Anda di halaman 1dari 4

Wabah: Dari Fiksi Menembus Realitas

Oleh: Muhammad Rusadi - 3061811023

Tahun ini—seperti tahun-tahun sebelumnya—berisi kesukaran dan kemalangan.


Kehidupan semakin berbahaya dan orang-orang seringkali tidak menyiapkan segalanya.
Mereka lupa membaca diri sendiri dan tak tau apa yang harus mereka hindari.
Di tengah samar-samar suara dari Istana Negara, masing-masing kita mengumpulkan tips
untuk menjaga diri dari ancaman perbuatan sendiri.

“Memang benar bencana merupakan sesuatu yang lumrah. Tetapi kita sukar
mempercayainya apabila bencana itu menimpa diri kita. Dalam sejarah dunia telah terjadi
epidemi sampar yang sama banyaknya dengan jumlah perang. Padahal sampar dan perang selalu
menyergap manusia tanpa persiapan. Dokter Rieux juga tidak bersiap-siap, seperti halnya
penduduk kota kami. Sebab itu harus dimengerti kebimbangannya. Begitu pula harus dimengerti
betapa dirinya terbelah antara kekhawatiran dan kepercayaan. Kalau perang meletus, orang-
orang berkata: "Tidak akan berlangsung lama, itu terlalu bodoh!" dan memang perang itu terlalu
bodoh, namun itu tidak menghalangi berlangsung lama.”

Sore itu, udara mengantarkan burung-burung ke sarangnya masing-masing, sesekali


memainkan dedaunan yang lesu seusai diterpa terik yang baru saja menjatuhkan warna
kemerahan pada pohon-pohon, atap-atap pemukiman dan benda-benda hidup maupun mati yang
tak mampu menghindar. Fajar membatasi halaman buku yang barusan ia baca lalu melepas
kacamata yang sedari tadi memberatkan pangkal daun telinganya, mengusap-usap matanya yang
sedikit gatal, kemudian memasang kacamatanya kembali. Ia menatap jam dinding di kamarnya
yang telah dua kali berganti baterai itu. Menandakan ia butuh mengenali waktu yang tiba-tiba
mengubah terang menjadi redup. Ini bulan Agustus tahun 2020. Bulan kelima ia dirumah setelah
penetapan perkuliahan daring dari kampus di mana ia menjatuhkan pilihan untuk melanjutkan
pendidikannya. Novel Albert Camus yang barusan ia baca memaksa otaknya menyerap informasi
tentang berjangkitnya wabah sampar yang melanda kota Oran. Tidak ada yang dapat
menjelaskan ketenangan kota Oran tiba-tiba terusik dengan berjangkitnya sampar. Tidak ada
yang dapat menerangkan pula sebab penyakit sampar menjangkiti kota Oran. Penyakit sampar
datang secara mendadak dan membuat seluruh penduduk kota cemas. Akan tetapi, penduduk
kota seakan tidak dapat berbuat apa-apa dan hanya dapat menerimanya saja. Permasalahan
menjadi absurd karena penyakit sampar bukanlah akibat dari suatu sebab. Apalagi penyakit ini
pun membunuh anak-anak yang tidak berdosa. Penderitaan yang ada di dunia ini semakin tidak
bisa dimengerti ketika korbannya adalah anak-anak kecil yang tidak bersalah.

Fajar seorang mahasiswa semester dua, salah satu dari banyak mahasiswa yang
kehilangan kesempatan mengikuti pembelajaran normal di semester genapnya. Tingkat
kemalasannya naik setingkat atau dua tingkat dan terus berlanjut setelah ia berada dirumah
berbulan-bulan akibat buntut dari pertama kali diumumkannya dua kasus pasien positif virus
Covid-19 pada 2 Maret 2020. Hobinya mengoleksi novel-novel terjemahan. Salah satu alasannya
memiliki hobi tersebut ialah agar dapat pergi ke negara-negara di dunia dengan harga murah
bahkan tanpa melakukan perjalanan fisik. Sebab, Fajar terlalu sering mengalami mabuk
perjalanan menaiki kendaraan apapun, kecuali sepeda, becak dan motor.

Novel yang baru saja ia baca adalah novel yang dibelinya bertahun-tahun lalu ketika ia
sedang menggemari koleksi karya Albert Camus. Akan tetapi selalu saja novel tersebut luput ia
baca di waktu-waktu senggangnya. Mungkin karena buku tersebut sedang menunggu antrean di
baca di waktu yang tepat. Tepat hari ini, entah di waktu yang tepat atau di waktu yang salah,
buku tersebut mendapatkan gilirannya untuk menyuapkan isi cerita dan pengalaman yang entah
mengapa, seketika Fajar merasa isi novel tersebut memberikan dirinya dan seisi dunia kenyataan
yang benar-benar nyata. seperti film Goosebumps yang pernah ia tonton semasa menikmati
pendidikan menengah pertama. Di mana di film itu ketika sebuah buku berisi cerita serta tokoh-
tokoh monster di buka, isinya berkeluaran seperti makhluk-makhluk yang terbebas dari kurungan
ratusan tahun. Ia seperti melihat cerita-cerita fiksi menjelma menjadi true story. Apakah sungguh
dunia-dunia fantasi akan menguasai dunia nyata?

Fajar tinggal di sebuah desa pinggir kota yang masih memiliki pemandangan cukup asri.
Di tumbuhi pepohonan dan di sisi jalan menuju rumahnya banyak di hiasi persawahan serta
pohon rumbia. Desanya berjarak sekitar 15 kilometer dari kota Kabupaten tempat ia tinggal. Ia
hanya tinggal bersama ibunya yang hanya berprofesi sebagai ibu rumah tangga dan bapaknya
bekerja sebagai seorang guru di sebuah Sekolah Menengah Pertama tempat ia pernah
mengenyam masa-masa bercelana pendek biru yang juga mengajarinya cara melakukan
petualangan keliling dunia tanpa membeli tiket pesawat yang mahal dan tanpa kendaraan, hanya
bermodalkan mengeja huruf-huruf dengan baik dan sesering mungkin hingga menjadi hobinya
sekarang

Selama di rumah Fajar hanya banyak membaca, main gawai, melihat sekawanan burung
terbang, terkadang membantu pekerjaan rumah dan sesekali memancing bersama ayahnya di
kolam belakang rumahnya, tak ketinggalan mengerjakan tugas-tugas dari ibu dan bapak dosen.
Tentu saja semua kegiatan itu dikerjakan sesekali waktu dengan membosankan. Karena ia tak
lagi bisa bertemu dengan teman-temannya yang mengajaknya haha hihi. Tak ada percakapan
seperti biasanya ia menghabiskan waktu di ruang kelas dan di tempat-tempat dimana ada
manusia yang ia kenali untuk sekadar diskusi akademik atau perdebatan tak ada ujung. Berbulan-
bulan ia habiskan dengan situasi yang tak pernah ia bayangkan. Bagaimana ia mengenal aplikasi
pembelajaran daring yang memaksanya mau tidak mau harus beradaptasi dengan hal-hal
tersebut. Belum lagi kendala sinyal seluler dan internet yang terkadang selalu menghilang tanpa
kabar seperti cerita-cerita cinta tak karuan. Tak salah lagi, pikirnya. Ini seperti kejadian yang
barusan ia temukan dalam halaman novel, di mana penduduk kota Oran, sebuah koloni Perancis
di Aljazair, ketika wabah pes memporak-porandakan kota itu. Camus merekam bagaimana
kecemasan, ketakutan, kelicikan, kemunafikan, dan upaya gigih seorang dokter bernama Bernard
Rieux membawa warga kota berjuang melawan wabah. Meski tak sama persis, namun cukup
menjadikan cerita tersebut renungan bagi dirinya.

Ia, lelaki bertubuh tak terlalu tinggi, kulit sawo matang, berambut hitam pendek agak
bergelombang, mewarisi mata cokelat ayahnya, dan hidung yang tak terlalu pesek milik ibunya,
tak menyangka akan menghiasi hidupnya dengan berita-berita virus berkembang biak didalam
organ tubuh manusia dan berita-berita berakhirnya kehidupan orang-orang banyak, sebelum para
kaum berdasi berkelakar dan berguyon ria tentang nasi kucing, tak bisa masuk karena perizinan
berbelit-belit, dan virus dari China tak bisa hidup didaerah tropis. Sungguh guyonan yang sangat
lucu.

Setelah selesai membunuh kebosanan dan meletakkan novel tersebut pada jejeran novel-
novel koleksinya. Ia memutuskan akan melanjutkan petualangannya bersama tulisan Albert
Camus di lain waktu, karena ia mendapatkan panggilan menyucikan tubuh dan sebentar lagi
kumandang adzan menggema di penjuru pemukiman. Ia berjalan ke arah pintu samping dan
disambut jemuran yang telah lama menunggu diangkat. Ibunya mengomel karena telah
menyuruhnya ber jam-jam yang lalu.

Anda mungkin juga menyukai