Anda di halaman 1dari 9

UJIAN AKHIR SEMESTER I

Mata Kuliah Pendidikan Agama


Dosen Pengampu Alifarose Syahda Zahra, M.Pd

Nama Mahasiswa : Arief Darmawan


NIM : 21105008
Prodi : Teknik Elektro

Pertanyaan :

Silahkan Kalian mereview materi sesuai dengan pembagian kelompok, paling sedikit 2 lembar,
di kirim ke LMS dengan format pdf

Jawaban :
Hasil review penampilan kelompok 1 dengan thema Kedudukan, peran agama islam,
penggunaan akal sebagai sumber ajaran Islam :

Dalam kehidupan manusia, Agama berfungsi sebagai suatu sistem nilai yang memuat norma-
norma tertentu. Seperti yang dijelaskan oleh kelompik 1, dapat kita ketahui bahwa secara
umum norma-norma Agama menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah laku agar
sejalan dengan keyakinan agama yang dianutnya. Sebagai sistem nilai agama memiliki arti
yang khusus dalam kehidupan individu serta dipertahankan sebagai bentuk ciri khas. Agama
dalam kehidupan individu berfungsi sebagai suatu sistem nilai yang memuat norma-norma
tertentu. Secara umum norma-norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan
bertingkah laku agar sejalan dengan keyakinan agama yang dianutnya. Sebagai sistem nilai
agama memiliki arti yang khusus dalam kehidupan individu serta dipertahankan sebagai bentuk
ciri khas.

Dapat dilihat dalam pengalaman kehidupan nyata bahwa, betapa besar perbedaan antara orang
beriman yang hidup menjalankan agamanya, dengan orang yang tidak beragama atau acuh tak
acuh kepada agamanya. Pada rawud wajah orang yang hidup denhgan berpegang teguh dengan
keyakinan agamanya terlihat ketentraman pada batinnya , sikapnya selalu tenang. Mereka tidak
merasa gelisah atau cemas, kelakuan dan perbuatannya tidak ada yang akan menyengsarakan
atau menyusahkan orang lain. Lain halnya dengan orang yang hidupnya terlepas dari ikatan
agama. Mereka biasanya mudah terganggu oleh kegoncangan dan suasana galau vyang
senanhtiasa menghiyasi pikiran dan perasaanya. Perhatiannya hanya tertuju kepada diri dan
golongannya; tingkah laku dan sopan santun dalam hidup biasanya diukur atau dikendalikan
oleh kesenangan-kesenangan lahiriyah yang mengacu kepada pemenuhan dan kepuasan hawa
nafsu belaka. Dalam keadaan senang, dimana segala sesuatu berjalan lancar dan
menguntungkannya, seorang yang tidak beragama akan terlihat gembira, senang dan bahkan
mungkin lupa daratan. Tetapi apabila ada bahaya yang mengancam, kehidupan susah, banyak
problema yang harus dihadapinya, maka kepanikan dan kebingungan akan menguasai jiwanya,
bahkan akan memuncak sampai kepada terganggunya kesehatan jiwanya, bahkan lebih jauh
mungkin ia akan bunuh diri atau membunuh orang lain.
Menurut buku Psikologi Agama yang ditulis oleh Bambang Syamsul Arifin, halaman. 143,
terbitan CV. Pustaka Setia, tahun 2008. Menurut Mc. Guire, diri manusia memiliki bentuk
sistem nilai tertentu. Sistem nilai ini merupakan sesuatu yang dianggap bermakna bagi dirinya.
Sistem ini dibentuk melalui belajar dan proses sosialisasi. Perangkat sistem nilai dipengaruhi
oleh keluarga, teman, institusi pendidikan dan masyarakat luas. Selanjutnya, berdasarkan
perangkat informasi yang diperoleh seseorang dari hasil belajar dan sosialisasi tadi meresap
dalam dirinya. Sejak itu perangkat nilai itu menjadi sistem yang menyatu dalam membentuk
identitas seseorang. Ciri khas ini terlihat dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana sikap,
penampilan maupun untuk tujuan apa yang turut berpartisipasi dalam suatu kegiatan tertentu.

Menurut pandangan Mc. Guire menjelaskan bahwa dalam membentuk sistem nilai dalam diri
individu adalah agama. Segala bentuk simbol-simbol keagamaan, mukjizat, magis maupun
upacara ritual sangat berperan dalam proses pembentukan sistem nilai dalam diri seseorang.
Setelah terbentuk, maka seseorang secara serta-merta mampu menggunakan sistem nilai ini
dalam memahami, mengevaluasi serta menafsirkan situasi dan pengalaman. Dengan kata lain
sistem nilai yang dimilikinya terwujud dalam bentuk norma-norma tentang bagaimana sikap
diri. Misalnya seorang sampai pada kesimpulan: saya berdosa, saya seorang yang baik, saya
seorang pahlawan yang sukses ataupun saya saleh dan sebagainya. Pada garis besarnya,
menurut Mc. Guire sistem nilai yang berdasarkan agama dapat memberi individu dan
masyarakat perangkat sistem nilai dalam bentuk keabsahan dan pembenaran dalam mengatur
sikap individu dan masyarakat. Pengaruh sistem nilai terhadap kehidupan individu karena nilai
sebagai realitas yang abstrak dirasakan sabagai daya dorong atau prinsip yang menjdi pedoman
hidup. Dalam relaitasnya nilai memiliki pengaruh dalam mengatur pola tingkah laku, pola pikir,
dan pola bersikap.

Nilai adalah daya pendorong dalam hidup, yang memberi makna dan pengabsahan pada
tindakan sesoerang. Karena itu nilai menjadi penting dalam kehidupan seseorang, sehingga
tidak jarang pada tingkat tertentu orang siap untuk mengorbankan hidup mereka demi
mempertahankan nilai. Nilai mempunyai dua segi, yaitu segi intelektual dan segi emosional.
Dan gabungan dari kedua aspek ini yang menentukan suatu nilai beserta fungsinya dalam
kehidupan. Bila dalam kombinasi pengabsahan terhadap suatu tindakan unsur intelektual yang
dominan, maka kombinasi nilai itu disebut norma atau prinsip. Di lihat dari fungsi dan peran
agama dalam memberi pengaruhnya terhadap individu, baik dalam bentuk sistem nilai,
motivasi maupun pedoman hidup, maka pengaruh yang paling penting adalah sebagi
pembentuk kata hati (conscience). Kata hati menurut Erich Froom dalam Jalaluddin adalah
panggilan kembali manusia kepada dirinya. Erich Froom melihat manusia sebagai makhluk
yang secara individu telah memiliki potensi humanistik dalam dirinya. Kemudian selain itu
individu juga menerima nilai-nilai bentukan dari luar. Keduanya membentuk kata hati dalam
diri manusia. Dan apabila keduanya berjalan seiring secara harmonis, maka manusia akan
merasa bahagia. Pada diri manusia telah ada sejumlah potensi untuk memberi arah dalam
kehidupan manusia. Potensi tersebut adalah hidayat al ghariziyyat (naluriah); hidayat al-
hissiyat (inderawi); hidayat al-aqliyat (nalar); dan hidayat al-diniyat (agama). Melalui
pendekatan ini, maka agama sudah menjadi potensi fitrah yang dibawa sejak lahir. Pengaruh
lingkungan tehadap seseorang adalah memberi bimbingan kepada potensi yang dimiliki itu.
Dengan semikian jika potensi fitrah itu dapat dikembangkan sejalan dengan pengaruh
lingkungan maka akan terjadi keselarasan. Sebaliknya jika potensi itu dikembangkan dalam
kondisi yang dipertentangkan oleh kondisi lingkungan, maka akan terjadi ketidakseimbangan.
Berdasarkan pendekatan ini, maka pengaruh agama dalam kehidupan individu adalah memberi
kemantapan batin, rasa bahagia, rasa terlindung, rasa suskes dan rasa puas. Perasaan positif ini
lebih lanjut akan menjadi pendorong untuk berbuat. Agama dalam kehidupan individu selain
menjadi motivasi dan nilai etik juga merupakan harapan. Agama berpengaruh sebagai motivasi
dalam mendorong individu untuk melakukan suatu aktivitas, karena perbuatan yang dilakukan
dengan latar belakang keyakinan agama dinilai mempunyai unsur kesucian, serta ketaan.
Keterkaitan ini akan memberi pengaruh diri seseorang untuk berbuat sesuatu. Sedangkan
agama sebagai nilai etik karena dalam melakukan sesuatu tindakan seseorang akan terikat
kepada ketentuan antara mana yang boleh dan mana yang tidak boleh menurut ajaran agama
yang dianutnya. Sebaliknya agama juga sebagai pemberi harapan bagi pelakunya. Seseorang
yang melaksanakan perintah agama umumnya karena adanya suatu harapan terhadap
pengampunan atau kasih sayang dari sesuatu yang ghaib (supernatual). Motivasi mendorong
seseorang untuk berkreasi, berbuat kebajikan maupun berkorban. Sedangkan nilai etik
mendorong seseorang untuk berlaku jujur, menepati janji manjaga amanat dan sebagainya.
Sedangkan harapan mendorong seseorang untuk bersikap ikhlas, menerima cobaan yang berat
ataupun berdo’a. Sikap seperti itu akan lebih teras secara mendalam jika bersumber dari
keyakinan terhadap agama. Agama dalam kehidupan individu juga berfungsi sebagai :

a. Sumber Nilai Dalam Menjaga Kesusilaan Di dalam ajaran agama terdapat nilai - nilai
bagi kehidupan manusia. Nilai-nilai inilah yang dijadikan sebagai acuan dan sekaligus
sebagai petunjuk bagi manusia. Sebagai petunjuk agama menjadi kerangka acuan
dalam berpikir, bersikap, dan berperilaku agar sejalan dengan keyakinan yang
dianutnya. Sistem nilai yang berdasarkan agama dapat memberi pedoman bagi individu
dan masyarakat. Sistem nilai tersebut dalam bentuk keabsahan dan pembenaran dalam
kehidupan individu dan masyarakat.
b. Agama Sebagai Sarana Untuk Mengatasi Frustasi Menurut pengamatan psikolog
bahwa keadaan frustasi itu dapat menimbulkan tingkah laku keagamaan. Orang yang
mengalami frustasi tidak jarang bertingkah laku religius atau keagamaan, untuk
mengatasi frustasinya. Karena seseorang gagal mendapatkan kepuasan yang sesuai
dengan kebutuhannya, maka ia mengarahkan pemenuhannya kepada Tuhan. Untuk itu
ia melakukan pendekatan kepada Tuhan melalui ibadah, karena hal tersebut yang dapat
melahirkan tingkah laku keagamaan.
c. Agama Sebagai Sarana Untuk Memuaskan Keingintahuan Agama mampu memberikan
jawaban atas kesukaran intelektual kognitif, sejauh kesukaran itu diresapi oleh
keinginan eksistensial dan psikologis, yaitu oleh keinginan dan kebutuhan manusia
akan orientasi dalam kehidupan, agar dapat menempatkan diri secara berarti dan
bermakna ditengah-tengah alam semesta ini.

Berkaitan dengan kedudukan akal, di dalam al-Qur’an, tidak ditemukan kata akal secara
formal. Yang ditemukan hanyalah fungsi akal seperti berakal, berpikir, memahami dll. Ini
pula alasan yang mendasari bahwa akal hanya dikenal lewat fungsinya sesuai makna
terminologis yang diajukan oleh kaum salaf. Akal tidak bisa dianggap sebagai perangkat
yang independen, sebagaimana pendapat banyak filsosof. Menurut temuan al-Buraikan
dalam disertasinya, terdapat 2 makna fungsional akal yang sering digunakan al-Qur’an :

a. Potensi yang dapat digunakan untuk menjaring ilmu pengetahuan dan kebenaran
(sarana pengetahuan).

b. Pemahaman tentang Allah dan Rasul-Nya. (fungsi pengetahuan).

Menurut al-Ragib al-Asfahani telah menetapkan koridor masing-masing dari ke dua


kategori makna fungsional akal di atas. Bahwa manakala Allah Swt. tidak membebani
seseorang dengan kewajiban syari’ah karena pertimbangan rasio yang belum mapan, maka
pemaknannya akan balik ke kategori pertama. Sedang manakala Allah mencela orang-orag
kafir karena sikap mereka yang tidak rasional, maka semuanya bermuara pada makna ke-2
yang tidak bisa memahami Allah dan rasul-Nya melalui wahyu yang terlihat dan fakta
semesta yang terhampar nan luas dalam wujud ini.

Berdasarkan temuannya, al-Qur’an lebih sering menggunakan makna ke-2 dibanding


makna pertama. Alasannya adalah fakta al-Qur’an yang sangat intens menjelaskan asumsi
yang salah dari orang-orang kafir yang tidak mampu memahami Allah dengan baik karena
pengaruh ideologi dan hawa nafsu yang membelenggu rasio mereka. Bahkan menurutnya,
makna ke-2 inilah yang merupakan nuansa umum dan nuansa utama al-Qur’an dalam
penggunaan derivasi kata akal.

Sebagai contoh, pengarahan Allah Swt terhadap orang Yahudi tentang bagaimana
menghidupkan kembali orang yang telah mati, sekedar untuk menunjukkan pelaku
pembunuhan terhadapanya. Sekaligus menunjukkan bukti kemahakuasaan Allah Swt
dalam menghidupakan orang mati. Lalu pengarahan ini ditutup dengan menggunakan
derivat kata akal.

73( َ‫]ُ ْﺍﻟ َﻤ ْﻮﺗ َﻰ َﻭﻳ ُِﺮﻳ ُﻜ ْﻢ ﺁ َﻳﺎ ِﺗ ِﻪ َﻟ َﻌ ﱠﻠ ُﻜ ْﻢ ﺗَ ْﻌ ِﻘﻠُﻮﻥ‬ ِ ‫َﻓﻘُ ْﻠﻨَﺎ ﺍﺿ ِْﺮﺑُﻮﻩُ ِﺑ َﺒ ْﻌ‬
‫ﻀ َﻬﺎ َﻛﺬَﻟِﻚَ ﻳُﺤْ ﻲ ِ ﱠ‬

2:73. Lalu Kami berfirman: “Pukullah mayit itu dengan sebahagian anggota sapi betina itu!”
Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dan
memperlihatkan padamu tanda-tanda kekuasaan-Nya agar kamu mengerti (dan rasional
dalam bersikaf) (al-Baqarah : 73).

Penggunaan kata kerja ta’qilun pada penutup ayat menunjukkan bahwa fungsi akal adalah
untuk memahami pengarahan Allah Swt. Tujuannya, agar mereka yang menentang (kafir)
dapat secara sadar berbalik kepada rasionalitas ajaran Islam yang menyatu dengan kitab
sucinya. Sedang makna pertama, jika dilihat hanya merupakan potensi semata. Sedang
keberadaan potensi tidaklah berarti bahwa seseorang bisa memanfaatkanya dengan benar
tanpa upaya untuk mengikuti peangarahan wahyu. Inilah yang dicela oleh Allah dalam
surah al-A’raf : 179

‫ْﺼ ُﺮﻭﻥَ ِﺑ َﻬﺎ َﻭ َﻟ ُﻬ ْﻢ ﺁﺫَﺍ ٌﻥ َﻻ َﻳ ْﺴ َﻤ ُﻌﻮﻥَ ِﺑ َﻬﺎ‬ ِ ‫ﻧ ِﺲ َﻟ ُﻬ ْﻢ ﻗُﻠُﻮﺏٌ َﻻ َﻳ ْﻔ َﻘ ُﻬﻮﻥَ ِﺑ َﻬﺎ َﻭ َﻟ ُﻬ ْﻢ ﺃ َ ْﻋﻴ ٌُﻦ َﻻ ﻳُﺒ‬ ِ ْ ‫ِﻴﺮﺍﻣِ ﻦَ ْﺍﻟ ِﺠ ِّﻦ َﻭ‬
ْ ‫ﺍﻹ‬ ْ‫َﻭ َﻟ َﻘﺪْﺫَ َﺭﺃ‬
ً ‫ﻧَﺎ ِﻟ َﺠ َﻬ ﱠﻨ َﻢ َﻛﺜ‬
)179( َ‫ﺿ ﱡﻞ ﺃُﻭ َﻟﺌِﻚَ ُﻫ ُﻢ ْﺍﻟﻐَﺎ ِﻓﻠُﻮﻥ‬ ْ َ ‫ﺃُﻭ َﻟﺌِﻚَ ﻛ َْﺎﻷ‬
َ َ ‫ﻧ َﻌ ِﺎﻡ َﺑ ْﻞ ُﻫ ْﻢ ﺃ‬

7:179. Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan
manusia, mereka mempunyai hati (rasio), tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak,
bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (al-A’raf : 179).

Sepanjang sejarah kemanusian, dengan beragam cara yang dipakai dalam berinteraksi
dengan akal, tidak ditemuakan adanya sebuah agama maupun pemikiran/isme yang mampu
memberikan penghargaan tertinggi bagi akal selain yang pernah diberikan oleh Islam. Juga
tidak ditemukan sebuah kitab suci mana pun yang dapat membebaskan keterkungkungan
akal, mempertinggi nilainya, serta kemuliannya sebagaimana peranan al-Qur’an dalam
membebaskan, menghargai dan memuliakan akal.
Banyak fakta sejarah yang memperkuat pernyataan ini. Sejak keberadaan Nabi Adam AS
dalam lautan kehidupan, manusia berinteraksi dengan akal dalam batas-batas kehambaan
yang pantas untuk menjamin kedekatannya (peribadatannya) dengan Allah Swt. dan dalam
memenuhi kebutuhan fitrah fisik dan psikologisnya. Dalam ranah penghambaan ini, wahyu
menuntun akal untuk beragama. Sementara akal berperan sebagai penuntun garizah agar
memberikan asupan gizi bagi jasmani ketika lapar, berteduh ketika panas dan tidur ketika
kelelahan. Interaksi akal pada awal kehidupan itu, fungsinya hanya berkhidmat untuk
sekedar ibadah dan mengatur kehidupan yang masih dalam koridor keluarga Nabi Adam
semata. Seiring dengan perkembangan manusia, akal makin berkontribusi untuk melayani
cakupan lebih luas hingga tidak hanya pada wilayah keluarga, tetapi melampaui hingga
berbagai suku dan ras. Tipe Nabi Nuh, Idrus Hingga Nabi Syuaib (Madyan = Yordania)
yang mewakili zaman ini.

Tetapi ketika wilayah kehidupan makin kompleks dan manusia sudah berkembang dengan
pesat dari sisi populasi, hingga terbentuk dua suku besar (Suku Qibti dan Bani Isra’il) pada
Zaman Mesir kuno, Allah mengirim Nabi Musa AS Bersama Nabi Harun AS sebagai Nabi
bagi komunitas ini. Keduanya memulai risalah kenabian pada wilayah yang lebih luas
dibanding pendahulunya dari kalangan para nabi. Sekalipun missinya tetap sama, masih
bersifat lokalitas dengan kitab suci masing-masing. Demikian pula nabi-nabi setelahnya,
semuanya datang dengan misi keagamaan lokalitas dan kitab suci yang bernuansa lokal
pula. Pada tahapan demikian, tingkat kejernihan akal masih dianggap belum sampai ke
tingkat maksimal karena rekaman jejak ilmu pengetahuan yang diperoleh masih terbatas.
Ini tidak berarti selama kurun waktu tersebut tidak ada karya-karya besar dari otak brilian
yang lahir. Tetapi tetap saja tebelakang jika dibandingkan dengan zaman diutusnya Nabi
Muhammad Saw. sebagai penghulu Nabi dengan cakupan misi yang lebih luas.

Adapun Rasulullah Saw., dengan hikmah-Nya, Allah menakdirkan beliau lahir dan
memegang amanah kenabian pada pase mutakhir perkembangan rasio manusia. Dengan
tingkat kreativitas akal yang paling tinggi dalam sejarah kemanusiaan demikianlah
Rasulullah datang membawa misi keagamaan paling rasional (al-Qur’an) yang digaransi
oleh Allah akan bertahan dan berlaku hingga hari kiamat kelak. Inilah alasan yang dapat
menjelaskan, kenapa mukjizat yang menjadi bukti khusus masing-masing nabi sebagai
utusan Allah Swt berbeda antara Nabi Muhammad Saw. dengan nabi-nabi sebelumnya.
Jika kemukjizatan nabi-nabi sebelumnya bersifat inderawi dan tidak menyatu dengan kitab
sucinya, maka mukjizat Rasulullah Saw. menyatu dengan kitab sucinya, al-Qur’an. Jika
mukjizat nabi sebelumnya hanya bisa disaksikan oleh masyarakat yang ada ketika itu, maka
mukjizat Nabi Muhammad Saw. dapat dilihat dan dipelajari hingga hari ini dan seterusnya,
sekalipun beliau telah wafat beberapa abad yang lalu. Mukjizat nabi-nabi sebelumnya
hanyalah berupa hal-hal yang luar biasa yang tidak bisa dipelajari oleh manusia. Hal ini
karena manusia sebelum kenabian Rasulullah Saw. hanya fokus pada-pada hal-hal yang
mistis, sihir, perdukuanan, dan segala hal yang tidak ceradas jika dipandang dari sudut
rasionalitas. Sementara zaman Rasulullah Saw. adalah zaman rasionalitas dan zaman ilmu
pengetahuan dan tekhnologi yang hingga saat ini dan zaman mendatang akan terus
berkembang dengan pesat.

Sekalipun Al-Qur’an telah berakhir masa penurunannya sebelum nabi wafat dengan segala
kemukjizatan yang telah membelalakkan mata sastrawan Arab sekali pun, namun
kemukjizatan berupa fakta ilmiah yang terkandung pada berbagai ajaran dan isyarat-isyarat
bahasanya masih akan tetap aktual sepanjang masa. Ini karena Allah Swt menjamin akan
memperlihatkan bukti-bukti kebenaran (kemukjizatan) al-Qur’an ini sepanjang zaman
(fakta-fakta alam (al-Afak) dan fakta-fakta sosial (al-Anfus)), sesuai dengan perkembangan
tingkat kecerdasan dan rasionalitas manusia modern hingga datangnya hari kiamat kelak.

BUKTI-BUKTI RASIONALITAS AL-QUR’AN.


Dalam rangka rasionalisasi praktek-praktek keagamaan yang lahir pada zaman ilmu
pengetahuan dan pada tingkat kejernihan maksimal rasio manusia, al-Qur’an
memperkenalkan terma-terma akal dalam bentuk kata kerja aktual (fi’il mudhare/continues)
seperti, ]7[‫ ]ﻟﻘﻮﻡ ﻳﻔﻘﻬﻮﻥ‬, 6[‫ ]ﻟﻘﻮﻡ ﻳﺘﻔﻜﺮﻭﻥ‬, 5[‫ﻟﻌﻠﻜﻢ ﺗﻌﻘﻠﻮﻥ‬dengan beragam derivasi dan
pengulangannya dalam al-Qur’an. Hal ini bertujuan untuk mengawal masyarakat menuju
keimanan kepada Allah Swt dengan landasan penghormatan yang sangat besar terhadap
akal/rasio[8]. Ajakan-ajakan logis dan rasional tersebut berupa :

Ajakan kepada keimanan dengan mengandalkan argumentasi rasional.


Islam tidak pernah berusaha mengerdilkan akal dalam rangka keimanan kepada Allah Swt.
Sebaliknya, Islam senantiasa memacu akal agar berperan aktif dalam menggapai keimanan
yang dapat memuaskan pikiran dan perasaannya pada setiap sektor kehiduapan. Bahkan
dalam rangka kepuasaan tersebut, al-Qur’an mengarahkan potensi akal ini untuk :

Berfikir mendalam dan mengeskplorasi rasio terhadap :


1.a. Al-Qur’an sebagai fakta tertulis.

ً ‫ﺍﺧﺘ َِﻼ ًﻓﺎ َﻛﺜ‬


‫ِﻴﺮﺍ‬ ْ ‫] َﻟ َﻮ َﺟﺪُﻭﺍ ﻓِﻴ ِﻪ‬ َ ‫ﺃَ َﻓ َﻼ َﻳﺘَﺪَﺑ ُﱠﺮﻭﻥَ ْﺍﻟﻘُﺮْ ﺁﻥَ َﻭ َﻟ ْﻮ ﻛَﺎﻥَﻣِ ْﻦ ِﻋ ْﻨ ِﺪ‬
ِ ‫ﻏﻴ ِْﺮ ﱠ‬

4:82. Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an? Kalau kiranya Al Qur’an itu
bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di
dalamnya.(An-nisaa :82)

ِ ‫ﺎﺭﻙٌ ِﻟ َﻴﺪﱠﺑ ُﱠﺮﻭﺍ ﺁ َﻳﺎ ِﺗ ِﻪ َﻭ ِﻟ َﻴﺘَﺬَ ﱠﻛ َﺮ ﺃُﻭﻟُﻮ ْﺍﻷ َ ْﻟ َﺒﺎ‬


‫ﺏ‬ ُ َ‫ﻧﺰَ ْﻟﻨَﺎﻩُ ﺇِ َﻟﻴْﻚ‬
َ ‫ﻣ َﺒ‬ ْ َ ‫ِﻛﺘَﺎﺏٌ ﺃ‬

38:29. Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya
mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang
mempunyai pikiran. (Shad : 29)

‫ﺏ ﺃَ ْﻗﻔَﺎﻟُ َﻬﺎ‬ َ ‫ﺃ َ َﻓ َﻼ َﻳﺘَﺪَﺑ ُﱠﺮﻭﻥَ ْﺍﻟﻘُﺮْ ﺁﻥَ ﺃ َ ْﻡ‬


ٍ ‫ﻋ َﻠﻰ ﻗُﻠُﻮ‬

47:24. Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an ataukah hati mereka terkunci?
( Muhammad : 24.)

Setelah itu, al-Qur’an menantang rasio untuk menandinginya dengan menampilkan produk
rasionalnya yang dapat menyamai dan mengimbangi al-Qur’an. Jika mereka berupaya
melayani tantangan tersebut, dengan kafasitas sebagai ahli sastra pada zaman
diturunkannya al-Qur’an dan masa-masa selanjutnya, namun pada kenyataannya tidak ada
yang mampu menunjukkannya sekali pun hanya satu ayat. Maka terbuktilah bahwa
memang al-Qur’an satu-satunya produk yang paling benar dan paling rasional.

َ ‫ﻧُﻮﺍ‬
َ‫ﺻﺎ ِﺩﻗِﻴﻦ‬ ٍ ‫َﻓ ْﻠ َﻴﺄْﺗُﻮﺍ ِﺑ َﺤﺪِﻳ‬
‫ﺚﻣِ ْﺜ ِﻠ ِﻪ ﺇِ ْﻥ ﻛَﺎ‬

52:34. Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Qur’an itu jika
mereka orang-orang yang benar. (Atthur : 34. )
1.b. Ciptaan Allah Swt. sebagai fakta terlihat.

‫ﺽ‬ِ ْ‫ ) َﻭﺇِ َﻟﻰ ْﺍﻷَﺭ‬19( ‫ﺖ‬ ْ ‫ﺼ َﺒ‬


ِ ُ‫ْﻒﻧ‬ ِ ‫ ) َﻭﺇِ َﻟﻰ ْﺍﻟ ِﺠ َﺒﺎ‬18( ‫ﺖ‬
َ ‫ﻝ َﻛﻴ‬ ْ ‫ْﻒ ُﺭ ِﻓ َﻌ‬ ‫ ) َﻭﺇِ َﻟﻰ ﺍﻟ ﱠ‬17( ‫ﺖ‬
َ ‫ﺴ َﻤﺎءِ َﻛﻴ‬ ْ ‫ْﻒ ُﺧ ِﻠ َﻘ‬
َ ‫ﺍﻹ ِﺑ ِﻞ َﻛﻴ‬ ُ ‫ﺃ َ َﻓ َﻼ َﻳ ْﻨ‬
ِ ْ ‫ﻈ ُﺮﻭﻥَ ﺇِ َﻟﻰ‬
)20( ‫ﺖ‬ ْ ‫ْﻒﺳُﻄِ َﺤ‬ َ ‫َﻛﻴ‬

88:17-20. Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan
langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi
bagaimana ia dihamparkan? (Al-ghasyiah 18-20),

ِ ‫ِﻴﺮﺍﻣِ ﻦَ ﺍﻟ ﱠﻨ‬
‫ﺎﺱ‬ ً ‫ﺴ ¦ﻤﻰ َﻭ ِﺇﻥﱠ َﻛﺜ‬ َ ‫ﻣ‬ ِ ّ ‫ﻣﺎ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻬ َﻤﺎ ِﺇ ﱠﻻ ِﺑ ْﺎﻟ َﺤ‬
ُ ‫ﻖ َﻭﺃ َ َﺟ ٍﻞ‬ َ ‫ﺕ َﻭ ْﺍﻷ َ ْﺭ‬
َ ‫ﺽ َﻭ‬ ِ ‫ﺴ َﻤ َﺎﻭﺍ‬ ‫ﻣﺎ َﺧ َﻠﻖَ ﱠ‬
‫]ُ ﺍﻟ ﱠ‬ ْ َ ‫ﺃ َ َﻭ َﻟ ْﻢ َﻳﺘ َ َﻔ ﱠﻜ ُﺮﻭﺍ ﻓِﻲ ﺃ‬
َ ‫ﻧﻔُ ِﺴ ِﻬ ْﻢ‬
)8( َ‫ِﺑ ِﻠ َﻘﺎءِ َﺭ ِّﺑ ِﻬ ْﻢ َﻟﻜَﺎﻓ ُِﺮﻭﻥ‬

30:8. Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka?, Allah tidak
menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan)
yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia
benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya.( al-Ruum : 8).

Setelah itu, Allah menantang manusia dengan segala indera yang dimiliki agar mampu
menunjukkan satu fakta tentang kekurangan yang tidak pantas dalam ciptaan Allah tersebut.
Jika manusia berusaha mempelajari ciptaan ini lalu tidak mampu menemukan kelemahan
yang dimaskud, maka tidak ada jalan lain bagi mereka kecuali beriman kepada-Nya dengan
penuh ketundukan dan keikhlasan. Ini juga menegaskan, jika kekurangan dan kelemahan
di alam raya yang merupakan ciptaan Allah swt tersebut tidak ditemukan, selain berupa
fakta yang mencengangkan tentang keteratutan dan keseimbangan dan harmoni dalam
gerak dan laju perkembangannya yang konstan, lalu bagaimnana dengan al-Qur’an ?!.
Padahal al-Qur’an juga berasal dari sumber yang tanpa cela dan sama dengan sumber
pencipta Alam raya dan seisinya. Karenannya, fakta yang disampaikan tentulah pasti dan
kekal. Bahkan al-Qur’an lah yang akan menjadi standar penilaian tentang keshalihan
manusia secara pribadi maupun secara komunal dalam lingkup kehidupan ini. Apalagi
kelak di akhirat. Saat di mana semua aturan tidak berlaku kecuali ketetapan yang telah
Allah bentangkan dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi-Nya.

Al-Qur’an berupaya membangun hubungan manusia dengan Allah berdasarkan pada


tingkat rasionalitas yang mapan dalam bidang akidah dan syari’ah, dengan tidak
membatasinya dalam lingkup kerahiban (spiritualitas yang berorientasi kepada akhirat
semata). Al-Qur’an tidak mengenal terma kerahiban karena mengandung pengekangan
terhadap akal, gharizah dan indera. Juga karena itu merupakan bentuk pengekangan
terhadap potensi manusia secara umum dan cenderung bertentangan dengan fitrah manusia
yang asasi.

Fenomena lain yang menunjukkan penghargaan al-Qur’an terhadap akal manusia adalah
celaan terhadap mereka-mereka yang berperan sebagai pengikut buta (muqallid). Yaitu
mereka-mereka yang mengikuti suatu paham atau pun agama tertentu tanpa
memberdayakan potensi rasionalnya untuk mengetahui hakikat agama atau paham yang
diikutinya tersebut. Tindakan demikian sangatlah berpotensi menyesakkan diri seseorang
yang berujung pada kesalahan pilihan di dunia ini apalagi di kahirat kelak. Al-Qur’an tidak
menghedaki hal demikian terjadai pada seorang muslim. Karenanya, fungsi mata dan
telinga sebagai peng-infut data dan fakta bagi akal untuk memutuskan sesuatu sangat
ditekankan (an-nahl dan al-a’araf). Fanatik buta terhadap sebuah pemikiran dan teori yang
lemah yang tercetus dari khurafat dan hawa nafsu adalah hal yang tidak dibenarkan al-
Qur’an. al-Qur’an menghedaki keyakinan (keberagamaan) diawali dari olah rasional
(keilmuan) yang mapan, seperti ditunjukkan sebelumnya. Karenanya, sebuah berita tidak
boleh dipercaya, diyakini dan diikuti sebelum terbukti validatas sumber dan kandungannya.
Al-isra : 36 dan al-hujurat : 6

Bentuk lain penghargaan al-Qur’an terhadap akal adalah anjurannya yang sangat intens
untuk mengkaji ilmu pengetahuan. Kalaulah fisik berkembang dengan asupan gizi dari
sumber makanan, maka akal dikembangkan dengan ilmu pengetahuan. Ilmulah yang
mengisi hati dengan keyakinan, pikiran dengan beragam fakta tentang kekuasaan dan
kemahabesaran Allah swt. Inilah jawaban kenapa Allah Swt mensejajarkan penyebutan
nama-Nya dengan para ilmuan (ulama, saintis, cendekiawan, sosiolog dll) dan malaikat (ali
imran : 18, father : 28, al-mujadalah : 11). Karena itu pula ilmu harus disebarkan dan
mengancam dengan ancaman laknat bagi orang-orang yang berilmu (mengetahui
kebenaran) agar tidak menyembunyikan ilmu yang dimilikinya.(al-baqarah : 159-160).
Dalam kategori ini pula, al-Qur’an menetapkan bahwa masalah yang tidak memiliki
landasan legalitas dari al-Qur’an, sunnah dan ijma’agar memberdayakan akal melalui
metodologi qiyas untuk mencari jawabannya. Sebuah hadits yang dirilis oleh Ahmad, Abud
Daud, Tirimidzi dan al-Darimi, menerangkan prosesi keberangkatan Muadz bin Jabal
sebagai delegasi da’wah ke wilayah Yaman, menegaskan tentang bagaimana seharusnya
akal bereksplorasi dalam rangka menjawab tantangan zaman yang berkembang sehingga
melampaui bahasa formal teks-teks keagamaan tanpa keluar dari ajaran utamanya.
Pembicaraan yang bersifat metodologis ini menunjukkan wilayah jelajah akal dalam kajian
keagamaan secara umum. Rasulullah bertannya, “Bagaimana cara kamu menetapkan
hukum nantinya wahai Muadz ? Dengan al-Qur’an wahai Rasulullah, jawab Muadz.
Bagaimana kalau engkau tidak mendapatkan (teksnya) ? Dengan Sunnah Rasul-Nya, wahai
Rasulullah. Kalau tidak mendapatkannya juga, (lalu kamu melakukan apa) ? Saya berusaha
menggunakan rasio yang saya miliki. (hadits).
Melihat metodologi istinbath hukumnya sudah tepat, Rasulullah Saw. menyatakan, “Segala
puji bagi Allah yang telah memberikan taufik kepada utusan Rasulullah sesuai ketantuan
Allah dan Rasul-Nya.

Sebagai wujud penghormatan terhadap akal, al-Qur’an senantiasa menyeru agar selalu
menjaga fungsi dan kehormatan akal dari berbagai ancaman yang dapat melemahkan dan
bahkan dapat mematikan kreatifitasnya. Karenanya segala bentuk minuman memabukkan
dan membuat akal tidak berdaya diharamkan secara total oleh al-Qur’an.( Al-maidah : 90).
Rasulullah pun tidak ketinggalan untuk menegaskan hal ini. Dalam sebuah riwayat yang
dirilis oleh Imam Muslim, Rasulullah Saw. bersabda, “Semua yang memabukkan adalah
khamer dan semua khamer adalah haram” . (hadits)
Bahkan pengharaman ini berlanjut hingga mencakup kadar terkecil dari zat-zat yang
memabukkan. Rasulullah Saw. menegaskan, “Zat yang memabukkan ketika kadarnya
banyak maka tetap haram sekali pun kadarnya kecil”. Semua teks-teks keagamaan serupa
bermuara pada upaya menjaga fungsi dan peran akal sebagai sarana keberagamaan.
Karenanya, ketika fungsi akal tidak maksimal, misalnya karena belum balig, tertidur,
terpaksa, pingsan atau gila, maka standar penilaian berupa pahala dan dosa otomatis tidak
berlaku. Sabda Rasulullah Saw., “Terdapat tiga kondisi di mana pena (sebagai pencatatat
kebaikan dan keburukan) tidak berperan : orang yang tertidur hingga bangun, orang yang
gila hingga tersadar dan orang yang masih kecil hingga ia balig”. (HR Bukhari)

Bahkan, bagi siapa pun yang menyebabkan hilangnya fungsi akal hingga tidak bisa
diberdayakan sama sekali ditetapkan hukuman diyat secara penuh. Ibnu Qudamah
menjelaskan, “Tidak ditemukan adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam
masalah ini. Kecendrungan seperti ini pula yang kita temukan dalam riwayat yang
disampaikan dari Ibnu Umar dan Zaid RA. Demikian pula pendapat yang sampai pada kami
dari kalangan para ahli fiqhi. Alasan Ibnu Qudamah adalah bahwa akal merupakan sarana
yang paling tinggi nilainya, di samping juga karena ia merupakan indera yang paling besar
nilainya. Dengan akal-lah seseorang berbeda dengan binatang, mampu mengetahui hakikat
hal-hal yang ada di sekitarnya, dapat mengenali semua yang bermanfaat baginya dan
berhati-hati dari segala hal yang mengancam dan membahayakan eksistensinya. Disamping
itu, kata beliau, dengan akal pula manusia masuk ke wilayah taklif. Akal pula menjadi
syarat bagi siapa pun untuk dapat memiliki legalitas hak kepemilikian, hak untuk
bertransaksi dan hak untuk beribadah. Dengan demikian, penetapan denda berupa diat bagi
yang menghilangkan fungsinya tentu lebih pantas jika dibandingkan dengan diat untuk
indera lainnya.

Anda mungkin juga menyukai