Anda di halaman 1dari 5

POTRET SURAM SEKTOR PERTANIAN NUSA TENGGARA

BARAT (NTB) DI TENGAH KRISIS PANDEMI COVID – 19


OLEH : BEM UNRAM

Situasi pandemi tidak dapat dipungkiri memukul berbagai sektor terutama


yang menjadi andalan dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi di negeri ini.
Bagaimana tidak, hingga kuartal II tahun 2020 ekonomi Indonesia, menurut data
dari Badan Pusat Statistik (BPS) ekonomi Indonesia telah mengalami kontraksi
hingga 5,32% (tirto.id). Salah satu sektor yang terpukul akibat pandemi
diantaranya pariwisata, pendidikan, transportasi, dan masih banyak lagi yang
lainnya. Salah satu sektor yang menjadi fokus perhatian, dimana mampu bertahan
ditengah terpaan pandemi yaitu sektor pertanian. Sektor pertanian tidak dapat
dipungkiri menjadi tumpuan penting dalam mendorong perekonomian di
Indonesia.

Berdasarkan data, selama periode 2013-2017, akumulasi tambahan nilai


PDB sektor pertanian yang mampu dihasilkan mencapai Rp. 1.375 Triliun atau
mengalami kenaikan sebesar 47%. Bahkan tercatat pada tahun 2018, nilai PDB
meningkat tajam mencapai Rp. 395,7 Triliun dibandingkan Triwulan III tahun lalu
yang hanya sebesar Rp. 375,8 Triliun (Kumparan.com). Selain tumbuh positif,
peran sektor pertanian dalam pertumbuhan ekonomi nasional juga semakin
penting dan strategis, hal ini terlihat dari kontribusinya yang semakin meningkat.
Pada tahun 2014, Sektor Pertanian (termasuk kehutanan dan perikanan)
berkontribusi sekitar 13,14% terhadap ekonomi nasional, dan pada tahun 2017
meningkat menjadi 13, 53%. Hal tersebut memperlihatkan peran strategis dari
sektor pertanian dalam membantu perekonomian di negeri ini.

Salah satu daerah yang menjadi andalan dalam sektor pertanian yaitu
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Sektor pertanian menjadi tumpuan strategis
penting yang menjadi andalan dalam mendorong perekonomian di Nusa Tenggara
Barat (NTB). Struktur ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) hingga
kuartal I 2020 masih didominasi oleh kategori pertanian, kehutanan, dan
perikanan (lombokpost.com). Namun disatu sisi, tidak dapat dipungkiri, sebagai
dampak dari pandemi COVID-19, memberi pukulan tersendiri terhadap
perekonomian Nusa Tenggara Barat (NTB). Dimana, pada kuartal I 2020,
pertumbuhan ekonomi di NTB hanya berkisar pada angka 3,19%. Hal tersebut
tentu saja memberikan efek negatif terhadap berbagai sektor yang ada, tidak
terkecuali sektor pertanian.

Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang dikatakan sebagai salah satu
lumbung pangan nasional memiliki berbagai jenis keunggulan hasil pertanian
maupun holtikultura yang tersebar diseluruh wilayah NTB. Mulai dari beras,
jagung, bawang merah & bawang putih, dan berbagai jenis lainnya. Menurut data
dari Sekretaris Dinas Ketahanan Pangan NTB, Ibnu Fiqhi bahwa terdapat hingga
sekitar 300 unit lumbung pangan di NTB, yang seluruhnya tersebar di 10
kabupaten/kota, yakni kota Mataram, Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah,
Lombok Utara, Lombok Timur, Sumbawa Barat, Sumbawa, Dompu, Bima, dan
Kota Bima (insidelombok.id). Keberadaan lumbung pangan yang cukup besar di
Nusa Tenggara Barat (NTB) tidak dapat dipungkiri berkontribusi cukup besar
bagi peningkatan sektor pertanian di NTB.

Berbagai daerah di Provinsi Nusa Tenggara Barat dalam situasi kekalutan


akibat pandemi, mulai berlomba-lomba mencapai surplus di bidang pertanian
terutama pada puncak masa panen. Beberapa diantaranya adalah di Kabupaten
Dompu, yang diperkirakan mencapai surplus padi sekitar 90 ribu hingga 91 ribu
ton (suarantb.com). Tidak hanya surplus padi, Kabupaten Dompu juga
diperkirakan mencapai realisasi surplus pada tanaman jagung 70 ribu sampai 80
ribu ha. Lalu di Narmada, Kabupaten Lombok Barat, menghasilkan surplus panen
beras hingga 6000 ton per tahun (lombokpost.com). Kemudian di Kabupaten
Sumbawa yang mencatatkan sepanjang kuartal I 2020 hingga akhir April 2020,
dimana telah melakukan sebanyak 42 kali pengiriman jagung dengan total 63 ribu
ton ke berbagai kota di tanah air (liputan6.com). Tentu saja dengan surplus
pertanian yang terjadi di beberapa daerah di NTB dapat dipastikan ketersediaan
pangan bagi masyarakat NTB.

Namun disatu sisi, dibalik euforia surplus pertanian di Nusa Tenggara


Barat (NTB), tidak dapat dipungkiri menghadapi tantangan tersendiri dalam
situasi pandemi ini. Dalam berbagai situasi masih banyak dapat kita jumpai
ketimpangan di sektor pertanian, ditambah lagi dengan situasi pandemi yang tak
kunjung usai. Merosotnya pertumbuhan ekonomi di negeri ini tidak dapat
dipungkiri mempengaruhi stabilitas harga pangan di sektor pertanian. Salah satu
kasus terjadi di Bima, petani mengeluhkan anjloknya harga jagung yang jauh dari
perhitungan harga normal (lombokpost). Salah satunya yaitu berasal dari Laskar
Tani Donggo Soromandi (LTDS) yang telah melakukan aksi lanjutan untuk
menuntut sikap pemerintah daerah terkait persoalan harga jagung, bibit oplosan,
mafia pupuk, serta masalah-masalah lain yang berdampak pada kesenjangan
petani bima (koranntb.com).

Lalu di kota Sumbawa Besar, dimana Aliansi Petani Jagung (APJ) dari
kecamatan Plampang menggelar unjuk rasa di depan kantor Bupati Sumbawa
yang mengeluhkan anjloknya harga jagung (suarantb.com). Hingga kemudian
masyarakat yang tergabung dalam Solidaritas Petani Sumbawa yang berasal dari
kecamatan Rhee, Utan, Buer, Alas, dan Alas Barat kembali melakukan aksi unjuk
rasa menuntut tanggung jawab pemerintah daerah terkait anjloknya harga jagung
petani (kabarntb.com). Kemudian di Kabupaten Sumbawa Barat, petani
mengeluhkan harga gabah yang tidak menentu dan cenderung menurun
(kabarntb.com). Hal tersebut tentu saja memperlihatkan kesimpangsiuran aktivitas
ekonomi dibidang pertanian yang semakin menyengsarakan rakyat.

Lalu di Lombok, tepatnya di Lombok Timur, dimana pada periode musim


tanam tahun 2020 terkait produksi tanaman tembakau diprediksi akan mengalami
kemerosotan produksi yang cukup tajam (suarantb.com). Hal ini disebabkan
selain karena pandemi Corona (COVID-19), petani tembakau di Lombok Timur
banyak yang tidak berani untuk menanam sebagai akibat dari kurang terserapnya
hasil panen tembakau pada tahun 2019. Hal tersebut tentu memperlihatkan
kesimpangsiuran dalam target maupun penentuan harga dari tanaman tersebut.
Kemudian permasalahan pupuk bersubsidi yang terjadi di Lombok Tengah, yang
selalu berhubungan dengan masalah kelangkaan pupuk dan harga yang cukup
tinggi (kicknews.today). Sehingga perlu kemudian diciptakan aturan untuk
menjamin stabilitas harga pupuk tersebut.
Jika kita mengambil salah satu contoh kasus terkait permasalahan
pertanian yang ada, yaitu terkait harga jual jagung yang dimana kerap kali
mengundang keresahan rakyat kecil dan petani. Hal tersebut seharusnya menjadi
atensi pemerintah terutama pemerintah daerah. Poin yang menjadi penguat alasan
pemerintah daerah, sehingga tidak mampu menyelesaikan masalah tersebut adalah
karena harga jagung mengikuti harga acuan dalam Permendag Nomor 7 Tahun
2020 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan
Penjualan di Tingkat Konsumen (koranntb.com). Tetapi sejatinya jika pemimpin
daerah mau untuk menyelami kehidupan petani maka seharusnya pemerintah
daerah dapat mengeluarkan opsi pembentukan Perda, dapat dilakukan dengan
memperhatikan perbandingan kedudukan Perda dengan Permendag. Dalam UU
No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU
P3), jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Ayat
(1) adalah: UUD NRI 1945, TAP MPR, UU/PERPU, PP, Perpres, Perda Provinsi,
Perda Kabupaten/Kota. Sedangkan Permendag, sesuai ketentuan Pasal 8 termasuk
dalam jenis peraturan perundang-undangan lain. Sehingga, secara hierarkis,
kedudukan Perda lebih memiliki kekuatan dibandingkan dengan Permendag.

Berdasarkan contoh diatas tersebut, seharusnya menjadi gambaran untuk


pemerintah, terutama untuk pemerintah daerah untuk dapat merespon segala cepat
permasalahan sektor pertanian yang ada di negeri ini. beberapa poin arahan yang
dapat kita lihat adalah; pertama, pemerintah seharusnya dapat menerbitkan aturan
alternatif yang berbasis kajian ilmiah. Kedua, tidak adanya kebijakan pemerintah
terkait upaya pengstabilan harga pangan. Ketiga, kurangnya dukungan pemerintah
untuk menjaga keberlangsungan sektor pertanian di tengah pandemi. Keempat,
kurangnya perlindungan pemerintah terhadap kesejahteraan petani. Kelima,
perlunya perbaikan tata kelola yang baik dari pemerintah agar sektor pertanian
dapat menjamin kesejahteraan bagi semua pihak.

Dari keseluruhan kasus tersebut, petani maupun rakyat kecil seyogyanya


hanya membutuhkan jaminan dan perlindungan dari pemerintah untuk
menstabilkan nilai jual hasil pertanian, memberi jaminan keberlangsungan rantai
nilai penjualan hasil pertanian, dan perlindungan terhadap keberlangsungan petani
untuk dapat terus menanam. Namun sayangnya pemerintah daerah cenderung
bersikap acuh terhadap kesejahteraan petani. Hal tersebut selalu terjadi secara
berkesinambungan dari tahun ke tahun. Yang hingga kini pun belum mampu
ditemukan titik temu terhadap penyelesaian permasalahan tersebut. Betapa nyata
dapat kita lihat dari fakta yang ada, bahwa dibalik perjuangan pahlawan pangan
yang tanpa kenal lelah, disatu sisi hilangnya kesejahteraan bagi para petani dan
pemerintah seolah abai dengan situasi tersebut.

Ironi yang nyata terlihat, bagaimana sektor pertanian di daerah ini yang
cenderung surplus, namun tidak diiringi dengan upaya untuk menyejahterakan
petani maupun rakyat kecilnya. Dalam beberapa situasi dan kondisi yang terjadi,
dimana fenomena kenaikan harga pangan seperti beras, jagung, gula pasir,
bawang merah & bawang putih, namun bertolak belakang dengan peningkatan
kesejahteraan petani yang justru menunjukkan kemerosotan. Hal tersebut
ditunjukkan dengan terus merosotnya Nilai Tukar Petani (NTP) pada April 2020
yang tercatat 100,32, dan terus menurun sejak Januari 2020 (suarakarya.id).
penurunan Nilai Tukar Petani (NTP) menandakan harga yang dibayar petani
semakin tinggi, sementara harga yang mereka terima semakin turun. Hal tersebut
dapat kita lihat bahwa kurangnya peran dan upaya pemerintah untuk mengatasi
anomali harga pangan pada masa pandemi.

Tidak dapat dipungkiri bahwa situasi pandemi memberi angin segar bagi
keberlangsungan sektor pertanian. Namun dibalik itu semua, potret suram yang
terpampang nyata di negeri ini bahwa pemerintah mengorbankan hak petani demi
alibi keberlangsungan sektor pertanian, namun dibalik itu semua ada pihak-pihak
yang diuntungkan. Maka hal ini perlu menjadi perhatian kita bersama, bahwa
keadilan mutlak adanya. Perjuangan pahlawan pangan yang tanpa kenal lelah
menjamin ketersediaan pangan di negeri ini seharusnya mendapat penghormatan
bagi semua pihak, terutama bagi pemerintah. Maka pemerintah dalam hal ini,
harus mampu menjamin keadilan serta kesetaraan pangan bagi segala unsur
kehidupan rakyat, termasuk juga didalamnya petani, buruh, maupun rakyat kecil.
Disatu sisi juga pemerintah dituntut untuk dapat selalu menjamin ketersediaan
stok cadangan pangan agar dapat menghindari kenaikan harga.

Anda mungkin juga menyukai