Salah satu daerah yang menjadi andalan dalam sektor pertanian yaitu
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Sektor pertanian menjadi tumpuan strategis
penting yang menjadi andalan dalam mendorong perekonomian di Nusa Tenggara
Barat (NTB). Struktur ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) hingga
kuartal I 2020 masih didominasi oleh kategori pertanian, kehutanan, dan
perikanan (lombokpost.com). Namun disatu sisi, tidak dapat dipungkiri, sebagai
dampak dari pandemi COVID-19, memberi pukulan tersendiri terhadap
perekonomian Nusa Tenggara Barat (NTB). Dimana, pada kuartal I 2020,
pertumbuhan ekonomi di NTB hanya berkisar pada angka 3,19%. Hal tersebut
tentu saja memberikan efek negatif terhadap berbagai sektor yang ada, tidak
terkecuali sektor pertanian.
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang dikatakan sebagai salah satu
lumbung pangan nasional memiliki berbagai jenis keunggulan hasil pertanian
maupun holtikultura yang tersebar diseluruh wilayah NTB. Mulai dari beras,
jagung, bawang merah & bawang putih, dan berbagai jenis lainnya. Menurut data
dari Sekretaris Dinas Ketahanan Pangan NTB, Ibnu Fiqhi bahwa terdapat hingga
sekitar 300 unit lumbung pangan di NTB, yang seluruhnya tersebar di 10
kabupaten/kota, yakni kota Mataram, Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah,
Lombok Utara, Lombok Timur, Sumbawa Barat, Sumbawa, Dompu, Bima, dan
Kota Bima (insidelombok.id). Keberadaan lumbung pangan yang cukup besar di
Nusa Tenggara Barat (NTB) tidak dapat dipungkiri berkontribusi cukup besar
bagi peningkatan sektor pertanian di NTB.
Lalu di kota Sumbawa Besar, dimana Aliansi Petani Jagung (APJ) dari
kecamatan Plampang menggelar unjuk rasa di depan kantor Bupati Sumbawa
yang mengeluhkan anjloknya harga jagung (suarantb.com). Hingga kemudian
masyarakat yang tergabung dalam Solidaritas Petani Sumbawa yang berasal dari
kecamatan Rhee, Utan, Buer, Alas, dan Alas Barat kembali melakukan aksi unjuk
rasa menuntut tanggung jawab pemerintah daerah terkait anjloknya harga jagung
petani (kabarntb.com). Kemudian di Kabupaten Sumbawa Barat, petani
mengeluhkan harga gabah yang tidak menentu dan cenderung menurun
(kabarntb.com). Hal tersebut tentu saja memperlihatkan kesimpangsiuran aktivitas
ekonomi dibidang pertanian yang semakin menyengsarakan rakyat.
Ironi yang nyata terlihat, bagaimana sektor pertanian di daerah ini yang
cenderung surplus, namun tidak diiringi dengan upaya untuk menyejahterakan
petani maupun rakyat kecilnya. Dalam beberapa situasi dan kondisi yang terjadi,
dimana fenomena kenaikan harga pangan seperti beras, jagung, gula pasir,
bawang merah & bawang putih, namun bertolak belakang dengan peningkatan
kesejahteraan petani yang justru menunjukkan kemerosotan. Hal tersebut
ditunjukkan dengan terus merosotnya Nilai Tukar Petani (NTP) pada April 2020
yang tercatat 100,32, dan terus menurun sejak Januari 2020 (suarakarya.id).
penurunan Nilai Tukar Petani (NTP) menandakan harga yang dibayar petani
semakin tinggi, sementara harga yang mereka terima semakin turun. Hal tersebut
dapat kita lihat bahwa kurangnya peran dan upaya pemerintah untuk mengatasi
anomali harga pangan pada masa pandemi.
Tidak dapat dipungkiri bahwa situasi pandemi memberi angin segar bagi
keberlangsungan sektor pertanian. Namun dibalik itu semua, potret suram yang
terpampang nyata di negeri ini bahwa pemerintah mengorbankan hak petani demi
alibi keberlangsungan sektor pertanian, namun dibalik itu semua ada pihak-pihak
yang diuntungkan. Maka hal ini perlu menjadi perhatian kita bersama, bahwa
keadilan mutlak adanya. Perjuangan pahlawan pangan yang tanpa kenal lelah
menjamin ketersediaan pangan di negeri ini seharusnya mendapat penghormatan
bagi semua pihak, terutama bagi pemerintah. Maka pemerintah dalam hal ini,
harus mampu menjamin keadilan serta kesetaraan pangan bagi segala unsur
kehidupan rakyat, termasuk juga didalamnya petani, buruh, maupun rakyat kecil.
Disatu sisi juga pemerintah dituntut untuk dapat selalu menjamin ketersediaan
stok cadangan pangan agar dapat menghindari kenaikan harga.