapitasi (Monitoring dan Evaluasi Jaminan
Kesehatan Nasional di Indonesia). J Kebijak Kesehat Indones JKKI. 2016;5(3):122–
31.
9. Djasri H, Rahma PA, Hasri ET. Korupsi Dalam Pelayanan Kesehatan Di Era
Jaminan Kesehatan Nasional: Kajian Besarnya Potensi Dan Sistem Pengendalian
Fraud. Integritas. 2016;2(1):113–33.
10. Soputan R, Tinangon J, Lambey L. Analisis Resiko Kecurangan terhadap Sistem
Pengelolaan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional Di FKTP Pemerintah Kota
Bitung. J Ris Akunt Dan Audit “Goodwill.” 2018;9(2):140–9.
11. Riska Nurul F, Misnaniarti, Syakurah RA. Determinan Potensi Fraud Pada Program
JKN di Puskesmas Kota X. PREPOTIF J Kesehat MasyarakatRiska Nurul, F,
Misnaniarti, Syakurah, R A (n.d) Determ Potensi Fraud Pada Progr JKN di
Puskesmas Kota X PREPOTIF J Kesehat Masyarakat, Vol 5 N(April 2021), 46–54
https//journal.universitas [Internet]. 2021;Volume 5 N(April 2021):46–54. Available
from: https://journal.universitaspahlawan.ac.id/index.php/prepotif/article/view/1237
12. Kemenkes. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2015
Tentang Pencegahan Kecurangan (Fraud) Dalam program Jaminana Kesehatan Pada
Sistem Jaminan Sosial Nasional. 2015;1–97. Available from:
www.hukor.depkes.go.id
13. Anisa EH, Tjaraka H. Lingkungan Pengendalian Pengelolaan Dana Kapitasi di
Puskesmas Tanjung Selor Kalimantan Utara. AKTSAR J Akunt Syariah.
2018;1(2):275.
14. Hartati TS. PENCEGAHAN KECURANGAN (FRAUD) DALAM
PELAKSANAAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN PADA SISTEM
JAMINAN SOSIAL KESEHATAN (SJSN) (Studi di Rumah Sakit Umum Daerah
Menggala Tulang Bawang). FIAT JUSTISIAJurnal Ilmu Huk. 2017;10(4):715.
15. Dinata RO, Irianto G, Mulawarman AD. Menyingkap Budaya Penyebab Fraud:
Studi Etnografi Di Badan Usaha Milik Negara. J Econ. 2018;14(1):66.
16. Kemenkes. Jaminan Kesehatan Nasional. 2013.
17. Setiyono B. PERLUNYA REVITALISASI KEBIJAKAN JAMINAN
KESEHATAN DI INDONESIA. ilmu Polit. 2018;9(2):2651–6.
18. Massie R. Kebijakan Kesehatan: Proses, Implementasi, Analisis Dan Penelitian. Bul
Penelit Sist Kesehat. 2012;12(4):409–17.

Anda mungkin juga menyukai