Anda di halaman 1dari 4

Tidak Mudah Bukan Berarti Tidak Mungkin

Namaku adalah Yulia Rahmi binti Abubakar Yahya, aku dilahirkan 30 tahun yang lalu di
Desa Ceubrek Pirak, tepat pada tanggal 26 Maret 1991. Aku anak ke enam dari sembilan bersaudara
yang dua diantaranya anak laki- laki yang masih bayi terlebih dahulu menghadap Sang Pencipta, yang
lainnya perempuan semua. Aku memiliki empat kakak, Laila Wati, Erna Wati, Mutia, dan Asmaul
Husna, serta dua adik perempuan, Raudhatul Jannah dan Nurul Asni. Semasa kecil kami hidup dengan
serba keterbatasan. Ayahku seorang petani. Berkebun dan bercocok tanam pekerjaannya sehari-hari.
Ayah juga bekerja sebagai pesuruh membersihkan mesjid (marbot), itu tugas yang selalu di lakukan
oleh ayah sampai ajal menjemputnya. Ayah tidak pernah mengeluh dalam bekerja, walaupun upah
yang ayah dapatkan hanya seberapa saja. Sedangkan ibu bekerja sebagai penerima upah menjahit
baju.

Ketika berumur 6 tahun, aku mulai bersekolah di SDN 8 Matangkuli. Karena sekolah dekat
dengan rumah, setiap hari aku membawa dagangan seperti kue apong dan permen gula kelapa untuk
aku jual. Keuntungan dari berjualan itulah yang nanti akan ku simpan untuk uang jajanku sehari-hari.
Kemudian setelah lulus SD aku melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 1 Matangkuli di tahun 2003,
di SMP aku mendapatkan kelas inti dari kelas 1 sampai kelas 3. Kemudian tahun ajaran 2005-2006
aku mulai masuk ke SMA Negeri 1 Matangkuli. Alhamdulillah aku dapat lagi kelas inti, kelas 1/satu,
wali kelasnya Pak Saiful Bahri, yang sekarang menjadi kepala sekolah tempat aku kerja. Tahun inilah
mulai kehidupanku berubah, ayah pergi untuk selamanya ketika aku duduk di kelas 1 SMA, yang
dulunya walaupun hidup serba keterbatasan tapi bahagia karena ada ayah yang melengkapi
kebahagiaan. Kehilangan dan ditinggalkan oleh seorang laki-laki yang sangat kami sayang, seorang
sosok ayah yang tak kan pernah bisa tergantikan oleh siapapun. Sosok laki-laki terhebat di hati anak-
anak perempuannya semua. Sesosok ayah yang pekerja keras yang selalu membimbing anaknya
mengajarkan tentang agama, sholat 5 waktu misalnya sudah diperintahkan oleh ayah semenjak kecil.
Walaupun hidup sederhana apa adanya tidak pernah membuat ayah putus asa dalam menjaga anak-
anaknya.

Ayah meninggal ketika saya menginjak kelas X SMA, mendekati ujian semester 1. Tepatnya
tanggal 15 desember 2006 silam. Ayah menderita penyakit paru-paru dan asam lambung. Mereka
bilang waktu akan mengobati segalanya. Tapi kehilangan seorang ayah seperti dia, lukanya tak kan
mampu terobati. Karena semasa ayah sakit dan dirawat di rumah sakit hanya aku anak satu-satunya
yang menemani dan menjaga ayah, begitu berat kesedihan yang aku rasakan, hingga pada hembusan
nafas terakhir ayah saja aku duduk disampingnya. Aku berjaga dari malam sampai pagi, ternyata itu
adalah hari terakhirku dengan ayah. Ayah menggenggam tanganku erat hingga perlahan tangan yang
kusayang itu terlepas dengan sendirinya. Dokter mengatakan bahwa ayah sudah tiada. Pagi itu, hari
jum’at sesudah azan subuh sesosok laki laki yang paling aku sayang sudah tiada untuk selamanya.
Luka yang aku rasakan sangat mendalam. Seakan-akan tak ada lagi tempat untuk aku berkeluh kesah.

Hari demi hari aku lalui, aku harus memikirkan kehidupanku kedepannya. Nilai ujianku pada
semester 1 anjlok. SMP kelas IX aku mendapatkan juara 5 besar, tapi karena musibah meninggal ayah
pendidikanku sudah tidak fokus. Dalam benakku sekolah itu sudah tidak perlu dilanjutkan lagi, dari
mana biaya akan di dapatkan. Ibu hanya seorang ibu rumah tangga yang kesehariannya hanya
membantu orang menjahit pakaian yang sudah di potong. Upahnya saja tidak cukup untuk makan
sehari- hari, apalagi membayar uang SPP anaknya yang masih sekolah. Ayah meninggalkan 4 orang
anaknya yang masih menimba pendidikan di sekolah. Anak yang ke empat kelas XII MAN
Matangkuli, ke enam saya yang sekolah di SMAN 1 Matangkuli, ke tujuh dan kedelapan adik-adik
perempuan saya yang masih kelas 6 dan 3 SD. Akan tetapi, Allah Maha memberi rezeki kepada
umatNya yang mau berusaha. Allah mengirimkan rezeki untuk kami semua melalui tangan suami
kakak yang pertama. Beliau menanggung biaya sekolah kami sampai lulus SMA.

Lulus SMA datanglah pangeran berkuda ke rumah untuk meminang aku. Akan tetapi aku
menolaknya, aku tidak mau cepat- cepat menikah, aku ingin membahagiakan ibu terlebih dahulu
dengan membantu ibu mencari nafkah. Tak tega melihat ibu turun ke sawah, ingin rasanya masa tua
ibu aku dapat membantunya. Tak perlu lagi bekerja, biar anak-anaknya saja yang mencari nafkah.
Maklum, kami kan sekeluarga cewek semua. Beda halnya dengan kakak-kakak saya yang lainnya,
karena ayah memiliki anak perempuan semua, jadi prinsip ayah lulus SMA jika datang yang melamar
akan ayah nikahkan, itu yang terjadi pada ke empat kakak saya. Tidak ada anaknya yang di kuliahkan.
Akan tetapi berbeda dengan nasib saya. Saya lulus SMA ayah sudah tidak ada. Bukannya saya
membangkang, tidak patuh pada perintah orang tua yang menyuruh saya untuk menikah saja, tapi
saya punya cita-cita yang ingin saya gapai, walaupun itu berat.

Ketika kelas XII SMA semester akhir saya mendapatkan undangan kuliah ke UNIMAL
jurusan Akutansi Perbankan, ini jurusan yang saya inginkan. Tapi ibu dan keluarga tidak
memperbolehkan saya untuk kuliah. Dalam pikiran saya pada saat itu, bahwa saya harus nekat untuk
memilih keputusan. saya akan melanjutkan pendidikan saya, saya harus merubah ekonomi orangtua
saya. Karena rahasia untuk maju adalah memulai. Sejak saat itu saya tidak langsung melanjutkan
kuliah setelah lulus SMA, saya bekerja sebagai Apoteker di tempat praktek adik ibu saya di Apotik H.
M. Jafar desa Lambu kecamatan Matangkuli, mengumpulkan uang sedikit demi sedikit selama
setahun untuk biaya pendaftaran kuliah di tahun berikutnya. Pada tahun 2010 saya memberanikan diri
untuk mendaftar kuliah di STAIN Malikussaleh Lhokseumawe jurusan Tarbiyah Prodi Matematika.
Kenapa kampus itu yang saya pilih?. Jarak tempuh ke kampus waktunya bisa saya kendalikan, pulang
kuliah jam 4 sore saya langsung pulang dan melanjutkan bekerja demi mendapatkan gaji untuk uang
jajan kuliah besoknya serta menyisihkan sedikit untuk tabungan biaya kuliah semester berikutnya.
Semester I telah saya lalui dengan begitu kerasnya hingga sampai ke semester II, ibu dan
kakak-kakak saya sudah mulai luluh dan menerima keputusan saya untuk kuliah. Ibu mencoba
meringankan beban saya dengan menjual maharnya untuk menyicil motor agar saya mudah untuk
pulang pergi kuliah dan tepat waktu untuk masuk kerja. Sedangkan kakak membantu dengan
membelikan laptop, agar tugas-tugas kuliah lebih mudah untuk dikerjakan, dan biayanya lebih irit.

Semester II dan III ku lalui dengan mudah, dengan bantuan kakak aku sampai ke semester III.
Tapi apalah daya, makin tinggi semesternya rupanya makin besar biaya kuliah yang diperlukan.
Kakak tidak mampu untuk membiayai kuliahku yang semakin besar kebutuhannya itu, karena kakak
juga membiayai pendidikan adik-adikku dan anak-anaknya. Hingga aku mengambil keputusan bila
ada yang datang melamar, maka akan aku terima.

Akhir semester III bulan April, tanggal 26 tahun 2011 datanglah pangeran yang tak bersayap
untuk melamar. Namanya Umar Bin Adam. Seorang laki-laki yang berprofesi sebagai wiraswasta.
Awalnya masih ragu-ragu, takutnya karena lamaran ini kuliahku tidak selesai. Akan tetapi pangeran
ini mau menunggu sampai kuliah selesai dan mau membantu biaya kuliahku.

Satu tahun lebih berjalan pertunanganku dengan dia, tepat pada hari kamis tanggal 05 Juli
2012 kami menikah di Mesjid At-Taqwa Desa Ceubrek Pirak. Pernikahan yang dulunya ku impikan
ayah yang menikahkanku, akan tetapi wali dari ayahku yang membacakan ijab qabulnya. Pernikahan
itu tidak membuatku mengalah dalam menyelesaikan kuliahku. Walaupun sudah menikah kuliah tetap
kulanjutkan seperti biasanya. Hanya keadaan saja yang sudah berubah. Dimana dulunya mencari uang
sendiri untuk biaya kuliah, namun sekarang kuliah sudah ada yang membiayai hingga aku lulus. Inilah
sosok laki-laki kedua yang ada dalam hidupku yang paling aku sayangi setelah ayah.

Pada Lebaran idul fitri hari kedua tanggal 09 Agustus 2013 kami di karuniai seorang bayi
laki-laki yang di beri nama Muhammad Rifqy Aulia. Saat itu saya masih kuliah semester VII. Tugas
kuliah makin banyak, makin menumpuk. Tapi belum keluar kata menyerah di benak saya. Karena
fokus saya tetap ingin lulus kuliah dan membahagiakan ibu. Kuliah Pengabdian Masyarakat atau
KPM singkatannya saya ambil yang mandiri, tempatnya bisa dipilih sendiri. Sambil menjalankan
KPM tugas akhir kuliah pun mulai aku susun. Lelah sungguh sangat lelah, sambil menjaga anak
sempatkan waktu untuk menyusun skripsi. Disinilah muncul inisiatif untuk berhenti, badan dan
pikiran sudah tak sanggup lagi. Lelah, bosan, capek sungguh menghantui pikiranku. Tapi berkat
dukungan dari ibu, suami, dan teman-teman kuliah yang satu tim saling membantu menyelesaikan
skripsi, akhirnya skripsi saya terselesaikan. Mereka selalu berkata “ketika kamu ingin menyerah,
lihatlah kebelakang dan kemudian ketahui seberapa jauh kamu telah berusaha untuk meraih
tujuanmu”. Karena inilah aku bisa bangkit lagi.
Belum selesai kuliahku, sidang belum aku jalani yang tinggal beberapa minggu lagi. Tapi,
alhamdulillah Allah memberikan aku kebahagiaan. Aku mendapatkan pekerjaan untuk mengajar di
SMAS Raudhatul Fuqara Paya Bakong tahun 2014. Sekolah ini merupakan sekolah baru yang di
pimpin oleh Pak Saiful Bahri yang dulunya adalah wali kelasku ketika SMA dulu. Allah Maha
segalanya, tidak pernah terlintas dalam pikiranku lulus kuliah aku mendapatkan pekerjaan. Karena
menurutku mencari kerja itu sangatlah susah, apalagi kuliahnya hanya di STAIN Malikussaleh
Lhokseumawe. Tapi inilah yang dikatakan kalau rezeki itu sudah ada yang ngatur.

Bulan Juli 2014 aku mulai bekerja menjadi seorang pengajar di sekolah, seorang istri bagi
suamiku, dan ibu bagi anakku di rumah. Kujalani dengan ikhlas. Gaji pertama ku dapatkan
sepenuhnya kuberikan untuk ibuku, walaupun tak seberapa, tapi ibu sangatlah bahagia ketika
menerimanya. Ibu berkata, “kerja kerasmu selama ini tidak sia-sia, keras kepalamu sekarang
membuahkan hasil, bahagia selalu anakku”. Bercucuran air mataku, ini semua berkat doamu ibu.

Pada akhir 2014 Allah memberikan kami rezeki lagi hingga bisa membuka usaha baru, yaitu
“warong Rifqy Coffee” yang terletak di Parang IX kecamatan Matangkuli. Dari usaha inilah kami
mulai berjualan ayam penyet dan aneka makan lainnya. Tiga bulan pertama kami berjualan, datang
seorang bapak-bapak ingin membooking warung kami untuk acara menjamu keluarga kepresidenan
beserta para menteri yang datang untuk peresmian Waduk Keureuto. Di saat inilah warung kami
mulai terkenal dengan sebutan Warung Jokowi.

Ketika usiaku 28 tahun, aku di karuniai anak yang kedua, perempuan yang ku beri nama Aufa
Nida Zakiyya. Dan tidak lama berselang, saat umurku 29 lebih aku dihadiahi lagi anak perempuan
yang di beri nama Azra Izzatin Nisa. Kini keluargaku lengkaplah sudah. Allah memberikan kami
kebahagiaan. Semoga kebahagiaan ini hakiki untuk selamanya. Aamiiin ya Allah.

Ingatlah, dalam kehidupan ini, akan ada hal yang datang dengan sendirinya. Namun akan ada
hal juga yang perlu perjuangan untuk mendapatkannya. Karena rahasia untuk maju adalah memulai,
bukan hanya berdiri di tempat itu saja.

Anda mungkin juga menyukai